TINJAUAN PUSTAKA Batasan dan Kriteria Sistem Agroforestry Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan lahan berkelanjutan untuk meningkatkan produktivitas lahan dengan mengkombinasikan antara tanaman pertanian dan tanaman hutan dan/atau hewan secara simultan atau berurutan dalam unit lahan yang sama dan penerapan teknologi yang sesuai dengan sosial budaya masyarakat setempat (Nair, 1989a).
Dengan kata lain,
sistem penggunaan lahan dimana tanaman pohon-pohonan berkayu, semak dan rerumputan ditanam bersama-sama secara spasial dan/atau berurutan menurut waktu dengan atau tanpa hewan yang memberikan keuntungan lebih besar dari pada penanaman sistem monokultur dalam sistem pertanian atau kehutanan saja. Menurut De Foresta et al. (2000), keuntungan yang diperoleh dari sistem ini antara lain; kesuburan tanah terpelihara, konservasi tanah dan air, mengurangi resiko kegagalan panen, peningkatan produksi, pengendalian hama dan penyakit sehingga dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi petani setempat. Menurut Nair (1989a; 1989b), agroforestry adalah suatu sistem penggunaan lahan yang berorientasi sosial dan ekologi dengan mengintegrasikan pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian dan atau ternak secara simultan atau berurutan untuk mendapatkan total produksi tanaman dan hewan secara berkelanjutan dari suatu unit lahan dengan input teknologi yang sederhana pada lahan marginal. Oleh karena itu, agroforestry sebagai suatu sistem budidaya yang terdiri dari tanaman pohon dan non pohon yang tumbuh dalam asosiasi tertutup sebagai satu kesatuan hutan dan pertanian yang bertujuan untuk memaksimumkan produksi dalam jangka panjang dengan hasil yang diperoleh sekaligus berasal dari dua komponen (pohon dan non pohon). Di dalam sistem ini terdapat interaksi ekologi maupun ekonomi diantara berbagai komponen tanaman tersebut. Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, maka batasan agroforestry dapat disimpulkan bahwa : (a) agroforestry terdiri atas dua atau lebih jenis tanaman (dan/atau hewan), (b) agroforestry selalu memiliki dua atau lebih produk, (c) siklus hidup tanaman penyusun sistem agroforestry selalu lebih dari satu tahun, dan (d) sistem agroforestry memiliki struktur ekosistem lebih komplek dari
pada sistem monokultur. Dalam perkembangannya, sistem penggunaan lahan ini dapat mengalami modifikasi model, terutama dalam hal pemilihan jenis tanaman tahunan yang lebih benilai ekonomi juga dapat meningkatkan produktivitas lahan dan mengurangi tingkat erosi (Nair, 1985). Dengan demikian penggunaan lahan melalui sistem agroforestry dapat meredam resiko ketidakpastian harga, sementara sumberdaya tanah dan air dapat terpelihara.
Selain itu, akan
menciptakan kondisi iklim mikro yang lebih baik yang dimungkinkan oleh penanaman tanaman tahunan dan dengan perakarannya yang relatif dalam diharapkan mampu memperbaiki fungsi hidrologis tanah (Nair, 1989c).
Klasifikasi Sistem Agroforestry Pengelolaan lahan dalam berbagai sistem agroforestry telah banyak diinventarisir dan dikembangkan dengan bentuk yang beragam tergantung pada kondisi wilayah, sosial, ekonomi, budaya masyarakat, dan tujuan sistem agroforestry itu sendiri.
Namun demikian, keragaman sistem agroforestry
tersebut dapat dikelompokkan ke dalam empat dasar utama (Nair, 1990; Chundawat dan Gautam, 1993) yaitu: (1) berdasarkan komponen penyusun yaitu, penggolongan sistem agroforestry yang didasarkan pada aspek komposisi komponen penyusunnya (tanaman pertanian, hutan, pakan, dan/atau ternak); (2) berdasarkan fungsinya (functional basis) adalah penggolongan sistem agroforestry yang didasarkan pada fungsinya seperti fungsi produksi dan fungsi perlindungan; (3)
berdasarkan
sosial-ekonominya
(socioeconomic
basis),
merupakan
penggolongan sistem agroforestry ditinjau dari aspek tingkat teknologi pengelolaan dan tujuan komersilnya, dan (4) berdasarkan ekologisnya (ecological basis), adalah sistem agroforestry yang didasarkan pada kondisi ekologis lokasi. Berdasarkan strukturnya sistem agroforestry dibedakan atas beberapa tipe : (1) Agrisilviculture, adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pepohonan (hutan) dengan tanaman pertanian. Contoh sistem tanaman lorong (alley cropping), dimana kebun yang ditanami pepohonan dapat terdiri dari berbagai jenis tanaman pagar, pohon penahan angin dan sejenisnya; (2) Silvopasture adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan tanaman pakan
dan/atau ternak dengan pepohonan (hutan). Tanaman yang digunakan terutama yang dapat menjadi sumber pakan ternak seperti tanaman leguminosa dan pohon buah-buahan; dan (3) Agrosilvopasture adalah sistem agroforestry yang mengkombinasikan sekaligus tanaman pepohonan (hutan), tanaman pertanian, tanaman hijauan ternak (pakan) dan/atau ternak (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Sistem agroforestry berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi fungsi produksi yaitu produksi pangan, pakan, bahan bakar kayu, serat, kayu dan lain-lain, serta fungsi perlindungan (protection) yaitu pencegahan dari kerusakan sumberdaya lingkungan dan sekaligus pemeliharaan sistem produksi seperti tanaman pagar, penahan angin, pencegah kebakaran, konservasi tanah dan air (Nair, 1989b; Chundawat dan Gautam, 1993). Berdasarkan sosial-ekonomi, sistem agroforestry dapat dibedakan atas: (1) tujuan komersial yaitu suatu sistem agroforestry yang pengelolaannya dimaksudkan terutama untuk menghasilkan produk bernilai ekonomi tinggi melebihi sistem monokultur (2) subsisten yaitu sistem agroforestry yang dikelola tanpa mempertimbangkan input dan output, berbasis tenaga keluarga dan umumnya merupakan dampak dari sistem perladangan berpindah; dan (3) Intermediate yaitu sistem agroforestry yang memiliki sifat diantara komersial dan subsisten dengan tingkat pengelolaan dan pencapaian produksi sedang, dan tetap mempertimbangkan input dan output, meskipun pada tingkat yang tidak maksimal (Nair, 1989c; Michon et al., 1989). Menurut De Foresta et al. (2000), berbagai bentuk sistem usahatani atau penggunaan lahan yang secara umum dapat diklasifikasikan sebagai suatu sistem agroforestry antara lain adalah : (1) sistem tumpangsari atau Taungya system, yaitu petani menanam tanaman semusim seperti padi, jagung, ubi kayu dan sebagainya selama 2 – 3 tahun setelah penanaman pohon hutan dengan kewajiban menjaga dan membersihkan gulma, (2) pertanaman lorong atau Alley cropping, yaitu suatu bentuk usahatani atau penggunaan lahan yang menanam tanaman semusim atau tanaman pangan di lorong yang ada diantara barisan pohon (tanaman pagar). Tanaman pagar dipangkas dan dijaga agar tetap rendah selama keberadaan tanaman semusim agar tanaman semusim tersebut tidak ternaungi dan
mengurangi kompetisi terhadap air dan unsur hara. Jika tanaman semusim telah dipanen, maka tanaman pagar dibiarkan tumbuh menutupi tanah, (3) talun-kebun, yaitu suatu bentuk usahatani tradisional dimana sebidang tanah ditanami berbagai macam tanaman yang diatur secara spasial atau urutan temporal. Tanaman yang dominan pada sistem ini adalah tanaman tahunan seperti berbagai jenis bambu, nangka, kopi robusta, petai, jeruk keprok dan sebagainya dan (4) kebun pekarangan, yaitu suatu bentuk usahatani yang penyebarannya meluas di Indonesia dimana sistem ini merupakan kebun campuran yang tidak teratur antara tanaman tahunan yang menghasilkan buah-buahan dan sayuran serta tanaman semusim yang terletak di sekitar rumah. Bentuk-bentuk tersebut di atas telah dipraktekkan sejak dahulu oleh petani, namun sistem ini terdesak oleh pandangan dan pendekatan spesialisasi yang telah dikembangkan dalam pemerintahan dibidang pembangunan pertanian selama ini, yaitu memisahkan satu sama lain antara pertanian pangan, hortikultura, perkebunan tanaman tahunan, kehutanan dan peternakan tanpa kerjasama dan koordinasi dalam kegiatan perencanaan dan pelaksanaannya.
Hal ini
mengakibatkan terciptanya batas yang kaku antar sektor pertanian dan kehutanan atau antar sektor lainnya, serta kurangnya perhatian dalam penelitian dan pengembangan secara ilmiah dari sistem usahatani pola agroforestry tersebut (De Foresta et al., 2000).
Strategi Pengembangan Pertanian Berkelanjutan dalam Pengelolaan DAS Tantangan yang paling utama dalam pengelolaan DAS adalah bagaimana mengembangkan rencana pengelolaan untuk mencapai berbagai tujuan yang saling bertentangan, terutama strategi pengelolaan DAS yang memungkinkan bagi petani daerah hulu menghasilkan bahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan kayu yang berbasis berkelanjutan (sustainable) tanpa merusak kemampuan DAS untuk menghasilkan air yang berkualitas dalam jumlah yang cukup dan tersedia secara terus-menerus (Pasaribu, 1999). Klasifikasi kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan menjadi tugas pertama untuk membantu menentukan penggunaan lahan yang sesuai dalam
pengelolaan DAS. Untuk itu seluruh DAS yang telah didiami, fungsi lindung dan fungsi produksi harus diseimbangkan untuk kebutuhan penduduk (Pasaribu, 1999).
