6
TINJAUAN PUSTAKA
Penyuluhan
Penyuluhan berdasarkan definisi dari Undang-Undang nomor 16 Tahun 2006 adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan definisi penyuluhan adalah merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan untuk membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Penyuluhan bisa dikatakan sebagai proses: 1. Membantu petani menganalisis situasi yang sedang dihadapi dan melakukan perkiraan ke depan. 2. Membantu petani menyadarkan terhadap kemungkinan timbulnya masalah dari analisis tersebut. 3. Meningkatkan pengetahuan dan mengembangkan wawasan terhadap suatu masalah, serta membantu menyusun kerangka berdasarkan pengetahuan yang dimiliki petani. 4. Membantu petani memutuskan pilihan yang tepat yang menurut pendapat mereka sudah optimal. Menurut Maunder 1973; Claar 1984 diacu dalam Leeuwis (2009), penyuluhan merupakan suatu pelayanan atau sistem yang membantu orang bertani, melalui prosedur yang bersifat mendidik, meningkatkan metode dan tehnik berusaha tani, meningkatkan efisiensi dan pendapatan, meningkatkan tingkat kehidupan mereka, dan menaikkan standar sosial dan pendidikan. Penyuluhan juga merupakan proses yang berlanjut untuk mendapatkan informasi yang berguna kepada rakyat (dimensi komunikatif) dan kemudian membantu orang-orang tersebut mendapatkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang diperlukan untuk menggunakan informasi dan teknologi secara efektif (dimensi pendidikan). Mardikanto (1996, 2009), mendefinisikan penyuluhan kehutanan sebagai upaya alih-teknologi kehutanan melalui pendidikan di luar sekolah yang ditujukan kepada petani dan kelompok masyarakat lainnya untuk meningkatkan pengetahuan, kesadaran, keterampilan, dan kemampuannya dalam memanfaatkan lahan miliknya, pengamanan, serta pelestarian sumberdaya alam. Penyuluhan juga dapat diartikan sebagai proses perubahan sosial, ekonomi dan politik untuk memberdayakan dan memperkuat kemampuan masyarakat melalui proses belajar bersama yang partisipatif, agar terjadi perubahan perilaku pada diri semua stakeholders (individu, kelompok, kelembagaan) yang terlibat
6
7 dalam proses pembangunan, demi terwujudnya kehidupan yang semakin berdaya, mandiri, dan partisipatif yang semakin sejahtera secara berkelanjutan. Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penyuluhan maka pengertian penyuluhan adalah pemberdayaan petani dan keluarganya berserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik di bidang ekonomi, sosial maupun politik, sehingga peningkatan pendapatan dan kesejateraan mereka tercapai. Menurut Setiana (2005), penyuluhan dalam arti umum adalah ilmu sosial yang mempelajari sistem dan proses perubahan pada individu serta masyarakat agar dapat terwujud perubahan yang lebih baik sesuai dengan yang diharapkan, dengan demikian penyuluhan dapat diartikan sebagai suatu pendidikan yang bersifat non formal di luar sistem sekolah yang biasa. Fungsi penyuluhan adalah untuk menjembatani kesenjangan antara praktik yang biasa dijalankan oleh petani dengan pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang yang menjadi kebutuhan para petani. Fungsi penyuluhan juga dapat dianggap sebagai penyampai dan penyesuai program nasional dan regional agar dapat diikuti dan dilaksanakan oleh petani, sehingga program-program masyarakat yang disusun dengan baik akan berhasil dan masyarakat berpartisipasi di dalam program tersebut. Penyuluhan adalah proses kapasitasi SDM petani melalui sistem pendidikan nonformal. Petani juga memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dan bentuk pendidikan bagi petani adalah penyuluhan, oleh karena itu pemerintah harus dapat menjamin terselenggaranya penyuluhan yang menjadi hak bagi SDM petani. Pemerintah gagal menyelenggarakan penyuluhan itu artinya suatu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi yaitu hak asasi petani untuk mendapatkan pendidikan (Padmowiharjo 2006) Susanto (2008), menyampaikan bahwa kegiatan dan proses penyuluhan adalah serangkaian upaya yang dilakukan untuk mengubah perilaku sasaran melalui pendekatan proses belajar tidak formal atau pendidikan luar sekolah dengan memposisikan sasaran sebagai subyek dan dikaitkan dengan pengakuan atas ciri-ciri pribadinya yang unik. Tujuan akhir dari penyuluhan pembangunan adalah tercapainya kondisi baru yang lebih baik pada sasaran (subyek) penyuluhan sesuai harapan, melalui perubahan perilaku sasaran, termasuk di dalamnya perbaikan kesejahteraan dan meningkatnya kualitas Sumber Daya Manusia (SDM). Peranan penyuluhan pembangunan adalah menjembatani kesenjangan perilaku sasaran antara kondisi sekarang dengan kondisi yang diharapkan. Cara menjembatani kesenjangan dilakukan melalui pendekatan proses belajar/proses pendidikan tidak formal ke arah penyadaran sasaran yang berdampak akhir pada perubahan perilaku yang dicirikan oleh perubahan kualitas SDM sasaran. Menurut Schoorl (1980) yang diacu dalam Ginting (1999), sasaran penyuluhan adalah warga desa (dalam kelompok) dengan maksud untuk mengubah perilaku mereka atau secara lebih spesifik agar mereka dapat menerima (mengadopsi) suatu pembaharuan ide atau praktek. Pemimpin informal mempunyai peranan penting dalam membantu terjadinya perubahan perilaku warga, pemimpin tertentu khususnya pemimpin berkharisma memiliki pengaruh yang besar atas diterima/ditolaknya gagasan baru di berbagai bidang kehidupan.
8 Ariani dan Apsari (2011), menyampaikan bahwa agar pelaksanaan penyuluhan dapat mencapai tujuan yang diharapkan, berbagai pihak yang terkait dengan pelaksanaan penyuluhan hendaknya benar-benar memahami falsafah yang mendasari eksistensi penyuluhan itu sendiri. Penyuluhan tidak menciptakan ketergantungan, tetapi harus mampu mendorong semakin tercipta kreativitas dan kemandirian masyarakat agar semakin memiliki kemampuan untuk berswakarsa, swadaya, swadana dan swakelola bagi terselenggaranya kegiatan-kegiatan guna tercapai tujuan, harapan, dan keinginan - keinginan masyarakat sasarannya.
Peran penyuluh
Ahmadi (1999), mengemukakan bahwa peran adalah suatu cara individu bersikap dan berbuat dalam situasi tertentu berdasarkan status dan fungsi sosialnya. Menurut Soekanto (2000), peran (role) merupakan aspek yang dinamis dari kedudukan (status), apabila seseorang melakukan hak dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya, maka berarti dia telah menjalankan suatu peran. Kedudukan dengan peran tidak dapat terpisahkan satu dengan yang lainnya, keduanya saling tergantung. Levinson dalam Soekanto, menyampaikan bahwa suatu peran paling sedikit mencakup tiga hal, yaitu: 1) peran meliputi norma-norma yang dihubungkan dengan posisi atau tempat seseorang dalam masyarakat. Peran dalam arti ini merupakan rangkaian peraturan-peraturan yang membimbing seseorang dalam kehidupan bermasyarakat, 2) peran adalah suatu konsep yang dapat dilakukan oleh individu dalam masyarakat sebagai organisasi, dan 3) peran juga dapat dikatakan sebagai perilaku individu yang penting bagi struktur sosial masyarakat. Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya. Pengalaman di masa lalu menunjukkan bahwa keberhasilan Indonesia meningkatkan produksi pangan menjadi negara swasembada tidak saja ditentukan oleh adanya mobilisasi Nasional dalam bentuk kesiapan dana, sarana dan prasarana, serta kelembagaan, tetapi juga oleh kemampuan penyuluh (Wardoyo 1992) Menurut Mardikanto (2009), fungsi dan peran penyuluh adalah sebagai penyampai inovasi dan mempengaruhi penerima manfaat penyuluhan dalam pengambilan keputusan, penjembatan/penghubung antara pemerintah atau lembaga penyuluhan yang diwakilinya dengan masyarakat, baik dalam hal menyampaikan inovasi atau kebijakan-kebijakan yang harus diterima dan dilaksanakan oleh masyarakat sasaran, maupun untuk menyampaikan umpan balik atau tanggapan masyarakat kepada pemerintah/lembaga penyuluhan yang bersangkutan. Susanto (2008), menyatakan bahwa dalam mengemban peran dan fungsinya, seorang penyuluh/change agent perlu memahami dan memiliki kemampuan, yaitu: 1) menempatkan masyarakat sebagai subyek dengan ciri-ciri uniknya, 2) melakukan pendekatan dan kerjasama dengan pihak yang memiliki
9 kepedulian untuk melakukan perubahan, dan 3) siap menghadapi kemungkinan ada penolakan sosial dari masyarakat terhadap perubahan yang akan dilakukan. Lionberger dan Gwin (1982), menyampaikan tugas dan peran seorang penyuluh kepada kliennya adalah sebagai penyampai informasi, pendengar yang baik, membantu mengidentifikasi dan memecahkan masalah, memfasilitasi adopsi agar lebih cepat, penghubung, membantu mengembangkan kemampuan, sebagai guru keterampilan, membantu pekerjaan dan administrasi, mendorong terjadinya perubahan, sebagai penjaga gawang, membantu pendanaan, pemimpin lokal, membantu menentukan sesuatu serta membantu membentuk organisasi. Empat peran utama yang penting bagi penyuluh menurut Boyle (1981), yaitu: 1. Analisator (analis), peran ini adalah dasar bagi keberhasilan setiap penyuluh. Peran ini adalah untuk memahami situasi dan membantu mendiagnosa kebutuhan klien. Hal ini penting untuk mendefinisikan masalah atau kebutuhan di semua jenis kegiatan. Peran ini harus dilakukan melalui berbagai tindakan seperti menentukan pengalaman belajar, sumber daya, mengembangkan rencana untuk evaluasi, atau komunikasi. 2. Stimulor (pemicu), peran stimulator disebut sebagai "penggerak" atau "motivator." Hal ini penting untuk membangkitkan antusiasme klien dalam melaksanakan suatu program. Antusiasme klien mungkin saja kurang karena disebabkan oleh berbagai alasan, termasuk kekurangmampuan untuk memecahkan masalah atau memenuhi kebutuhan, kurangnya pengetahuan tentang proses dan sumber daya, dan konflik antara individu dan kelompok. Penyuluh akan bertindak sebagai stimulus untuk menjaga proses menggerakan dan melihat klien yang terlibat, dan membuat kontak dengan individu yang diperlukan dengan pengaruh dan sumber daya. 3. Fasilitator, penyuluh berfungsi untuk menghubungkan kebutuhan klien dengan pengetahuan yang sesuai atau sumber daya secara efisien dan efektif. Peran ini dibutuhkan untuk menciptakan lingkungan khusus dan membangun lingkungan belajar yang kondusif bagi klien sehingga proses penyuluhan antara klien dan penyuluh dapat terjalin dengan baik. 4. Pendorong, kebanyakan klien/masyarakat merasa ragu dan khawatir dalam melakukan sebuah kegiatan, terutama jika kegiatan tersebut adalah kegiatan yang baru bagi mereka. Mereka tidak yakin dengan kemampuan pribadi dan potensi kelompok. Kondisi ini dapat atasi melalui penggunaan media tertentu dan membutuhkan dorongan dari seorang penyuluh dan kelompok yang mampu membantu orang menyadari potensi mereka. Menurut Lippit (1954), peran penyuluh dalam mendorong terjadinya perubahan pada masyarakat, dimulai dari: 1. Pengenalan pada masalah. Merupakan langkah pertama dari proses pemberian bantuan dan menggunakan hasil pengenalan masalah tersebut sebagai suatu panduan agar klien mampu melakukan proses perubahan. 2. Penilaian terhadap motivasi dan kemampuan klien untuk berubah. Usaha untuk berubah harus muncul dari klien, tingkat dan mutu perubahan yang dicapai tergantung usaha dan kemampuannya, penyuluh hanya membantu menumbuhkan/memotivasi keinginan untuk berubah. Penyuluh harus berusaha memunculkan optimisme realistis bagi perubahan diri klien, dan menghilangkan keraguan yang ada.
