II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi Penyuluhan Penyuluhan adalah suatu proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sabagai upaya untuk meningkatkan prouktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Tujuan penyuluhan pertanian adalah merubah perilaku utama dan pelaku usaha melalui peningkatan pengetahuan, keterampilan, sikap dan motivasinya (Departemen Pertanian, 2009). Penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Secara praktis pendidikan dapat diartikan sebagai usaha dan kegiatan menimbulkan perubahanperubahan yang diinginkan dalam perilaku manusia, misal mengganti metode produksi tradisional ke metode baru, yaitu menerapkan teknologi baru yang berupa varietas baru, teknik budidaya baru, penerapan pupuk dan pestisida, serta penerapan sistem usaha tani modern (Departemen Pertanian, 2009). Undang-Undang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan
Kehutanan (SP3K) No. 16 Tahun 2006 Pasal 1 menyebutkan “Penyuluhan pertanian, perikanan, kehutanan yang selanjutnya disebut penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup” (http://feati.deptan.go.id/dokumen/uu_sp3k.pdf). Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 15 Tahun 2008 Tentang Pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan disebutkan, yang dimaksud pelaku utama kegiatan pertanian,
perikanan, dan kehutanan yang selanjutnya disebut pelaku utama adalah masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan, petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, beserta keluarga intinya. Pelaku Usaha adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau korporasi yang dibentuk menurut hukum Indonesia yang mengelola usaha pertanian, perikanan, dan kehutanan. Materi Penyuluhan adalah bahan penyuluhan yang disampaikan oleh para penyuluh kepada pelaku utama dan pelaku usaha dalam berbagai bentuk yang meliputi informasi, teknologi, rekayasa sosial, manajemen,
ekonomi,
hukum,
dan
kelestarian
lingkungan.
Metode
Penyuluhan adalah cara atau teknik penyampaian materi penyuluhan oleh penyuluh kepada sasaran baik secara langsung maupun tidak langsung agar mereka mengerti, mau, dan mampu
menerapkan inovasi teknologi
(http://jdih.bogorkab.go.id/docs/perundangan/PERDA 15 TAHUN 2008.pdf). Menurut Departemen Pertanian (2009), fungsi penyuluh pertanian adalah: 1. Menyebarluaskan informasi pembangunan pertanian di wilayah kerjanya dengan cara menyampaikan visi, misi, tujuan, strategi dan prinsip dari pembangunan pertanian. 2. Bersama petani atau kelompok tani membangun kelembagaan petani yang kuat. 3. Mendorong peran serta dan keterlibatan petani atau kelompok tani dalam pembangunan pertanian di wilayahnya. 4. Membangkitkan dan menumbuhkembangkan jiwa kepemimpinan petani. 5. Memfasilitasi petani atau kelompok tani dalam penyusunan rencana kegiatan usahatani di wilayah kerjanya. 6. Memfasilitasi petani atau kelompok tani dalam mengakses teknologi, informasi pasar, peluang usaha dan permodalan. 7. Memfasilitasi petani atau kelompok tani untuk memformulasikan rencana usahatani dalam bentuk proposal. 8. Memberikan bimbingan dan memecahkan masalah petani atau kelompok tani dalam pengambilan keputusan guna menjalin kemitraan usaha di bidang pertanian.
