II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teori Kelembagaan Kelembagaan merupakan suatu sistem aktivitas dari kelakuan berpola dari manusia dalam kebudayaannya beserta komponen-komponen yang terdiri dari sistem norma dan tata kelakuan untuk wujud ideal kebudayaan, kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan dan peralatan untuk wujud fisik kebudayaan yang ditambah dengan manusia atau personil yang melaksanakan kelakuan berpola (Koentjaraningrat 1997). Kelembagaan sebagai seperangkat norma-norma dan peraturan yang tumbuh dalam masyarakat yang bersumber pada pemenuhan kebutuhan pokok dan memiliki bentuk konkritnya adalah asosiasi. Pada haikikatnya, norma dan tata tertib itulah yang menjadi ciri dasar dari sebauah lembaga masyarakat. Kelembagaan yang ada di dalam masyarakat merupakan esensi atau bagian pokok dari masyarakat dan kebudayaannya. Institusi
merupakan kendala–kendala
terhadap kebebasan individual
anggota masyarakat. Individual sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan, sehingga perlu membatasi kebebasan individu tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat. Agar institusi dapat berjalan dan ditaati oleh anggotanya, maka perlu adanya struktur intensif yang mengandung sangsi dan reward sehingga masyarakat akan menaatinya. Pejovich (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa kelembagaan memiliki tiga komponen, yakni: 1. Aturan formal, meliputi konstitusi, statute, hukum dan seluruh regulasi pemerintah lainnya. Aturan formal membentuk sistem politik (struktur
10
pemerintahan, hak-hak individu), sistem ekonomi (hak kepemilikan dalam kondisi kelangkaan sumberdaya, kontrak), dan sistem keamanan (peradilan, polisi) 2. Aturan informasi, meliputi pengalaman, nilai-nilai tradisional, agama dan seluruh faktor yang mempengaruhi bentuk persepsi subjektif individu tentang dunia tempat hidup mereka; dan 3. Mekanisme penegakan, semua kelembagaan tersebut tidak akan efektif apabila tidak diiringi dengan mekanisme penegakan. 2.1.1 Sifat Dasar Kelembagaan Ketika teori dan praktek pembangunan adalah ahli ekonomi maka secara atomatis perencanaan pembangunan cenderung menggunakan pendekatan ekonomi makro. Padahal, rekomendasi makro ekonomi biasanya tergabung dalam paket penyesuaian skruktural hanya memberi dampak yang sangat kecil terhadap masyarakat miskin pedesaan dan sedikit membangun kemampuan organisasi lokal dan menengah untuk merencanakan, memonitor, dan mengelola berbagai perbaikan taraf hidup masyarakat dan mata pencahariannya. Berbagai studi kasus menunjukkan bahwa ketika masyarakat lokal diberikan kapasitas untuk mengelola sumberdaya disekitarnya, ternyata mereka mampu memberikan inovasi baru yang dapat meningkatkan produktivitas dan mempertinggi kualitas hidupnya. Pada dasarnya dunia sosial dibangun di atas tiga pilar sebagai elemen sosial yaitu politik, sosial, dan ekonomi. Ketiga pilar tersebut memiliki ideologi, paradigma, nilai, norma, rules of the game, dan bentuk keorganisasiannya sendiri. Konfigurasi kekuatan antara ketiganya merupakan dasar pembentuk suatu sistem
11
sosial. Menurut Uphoff (1986) antara komunitas, pemerintah, dan pasar memiliki perbedaan yang hakiki seperti yang dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Perbedaan Karakteristik antara Komunitas, Pemerintah, dan Pasar Aspek Komunitas Pemerintah Pasar 1. Orientasi utama Pemenuhan Melayani Keuntungan kebutuhan hidup penguasa dan (profit oriented) komunal masyarakat 2. Sifat kerja Demokratis, Monopolis Kompetitif sistem sosial berdasarkan kesetaraan. 3. Sandaran Kultural Pemaksaan Penuh perhitungan kontrol sosial 4. Bentuk symbol Mistis Pseudorealis Realis yang diterapkan 5. Bentuk norma Komunal dan Modifikasi Individualis utama kepatuhan perilaku Sumber: Uphoff, 1986 2.1.2 Tiga Lapisan Kelembagaan Berdasarkan berbagai definisi yang tealh diungkapkan oleh para ahli terlihat bahwa sebenarnya definisi kelembagaan tergantung dari mana orang melihatnya, makro atau mikro. Sekian banyak pembatasan kelembagaan, minimal ada tiga lapisan kelembagaan sebagai norma-norma dan konversi, kelembagaan sebagai aturan main, dan kelembagaan sebagai hubungan kepemilikan (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008). 2.1.2.1 Kelembagaan sebagai norma-norma dan konvensi Kelembagaan sebagi norma-norma dan konvensi ini lebih diartikan sebagai aransemen berdasarkan konsesus atau pola tingkah laku dan norma yang disepakati bersama. Norma dan konvensi umumnya bersifat informal, ditegakkan oleh keluarga, masyarakat, adat, dan sebagainya (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008).