Agroforestry adalah salah satu sistem penggunaan lahan yang paling
dikenal dapat memenuhi tujuan tersebut bagi petani khususnya di daerah hulu. Agroforestry seperti telah didefinisikan sebagai sistem penggunaan lahan yang mencoba untuk mencapai produktivitas dan menjamin keberlanjutan dengan mengkombinasikan tanaman pangan (semusim) dan tanaman berkayu (tahunan) dalam sistem rotasi atau intercroping dan pada waktu yang sama komponen ternak dapat ditambahkan. Dalam sistem ini, pada dasarnya tanaman pangan berperan untuk membantu memenuhi kebutuhan pangan bagi petani, sementara pepohonan (buah-buahan atau kayu-kayuan) membantu stabilisasi lahan berlereng, menurunkan erosi, memelihara kemampuan produktivitas lahan di daerah berlereng dan memperoleh kebutuhan kayu bakar, kayu perabot, buah dan biji pohon, serta pupuk hijau dan makanan ternak, bahkan menjadi investasi secara ekonomi bagi petani (Nair, 1989b dan 1989c). Dengan semakin berkurangnya hutan alam tropika, maka hutan tanaman sangat penting untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya alam kayu seperti antara lain dengan penanaman Hutan Tanaman Industri
(HTI) dan pengelolaan hutan secara
tumpangsari. Hutan Tanaman Industri (HTI) ternyata sangat terbatas dan beresiko semakin memicu ketegangan dengan petani setempat, menyangkut masalah status penguasaan dan pemilikan lahan. Sedangkan sistem tumpangsari juga menemui banyak hambatan karena konflik kepentingan antara aparat kehutananan dan petani yang muncul akibat sangat terbatasnya peluang bagi peranserta petani (De Foresta et al., 2000) Berdasarkan berbagai masalah dalam pembangunan hutan tanaman, keberhasilan kebun-kebun agroforestry tampak jauh lebih unggul.
Sistem
agroforestry didasari asas-asas lingkungan yang sama dengan sistem tumpangsari, tetapi dirancang dan dikelola sepenuhnya oleh para petani. Dengan bentuk yang beragam sesuai dengan jenis pohon utama, agroforestry menjamin pasokan bahanbahan kebutuhan sehari-hari (buah, sayur, dan berbagai bahan pangan lainnya). Selain itu, kehadiran budidaya tanaman komersil seperti : kopi, kayu manis, pala, karet, damar, kemiri, sukun, durian, duku, dsb, maka agroforestry juga berperanan
penting sebagai sumber pemasukan uang. Menurut De Foresta et al. (2000), nilai ekonomi kadang-kadang memiliki arti penting di tingkat nasional seperti, karet alam di Indonesia sebagai penghasil kedua di dunia, 70% produksi karet alam berasal dari sistem pertanian agroforestry. Sistem agroforestry juga merupakan contoh penggunaan lahan yang lestari secara ekologi, dimana kemiripan struktur dan fungsinya dengan ekosistem hutan alam, membuatnya muncul sebagai satusatunya sistem produksi yang mampu secara berkelanjutan melestarikan kesuburan tanah dan sekaligus kelestarian sebagian besar keragaman hayati hutan alam, baik hewan maupun tumbuhan. Untuk tujuan pertanian berkelanjutan, rehabilitasi lahan dan tindakan konservasi tanah dan air merupakan usaha paling penting mendapat perhatian. Salah satu tindakan konservasi tanah yang dianggap sangat penting adalah pengembalian bahan organik ke dalam tanah sebanyak mungkin, baik sisa tanaman sebagai mulsa dan pupuk hijau, maupun sisa kotoran hewan sebagai pupuk kandang. Copley et al. (1944 dalam Arsyad, 2000) menyebutkan bahwa diperlukan sedikitnya 18 ton/ha/th pupuk kandang untuk mempertahankan kesuburan tanah serta mengurangi limpasan permukaan dan erosi ketingkat yang diperbolehkan, disamping perbaikan kimiawi dan biologis tanah. Pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah telah banyak diketahui bahwa secara fisik dapat meningkatkan kemampuan tanah menahan air, merangsang granulasi, memantapkan agregat tanah, menurunkan kohesi, plastisitas dan menekan sifat-sifat buruk lainnya. Terhadap sifat kimia tanah, bahan organik dapat meningkatkan kapasitas tukar kation, pelarutan sejumlah unsur hara dari mineral tanah oleh asam-asam organik dan anorganik, serta dapat menambah kandungan hara di dalam tanah terutama Nitrogen dan Posfor. Bahan organik juga dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas metabolik organisme yang pada hakekatnya sangat membantu peningkatan produktivitas tanah. Akan tetapi, ketersediaan sumber bahan organik masih merupakan kendala utama, sedangkan pupuk kandang yang demikian besar diperlukan per satuan luas per tahun bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Sistem agroforestry adalah alternatif lain dalam memanfaatkan lahan menjadi lebih produktif yang merupakan teknik manajemen lahan dengan memadukan tanaman hutan dengan tanaman pertanian atau tanaman
pakan ternak (jenis legum) yang dapat menghasilkan bahan organik tinggi dalam satu unit lahan. Pemeliharaan ternak juga merupakan salah satu komponen sistem agroforestry yang dapat mendukung penggunaan lahan secara lestari (Narain and Grewal, 1994).
Agroforestry sebagai Pengendali Erosi Penelitian berbagai ekosistem hutan telah menyoroti fungsi lindung dari pohon-pohon dalam stabilisasi lereng. Ziemer (1981) dan O’Loughlin (1974) telah menunjukkan bahwa kayu dan sistem perakaran pohon dapat mengikat dan menahan tanah lapisan atas sehingga terjadi penimbunan (teras-teras kecil) serta mematahkan dan membuat retak pada lapisan cadas (bedrock) dan menciptakan pori-pori tanah yang baik sehingga dapat meningkatkan kapasitas infiltrasi dan mengurangi limpasan permukaan dan erosi. Kemudian dalam waktu yang lama keberadaan pohon-pohon (agroforestry) di dalam suatu DAS akan membentuk peran stabilisasi lereng yang juga memungkinkan penurunan erosi dan sedimentasi. Pada hutan alam yang belum dieksploitasi memberikan ”triple protective armor” yaitu : lapisan tajuk (crown layer), tanaman rendah (undergrowth) dan serasah (litter mass) yang mengurangi jumlah dan kecepatan limpasan permukaan oleh hambatan vegetatif, menstabilkan lereng dan meminimalkan erosi permukaan.
Meskipun pada sistem agroforestry ancaman erosi permukaan
dipercepat (accelerated surface erosion) tetap dianggap serius karena pengolahan tanah dan ruang di antara pohon yang ditanami untuk tanaman semusim dapat menimbulkan kerusakan permukaan tanah dan meningkatkan erosi (Wiersum, 1984), akan tetapi penanaman pohon pada daerah berlereng merupakan pertimbangan pengelolaan yang tepat, dimana pohon-pohon memiliki peranan utama untuk meminimalkan erosi alami dan mengurangi erosi dipercepat akibat intercroping tanaman pangan.
Pohon-pohon pada agroforestry yang ditanam
teratur dalam jalur dan tertutup sepanjang kontur secara efektif menahan erosi dan memelihara penyaring unsur hara berdasarkan panjang dan derajat kemiringan lereng, erodibilitas tanah, dan intensitas curah hujan serta strip kontur (terdiri dari dua jalur atau lebih) yang ada. Ruang di antara strip kontour yang berjarak 2-5 m
dapat ditanami tanaman semusim seperti pada sistem “alley cropping” (Nair, 1984).
Juanda dan U. Haryati (1993) mendapatkan bahwa pada sistem
pertanaman lorong (alley cropping atau agrosylviculture) antara pohon legum (flamengia dan kaliandra) sebagai tanaman pagar dan tanaman padi gogo, jagung, kacang tanah dan sayuran yang ditanam secara tumpangsari sebagai tanaman lorong lebih efektif menekan laju erosi menjadi 18 ton/ha/th dibandingkan kontrol sebesar 133,68 ton/ha/th. Deblic dan Moreau (1979) mendapatkan bahwa pada infiltrasi tanah, waktu paling lambat untuk menghabiskan air setinggi 10 cm pada ring infiltrometer yang dimasukkan ke dalam tanah pertanian (8 menit) sementara waktu tercepat pada tanah hutan (hanya 0,7 menit) dan pada tanah yang ditanami rumput Stylosanthes diperlukan waktu selama 7.1 menit. Pereira et al. (1972 dalam Lal, 1979) juga mendapatkan bahwa laju infiltrasi dan perkolasi terjadi perbedaan yang cukup mencolok antara tanah yang ditanami rumput gajah dengan tanah bervegetasi leguminosa dan tanah pertanian. Laju infiltrasi dan perkolasi pada tanah yang ditanami rumput lebih tinggi dibandingkan dengan tanah yang ditanami leguminosa (Peuraria sp.) dan tanaman pertanian. Teras adalah salah satu pendekatan untuk mengendalikan erosi secara efektif, namun peningkatan penduduk dan lahan pertanian di daerah hulu tidak seiring dengan perluasan daerah yang diteras. Petani daerah hulu kelihatannya enggan menginvestasikan tenaga kerja dan modal untuk perbaikan lahan yang permanen karena kepemilikan lahan yang tidak pasti dan biaya pembuatan teras yang cukup mahal dan sulit. Tipe “Alley cropping” dari agroforestry dengan pohon-pohon yang diatur dalam strip kontur merupakan pendekatan alternatif yang memungkinkan untuk kombinasi produksi pangan dan konservasi DAS di daerah tropik. Berbagai bentuk sistem agroforestry yang pada dasarnya dapat melindungi tanah dari ancaman erosi pada lahan berlereng dan/atau memperbaiki sifat kimia dan fisik tanah dengan cara : (1) menahan atau mengurangi daya perusak butirbutir hujan yang jatuh dan aliran air di atas permukaan tanah.