Departemen Pertanian (2009), uraian tugas dari penyuluh pertanian sebagai berikut: 1. Menginventarisir data monografi wilayah, potensi, agroekosistem, kelompok tani dan gapoktan, produksi usaha tani dan kelembagaan ekosistem pedesaan. 2. Mengidentifikasi
masalah-masalah
yang
terjadi
dan
mencari
pemecahannya. 3. Membantu menyusun RDKK. 4. Membantu menyusun programa penyuluhan pertanian. 5. Meningkatkan PSK (pengetahuan, sikap dan keterampilan) petani. 6. Membimbing penerapan usaha tani terpadu. 7. Menyusun secara periodik di wilayah kerjanya. Peraturan daerah Kabupaten Bogor Nomor 15 tahun 2008 Tentang pembentukan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan pasal 18 menyebutkan bahwa Penyuluh Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (PPPK) mempunyai tugas menyelenggarakan penyuluhan di wilayah kerjanya. Untuk menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud PPPK
mempunyai
fungsi
(http://jdih.bogorkab.go.id/docs/perundangan
/PERDA 15 TAHUN 2008.pdf): 1. Inventarisasi, identifikasi dan pengolahan data potensi di wilayah kerjanya. 2. Pelaksanaan rencana kerja dan membantu penyusunan programa penyuluhan. 3. Pelaksanaan materi penyuluhan dan penerapan metode penyuluhan serta pengembangan swadaya dan swakarsa pelaku utama dan pelaku usaha. 4. Peningkatan kapasitas dan kompetensi penyuluh. 5. Pelaksanaan kunjungan ke pelaku utama dan pelaku usaha untuk memfasilitasi pemecahan masalah usaha tani di wilayah kerjanya. 6.
Penyebarluasan informasi yang dibutuhkan oleh pelaku utama dan pelaku usaha.
7.
Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan.
Menurut Kartasapoetra (1991), hal-hal yang harus dilakukan untuk mencapai efektivitasnya penyuluhan harus dilakukan sebagai berikut: 1. Penarikan minat Teori mendidik bagi mereka yang tingkat intelegensinya masih rendah yang disertai dengan mental
yang tertekan (rasa rendah diri), agar
membawa hasil dan dapat mengubah perilaku yang dididiknya, hanya dapat dijalankan dengan cara agar mereka yang dididik (para petani) dapat melihat, mendengar dan ikut melakukan sendiri dengan baik apa yang menjadi objek atau materi dalam penyuluhan tersebut. Atau dengan lain perkataan, isi penyuluhan pertanian hendaknya bersifat menarik, yang berhubungan langsung dengan kegiatan usaha tani dan menarik minat agar dapat dimanfaatkan oleh para petani. 2. Mudah dan dapat dipercaya Apa yang disampaikan dalam penyuluhan pertanian (objek atau materi) mudah dimengerti, nyata kegunaannya dan menarik kepercayaan para petani bahwa benar segala yang telah diperhatikan, diperdengarkan (diajarkan)
dapat dilakukan para petani dan benar-benar
dapat
meningkatkan hasil dan kesejahtraan. 3. Peragaan disertai sarananya Penyuluh harus disertai dengan peragaan yang didukung dengan saran atau alat-alat peraga yang mudah didapat, murah dan dikerjakan oleh para petani apabila mereka terangsang untuk mempraktekkannya. 4. Saat dan tempatnya harus tepat Kegiatan penyuluhan kepada para petani tidak dapat dilakukan sembarang waktu terutama pada tingkat permulaan, dan tingkat-tingkat sebelum mereka terangsang, timbul kesadarannya.
Para penyuluh harus pandai
memperhitungkan kapan mereka itu bersantai atau ada dirumah, kapan biasanya mereka itu berkumpul dan di mana kebiasaan itu dilakukannya. Tiga dasar penyuluhan yang harus dilakukan penyuluh pertanian adalah sebagai berikut: 1. Apa yang harus diketahui para petani (what to know by the farmers) 2. Mengapa hal itu harus diketahui para petani (why it must be know by the farmers) 3. Bagaimana hal itu dapat dilakukan (how it must be practiced)
2.7 Pengertian Jasa Menurut Kotler (2002), jasa adalah setiap tindakan atau kegiatan yang dapat ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak lain, yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksinya dapat dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan suatu produk fisik. Penyuluh Pertanian merupakan industri jasa yang menawarkan pelayanan pendidikan (non formal dan informasi pertanian kepada petani dan pihak-pihak
lain
yang memerlukan (Slamet,
1996).