10 3. Penilaian terhadap motivasi dan sumber daya penyuluh. Sasaran hasil kerja penyuluh harus bermanfaat bagi dirinya dan orang lain. Penyuluh harus menjaga supaya tidak emosional dalam membantu perubahan, perlu ada optimisme diantara mereka (penyuluh dan klien-nya), agar mampu berkomunikasi untuk menghindari keraguan. 4. Pemilihan sasaran tujuan penyuluhan. Penyuluh harus menyediakan beberapa ide, keputusan dan apa tujuan penyuluhan. Bagaimana cara mencapai tujuan tersebut, apa yang harus dilakukan terlebih dahulu. 5. Memilih peran bantuan yang cocok. Penyuluh harus membina hubungan dengan klien, pengenalan pengetahuan, menyediakan kekuatan dari dalam, menciptakan lingkungan khusus dan memberi dukungan selama proses perubahan. 6. Penetapan dan pemeliharaan hubungan dengan klien. Berperan dalam memberikan kebutuhan akan sanksi yang cocok, menjelaskan prospek perubahan dan mengatur intensitas dan mutu bantuan. 7. Mengenali dan membantu tahap perubahan. Tahap perencanaan penyuluhan; klien menemukan kebutuhan akan bantuan, penyuluh merangsang perubahan, memperkenalkan, menjelaskan masalah yang akan terjadi, menguji alternatif perubahan, membantu penguatan niat, dan membantu melepas keterikatan serta menjelaskan kelanjutan hubungan dengan masalah yang berbeda. 8. Memilih gaya dan teknik perilaku spesifik yang sesuai, dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan penyuluh akan berhadapan dengan suatu permintaan terus menerus untuk keputusan yang nyata. Apa yang ia akan lakukan dan apa yang ia akan katakan pada saat itu? Gunakan apapun sumberdaya yang dimiliki dan mempersiapkan diri menuju tahap berikutnya. Beberapa penyuluh sangat tergantung pada perilaku klien dan mereka memiliki kontribusi untuk membantu proses klien yang ingin maju. 9. Dukungan pengembanan profesional melalui penelitian dan pemahaman. Penyuluh yang profesional harus meningkatkan potensi dan kompetensi yang dimiliki agar bisa berkembang sehingga dia bisa berperan sebagai penolong bagi masyarakat. Keberhasilan pembangunan pertanian tidak terlepas dari peran penting penyuluh karena penyuluh merupakan pihak yang langsung berhubungan dengan pemberdayaan petani. Penyuluh harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan kondisi dan tantangan penyuluh saat ini agar dapat melaksanakan perannya dengan baik. Penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi akan mampu menunjukkan kinerja yang baik karena kompetensi merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh (Huda 2010) Menurut Marliati (2008), strategi peningkatan kinerja penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani adalah: 1. Meningkatkan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kinerja penyuluh dalam memberdayakan petani, yaitu dengan meningkatkan kompetensi penyuluh; dukungan positif sistem sosial dan akses petani terhadap pendidikan non formal. Kompetensi penyuluh yang ditingkatkan yaitu: komunikasi (efektifitas berkomunikasi, kemampuan menjalin relasi, menggunakan media komunikasi, dll.); mengorganisasikan kegiatan belajar petani (kemampuan memotivasi, mengelola kegiatan belajar, kemampuan menggunakan berbagai metode belajar, dan lain-lain) dan interaksi sosial (kemampuan untuk diterima
11 masyarakat, kemampuan mengatasi konflik, dll.). Karakteristik sistem sosial yang strategis untuk ditingkatkan adalah adalah: nilai-nilai sosial budaya; fasilitasi oleh lembaga pemerintah terkait agribisnis, akses terhadap kelembagaan agribisnis. 2. Meningkatkan kinerja penyuluh pertanian dengan meningkatkan kualitas kerja yang berkaitan dengan tugas utama penyuluh pertanian dalam memberdayakan petani yaitu: a) pengembangan perilaku inovatif, b) penguatan partisipasi petani, c) penguatan kelembagaan petani, d) penguatan akses terhadap berbagai sumberdaya, e) penguatan kemampuan petani berjaringan dan f) kaderisasi. Menurut Oladele (1991) diacu dalam Agbogidi (2009), peran penyuluh sangat penting bagi petani karena penyuluh berfungsi sebagai penghubung antara penelitian dan membawa informasi baru teknologi dari para peneliti. Penelitian dan penyuluhan merupakan upaya yang kompleks, beragam dan memperlihatkan bukti dari suatu daerah dan diperlukan untuk informasi teknis. Tantangan utama tenaga penyuluh kehutanan adalah adanya manajemen yang buruk pada pengelolaan sumber daya hutan, kurangnya tenaga professional dan kapasitas manajerial yang terbatas, jumlah penyuluh kehutanan tidak memadai dibandingkan dengan jumlah kebutuhan pendampingan oleh masyarakat dan wilayah kerja yang luas, selain itu penyuluh kehutanan juga tidak mendapatkan insentif yang cukup, kurang mendapatkan pelatihan yang memadai untuk peningkatan kapasitas dan minim sarana parasarana penyuluhan. Suprayitno (2008), menyampaikan bahwa penyuluh diharapkan mampu mengajak dan meningkatkan kemampuan masyarakat sekitar hutan agar mau dan mampu menganalisis kondisi dan potensi serta masalah-masalah kehutanan yang perlu diatasi menuju terciptanya hutan lestari. Masyarakat berperan serta dalam proses pengambilan keputusan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan sampai tahap penilaian kegiatan yang dikembangkan oleh dan untuk mereka. Partisipasi atau pelibatan masyarakat lokal ini merupakan inti proses pemberdayaan masyarakat, di mana pengalaman dan pengetahuan masyarakat dalam berinteraksi dengan hutan serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik merupakan dasar proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan masyarakat ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, mengoptimalkan sumber daya setempat sebaik mungkin, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Melalui proses pelibatan masyarakat lokal diharapkan akan dapat dikembangkan lebih jauh pola pikir masyarakat yang kritis dan sistematis. Hamzah (2011), menyampaikan bahwa penyelenggaraan penyuluhan pertanian dipengaruhi secara berturut-turut dari yang paling penting atau dominan dari faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh yaitu; 1) kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan, 2) intensitas pemanfaatan media-media penyuluhan, 3) persepsi posistif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, 4) intensitas pelatihan penyuluhan, dan 5) partisipasi aktif masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Robbins (1996), Schemerchon, et al. (1997), Werther dan Davis ( 1989), McEvoy dan Cascio (1989) dalam Suhanda et al. (2008), menjelaskan beberapa karakteristik individu seperti umur, jenis kelamin, masa kerja, pendidikan dan pelatihan memberikan kontribusi terhadap kinerja seseorang. Lebih lanjut
12 disampaikan bahwa berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan untuk mengetahui kinerja penyuluh PNS, diketahui bahwa karakteristik penyuluh yang paling erat hubungannya dengan kinerja adalah usia, masa kerja, institusi sekolah, pelatihan, motivasi berprestasi, kesempatan pengembangan karir, tingkat kewenangan dan tanggungjawab, makna pekerjaan, insentif, pembinaan dan supervisi serta kondisi kerja.
Pendampingan
Menurut Ariani dan Apsari (2011), terminologi pendampingan digunakan oleh banyak masyarakat di berbagai bidang, tidak terkecuali bidang pertanian, Berdasarkan penelitian tentang model pendampingan yaitu model pendampingan berbasis among, diketahui bahwa makna sesungguhnya pendampingan adalah panggulo wenthah (guru) bagi petani dengan ciri dasar pendampingan adalah momong, among dan ngemong. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan tidak dibenarkan adanya unsur paksaan, selalu menjaga batin peserta didik (petani). Penyuluhan tidak saja membangun intelektualitas dan ketrampilan petani namun membangun manusia dan sosial budaya (rural community). Pendampingan berbasis among merupakan wujud konkrit dari salah satu falsafah pendidikan Tut Wuri Handayani dari Ki Hajar Dewantoro, dengan pemahaman bahwa setiap manusia membawa kodrat alamnya masing-masing yang berarti setiap petani memiliki karakter masing-masing. Model pendampingan berbasis among merupakan pendekatan pembelajaran dengan konsep pemecahan masalah oleh individu petani. Skenario pendampingan berbasis among sebagai berikut: penyuluh menyiapkan dan menyediakan obyek pembelajaran, petani berinteraksi dengan obyek tersebut. Penyuluh melakukan monitoring ketika para petani sedang berinteraksi dengan obyek pembelajaran. Petani menemukan permasalahan dengan obyek pembelajaran/penyuluhan, melakukan fasilitasi untuk mengatasinya. Menurut Dephut (2004), upaya pemberdayaan masyarakat secara umum dapat diwujudkan dengan menerapkan prinsip-prinsip dasar pendampingan yaitu: 1. Belajar dari masyarakat; yang paling mendasar adalah pemberdayaan masyarakat merupakan proses yang berasal dari, oleh dan untuk masyarakat, pemberdayaan dibangun atas pengakuan serta kepercayaan akan nilai dan relevansi pengetahuan tradisional masyarakat serta kemampuannya untuk memecahkan masalahnya sendiri. 2. Pendamping sebagai fasilitator; masyarakat sebagai pelaku utama, peran penyuluh sebagai pendamping, penyuluh dan fasilitator bersikap rendah hati dan belajar dari masyarakat. 3. Belajar bersama dengan tukar pengalaman; memberikan pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan tradisional masyarakat, dan diperlukan adanya keterpaduan antara pengetahuan lokal dengan inovasi dari luar. 4. Mendahulukan kepentingan masyarakat setempat; fasilitator membantu memahami kebutuhan dan membesarkan harapan masyarakat dan menentukan kegiatan yang paling mendasar dan prioritas bagi masyarakat.