Hal ini
menyebabkan berkurangnya kekuatan dispersi air hujan, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan, (2) menambah bahan organik tanah melalui ranting-
ranting mati dan daun-daun yang jatuh serta hasil pangkasan.
Hal ini akan
meningkatkan ketahanan struktur tanah dan kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air hujan yang jatuh, serta menambah unsur hara dalam tanah.
Peranan Agroforestry dalam Stabilisasi Masyarakat DAS Upaya penempatan para petani di suatu wilayah DAS biasanya kurang berhasil. Beberapa pengelola hutan telah mencoba menempatkan petani dengan memilihkan lahan pada luasan kecil untuk memantapkan dan meminimumkan kerusakan penggunaan lahan di dalam DAS. Demikian pula upaya pemerintah dengan program transmigrasi dari wilayah berpenduduk padat ke wilayah yang berpenduduk jarang. Menurut Pasaribu (1999), usaha-usaha ini kadang-kadang kurang berhasil karena beberapa alasan, antara lain : (1) etnis minoritas umumnya ditemukan dibagian hulu DAS. Mereka hidup tidak menetap (berpindah-pindah) secara tradisional dan biasanya mereka tidak menginginkan pembatasan areal pertanian, oleh karena itu mereka bertani secara berpindah-pindah dan (2) petani yang dipindahkan dari daerah hilir ke daerah hulu DAS, mungkin bermaksud untuk tinggal menetap pada satu tempat apabila setelah merasa bahwa teknik budidaya mereka tidak sesuai lagi dengan pertaniannya di daerah asal atau telah terjadi ledakan gulma/hama, sehingga menjadi tidak dapat terkontrol lagi. Hoare (1983) berpendapat bahwa penanaman
pohon kelapa, mangga,
nangka, dan jeruk di Filipina telah mendorong petani-petani hulu untuk menempatkan rumahnya secara permanen di lokasi pertaniannya. Fenomena yang sama dengan kebun teh, kopi, durian, nangka, dan tanaman buah-buahan lainnya di Thailand. Oleh karena itu, apabila produksi pertanian mantap, petani akan lebih
senang
tinggal
menetap
dan
upaya
penyerobotan
hutan
akan
berkurang/berhenti. Meskipun kelompok petani tradisional yang tidak menetap tidak mudah untuk dirubah menjadi petani menetap, namun ketika tanamannya berbuah sebagai tanaman tahunan di dalam sistem agroforestry, maka petani akan menjadi terikat dengan tanamannya dan akan selalu ingin berada di kebunnya untuk menjaga dan memanen buahnya. Untuk itu, pengembangan sistem usahatani atau penggunaan lahan dengan sistem agroforestry yang mengintegrasikan tanaman pohon-pohonan
dengan tanaman semusim yang tersusun baik secara parsial maupun temporal atau minimal dapat menghasilkan bahan pangan, dan sekaligus memberikan hasil yang lestari dan sesuai dengan aspirasi sosio-kultural dan ekonomi masyarakat setempat serta tidak terlalu bergantung pada masukan teknologi yang mahal adalah sangat penting dikembangkan untuk menciptakan stabilisasi masyarakat di dalam DAS.
Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dengan Sistem Agroforestry Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Munasinghe (1993) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan memiliki tiga tujuan utama yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain, yaitu tujuan sosial (social objective), tujuan ekonomi (economic objective), dan tujuan ekologi (ecological objective).
Untuk tujuan sosial-
ekonomi, masyarakat pada umumnya berupaya memperoleh kesetaraan (equity) melalui perimbangan distribusi pendapatan atau keuntungan yang timpang dan pengentasan kemiskinan antar generasi (hak generasi mendatang). ekologi-ekonomi,
mengintegrasikan
faktor-faktor
lingkungan
ke
Tujuan dalam
pembuatan keputusan secara ekonomi terutama penilaian dampak lingkungan terhadap aset-aset lingkungan, meskipun fungsi-fungsi lingkungan terkadang tidak dapat dinilai dengan uang seperti keragaman hayati. Sementara tujuan ekologisosial masih sangat kurang dipahami, namun penting bagi partisipsi publik, pembuatan keputusan, konsultasi yang mempengaruhi kelompok-kelompok dan pluralisme. Tiga komponen utama yang harus diperhatikan dalam upaya pembangunan pertanian berkelanjutan sehubungan dengan pembangunan berkelanjutan itu sendiri adalah: kegiatan pertanian harus menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi (economic growth), meningkatkan kesejahteraan sosial (social walfare) dan memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental integrity). Permasalahan pokok adalah bagaimana mendorong kegiatan dibidang pertanian untuk tidak hanya memperhatikan aspek komersial berdasarkan benefit cost ratio (BCR) saja, tetapi juga memperhatikan tingkat pendapatan yang
mencapai kesetaraan.
Partisipasi masyarakat harus didorong sehingga
memungkinkan keterlibatan berbagai pihak yang lebih luas.
Kegiatan
pembangunan dibidang pertanian tidak hanya memantapkan kegiatan berusaha para pengusaha saja, tetapi juga mampu mendistribusikan manfaat ekonomi secara adil dan merata. Pembangunan adalah sebuah proses produksi dan konsumsi dimana materi dan energi diolah dengan menggunakan faktor produksi seperti modal (capital), tenaga kerja (labor atau human resources), dan bahan baku (natural resources). Dalam hal penyediaan bahan baku dan proses produksinya kegiatan pembangunan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan alam dan masyarakat sekitarnya, yang pada gilirannya akan berdampak kepada keberlanjutan pembangunan itu sendiri.
Oleh karena itu, dalam pengembangan pertanian
berkelanjutan juga harus dipastikan bahwa implementasinya memperhatikan ketahanan lingkungan (environmental resilience), memberikan dampak positif terhadap kehidupan masyarakat dan lingkungan fisik, seperti kualitas dan kuantitas air yang makin baik, keanekaragaman hayati yang makin pulih, dan degradasi lahan yang makin berkurang (Reijntjes et al., 1999). Pembangunan berkelanjutan harus bertumpu pada kapasitas manusia yang makin kuat. Pengembangan kapasitas dan kualitas sumberdaya manusia (SDM) secara terus menerus dapat dikaitkan dengan implementasi kegiatan pembangunan nasional baik yang berskala kecil maupun besar. Pembangunan berkelanjutan yang harus dilakukan saat ini adalah pembangunan yang tidak mengurangi kesempatan generasi mendatang untuk memperoleh bagian yang menentukan kesejahteraannya. Dengan demikian, pembangunan berkelanjutan harus dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya (Munasinghe, 1993). Pada setiap kegiatan pembangunan harus diperkenalkan secara luas dan transparan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaannya agar dapat memperoleh manfaat secara optimal untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Masyarakat yang makin kritis, pintar, dan sejahtera yang terbentuk saat ini merupakan aset pembangunan di masa depan (Murdiyarso, 2003). Oleh karena itu, kegiatan pembangunan harus berdampak langsung terhadap penyediaan lapangan kerja, peningkatan kegiatan ekonomi dan
pendapatan serta pengentasan kemiskinan. Dampak selanjutnya adalah terjadinya perbaikan kualitas hidup, layanan pendidikan dan kesehatan. Namun demikian, kesejahteraan sosial tidak boleh diartikan secara sempit dari pertimbangan fisik saja. Hal-hal nonfisik seperti penghargaan atas harkat manusia itu sendiri sangat penting artinya bagi pengembangan modal sosial (social capacity), pengakuan atas hak-hak, inovasi, dan partisipasi masyarakat harus mendapat tempat yang baik dalam perencanaan dan implementasi pembangunan (Murdiyarso, 2003). Dalam konteks pembangunan pertanian berkelanjutan pada dasarnya adalah kemampuan lahan untuk tetap reproduktif sekaligus mempertahankan basis sumberdaya alam yang berorientasi pada kesejahteraan sosial, pertumbuhan ekonomi dan ketahanan lingkungan. Sinukaban (1999) mengemukakan bahwa pertanian berkelanjutan mempunyai ciri-ciri: mantap secara ekologis (erosi aktual < erosi yang dapat ditoleransikan), dapat berlanjut secara ekonomi (produksi dan pendapatan yang tinggi secara lestari), teknologi dapat diterima oleh masyarakat (aplicable dan replicable). Menurut FAO (1995), pertanian berkelanjutan dan pembangunan pedesaan didefinisikan sebagai pengelolaan sumberdaya alam secara konservasi dengan orientasi teknologi dan perubahan institusi sebagai suatu cara untuk mencapai hasil yang berkelanjutan dimana sumberdaya lahan, air, tanaman dan genetik hewan terpelihara atau lingkungan tidak terdegradasi, teknologi yang tepat, dan memberikan pendapatan yang tinggi secara terus menerus dan sesuai dengan kondisi sosial-budaya setempat.
