II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Peranan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Kelembagaan (institusion) merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya besarta komponen-komponennya yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat, 1997). Sehingga suatu kelembagaan adalah suatu kompleks peraturan-peraturan dan peranan-peranan sosial.
Dengan
demikian, kelembagaan memiliki aspek kultural dan struktural. Segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dari struktural berupa pelbagai peranan sosial (Tonny,
dkk,
2004).
Sedangkan
menurut
Budiono
(2008),
konteks
”kelembagaan ” dalam pemerintahan sudah seharusnya dimaknai dalam pelayanan publik yakni memberikan layanan yang terbaik pada masyarakat, oleh karena itu hal ini dapat merupakan satu cermin dari praktik tata pemerintahan yang baik, yang merupakan dambaan setiap warga. Penyuluhan pertanian sebagai bagian dari sistem pembangunan pertanian mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian adalah upaya membangun kemampuan masyarakat secara persuasif-edukatif yang terutama dilakukan melalui proses pembelajaran petani dengan menerapkan prinsip-prinsip penyuluhan pertanian secara baik dan benar didukung oleh kegiatan pembangunan pertanian lainnya (Departemen Pertanian, 2002).
Penyuluhan pertanian merupakan pemberdayaan petani dan keluarganya
beserta masyarakat pelaku agribisnis melalui kegiatan pendidikan non formal di
bidang pertanian agar mereka mampu menolong dirinya sendiri baik dibidang ekonomi, sosial maupun politik sehingga peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka dapat dicapai. Kegiatan
penyuluhan
pertanian
adalah
kegiatan
berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik.
terencana
dan
Pengorganisasian
penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian terdiri dari kelembagaan penyuluhan pertanian pemerintah, petani dan swasta (Departemen Pertanian 2006). Menurut Suhardiyono (1990), fungsi pelayanan penyuluhan mempunyai lingkup yang terbatas yaitu komunikasi tentang pesan-pesan ilmiah yang disiapkan oleh para ahli kepada petani beserta keluarganya melalui pendidikan non formal, sehingga kelembagaan penyuluhan dapat dikatakan sebagai kelembagaan pendidikan yang bertujuan mengubah pengetahuan, tingkah laku dan sikap bagi petani dan keluarganya.
Dengan demikian inti kelembagaan
penyuluhan adalah petani dan penyuluh yang melakukan komunikasi dua arah, baik antara penyuluh dengan petani, antara petani yang satu dengan yang lain, antara petani dengan keluarganya serta antara penyuluh dengan penyuluh (Suhardiyono, 1990) Agar penyuluhan dapat berlangsung dengan efektif dan efisien, maka pengorganisasian
penyuluhan
dalam
suatu
kelembagaan
harus
lebih
menitikberatkan komunikasi untuk memperoleh partisipasi aktif dari petani dan keluarganya. Untuk itu dalam kelembagaan penyuluhan harus mempertimbangkan
beberapa hal diantaranya : (1) Adanya penyuluh lapangan yang professional, (2) terdapatnya pelayanan penyuluhan di berbagai tingkatan guna memudahkan dalam mendekatkan hubungan antara pusat-pusat penelitian atau sumber inovasi lain dan pelayanan penyuluhan yang akan diorganisir, (3) terjalinnya hubungan antara peneliti dengan pekerjaan penyuluhan dalam menerapkan teknik budidaya pertanian modern di lahan usaha tani untuk menjawab permasalahan-permaslahan para petani yang bersifat mendesak, (4) adanya sisitem kerja penyuluhan pertanian yang ditetapkan, sehingga dapat memberikan jaminan bahwa pelaksanaan alih teknologi serta ketrampilan kepada petani dan keluarganya benar-benar dapat berjalan secara rutin dan terus menerus, (5) Adanya hubungan koordinasi dengan kegiatan-kegiatan bidang penyuluhan yang dilaksanakan oleh unit kegiatan yang lain, (6) adanya sistem pemantauan yang memadai untuk mengetahui hasil pelaksanaan kegiatan penyuluhan, kendala-kendala yang ditemui, masalahmasalah yang dihadapi baik oleh penyuluh di lapangan maupun petani yang harus dipecahkan melalui kegiatan penyuluhan, dan (7) adanya kelembagaan petani untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi dalam pelaksanaan alih teknologi ataupun alih ketrampilan dari para penyuluh lapangan kepada petani beserta keluarganya.(Departemen Pertanian, 2005). Dengan adanya desentralisasi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan pertanian di provinsi tidak ada, tetapi fungsi penyuluhan pertanian dibeberapa provinsi dilaksanakan oleh Dinas atau Badan lingkup pertanian. Namun penanganannya dilakukan secara parsial dan tidak terkoordinasi, karena mandat untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian tidak diatur dengan tegas oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, menurut
Mardikanto (1991), efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh sub system yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Penyuluhan berkontribusi besar dalam peningkatan produktivitas, produksi dan pendapatan masyarakat tani. Hanya saja, akhir-akhir ini terasa keberadaan lembaga penyuluhan semakin merosot yang disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain : a) program yang lemah; b) kuantitas penyuluh yang kurang berkembang; c) kualitas penyuluh cenderung kurang berkembang; d) fasilitas yang semakin terbatas; e) perhatian pemerintah ; terutama pemerintah daerah yang semakin lemah ( Hafsah, 2006). 2.2. Perkembangan Kelembagaan Penyuluhan Pertanian Perubahan sistem pemerintahan dari paradigma yang berorientasi pada sentralisasi ke desentralisasi, telah memberikan konsekuensi sangat luas dan mendalam pada sistem tata pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan tersebut dapat dilihat dari bergesernya status dan kedudukan suatu kelembagaan dalam keseluruhan formasi tata pemerintahan daerah.