12
Hampir
semua
aktivitas
manusia
memerlukan
konvensi-konvensi
pengaturan yang memfasilitasi proses-proses sosial, dan begitu juga dalam setiap setting masyarakat diperlukan seperangkat norma-norma tingkah laku untuk membatasi tindakan-tindakan yang diperbolehkan. Jika aturan diikuti, prosesproses sosial bisa berjalan baik. Namun, jika dilanggar maka yang akan timbul hanya kekacauan dalam masyarakat. 2.1.2.2 Kelembagaan Sebagai Aturan Main Bogason (2000) dalam Suhana (2008) mengemukakan beberapa ciri umum kelembagaan, antara lain adanya sebauh struktur yang didasarkan pada interaksi diantara para aktor, adanya pemahaman bersama tentang nilai-nilai dan adanya tekanan untuk berperilaku sesuai dengan yang telah disepakati. Lebih lanjut, Bogason (2000) menyatakan ada tiga level aturan, yaitu level aksi, level aksi kolektif, dan level konstitusi. Pada level aksi, aturan secara langsung mempengaruhi aksi nyata. Dalam hal ini biasanya ada standar atau rules of conduct. Pada level aksi kolektif, kita mendefinisikan aturan untuk aksi-aksi pada masa yang akan datang. Aktivitas penetapan aturan seperti ini sering juga disebut kebijakan. Terakhir, pada level konstitusi kita mendefinisikan prinsipprinsip bagi pengambilan keputusan kolektif masa yang akan datang, seperti prinsip-prinsip demokrasi. Aturan-aturan pada level konstitusi ini biasanya ditulis secara formal dan dikodifikasi. 2.1.2.3 Kelembagaan sebagai pengaturan hubungan kepemilikan Sebagai pengaturan hubungan kepemilikan, kelembagaan dianggap sebagai aransemen sosial yang mengatur : (1) individu atau keleompok pemilik,
13
(2) objek nilai bagi pemilik dan orang lain, serta (3) orang dan pihak lain yang terlibat dalam suatu kepemilikan (Deliarnov 2006) dalam (Suhana 2008). Alchian (1993) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa ada tiga elemen utama hak kepemilikan, yaitu (1) hak eksklusif untuk memilih penggunaan dari suatu sumberdaya, (2) hak untuk menerima jasa-jasa atau manfaat dari sumberdaya yang dimiliki, dan (3) hak untuk menukarkan sumberdaya yang dimiliki sesuai persyaratan yang disepakati. Dari uraian tersebut, tersirat bahwa siapa yang memiliki suatu sumberdaya maka ia berhak untuk mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut. Begitupun, seseorang tidak bebas berbuat sesuka
hatinya
atas
barang
yang
dimilikinya,
sebab
sebagaimana
ia
memperlakukan dan menggunakan sumberdaya tersebut dinilai oleh masyarakat. 2.1.3 Kinerja Kelembagaan Kinerja
kelembagaan
didefinisikan
sebagai
kemampuan
suatu
kelembagaan untuk menggunakan sumberdaya yang dimilikinya secara efisien dan menghasilkan output yang sesuai dengan tujuannya dan relevan dengan kebutuhan penggunanaya (Peterson 2003 dalam Syahyuti 2004). Menurut Mackay (1998) dalam Syahyuti (2004) terdapat empat dimensi untuk mempelajari suatu kelembagaan yaitu: Pertama, kondisi lingkunagn eksternal. Lingkungan social dimana suatu kelembagaan hidup merupakan faktor pengaruh yang dapat menjadi pendorong dan sekaligus pembatas seberapa jauh suatu kelembagaan dapat beroperasi. Lingkungan yang dimaksud berupa kondisi
politik
dan
pemerintahan,