Oleh karena itu,
penggunaan lahan yang berkelanjutan merupakan suatu tindakan untuk memenuhi kebutuhan produksi dari penggunaan lahan sekarang tetapi memelihara sumberdaya alam pokok untuk generasi mendatang. Keberlanjutan suatu sistem penggunaan lahan tergantung pada fleksibilitasnya dalam keadaan lingkungan yang terus berubah. Adanya keanekaragaman sumberdaya genetik yang tinggi pada tingkat usahatani akan menunjang fleksibilitas ekosistem (Reijntjes, 1999). Dengan demikian agroforestry merupakan suatu sistem penggunaan lahan yang tepat untuk mendukung pertanian berkelanjutan tersebut karena disamping memiliki konstribusi produksi yang nyata dan beragam, juga fungsi konservasi terhadap lingkungan dan keadaan sosial sehingga menjamin ekonomi yang lebih luas dan keamanan pangan yang lebih tinggi.
Produktivitas Lahan pada Sistem Agroforestry Peranan sistem agroforestry sebagai tindakan konservasi tanah untuk menghindari dan mengatasi masalah degradasi lahan serta mencapai penggunaan lahan yang berkelanjutan telah diterima secara luas (Cooper et al., 1996). Sistem agroforestry menggabungkan ilmu kehutanan dan agronomi untuk menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan pelestarian lingkungan karena di dalamnya terdapat tanaman pertanian yang bernilai komersial, seperti rempahrempah dan kopi tetapi juga berpeluang bagi tanaman pangan. Dengan kombinasi pohon, perdu dan tanaman semusim, akan dapat memelihara kestabilan struktur tanah melalui sistim perakarannya serta tanah menjadi produktif secara berkelanjutan (De Foresta et al., 2000). Bentuk agroforestry sederhana yang paling banyak dijumpai adalah tumpangsari yang merupakan sistem taungya versi Indonesia yang diwajibkan di areal hutan jati di Pulau Jawa. Sistem ini dikembangkan dalam program perhutanan sosial Perum Perhutani. Sistem-sistem agroforestry sederhana juga menjadi ciri umum pada pertanian komersial, seperti kopi sejak dahulu diselingi dengan tanaman dadap yang menyediakan naungan bagi kopi dan kayu bakar bagi petani. Demikian pula kebun campuran kelapa dengan kakao juga semakin banyak dilakukan. Menurut Vegara (1986), daerah berlereng pada umumnya dapat dijumpai dalam suatu daerah aliran sungai, dimana unsur hara dan produktivitasnya hilang melalui tiga cara yaitu : erosi, pencucian dan limpasan permukaan, pemanenan dan pemindahan biomassa. Penurunan produktivitas melalui perkolasi mungkin dapat terganti, meskipun tidak sebanyak yang hilang dari sistem, karena perkolasi hanya memindahkan unsur hara ke lapisan tanah yang lebih dalam mencapai daerah perakaran tanaman semusim. Pada sistem agroforestry, penurunan unsur hara akan meningkat akibat erosi dipercepat, pemanenan dan pemindahan biomassa tanaman seperti biji, buah, daun dan bunga untuk dikonsumsi, batangbatang pohon untuk bahan bakar, dan kayu untuk penggunaan lainnya (Gambar 2). Akan tetapi, masukan unsur hara pada sistem ini dapat diperoleh secara buatan maupun secara alami (Gambar 3). Sebaliknya, sistem alami seperti hutan lindung, biomassa tidak dipanen sehingga kehilangan unsur hara dari erosi dan pencucian secara alami relatif sama dengan masukan unsur hara alami yang
berasal dari atmosfer dan siklus unsur hara. Oleh karena itu, keseimbangan unsur hara pada sistem alami dapat terpelihara.
Kehilangan (Keluaran dari Sistem)
Perpindahan (Di dalam Sistem) Vegetasi Agroforestry Serasah
Pemindahan (uptake)
Permukaan Tanah (Topsoil)
Pemanenan Biomassa (tanaman pangan dan produk h )
Erosi
pencucian/limpasan permukaan
Perkolasi Subsoil
Gambar 2. Perpindahan dan kehilangan unsur hara pada sistem agroforestry Ada empat hal menghindarkan degradasi lahan sehubungan dengan sistem agroforestry yaitu : (1) Menurunkan kehilangan unsur hara karena dalam sistem ini, hanya memindahkan bagian-bagian pohon yang bermanfaat untuk konsumsi, dan mendaur ulang biomassa yang telah menjadi residu; (2) Menurunkan erosi dan limpasan permukaan; (3) Meningkatkan laju penambahan unsur hara secara alami dengan mengintroduksi jenis-jenis pohon dan hijauan ternak yang mampu memfiksasi N dan menghasilkan serasah yang kaya Nitrogen; (4) Penggunaan pupuk kimia seminimum mungkin karena secara ekonomi penggunaan pupuk sangat terbatas dan mahal bagi petani daerah hulu. Selanjutnya, menurut Nair (1984), dalam sistem agroforestry yang dikombinasikan dengan tanaman legum, selain dapat meningkatkan N dari hasil fiksasi dan produksi pertanian, juga pada umumnya mempunyai tiga kharakteristik penting yaitu : (1) setelah pemangkasan, tanaman legum akan tumbuh kembali dengan cepat. Hal ini penting bagi petani karena tidak membutuhkan lagi tenaga kerja dan modal untuk menanam kembali tetapi seterusnya dapat memanen lagi dari tanaman tersebut. Selain itu, juga penting
bagi
perlindungan
DAS
karena
keberadaan
sistem
perakaran
tanaman/pohon yang terpelihara dapat mencegah perpindahan massa tanah dan
menurunkan erosi permukaan produktivitas tanah akan terpelihara secara terusmenerus, (2) daun-daun, bunga, dan buah tanaman legum umumnya cocok untuk makanan ternak dan ada pula yang dapat dikonsumsi manusia dan (3) daundaunnya kaya akan unsur N dan sangat baik untuk pupuk organik, apabila jatuh sebagai serasah, atau dipangkas secara teratur dan digunakan sebagai mulsa dan pupuk hijau yang dapat menyebabkan peningkatan dan pemeliharaan produksi tanaman pertanian.
Unsur hara dari Curah Hujan
Pupuk Organik (pertanian dan residu pohon)
Unsur hara Atmosfer melalui Tan. Fiks- N
Vegetasi Agroforestry
Pupuk Kimia
Permukaan Tanah
Subsoil
Gambar 3. Masukan unsur hara buatan dan alami pada sistem agroforestry Cooper et al. (1996) mengatakan bahwa pengaruh interaksi pohontanaman pertanian di dalam agroforestry menunjukkan respon positif terhadap peningkatan produktivitas, perbaikan kesuburan tanah, siklus hara, konservasi tanah baik secara langsung maupun tidak langsung. Selanjutnya dikatakan bahwa pada sistem tanaman pagar-intercroping, pengaruh persaingan dan manfaat untuk jangka pendek dapat berbeda dengan jangka panjang. Misalnya untuk cahaya dan air biasanya berpengaruh negatif untuk jangka pendek, sedangkan hara dan bahan organik menunjukkan pengaruh yang dihasilkan positif. Namun pengaruhnya terhadap perbaikan kandungan bahan organik dan sifat fisik tanah, penyediaan hara dari bahan organik tanah, dan perbaikan sifat kimia tanah, menunjukkan hasil pengaruh yang positif dalam jangka panjang.
Pada dasarnya pemanfaatan cahaya dan air, tumbuhan maupun hewan yang berbeda spesies memiliki kebutuhan akan cahaya, suhu, air dan kelembaban yang berbeda. Pada umumnya, terdapat spesies yang membutuhkan cahaya tinggi dan ada pula yang membutuhkan cahaya rendah atau bahkan membutuhkan naungan.
Konsep-konsep ini dapat diterapkan di dalam sistem agroforestry
terutama memodifikasi iklim mikro. Komponen tanaman dalam tumpangsari atau agroforestry sering sangat berbeda dalam ukuran, yaitu tanaman berukuran kecil sering mengalami hambatan pertumbuhan akibat pengaruh naungan, persaingan hara dan air. Persaingan cahaya merupakan faktor pembatas utama apabila air dan hara tersedia cukup. Akan tetapi di daerah tropik, faktor air dan hara (tanah masam), pencucian dan degradasi menjadi faktor utama yang akan berpengaruh terhadap produksi biomassa. Oleh karena itu, sistem agroforestry memberikan peluang untuk menerapkan sistem intercroping (tanaman sisipan) dengan pengaturan tanaman secara spasial atau temporal agar persaingan terhadap penggunaan air dapat diantisipasi, dimana antar spesies saling melengkapi dengan respon tanaman dari pola penutupan tajuk dan perakaran. Hudge (2000) melihat manfaat silvopasture dari adanya diversifikasi pendapatan, penekanan kebutuhan bahan kimia berupa pupuk dan pestisida. Selain itu, penggabungan pohon, tanaman pakan ternak dalam sistem ini dapat menekan resiko ekonomi dengan ketersediaan berbagai produk pada lahan yang sama. Pada lahan berlereng, tambahan keuntungan (manfaat) jangka pendek dan jangka panjang meningkat terhadap penurunan limpasan permukaan (run off) dan erosi.
Hal ini dikarenakan fungsi tanaman pagar yang semakin baik dari
perakaran yang membentuk teras-teras kecil sehingga dapat meningkatkan infiltrasi dan menurunkan limpasan permukaan dan erosi.