13 5. Membangkitkan kepercayaan diri; fasilitator harus mampu untuk membangkitkan percaya diri masyarakat, mengidentifikasi kebutuhan, mengidentifikasi nilai-nilai positif yang ada di masyarakat, dan melakukan pendampingan yang terus menerus. 6. Berorientasi pada proses; fasilitator memberdayakan masyarakat berorientasi pada proses walaupun membutuhkan waktu lama. Karsidi (2007), menyampaikan bahwa salah satu prinsip pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adalah pengakuan akan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat. Hal ini bukanlah berarti bahwa masyarakat selamanya benar dan harus dibiarkan tidak berubah. Kenyataan obyektif telah membuktikan bahwa dalam banyak hal perkembangan pengalaman dan pengetahuan lokal masyarakat tidak mampu mengejar perubahan dan dapat memecahkan masalah dan sebaliknya pengetahuan dan inovasi yang diperkenalkan dari luar juga belum tentu mampu menyelesaikan masalah mereka, oleh karena itu antara pengetahuan lokal dan inovasi dari luar harus dipilih secara arif sehingga mampu saling melengkapi satu sama lainnya. Menurut Mardikanto (1993), pendampingan dalam pemberdayaan” tidak sekedar memberitahu atau ”menerangkan,” akan tetapi tujuan yang sebenarnya adalah proses aktif yang memerlukan interaksi antara pendamping dan yang disuluh (klien) agar terbangun proses perubahan “perilaku” (behaviour) yang merupakan perwujudan dari: pengetahuan, sikap, dan keterampilan seseorang yang dapat diamati oleh orang/pihak lain, baik secara langsung (berupa: ucapan, tindakan, bahasa-tubuh, dll) maupun tidak langsung (melalui kinerja dan atau hasil kerjanya). Penyuluhan pertanian dilakukan dengan pendampingan partisipatif, melalui penyuluhan pertanian partisipatif petani tidak dibiarkan sendirian dalam mengakses informasi, menganalisis situasi yang sedang mereka hadapi dan menemukan masalah-masalah, melakukan perkiraan ke depan, melihat peluang dan tantangan. Penyuluhan partisipatif juga mampu meningkatkan pengetahuan dan meningkatkan wawasan, menyusun kerangka pemikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, menyusun berbagai alternatif pemecahan masalah, memutuskan tindakan pemecahan masalah yang mereka hadapi, menggalang dana secara swadaya, melakukan monitoring dan evaluasi, dan melakukan proses pertukaran informasi. Pelaksanaan penyuluhan pendampingan partisipatif memerlukan sosok penyuluh yang: 1) bisa menjadi mitra yang akrab bagi petani, 2) mampu memfasilitasi dan menggugah proses berfikir petani, 3) selalu bersama petani, 4) menghargai petani dengan meng”orang”kan-nya, 5) tidak menonjolkan diri, 6) selalu menjalin kerjasama dengan petani, 7) selalu mengembangkan dialog horizontal dengan petani (komunikasi dialogis) bukan komunikasi yang searah sebagai bawahan-atasan atau guru-murid (komunikasi monologis), dan 8) tidak menggurui petani (Padmowiharjo 2006). Menurut Asngari (2007), pendamping “sebagai agen pembaharuan dapat berperan sebagai juru penerang (pemberi informasi), guru, penasihat, pembimbing, konsultan dan pengarah dalam kaitan dengan bisnis klien baik bisnis on farm maupun bisnis off farm serta wawasan pembaharuan dan modernisasi. Lebih lanjut tentang falsafah pentingnya individu, Asngari menjelaskan bahwa
14 sebagai “agen pembaharuan, seorang pendamping harus menempatkan SDM-klien sebagai pemain atau aktor/aktris yang aktif bagi pengembangan dan perkembangan dirinya sendiri. Demikian juga dalam falsafah kerjasama. Antara agen pembaharuan/pendampingan dan sumberdaya klien harus terjalin kerjasama dalam kegiatan pendampingan.” Menurut Setiawan (2008), pendamping dituntut untuk memiliki kualitas pribadi yang baik yang dapat diperoleh dari pelatihan, pengalaman dan praktek terhadap kegiatan. Ciri-ciri kualitas pendamping yang baik antara lain: kematangan pribadi, kreatifitas, pengamatan diri, keinginan untuk menolong, keberanian dan kepekaan. Kunci untuk mencapai efektifitas pendampingan terletak pada kemampuan pendamping dalam menganalisis dan menetapkan prioritas kebutuhan. Kegiatan pokok yang dilakukan pendamping untuk mencapai tujuan pendampingan adalah: 1. Pengumpulan fakta, mengupayakan diperolehnya kenyataan yang memadai untuk perencanaan dan kegiatan yang baik. 2. Pengembangan program, yaitu merintis, mengembangkan, menyempurnakan dan mengakhiri program. 3. Standarisasi, yaitu menentukan, memelihara, dan meningkatkan standart serta meningkatkan keefektifan, efisiensi dan dan keharmonisan pelaksanaan kegiatan kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, bagian dari masyarakat dan penduduk lainnya. 4. Koordinasi, yaitu meningkatkan dan memperlancar hubungan dan kerjasama antar perseorangan, organisasi maupun kelompok. 5. Pendidikan dan pelatihan, yaitu melaksanakan pelatihan yang menunjang kegiatan. 6. Hubungan masyarakat, yaitu mengembangkan pemahaman yang lebih baik kepada masyarakat. 7. Peningkatan tujuan program, yaitu meningkatkan dan mengupayakan agar tujuan khusus yang akan dicapai disepakati bersama. 8. Partisipasi, mengerahkan dan memelihara keikutsertaan secara aktif dari masyarakat. 9. Pemberian dukungan, mengembangkan dan mengupayakan kelangsungan dukungan keuangan secara memadai. Menurut Hakim (2008), program kegiatan dengan pendekatan dari atas ke bawah telah menunjukkan kekurangberhasilan dan kurang memberikan manfaat kepada masyarakat, oleh karena itu perlu dilakukan pendekatan yang bersifat memberdayakan masyarakat dengan mempergunakan pengalaman dan pengetahuan serta kemauan mereka untuk menjadi lebih baik. Faktor ini bertujuan untuk memandirikan masyarakat agar dapat meningkatkan taraf hidupnya, menggunakan dan mengakses sumberdaya setempat sebaik mungkin, baik sumberdaya alam maupun sumber daya manusia. Mendukung keberhasilan tersebut dilakukan pendampingan kepada masyarakat yang bertujuan menggerakkan masyarakat dalam berinisiatif dan beraktivitas bagi dirinya. Konsep pendampingan masyarakat secara substansial merupakan suatu interaksi yang terus menerus antara pendamping dengan masyarakat hingga terjadi proses perubahan kreatif yang diprakarsai oleh masyarakat yang sadar diri dan terdidik.
15 Purwatiningsih et al. (2004), menyatakan bahwa dalam pembangunan masyarakat pedesaan, peran pendampingan menjadi faktor penentu, karena masyarakat memerlukan dorongan psikologis dalam kegiatan mereka, oleh karena itu pemerintah harus konsisten menyediakan tenaga fasilitator pada masingmasing wilayah. Masyarakat sebagai pelaku utama dalam kegiatan, dituntut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan tersebut, apabila masyarakat berpartisipasi aktif, maka diharapkan pada kegiatan selanjutnya dapat berkembang atas kemauan dan kemampuan mereka sendiri.
Peran PKSM
Menurut Undang Undang Nomor 16/2006, kegiatan penyuluhan kehutanan dilakukan oleh penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS), penyuluh swasta dan/atau penyuluh swadaya. Pengangkatan dan penempatan penyuluh PNS disesuaikan dengan kebutuhan dan formasi yang tersedia berdasarkan peraturan perundangundangan. Keberadaan penyuluh swasta dan penyuluh swadaya bersifat mandiri untuk pemenuhan kebutuhan pelaku utama dan pelaku usaha. Penyuluh swasta dan penyuluh swadaya dalam melaksanakan penyuluhan kepada pelaku utama dan pelaku usaha dapat berkoordinasi dengan penyuluh PNS. Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan, sedangkan penyuluh swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Menurut Kemenhut (2010), tenaga penyuluh kehutanan Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia tahun 2010 berjumlah 4.033 orang yang terdiri dari 3.931 orang penyuluh yang ada di Propinsi/Kabupaten/Kota dan 102 orang yang ada di Unit Pelaksana Tehnis (UPT) Kementerian Kehutanan. Jumlah ini masih kurang dibandingkan dengan jumlah luas wilayah binaan Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Kehutanan (BP2SDMK), Kementerian Kehutanan yang meliputi seluruh wilayah Indonesia. Kajian kebutuhan penyuluh kehutanan yang dilakukan oleh kementerian kehutanan, untuk seluruh Indonesia dibutuhkan sebanyak 21.000 orang dan saat ini baru bisa terpenuhi sebesar 18.5% dari kebutuhan tersebut. Salah satu terobosan untuk mengatasi kekurangan tenaga penyuluh tersebut adalah dengan membina dan bekerjasama dengan penyuluh swadaya sehingga penyelenggaraan penyuluhan dan upaya pendampingan terus menerus kepada masyarakat dapat berjalan dengan lancar. Menurut Sumardjo (2008) penyuluh adalah perorangan yang melakukan penyuluhan. Seorang penyuluh harus memiliki kompetensi dalam bidang penyuluhan baik itu yang disebut penyuluh PNS, penyuluh swasta maupun penyuluh swadaya. Ada 5 (lima) kompetensi yang penyuluh menurut Spencer dan Spencer, Mitrani et al. yang diacu dalam Sumardjo yaitu: 1. Motives (dorongan) adalah sesuatu di mana seseorang secara konsisten berpikir sehingga ia melakukan tindakan.