sosiokultural, teknologi, kondisi perekonomian, berbagai kelompok kepentingan, infrastruktur, serta kebijakan terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Seluruh
14
komponen lingkungan tersebut dipelajari dan dianalisis bentuk pengaruhnya terhadap kelembagaan. Kedua, motivasi kelembagaan. Kelembagaan dipandang sebagai suatu unit kajian yang memiliki jiwanya sendiri. Terdapat empat aspek yang dipelajari untuk mengetahui motivasi kelembagaan, yaitu sejarah kelembagaan, misi yang diembannya, kultur yang menjadi pegangan dalam bersikap dan perilaku anggotanya, serta pola penghargaan yang dianut. Ketiga, kapasitas kelembagaan. Pada bagian ini dipelajari bagaimana kemampuan kelembagaan untuk mencapai tujuan-tujuannya. Kemampuan tersebut diukur dalam lima aspek, yaitu: strategi kepemimpinan yang dipakai, perencanaan program, manajemen dan pelaksanaannya, alokasi sumberdaya yang dimiliki, dan hubungan dengan pihak luar yaitu terhadap clients, partners, government policymakers, dan external donors. Keempat, kinerja kelembagaan. Terdapat tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu keefektifan kelembagaan dalam mencapai tujuannya, efisiensi penggunaan sumberdaya, dan keberlanjutan kelembagaan berinteraksi dengan para kelompok kepentingan luarnya. 2.2 Konsep Transaksi Williamson (2005) menyatakan bahwa suatu transaksi terjadi manakala suatu jasa atau kebaikan ditransfer melalui teknologi penghubung yang dapat dipisah-pisah. Furubotn (1999) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa menurut penafsiran ini, istilah traksaksi hanya terbatas ke situasi dimana sumberdaya benar-benar ditransfer dalam pengertian penyerahan fisik. Penyerahan seperti ini boleh terjadi di dalam perusahaan atau di luar perusahaan.
15
Menurut Weber (1968) dalam Suhana (2008) objek perhatian dalam analisa ekonomi kelembagaan adalah tidak hanya transaksi ekonomi tetapi juga yang lainnya, yaitu tindakan sosial. Tindakan sosial diperlukan untuk menetapkan, memelihara, atau merubah hubungan sosial. Dalam hal ini, teransaksi ekonomi adalah semacam transaksi sosial atau tindakan sosial yang penting bagi pemeliharaan dan formasi dari kerangka kelembagaan dimana kegiatan ekonomi terjadi. 2.2.1 Konsep Biaya Transaksi Furobotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa biaya transaksi adalah ongkos untuk menggunakan pasar dan biaya melakukan hak untuk memberikan pesanan di dalam perusahaan. Disamping itu, ada juga rangkaian biaya yang diasosiasikan
untuk menggerakkan dan menyesuaikan
dengan kerangka politik kelembagaan. Untuk masing-masing tiga jenis biaya transaksi dapat dibedakan menurut dua tipe, yaitu (1) biaya transaksi tetap, yaitu investasi spesifik yang dibuat dalam menyusun kesepakatan kelembagaan; dan (2) biaya transaksi variabel, yaitu biaya yang tergantung pada jumlah atau volume transaksi. Yustika (2006) dalam Suhana (2008) menyatakan bahwa pada poin ini, sifat dari biaya transaksi sama dengan ongkos produksi. Pada keduanya mengenal konsep biaya tetap dan biaya variabel. Akan tetapi, dalam identifikasi yang mendalam, tentu membedakan antara biaya tetap dan variabel dalam biaya transaksi tidak semudah apabila membandingkannya dalam biaya produksi.
