17
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Batasan Pertanian Perkotaan Terminologi pertanian perkotaan yang pada awalnya hanya digunakan oleh akademisi dan media, telah di adopsi oleh berbagai lembaga di bawah PBB, misalnya UNDP (Smith et al. 1996) dan FAO (FAO 1996; COAG/FAO 1999). Pertanian perkotaan didefinisikan sebagai aktifitas atau kegiatan bidang pertanian yang dilakukan dalam kota (intraurban) dan pinggiran kota (periurban) untuk memproduksi/memelihara, mengolah dan mendistribusikan beragam produk pangan dan non pangan, dengan memanfaatkan sumberdaya manusia dan material, produk serta jasa ke daerah perkotaan tersebut (Smith et al. 1996). Pertanian perkotaan adalah segala aspek kegiatan pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi dan produktivitas lahan dan ruang secara lestari (Sampeliling et al. 2007). Inovasi teknologi pertanian adalah suatu pembaruan metode penerapan paket atau komponen teknologi sistem usaha tani dengan mempertimbangkan aspek kelestarian sumberdaya (Utomo 1989). Menurut Rustiadi et al. (2008) perencanaan suatu perkotaan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbol-simbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosio-kultural dan pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan termasuk unsur pertaniannya akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Berdasarkan pengertian dan batasan di atas, maka pengembangan pertanian di wilayah perkotaan merupakan suatu sistem tersendiri. Jika dilihat dari sudut pandang pengelolaan sumberdaya alam, maka perkotaan merupakan suatu ekosistem yang “unik” karena terdapat beraneka ragam hayati dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik biofisik, sosial, fungsi-fungsi ekologi dan manusia itu sendiri. Berdasarkan hal tersebut dan hasil penelitian ini, maka dapatlah didefinisikan atau diberi batasan sebagai berikut; pertanian perkotaan adalah “segala aspek kegiatan budidaya pertanian pangan dan non pangan di wilayah perkotaan yang dicirikan usaha tani lahan sempit, intensif, akses informasi pasar dan teknologi terjamin dengan optimalisasi produksi, produktivitas lahan dan ruang, diterima secara sosial dan memberikan nilai tambah penghasilan masyarakat serta mendukung lingkungan secara berkelanjutan”.
18
2.2. Pengembangan Pertanian Perkotaan Untuk keberhasilan rancangan, penanaman tanaman dan kelestariannya maka sifat dan ciri serta kriteria (a) arsitektural dan (b) hortikultural tanaman dan vegetasi yang sifatnya produksi pertanian harus menjadi bahan pertimbangan dalam menseleksi jenis tanaman yang akan dikembangkan. Jenis usaha tani, luas serta sebaran penggunaan lahan dan ruang yang ada sangat penting diketahui guna pengembangan yang tepat (Djaenuddin et al. 2003). Menurut Amien (1996), hasil evaluasi penggunaan lahan dan ruang dapat memberikan gambaran tentang penggunaan pada saat sekarang (present land use) dan sangat penting artinya karena menyangkut luasan areal, penyimpangan batasan penggunaan lahan, terjadinya tumpang tindih, dan sebagainya. Surono
(2004)
melaporkan,
terdapat
kecenderungan
pertumbuhan
permintaan produk organik di kota-kota besar di Indonesia hingga 10 % per tahun. Hal tersebut ditunjukkan oleh peningkatan jumlah supermarket, outlet, dan model pemasaran alternatif produk organik. Sementara itu, pemenuhan produk organik baru mencapai 0,5–2% dari total produk pertanian (Prawoto et al. 2005). Budidaya sayuran secara organik akan menghasilkan produk yang lebih berkualitas dan bernilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan hasil budidaya secara konvensional (BioCert 2006). Menurut Sastro et al. (2009), budidaya sayuran sistem hidroponik organik dipercaya merupakan salah satu terobosan yang dapat ditempuh guna meningkatkan kuantitas dan kualitas serta daya saing produk sayuran yang dihasilkan petani di DKI Jakarta. Sistem hidroponik diharapkan dapat mengatasi keterbatasan lahan pertanian yang ada, sedangkan sistem budidaya organik dipercaya dapat meningkatkan daya saing produk sayuran yang dihasilkan. Menurut Barus dan Syukri (2008), hortikultura adalah ilmu dan seni bercocok tanam yang memerlukan pemeliharaan khusus, serta bercocok tanam tersebut dilakukan di kebun atau pekarangan, baik di pedesaan dan perkotaan. Pekarangan yang disebut compound garden atau mixed garden, yang didenfinisikan sebagai sebidang tanah darat yang terletak langsung di sekeliling rumah dengan batas-batas yang jelas, serta umumnya ditanami berbagai jenis tanaman. Ilmu hortikultura mencakup aspek produksi dan penanganan pasca panen yaitu: teknologi perbanyakan, penanaman, pemeliharaan, serta pasca panen. Luas lahan pertanian