16 2. Traits (sifat bawaan) adalah karakter atau kepribadian yang membuat seseorang berprilaku tertentu dalam merespon sesuatu dengan cara tertentu. 3. Self concept (konsep diri) adalah sikap dan nilai yang dimiliki seseorang. 4. Knowledge (pengetahuan) adalah informasi yang dimiliki oleh seseorang untuk bidang tertentu. 5. Skills (keterampilan) adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas baik secara fisik mamupun mental. Dephut (2009), mendefinisikan penyuluh swadaya dengan istilah Penyuluh Kehutanan Swadaya Masyarakat (PKSM) sebagai tokoh masyarakat yang secara mandiri mau dan mampu melaksanakan penyuluhan kehutanan, berdasarkan hal tersebut PKSM dikategorikan sebagai individu yang: 1. Melakukan upaya nyata dibidang kehutanan (rehabilitasi, konservasi, pengamanan dan perlindungan hutan) secara swadaya. 2. Sukarela dan memiliki semangat untuk mengajak atau menularkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya kepada anggota masyarakat lainnya. 3. Memiliki pengetahuan dan keterampilan yang ditiru dan diteladani oleh masyarakat. 4. Mendapat pengakuan dari masyarakat sekitar bahwa yang bersangkutan memiliki kemampuan sebagai penyuluh swadaya. PKSM melakukan pemberdayaan masyarakat secara mandiri (perorangan) dan bersama-sama (kelompok), PKSM perorangan biasanya berasal dari kelompok masyarakat yang melaksanakan kegiatan kehutanan, bisa berupa Kader Konservasi Alam (KKA), Kader Usaha Tani Menetap (KANITAP), Kelompok pecinta Alam (KPA), Kelompok Tani Hutan (KTH) sukarelawan, Pramuka dan sebagainya. Sedangkan kelembagaannya bisa berasal dari LSM, Karang Taruna, Remaja Masjid, Remaja Gereja, Majelis Taklim, Lembaga Pendidikan dan sebagainya. Penetapan PKSM adalah berdasarkan usulan dari masyarakat dan rekomendasi penyuluh kehutanan, kemudian dinas kehutanan/instansi yang memiliki tugas dan fungsi bidang penyuluhan mempersiapkan penetapan anggota masyarakat tersebut sebagai PKSM. Penetapan ini bisa melalui surat keputusan Bupati/Walikota, Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K). Pengakuan PKSM bisa berupa surat keputusan, piagam dan kartu/PIN tanda PKSM. Pendamping PKSM adalah penyuluh kehutanan di wilayah kerja PKSM sehingga penyuluh tersebut perlu dipersiapkan agar menjadi pendamping dan mitra yang memiliki wawasan pengetahuan dan keterampilan bidang kelembagaan, pemberdayaan masyarakat, pengelolaan usaha dan kemitraan kegiatan kehutanan, menjalin hubungan kerjasama dan komunikasi dengan berbagai pihak, memiliki tanggung jawab menyelesaikan kesepakatan yang tidak dibuat bersama PKSM, dan mempunyai program pendampingan yang berkelanjutan. Setiawan et al. (2009), koordinasi peran yang dilakukan oleh penyuluh pemerintah dan penyuluh swasta hanya kuat dan berjalan dengan penyuluh swadaya (kelompok tani). Sedangkan koordinasi dengan yang lainnya tidak berjalan, baik penyuluh pemerintah dengan penyuluh lainnya maupun penyuluh lainnya dengan penyuluh pemerintah. Peran penyuluh pertanian telah bergeser dari sekedar agen perubahan, pembina, instruktur dan pengajar menjadi fasilitator,
17 dinamisator, motivator, stimulator, inisiator, mediator dan inovator, oleh karena itu penyuluh sebagai pendamping masyarakat harus menguasai materi dan keterampilan (profesional skills) sesuai dengan bidang keahlian, mampu selalu beradaptasi dengan teknologi baru. Kenyataan di lapangan adalah peran penyuluh pertanian baik penyuluh pemerintah, swasta dan swadaya dalam pembangunan pertanian dan pemberdayaan petani di pedesaan masih menampilkan kinerja yang lemah. Artinya, transformasi peran penyuluh dari agen perubah perilaku ke fasilitator, motivator, inisiator, mediator dan inovator belum berjalan efektif. Kegiatankegiatannya pun masih tergantung pada pemerintah atau perusahaan yang sedang promosi. Lemahnya peran penyuluh pemerintah akibat dari: 1) petani semakin mandiri dalam mencari dan menemukan informasi yang dibutuhkannya dan 2) petani memiliki sumber informasi yang lebih baik pelayanannya daripada para penyuluh. Dephut (2009), pemberdayaan yang diberikan kepada PKSM adalah dalam rangka meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian PKSM agar mampu dan memiliki kapasitas untuk memecahkan sendiri masalah yang mereka hadapi. Partisipasi PKSM adalah mampu berperan lebih luas dan secara penuh dari setiap langkah dan tindakan dalam setiap pengambilan keputusan, sedangkan kemandirian dapat diartikan bahwa mandiri secara ekonomi (mampu bertahan dalam kondisi apapun), mandiri secara intelektual (mampu memahami dan menerapkan pola pikir sebab akibat untuk memecahkan permasalahan hidup) serta mandiri manajemen (mampu mengelola kelembagaan tingkat lokal yang terbentuk mulai dari oleh dan untuk masyarakat dalam rangka membangun masyarakat itu sendiri). PKSM diberdayakan dengan: 1) memberi kesempatan sebagai narasumber dalam sarasehan atau seminar dan sebagai pengajar tamu dalam pelatihan masyarakat, 2) pemberian alat bantu atau alat peraga penyuluhan seperti bibit tanaman dan sejenisnya, 3) pelaksanaan pelatihan-pelatihan atau kegiatankegiatan usaha produktif, 4) pemberian modal usaha bergulir dan kemitraan usaha. Keberhasilan dari peran PKSM sebagai pendamping masyarakat dapat diketahui dengan melakukan monitoring dan evaluasi peran dan aktifitas PKSM. Monitoring diarahkan pada cara penyampaian materi penyuluhan kepada masyarakat, peran PKSM sebagai pelaku dan penggerak masyarakat dan keaktifan membangun kemitraan dengan berbagai pihak. Evaluasi diarahkan pada masyarakat sekitar apakah sudah tau dan mengerti tentang program pembangunan hutan dan kehutanan, masyarakat sekitar melaksanakan kegiatan yang dilakukan oleh PKSM dan masyarakat mengakui manfaat PKSM dalam membantu usahausaha yang produktif dalam kegiatan kehutanan. Pemberdayaan yang dilakukan oleh PKSM kepada masyarakat meliputi: 1) pemberdayaan masyarakat di bidang ekonomi dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sosial ekonomi, 2) pemberdayaan masyarakat di bidang sosial budaya dengan tujuan untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap sistem nilai sosial budaya sebagai alat kontrol sikap dan perilaku dalam kehidupan bersama, 3) pemberdayaan masyarakat di bidang politik bertujuan untuk meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hakikat demokrasi, 4)
18 pemberdayaan masyarakat di bidang lingkungan dengan tujuan untuk meningkatkan akses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya alam dan melestarikan lingkungan hidup. PKSM mempunyai peran penting dan strategis dalam mendukung keberhasilan pembangunan kehutanan, dan juga merupakan investasi penting untuk membantu mengamankan, melestarikan sumberdaya hutan sebagai aset negara sekaligus sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyuluh swadaya diarahkan kepada tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh kuat dan mau diikuti oleh masyarakat lain. Tokoh masyarakat ini dapat berperan sebagai fasilitator/komunikator, stimulator, motivator atau pendorong. Peran sebagai fasilitator adalah memfasilitasi atau menyamakan keinginan masyarakat setempat, pihak pemerintah dan swasta serta menjadi juru bicara atau wakil masyarakat dalam menyampaikan keinginan kepada pemerintah, demikian juga sebaliknya. Peran sebagai stimulator adalah menggerakkan dengan memberikan rangsangan berupa contoh nyata keberhasilan kepada masyarakat sasaran. Peran sebagai motivator adalah menjadi pendorong bagi masyarakatnya dalam mengelola hutan agar tidak merusak, dan mendorong pemerintah agar memperhatikan kemauan atau kepentingan rakyat (Sumarlan 2004). Dukungan tokoh masyarakat (Kepala Suku, Pendeta, Guru, dan Penyuluh Kehutanan) sebagai pemimpin informal, akan memudahkan penyampaian informasi tentang suatu program pembangunan yang ditawarkan oleh pemerintah. Tokoh masyarakat memiliki kekuasaan karena posisinya dan dianggap mampu dapat memecahkan masalah yang dihadapi oleh anggota masyarakatnya. Menurut Ginting (1999), peran dari pemimpin informal yang berpengaruh langsung adalah: 1) menyadarkan pengikut akan masalah, 2) memberi informasi, 3) memotivasi pengikut, 4) membina kerjasama, 5) memberi ganjaran/sanksi, dan 6) menghubungkan kelompok/komunitasnya ke luar. Indraningsih et al, (2010), menyampaikan bahwa selama ini setiap ada proyek/program pemerintah, penyuluh selalu bekerjasama dengan kelompok tani. Interaksi yang tergolong sering dilakukan dengan pengurus kelompok tani terutama ketua kelompok tani, implikasinya adalah bahwa ketua kelompok tani ini dapat dikategorikan sebagai penyuluh swadaya. Selanjutnya Indraningsih juga menyampaikan bahwa keberadaan penyuluh swadaya memberikan beberapa keuntungan. antara lain: 1. Melibatkan dan memberdayakan penyuluh swadaya, maka target Kementerian Pertanian maupun kementerian kehutanan untuk menempatkan satu orang penyuluh dalam satu desa dapat tercapai. 2. Pelaksanaan kegiatan penyuluhan, penyuluh swadaya dapat bekerjasama dengan penyuluh PNS atau THL-TBPP. Kerjasama ini akan menguntungkan dari sisi penyusunan program penyuluhan pertanian melalui pendekatan perencanaan bersama atau join planning/participatory planning, yakni kepentingan pemerintah pusat yang berupa kebijakan bersifat top-down dipadukan dengan kebutuhan petani yang bersifat bottom-up. 3. Keterlibatkan penyuluh swadaya sebagai pendamping penyuluh PNS dalam menyusun perencanaan program penyuluhan akan berdampak pada penerimaan program dan dukungan terhadap pelaksanaan program penyuluhan pertanian.
19 4. Keuntungan lain jika menempatkan ketua kelompok tani sebagai penyuluh swadaya adalah akan terjalin komunikasi yang efektif dengan petani yang dibina. Disampaikan pula bahwa peran penyuluh pertanian PNS atau THL-TBPP baru dirasakan oleh petani yang terlibat dalam program pemerintah (terutama pengurus kelompok tani). Curahan waktu penyuluh lebih banyak untuk kegiatan yang bersifat administratif dibanding penyuluhan, serta beban wilayah binaan mencapai 3-6 desa, penyuluh swadaya dalam mengemban tugas melakukan penyuluhan bekerjasama dengan penyuluh pertanian PNS. Artinya bahwa penyuluh swadaya yang berada di lokasi binaan penyuluh PNS tersebut lebih banyak berperan dalam melakukan kegiatan penyuluhan dibandingkan dengan penyuluh PNS itu sendiri. Didukung oleh Pescosolido (2001), yang menyampaikan bahwa pemimpin informal (ketua kelompok) berpengaruh sangat kuat terhadap keberhasilan kelompok secara keseluruhan mulai dari awal pembentukan kelompok sampai dengan proses berjalannya kelompok, seorang ketua kelompok harus mampu mengartikulasikan berbagai kekuatan dan kelemahan kelompok sehingga bisa memberikan kontribusi terhadap keberhasilan kelompok. Kondisi yang ditemukan oleh Setiawan et al. (2009) di lapangan, penyuluh pemerintah lebih dikenal dan diakui oleh masyarakat, daripada penyuluh swadaya meskipun perannya masih belum bergeser dari agen perekayasa (change agent), perpanjangan tangan pemerintah atau swasta, difusi informasi dan teknologi budidaya modern (transfer of technology), ke arah fasilitasi, mediasi, inisiasi dan demokratisasi. Kondisi serupa juga disampaikan oleh Indraningsih et al. (2010), keberadaan penyuluh swadaya di tingkat petani perlu disosialisasikan, agar masyarakat tahu bahwa selain penyuluh pertanian PNS, terdapat pula penyuluh swasta dan penyuluh swadaya (dapat berasal dari kalangan petani), sosialisasi ini perlu dilakukan karena selama ini yang dikenal masyarakat petani secara luas adalah penyuluh dari pemerintah atau penyuluh pertanian PNS. Dukungan pemerintah daerah setempat dalam memberikan reward kepada para penyuluh swadaya sangat diperlukan berupa surat penunjukkan tertulis (sebagai bentuk penghargaan) dan insentif atau honorarium.