Kotler
(2002)
mengemukakan tiga aspek sukses industri jasa yaitu: 1. Janji perusahaan mengenai jasa yang akan disampaikan kepada pelanggan 2. Kemampuan perusahaan untuk membuat karyawan mampu memenuhi janji tersebut 3. Kemampuan karyawan untuk menyampaikan janji kepada pelanggan. Model kesatuan ketiga aspek tersebut dikenal sebagai segitiga jasa, di mana setiap sisi segitiga mewakili setiap aspek. Kegagalan disatu sisi menyebabkan segitiga roboh yang berarti distribusi jasa tersebut gagal. Pembahasan industri jasa harus meliputi pihak perusahaan, karyawan dan pelanggan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Pelanggan
External Marketing Menetapkan janji mengenai produk atau jasa yang akan disampaikan
Interactive Marketing Menyampaikan produk atau jasa sesuai dengan yang telah dijanjikan
Manajemen
Karyawan Internal Marketing Membuat agar produk atau jasa yang disampaikan sesuai dengan yang dijanjikan
Gambar 1. Diagram segitiga pemasaran jasa (Rangkuti, 2006)
Jasa memiliki karakteristik yang membedakannya dari produk berupa barang. Karakterisrik utama yang membedakan jasa dengan produk adalah sifat jasa yang tidak dapat dilihat (tidak nyata) disamping keterlibatan konsumen scara aktif dalam proses menyampaian jasa Kotler (2002) menyatakan bahwa jasa
memiliki empat karakteristik
utama, yaitu : 1. Tidak berwujud (intangibility) Jasa lebih sulit didefinisikan karena jasa tidak dapat dilihat dan diraba. Jasa merupakan suatu perbuatan kinerja atau usaha. Jasa berbeda dari barang. Jika barang merupakan suatu benda, maka jasa adalah suatu perbuatan, kinerja dan usaha. Jika barang dapat dimiliki, maka jasa hanya dapat dikonsumsi tetapi tidak dapat dimiliki. Kualitas jasa dapat diwujudkan melalui tempat, orang, peralatan, bahan-bahan komunikasi, simbol, dan harga. Oleh karena itu, penting bagi penyedia jasa untuk mengelola bukti tersebut dan mewujudkan yang tidak berwujud. 2. Tidak Terpisahkan (inseparable) Jasa adalah inseparable, karena tidak dapat dipisahkan tempat atau waktu dari sarana produksi atau produsen yang menghasilkannya. Seringkali terjadi waktu dan tempat memproduksi dan menjual jasa dilakukan bersamaan. Hal ini dikarenakan output jasa dikonsumsi di tempat jasa tersebut dihasilkan. 3. Beraneka Ragam (Variability) Jasa sangat bervariasi dalam bentuk, kualitas, dan jenis tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan. Kerjasama atau partisipasi pelanggan selama penyampaian jasa, moral atau motivasi karyawan dalam melayani pelanggan, dan beban kerja perusahaan merupakan beberapa faktor yang menyebabkan keragaman jasa. Agar tercapai standardisasi jasa, perusahaan harus mengefektifkan manajemen saluran distribusi. 4. Tidak Tahan Lama (Perishability) Dalam jasa, tidak ada istilah persediaan atau penyimpanan dari produk yang telah dihasilkan. Dengan kata lain, jasa yang tidak terjual pada saat
ini tidak dapat dijual dikemudian hari. Untuk itu, setiap perusahaan jasa harus berusaha mempergunakan hari kerja karyawan operasional dan sarana produksinya secara efisien, serta mengevalusi kapasitasnya guna menyeimbangkan permintaan dan penawaran. 2.8 Kualitas Jasa Kualitas merupakan ukuran relatif kebaikan suatu produk atau layanan yang terdiri dari kualitas desain dan kualitas kesesuaian. Kualitas desain merupakan fungsi spesifikasi produk, sedangkan kualitas kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu produk mampu memenuhi persyaratan kualitas yang ditetapkan. Kualitas jasa adalah penyampaian jasa yang akan melebihi tingkat kepentingan pelanggan. Keunggulan suatu produk jasa tergantung dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh jasa tersebut, apakah sudah sesuai dengan harapan dan keinginan pelanggan (Rangkuti, 2006). Terdapat dua faktor utama yang mempengaruhi kualitas jasa, yaitu expected sevice dan perceived service (Zeithaml et al., 2006). Apabila jasa yang diterima atau dirasakan (perceived service) sesuai dengan apa yang diharapkan (expected service), maka kualitas jasa dipersepsikan baik dan memuaskan. Jika jasa yang diterima melampaui harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan sebagai kualitas yang ideal. Sebaliknya jika jasa yang diterima lebih rendah daripada harapan pelanggan, maka kualitas jasa dipersepsikan buruk. Dengan demikian baik tidaknya kualitas jasa tergantung pada kemampuan penyedia jasa dalam memenuhi harapan pelanggan secara konsisten. Menurut Kotler (2002) terdapat lima dimensi kualitas jasa, yaitu : 1. Berwujud (Tangible) Meliputi penampilan fasilitas fisik penyedia jasa seperti gedung, tersedianya tempat parkir, kebersihan, kerapihan dan kenyamanan ruangan, kelengkapan peralatan komunikasi, dan penampilan fisik dari personel penyedia jasa.