16
2.2.2 Biaya Transaksi Manajerial Furubotn & Richter (2000) dalam Suhana (2008) menyatakan ada dua tipe biaya transaksi manajerial, yaitu: •
Biaya penyusutan, pemeliharaan, atau perubahan desain organisasi. Ongkos ini juga berhubungan dengan biaya operasional yang lebih luas, yang biasanya secara tipikal masuk dalam fixed transaction cost;
•
Biaya menjalankan organisasi, yang kemudian dapat dipilah menjadi dua subkategori, yaitu (a) biaya informasi; dan (b) biaya yang diasosiasikan dengan transfer fisik barang dan jasa yang divisinya terpisah.
2.3 Ketahanan Pangan Menurut FAO (1997) ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dan dimana rumah tangga tidak beresiko untuk mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Hal tersebut berarti konsep ketahanan pangan mencakup ketersediaan yang memadai, stabilitas, dan akses terhadap pangan-pangan utama. Ketersediaan pangan yang memadai mengandung arti bahwa secara rata-rata, pangan tersedia dalam jumlah yang mampu memenuhi kebutuhan konsumsi. Stabilitas merujuk pada kemungkinan bahwa pada situasi yang sesulit apapun , konsumsi pangan tidak akan jatuh di bawah kebutuhan gizi yang dianjurkan. Sedangkan akses mengacu pada fakta bahwa masih banyak masyarakat yang mengalami kelaparan karena ketidakadaan sumberdaya untuk memproduksi pangan atau ketidakmampuan untuk membeli pangan sesuai kebutuhan. Determinan utama dari ketahanan pangan adalah daya beli atau pendapatan untuk memenuhi biaya hidup (Tabor et al 2000).
17
Menurut UU Pangan tahun 1996, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan pangan bagi rumahtangga, tidak hanya dalam jumlah yang cukup, tetapi juga harus aman, bermutu, bergizi, dan beragam dengan harga yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Secara umum terdapat empat aspek ketahanan pangan utama yaitu: aspek ketersediaan pangan, aspek stabilitas pangan, aspek keterjangkauan, dan aspek konsumsi (Haryadi 2009). Menurut Haryadi (2009), terdapat empat aspek ketahanan pangan yang utama yaitu: (i) aspek ketersediaan pangan; (ii) aspek stabilitas pasokan; (iii) aspek keterjangkauan; (iv) aspek konsumsi. Keempat aspek ketahanan tersebut harus saling bersinergi satu sama lain untuk membentuk satu ketahanan yang kuat. Secara lebih detail, keempat aspek ketahanan pangan yang saling terkait ini dapat dijelaskan pada Table 3 berikut ini. Tabel 3. Aspek Ketahanan Pangan dan Indikatornya Aspek Ketahanan Indikator Pangan Ketersediaan Pangan Kecukupan jumlah, mutu, dan gizi Keamanan Keterandalan Persediaan Stabilitas pasokan pangan setiap waktu Stabilitas pasokan pangan setiap waktu Keterjangkauan Keterjangkauan fisik, ekonomi, dan sosial Kasesuaian dengan preferensi Kesesuaian dengan kebiasaan dan budaya Kesesuaian dengan kepercayaan Kecukupan Konsumsi Kecukupan asupan Kualitas pengelolaan pangan Kualitas air, sanitasi, dan hygiene Kualitas pengasuhan anak Sumber: Haryadi, 2009.