Peran dan Fungsi Kelompok
Menurut Johnson & Johnson (1987) yang diacu dalam Sarwono (2005), sedikitnya ada tujuh jenis definisi kelompok berdasarkan keragaman kelompok yaitu: 1) kumpulan individu yang saling berinteraksi, 2) kelompok merupakan satuan (unit) sosial yang terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat diri mereka sebagai bagian dari kelompok itu, 3) sekumpulan individu yang saling tergantung, 4) kumpulan individu yang bersama-sama bergabung untuk mencapai satu tujuan, 5) kumpulan individu yang mencoba untuk memenuhi beberapa kebutuhan melalui penggabungan diri mereka (joint association), 6) kumpulan individu yang
20 interaksinya diatur (distrukturkan) oleh atau dengan seperangkat peran dan norma, dan 7) kumpulan individu yang saling mempengaruhi. Walgito (2006), menyampaikan alasan atau motivasi seseorang masuk dalam kelompok, yaitu: 1. Seseorang masuk dalam satu kelompok pada umumnya ingin mencapai tujuan secara individu tidak dapat atau sulit dicapai. 2. Kelompok dapat memberikan, baik kebutuhan fisiologis (walaupun tidak langsung) maupun kebutuhan psikologis. Seseorang masuk dalam kelompok koperasi dengan maksud memperoleh keuntungan finansial yang dapat membantu mencukupi kebutuhan ekonomi yang akhirnya berkaitan dengan kebutunan fisologis. 3. Kelompok dapat mendorong pengembangan konsep dan mengembangkan harga diri seseorang. 4. Kelompok dapat pula memberikan pengetahuan dan informasi. 5. Kelompok dapat memberikan keuntungan ekonomis. Kartono (1992), menyatakan bahwa dalam kelompok terdapat individuindividu yang bersifat dinamis karena saling mempengaruhi dan saling mendorong, dan ciri-ciri individu didalam kelompok adalah: 1) bersifat dinamis selalu bergerak dan berubah, beranekaragam geraknya dan tidak bisa diduga dengan tepat, 2) mempunyai potensi, kesanggupan, dan kemungkinan untuk melakukan bermacam-macam aksi, 3) menanggapi orang lain sebagai mahluk sejenis, sesama mahluk hidup dan sebagai subjek yang sederajat dan 4) interaksi dan partisipasi anggota terjadi secara intens dan norma-norma kelompok semakin jelas. Dephut (2004), kelembagaan masyarakat baik kelompok maupun perorangan merupakan salah satu kunci yang menentukan keberhasilan penyuluhan kehutanan, tanpa adanya kelembagaan masyarakat yang kuat maka peningkatan kapasitas dan kemandirian dalam pemberdayaan masyarakat tidak akan tercapai. Dasar pertimbangan terbentuknya kelembagaan masyarakat adalah kesepakatan bersama yang tumbuh dari masyarakat sendiri, misalnya kelompok masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya dengan kegiatan usaha berbasis pembangunan kehutanan. Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan dilaksanakan melalui penguatan kelembagaan masyarakat yaitu dengan terbentuknya kelompok masyarakat yang mendukung pembangunan kehutanan (aspek sosial, ekonomi dan lingkungan), kelompok memiliki organisasi dan aturan yang mendukung pembangunan kehutanan, kelompok diakui masyarakat, isntitusi lokal dan pemerintah setempat. Pemberdayaan juga dilakukan melalui Kelompok Usaha produktif (KUP) dimana kelompok mengembangkan usaha-usaha produktif (sosial, ekonomi, dan lingkungan), memberikan akses kepada anggota kelompok dan masyarakat, menjalin kemitraan dengan institusi lokal dan dunia usaha. Utama et al. (2010), menyampaikan bahwa salah satu pendekatan pemberdayaan terhadap masyarakat sekitar hutan yang efektif adalah melalui bentuk pemberdayaan kelompok. Pendekatan kelompok ini mempunyai kelebihan karena proses penyadaran terhadap masyarakat menjadi lebih cepat, daya jangkauan informasi terhadap masyarakat menjadi lebih luas, lebih sesuai dengan budaya masyarakat pedesaan yang komunal.
21 Hubeis et al. (1992), menekankan bahwa penyuluhan pembangunan yang ditujukan lewat media komunikasi kelompok akan dapat mempercepat proses penyadaran masyarakat tentang beragam proses pembangunan. Menurut Torres dalam Wong (1977) yang diacu Mardikanto (1996), beberapa keuntungan dari pembentukan kelompok tani antara lain: 1) semakin eratnya interaksi dalam kelompok dan semakin terbinanya kepemimpinan kelompok, 2) semakin terarahnya peningkatan secara cepat tentang jiwa kerjasama antara petani, 3) semakin cepatnya proses perembesan (difusi) penerapan inovasi, 4) semakin naiknya kemampuan rata-rata pengembalian hutan petani, 5) semakin meningkatnya orientasi pasar baik yang berkaitan dengan masukan maupun produk yang dihasilkan, dan 6) semakin dapat membantu efisiensi pembagian air irigasi serta pengawasan oleh petani sendiri. Menurut Soedijanto (1981), terdapat enam karakterisitik dasar dalam kelompok tani, yaitu: 1. Kelompok tani terdiri dari individu petani, yaitu orang yang matapencaharian (curahan waktu kerjanya) sebagian besar atau seluruhnya diperoleh dari usahatani/pembudidayaan/peternak, baik sebagai pemilik pengusaha/ pengelola maupun penggarap. 2. Setiap individu anggota kelompok petani melakukan interaksi satu sama lain dengan struktur (pengorganisasian peranan, norma dan kedudukan) tertentu dan antar mereka memiliki saling ketergantungan, 3. Anggota kelompok berpartisipasi terus menerus secara interaktif, misalnya berpartisipasi untuk mempertahankan kehidupan dan keberlanjutan kelompok, 4. Kelompok harus mandiri dalam pengambilan keputusan untuk dapat mengatur dan mengarahkan diri sendiri dalam upaya memenuhi kebutuhan anggota maupun mencapai tujuan bersama kelompok. 5. Setiap kelompok memiliki selektivitas (bersifat selektif), artinya ada kesadaran pada anggota kelompok dalam menyeleksi keanggotaan kelompoknya, tujuan atau kegiatannya, dan 6. Setiap kelompok memiliki karakteristik keragaman yang terbatas. Deptan (2007), mendefinisikan kelompok sebagai bagian dari kelompok sosial yang lebih luas (masyarakat) memiliki pengertian sebagai kumpulan orangorang atau individu-individu yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan, kesamaan kondisi lingkungan (sosial, ekonomi, sumberdaya) dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan kegiatan usaha anggota. Pengertian ini memberikan ciri-ciri pada sebuah kelompok, yaitu: 1) saling mengenal, akrab dan saling percaya diantara sesama anggota, 2) mempunyai pandangan dan kepentingan yang sama dalam berusaha, 3) memiliki kesamaan dan tradisi dan atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi maupun sosial, bahasa, pendidikan dan ekologi, serta 4) ada pembagian tugas dan tanggungjawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama. Selanjutnya disampaikan ada tiga fungsi yang harus diemban oleh kelompok yaitu: 1. Kelas Belajar; Kelompoktani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggotanya guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap (PKS) serta tumbuh dan berkembangnya kemandirian dalam berusaha tani sehingga produktivitasnya meningkat, pendapatannya bertambah serta kehidupan yang lebih sejahtera.
22 2. Wahana Kerjasama; Kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama diantara sesama petani dalam kelompoktani dan antar kelompoktani serta dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha taninya akan lebih efisien serta lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. 3. Unit Produksi; Usahatani yang dilaksanakan oleh masing masing anggota kelompoktani, secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi, baik dipandang dari segi kuantitas, kualitas maupun kontinuitas. Pembinaan kelompoktani diarahkan pada penerapan system agribisnis, peningkatan peranan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan, peran serta petani dan anggota masyarakat pedesaan lainnya, dengan menumbuhkembangkan kerja sama antar petani dan pihak lainnya yang terkait untuk mengembangkan usahataninya, selain itu pembinaan kelompoktani diharapkan dapat membantu menggali potensi, memecahkan masalah usahatani anggotanya secara lebih efektif, dan memudahkan dalam mengakses informasi, pasar, teknologi, permodalan dan sumber daya lainnya.
Partisipasi
Menurut Purnawan dan Widayati (2005) yang diacu dalam Setyowati (2010), partisipasi berasal dari kata “participation”(Bahasa Inggris), “Participo, participatium” yang berarti ambil bagian, dari “pars” yang berarti bagian dan “capio” yang berarti saya mengambil (latin). Partisipasi juga berarti pengambilan bagian atau pengikutsertaan, kalau diartikan dalam masyarakat berarti pengambilan bagian oleh masyarakat atau pengikutsertaan oleh masyarakat dalam suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan (pedesaaan) ini merupakan aktualisasi dari kesediaan dan kemampuan anggota masyarakat untuk berkorban dan berkontribusi dalam implementasi program/proyek yang dilaksanakan. Hal tersebut sejalan dengan perubahan paradigma yang terjadi dalam pembangunan dari paradigma klasik (top-down) menjadi bottom-up yang menuntut peran serta masyarakat atau partisipasi yang lebih besar dari masyarakat. Masyarakat sebagai pelaku utama dituntut mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan dan keberlanjutan kegiatan, apabila masyarakat berpartisipasi aktif, maka diharapkan pada kegiatan selanjutnya dapat berkembang atas kemauan dan kemampuan mereka sendiri. Dua prinsip inilah yang menjadi inti dari konsep pemberdayaan masyarakat, yaitu partisipatif dan kemandirian (Elida 2008) Menurut Slamet (1992), partisipasi masyarakat dalam pembangunan bukan berarti pengerahan tenaga masyarakat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran masyarakat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, sehingga usaha menumbuhkan dan mengembangkan partisipasi masyarakat menempati posisi yang sangat penting dalam seluruh proses pembangunan dalam arti luas. Penyuluh