19
untuk lahan tanaman hortikultura di dunia adalah sangat kecil bila dibandingkan dengan luas lahan tanaman lain seperti serealia (biji-bijian) yaitu kurang dari 10%. Hal tersebut disebabkan oleh komoditas hortikultura yaitu: (1) lemahnya modal usaha, (2) rendahnya pengetahuan. (3) harga produk hortikultura sangat berfluktuasi, sehingga resiko besar, (4) umumnya prasarana transportasi kurang mendukung, dan (5) belum berkembangnya agroindustri yang memanfaatkan hasil tanaman hortikultura sebagai bahan baku. Pertanian perkotaan sebenarnya memiliki multi fungsi yang sebagian masyarakat sering dianggap biasa (taken for grated) (Sawio 1998). Multi fungsi pertanian perkotaan adalah (1) produksi pertanian (pangan dan non pangan), (2) pengelolaan ruang terbuka hijau, (3) produksi/konsumsi energi panas, (4) daur ulang CO2, (5) udara segar dan ketenangan (6) pandangan terbuka-amenity, (7) pendidikan, (8) peluang lapangan kerja, (9) pengelolaan air (kuantitas dan kualitas), (10) rekreasi, (11) daur ulang limbah padat dan cair, (12) urban planning reserve, dan (13) estetika perkotaan. Berdasarkan karakteristik potensi, peluang, resiko serta multifungsi pertanian perkotaan, maka alternatif model-model usaha (dalam konteks pertanian perkotaan) yang patut dipertimbangkan untuk kegiatan masyarakat (COAG/FAO 1999) adalah; (1) usaha produksi benih/bibit, (2) usaha penyemaian/nursery, (3) usaha penyewaan tanaman hias, (4) usaha pembuatan bonsai, (5) usaha bunga potong dan bunga pot, (6) usaha tanaman buah dalam pot, (7) usaha sayuran lahan sempit terbuka, (8) usaha sayuran dalam rumah kaca dan plastik, (9) usaha sayuran dalam media terbatas, (10) usaha sayuran semi hidroponik, (11) usaha sayuran hidroponik, (12) usaha sayuran organik, dan (13) usaha tanaman buah tahunan. Pengembangan tanaman penghijauan; hal ini dapat dilakukan pada lahan atau lokasi publik dan privat, seperti pembangunan hutan kota, pembangunan ruang hijau pertamanan kota, ruang hijau rekreasi kota, ruang hijau stadion olah raga, ruang jalur hijau (green belt) sungai dan jalan (Nurisyah 2005), ruang hijau taman hutan raya, ruang hijau hutan lindung, dan ruang hijau areal penggunaan lain di wilayah perkotaan. Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengembalikan kondisi lingkungan perkotaan yang rusak adalah dengan pembangunan RTH yang mampu memperbaiki keseimbangan ekosistem perkotaan. Upaya ini bisa dilakukan dengan
20
cara membangun hutan dan taman-taman kota (lahan publik) dan di lahan privat yang produktif pertanian (pekarangan pada permukiman penduduk) yang memiliki beraneka ragam manfaat sebagai “identitas kota” dan nilai estetika. Pengembangan tanaman penghijauan dengan RTH produktif seperti pengembangan hortikultura tanaman tahunan dan tanaman musiman yang dapat memberikan nilai tambah kepada masyarakat perkotaan. Tanaman penghijauan ini merupakan penyerap gas karbon dioksida yang cukup penting. Kita ketahui, bahwa cahaya matahari akan dimanfaatkan oleh semua tumbuhan, baik hutan kota, hutan alami, tanaman pertanian dan lainnya dalam proses fotosintesis yang berfungsi untuk mengubah gas karbon dioksida dengan air menjadi karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2). Proses kimia pembentukan karbohidrat (C6H12O6) dan oksigen (O2) adalah 6CO2 + 6H2O + Energi dan klorofil menjadi C6H12O6 + 6O2. Proses fotosintesis sangat bermanfaat bagi manusia. Pada proses fotosintesis dapat menyerap gas yang bila konsentarasinya meningkat akan beracun bagi manusia dan hewan serta akan mengakibatkan efek rumah kaca. Di lain pihak proses fotosintesis menghasilkan gas oksigen yang sangat diperlukan oleh manusia dan hewan. 2.3. Pertanian Berkelanjutan Berdasarkan Undang-Undang (UU) No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini, dan generasi masa depan. Konsep pertama pembangunan berkelanjutan dirumuskan dalam Brundtland Report yang merupakan hasil kongres Komisi Dunia Mengenai Lingkungan dan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa: “Pembangunan berkelanjutan ialah pembangunan yang mewujudkan kebutuhan saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mewujudkan kebutuhan mereka” (WCED 1987). Ada dua hal yang secara implisit menjadi perhatian dalam konsep Brundtland tersebut, yaitu Pertama, menyangkut pentingnya memperhatikan kendala sumberdaya alam dan lingkungan terhadap pola pembangunan dan konsumsi dan Kedua, menyangkut perhatian pada kesejahteraan (well being) generasi yang akan datang.