Konsekuensi dari perubahan
tersebut adalah pada batasan kekuasaan dan wewenang suatu kelembagaan dalam mengimplementasikan proses-proses regulasi, legislasi dan kebijakan publik. Menurut Nasdian (2008) sejak berorientasi pada paradigma desentralisasi, formasi sosial dalam sistem tata pemerintahan di daerah telah membentuk pola-pola relasi kekuasaan dan wewenang yang berbasis tidak hanya pada pilar regulative, tetapi juga telah mempertimbangkan pilar normative berbasis
pada
otonomi
lokal.
Dampaknya,
dan cultural-cognitive yang meskipun
regulasi
yang
diimplementasikan dala tata-pemerintahan di daerah dalam wilayah Indonesia
adalah sama tetapi dalam implementasinya kekuatan struktur lokal atau kelembagaan yang ditopang oleh pilar normative dan cultural cognitive semakin membuat ”bangunan” tata-pemerintahan daerah menjadi lebih beragam. Pembentukan kelembagaan dalam masyarakat tidak terlepas dari peranan individu, kelompok atau pemerintah sehingga lembaga-lembaga yang hidup dalam masyarakat yang ada bersifat informal dan ada pula yang tercipta secara formal baik dari masyarakat maupun luar masyarakat (Indaryanti, 2003). Pergeseran paradigma penyuluhan dari teknik budidaya (on-farm) menuju sistem usaha agribisnis, telah mengubah sistem kelembagaan penyuluhan. Dari pendekatan agribisnis dan partisipatif yang tadinya hanya terdiri dari sub sistem petani, penyuluh dan kelembagaan struktural, menjadi subsitem petani, penyuluh, pelaku agribisnis lainnya, lembaga penelitian dan lembaga pelatihan (Hafsah, 2006). Kelembagaan penyuluhan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi sepanjang hal itu memungkinkan adanya pembagian kerja yang lebih jauh, peningkatan pendapatan, perluasan usaha dan kebebasan untuk memperoleh peluang usaha.
Dalam kehidupan nyata, kelembagaan dapat menjadi peubah
eksogen dalam proses pembangunan dengan demikian kelembagaan dapat dianggap sebagai penyebab segala perubahan pembangunan. Namun dipihak lain kelembagaan bisa diduga menjadi peubah endogen dimana perubahan kelembagaan diakibatkan karena adanya perubahan-perubahan pada sistem sosial masyarakat yang ada. Sehingga kelembagaan yang ada dalam masyarakat sudah mengalami dinamika perubahan berbagai zaman (Daryanto, 2004). Menurut Scott (2008) dalam Nasdian (2008) mengemukakan bahwa perubahan kelembagaan secara teoritis tidak hanya disebabkan oleh faktor
regulasi. Selain faktor tersebut faktor stuktur sosial masyarakat, termasuk di dalamnya perubahan dan dinamika ekonomi mikrodan makro, dan faktor kultural merupakan faktor-faktor yang dapat mempercepat atau memperlambat (atau menjadi buffer ) evolusi bersama kelembagaan an organisasi tersebut. Dengan kata lain, terdapat tiga pilar ”penopang” kelembagaan, yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive. Ketiga elemen tersebut membentuk suatu gerak kontinum ”from the conscious to the unconscious, from the legally enforced to the taken for granted” 2.2.1. Era Bimas Pada era BIMAS, penyuluhan pertanian dilakukan melalui pendekatan sentralistis dan berkoordinasi yang ketat antar instansi terkait dari pusat sampai kedaerah. Penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara integrasi dan didukung dnegan baik oleh empat catur sarana : (1) PPL, (2) Kios Saprotan, (3) BRI, dan (4) KUD serta kepemimpinan petani yang progresif. Pola penyampaian teknologi dilakukan dengan pendekatan dipaksa, terpaksa, dan menjadi biasa (RPP, IPB, 2005). Penyuluhan yang dilaksanakan pada program Bimas selain berperan dalam penyebarluasan inovasi teknologi kepada petani, juga berperan dalam pembinaan dan pemberdayaan kelompok, membantu penyaluran saprodi, serta berperan dalam membantu penyaluran dan pengembalian kredit dari perbankan. Keberhasilan fungsi penyuluhan kala itu dipengaruhi oleh penerapan sistem dan manajemen penyuluhan dengan sistem LAKU, penyusunan program penyuluhan, pewilayahan binaan (Wilayah Kerja Penyuluhan Pertanian/WKPP), dan Wilayah Kerja Balai Penyuluhan Pertanian/WKBKPP), serta didukung dengan penerapan
