TINJAUAN PUSTAKA Model dan Pemodelan Sistem Penggunaan model memegang peranan penting dalam dunia ilmu pengetahuan dan dunia bisnis. Istilah model sering diartikan sebagai suatu tiruan dalam kondisi yang sebenarnya atau dengan kata lain, model didefinisikan sebagai suatu representatif atau formalisasi dalam bahasa tertentu dari suatu sistem nyata atau merupakan penyederhanaan (abstraksi) dari sistem yang nyata dari sebuah kejadian atau objek tertentu (Kosasi, 2002). Model tidak mencakup semua aspek riil, tetapi hanya karena karakteristik yang esensial sesuai dengan konteks pemecahan masalah yang hendak dilakukan. Model digunakan untuk pembuatan konsep, mengukur suatu sistem, dan membuat perencanaan, model juga berguna dalam menguji hipotesis ilmiah, dengan cara membandingkan simulasi tersebut dengan observasi keadaan yang sesungguhnya. Suatu
model
yang
baik
memiliki
beberapa
faktor
yang
perlu
dipertimbangkan. Antara lain memiliki suatu kumpulan struktur data tertentu, misalnya dalam bentuk tabel, hubungan hirarki atau jaringan; suatu kumpulan operasi yang dapat diterapkan pada struktur data, misalnya pembaharuan, pencarian informasi dan kombinasi; suatu kumpulan aturan yang menetapkan atau mengubah status nilai pada struktur database (Kosasi, 2002). Selain itu, perilaku suatu model harus menyerupai sistem yang sesungguhnya dengan syarat tidak melanggar prinsip berpikir dari sebuah sistem. Simarmata (1985) membagi model menurut fungsi, referensi waktu dan struktur. Model, menurut fungsinya dibagi menjadi: 1.
Model deskriptif yaitu model yang hanya menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa rekomendasi dan peramalan.
2.
Model prediktif yaitu model yang hanya menunjukkan apa yang akan terjadi bila sesuatu terjadi.
3.
Model normatif yaitu model yang menyediakan jawaban terbaik terhadap suatu persoalan.
Menurut referensi waktu, model dibagi menjadi: 1.
Model statis yaitu model yang tidak memasukkan faktor waktu dalam perumusannya.
2.
Model dinamis yaitu model yang mempunyai unsur waktu dalam perumusannya
Pembagian model menurut struktur, yaitu: 1.
Model ikonik yaitu model yang meniru sistem aslinya tapi ada skala tertentu.
2.
Model analog yaitu model yang meniru sistem aslinya dengan hanya mengambil beberapa karakteristik utama dan menggambarkannya dengan benda atau sistem lain secara analog.
3.
Model simbolik yaitu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau dengan simbol-simbol matematika. Dalam hal ini sistem diwakili oleh variabel-variabel dan karakteristik sistem yang ditinjau. Menetsch dan Park (1977) mengemukakan bahwa sistem adalah segala
bentuk struktur yang memiliki lebih dari dua komponen yang saling berinteraksi secara fungsional. Menurut Bartoscezuk dan Nakamori (2002) menyebutkan sistem dinamis adalah yang berhubungan dengan bagaimana segala sesuatu berubah dari waktu ke waktu, termasuk didalamnya apa yang sebagian besar orang anggap penting. Sistem ini menggunakan simulasi komputer untuk mengambil pengetahuan yang telah dipahami oleh kita mengenai dunia sekililing kita dan untuk memperlihatkan mengapa sistem sosial dan fisik kita berprilaku sebagaimana saat ini. Sistem dinamis menunjukkan bagaimana kebijakan pengambilan keputusan kita sebagian besar merupakan sebab dari problem yang bisanya kita timpakan pada orang lain, dan bagaimana caranya mengidentifikasikan kebijakan yang dapat kita turuti untuk dapat meningkatkan situasi. Gaspersz (1992) menyatakan, suatu sistem terdiri dari elemen-elemen yang tergantung dan bekerjasama untuk mencapai tujuan tertentu. Menggambarkan proses bekerjasamanya dalam keadaan yang sebenarnya adalah mustahil. Oleh karena itu perlu disederhanakan dengan jalan merangkaitkan keadaan suatu bentuk tertentunya disebut model. Pada dasarnya ada dua aspek dari model yaitu: (1) representasi yang merupakan pemetaan dari karakteristik sistem konkrit yang akan dipelajari, (2) abstraksi yang merupakan transformasi karakteristik sistem konkrit itu menggunakan simbol-simbol matematika sehingga biasa disebut model matematika.