2. Keandalan (Reliability) Keandalan berarti kemampuan untuk memberikan pelayanan yang telah dijanjiakan dengan tepat (accurately), kemampuan untuk dapat dipercaya (dependably), serta tepat waktu (on time). 3. Kesigapan (Responsiveness) Kesigapan merupakan dimensi yang menekankan kepada kesediaan penyedia jasa dalam membantu pelanggan dan memberikan pelayanan yang sesuai kebutuhan pelanggan secara cepat dan tepat. 4. Kepastian (Assurance) Dimensi
ini
menekankan
kemampuan
penyedia
jasa
untuk
membangkitkan keyakinan dan rasa percaya diri pelanggan bahwa penyedia jasa mampu memenuhi kebutuhan pelanggannya. Meliputi kemampuan karyawan atas pengetahuan produk secara tepat, keramahtamahan, perhatian dan kesopanan dalam memberikan pelayanan, keterampilan dalam memberikan informasi, serta kemampuan dalam memberikan keamanan di dalam memanfaatkan jasa yang ditawarkan. 5. Empati (Empathy) Empati adalah perhatian secara individual yang diberikan perusahaan kepada pelanggan seperti, kemudahan untuk menghubungi perusahaan, kemampuan karyawan untuk berkomunikasi kepada pelanggan dan urusan perusahaan untuk memahami keinginan dan kebutuhan pelanggan. 2.9 Pengelolaan Kualitas Jasa Suatu cara perusahaan jasa untuk tetap dapat unggul bersaing adalah memberikan jasa dengan kualitas yang lebih tinggi dari pesaingnya secara konsisten. Harapan pelanggan dibentuk oleh pengalaman masa lalunya, pembicaraan dari mulut ke mulut serta promosi yang dilakukan oleh perusahan jasa, kemudian dibandingkannya (Zeithaml et al., 2006). Zeithaml, et al. (2006) membentuk model kualitas jasa yang menyoroti syarat-syarat utama untuk memberikan kualitas jasa yang diharapkan. Model tersebut mengidentifikasikan lima kesenjangan atau gap yang menyebabkan kegagalan penyampaian jasa, yaitu :
1. Kesenjangan Tingkat Kepentingan Konsumen dan Persepsi Manajemen Pada kenyataannya pihak manajemen suatu perusahaan tidak selalu dapat merasakan atau memahami secara nyata apa yang diinginkan oleh pelanggannya. Akibatnya, manajemen tidak mengetahui bagaimana produk jasa seharusnya didesain dan jasa-jasa pendukung apa saja yang diinginkan konsumen. 2. Kesenjangan Antara Persepsi Manajemen Terhadap Tingkat Kepentingan Konsumen dan Spesifikasi Jasa Kadangkala manajemen mampu memahami serta tepat apa yang diinginkan oleh pelanggan, tetapi mereka tidak menyusun standar kinerja yang jelas. Hal ini dapat terjadi karena tiga faktor, yaitu tidak adanya komitmen total manajemen terhadap kualitas jasa, kurangnya sumberdaya atau karena kelebihan permintaan. 