metode penyuluhan, penyediaan sarana penyuluhan yang memadai, serta tenaga penyuluh yang memadai (Hafsah, 2006) Kebijakan penyelenggaraan penyuluhan petanian pada Pelita IV (Orde Baru) diarahkan untuk : (1) memberikan dorongan bagi berkembangnya kelembagaan tani-nelayan kearah terciptanya system pengguna aktif dari informasi dan berbagai kesempatan berusaha yang tumbuh dan berkembang sebagai akibat perubahan lingkungan sosial ekonomi yang dinamis; (2) memperkuat BPP dengan tenaga kerja, sarana, prasarana dan pembiayaan yang memadai dalam menghadapi perkembangan perilaku petani-nelayan sebagai system pengguna aktif berbagai informasi dan kesempatan berusaha; (3) membangun dan mengembangkan jaringan kelembagaan penyuluhan pertanian, dengan BPP sebagai perangkat terdepan; (4) mengorientasikan penyuluh dan aparat pembinanya agar memiliki satu kesatuan tindakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (5) penyuluhan pertanian dilaksanakan dengan materi yang sesuai dengan mandat, misi dan tujuan penyuluhan pertanian serta kondisi dan potensi nyata daerah; (6) penyelenggaraan penyuluhan pertanian di tingkat Nasional dan Provinsi diarahkan untuk mendukung penyelenggaraan dan pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota dan BPP; (7) penggunaan berbagai pendekatan dan metode penyuluhan pertanian disesuaikan dengan perkembangan/tingkat kemajuan social ekonomi wilayah dan tujuan yang hendak dicapai dalam wilayah bersangkutan; (8) mekanisme dan tata hubungan kerja penyuluhan pertanian didasarkan atas prinsip keterlibatan semua unsur penyuluhan pertanian sebagai suatu jaringan kelembagaan penyuluhan
pertanian yang berfungsi sebagai penyalur informasi teknologi, pasar, permodalan dan lain-lain (Departemen Pertanian, 2002). 2.2.2. Era Otonomi Dengan diberlakukannya UU No.22/1999 dan UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 16 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan dan peraturan-peraturan yang mengikutinya, merubah konsep penyuluhan dimana paradigma pembangunan pertanian telah bergeser dari pendekatan sentralistik menjadi disentralistik, dan dari pendekatan produksi menjadi pendekatan agribisnis.
Penyelenggaraan penyuluhan pertanian
diserahkan sepenuhnya ke kabupaten/kota. Pemerintah pusat sepenuhnya hanya bertugas merumuskan kebijakan, norma, standar, dan model-model penyuluhan partisipatif (RPP IPB, 2005). Menurut Hafsah (2006) pada era otonomi daerah pendekatan penyuluhan pertanian bergeser dari pendekatan dipaksa menjadi pendekatan partisipatif. Penyuluhan pertanian partisipatif adalah penyuluhan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif melalui proses yang melibatkan berbagai pihak terkait. Namun dengan munculnya beberapa peraturan pemerintah yang kurang mendukung penyelenggaraan penyuluhan daerah, seperti PP No.25/2000 dam PP No.8/2003 mengakibatkan ruang gerak pemerintah daerah untuk mendirikan kelembagaan penyuluhan pertanian sangat terbatas. Hal ini menyebabkan kelembagaan penyuluhan pertanian di tingkat provinsi tidak jelas, kelembangaan penyuluhan pertanian di tingkat kabupaten/kota beragam. Perubahan yang berlangsung pada dua kondisi diatas menunjukkan terjadinya evolusi bersama (co-evaluation) pranata sosial dan pengorganisasian.
Perubahan pranata sosial yang merujuk kepada paradigma desentralisasi, yakni menciptakan ”ruang” untuk menangkap kekhasan lokal, menyebabkan adapatasi dan respons setiap daerah berbeda dan menjadi beragam. Perbedaan tersebut terakomodasi pada ketiga pilar penopang kelembagaan yakni pilar regulative, normative dan cultural cognitive (Nasdian, 2008). Dalam Undang-undang No. 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan telah dikemukakan bahwa kelembagaan penyuluhan adalah sebagai berikut : a. Kelembagaan di Pusat Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Pusat adalah Badan Penyuluhan yang bertanggung jawab kepada Menteri. Sebagai mitra kerja Menteri dalam memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan penyuluhan, dibentuk Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian. Keanggotaan Komisi Penyuluhan Pertanian Nasional terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. b. Kelembagaan di Provinsi Kelembagaan
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian
di
Provinsi
berbentuk Badan Koordinasi Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi, gubernur dibantu oleh Komisi Penyuluhan Provinsi yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Gubernur. Komisi Penyuluhan Pertanian Provinsi bertugas memberikan masukan kepada gubernur sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan provinsi.
Keanggotaannya sama dengan keanggotaan Komisi Penyuluhan
Pertanian Nasional yaitu terdiri dari para pakar dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. c. Kelembagaan di Kabupaten/Kota Kelembagaan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kabupaten/Kota berbentuk Badan Pelaksana Penyuluhan. Untuk menetapkan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota, bupati/walikota dibantu oleh Komisi Penyuluhan Kabupaten/Kota yang dibentuk berdasarkan Surat Keputusan Bupati/Walikota. Komisi Penyuluhan Pertanian Kabupaten/Kota bertugas memberikan masukan kepada Bupati/Walikota sebagai bahan penyusunan kebijakan dan strategi penyuluhan kabupaten/kota.