Demikian pula
terhadap sifat fisik tanah, Greacen (1975 dalam Quirck, 1979) melaporkan bahwa padang rumput berpengaruh baik terhadap persentase agregasi tanah, terutama di lapisan atas mendekati kondisi tanah hutan baik pada padang rumput berumur 3 tahun, maupun yang berumur 6 dan 10 tahun. Sementara pada tanah pertanian, persentase agregasi tanahnya sangat kecil, yaitu sekitar 3% merata dari lapisan atas hingga kedalaman 15 cm, persentase agregasi tanah (diameter > 0,5 mm) pada lahan pertanian sekitar 36 – 42% dan pada lahan padang rumput dapat
mencapai 48 – 63%.
Selanjutnya Tarigan et al. (2001) melaporkan bahwa
dengan menggunakan berbagai jenis tanaman sebagai penyaring sedimen vegetatif (Vegetative Sediment Filter) dan praktek agroforestry sangat efektif menurunkan hasil sedimen. Berbagai janis tanaman yang digunakan, yaitu batas lahan yang ditanami pohon pisang dan strip rumput menggambarkan efisiensi menahan sedimen sangat tinggi (74%), sementara hasil sedimentasi rata-rata pada agroforestry multistrata empat kali lebih rendah dari monokultur tanaman kopi yang dibersihkan; dan 3 kali lebih tinggi dari hutan alam.
Kombinasi jenis
tanaman sebagai penahan sedimen secara vegetatif dan praktek agroforestry akan memberikan pengaruh yang sama pada hutan alam terhadap penurunan hasil sedimen seperti ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Efektifitas berbagai jenis tanaman dan pola tanam dalam menahan sedimen di Tropical Rainforest Margin, Tahun 2001 No
Jenis Tanaman dan Pola Tanam
1
3.
Batas Lahan yang ditanami tanaman pepohonan/pisang dan strip rumput Batas Lahan yang tertutup rumput dalam strip kecil Padi ladang
No
Praktek Agroforestry
1. 2. 3. 4.
Agroforestry dengan multistrata Perkebunan kopi monokultur tanpa gulma Hutan alam (control) Perkebunan kopi monokultur, gulma dibersihkan
2.
Efektifitas Menahan Sedimen 74 % 63 % 70 % Hasil Sedimen (ton/ha) 0,24 0,25 0,08 1,03
Sasaran pokok agroforestry meliputi; peningkatan produktivitas lahan, pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, serta menjamin kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup yang berkualitas. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian serius dalam menyusun diversifikasi tanaman pada sistem agroforestry adalah proporsi relatif dari masing-masing komoditi. Penetapan proporsi relatif komoditi tersebut umumnya didasarkan pada kemiringan lahan. Disamping itu, strategi pemilihan jenis komoditi didasarkan atas target pemenuhan sumber karbohidrat, nilai gizi dan pendapatan petani untuk memenuhi pendapatan keluarga. Dengan demikian orientasi usahatani tidak hanya pada pemenuhan
pangan, sandang dan papan akan tetapi sejogyanya juga tertuju pada peningkatan status dan kualitas hidup masyarakat petani. Untuk mencapai sasaran tersebut diperlukan sistem usahatani yang mengarah kepada orientasi pasar, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Aspek Ekonomi Sistem Agroforestry Secara teknis agroforestry layak sebagai sistem penggunaan lahan di daerah berbukit termasuk daerah hulu DAS.
Beberapa kajian yang telah
dilakukan untuk menentukan keuntungan secara ekonomi dari sistem agroforestry bagi petani antara lain Mandoza (1977) di Filipina, Rachie (1981) di Colombia dan Nair (1984) di Afrika telah menunjukkan bahwa kombinasi Leucaena-jagungsayuran menghasilkan satuan output fisik yang lebih tinggi dari pada tanaman semusim monokultur. Agroforestry mempunyai fungsi ekonomi penting bagi masyarakat setempat dan memiliki peran utama selain produksi bahan pangan juga sebagai modal atau sumber pemasukan uang. Bahkan produksi dari sistem agroforestry kadang-kadang menjadi satu-satunya sumber uang tunai keluarga petani. Menurut De Foresta et al. (2000), agroforestry memasok 50 – 80% dari hasil pertanian di pedesaan melalui produksi langsung dan kegiatan lain yang berhubungan dengan pengumpulan, prosessing, dan pemasaran hasil.
Pendapatan dari sistem
agroforestry umumnya dapat menutupi kebutuhan sehari-hari dari hasil yang dapat dipanen secara teratur seperti lateks, damar, kopi, dan kayu manis. Selain itu, juga dapat membantu menutupi pengeluaran tahunan dari hasil-hasil yang dapat dipanen secara musiman seperti buah-buahan, cengkeh dan pala. Komoditas lainnya seperti kayu juga dapat menjadi sumber uang yang cukup besar meskipun tidak tetap dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendadak. Meskipun tidak memungkinkan akumulasi modal secara cepat dalam bentuk aset-aset yang dapat segera diuangkan, namun diversifikasi tanaman merupakan jaminan petani terhadap ancaman kegagalan panen salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan.
Jika
terjadi kemerosotan harga satu komoditas, spesies ini dapat dengan mudah
diterlantarkan hingga suatu saat pemanfaatannya kembali menguntungkan. Proses tersebut tidak mengakibatkan gangguan ekologi terhadap sistem ini, bahkan komoditas tersebut akan tetap hidup dalam struktur kebun dan siap untuk kembali dipanen sewaktu-waktu. Sementara komoditas lainnya tetap akan ada yang dapat dipanen, bahkan komoditas baru dapat diintroduksi tanpa merombak sistem produksi yang ada. Menurut Narain dan Grewal (1994), Agrohortisilviculture adalah sistem agroforestry yang telah dikembangkan di India. Sistem ini memadukan Leucaena, lemon, pepaya dan kunyit + kacang-kacangan (okra) diperoleh total pendapatan bersih rata-rata = Rp 17.066.000,-,/ha/thn sebaliknya pada sistem tanaman ganda (double cropping) = Rp 7.852.000,-/ha/thn (Tabel 2). Tabel 2.
Pendapatan bersih agrohortisilviculture dan tanaman ganda di India, Tahun 1985-1988 Pendapatan bersih (Rp/ha/th x 1000)
Sistem usahatani Agrohortisylviculture
Jenis-jenis tanaman Leucaena pepaya-lemon kunyit+kacangan Total
Sistem usahatani tanaman ganda
Jagung+blackgram
1985
1986
1987 1988 Rata-rata
233
1.455
944
4.970
1.901
14.769
8.345
17.806
7.770
12.127
-
7.200
2.250
2.520
2.993
15.004
17.000
21.000
15.260
17.066
7.624
9.078
4.902
9.805
7.852
Sumber : Narain dan Grewal, 1994
Selanjutnya Gintings (1993) melaporkan bahwa hasil usahatani terpadu lahan kering milik H. Usup seluas 0,97 ha dapat memberikan pendapatan Rp 8.484.500 untuk satu periode panen di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Sumedang Jawa Barat. Jenis tanaman dalam pola tanam terpadu yang diterapkan pada usahatani tersebut sesuai kondisi lahan dan iklim wilayah setempat adalah : teh, pisang, vanili, lada, salak, rumput pakan ternak dan ternak domba. Tanaman teh dipanen setelah berumur 4 tahun, vanili, lada dan pisang dapat dipanen setelah berumur 2 tahun, salak setelah 3 tahun dan rumput pakan ternak setelah berumur 1 tahun.
Selain hasil tanaman tersebut juga pupuk
kandang dan tambahan pendapatan dari hasil penjualan domba. Jarak tanam, populasi, produksi, pendapatan dan penempatan tanaman secara spasial disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Jenis Tanaman 1. Teh 2. Pisang 3. Vanili 4. Lada 5. Salak 6. Rumput
Jenis tanaman, produksi dan pendapatan usahatani terpadu di Desa Pamulihan Kecamatan Rancakalong, Tahun 1993 Jarak Tanam (m) 1,75 x 1 10 x 10 5 5 1 Barisan
Populasi (btg) 5.000 250 625 625
Penempatan Spasial Pada lahan olah Diantara barisan teh Selang seling vanili-lada Selang seling lada-vanili Pagar hidup Di bibir tebing teras Jumlah
Produksi 12.500 kg 500 tandan 625 kg 625 kg 115 kg 20 ton
Pendapatan (Rp) 1.875.000,750.000,1.875.000,3.750.000,34.500,200.000,8.484.500,-
Petani di Filipina memulai sistem agroforestry dengan penanaman sistem intercroping tanaman semusim seperti jagung, talas, dan padi dengan Albizia sp. Tanaman pangan diperuntukkan sebagai konsumsi rumah tangga sementara tanaman pepohonan untuk dipasarkan ke pabrik kertas dan pulp. Dengan sistem pertanian ini, petani akan memperoleh pendapatan yang lebih baik dari
pohon
penghasil kayu dari pada tanaman pangan/tanaman tahunan. Dengan demikian keadaan ekonomi petani meningkat dengan merubah sistem pertanian dari agroforestry tanaman tahunan subsisten menjadi tanaman tahunan berorientasi ekonomi pasar dan telah memberikan sumbangan stabilitas ekonomi daerah (Domingo, 1981 dalam Vegara, 1986).
Demikian pula kombinasi tanaman
perkebunan dan tanaman kehutanan, seperti: sistem pertanaman kopi + Leucaena dan kopi + Casuarina di Papua New Guinea; Lanzium + kelapa dan kakao + Leucaena di Filipina; kopi + Gliricidia dan kakao + Gliricidia + kelapa di Solomon; kopi + Gmelina di Thailand, kesemuanya memberikan perlindungan tanah yang lebih baik dari pada kombinasi tanaman tahunan dengan tanaman semusim karena frekuensi kerusakan tanah akibat persiapan lahan, penanaman dan pemanenan dari tanaman semusim dapat dihindari. Apabila pasar tersedia bagi komponen produksi hortikultura atau tanaman pertanian maka sistem agroforestry dapat dirubah dari tanaman semusim-subsisten menjadi tanaman tahunan hortikultura yang berorientasi pasar. Pada dasarnya petani diharapkan mengusahakan kombinasi tanaman perkebunan dengan
tanaman kehutanan, karena tanaman perkebunan (kopi, kakao, dst) dapat memberikan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, kesehatan dan sebagainya, meskipun tidak seperti halnya tanaman pangan yang dapat dikonsumsi langsung.