21
Konsep pertanian berwawasan lingkungan adalah agroekologi merupakan studi agroekosistem yang holistik, termasuk semua elemen lingkungan dan manusia. Fokusnya adalah pada bentuk, dinamika dan fungsi hubungan timbal balik antar unsur-unsur tersebut serta proses dimana seluruh elemen terlibat (Reijntjes et al. 1992). Perencanaan suatu perkotaan seyogyanya tidak hanya dipenuhi oleh simbolsimbol kekuatan ekonomi saja, tetapi berisikan simbol-simbol kekuatan sosiokultural, pemerintahan. Disisi lain, keserasian antara simbol kegiatan masyarakat dengan simbol-simbol lingkungan akan menciptakan suasana yang ”harmonis” serta ”nyaman” bagi warga perkotaan. Ekosistem perkotaan dapat dibagi menjadi empat ruang (compartment) secara berimbang, yaitu ruang sistem produksi, ruang sistem perlindungan, ruang sistem serbaguna dan ruang sistem industri perkotaan. Untuk implementasi konsep ruang tersebut diperlukan prosedur zonasi lanskap (Rustiadi et al. 2008). Menurut Munasinghe (1993), beberapa kalangan meringkas tujuan-tujuan pembangunan yang terbagi dalam tiga tujuan, yaitu tujuan ekonomi, sosial dan ekologi. Dari berbagai pendekatan, dapat disimpulkan tiga tujuan pembangunan, yaitu (1) produktivitas, efisiensi dan pertumbuhan (growth), (2) pemerataan keadilan dan keberimbangan (equity), dan (3) keberlanjutan (sustainability). Reijntjes et al. (1992), menyebutkan bahwa pertanian berkelanjutan harus memenuhi beberapa indikator antara lain; (1) mantap secara ekologis, bahwa kualitas sumberdaya alam dipertahankan dan kemampuan agroekosistem secara keseluruhan dari manusia, tanaman, hewan sampai organisme tanah ditingkatkan. Hal itu akan terpenuhi jika tanah dikelola dan kesehatan tanaman, hewan dan masyarakat dipertahankan melalui proses biologi (regulasi sendiri). Sumberdaya lokal dipergunakan sedemikian rupa sehingga kehilangan unsur hara, biomassa dan energi bisa ditekan serendah mungkin serta mampu mencegah pencemaran. Tekanannya adalah pada penggunaan sumberdaya yang dapat diperbaharui. (2) berlanjut secara ekonomis, bahwa petani bisa cukup menghasilkan untuk pemenuhan kebutuhan dan atau pendapatan sendiri serta mendapatkan penghasilan yang mencukupi untuk mengembalikan tenaga dan biaya yang dikeluarkan. Keberlanjutan ekonomis dapat diukur dari produk usaha tani yang langsung namun juga dalam hal fungsi melestarikan sumberdaya alam dan meminimalkan resiko. (3) adil, bahwa sumberdaya alam dan kekuasaan di
22
distribusikan sedemikian rupa sehingga kebutuhan dasar semua masyarakat terpenuhi dan hak-hak mereka dalam penggunaan lahan, modal yang memadai, bantuan teknis serta peluang pemasaran terjamin. Semua orang memiliki kesempatan untuk berperan serta dalam pengembilan keputusan, baik di lapangan maupun di masyarakat. (4) manusiawi, bahwa semua bentuk kehidupan (tanaman, hewan dan manusia) dihargai. Martabat dasar semua makhluk hidup dihormati dan hubungan serta institusi menggabungkan nilai kemanusiaan yang mendasar, sperti kepercayaan, kejujuran, harga diri, kerjasama dan rasa sayang. Integritas budaya dan spritualitas masyarakat dijaga dan dipelihara. (5) luwes, bahwa masyarakat pedesan mampu menyesuaikan diri dengan perubahan kondisi usaha tani yang berlangsung terus seperti pertambahan jumlah penduduk, kebijakan, permintaan pasar dan lain-lain. Hal ini meliputi bukan hanya pengembangan tekhnologi yang baru dan sesuai, namun juga inovasi dalam arti sosial dan budaya. Konsep pembangunan pertanian berkelanjutan mencakup 3 komponen utama yakni : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi dan (3) keadilan kesejahteraan (Kay dan Alder 1999). Sistem pertanian berkelanjutan (SPB) terdiri atas praktek-praktek ekologi (kebutuhan lingkungan dan didasarkan atas prinsipprinsip ekologi), tanggung jawab sosial (pemberdayaan masyarakat, kesamaan sosial dan kesehatan, kesejahteraan penduduk) dan semangat ekonomi (ketahanan pangan, kelayakan ekonomi dan bernuansa teknologi). Pengertian dan pendekatan tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian berkelanjutan harus dapat memenuhi indikator dari berbagai aspek (Trupp 1996). Indikator sistem pertanian berkelanjutan adalah pendapatan masyarakat petani yang cukup tinggi, tidak menimbulkan kerusakan dan dapat dikembangkan dengan sumberdaya yang dimiliki petani. Sistem pertanian berkelanjutan akan terwujud, hanya apabila lahan digunakan untuk sistem pertanian yang tepat. Bila lahan tidak digunakan secara tepat, produktifitas akan cepat menurun dan ekosistem mengalami kerusakan. Penggunaan lahan yang tepat selain menjamin bahwa lahan memberikan mamfaat untuk pemakai saat ini, juga menjamin bahwa sumberdaya akan bermanfaat untuk generasi penerus di masa mendatang. Dengan mempertimbangkan keadaan agroekologi, penggunaan lahan berupa sistem produksi tanaman yang tepat dapat ditentukan (Puslittanak 1999).