Keanggotaannya terdiri dari para pakar
dan/atau praktisi yang mempunyai keahlian dan kepedulian dalam bidang penyuluhan atau pembangunan pedesaan. d. Kelembagaan di Kecamatan Kelembagaan penyuluhan pertanian di kecamatan adalah Balai Penyuluh Pertanian . BPP merupakan instalasi/sub ordinat dari kelembagaan penyuluhan pertanian kabupaten/kota. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, kelembagaan penyuluhan pertanian (BPP) dibantu oleh Tim Penyuluh Pertanian. Tim ini terdiri dari Penyuluh Pertanian (PPL), Petani Pemandu, LSM, Mantri Tani, Mantri Kesehatan Hewan dan Teknisi pertanian lapangan lainnya. e. Kelembagaan di Desa Kelembagaan penyuluhan pada tingkat desa/kelurahan berbentuk pos penyuluhan desa/kelurahan yang bersifat non structural.
Amanat UU No.16/2006 menurut Slamet (2008) bertabrakan dengan PP 8/2003 tentang struktur pemerintah daerah yang membatasi jumlah institusi/dinas di daerah, meskipun PP tersebut sudah diubah dengan PP 41/2007, tetap saja menyisakan kendala bagi dibentukanya Badan Koordinasi Penyuluhan di tingkat propinsi, dan lahirnya Badan Pelaksana Penyuluhan di tingkat kabupaten/kota. Selain kelembagaan penyuluhan pertanian, ada juga sektor lain yang memerlukan adanya institusi tambahan di daerah. Dengan berlakunya otonomi daerah, penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang menyangkut aspek-aspek perencanaan, ketenagaan, program, manajemen, dan pembiayaan menjadi kewenangan bersama Pemerintah, provinsi, Kabupaten/kota, Petani dan Swasta. Kondisi ini memberi kewenangan yang lebih luas kepada Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk menyelenggarakan penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan lokalita, sedangkan pemerintah mempunyai kewenangan
untuk
melakukan
pembinaan,
pengawasan
dan
koordinasi
penyelenggaraan penyuluhan pertanian (Departemen Pertanian, 2006). Dengan kata lain, pelaksanaan kelembagaan penyuluhan dapat ditinjau dari aspek perencanaan, ketenagaan, penyelenggaraan dan pendanaan. Kebijakan pembangunan pertanian pada era desentralisasi ini adalah mewujudkan pertanian yang tangguh dalam rangka pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani.
Kebijakan ini menghendaki perubahan
pendekatan penyuluhan pertanian dari pendekatan produksi ke pendekatan agribisnis.
Kebijakan ini juga mensyaratkan dikembangkannya jaringan
kerjasama di antara pelaku agribisnis, penyuluhan pertanian, peneliti, pendidikan dan pelatihan (Hafsah, 2006) Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, ada dua hal penting yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan dengan baik agar penyuluhan di bidang pertanian, perikanan dan kehutanan dimasa depan dapat berjalan dengan efektif secara berkelanjutan. Dua hal penting itu adalah : (1) dibangunnya sistem penyuluhan yang komprehensif, dan (2) diadopsinya pengembangan program-program penyuluhan yang berbasis penelitian dan ilmu pengetahuan (Slamet, 2008). Pada UU No.16/2006 pasal 6 tercantum kebijakan system penyuluhan yaitu : (1) Kebijakan penyuluhan ditetapkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya dengan memperhatikan asas dan tujuan system penyuluhan; (2) Dalam menetapkan kebijakan penyuluhan sebagaimana dimaksud
pada
point
terdahulu,
pemerintah
dan
pemerintah
daerah
memperhatikan ketentuan sebagai berikut : a) penyuluhan dilaksanakan secara terintegrasi dengan subsistem pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan; b) penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama dan/atau warga masyarakat lainnya sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerjasama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan program pada tiap-tiap tingkat admnistrasi pemerintah. Seyogyanya
dalam
konteks
otonomi
daerah,
pemerintah
mesti
melandaskan moral pembangunannya pada keberpihakan ekonomi rakyatnya. Pemberdayaan dilakukan dalam segala aspek yang selama ini dianggap kritis dalam pengembangan ekonomi rakyat, meliputi 1) pemberdayaan sumberdaya manusia sebagai pelaku ekonomi rakyat; 2) pemberdayaan sumberdaya alam
berkelanjutan dan menjamin redistribusi secara merata serta hak kepemilikan rakyat atas sumberdaya alam; 3) pemberdayaan keuangan untuk membuka akses pendanaan, 4) pemberdayaan kelembagaan untuk menguatkan institusi rakyat agar mampu mengorganisir diri dan komunitasnya dalam sebuah institusi yang berdaya dan berkelanjutan. 2.3. Penyuluhan dan Penyuluh Pertanian 2.3.1. Penyuluhan Pertanian Ilmu penyuluhan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia dibentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah, sehingga membawa pada perubahan kualitas kehidupan orang yang bersangkutan (Slamet, 1992). Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen. Penyuluhan selalu menitik-beratkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan batin, sehingga kegiatan yang dilakukan akan selalu berkaitan erat dengan ilmu-ilmu lain seperti pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya.