Indikator Akhir Kehidupan individu yang aktif dan sehat
2.4 Rumahtangga Miskin Rumahtangga miskin dapat diidentifikasi dengan penerapan ukuran insiden kemiskinan pada tingkat individu. Dalam pengukuran diperlukan beberapa penyesuaian karena garis kemiskinan berbeda-beda menurut ukuran dan tipe 18
rumahtangga. Angka indeks yang berhubungan dengan garis kemiskinan untuk tipe rumah tangga yang berbeda dikenal dengan skala kesetaraan. Skala ini digunakan untuk membandingkan tingkat kemiskinan menurut rumahtangga berdasarkan karakteristik rumahtangga yang diamati. Terdapat tiga pendekatan utama dalam menentukan skala persamaan untuk tipe rumahtangga yang berbeda: (i) survei kebutuhan individu; (ii) penelitian empirik mengenai kebiasaan pengeluaran rumahtangga; (iii) studi tentang gizi dan psikologi (Raharto dan Romdiati 2000). Ukuran rumahtangga miskin lainnya yang dikembangkan oleh Sayogyo. Penentuan garis kemiskinan menurut konsep sayogyo untuk kota adalah berdasarkan rata-rata kebutuhan kalori dan protein untuk orang Indonesia berdasarkan saran dari WHO yaitu 1.900 kalori dan 40 gr protein per kapita per hari. Menurut garis kemiskinan Sayogyo: 1. Rumahtangga miskin adalah rumahtangga dengan pengeluaran setara beras kurang dari 320 kg per kapita per tahun. 2. Rumahtangga sangat miskin adalah rumahtangga dengan pengeluaran setara beras kurang dari 240 kg per kapita per tahun. 2.5 Karakteristik Rumahtangga serta Hubungannya dengan Ketahanan Pangan 2.5.1 Ukuran Rumahtangga Menurut Martianto & Ariani (2004), ukuran rumahtangga mempengaruhi pendapatan per kapita dan pengeluaran konsumsi pangan. Rumahtangga dengan banyak anak dan jarak kelahiran antar anak yang sangat dekat akan menimbulkan lebih banyak masalah. Pangan yang tersedia untuk satu keluarga, mungkin tidak
19
akan cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota rumahtangga tersebut tetapi hanya mencukupi sebagai dari anggota keluarga itu. Berdasarkan
penelitian
Prabawa
(1998)
dalam
Herdiana
(2009)
diungkapkan bahwa setinggi apapun tingkat pendapatan yang diperoleh seorang kepala rumahtangga dalam rumahtangganya, pada akhirnya kesejahteraan mereka ditentukan oleh pendapatan per kapita. Besarnya pendapatan perkapita selain ditentukan oleh total pendapatan yang diterima, juga oleh seluruh anggota rumahtangga yang bersangkutan. Tidak semua anggota rumahtangga dalam keluarga bekerja produktif sehingga dapat memperbesar beban ketergantungan. Banyaknya jumlah anggota keluarga akan mempengaruhi tinggi rendahnya pendapatan per kapita dan besarnya konsumsi keluarga. 2.5.2 Pendidikan Hasil penelitian Megawangi (1994) dalam Herdiana (2009) membuktikan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan suami berhubungan nyata dan positif terhadap
kebiasaan
merencanakan
anggaran
biaya.
Dengan
demikian,
rumahtangga yang dikepalai oleh seseorang dengan tingkat pendidikan rendah cenderung lebih miskin dibandingkan dengan rumahtangga yang dikepalai oleh mereka yang berpendidikan tinggi. 2.5.3 Pengeluaran Rumahtangga Pengeluaran rumahtangga dibagi menjadi dua, yaitu pengeluaran pangan dan
pengeluaran
nonpangan.