23
Keberlanjutan sistem usaha tani bergantung pada 3 karakteristik utama, yaitu kemampuan untuk mengendalikan kehilangan tanah, efektifitas dalam meningkatkan pendapatan petani dan secara sosial agroteknologi yang digunakan harus dapat diterima dan dapat diterapkan (acceptable dan replicable) dengan sumberdaya yang ada, termasuk pengetahuan, keterampilan dan persepsi petani (Sinukaban 2007). Menurut Sabiham (2005), ciri utama penggunaan lahan berkelanjutan adalah berorientasi
jangka
panjang,
dapat
memenuhi
kebutuhan
saat
ini
tanpa
mengorbankan potensi untuk masa datang, pendapatan per kapita meningkat, kualitas lingkungan dapat dipertahankan atau bahkan dapat ditingkatkan, mempertahankan produktifitas dan kemampuan lahan serta mempertahankan lingkungan dari ancaman degradasi. Lanjut mengemukakan bahwa, pertanian berkelanjutan harus pula di indikasikan dengan tidak terjadinya kerusakan lingkungan. Kondisi ini memerlukan teknologi tepat guna, kebijakan dan pengelolaan sumberdaya yang sesuai dengan keunggulan komparatif dan kompetitif wilayah. 2.4. Kebijakan Pengembangan Pertanian Berdasarkan Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, dimana perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan aspek fungsional. Namun dalam Undang-Undang No. 32/2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan peri kehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. Oleh sebab itu penataan ruang (RTRW) disesuaikan pendayagunaan sumberdaya lahan aktual, khususnya untuk pengembangan RTH pertanian perkotaan, yang pada akhirnya memberikan “kontribusi” menyeimbangkan dengan pembangunan non pertanian, pada gilirannya diharapkan terjadi keseimbangan, kesesuaian dan keselarasan antara pembangunan fisik/sarana dan pembangunan pertanian.
24
Menurut Anderson (1984), kebijakan adalah kegiatan yang dipilih secara sengaja oleh aktor tertentu atau sekelompok aktor dalam mengatasi suatu masalah. Kebijakan publik adalah kebijakan yang dibuat oleh lembaga pemerintah dan pejabatnya. Dari berbagai definisi kebijakan baik yang sederhana maupun yang kompleks oleh Djoko et al. (2003) menyimpulkan, kebijakan adalah cara atau tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu. Di beberapa wilayah Jerman, pemerintah kota mengeluarkan regulasi yang mengharuskan bangunan industri baru memiliki atap hijau dari materi tanaman. Juga kota-kota Swiss yang mengharuskan konstruksi baru untuk merealokasi ruang terbuka hijau yang hilang akibat pembangunan konstruksi tersebut ke bagian atap bangunan baru (Braatz 1993). Sebagai contoh di Dar es Salaam, Tanzania merupakan salah satu kota yang memiliki legislasi paling lengkap mengenai pertanian perkotaan di Afrika (Sawio 1998). Partisipasi publik yang tinggi melalui survey multistakeholders dan lokakarya partisipatif ditempuh secara regular untuk menyusun prioritas perbaikan legislasi tersebut serta pelaksanaannya (enforcement) dilapangan. Dalam Undang-Undang No. 26/2007 tentang penataan ruang, bahwa ruang terbuka hijau (RTH) dipersyarakatkan 30% keberadaannya dari luas wilayah perkotaan, RTH adalah area memanjang jalur dan mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. ruang terbuka hijau di perkotaan adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open spaces) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman, dan vegetasi (endemik, introduksi) guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh RTH dalam kota yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Dalam upaya mempertahankan sektor pertanian, baik sebagai fungsi produksi yang menghasilkan berbagai produk pertanian yang berkualitas, maupun fungsi lingkungan sebagai ruang terbuka hijau, maka Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta telah mencanangkan berbagai kebijakan. Kebijakan tersebut diantaranya
25
dituangkan dalam bentuk peraturan daerah (Perda) Provinsi DKI Jakarta No. 8/2004 tentang mutu dan keamanan komoditas hasil pertanian di Provinsi DKI Jakarta. Salah satu poin penting dari Perda tersebut adalah kebijakan pengembangan produksi sayuran bersih dan ramah lingkungan, diantaranya dengan menggunakan pendekatan teknologi hidroponik sebagai alat capaiannya. Pola pendekatan tersebut di atas, diharapkan akan dapat memenuhi kriteria spesifik pertanian perkotaan yang memiliki keterbatasan lahan, namun demikian efektif, produktif, bermutu, bernilai tambah tinggi, serta dapat meningkatkan ketersediaan pangan dan gizi masyarakat dalam jumlah yang cukup dengan harga terjangkau.