Jadi sebagai ilmu, penyuluhan bersifat
interdisipliner. Hal ini berkaitan erat dengan praktek penyuluhan di lapangan yang menuntut pendekatan interdisipliner.
Kenyataan menunjukkan bahwa
beberapa keberhasilan pembangunan pertanian di Indonesia terjadi karena ditopang oleh penggunaan pendekatan interdisipliner ilmu-ilmu pertanian, ekonomi, sosiologi dan komunikasi seperti yang terangkum dalam ilmu penyuluhan (Slamet, 1992)
Ilmu penyuluhan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal sebagai Penyuluhan Pertanian (Agricultural Extension), terutama di Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Kemudian ternyata berkembang penggunaannya bidangbidang lain maka berubah namanya menjadi “Extension Education”, dan di beberapa negara lain disebut “Development Communication”. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang sama. Penyuluhan sebagai proses pendidikan, maka penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal aspek-aspek perilaku baik pengetahuan maupun ketrampilannya. penyuluhan
harus
Penyuluhan sebagai proses demokrasi, maka
mampu
mengembangkan
mengembangkan kemampuan masyarakat. sasaran
penyuluhan
berfikir,
suasana
bebas,
untuk
Penyuluh harus mampu mengajak
berdiskusi,
menyelesaikan
masalahnya,
merencanakan dan bertindak bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka. Sebagai proses yang kontiniu, penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki berdasarkan kepada kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan.
Bila penyuluh melihat adanya kebutuhan, tetapi
kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan, padalah kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluhan perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang tersebut (unfelt need) menjadi kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (felt need) Menurut Mardikanto (1991), penyuluhan pertanian adalah suatu system pendidikan bagi masyarakat (petani) untuk membuat mereka tahu, mau dan
mampu
berswadaya
melaksanakan
upaya
peningkatan
produksi,
pendapatan/keuntungan dan perbaikan kesejahteraan keluarga/ masyarakatnya. Sedangkan menurut AW.Van den Ban dan Hawkins (1999), penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. UU No. 16/2006, mendefenisikan bahwa penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama (petaninelayan) serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas,
efisiensi
usaha,
pendapatan
dan
kesejahteraannya,
serta
meningkatkan kesadaran dalam pelestrasian fungsi lingkungan hidup. Dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan agar dapat berlangsung efektif dan efisien, maka terlebih dahulu harus dipahami falsafah penyuluhan. Falsafah penyuluhan menurut Suhardiyono (1990) yang merupakan dasar dalam bekerja dilandasi oleh tiga hal yaitu : (1) penyuluhan merupakan suatu proses pendidikan, (2) penyuluhan merupakan proses demokrasi dan (c) penyuluhan merupakan proses yang terus menerus. Artinya, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang membawa perubahan yang diharapkan oleh seseorang ataupun masyarakat, dengan cara tidak memaksakan sesuatu kepada masyarakat tani tersebut dan dilakukan secara terus menerus. Kemudian dalam melaksanakan penyuluhan, harus ada prinsip-prinsip yang menjadi pegangan kerja atau sebagai panduan dalam merencanakan pemecahan masalah secara efektif guna membantu masyarakat pedesaan. Prinsip-
prinsip penyuluhan menurut Valera, dkk (1987) adalah : (1) penyuluhan bekerja dengan klien, bukan untuk klien, (2) penyuluhan harus bekerjasama dan melakukan koordinasi dengan organisasi pembangunan lainnya, (3) penyuluhan adalah pertukaran informasi yang bersifat dua arah, (4) penyuluhan bekerja dengan kelompok-kelompok sasaran yang berbeda-beda di masyarakat, dan (5) masyarakat harus ikut serta dalam semua aspek-aspek kegiatan pendidikan dari penyuluhan. Menurut Dahama dan Bhatnagar dalam Mardikanto (1991), setidaktidaknya ada 12 prinsip penyuluhan yang penting diperhatikan penyuluh dalam bertugas yaitu : (1) Minat dan Kebutuhan, artinya, penyuluhan akan efektif jika selalu mengacu kepada minat dan kebutuhan masyarakat. (2) Organisasi masyarakat bawah, artinya penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga atau kerabatnya. (3) Keragaman budaya, artinya penyuluh harus menyadari adanya keragaman budaya memerlukan keragaman pendekatan. (4) Perubahan budaya, artinya kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan budaya. (5) Kerjasama dan partisipasi, artinya penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerjasama dalam merencanakan dan melaksanakan program penyuluhan (6) Demokrasi dalam penerapan ilmu, penyuluhan harus selalu member kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan,
alternative pemecahan masalah dan metode apayang digunakan dalam penyuluhan. (7) Belajar sambil bekerja, artinya dalam kegiatan penyuluhan harus diupayakan agar masyarakat dapat belajar sambil bekerja atau belajar dari pengalaman tentang segala sesuatu yang ia kerjakan. (8) Penggunaan metoda yang sesuai, artinya penyuluhan harus dilakukan dengan penerapan metoda yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampuan ekonomi dan social budaya) (9) Kepemimpinan,
kartinya
penyuluhan
harus
mampu
mengembangkan
kepemimpinan, teutama mampu menumbuhkan pemimpin-pemimpin local untuk membantu kegiatan penyuluhan itu sendiri. (10) Spesialis yang terlatih, artinya penyuluh harus orang yang terlatih khusus dan benar-benar menguasai sesuatu yang sesuai dengan fungsi seorang penyuluh. (11) Segenap keluarga, artinya penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial. (12) Kepuasan, artinya penyuluhan harus mampu mewujudkan tercapainya kepuasan. Kepuasan akan sangat menentukan keikutsertaan sasaran pada program-program penyuluhan. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 pasal 3 menyatakan bahwa penyuluhan bertujuan mengembangkan sumber daya manusia yang maju dan sejahtera, sebagai pelaku dan sasaran utama pembangunan pertanian, perikanan dan kehutanan.