23 pertanian diarahkan untuk mengubah persepsi dan perilaku petani. Petani diarahkan untuk mencapai hasil seperti peningkatan pengetahuan dan keterampilan, efisiensi manajemen usahatani dan mekanisme kerja yang mendorong partisipasi aktif petani (Asean Productivity Organization, 1994 yang diacu dalam Herawati dan Pulungan 2006). Pembangunan yang partisipatif merupakan proses yang melibatkan masyarakat secara aktif dalam seluruh keputusan yang substansial yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat di pedesaan. Secara umum partisipasi masyarakat akan memberikan keuntungan antara lain adalah program yang dijalankan akan lebih bisa diterima dan direspon dengan baik, lebih efisien karena membantu mengidentifikasi strategi dan teknik yang tepat, meringankan beban dana, tenaga serta material (Rayuddin 2010). Kesempatan, kompetensi dan keinginan petani atau masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan pedesaan sangat rendah karena disebabkan adanya hambatan sistem sosial dari kelompok elit di wilayah pedesaan, pengaruh ketergantungan terhadap realisasi program pemerintah dan tingkat mobilisasi sosial yang familiar dalam masyarakat. Menurut Rahardjo (1996) yang diacu dalam Mardijono (2008), partisipasi diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan baik dalam bentuk pernyataan maupun kegiatan, partisipasi merupakan keikutsertaan masyarakat dalam program-program pembangunan. Pada dasarnya partisipasi dibedakan menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat dimobilisasikan, partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertakan dan peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertakan dan berperanserta atas dasar pengaruh orang lain. Menurut Pretty et al. (1995), ada 7 tipologi partisipasi yaitu: 1. Partisipasi pasif, yaitu partisipasi setelah diminta/diundang, misalnya datang menghadiri peresmian proyek. 2. Partisipasi dalam pemberian informasi, yaitu partisipasi dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan, misalnya oleh petani. 3. Partisipasi konsultasi yaitu partisipasi dengan hadir diajak untuk berkonsultasi. 4. Partisipasi dengan pemberian material, yaitu partisipasi dengan memberikan tenaga. 5. Partisipasi fungsional yaitu partisipasi dengan berkelompok untuk mencapai sasaran yang sudah ditetapkan (tetapi tidak terlibat dalam tahap awal). 6. Partisipasi interaktif yaitu berpartisipasi secara interaktif, analisa bersama sudah ada. 7. Mobilisasi swakarsa, yaitu partisipasi dengan mobilisasi pribadi, mengambil inisiatif secara independen untuk merubah sistem/lingkungan menjadi lebih baik. Menurut Johnston 1982; Hussein 2000; Arnstein 1969 yang diacu dalam Ikbal (2007), tingkat partisipasi dapat dikategorikan atas pertanggungjawabannya, esensi kedalaman, tujuan, dan implementasinya. Partisipasi berdasarkan pertanggungjawaban adalah partisipasi berdasarkan pesanan atau tekanan, partisipasi sukarela, partisipasi inisiatif dan partisipasi kreativitas. Partisipasi berdasarkan tingkat kedalaman adalah membedakan partisipasi menjadi partisipasi bersifat dangkal dan partisipasi mendalam. Perbedaan antara keduanya antara lain terletak pada esensi, kegiatan, dan tujuannya. Secara empiris,
24 proses partisipasi dari yang bersifat dangkal sampai yang mendalam dimulai dari penggalian informasi secara kualitatif dan semi-terstruktur (konsultatif), diikuti oleh proses pengambilan keputusan dalam menentukan kriteria indikator-indikator kunci untuk kalangan profesional, dan diakhiri dengan penentuan indikatorindikator yang terkait dengan implementasi suatu kegiatan. Partisipasi masyarakat berdasarkan implementasi program yaitu memuat delapan tingkat yaitu penanganan, terapi (non-partisipasi), informasi (partisipasi dorongan-tokenism), konsultasi, konsiliasi, kemitraan, (partisipasi berdasarkan kekuatan warga), pendelegasian kekuatan (masyarakat-power of citizen) dan pengawasan oleh masyarakat. Cohen dan Uphoff (1977) yang diacu dalam Ndraha (1987), membedakan partisipasi dalam proses pembangunan atas: 1) partisipasi pada tahap perencanaan, 2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, 3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan 4) partisipasi pada tahap penilaian hasil pembangunan. Partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dapat dipilahkan sebagai berikut: 1) partisipasi dalam/melalui kontak dengan pihak lain (contact change) sebagai titik awal perubahan sosial, 2) partisipasi dalam memperhatikan/menyerap dan memberi tanggungan terhadap informasi, baik dalam arti menerima (mentaati, memenuhi dan melaksanakan), mengiakan, menerima dengan syarat, maupun dalam arti menolaknya, 3) partisipasi dalam perencanaan termasuk pengambilan keputusan, 4) partisipasi dalam pelaksanaan operasional, 5) partisipasi dalam menerima, memelihara, dan mengembangkan hasil pembangunan, dan 6) partisipasi dalam menilai pembangunan yaitu keterlibatan masyarakat dalam menilai tingkat pelaksanaan pembangunan sesuai dengan rencana dan tingkatan hasilnya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Menurut Goldsmith dan Blustain yang diacu dalam Ndraha (1987), masyarakat tergerak untuk berpartisipasi jika: 1. Partisipasi itu dilakukan melalui organisasi yang sudah dikenal atau yang sudah ada di tengah-tengah masyarakat yang bersangkutan. 2. Partisipasi itu memberikan manfaat langsung kepada masyarakat yang bersangkutan. 3. Manfaat yang diperoleh melalui partisipasi itu dapat memenuhi kepentingan masyarakat setempat. 4. Proses partisipasi itu terjamin adanya kontrol yang dilakukan oleh masyarakat. Partisipasi masyarakat ternyata berkurang jika mereka tidak atau kurang berperan dalam pengambilan keputusan. Menurut Tjokroamidjoyo 1990; Sastropoetra 1988 yang diacu dalam Mardijono (2008), varian peran serta atau partisipasi adalah : 1. Kehadiran, kehadiran merupakan varian partisipasi tingkat pertama yang lebih mudah menjadi tolok ukurnya sebab jika seseorang hadir dalam suatu kegiatan maka ia dapat dikatakan telah berperan serta. Tolok ukur varian pertama peran serta adalah kehadiran yang bersifat kuantitatif. 2. Representasi, representasi merupakan varian kedua dari peran serta yang secara kualitatif lebih tinggi dan mendalam jika dibandingkan dengan varian pertama. Ini meliputi aktivitas penentuan masalah, perumusan masalah, perumusan metode dan pendekatannya serta pembuatan keputusan. Individu dikatakan berperan serta dalam varian ini apabila terlibat dalam penentuan masalah.
25 3. Pemilikan dan pengendalian merupakan varian tertinggi dari peran serta secara kualitatif. Individu yang berperan serta pada varian ini tidak hanya hadir dan berpresentasi tetapi lebih dari itu, yakni memiliki “sense of belonging”. Ada tiga faktor yang mempengaruhi peran serta atau partisipasi masyarakat yaitu : 1. Kepemimpinan, faktor pertama proses pengendalian usaha dalam pembangunan ditentukan sekali oleh kepemimpinan. 2. Pendidikan, tingkat pendidikan yang memadai akan memberikan kesadaran yang lebih tinggi dalam berwarga negara dan memudahkan bagi pengembangan identifikasi terhadap tujuan-tujuan pembangunan yang bersifat nasioanal. 3. Komunikasi, gagasan - gagasan, kebijaksanaan dan rencana - rencana akan memperoleh dukungan bila hal tersebut diketahui dan dimengerti oleh masyarakat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat terbagi dalam tiga hal, yaitu: 1. Keadaan sosial masyarakat, yang meliputi pendidikan, tingkat pendapatan, kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sisem sosial. 2. Kegiatan program pembangunan, merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh pemerintah. 3. Keadaan alam sekitar, mencakup faktor fisik, atau keadaan geografis daerah yang ada pada lingkungan tempat hidup masyarakat. Selain itu kebiasaan-kebiasaan lama yang terdapat dalam masyarakat setempat juga merupakan faktor-faktor yang perlu diperhatikan. Tokoh masyarakat, pemimpin adat, tokoh agama, adalah komponen yang juga berpengaruh dalam menggerakkan masyarakat untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Daniels et al. (2005), menyampaikan bahwa partisipasi bukanlah proses alami, tetapi melalui proses pembelajaran sosialisasi. Ada beberapa bentuk partisipasi, antara lain: 1. Inisiatif/spontan, yaitu masyarakat secara spontan melakukan aksi bersama, ini adalah bentuk partisipasi paling alami. Bentuk partisipasi spontan ini sering terjadi karena termotivasi oleh sesuatu keadaan yang tiba-tiba, misalnya bencana atau krisis. 2. Fasilitasi, yaitu suatu partisipasi masyarakat yang disengaja, yang dirancang dan didorong sebagai proses belajar dan berbuat oleh masyarakat untuk membantu menyelesaikan masalah bersama. 3. Induksi, yaitu masyarakat dibujuk untuk berpartisipasi melalui propaganda atau mempengaruhi melalui emosi dan patriotisme. 4. Koptasi, yaitu masyarakat dimotivasi untuk berpartisipasi untuk keuntungankeuntungan materi dan pribadi yang telah disediakan untuk mereka. 5. Dipaksa, yaitu masyarakat berpartisipasi di bawah tekanan atau sanksi-sanksi yang diberikan penguasa. Bentuk dari partisipasi yang diharapkan adalah partisipasi spontanitas/inisiatif, namun sering tidak terjadi sehingga diperlukan upaya dari luar, yang paling baik adalah melalui fasilitasi, dengan fasilitasi masyarakat diposisikan sebagai dirinya sehingga dia termotivasi untuk berpartisipasi dan
26 berbuat sebaiknya untuk kepentingan dirinya. Pendekatan partisipatif memberikan keuntungan antara lain, orang-orang akan bergerak enerjik, lebih komit, dan lebih bertanggungjawab bila mereka mengontrol lingkungan sendiri dibanding hal itu dilakukan suatu kewenangan dari luar. Komitmen dan tanggungjawab dalam berpartisipasi adalah: 1) masyarakat lebih punya komitmen terhadap anggotanya daripada sistem pelayanan terhadap kliennya, 2) masyarakat lebih mengerti masalah-masalahnya daripada para profesional pelayanan, 3) masyarakat lebih fleksibel dan kreatif daripada birokrasi besar, 4) masyarakat lebih mudah daripada para profesional pelayanan, 5) masyarakat lebih efektif menguatkan standar sikap/perilaku daripada birokrasi atau para profesional pelayanan, 6) lembaga-lembaga dan para profesional menawarkan pelayanan, masyarakat menawarkan kepedulian dan 7) sistem pelayanan berfokus pada apa yang kurang, masyarakat berfokus pada kapasitas. Keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan sebuah kegiatan terutama yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mewujudkan hutan lestari tidak akan terlepas dari dua hal yaitu memberikan peluang yang besar kepada masyarakat untuk terlibat langsung dalam penyelenggaraan kegiatan tersebut dan upaya peningkatan keterampilan masyarakat sehingga dapat berjalan dengan baik (Utama et al 2010). Kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan adalah sejalan dengan efektivitas proses belajar sosial yang dialaminya. Proses belajar yang menyebabkan rakyat memperoleh dan memahami informasi, kemudian secara kognitif memprosesnya menjadi pengetahuan tentang adanya kesempatankesempatan bagi dirinya dan melatih agar mampu berbuat (kognitif), serta termotivasi untuk mau (afektif) bertindak atas dasar manfaat yang akan diperolehnya (Sumardjo 2008). Faktor-faktor yang menjadi hambatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan menurut Setyowati (2010) adalah: 1) masyarakat yang tidak mau berpartisipasi terutama pada masyarakat yang kurang merasakan dampak dari kegiatan secara langsung, 2) masyarakat menganggap kegiatan yang dilakukan tidak bermanfaat, 3) masyarakat menganggap apa yang mereka lakukan akan dirusak oleh orang lain, 4) masih adanya konflik kepentingan terhadap kegiatan yang dilaksanakan sehingga menyebabkan masyarakat malas untuk berpartisipasi pada kegiatan tersebut. Mengatasi faktor yang menghambat partisipasi masyarakat khususnya dalam pelaksanaan konservasi lahan, maka perlu diberikan peningkatan pengetahuan tentang manfaat dan fungsi kegiatan konservasi lahan, pemberian penyuluhan secara intensif dan terus menerus serta masyarakat dilibatkan secara aktif mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemeliharaan sampai dengan evaluasi kegiatan tersebut. Bentuk partisipasi yang dapat disumbangkan oleh masyarakat yaitu pikiran, tenaga, keahlian, barang dan uang, bentuk partisipasi ini adalah yang biasa diberikan oleh masyarakat terhadap sebuah kegiatan. Meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya keberadaan hutan ini, memerlukan penyuluhan yang intensif terus menerus yang dimulai dari awal kegiatan. Upaya untuk menumbuhkan kesadaran berpartisipasi masyarakat selain dilakukan oleh pemerintah, juga dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau organisasi non pemerintah.