2.5. Sistem, Pendekatan Sistem dan Model Sistem berarti susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas dan sebagainya dengan kata lain bahwa sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri atas bagian-bagian, saling terkait satu sama lain yang berusaha untuk mencapai suatu tujuan dalam suatu lingkungan kompleks (Marimin 2004). Hartrisari (2007) mendefinisikan sistem sebagai kumpulan elemen-elemen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan. Selanjutnya Chechland (1981) sistem merupakan sekumpulan atau kombinasi elemen yang saling berkaitan membentuk sebuah kesatuan yang kompleks. Sistem terdiri atas: komponen, atribut dan hubungan yang dapat didefinisikan sebagai berikut: (1) komponen adalah merupakan bagian-bagian dari sistem yang terdiri atas input, proses dan output. Setiap komponen sistem mengansumsikan berbagai nilai untuk menggambarkan pernyataan sistem sebagai seperangkat aksi pengendalian atau lebih sebagai pembatasan. Sistem terbangun atas komponen-komponen, komponen tersebut dapat dipecah menjadi komponen yang lebih kecil. Bagian komponen yang lebih kecil tersebut disebut dengan subsistem, (2) atribut adalah sifat-sifat atau manifestasi yang dapat dilihat pada komponen sebuah sistem. Atribut tersebut mengkarakteristikkan parameter sebuah sistem, (3) hubungan merupakan keterkaitan di antara komponen dan atribut. Menurut Chechland (1981), ada beberapa persyaratan dalam berfikir sistem (system thinking), di antaranya adalah (1) holistik tidak parsial; system thinkers harus berfikir holistik tidak reduksionis; (2) Sibernetik (goal oriented); system thinkers harus mulai dengan berorientasi tujuan (goal oriented) tidak mulai dengan orientasi
26
masalah (problem oriented); (3) efektif; dalam ilmu sistem erat kaitannya dengan prinsip dasar manajemen, dimana suatu aktivitas yang mentransformasikan input menjadi output yang dikehendaki secara sistematis dan terorganisasi guna mencapai tingkat efektif dan efisien. Jadi dalam ilmu sistem, hasil harus efektif dibandingkan dengan efisien; ukurannya adalah cost effective bukan cost efficient. Akan tetapi akan lebih baik lagi apabila hasilnya efektif dan sekaligus juga efisien. Pendekatan sistem adalah suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 2004). Menurut Eriyatno (2003), karena pemikiran sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh, maka diperlukan suatu kerangka fikir baru yang dikenal sebagai pendekatan sistem (system approach). Pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pendekatan sistem dapat memberi landasan untuk pengertian yang lebih luas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku sistem dan memberikan dasar untuk memahami penyebab ganda dari suatu masalah dalam kerangka sistem. Pendekatan ini semakin diperlukan karena permasalahan yang dihadapi saat ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan yang lebih kompehensif, yang dapat mengidentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh (Marimin 2004). Keunggulan pendekatan sistem antara lain: (1) pendekatan sistem diperlukan karena makin lama makin dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem, (2) sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri, (3) dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara-cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah-olah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan-tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi, (4) konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisa yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya.