Keuntungan dan Kelemahan Sistem Agroforestry Berdasarkan uraian di atas mengenai peranan agroforestry dalam pengelolaan DAS dan pertanian berkelanjutan, maka keuntungan-keuntungan penerapan sistem agroforestry dapat diterima, baik secara ekologis atau lingkungan maupun secara ekonomis dan sosial. Keuntungan secara ekologis menurut Nair (1989b), Chundawat dan Gautam (1993) dan De Foresta et al. (2000) terdiri atas : (1) pengurangan tekanan terhadap hutan, terutama hutan lindung dan suaka alam ; (2) lebih efisien dalam siklus hara, terutama pemindahan hara dari kedalaman solum tanah ke lapisan permukaan oleh sistem perakaran tanaman pepohonan yang dalam; (3) penurunan dan pengendalian limpasan permukaan, pencucian hara, dan erosi tanah; (4) iklim mikro terpelihara dengan baik seperti terkendalinya temperatur tanah lapisan atas, pengurangan evaporasi dan terpeliharanya kelembaban tanah oleh pengaruh tajuk dan mulsa sisa tanaman; (5) sistem ekologis terpelihara secara baik dengan terciptanya kondisi yang menguntungkan dari populasi dan aktifitas mikroorganisme tanah; (6) penambahan hara tanah melalui dekomposisi bahan organik sisa tanaman dan atau hewan; dan (7) struktur tanah terpelihara akibat siklus yang konstan dari bahan organik sisa tanaman dan hewan. Selanjutnya dikatakan bahwa secara ekonomi, sistem agroforestry sangat menguntungkan terutama dalam beberapa hal antara lain : (1) peningkatan keluaran dalam arti produk yang diperoleh lebih bervariasi berupa pangan, pakan, serat, kayu, bahan bakar, pupuk hijau dan atau pupuk kandang; (2) memperkecil kegagalan panen akibat kegagalan dari salah satu jenis tanaman atau resiko perkembangan pasar yang sulit diperkirakan; (3) pendapatan petani terjamin dan berkelanjutan, seperti hasil kayu dapat menjadi sumber uang yang cukup besar dan dapat dianggap sebagai cadangan tabungan untuk kebutuhan mendesak.
Keuntungan secara sosial penerapan sistem agroforestry adalah : (1) dapat memenuhi standar kehidupan layak bagi masyarakat petani di pedesaan secara berkelanjutan; (2) Sumber pangan dan tingkat kesehatan masyarakat yang lebih baik dapat terpelihara karena peningkatan kualitas dan keragaman produk pangan, gizi dan papan; dan (3) terjaminnya stabilitas kelompok masyarakat petani lahan kering sehingga dapat mengurangi dampak negatif urbanisasi (Chundawat dan Gautam, 1993). Selain kelebihan-kelebihan tesebut di atas, sistem agroforestry juga memiliki kekurangan-kekurangan, baik secara ekologis maupun secara sosialekonomi (Chundawat dan Gautam, 1993). Kelemahan dari aspek lingkungan atau ekologis antara lain : (1) kemungkinan terjadinya persaingan cahaya, air dan hara antara tanaman pohon (hutan) dengan tanaman pertanian/pangan dan pakan; (2) kemungkinan terjadinya kerusakan tanaman pangan atau anakan pohon pada saat panen kayu (penebangan) dari sistem agroforestry; (3) tanaman pohon secara potensial dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit bagi tanaman pertanian; dan (4) tanaman pohon memiliki regenerasi relarif lama yang menyebabkan lahan pertanian menjadi sempit. Kelemahan dari aspek sosial-ekonomi antara lain : (1) terbatasnya penunjang kelembagaan baik berupa organisasi pemerintah dan masyarakat maupun berupa aturan, hukum dan perundang-undangan yang mengatur secara khusus atau insentif dan disinsentif dalam pengembangan sistem agroforestry; (2) Belum ada jaminan pasar dari produk-produk tertentu yang bersumber dari sistem agroforestry; (3) memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu masa panen tanaman pohon yang dapat mengurangi produksi sistem agroforestry tersebut; (4) sistem agroforestry diakui lebih kompleks sehingga diperlukan pengetahuan dan keterampilan petani dalam penerapannya dibandingakan pada sistem pertanian monokultur seperti pemilihan jenis-jenis tanaman, penempatan antar jenis, dan jarak tanam yang tepat; (5) keengganan sebagian besar petani untuk menggantikan tanaman pertanian/pangan dengan tanaman pohon yang bernilai ekonomis atau sebaliknya. Dalam
usaha
meningkatkan
penggunaan
lahan
secara
optimum,
mengendalikan erosi secara efektif, memperbaiki tingkat kesuburan tanah dan
meningkatkan pendapatan petani, maka sistem agroforestry penting dilaksanakan. Meskipun, peranan tersebut perlu dikaji lebih mendalam mengingat lahan yang diusahakan petani sangat tebatas, disamping perlunya perluasan lapangan kerja disektor lain sehingga jumlah masyarakat yang bergantung kepada lahan pertanian akan berkurang dan tekanan terhadap kawasan hutan diharapkan dapat berkurang. Model-model agroforestry yang dapat meningkatkan pendapatan petani perlu terus dikaji sesuai dengan perkembangan harga hasil produksinya.
Total Biomassa dan Karbon Berbagai Tipe Penggunaan Lahan Tanah merupakan pool karbon yang penting di dunia yang meliputi 1.500 – 2.000 Pg (1Pg = petagram = 1 milyar ton) dan 800 – 1.000 Pg sebagai karbon anorganik tanah dalam bentuk karbonat (Eswaran et al., 1993).
Kandungan
karbon organik tanah umumnya tinggi pada tanah di bawah vegetasi rumput atau hutan.
Penyerapan karbon merupakan penyimpanan karbon di dalam tanah
dengan bentuk yang relatif stabil, baik melalui fiksasi CO2 atmosfer secara langsung maupun tidak langsung. Pengikatan karbon secara langsung terjadi reaksi senyawa anorganik kalsium dan magnesium, sedangkan secara tidak langsung melalui photosintesis tanaman yang mampu merubah CO2 atmosfer menjadi biomassa tanaman. Biomassa tanaman tersebut berangsur-angsur secara tidak langsung tersimpan dalam bentuk bahan organik tanah selama proses dekomposisi. Jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah merupakan refleksi keseimbangan yang telah dicapai dalam jangka panjang antara mekanisme pengambilan dan pelepasan karbon. Smith dan Frank (1985) dalam penelitiannya pada Hutan Tanaman Industri (HTI) didapatkan bahwa total biomassa untuk pohon Eucalyptus grandis sekitar 15 – 26 ton/ha, Pinus spp. 5,6 -12,9 ton/ha, Leucaena spp 5-40 ton/ha dan Cassuarium spp sebesar 15,3 ton/ha.
Menurut
Declerk (1985), kandungan
karbon pada biomassa tegakan (vegetasi) pohon umumnya berkisar antara 48,550,1%, sementara pada vegetasi bukan pohon kadar karbon dari biomassa tegakannya berkisar antara 20-37%, tanaman semusim dan semak berkisar antara 15-25% (Declerk 1985; Smith dan Frank 1985).
Selanjutnya Paustin (1997) memperkirakan bahwa rata-rata tingkat penyerapan karbon pada tanah pertanian yang dikonversi ke rumput dan tanaman tahunan sekitar 0.8 Mg/ha/th pada tahun pertama setelah konversi. Di daerah tropika penanaman tanaman penutup tanah dapat meningkatkan penyerapan karbon 25–50 ton/ha dalam jangka waktu 4–12 bulan tergantung pada jenis tanaman penutup tanah yang digunakan (Arsyad, 2000). Demikian pula hasil penelitian Romanya et al. (2000) menunjukkan bahwa pada tanah-tanah bekas pertanaman cereal mengandung lebih banyak bahan organik dari pada kebun anggur. Hal ini disebabkan oleh produktivitas tanaman dan serasah (sisa-sisa daun) di atas permukaan tanah pada lahan bekas cereal lebih tinggi (3-4 ton/ha/th) dari pada kebun anggur antara (2–3 ton/ha/th). Disamping itu, kandungan N pada lahan bekas cereal juga lebih besar, meskipun rasio C/N dan nitrogen mineral secara potensial tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok antar jenis tanaman. Demikian pula pH tanah pada saat awal tetap lebih tinggi pada lahan cereal dan mengandung tanah liat antara 7 - 16 %. Untuk Pinus radiata yang tumbuh pada lahan bekas kebun anggur yang telah berumur antara 14 – 29 tahun, dalam periode pengukuran 5 tahun menunjukkan kandungan C pada lapisan atas tanah mineral meningkat 9.34 g/m2/thn. Namun setelah hutan pinus berumur 15 tahun, jumlah C yang terakumulasi dalam horison–horison tanah telah mencapai 104,5 % dan pada lahan bekas cereal terdapat 75 %. Sebaliknya, pembukaan hutan menjadi lahan pertanian akan meningkatkan laju dekomposisi bahan organik tanah. Oleh karena itu, perubahan ekosistem hutan menjadi lahan pertanian akan mengakibatkan penurunan produksi Corganik dan jumlah C yang masuk ke dalam tanah, sehingga terjadi pula penurunan karbon tanah secara drastis.