27 Petani atau masyarakat yang ada di sekitar kawasan hutan perlu diberi hak pengelolaan hutan atau dilibatkan dalam program participatory research untuk memperoleh jawaban tepat bagi optimasi pengelolaan tanah pertanian/perkebunan yang dimilikinya dan kemudahan akses pemasaran hasil. Jika masyarakat telah memiliki kepastian pendapatan untuk kehidupan sehari-hari maka mereka akan merasa memiliki hutan, menjaga kelestarian hutan tersebut dan menghindari godaan untuk terlibat dalam kegiatan illegal di dalam kawasan hutan (Ruwiyanto 2008). Menurut Pardosi (2005), dalam model pemberdayaan untuk peladang berpindah, tingkat keberdayaan peladang berpindah dipengaruhi oleh faktor-faktor determinan berupa kualitas sumberdaya pribadi, kekuatan motivasi, tingkat pemenuhan kebutuhan, kualitas pendukung keberdayaan, kualitas lingkungan eksternal, dan kualitas penyuluhan. Pasha et al. (2008) menyampaikan, pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan konservasi lahan sangat berguna untuk menanamkan sikap ramah lingkungan demi keberlangsungan usaha pertanian di kemudian hari dan menekan seminimal mungkin dampak kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh masyarakat. Bentuk pemberdayaan masyarakat di daerah konservasi dapat berupa: 1. Program penguatan ekonomi masyarakat melalui pengembangan pedesaaan, sehingga pendapatan petani meningkat. 2. Program pengembangan pertanian konservasi, sehingga dapat berfungsi produksi dan pelestarian sumberdaya air. 3. Penyuluhan dan transfer teknologi untuk menunjang program pertanian konservasi dan peningkatan kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam upaya konservasi lahan. 4. Pengembangan berbagai bentuk bantuan, baik berupa bantuan langsung maupun tidak langsung dalam bentuk bantuan teknis, pinjaman yang dapat memicu peningkatan produksi pertanian dan usaha konservasi tanah dan air. 5. Upaya mengembangkan kemandirian dan memperkuat posisi tawar menawar masyarakat lapisan bawah, sehingga mampu memperluas keberdayaan masyarakat dan berkembangnya ekonomi rakyat. 6. Memonitor dan evaluasi terhadap perkembangan sosial ekonomi masayrakat, serta tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut berperan serta dalam pengelolaan dan konservasi lahan Menurut Anonymous (2002, 2004) dalam Oscatalbas et al. (2011), sejak tahun 1980-an, pendekatan partisipatif untuk penyuluhan pertanian dan penelitian telah dipromosikan di seluruh benua oleh kelompok-kelompok promotor pembangunan. Organisasi atau lembaga sekarang sudah banyak yang menerapkan pengembangan teknologi partisipatif di berbagai pengaturan. Pemerintah dan lembaga non-pemerintah semakin mengakui dan tidak lagi menerapkan model kegiatan top-down dan mulai menerapkan teknologi yang murni partisipatif dengan melakukan pendekatan yang langsung melibatkan petani dan masyarakat di pedesaan terlibat dalam pembangunan dalam desa mereka sendiri. Titik awal untuk perubahan ini adalah pengakuan bahwa masyarakat pedesaan adalah pemilik dari pembangunan mereka sendiri. Kesadaran ini memerlukan beberapa perubahan dan melibatkan semua stakeholders. Masyarakat pedesaan harus mengambil inisiatif dan berpikir tentang masalah mereka sendiri dan menemukan solusi yang tepat dan untuk penyuluh pertanian,
28 mereka harus belajar bagaimana berinteraksi dan menjadi pendengar dan fasilitator dari proses pembangunan serta menjadi mitra bagi masyarakat. Lebih lanjut Abukar (2002) dalam Ozcatalbas, menyampaikan bahwa untuk meningkatkan efektifitas penyuluhan, maka perlu membekali penyuluh dan pekerja pembangunan dengan teknik dan alat-alat perencanaan partisipatif, sistem pertanian, monitoring dan evaluasi. Pembangunan pertanian yang berkelanjutan telah menyebabkan meningkatkanya kebutuhan akan penyuluhan partisipatif dan metode penelitian, monitoring dan evaluasi kegiatan merupakan salah satu alat untuk mencari solusi perbaikan dan pemecahan masalah pada kegiatan yang akan datang. Menurut Hamzah (2011), rendahnya kinerja penyuluh pertanian berhubungan erat dengan aspek partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat sangat menentukan kinerja penyuluh. Secara sosial budaya/ kultur, sikap ramah masyarakat dalam menerima kehadiran seorang penyuluh mungkin masih baik, akan tetapi jika kehadirannya hanya untuk mengeksploitasi hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan pengamananpengamanan program pemerintah yang ditetapkan secara top down, justru membuat masyarakat semakin jauh dari penyuluh. Strategi ke depan yang harus dilakukan seorang penyuluh dalam meningkatkan peran masyarakat (kelompok tani) adalah pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berusaha. Mewujudkan hal tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan kegiatan penyusunan programa penyuluhan selama ini hanya bisa dilakukan di tingkat Kota, seharusnya kegiatan tersebut dilakukan secara bertahap dan dimulai dari tingkat wilayah kerja penyuluh, sehingga keterlibatan masyarakat (kelompok tani) bisa lebih besar. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat menurut Max Weber dan Zanden 1988; Slamet,1994; Sunarti 2003; Suryawan 2004, yang diacu dalam Yulianti (2012), terdiri dari faktor dari dalam masyarakat (internal), yaitu kemampuan dan kesediaan masyarakat untuk berpartisipasi, maupun faktor dari luar masyarakat (eksternal) yaitu peran aparat dan lembaga formal yang ada. Kemampuan masyarakat akan berkaitan dengan stratifikasi sosial dalam masyarakat, ada 3 komponen stratifikasi masyarakat yaitu, kelas (ekonomi), status (prestise) dan kekuasaan. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor internal; berasal dari dalam kelompok masyarakat sendiri, yaitu individu-individu dan kesatuan kelompok didalamnya. Tingkah laku individu berhubungan erat atau ditentukan oleh ciri-ciri sosiologis seperti umur, jenis kelamin, pengetahuan, pekerjaan dan penghasilan. Secara teoritis, terdapat hubungan antara ciri-ciri individu dengan tingkat partisipasi, seperti usia, tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, lamanya menjadi anggota masyarakat, besarnya pendapatan, keterlibatan dalam kegiatan pembangunan akan sangat berpengaruh pada partisipasi. Faktor yang mempengaruhi masyarakat untuk mengikuti proses partisipasi adalah: 1) pengetahuan dan keahlian, 2) pekerjaan masyarakat, 3) tingkat pendidikan dan buta huruf, 5) jenis kelamin, 6) kepercayaan terhadap budaya tertentu.
29 2. Faktor-faktor eksternal, yaitu semua pihak yang berkepentingan dan mempunyai pengaruh terhadap program ini. Faktor kunci adalah siapa yang mempunyai pengaruh yang sangat signifikan, atau mempunyai posisi penting guna kesuksesan program. Menurut Daud (2011), dari hasil penelitiannya menyampaikan bahwa paradigma pembangunan partisipatoris menekankan pada partisipasi aktif masyarakat dalam berbagai program pembangunan. Paradigma pembangunan partisipatoris mendorong masyarakat agar dapat mengoptimalkan kemampuan dan ketrampilannya dalam proses pembangunan, agar tujuan pembangunan dapat tercapai, perencanaan pembangunan hendaknya bersifat ”aspiratif-akomodatif” terhadap kebutuhan dan potensi masyarakat lokal. Pembangunan dinyatakan berhasil, apabila tercipta keberdayaan masyarakat lokal sebagai akibat proses pembangunan, dengan demikian, kompetensi (profesionalitas) merupakan kunci pembinaan sumberdaya manusia (SDM) yang selanjutnya diharapkan secara profesional SDM tersebut mampu menjalankan peran masing-masing sesuai kemampuannya.
Konservasi Lahan
Menurut Deptan (2007), lahan pertanian (agricultural land) adalah lingkungan alami (natural) dan buatan manusia tempat berlangsungnya produksi, pasca panen dan pengolahan hasil serta pemasaran komoditas pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Potensi lahan pertanian menurut Puslitanak (2005) masih tersedia cadangan sekitar 32 juta hektar baik berupa lahan kering, lahan rawa (lebak dan pasang surut). Lahan merupakan faktor penting bagi petani, karena lahan merupakan tempat produksi dan sumber pendapatan untuk kelangsungan hidup. Luas pemilikan dan penguasaan lahan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan tingkat pendapatan suatu keluarga atau rumah tangga petani, oleh karena itu ketiadaan atau sempitnya kepemilikian serta penguasaan lahan merupakan awal terjadinya kemiskinan di pedesaan (Bahrin 2010). Utama et al. (2010), menyampaikan bahwa degaradasi lahan di Indonesia semakin tinggi, baik lahan kritis dan tidak terpakai yang berada dalam kawasan hutan maupun lahan milik masyarakat. Laju kerusakan hutan di Indonesia 1,7 juta ha per tahun pada kurun waktu 1985-1997, bahkan tahun 1998-2000 Indonesia kehilangan 2 juta ha/tahun (GFW 2000), laju kerusakan hutan pada periode tahun 2003-2006 rata-rata 1,17 juta ha/tahun (Dephut 2008), hal ini terjadi akibat dari illegal logging, penyerobotan kawasan hutan maupun akibat ketidakinginan masyarakat untuk menanami lahan miliknya sendiri. Menurut Sutrisna (2009), lahan khususnya di Daerah Aliran Sungai (DAS) awalnya didominasi oleh tanaman hutan dan tumbuh-tumbuhan lebat serta rindang, berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, bahan makanan, dan obat-obatan untuk kehidupan mahluk hidup. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan kebutuhan hidup, menyebabkan hutan tersebut telah
30 dialihfungsikan, dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk dan dijadikan lahan pertanian, antara lain untuk kegiatan usahatani. Menurut Fakhrudin (2003) dalam Sutrisna, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di DAS Ciliwung menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan dari lahan hutan ke lahan pertanian pada periode tahun 1990-1996 meningkatkan debit puncak aliran permukaan dari 280 m3/det menjadi 383m3/det, hal ini memberikan peluang terhadap banjir dan erosi yang lebih besar, apabila tidak tertangani dengan baik. Sismanto (2009) menyampaikan, kekritisan lahan merupakan suatu kondisi yang ditunjukkan oleh rendahnya kesuburan tanah karena lapisan tanah atas (top soil) telah hilang, lapisan ini sebagai media bagi mikro flora dan fauna, hilangnya lapisan tanah atas sebagian besar disebabkan oleh eros. Kekritisan lahan adalah suatu lahan yang keadaan fisiknya sedemikian rupa sehingga lahan tersebut tidak dapat berfungsi secara baik sesuai dengan peruntukannya baik sebagai media produksi maupun sebagai media tata air. Lahan yang tergolong kritis tersebut dapat berupa: a) tanah gundul yang tidak bervegetasi sama sekali, b) ladang alang-alang atau tanah yang ditumbuhi semak belukar yang tidak produktif, c) areal berbatu-batu, berjurang atau berparit sebagai akibat erosi tanah, d) tanah yang kedalaman solumnya sudah tipis sehingga tanaman tidak dapat tumbuh dengan baik, e) tanah yang tingkat erosinya melebihi erosi yang diijinkan. Menurut Adimihardja 2008, degradasi tanah tidak hanya berdampak buruk terhadap produktivitas lahan, tetapi juga mengakibatkan kerusakan atau gangguan fungsi lahan pertanian: 1) produksi dan mutu hasil pertanian, penurunan produktivitas dan produksi pertanian juga dapat terjadi akibat proses degradasi jenis lain seperti kebakaran hutan (lahan) dan longsor, serta konversi lahan pertanian ke nonpertanian, 2) sumber daya air, erosi tanah bukan hanya berdampak terhadap daerah yang langsung terkena, tetapi juga daerah hilirnya, terjadi pendangkalan dam-dam sungai, dan pengendapan partikel-partikel tanah di daerah cekungan, 3) multifungsi pertanian (mitigasi banjir, pengendali erosi, pemelihara pasokan air tanah, penambat gas karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, pemelihara keanekaragaman hayati, dll). Menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan, penyelenggaraan perlindungan kehutanan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi hutan lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara optimal dan lestari. Bukhari dan Febriyano (2010), menyampaikan definisi lahan kritis menurut departemen kehutanan adalah lahan yang keadaan penutupan vegetasinya < 25%, topografi dengan kemiringan lereng lebih dari 15% dan ditandai dengan adanya gejala erosi, sedangkan menurut departemen pertanian lahan kritis didefinisikan sebagai lahan yang pada saat ini tidak/kurang produktif dari segi pertanian, karena pengelolaan dan penggunaannya kurang/tidak memperhatikan persyaratan konservasi tanah. Produktivitas lahan dapat ditingkatkan melalui perbaikan sifat fisik tanah (lapisan atas) yang paling penting dan dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan berbagai jenis tanaman dan pepohonan adalah struktur dan porositas tanah, kemampuan menahan air dan laju infiltrasi. Lapisan atas tanah merupakan tempat