Namun lebih jauh, Tedjokoesoemo (1996) berpendapat
penyelenggaraan penyuluhan pertanian pada dasarnya mempunyai keluaran
(output) yang tidak sama pada berbagai tingkat yaitu lapangan, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi dan pusat serta untuk berbagai kategori petani nelayan. Kendati mempunyai keluaran yang berbeda, penyelenggaraan penyuluhan pertanian ditujukan untuk menolong petani nelayan agar mampu melakukan identifikasi dan analisis masalah, serta memecahkan berbagai masalah yang menyangkut usahataninya sebagai bagian dari sistem agribisnis sehingga menghasilkan perilaku professional dalam bentuk antara lain : (1) perilaku usahawan yang rasional dalam pengambilan keputusan usaha yang didasarkan atas permintaan pasar dan saluran pemasaran yang tepat; (2) pengelolaan usaha yang efisien disertai kemampuan bekerjasama di antara sesama petani nelayan atau antara petani nelayan dan pengusaha agroindustri serta sektor ekonomi pedesaan lainnya; (3) kepemimpinan yang berkembang secara mandiri ke arah berkembangnya sistem pengguna aktif berbagai peluang dan informasi usaha yang tersedia; (4) usaha yang berorientasi pelestarian sumberdaya alam sehingga mewujudkan pembangunan pertanian yang berkelanjutan; (5) penyerapan ilmu pengetahuan dan teknologi yang relative cepat melalui kemandirian dalam mencari, menganalisa, dan mengambil keputusan atas informasi yang tersedia, serta (6) kepedulian terhadap masalah ketahanan pangan di tingkat keluarga, masyarakat dan nasional. Misi pokok penyuluhan pertanian menurut Tedjokoesoemo (1996), hanya ada 2 (dua) hal yaitu (1) pengembangan sumberdaya manusia dan (2) alih teknologi.
Kedua misi pokok ini merupakan peranan-peranan yang perlu
dilaksanakan penyuluhan pertanian untuk mengembangkan sektor pertanian. Pengembangan sumberdaya manusia berintikan pada pengembangan perilaku dan
kemampuan
serta
dikembangkan penciptaan
ke
pendayagunaan dalam upaya
lapangan
kerja,
kemampuan-kemampuan peningkatan
kesehatan
pendapatan,
lingkungan
serta
yang
telah
kesejahteraan, kelangsungan
pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Efektivitas atau keberhasilan suatu kegiatan penyuluhan menurut Mardikanto (1991) dapat diukur dari seberapa jauh telah terjadi perubahan perilaku (petani) sasarannya, baik yang menyangkut : pengetahuan, sikap, dan ketrampilannya. Yang kesemuanya itu dapat diamati pada : a. Perubahan-perubahan pelaksanaan kegiatan bertani yang mencakup macam dan jumlah sarana produksi, serta peralatan/mesin yang digunakan, maupun caracara atau teknik bertaninya b. Perubahan-perubahan tingkat produktivitas dan pendapatannya c. Perubahan dalam pengelolaan usaha (perorangan, kelompok, koperasi), serta pengelolaan pendapatan dari usaha taninya. Disamping
itu,
beberapa
faktor
atau
kekuatan–kekuatan
yang
mempengaruhi proses perubahan yang diupayakan melalui penyuluhan pertanian, dapat terjadi karena; 1) keadaan pribadi sasaran, 2) keadaan lingkungan fisik, lingkungan sosial dan budaya masyarakat, 3) macam dan aktivitas kelembagaan yang tersedia untuk menunjang kegiatan penyuluhan. Menurut Hafsah (2006), bahwa efektivitas penyuluhan pertanian akan sangat ditentukan oleh seberapa jauh lembaga penyuluhan diperhatikan oleh subsistem yang lain, atau mampu mengembangkan dirinya menjadi suatu kegiatan strategis. Dalam banyak hal kasus, terlihat bahwa keberhasilan penyuluhan pertanian sangat ditentukan oleh perhatian pengusaha atau pimpinan wilayah setempat.