3. Kesenjangan Antara Spesifikasi Kualitas Jasa dan Penyampaian Jasa Ada beberapa penyebab terjadinya kesenjangan ini, misalnya karyawan yang kurang terlatih, beban kerja yang melampaui batas, ataupun ketidakmampuan memenuhi standar kinerja yang telah ditetapkan. Dari penyebab-penyebab di atas dapat disimpulkan bahwa semuanya penyebab tersebut berasal dari karyawan penyampai jasa. 4. Kesenjangan Antara Penyampaian Jasa dan Komunikasi Eksternal Seringkali tingkat kepentingan pelanggan dipengaruhi oleh iklan dan pernyaan atau janji yang dibuat oleh perusahaan. Resiko yang dihadapi oleh perusahaan adalah apabila janji yang diberikan ternyata tidak dapat dipengaruhi akan menyebabkan terjadinya persepsi negatif terhadap kualitas jasa perusahaan. 5. Kesenjangan Antara Jasa yang Dirasakan dan Jasa yang Diharapkan. Kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mengukur kinerja prestasi perusahaan dengan cara yang berbeda. Atau apabila pelangan keliru mempersepsikan kualitas jasa tersebut. Adapun model kesenjangan atau gap dapat dilihat pada Gambar 2.
Customer
Expected Service
GAP 5 Perceived Service Company
External Communication to Customer
Service Delivery GAP 3 GAP 1
GAP 4
Customer-Driven Service Design and Standard GAP 2 Company Perception of Customer Expectations
Gambar 2. Model Kesenjangan Kualitas Jasa (Zeithaml et al., 2006)
2.10Kepuasan Menurut Rangkuti (2006), kepuasan pelanggan didefinisikan sebagai respon pelanggan terhadap kesesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakan setelah pemakaiannya. Kepuasan pelanggan ditentukan oleh berbagai jenis pelayanan yang didapatkan oleh pelanggan selama menggunakan beberapa tahapan pelayanan tersebut. Ketidakpuasan yang diperoleh tahap awal pelayanan menimbulkan persepsi berupa mutu pelayanan yang buruk untuk tahapan selanjutnya, sehingga pelanggan merasa tidak puas dengan pelayanan secara keseluruhan. Salah satu faktor yang menentukan kepuasan pelanggan adalah persepsi pelanggan mengenai mutu jasa yang berfokus pada lima dimensi jasa, yaitu responsiveness, reliability, emphaty, assurance dan tangible. Menurut Kotler (2004), kepuasan adalah perasaan senang atau kecewa seseorang yang muncul setelah membandingkan antara persepsi atau kesannya terhadap kinerja atau hasil suatu produk dan harapan-harapannya Kepuasan merupakan fungsi dari persepsi atau kesan atas kinerja dan harapan. Jika kinerja berada di bawah harapan, pelanggan tidak puas. Jika kinerja memenuhi harapan, pelanggan puas. Jika kinerja melebihi harapan, pelanggan amat puas atau senang.