27
Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), mengkaji kompleksitas dari suatu perihal di dunia nyata diperlukan suatu metodologi yang secara filosofis dapat memberikan pedoman guna bertindak (action oriented) untuk menyiapkan informasi yang relevan pada kebijakan yang harus ditetapkan (policy research). Metode yang bersifat reduksi seperti linearisasi, permodelan yang statis, dan pengurangan faktor, sangat tidak efektif dalam menelaah sistem yang kompleks Model adalah suatu penggambaran abstrak dari sistem dunia riil atau nyata yang akan bertindak seperti sistem dunia nyata untuk aspek-aspek tertentu. Menurut Eriyatno (2003), model merupakan suatu abstraksi dari realitas yang akan memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta timbal balik atau hubungan sebab akibat. Suatu model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari realitas yang dikaji. Biasanya model dibangun untuk tujuan peramalan (forecasting) dan evaluasi kebijakan, yaitu menyusun strategi perencanaan kebijakan dan memformulasikan kebijakan (Tasrif 2004). Perilaku dinamis dalam model dapat dikenali dari hasil simulasi model. Simulasi model terdiri atas beberapa tahap, yaitu penyusunan konsep, pembuatan model, simulasi dan validasi hasil simulasi. Model dapat dinyatakan baik bila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Hasil simulasi yang sudah divalidasi digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan. Pengelolaan sumberdaya alam memerlukan pengembangan konsep yang bersifat interdisiplin dan interaktif. Pendekatan berpikir sistem dapat memberikan informasi yang lebih baik bagi pengelola atau pemegang kebijakan untuk mempelajari kompleksitas. Metode berpikir sistem menyediakan pengetahuan tentang sebuah mekanisme untuk membantu pengelola sumberdaya dan pemegang kebijakan dalam mempelajari hubungan sebab dan akibat dari proses yang berlangsung, mengidentifikasi permasalahan utama dan mendefinisikan tujuan yang ingin dicapai (Gao dan Nakamori 2003). Menurut Costanza dan Ruth (1998), sistem sumberdaya alam bersifat kompleks dan dinamis. Berbagai perubahan berlangsung secara terus menerus dan sulit untuk di prediksi. Pendekatan yang kolaboratif lintas disiplin merupakan kekuatan untuk menciptakan hubungan antara ilmu pengetahuan sumberdaya alam, manajemen dan kebijakan.
28
2.6. Tinjauan Terhadap Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian dan kajian terdahulu menunjukkan bahwa pertanian perkotaan secara umum masih terbatas pada penelitian dan kajian secara parsial terhadap komoditas, teknologi dan sumberdaya serta metodenya. Penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian dan kajian terdahulu yang merupakan rujukan dan membandingkan penelitian yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Peneliti dan topik, metode, hasil penelitian/pengkajian terdahulu. No
Peneliti dan Topik
1.
Aminah et al. (2005). Kajian Teknologi Pengembangan Sampah Organik Kota. (Pupuk dan Media Tanam)
Metode Analisis
Hasil Penelitian/Kajian
Metode dan 1. Melalui proses pengomposan analisis adalah sampah organik dapat tereduksi dengan; sekitar 18–20%. Kondisi ini teknologi merupakan peluang bagi sektor pengomposan, pertanian untuk memanfaatkan teknologi hasil daur ulang sampah organik pembuatan kota sebagai sumber organik bagi pupuk dan tanaman atau pupuk organik dan media, dan media tanam. inovasi 2. Bahwa kandungan nilai hara pada teknologi kompos sampah kota masih efektivitas pupuk tergolong rendah, oleh karena itu dan media tanam. dalam pengembangannya harus melalui proses pengkayaan (enrichment) dengan sumber hara lain seperti cocopeat. 3. Uji efektivitas pupuk dan media kompos sampah kota terhadap tanaman dilakukan pada tanaman sayuran daun (sawi, kangkung dan selada). Media tanam kompos yang ditambahkan cocopeat dan batuan fosfat memberikan hasil terbaik pada pertumbuhan tanaman sawi pada komposisi kompos + cocopeat dengan perbandingan 3 : 1 + 5% batuan fosfat, sedangkan tanaman kangkung diperoleh hasil terbaik pada komposisi kompos + cocopeat dengan perbandingan 1 : 1 + 5% batuan fosfat dengan umur panen tidak lebih dari 25 hari.
29 Tabel 1. (Lanjutan) 2.
Bakrie et al. (2005). Pengembangan Model Kredit Agribisnis Usaha Mikro-Mandiri (KAUM-Mandiri) Untuk Kegiatan Agribisnis Itik Petelur di DKI Jakarta.
Metode analisis deskriptif kualitatif,
3.
Sugiartini et al. (2007). Kajian Teknologi Pemupukan dalam Pengelolaan Tanaman Belimbing di Jakarta Selatan.
Metode analisis dengan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 5 macam perlakuan
1. Hasil pengkajian ditetapkan jumlah dan kebutuhan terhadap pupuk Urea, KCl dan TSP sesuai rekomendasi. Hasil analisa tanah, menunjukkan bahwa status kesuburan tanah pada masing-masing lokasi pengkajian, rata-rata dalam kondisi rendah. 2. Hasil analisa tanah, dapat diinformasikan bahwa lokasi kegiatan disarankan untuk pemberian pupuk Urea berkisar 500 s/d 750 kg/ha/thn. Sedangkan Kebutuhan TSP dan KCl, berkisar antara 500 s/d 1000 kg/ha/thn. 3. Kebutuhan pupuk untuk perpohon adalah Urea dan TSP berkisar antara 1.12 - 3.15 kg/phn/thn, sedangkan kebutuhan KCl berkisar antara 2.25 3.68 kg/phn/thn. Dengan teknologi pengelolaan yang baik sesuai anjuran dapat meningkatkan produksi tanaman belimbing yang lebih tinggi sebesar 28,255 kg/pohon/tahun.
4.