Terdapat beberapa indikator yang dapat digunakan untuk menilai kinerja penyuluhan pertanian (RPP IPB,2005) antara lain : 1) tersusunya programa penyuluhan pertanian sesuai dengan kebutuhan petani, 2) tersusunnya rencana kerja penyuluh pertanian di wilayah kerja masing-masing, 3) tersedianya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi sesuai dengan pengwilayahan komoditas unggulan, 4) terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata dan sesuai dengan kebutuhan petani, 5) tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian petani, kelompok tani, kelompok usaha/asosiasi petani dan usaha formal (seperti koperasi), 6) terwujudnya kemitraan usaha antara petani dengan pengusaha yang saling menguntungkan, 7) terwujudnya akses petani ke lembaga keuangan, informasi, sarana produksi pertanian dan pemasaran, 8) meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di masing-masing wilayah kerja, dan 9) meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan petani dimasing-masing wilayah kerja. 2.3.2. Penyuluh Pertanian Penyuluh adalah seorang pendidik dan pembimbing masyarakat tani. Sebagai seorang mubaligh atau seorang missionair, seorang penyuluh pertanian harus mempunyai panggilan terhadap pekerjaannya, harus mempunyai cita-cita atau ideology (Mardikanto, 1991). Sedangkan menurut UU No. 16/2006, penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Lebih lanjut, penyuluh dipilah menjadi tiga kategori yaitu : (1) Penyuluh pegawai negeri yang selanjutnya disebut Penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan
atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan; (2) Penyuluh swasta adalah penyuluh yang berasal dari dunia usaha dan/atau lembaga yang mempunyai kompetensi dalam bidang penyuluhan; dan (3) Penyuluh Swadaya adalah pelaku utama yang berhasil dalam usahanya dan warga masyarakat lainnya yang dengan kesadarannya sendiri mau dan mampu menjadi penyuluh. Penyuluh pertanian dalam memberdayakan masyarakat tani menurut Suhardiyono (1990), berperan sebagai : (1) pembimbing petani, (2) Organisator dan dinamisator petani, (3) teknisi dan (4) penghubung antara lembaga penelitian dengan petani. Kemudian Harun (1996), menyatakan peran penyuluh sebagai : (1) sumber informasi bagi petani, (2) penghubung petani kepada sumber-sumber informasi, (3) katalisator atau dinamisator di dalam mengarahkan dinamika petani atau kelompok tani untuk menciptakan suasana belajar yang diinginkan dan (4) pendidik, yang menyampaikan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya di bidang pertanian kepada petani.
Sedangkan Samsudin (1987) menyatakan bahwa
penyuluh berperan sebagai pemimpin, pengajar dan penasehat.
Berdasarkan
pendapat-pendapat tersebut di atas mempunyai kesamaan dan saling melengkapi mengenai pengertian dan peranan penyuluh pertanian lapangan dalam melaksanakan fungsi dan tugasnya sebagai “ujung tombak” dalam membina petani dan kelompok tani dengan baik menuju kondisi penerapan pembangunan pertanian yang lebih baik. Dalam menyampaikan informasi kepada sasaran, penyuluh hendaknya mampu melaksanakan proses belajar mengajar, selain sebagai seorang guru, hendaknya menempatkan diri sebagai teman sasaran dalam mengambil keputusan. Dalam kaitan ini penyuluh dituntut mampu berperan ganda, antara lain dengan
menjalankan fungsi sebagai komunikator, pendidik dan motivator, bagi terjadinya perubahan perilaku sasaran, karena penyuluh mengkomunikasikan pesan-pesan penyuluhan kepada sasaran, dengan metode yang syarat nilai pendidikan, sehingga bertindak sebagai pendidik dengan berperan sebagai motivator bagi peningkatan kesadaran masyarakat kearah pencapaian tujuan yang diinginkan, dengan melaksanakan tugas-tugas tertentu.
Selain itu, penyuluh juga harus
mampu melakukan pengamatan terhadap keadaan sumberdaya yang terdapat di pedesaan, memberikan contoh pemecahan masalah dari berbagai kebutuhan pokok yang dihadapi masyarakat, serta menganalisa pemecahan masalah tersebut (Departemen Pertanian, 2002). Kegiatan penyuluhan akan menjadi kegiatan yang mendapat apresiasi petani bila sang penyuluh dapat memberikan informasi-informasi segar dan bermanfaat serta memberikan pencerahan dalam setiap problem usaha tani yang dilakukan oleh para petani sebagai sasaran dari penyuluhannya.
Standarisasi
kualitas sumberdaya manusia seorang penyuluh pertanian mutlak menjadi main point dalam perekrutan dan penempatan PPL di lapangan. Trampil memahami masalah, mengetahui kebutuhan, dan dapat memberikan solusi pada setiap permasalahan yang dialami dan ditemui oleh petani merupakan kebutuhan ideal yang harus dapat distandarkan bagi setiap PPL di lapangan (Tohir, 2005) Menurut Hafsah (2006), perubahan yang paling mendasar pada penyuluhan paradigma baru adalah perubahan pengambilan keputusan sentralisasi menjadi desentralisasi dalam perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan sebagai konsekuensi dari konsep penyuluhan desentralisasi (Tabel 2).
Tabel. 2. Perubahan Penyuluhan Paradigma Baru dalam Penyuluhan Pertanian. No.