Penggunaan lahan padang rumput dan
hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian akan kehilangan karbon (C) organik tanah 20 – 50 % dari kandungan awal setelah diolah selama 40 – 50 tahun.
Selain itu, perubahan hutan menjadi lahan pertanian tidak hanya
berpengaruh terhadap keseimbangan C tanah, tetapi juga berpengaruh terhadap konsentrasi gas rumah kaca (GRK) seperti metana (CH4). Metana merupakan GRK penting yang menduduki urutan kedua setelah CO2, yang menurut
Soedomo (1999), emisi gas metana telah terjadi sekitar 515 Tg setiap tahunnya dan sekitar 70% dari jumlah tersebut bersumber dari anthrophogenic. Bahan
organik
mempunyai
fungsi
yang
sangat
penting
dalam
mempertahankan keberlanjutan produksi tanaman, terutama berkenan dengan fungsinya sebagai penyedia hara (kimia), memelihara/mempebaiki sifat fisik dan biologi tanah. Tingginya curah hujan dan temperatur akan mempercepat proses dekomposisi bahan organik dan
pengangkutan sisa panen keluar plot serta
pembakaran sisa panen di lapang akan menambah semakin tidak seimbangnya C dalam tanah. Penanaman tanaman kehutanan (hutan tanaman) atau tanaman tahunan merupakan cara yang efektif untuk menjaga kandungan karbon tanah. Peningkatan karbon tanah disebabkan karena minimnya kerusakan fisik tanah akibat pengolahan dan peningkatan input karbon yang dihasilkan baik dari pool di atas tanah maupun yang teralokasi di dalam tanah. Besarnya akumulasi karbon sangat bervariasi tergantung pada kondisi tanah, iklim dan vegetasi. Hasil penelitian biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Benakat Sumatera Selatan (Gintings dan Prajadinata, 2002), Biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Lampung (Gintings dan Prajadinata, 2003) dan biomassa beberapa jenis tanaman hutan di Kediri dan Jember, Jawa Timur (Gintings dan Prajadinata 2004) (Lampiran 1, 2 dan 3). Beberapa penelitian yang telah menghasilkann persamaan allometrik secara umum
dapat digunakan untuk mengestimasi total biomassa pohon
berbagai tipe hutan alam (Brown, 1997). Namun persamaan allometrik tersebut akan berbeda antar jenis tanaman dan antara satu daerah ke daerah lain yang memungkinkan terjadi kesalahan perumusan yang sulit diketahui. Akan tetapi persamaan yang diperoleh dari setiap daerah survei memungkinkan membangun persamaan tunggal setiap jenis pohon yang dapat diterapkan untuk seluruh daerah pengamatan (Heriansyah et al., 2004). Persamaan allometrik yang dibangun menggunakan rumus umum sebagai berikut : Y = aXb, Dimana : a dan b = konstanta
.....................................................(1)
Y = biomassa total (kering-oven, kg)) X = DBH (cm) ------ DBH = diameter batang pada tinggi 1,3 m X = DBH2*H (cm2*m) ------ H = tinggi pohon Berdasarkan data dari kombinasi empat kelompok umur tegakan Pinus merkusii (5, 11, 19, dan 24 tahun) pada hutan tanaman P.T. Perhutani Unit III di Jawa Barat diperoleh rumus estimasi (Heriyanto et al., 2005) sebagai berikut Y = 0,03242*DBH2,83985 .................(r2 = 0,98096) Y = 0,03292*(DBH2*H)0,97318.........(r2 = 0,98572 ....................................(2) Kandungan karbon dalam berat kering biomassa diasumsikan 50% dari berat kering atau dengan kata lain bahwa kandungan karbon setengah dari berat kering total biomassa (JIFRO 2000 dalam Heriansyah et al., 2004).
Potensi Implementasi Agroforestry untuk Clean Development Mechanism (CDM) Sebagian besar penduduk miskin di dunia menggunakan energi biomassa yang berasal dari kayu atau pertanian untuk memenuhi hampir seluruh kebutuhan energi mereka.
Penggunaan dan pengembangan sumber energi biomassa
memiliki kaitan yang erat dengan pengembangan masyarakat, pembangunan berkelanjutan dan perubahan iklim sehingga sangat strategis dijadikan pilihan untuk mitigasi perubahan iklim, khususnya melalui Clean Development Mechanism (Mudiyarso, 2003). Perhatian Indonesia terhadap masalah perubahan iklim semakin besar mengingat luas hutan dan peranan hutan sebagai penambat CO2 yang merupakan komponen gas rumah kaca terbesar.
Perhatian awal
terhadap isu perubahan iklim pada mulanya terkonsentrasi pada sektor energi, mengingat energi merupakan sumber emisi karbon terbesar ke atmosfer. Untuk itu, pemerintah melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup pada Tahun 2000 mengkoordinasikan National Strategy Study (NSS) Energy dengan fokus pada mekanisme pembangunan bersih atau Clean Development Mechanism (CDM) (Gintings et al., 2003). CDM adalah suatu mekanisme di bawah Protocol Kyoto yang merupakan mekanisme penurunan emisi berbasis pasar. Mekanisme ini memungkinkan negara maju melakukan investasi di negara berkembang pada berbagai sektor untuk mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara
berkembang berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan sebagai agenda nasionalnya (Mudiyarso, 2003). Indonesia memiliki kesempatan sebagai salah satu negara peserta untuk mengimplementasikan proyek CDM melalui aforestasi dan reforestasi (A/R). Aforestasi adalah penanaman kembali pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak 50 tahun yang lalu. Reforestasi adalah penanaman hutan pada lahan yang sudah tidak berhutan sejak awal tahun 1990 (31 Desember 1989). Dengan definisi ini, CDM kehutanan dapat dilaksanakan baik pada lahan/kawasan hutan maupun di lahan milik (Gintings et al., 2003). Pada saat ini sekitar 54.600.000 ha hutan di Indonesia perlu rehabilitasi melalui kegiatan reforestasi yang tersebar pada hutan lindung, hutan konservasi, dan hutan produksi. Di luar kawasan hutan sekitar 41.700.000 ha membutuhkan rehabilitasi melalui kegiatan penghijauan (MoF, 2003 dalam Masripatin, 2005). Keputusan COP-9 telah memasukkan kegiatan SS-A/R (A/R skala-kecil) dalam CDM dengan prosedur dan modalitas yang sederhana. Dalam keputusan ini, SS-A/R merupakan proyek aforestasi atau reforestasi dengan batasan pada suatu lokasi yang memiliki kemampuan menambat CO2 setara < 8. 000 ton/tahun, yang
pada
COP-13
diimplementasikan
ditingkatkan
oleh
berpenghasilan rendah.
kelompok
setara
<
masyarakat
16.000 atau
ton/tahun
yang
perorangan
yang
Selain prosedur dan modalitas yang sederhana
sebagaimana dalam CDM, maka untuk SS-A/R CDM
pada
COP-10 juga
mendapat perlakuan khusus antara lain bahwa : 1) bagi negara berkembang yang rentang terhadap perubahan iklim tidak dikenakan pembagian hasil untuk biaya adaptasi, 2) pembayaran biaya administrasi dan registrasi lebih rendah, 3) berpeluang untuk memperoleh bantuan dari kelompok negara maju untuk kegiatan capacity building.
Untuk itu, proyek SS-A/R CDM berpotensi untuk
diimplementasikan pada sistem agroforestry yang merupakan bentuk penggunaan lahan yang pada umumnya diusahakan oleh petani berpenghasilan rendah, baik secara individual maupun kelompok.
Meskipun demikian, beberapa kendala
dalam pengelolaan pola agroforestry seperti masalah kualitas bahan tanaman, teknik silvikultur atau agroteknologi, modal dan pemasaran perlu mendapat perhatian yang serius untuk mendukung keberhasilan proyek tersebut. Selain itu,
hambatan dari segi kerangka peraturan juga masih menyulitkan implementasi CDM kehutanan atau bentuk investasi lain di bidang jasa lingkungan yang menyangkut perdagangan karbon. Sebagai contoh adalah Keputusan Presiden nomor 118 Tahun 2000 tentang Daftar Positif dan Negatif untuk penanaman modal asing yang menyebutkan bahwa modal asing tidak bisa disertakan untuk mengembangkan hasil hutan non kayu (non timber forest product, NTFP). Kegiatan ini hanya boleh dilaksanakan oleh investor lokal dan berskala kecil. Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012, ternyata telah memberikan berbagai penilaian bahwa Protokol Kyoto tidak mampu mencegah lajunya pemanasan global dan perubahan iklim. Untuk merespon kekurangan dalam Protokol Kyoto tersebut, maka pada COP-13 tahun 2007 di Bali telah memfokuskan upaya dalam merumuskan hal-hal yang lebih realistis yang dikenal sebagai “Bali Roadmap”. Rumusan ini menghasilkan kesepakatan pasca 2012 diantaranya penerapan mekanisme Reducing Emissions from Deforestastion in Developing Countries (REDD) (Farid dan Mangunjaya, 2008). Menurut Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2008), kesepakatan dalam pelaksanaan REDD terdiri dari : (1) bahwa
langkah
nyata
dalam
mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan merupakan kepentingan mendesak. Konservasi dan sustainable management of forests akan dibahas pada pertemuan COP selanjutnya, (2) kebutuhan komunitas lokal harus diperhitungkan, (3) mendorong semua negara maju untuk mendukung negara berkembang dalam mereduksi emisi dari deforestasi dan degradasi. Dukungan ini akan diberikan dalam bentuk capacity building, bantuan teknis, dan transfer teknologi, (4) melaksanakan demonstration activities selama tahun 2008-2012. Dianjurkan negara-negara pihak yang melaksanakan kegiatan tersebut menggunakan “indicative guidelines” dalam mengevaluasi demonstration activities. Preference level dan estimates sub-national, harus berkembang menjadi pendekatan nasional, (5) menganjurkan penggunaan guidelines terbaru dalam melaporkan emisi Gas Rumah Kaca dari deforestasi dan (6) setiap negara pihak yang terlibat diminta menyampaikan pengembangan metodologi kepada Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) termasuk mengulas perubahan yang terjadi dalam penutupan hutan (forest cover) dan stock karbon emisi GRK dari sektor
kehutanan, referensi tingkat emisi, dan informasi lainnya sebelum 21 Maret 2008 yang hasilnya akan dilaporkan dalam COP-14 tahun 2008. Hal yang sangat rasional dalam REDD adalah kerusakan hutan dan lahan ternyata berkontribusi 18% atas emisi global. Di lain pihak upaya untuk memulihkan hutan dengan keanekaragaman hanyatinya merupakan proses panjang dan sangat kompleks untuk dijalankan.
Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Usahatani Optimalisasi dalam penelitian ini, dimaksudkan untuk memaksimumkan nilai ekonomi atas sebidang lahan usaha dengan tetap menjamin produktivitas secara lestari. Penelitian ini diarahkan untuk menemukan suatu kombinasi jenis tanaman yang secara agregat menghasilkan nilai ekonomi maksimum dan produktivitas lahan tidak menurun dengan agroteknologi yang dapat diterima dan diaplikasikan oleh petani setempat. Untuk menemukan tipe penggunaan lahan yang optimal dan memiliki lebih dari satu tujuan, maka alat analisis yang tepat digunakan adalah Program Tujuan Ganda (Multiple Goal Programming). Penerapan Program Tujuan Ganda (PTG) telah banyak dikembangkan dan digunakan dibeberapa bidang pembangunan dan disiplin ilmu, seperti bidang perencanaan sumberdaya alam, bidang perencanaan akademis, perencanaan keuangan dan investasi, perencanaan administrasi kesehatan, pengangkutan, dsb. Analisis PTG bertujuan untuk meminimumkan “jarak antara” atau “deviasi” terhadap tujuan, target atau sasaran yang telah ditetapkan dengan usaha yang dapat ditempuh untuk mencapai target atau tujuan tersebut secara memuaskan sesuai dengan syarat ikatan yang membatasinya berupa sumberdaya yang tersedia, teknologi yang ada, kendala tujuan, dan sebagainya. Dalam keadaan pengambil keputusan dihadapkan kepada suatu persoalan yang mengandung beberapa tujuan, maka Program Tujuan Ganda dapat dengan mudah menganalisisnya untuk memberikan pertimbangan yang rasional (Nasendi dan Anwar, 1985). Dengan analisis PTG maka dicoba untuk memuaskan atau memenuhi target (paling tidak mendekati target) yang telah ditentukan menurut skala prioritasnya masingmasing. Untuk dapat mengoperasikan suatu model optimalisasi, maka masalah optimalisasisi yang akan dikaji perlu diidentifikasi menjadi beberapa variabel
untuk pengambilan keputusan (policy) yaitu variabel penyusun fungsi tujuan, kendala dan aktivitas (decision variabel), penentuan koefisien teknologi (inputoutput), dan ketersediaan sumberdaya yang digunakan (Andayani, 2002). PTG berusaha meminimumkan deviasi diantara berbagai tujuan atau sasaran yang ditetapkan yaitu meminimumkan “jarak batas” yang dapat dicapai oleh fungsi tujuan sebagaimana yang dikehendaki oleh berbagai fungsi kendala yang mengikat fungsi tujuan tersebut sebagai syaratnya yang terdiri dari peubah deviasi positif dan deviasi negatif. Model umum dari Program Tujuan Ganda adalah sebagai berikut : Meminimumkan Z =
m
∑ Wi (di+ + di⎯ )
i=1 m
= ∑ ﴾Wi+di+ + Wi⎯di⎯ ﴿...................................................... (3) i=1
Syarat ikatan atau fungsi kendala : m
∑ aijXi + di⎯ - di+ ﴿ = bi .................................................(4) i=1
untuk i = 1, 2, ..., m tujuan atau target n
∑ gkjXj < atau > Ck .............................................................(5) i=1
untuk k = 1, 2, ..., p kendala fungsional j = 1, 2, ..., n peubah keputusan Xi, di⎯ , di+ > 0 ............................................................................(6)
dan
di⎯ , di+ = 0 .................................................................................(7) dimana : Z
= nilai skala dari kriteria merupakan fungsi tujuan
pengambilan
kepetusan,
di+ dan di⎯
= jumlah unit deviasi yang kekuangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi)
Wi+ dan Wi⎯ = timbangan atau penalti (ordinal atau kardinal yang diberikan terhadap suatu unit deviasi yang kekurangan (-) atau kelebihan (+) terhadap tujuan (bi) aij
= koefisien teknologi fungsi kendala tujuan, yaitu yang berhubungan dengan tujuan peubah pengambilan keputusan (Xj)
Xj
= peubah pengambilan keputusan atau kegiatan yang kini dinamakan sebagai sub tujuan
bi
= tujuan atau target yang ingin dicapai
gkj
= koefisien teknologi fungsi kendala biasa
Ck
= jumlah sumberdaya k yang tersedia
Py, Ps
= faktor-faktor prioritas dari tujuan
Model tersebut menunjukkan bahwa pengoptimalan yang dihadapi sebagai suatu usaha untuk meminimumkan jumlah agregat dari semua deviasi positif dan negatif yang individual dari tujuan yang telah ditetapkan, dimana di+ dan di⎯ merupakan peubah slek dan surplus pada Program Linier. Dalam perumusan Progam Tujuan Ganda terdapat lebih dari satu tujuan yang langsung berhubungan dengan fungsi tujuan dalam bentuk peubah-peubah deviasional dan memfokuskan prosedure optimasi pada peubah-peubah tersebut dengan tidak memberikan nilai pada peubah struktural Xj. Oleh karena itu, penilaian dan analisis bukan pada tingkat kegiatannya, melainkan deviasi dari tujuan, sasaran atau target yang ditimbulkan oleh adanya kegiatan tersebut. Model PTG dalam bentuk matriks dapat dirumuskan sbb : = W⎯, d⎯ + W+, d+ ...................................................(8)
Minimumkan
: Z
Syarat ikatan
: Ax + d⎯ - d+ = b .................................................................. (9) Gx < C ..............................................................................(10) X, d⎯, d+ > 0 .......................................................................(11)
dan
d⎯, d+ = 0 ...........................................................................(12) dimana : W⎯, W+ d⎯, d+ b C
= = = =
A
= matriks koefisien teknologi fungsi kendala sumberdaya berdimensi mxn = matriks koefisien teknologi fungsi kendala sumberdaya berdimensi nxp
G X
vektor pembobot atau timbangan berdimensi mxl vektor deviasi minus dan plus berdimensi mxl vektor tujuan atau vektor target berdimensi mxl vektor sumberdaya berdimensi pxl
= vektor kegiatan atau vektor sub tujuan berdimensi nxl
Perumusan PTG pada dasarnya adalah sama pada perumusan program linier dan variasi program linier lainnya, hanya saja dalam PTG diberikan
timbangan atau bobot khusus dan prioritas terhadap tujuan-tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan lahan optimal dari berbagai kombinasi jenis tanaman (kayu afrika, padi gogo, jagung dan singkong) menggunakan analisis Program Tujuan Ganda telah menghasilkan rekomendasi bahwa setiap kepala keluarga (KK) petani di daerah ini harus memiliki lahan garapan minimal 0,74 – 1,03 ha untuk dapat memenuhi kebutuhan produksi yang dapat dikonsumsi termasuk untuk bahan bakar dan kebutuhan lainnya (Widaningsih dan Djakamihardja 1991 dalam Rauf 2004). Hasil penelitian berbagai sistem usahatani dan komponen agroteknologi di Sulawesi Tenggara, menunjukkan potensi yang cukup besar untuk meningkatkan produktivitas pertanian dan pendapatan petani di wilayah ini. Teknologi usahatani yang tepat untuk wilayah ini sangat bergantung pada kondisi spesifik lokasi, disamping sosial budaya setempat yang cukup beragam perlu mendapat perhatian dalam pendekatan pembangunan pertanian. Sektor pertanian merupakan tulang punggung perekonomian di daerah ini, terutama pertanian lahan kering dengan komoditi tanaman perkebunan seperti; kakao, kopi, lada, cengkeh, jambu mete, dan kelapa. Di samping itu, sektor peternakan memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan seperti ternak sapi, domba, dan unggas. Sebagian besar wilayah Sulawesi Tenggara tergolong dalam karakteristik lahan kering yaitu + 3.745. 000 ha (+ 98%) dan selebihnya (+ 2%) lahan basah. Menurut Djufri et al. (1996 dalam Witjaksono dan Dahya 1998), Lahan kering di Sulawesi Tenggara pada umumnya memiliki kondisi agroekosistem yang beragam dengan topografi berlereng, kemantapan lahan labil, peka terhadap erosi, pH rendah dan miskin hara dan didominasi (+ 60%) jenis tanah Ultisol (podsolik merah kuning).