Pelanggan membentuk harapan mereka berdasarkan pesan yang diterima dari penjual, teman-teman dan sumber-sumber informasi lainnya. Jika penjual melebih-lebihkan manfaat suatu produk, pelanggan akan mengalami harapan yang tidak tercapai (disconfirmed expectations), yang akan menyebabkan ketidakpuasan. Semakin besar kesenjangan antar harapan dan kinerja maka semakin besar ketidakpuasan pelanggan (Kotler, 2004). Tingkat kepuasan pelanggan dapat dapat dilihat pada Gambar 3. Tujuan Perusahaan
Kebutuhan dan Keinginan Konsumen
Harapan Konsumen Terhadap Produk
Produk
Nilai Produk bagi Konsumen
Tingkat Kepuasan Konsumen
Gambar 3. Tingkat Kepuasan Pelanggan (Engel, et.al.1994)
Ada beberapa metode yang bisa dipergunakan setiap perusahaan untuk mengukur dan memantau kepuasan pelanggannya dan pelanggan pesaing. Kotler (2004) mengidentifikasikan empat metode untuk mengukur kepuasan pelanggan, yaitu : 1. Sistem Keluhan dan Saran Setiap organisasi yang berorientasi pada pelanggan perlu menyediakan kesempatan akses yang mudah dan nyaman bagi para pelanggannya guna menyampaikan saran, kritik, pendapat dan keluhan mereka. Media yang
digunakan dapat berupa kotak saran yang ditempatkan di lokasi-lokasi strategis, kartu komentar, saluran telepon khusus bebas pulsa, website dan sebagainya. 2. Ghost Shopping Salah satu cara memperoleh gambaran mengenai kepuasan pelanggan adalah dengan memperkerjakan beberapa orang ghost shoopers untuk berpura-pura
atau
berperan sebagai pelanggan
potensial produk
perusahaan dan pesaing. Mereka diminta berinteraksi dengan staf penyedia jasa dan menggunakan produk atau jasa perusahaan. 3. Lost Customer Analysis Sedapat mungkin perusahaan menghubungi para pelanggan yang telah berhenti atau yang telah pindah pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan sedapat mungkin mengambil kebijakan perbaikan atau penyempurnaan selanjutnya. 4. Survey Kepuasan Pelanggan Sebagian besar riset kepuasan pelanggan dilakukan dengan metode survey, baik melalui telepon, pos, e-mail, website, maupun wawancara langsung. Melalui survey, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan balikan secara langsung dari pelanggan serta memberikan kesan positif bahwa perusahaan memberikan perhatian pada pelanggannya. Menurut Gerson (2001), terdapat tujuh alasan utama mengapa perlu dilakukan pengukuran kepuasan pelanggan adalah: 1. Mempelajari persepsi pelanggan. 2. Menentukan kebutuhan, keinginan, persyaratan dan harapan pelanggan 3. Menutup kesenjangan. 4. Memeriksa apakah peningkatan mutu pelayanan dan kepuasan pelangggan sesuai harapan pelanggan atau tidak. 5. Peningkatan kinerja membawa peningkatan laba. 6. Mempelajari bagaimana sebenarnya kinerja perusahaan dan apa yang harus dilakukan perusahaan dimasa depan. 7. Menerapkan proses perbaikan berkesinambungan.
Gerson (2001), mengemukakan beberapa manfaat dari pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas lebih tinggi. 2. Pengukuran
memberitahukan
apa
yang
harus
dilakukan
untuk
memperbaiki mutu dan kepuasan pelanggan serta bagaimana harus melakukannya. 3. Pengukuran memberikan umpan balik segera kepada pelaksana, terutama bila pelanggan sendiri yang mengukur kinerja pelaksana atau perusahaan yang memberikan pelayanan. 4. Pengukuran bisa dijadikan dasar penentuan standar kinerja dan prestasi yang harus dicapai, yang akan mengarahkan menuju peningkatan mutu dan kepuasan pelanggan. 5. Pengukuran memotivasi orang untuk melakukan dan mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Rangkuti (2006) mengemukakan beberapa pendekatan umum yang biasa digunakan dalam pengukuran kepuasan pelanggan, yaitu: 1. Pendekatan tradisional (traditional approach), yakni pelanggan diminta memberikan penilaian atas masing-masing indikator produk yang mereka nikmati, misalnya dengan memberikan rating dari “sangat tidak puas” sampai “sangat puas sekali”. 