Sulaiman et al. (2006). Analisis Kebijakan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Lahan Sawah di Propinsi DKI Jakarta.
Metode analisis deskriptif kualitatif, dan analisis konten.
5.
Sampeliling et al. (2007). Kajian Sumberdaya dan Kesesuaian Pengembangan Pertanian Perkotaan Metode Analisis Zona Agro Ekosistem(AEZ)
Metode analisis EKL dengan “sistem matriks” dan macthing serta interpretasi.
1. Memperkecil peluang terjadinya konversi lahan pertanian (sawah) dan pengendaliannya serta lahan sawah eksisting dilindungi. 2. Revisi Perda tentang RTRW sesuai dengan Undang-undang berlaku. 3. Instrumen insentif dan disinsentif bagi pemilik lahan pertanian. 1. Peta arahan pengembangan komoditas pertanian Skala 1 : 10.000 pada wilayah Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. 2. Kesesuaian lahan usaha tani rata-rata pada kategori S3, sehingga perlu input inovasi teknologi yang tepat guna berbasis agribisnis dan berwawasan lingkungan.
Analisis uji kelayakan, sekeksi (screening) menjadi anggota KAUMMANDIRI
1. Kelembagaan KAUM-Mamdiri merupakan modifikasi dari kelembagaan Karya Usaha Madiri (KUM) yang berperan sebagai ajang pendampingan penerapan teknologi. 2. Lembaga keuangan mikro dengan kegiatan sebagai saluran menerima dana, jasa pinjaman kredit serta tabungan kelompok dalam mengelolah usaha tani.
30 Tabel 1. (Lanjutan) 3. Usaha tani diarahkan pada komoditas varietas ciherang untuk padi sawah, sedangkan komoditas mangga, jambu air, itik petelur untuk dipekarangan penduduk, ikan mas di sawah dan kolam, kambing di tegalan, bakau api-api untuk konservasi mengrove pesisir, sayuran daun/buah di tegalan dan pekarangan rumah, tanaman perhutanan fisiografi berdaun rimbun dan lebar seperti cemara untuk jalur hijau jalan-jalan utama serta tanaman hias berdaun indah. 6.
Sampeliling et al. (2008). Kajian Mengenai Kesesuaian Pengembangan Sumberdaya Pertanian Perkotaan di DKI Jakarta
Metode analisis EKL dengan “sistem matriks” dan macthing serta interpretasi.
1. Peta arahan pengembangan komoditas pertanian Skala 1 : 10.000 pada wilayah Kecamatan Kermbangan Jakarta Barat. 2. Penerapan teknologi oleh para petani masih pada kategori sedang, untuk pengembangan tanaman hias, modal usaha dan unsur pembinaan. dilapangan masih relatif kurang. 3. Wilayah Kecamatan Kembangan Jakarta barat memiliki potensi lahan sistem pertanian pengembangan agribisnis tanaman hias, anggrek dan merupakan basis tanaman hias untuk wilayah DKI Jakarta.
Indrasti et al.(2007). Kajian Pemanfaatan Limbah Sayuran dan Buah-buahan Sebagai Pupuk Organik Cair dan Pakan Ternak.
Metode analisis deskriptif kualitatif.
1. Secara teknis dan finansial, limbah sayuran dan buah-buahan layak untuk dijadikan sebagai pupuk organik cair dan bahan padatan pakan ternak. 2. Teknologi pengolahan limbah sayuran dan buah-buahan tersebut dapat menjadi salah satu pilihan dalam mendukung program pengembangan pertanian organik, khususnya sayursayuran, dan pengembangan peternakan di DKI Jakarta
Sulaiman et al. (2007). Pengembangan Lembaga Pembiayaan dalam Mendukung Kegiatan Agribisnis Agribisnis Perkotaan di Provinsi DKI Jakarta
Metode analisis 1. Mayoritas petani (88,9%) menyatakan dengan deskriftif kelompok tani mempunyai peran kualitatif melalui dalam pengembangan usahanya. pengungkapan 2. Semua (100%) anggota kelompok tani keragaman, menyatakan membutuhkan permasalahan dan penambahan modal dari lembaga persepsi responden pembiayaan dalam upaya terhadap berbagai pengembangan usahanya. aspek yang dikaji. 3. Hampir semua (100%) anggota kelompok tani menyatakan setuju untuk mendirikan dan mengembangkan LKM-A.
(Agro Ekosistem Wilayah Kecamatan Kembangan)
7.
8.
Analisis ekonomi secara finansial guna indikator R/C ratio
31 Tabel 1. (Lanjutan) 9.
Bakrie et al. (2007). Upaya Peningkatan Produktivitas Usaha Tani Tanaman Hias Dalam Mendukung Agrowisata (Prima Tani Kecamatan Kembangan Jakarta Barat)
10. Suwandi et al. (2008). Analisis Kebijakan Pengembangan Budidaya Sayuran Secara Hidroponik di DKI Jakarta.
Metode analisis dengan deskriftif kualitatif dan Baseline Survey dan pembinaan Gapoktan.