Kartika
(2005)
dalam
Herdiana
(2009)
mendefinisikan pengeluaran pangan adalah jumlah uang yang akan dibelanjakan untuk konsumsi pangan, sedangkan pengeluaran nonpangan adalah jumlah uang yang dibelanjakan untuk kepeluan selain pangan seperti pendidikan, listrik, air,
20
kosnsumsi, transportasi, tabungan, biaya produksi pertanian dan kebutuhan nonpangan lainnya. Menurut Tanziha (2005) bahwa secara naluri individu, seseorang akan terlebih dahulu memanfaatkan setiap penghasilan bagi kebutuhan dasarnya berupa pangan. Jika kebutuhan dasarnya tersebut telah terpenuhi, maka tiap kelebihan penghasilannya dialokasikan untuk nonpangan. Proporsi pengeluaran pangan dapat digunakan sebagai indikator untuk menentukan tingkat pemenuhuan kebutuhan konsumsi pangan rumahtangga semakin rendah. 2.5.4 Pengambilan Keputusan Rumahtangga Menurut Guhardja (1992) pengambilan keputusan merupakan suatu proses menetapkan suatu keputusan yang terbaik, logis, rasional, dan ideal, berdasarkan fakta, data, dan informasi dari sejumlah alternatif untuk mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan dengan resiko terkecil, efektif, dan efisien, yang akan dilaksanakan pada masa yang akan datang. Menurut Sajogyo (1983) menyatakan bahwa pendidikan bukan merupakan satu-satunya sumberdaya pribadi yang paling berpengaruh terhadap kekuasaan. Dikatakan bahwa istri yang mengenyam pendidikan formal lebih rendah dari suami, tetapi mempunyai pengalaman yang memperkaya pribadinya, mempunyai kekuasaan yang setara dengan suami, dan bila perlu istri tersebut mampu mengambil keputusan tertentu. Melalui pengalaman (terutama yang diperoleh istri di luar rumah) istri akan berinteraksi dengan nilai-nilai baru yang pada akhirnya akan menambah pengetahuannya. Istri yang pendidikannya rendah dan tidak mempunyai sumberdaya pribadi lain (selain pendidikan) maka kekuasaan dalam rumahtangga biasanya akan didominasi oleh suaminya.
21
Menurut Sajogyo (1983) tingkat keputusan dihubungkan dengan pengeluaran pokok terdiri dari: (1) makanan (biaya hidup, jenis atau menu makanan, distribusi), (2) perumahan (pembelian dan perbaikan), pakaian, pendidikan, kesehatan, dan perabotan rumahtangga. Sedangkan untuk jenis keputusan rumahtangga, dikelompokkan dalam lima tingkatan yaitu: (1) keputusan dibuat oleh istri tanpa melibatkan suami, (2) keputusan dibuat bersama oleh suami-istri, tetapi dengan pengaruh lebih besar dari istri, (3) keputusan dibuat bersama dan senilai oleh suami-istri, (4) keputusan dibuat bersama suami-istri tetapi dengan pengaruh yang lebih besar dari suami, (5) keputusan dibuat oleh suami seorang diri tanpa melibatkan istri. 2.5.5 Akses Rumahtangga Terhadap Pangan 2.5.5.1 Ketersediaan Pangan Wilayah Beras merupakan bahan pangan pokok yang dikonsumsi oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, produksi beras menjadi indikator yang sangat penting untuk diperhatikan pencapaiannya. Selama periode 20012005 ketersediaan padi yang berasal dari produksi dalam negeri mengalami peningkatan rata-rata sebesar 1,8 persen per tahun, yaitu meningkat dari 50,46 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2001 menjadi 15,54 juta ton pada tahun 2005 (Bapenas 2007). Namun, ketersediaan pangan secara makro tidak mencerminkan ketersediaan pangan secara mikro. 2.5.5.2. Kemiskinan dan Masalah Pangan dan Gizi Berbagai faktor masalah pangan dan gizi disebabkan oleh kemiskinan yang dinilai memiliki peranan penting dan bersifat timbal balik. Timbal balik artinya kemiskinan akan menyebabkan kurang gizi dan individu yang kurang gizi akan berakibat atau melahirkan kemiskinan. Masalah kurang gizi memperlambat
22