2. Analisis secara deskriptif, misalnya melalui perhitungan statistik secara deskriptif, misalnya melalui perhitungna rata-rata nilai distribusi serta standar deviasi. Analisis ini yang dapat dikembangkan membandingkan hasil kepuasan antara waktu, sehingga kecenderungan perkembangnnya dapat ditentukan. 3. Pendekatan secara terstruktur (structural approach) yakni pendekatan yang sering digunakan untuk mengukur kepuasan pelanggan. Salah satu teknik yang paling populer adalah semantic differncial dengan prosedur scalling. Caranya adalah responden diminta memberikan penilaian terhadap suatu produk. Penilaian ini juga dapat dilakukan dengan cara membandingkan
suatu produk atau fasilitas suatu produk atau fasilitas lainnya dengan syarat peubah yang diukur sama. 4. Analisis Important dan Performance, yakni pendekatan di mana tingkat kepentingan pelanggan (customer expectation atau importance) diukur dalam kaitannya dengan apa yang seharusnya dikerjakan oleh perusahaan agar menghasilkan produk yang berkualitas baik. Dari berbagai persepsi tingkat
kepentingan
pelanggan
maka
dapat
dirumuskan
tingkat
kepentingan yang paling diharapkan. Selanjutnya peubah tersebut dapat dikaitkan dengan kepuasan (performance) yang dirasakan oleh pelanggan. 2.11Tinjauan Penelitian Terdahulu Andika (2009) melakukan kajian tentang Pelayanan Balai Penyuluh Pertanian (BPP) terhadap tingkat kepuasan petani dalam Agroproduksi Padi Melalui Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) menggunakan nilai koefisien korelasi. Terdapat hubungan yang sangat nyata (significant) antara unsur Reliability terhadap kepuasan petani dalam pengelolaan tanah dengan nilai 0,517, tingkat hubungannya sedang, dan besar pengaruhnya 26 persen. Terdapat hubungan nyata antara unsur reliability terhadap kepuasan petani dalam penanaman dengan nilai 0,343, tingkat hubungannya rendah, dan besar pengaruhnya adalah 11 persen. Terdapat hubungan nyata antara unsur responsiveness terhadap kepuasan petani dalam pengelolaan tanah dengan nilai 0,339, tingkat pengaruhnya rendah, dan besar pengaruhnya adalah 11,5 persen. Terdapat hubungan nyata antara unsur empathy terhadap kepuasan petani dalam pemeliharaan dengan nilai 0,352, tingkat hubungannya rendah, dan besar pengaruhnya 12,3 persen. Terdapat hubungan nyata antara unsur tangible terhadap kepuasan petani dalam pengelolaan tanah dengan nilai 0,380, tingkat rendah, besar pengaruhnya adalah 14,4 persen. Terdapat hubungan nyata antara unsur tangible terhadap kepuasan petani dalam pemeliharaan sebesar 0,339, tingkat hubungannya dalah rendah, besar pengaruhnya 11,5 persen. Jaharuddin (2005) melakukan kajian tentang Persepsi Sumber Motivasi Kerja dan Kualitas Pelayanan Penyuluh Pertanian di Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau. Tujuan penelitian ini adalah untuk : (1)
menganalisis persepsi sumber motivasi kerja penyuluh pertanian di Kabupaten Rokan Hulu, (2) menganalisis hubungan faktor intrinsik dengan faktor ekstrinsik sebagai sumber motivasi kerja penyuluh pertanian Kabupaten Rokan Hulu, (3) menganalisis kualitas pelayanan penyuluh dan tingkat kepuasan petani terhadap penyuluhan pertanian di Kabupaten Rokan Hulu, dan (4) merumuskan implikasi manajerial untuk meningkatkan motivasi kerja dan kualitas pelayanan penyuluh pertanian Kabupaten Rokan Hulu. Pengambilan dengan cluster sampling ditujukan pada petani untuk melihat kualitas pelayanan penyuluh pertanian. Responden adalah kelompok petani dengan pemberdayaan ekonomi kerakyatan (PEK) dan petani non pemberdayaan ekonomi kerakyatan (non PEK). Kualitas pelayanan penyuluh pertanian terhadap petani PEK, non PEK, dan keseluruhan petani menunjukkan bahwa dari dimensi mutu yang terdiri dari: (1) kehandalan, (2) tanggapan, (3) keyakinan, (4) empati, dan (5) keberwujudan menunjukkan kualitas pelayanan yang tidak baik serta tingkat kepuasan pada kriteria tidak puas.