1. Kegiatan pembinaan tersebut meliputi pengaktifan kembali 3 kelompok tani lama (Srikandi, Euphorbia dan Villa Meruya), serta penguatan 3 kelompok tani yang baru dibentuk (Tunggal Mulia, Kompakta dan Mawar). 2. Dalam kegiatan pembuatan pupuk organik cair berasal dari limbah kandang kambing, maka telah berhasil dilakukan pengukuran jumlah urine dan feses dari kambing yang dipelihara di wilayah ini. Diperoleh hasil bahwa rataan jumlah urine yang diproduksi oleh kambing adalah 953,88 ml/ekor/hari, sedangkan jumlah feses segar yang dapat dihasilkan adalah sebanyak 359,7 g/ekor/hari.
Metode analisis dengan deskriftif kualitatif dan Analisis konten (Perda Nomor 8 Tahun 2004 dan Perda Nomor 1 Tahun 2008)
a. Pengembangan budidaya sayuran menggunakan sistem hidroponik, sebagaimana diinisiasi dengan pengembangan Hydroponic Center di Cilangkap dan Sukapura dapat dapat menjadi titik tolak pengembangan di tingkat masyarakat. (khususnya Perda Nomor 8 tahun 2004 dan Perda Nomor 1 tahun 2008). b. Manajemen budidaya meliputi sistem pembibitan, teknik budidaya, pemilihan komoditas, hingga penanganan panen dan pascapanen yang digunakanuntuk masyarakat, baik masyarakat tani maupun masyarakat umum di DKI Jakarta.
11.
Sastro et al. (2009). Peran Pupuk Limbah Cair Peternakan Sapi Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sawi, Selada, dan Kangkung di Kec. Jagakarsa Jakarta Selatan
Metode analisis varian dan dilanjutkan menggunakan Uji Duncan Multiple Range Test pada taraf uji 5%
1. Persentasi pengaruh pemberian pupuk limbah cair peternakan sapi terhadap pengaruh pupuk NPK pada parameter pertumbuhan sawi, selada, dan kangkung berturut-turut mencapai 108, 100, dan 102%, sedangkan parameter hasil tanaman berturut-turut 95, 87, dan 61% 2. Pupuk limbah cair peternakan sapi dapat dijadikan pengganti pupuk NPK dalam sistem budidaya sawi, selada, dan kangkung secara organik dengan kualitas hasil panen serta harga yang kemungkinan lebih baik dibandingkan dengan sistem budidaya konvensional menggunakan pupuk kimia.
32 Tabel 1. (Lanjutan) 12.
13.
Bakrie et al. (2008). Implementasi Teknologi Perbanyakan Bibit, Pemupukan dan Pengendalian HPT pada Tanaman Hias Berdaun Indah di Kecamatan Kembangan Jakarta Barat
Metode analisis dengan deskriptif kualitatif dan Analisis finansial usaha tani.
Winarto et al. (2010). Aplikasi 2,4-D dan TDZ dalam Pembentukan dan Regenerasi Kalus pada Kultur Anther Anthurium
Metode penelitian laboratorium. Analisis dengan Rancangan acak lengkap pola faktorial dengan empat ulangan.
1. Jenis teknologi penyiraman telah diintroduksikan kepada petani tanaman hias, yaitu: a) teknik penyiraman dengan irigasi tetes yang ditujukan untuk tanaman dewasa dengan maksud untuk menghindari rusaknya bunga. b) penyiraman semprot menggunakan sprinkler untuk tanaman bibit. 2. Jumlah pendapatan dari petani tanaman hias di lokasi prima tani mengalami peningkatan setiap bulan mulai dari bulan Maret 2008 dan angka tertinggi tercapai pada bulan Juli 2008, akan tetapi mulai bulan Agustus sampai Oktober 2008 terjadi penurunan secara terus menerus. Namun demikian secara umum dampak dari dilaksankannya kegiatan Prima Tani di wilayah ini adalah terjadinya peningkatan pendapatan per bulan bagi petani tanaman hias, yaitu rata-rata sebesar 23,2%, dengan peningkatan terendah sebesar 11,7% (Rp 150.000,-) dan peningkatan pendapatan tertinggi sebesar 66,6% (Rp 500.000,-). 1. Kombinsi konsentrasi TDZ 2,4-D dan berpengaruh terhadap regenerasi kalus. 2. Konsentrasi TDZ 2,4-D 0,5 mg/l dan 2,0 mg/l sesuai untuk pembentukan kalus dengan potensi tumbuh anther mencapai 58%, 38% beregenerasi, dan rerata 2,3 anther membentuk kalus per perlakuan. 3. Konsentrasi TDZ 2,4-D 1,0 mg/l dan 0,5 mg/l merupakan kombinasi terbaik untuk meregenerasi kalus menjadi tunas dan menghasilkan 5,3 tunas per eksplan.