pertumbuhan ekonomi dan mendorong proses pemiskinan melalui tiga cara. Pertama, kurang gizi secara langsung menyebabkan hilangnya produktivitas karena kelemahan fisik. Kedua, kurang gizi secara tidak langsung menurunkan kemampuan fungsi kognitif dan berakibat pada rendahnya tingkat pendidikan. Ketiga, kurang gizi dapat menurunkan tingkat ekonomi keluarga karena meningkatnya pengeluaran untuk berobat (Bapenas 2007). Tingkat dan kualitas konsumsi makanan anggota rumahtangga miskin tidak memenuhi kecukupan gizi sesuai kebutuhan. Dengan asupan makanan yang tidak tercukupi bagi anggota rumahtangga menjadi lebih rentan terhadap infeksi sehingga sering menderita sakit. Keluarga miskin dicerminkan oleh profesi/mata pencaharian yang biasanya adalah buruh/pekerja kasar yang berpendidikan rendah sehingga tingkat pengetahuan pangan dan pola asuh keluarga juga kurang berkualitas. Keluarga miskin juga ditandai dengan tingkat kehamilan tinggi karena kurangnya pengetahuan tentang keluarga berencana dan adanya anggapan bahwa anak dapat menjadi tenaga kerja yang memberi tambahan pendapatan keluarga. Namun demikian, banyaknya anak justru mengakibatkan besarnya beban anggota keluarga dalam sebuah rumahtangga miskin. 2.5.5.3. Manajemen Stok dan Stabilisasi Harga Pangan Manajemen stok pangan dan stabilitasi harga pangan yang bersifat strategis menjadi sangat krusial bagi perkembangan ekonomi pangan dan ketahanan pangan. Pangan strategi seperti beras sangat berpengaruh terhadap tingkat konsumsi energi masyarakat karena beras sebagai makanan pokok masyarakat. Kenaikan harga pangan strategis di pasar domestik cukup bervariasi. Kenaikan harga pangan diakibatkan oleh inflasi. Harga pangan yang berfluktuatif
23
dapat diantisipasi dengan sistem manajemen stok seperti adanya lumbung padi desa. Adanya lumbung padi tersebut diharapkan dapat menstabilkan stok dan harga bahan pangan. 2.6 Kearifan Lokal dalam Kelembagaan Pangan Ketahanan pangan di tingkat rumahtangga dapat dipenuhi dari produksi dan cadangan pangan sendiri maupun kelompok. Menurut Kantor (2001) dalam Koesoemowardani (2003) menjelaskan konsep ketahanan pangan komunitas sebagai sebuah konsep yang berorientasi pencegahan yang mendukung pengembangan dan penyediaan pangan yang berkelanjutan dengan strategi berdasarkan komunitas untuk meningkatkan akses rumahtangga miskin terhadap penyediaan pangan. 2.6.1 Konsep Kelembagaan Pangan Menurut Anwar (2001) dalam Basri (2008), institusi atau kelembagaan merupakan aturan main (the rule of game) dalam masyarakat yang secara lebih formal dapat dikatakan sebagai alat manusia guna mengatur perilaku individual anggotanya yang membangun pengaturan dalam interaksi antar anggota-anggota dalam masyarakat tersebut melalui norma-norma tertentu. Dalam beberapa hal institusi merupakan kendala-kendala terhadap kebebasan individual angotaangotanya dalam masyarakat. Individual sering membuat tindakan yang menimbulkan eksternalitas (terutama yang negatif) yang sering mengancam kepentingan masyarakat keseluruhan, sehingga masyarakat perlu membatasi kebebasan individual-individual tersebut agar perilakunya bersesuaian dengan kepentingan masyarakat.
24
Kelembagaan memilki dua pengertian. Pertama sebagai aturan main (rule of the game) dalam interaksi interpersonal. Dalam kaitan kelembagaan pangan masyarakat, kelembagaan diartikan sebagai sekumpulan aturan baik yang formal maupun informal, tertulis maupun tidak tertulis mengenai tata hubungan manusia dengan lingkungannya yang menyangkut hak-hak dan kewajiban dalam kelembagaan. Kedua kelembagaan sebagai suatu organisasi dalam pengertian ekonomi menggambarkan aktivitas ekonomi yang dikoordinasikan bukan oleh sistem harga, tetapi oleh mekanisme administratif dan kewenangan. Kelembagaan dalam masyarakat merupakan nilai dan norma yang mengatur tata kehidupan sosial masyarakat. Salah satu bentuk kelembagaan masyarakat dalam pengembangan dan penyediaan pangan bagi masyarakat melalui
kelembagaan
pangan.