UNSUR
PENYULUHAN LALU
1. 2.
Manajemen Tujuan
Sentralisasi Memaksimal produksi
3. 4.
Pendekatan Metodologi
Top down Teknologi umum
5.
Sistem Penyuluhan
6.
Pola Penyuluhan
Menyampaikan rekomendasi dan mengadopsi teknologi - Umum - Seragam
7.
Fokus
Komoditi nasional
8.
Sumber Informasi
- Lembaga penelitian - Lembaga pendidikan -
9.
Peran Penyuluh
Pengajar
10.
Kedudukan Petani
Penerima pesan dan pengguna teknologi
11.
Program Penyuluhan Materi Penyuluhan Metoda Belajar
Berorientasi sektoral
12. 13.
14.
Pendidikan Penyuluh Sumber : Hafsah (2006)
Paket teknologi, rekomendasi pemerintah Kuliah, demonstrasi
Berpendidikan Pertanian SPMA (sederajat SMU)
PENYULUHAN MASA DEPAN Desentralis mengadopsi Meningkatkan pendapatan dan kesejateraan petani Bottom Up Teknologi spesifik lokasi Pemberdayaan petani, petani memilih yang terbaik - Berorientasi sumberdaya dan sistem sosial budaya lokal - Spesifik lokasi Komoditi unggulan daerah - Petani - Sektor swasta - Lembaga pendidikan - Media informasi Pemandu dan Pendamping Mitra aktif dalam penyuluhan dan pengkajian teknologi Berorientasi kebutuhan petani dan terpadu Prinsip-prinsip, metoda informasi Belajar melalui pengalaman dan penemuan Berpendidikan Strata Satu (S1)
2.4. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menelaah diskripsi kebijaksanaan otonomi daerah dan pengaruhnya terhadap sistem penyuluhan pertanian seperti : kelembagaan
penyuluhan, sIstem kerja penyuluhan pertanian, kinerja pelaku penyuluhan pertanian, tingkat penerapan teknologi petani dan produktifitas usahatani. Selain itu juga dicermati permasalahan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh akibat restrukturisasi sIstem penyuluhan pertanian serta pemecahan masalahnya
secara
partisipatif.
Otonomi
daerah
mengisyaratkan
bahwa
pemerintah daerah memiliki kekuasaan yang memadai dalam perumusan permasalahan yang dihadapi, kebutuhan serta tujuan pembangunan daerahnya. Pelaksanaan otonomi dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektifitas pelaksanaan pembangunan sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan masyarakat dan pembagunan daerah. Gagasan paradigma pembangunan pertanian ternyata telah menimbulkan pergeseran dalam struktur kelembagaan penyuluhan pertanian. Implementasi reorientasi dan restrukturisasi kelembagaan penyuluhan pertanian direspon daerah sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan daerah. Ada daerah yang masih mempertahankan pranata kelembagaan penyuluhan pertanian sebelum otonomi daerah dan ada yang memformulasikannya dalam bentuk yang baru. Apapun model kelembagaan penyuluhan pertanian yang dikembangkan, tujuan akhirnya adalah percepatan proses alih teknologi inovasi dari penyuluh sebagai agen pembaharu (change agent) kepada petani sebagai pelaku utama usahatani. Pendekatan alih teknologi atau pendekatan penyuluhan ( extention approach) diartikan sebagai suatu model aksi yang terdapat dalam sebuah sistem tertentu, yang menyangkut aspek struktur, kepemimpinan, program, sumber daya serta keterkaitan.
Secara operasional sebuah pendekatan penyuluhan mempersoalkan bagaimana pemilihan petani yang akan dijadikan target audience, bagaimana pemenuhan sumberdaya sekaligus alokasinya, metodologi (sistem kerja) apa yang dipilih serta perkiraan hasil dan dampak kegiatan penyuluhan itu sendiri nantinya. Keefektifan dan keberlanjutan interaksi antara pengambil kebijakan, penyuluh dan petani dipengaruhi beberapa variabel seperti : (1) kelembagaan, (2) ketenagaan, (3) penyelenggaraan dan (4) pendanaan . Sejalan dengan keragaman bentuk kelembagaan penyuluhan pertanian, ternyata telah ikut merubah sistem kerja penyuluhan pertanian dan kinerja petugas penyuluh pertanian didaerah.
Kinerja penyuluh merupakan
kemampuan
penyuluh mematuhi jam kerja dan ketepatan dalam menyelesaikan pekerjaan. Sehingga kondisi ini mempengaruhi kompetensi dan pemberdayaan petani yang dapat dilihat dari tingkat adopsi teknologi dan inovasi, yang akhirnya akan mempengaruhi produktivitas dan pendapatan yang diterima oleh petani (Gambar 1)
KEBIJAKSANAAN OTDA
KELEMBAGAAN PENYULUHAN
SISTEM PENYULUHAN
SISTEM KERJA PENYULUHAN
KINERJA PENYULUHAN
KOMPETENSI DAN PEMBERDAYAAN PETANI
PRODUKTIFITAS DAN PENDAPATAN PETANI
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Analisis Kelembagaan Penyuluhan di Provinsi Riau Keterangan : tidak dibahas dalam penelitan