31 yang mewadahi berbagai proses dan kegiatan kimia, fisik dan biologi yakni organisme makro dan mikro termasuk perakaran tanaman dan pepohonan. Salah satunya adalah dengan system agroforestri, agroforestri adalah nama kolektif untuk system dan teknologi penggunaan lahan, yang secara terencana dilaksanakan pada satu unit lahan dengan mengkombinasikan tumbuhan berkayu (pohon, perdu, palem, bamboo dll.) dengan tanaman pertanian dan/atau hewan. Meningkatnya intensifikasi pertanian akan mengubah kondisi tanah suatu agroekosistem sehingga menyebabkan hilangnya biodiversitas organisme tanah. Dephut (2004), menyatakan bahwa konservasi tanah adalah upaya untuk mempertahankan atau memperbaiki daya guna lahan termasuk kesuburan tanah dengan cara pembuatan bangunan teknik sipil atau dengan penanaman agar tidak terjadi kerusakan lahan dan kemunduran daya guna serta produktifitas lahan. Hak dan kewajiban masyarakat dalam pengelolaan hutan adalah dalam rangka menjamin kelestarian lingkungan antara daerah hulu dan daerah hilir sehingga hutan harus tetap diletakkan sebagai barang publik yang tidak boleh diklaim. Tindakan konservasi hutan adalah dalam rangka menjaga kelestarian hutan. Menurut Subagyono et al. (2003), konservasi tanah adalah penempatan tiap bidang tanah pada cara penggunaan yang sesuai dengan kemampuan tanah dan memperlakukannya sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan agar tidak terjadi kerusakan tanah. Secara umum, tujuan konservasi tanah adalah meningkatkan produktivitas lahan secara maksimal, memperbaiki lahan yang rusak/kritis, dan melakukan upaya pencegahan kerusakan tanah akibat erosi. Teknik konservasi tanah ini dibedakan menjadi tiga yaitu: (a) vegetatif; (b) mekanik; dan (c) kimia. Teknik konservasi mekanik dan vegetatif telah banyak diteliti dan dikembangkan. Mengingat teknik mekanik umumnya mahal, maka teknik vegetatif berpotensi untuk lebih diterima oleh masyarakat. Teknik konservasi tanah secara vegetatif mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan teknik konservasi tanah secara mekanis maupun kimia, antara lain karena penerapannya relatif mudah, biaya yang dibutuhkan relatif murah, mampu menyediakan tambahan hara bagi tanaman, menghasilkan hijauan pakan ternak, kayu, buah maupun hasil tanaman lainnya. Pratiwi (2007), menyampaikan bahwa keberhasilan penerapan teknik konservasi tanah dan air dalam rehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi sangat tergantung pada kesesuaian dan kemampuan lahan, murah, dan berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan prinsip-prinsip social forestry. Salah satu alternatif teknik konservasi tanah dan air yang dapat diterapkan adalah teknik mulsa vertikal. Teknik ini sebenarnya telah lama dilakukan oleh petani di pedesaan yaitu dengan membuat saluran di dekat pohon utama dan memasukkan limbah atau serasah yang ada di sekitarnya ke dalam saluran tersebut, di bidang kehutanan, teknik ini belum diterapkan, padahal dalam hutan dan lahan terdegradasi, banyak dijumpai limbah hutan, yang dapat dikelola untuk percepatan pertumbuhan tanaman. Menurut Nugroho (2000), usaha konservasi tanah dan air sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh pemerintah melalui institusi yang terkait, masyarakat maupun lembaga swadaya masyarakat, namun masih sangat jauh dibandingkan dengan laju dari peningkatan lahan kritis setiap tahunnya. Adanya
32 kebijaksanaan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, seperti usaha konversi hutan menjadi hutan tanaman industri dan perkebunan justru telah menimbulkan masalah-masalah lingkungan baru. Perubahan tatanan hutan menjadi penggunaan lahan lainnya tersebut telah merubah proses keseimbangan alam yang ada, bahkan telah menyebabkan hilangnya beberapa jenis keanekaragaman hayati yang terdapat di daerah tersebut. Selain itu usaha konservasi tanah dan air masih terbatas pada kebijaksanaan dalam bentuk proyek yang belum melibatkan masyarakat secara sadar dan terencana, bahkan masih sangat sektoral. Kondisi demikian justru akan meningkatkan besarnya erosi dan sedimentasi sehingga timbul lahan-lahan kritis baru. Yuhono dan Suhirman (2006) menyebutkan bahwa permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan tanaman perkebunan dan kehutanan (agroforestry) pada umumnya adalah belum optimalnya pemanfaatan sumberdaya baik dari segi biofisik maupun aspek sosial ekonominya. Akibatnya, luas areal lahan kritis atau marjinal terus bertambah dari waktu ke waktu, disamping itu, petani lahan kering umumnya tergolong petani marjinal yang dicirikan oleh tingkat pendidikan dan pendapatan yang rendah, keterampilan dan pengetahuan terbatas serta belum melaksanakan/menerapkan teknologi usahatani konservasi. Mengatasi kondisi tersebut, berbagai usahatani perlu dilakukan, terutama dalam pemberdayaan sumberdaya yang ada. Pada lahan-lahan kritis, banyak lahan-lahan berlereng/miring yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan lahan berlereng yang kritis dengan berbagai tanaman perkebunan dan kehutanan, secara teknis dapat meningkatkan produktivitas lahan. Menurut hasil penelitian Anom (2008), kendala dalam konservasi disebabkan karena adanya persepsi yang salah dari masyarakat tentang keberadaan hutan. Di mana masyarakat menganggap bahwa mereka menanan di dalam kawasan hutan, adalah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, karena hutan merupakan tempat menggantungkan hidup dan secara tidak langsung masyarakat mengklaim hutan sebagai milik mereka. Persepsi masyarakat pada kegiatan konservasi adalah jika mereka sudah menanam dan merawat tanaman/pohon di hutan itu berarti mereka sudah ikut berpartispasi dalam konservasi hutan, walaupun dilihat dari frekuensi, masyarakat hanya kadang-kadang saja terlibat dalam kegiatan konservasi hutan tersebut. Menurut Umar (2009), dari hasil penelitiannya tentang perilaku masyarakat dalam pelestarian fungsi hutan, perilaku masyarakat (kegiatan ekonomi) yang terkait dengan keberadaan hutan lindung, masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan memiliki nilai ekonomi sehingga mereka memiliki perilaku aktivitas yang berorientasi ekonomi di kawasan hutan, misalnya mencari kayu bakar, mencari pakan ternak, dan bertani. Tingkat ketergantungan ekonomi masyarakat terhadap hutan memiliki intensitas yang berbeda. Perbedaan intensitas tersebut dilihat dari frekuensi aktivitas ekonomi yang mereka lakukan di kawasan hutan. Tingkat ketergantungan pada kawasan hutan yang tertinggi adalah pada aktivitas pertanian, yaitu pertanian tanaman pangan (padi, jagung, ketela, dsb) yang sangat banyak membutuhkan air. Aktivitas ini terjadi sepanjang tahun dan berlokasi di kawasan perbukitan maupun di sekitar lokasi tempat tinggal. Sedangkan untuk aktivitas mencari kayu bakar dan pakan ternak memiliki frekuensi kejadian yang tidak pasti. Sistem pengelolaan hutan dengan tujuan sosial ekonomi dengan penggunaan lahan garapan untuk ditanami tanaman pertanian sepanjang lajur diantara tanaman kehutanan.
33 Ada perbedaan persepsi tentang fungsi hutan menurut kajian teori dan menurut persepsi masyarakat. Menurut kajian teori fungsi utama hutan adalah lindung terlepas dari bentuk pemanfaatannya (hutan produksi, suaka alam, dan sebagainya), sehingga aktifitas budidaya seharusnya tidak boleh berlokasi di kawasan lindung karena akan mengganggu fungsi lindung itu sendiri. Persepsi masyarakat, hutan memiliki banyak fungsi (fungsi majemuk) yaitu sebagai tempat rekreasi/berlibur (fungsi sosial), tempat menyimpan cadangan air dan mencegah banjir/erosi (fungsi ekologi), tempat mencari penghasilan (fungsi ekonomi), dan fungsi lainnya. Masyarakat memiliki persepsi bahwa hutan merupakan aset milik umum (common property) sehingga mereka merasa berhak mengelola hutan dan memiliki kewajiban memelihara kelestarian hutan sebagai daerah resapan air. Timbulnya persepsi tersebut erat kaitannya dengan kepentingan masyarakat untuk memiliki akses terhadap sumber daya hutan sebagai sumber mata pencaharian. Stanley (2005), menyatakan bahwa di wilayah yang terdapat taman nasional sikap-sikap orang lokal terhadap konservasi, dan semua elemen berkait upaya konservasi, merupakan faktor penting untuk keberhasilan upaya konservasi itu. Walaupun larangan dapat ditetapkan dan diselenggarakan secara kuat supaya kerusakan lingkungan hidup diberhentikan, itu lebih bagus kalau orang lokal menerima ide konservasi dan mendukung upaya konservasi dengan kerjasamanya. Suprayitno (2008), menjelaskan keberadaan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan, sesungguhnya, dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan secara lestari. Perilaku mereka merupakan komponen yang paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Perilaku masyarakat yang positif dalam berinteraksi dengan hutan akan mengarah pada terciptanya kondisi hutan yang lestari. Bentuk perilaku yang negatif akan mengarah pada terciptanya pengeksploitasian dan pemanfaatan hutan secara tidak bertanggung jawab yang berujung pada kerusakan hutan yang pada akhirnya juga akan berdampak buruk terhadap kehidupan mereka sendiri. Njurumana (2007), menyampaikan bahwa tingkat penerimaan masyarakat terhadap informasi tentang teknologi konservasi yang dapat mendukung pengelolaan hutan, tanah dan air masih sangat kurang disebabkan karena tingkat pendidikan yang rendah. Apresiasi masyarakat terhadap berbagai upaya rehabilitasi hutan, tanah dan air dengan berbagai model dan praktek konservasi tanah dan air perlu mendapatkan dukungan. Masyarakat pada umumnya telah menerapkan model pengelolaan yang memadukan keseimbangan manfaat pertanian, peternakan dan kehutanan (agroforestry), kegiatan tersebut dapat dijumpai pada pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat di Nusa Tenggara Timur yang di sebut sistem mondu sebagai alternatif konservasi hutan, tanah dan air.