Menurut
Departemen
Pertanian
(2002)
kelembagaan pangan merupakan organisasi yang tumbuh dari dan oleh masyarakat sendiri yang didasari kesamaan kepentingan dalam menangani bidang pangan secara formal terorganisasi dan memiliki anggaran dasar dan anggaran rumahtangga tertulis. Berdasarkan
kajian
Tim
Studi
Lumbung
IPB
(1983)
dalam
Koesoemowardani (2003) sistem lumbung desa yaitu suatu sistem kelembagaan penyediaan bahan pangan (beras dan non beras) dan bahan-bahan lainnya, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama dalam menanggulangi kerawanan pangan dan gizi yang ditimbulkan oleh kemisikinan struktural. Kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung desa diharapkan didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat. Sesuai dengan tujuan
25
peningkatan kesejahteraan , sistem lumbung desa ini dapat berperan sebagai ujung mata rantai dan juga wadah lokal bagi program-program bantuan sosial pemerintah, padat karya, intensifikasi usahatani, dan PKK. Sumardjo (2003) mendefinisikan kelembagaan pangan masyarakat sebagai segala bentuk pengaturan atau keteraturan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pangan di masyarakat yang telah menjadi acuan dalam bertindak, karena di dalamnya terkandung nilai, norma, penggunaan/pemanfaatan dan pemeliharaan sarana dan prasarana pendukungnya, serta cara-cara perpola pengendalian sosial agar kelembagaan tersebut senantiasa terjaga dengan efektif sebagai wahana memenuhi kebutuhan masyarakat. Nilai yang menjadi acuan bertindak anggota dan pengurus kelembagaan pangan (lumbung pangan masyarakat) meliputi kepercayaan, memnuhi kebutuhan pangan dan modal terutama dalam keadaan darurat, dan nilai transparansi (keterbukaan). Sedangkan norma yang menjadi acuan dalam bertindak meliputi sistem jasa, pinjaman, bagi hasil, pengambilan dalam bentuk natura dan fungsi penyangga harga (PSP-IPB 2003) dalam (Basri 2008). 2.6.2 Lumbung Pangan Sebagai Instrumen Ketahanan Pangan Menurut Kusumowardini (2002) istilah lumbung telah dikenal oleh masyarakat di beberapa daerah. Lumbung yang ada sering dikonotasikan sebagai lumbung paceklik. Lumbung paceklik tersebut dibentuk sebagai cadangan bagi petani di musim paceklik sehingga petani dapat meminjam gabah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Keberadaan lumbung pangan merupakan lembaga alternatif yang diupayakan dapat menggantikan peran kelambagaan lokal yang sekarang mengalami banyak kehancuran. Keberadaan lumbung pangan tidak
26
hanya diperlukan pada masa paceklik saja melainkan sebagai alternatif penyediaan modal bagi petani. Peran yang dijalankan oleh lumbung pangan adalah sebagai berikut: 1. Menampung surplus produksi pangan pedesaan pada saat panen. 2. Melayani kebutuhan pangan pedesaan pada musim paceklik. 3. Melakukan simulasi pemupukan modal melalui iuran dalam bentuk bahan pangan maupun tunai. 4. Membantu petani yang kesulitan modal usaha dengan cara menyediakan alternatif kredit mikro bagi warga komunitas sehingga warga terhindar dari praktek-praktek bank harian dari para pengijon. 5. Menghindari petani dari kerugian penjualan dini atas produksi usaha tani untuk memenuhi kebutuhan mendesak dan menghindarkan petani untuk membeli bahan panga pokok dengan harga tinggi pada musim paceklik. Sistem lumbung pangan masyarakat adalah suatu sistem kelembagaan penyedia bahan pangan dan bahan-bahan lainnya yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan penduduk pedesaan, terutama menanggulangi kerawanan pangan. kegiatan-kegiatan pelaksanaan lumbung pangan masyarakat diharapkan dapat didukung oleh peran serta aktif dari masyarakat desa itu sendiri, dengan bantuan pemerintah sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi setempat (Tim Studi Lumbung IPB 2003) dalam (Basri 2008).
27