5
Bahan Baku Pakan Lokal Ruminansia Berbasis Hasil Samping Pertanian dan Hasil Samping Industri Pertanian Salah satu keuntungan komparatif daerah beriklim tropis seperti Indonesia adalah peluang berlangsungnya proses fotosintesis oleh tanaman sepanjang tahun. Kondisi ini menawarkan produksi biomasa tanaman yang sangat besar yang dapat ditransformasikan menjadi bahan baku pakan ternak. Namun, ketersediaan bahan baku pakan lokal berbasis pertanian dan industri pertanian di Indonesia belum dimanfaatkan secara optimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: 1) belum adanya data dan informasi yang akurat mengenai jumlah dan ketersediaan bahan baku pakan untuk ternak, 2) hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan aspek nutrisi maupun teknologi pengolahannya masih berkutat pada skala penelitian atau skala lapangan yang terbatas, 3) belum adanya produksi bahan baku pakan yang menghasilkan komposisi nutrisi dan prosedur pengolahannya yang baku, sehingga memiliki mutu yang standar, baik fisik maupun kimia, terutama di lokasi yang menjadi sumber bahan baku pakan (Sukria dan Krisnan, 2009). Bahan pakan lokal menurut Sukria dan Krisnan (2009) adalah setiap bahan baku yang merupakan sumberdaya lokal yang berpotensi dimanfaatkan sebagai pakan secara efesien oleh ternak, baik sebagai suplemen, komponen konsentrat atau pakan dasar. Bahan ransum sapi yang diberikan peternak dapat disederhanakan menjadi tiga yaitu: hijauan setempat, sumber energi (dedak padi, ubi kayu, dll) dan suplemen protein. Bahan pakan dapat berupa: 1) hasil sisa tanaman (crop residues), 2) hasil ikutan/samping/limbah
tanaman
(crop-by
products),
dan
3)
hasil
ikutan/samping/limbah industri agro (agroindustry-by products). Hasil sisa tanaman adalah bagian tanaman yag tersedia dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan setelah produk utama dipanen. Hasil ikutan/samping tanaman adalah bagian tanaman yang tersedia dan dapat dimanfaatkan setiap saat selama umur tanaman. Hasil ikutan/samping industri agro adalah bahan atau produk samping yang dihasilkan industri pengolahan bahan baku asal pertanian menjadi produk hasil pertanian (Sukria dan Krisnan, 2009). Sukria dan Krisnan (2009) menyatakan bahwa berdasarkan kandungan SK bahan makanan ternak dapat dibagi ke dalam dua golongan yaitu bahan penguat 6
(konsentrat) dan hijauan. Konsentrat dapat berasal dari bahan pangan atau dari tanaman seperti serealia (misalnya jagung dan gandum), kacang-kacangan (misalnya kacang tanah dan kacang kedelai), umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar), dan dapat juga berasal dari hewan (misalnya tepung tulang dan tepung ikan), atau hasil samping industri pertanian (misalnya dedak padi dan ampas tahu). Adapun hijauan yang biasa digunakan sebagai pakan adalah rumput lapang, hasil samping pertanian seperti jerami padi dan jerami jagung. Hasil samping pertanian dan industri pertanian memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber pakan ternak ruminansia (Mariyono dan Romjali, 2007). Sumber hasil samping pertanian diperoleh dari komoditi tanaman pangan yang ketersediaannya dipengaruhi oleh pola tanam dan luas area panen (Syamsu, 2006). Jenis hasil samping pertanian yang sering digunakan sebagai pakan ternak adalah jerami padi, jerami jagung, jerami kacang tanah, jerami kedelai, pucuk ubi kayu, dan pucuk ubi jalar (Djajanegara, 1999). Ketersediaan hasil samping pertanian ini dapat digunakan sebagai pakan ternak terutama di musim kemarau. Sedangkan beberapa hasil samping industri pertanian yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai bahan baku pakan lokal diantaranya adalah dedak padi, limbah ubikayu (onggok dan gaplek), bungkil kelapa, ampas tahu, ampas tempe, dan hasil sampingan sawit (Sinurat, 2001). Jerami Padi Jerami padi merupakan hijauan dari tanaman padi setelah biji dan bulirnya dipetik untuk kepentingan manusia dan telah dipisahkan dari akarnya. Kualitas jerami padi sangat tergantung dengan beberapa faktor seperti kondisi iklim, waktu panen, kondisi lahan, dan pola tanam (Wanapat et al., 2009). Komponen seratnya sangat tinggi yaitu mengandung hemiselulosa 21-29%; selulosa 35-49% dengan nilai koefisien cerna bahan organik berkisar 31-59%; sedangkan kandungan lignin berkisar antara 4-8% (Sukria dan Krisna, 2009). Jerami padi mengandung bahan organik yang secara potensial dapat dicerna, oleh karena itu jerami padi merupakan sumber energi yang besar bagi ternak ruminansia, tetapi kenyataannya yang dapat dicerna oleh ternak ruminansia hanya 45-50% (Hidayat, 2002). Penggunaan jerami padi hasil bio-proses fermentatif menggunakan Probion selama 3 minggu dan
7
penambahan zink organik dalam pakan domba berpengaruh positif terhadap produktivitas ternak (Haryanto et al., 2005). Jerami Jagung Jerami jagung merupakan limbah yang ditinggalkan setelah jagung dipanen yang berupa daun dan batang. Jerami padi sudah banyak digunakan sebagai pakan ternak terutama sebagai pengganti sumber serat atau mengganti 50% dari rumput dan hijauan tetapi jerami jagung memiliki kecernaan dan kadar protein yang rendah. Jerami jagung juga memiliki sifat yang voluminous. Jerami jagung merupakan bahan makanan yang memiliki kualitas yang rendah dan tidak akan mencukupi untuk kebutuhan ternak kecuali jika diberi tambahan suplemen pada pakannya. Kandungan bahan kering jerami jagung 28%, protein 8,2% dan TDN 48% (Sukria dan Krisnan, 2009). Sebelum digunakan sebagai pakan ternak sebaiknya jerami jagung diolah terlebih dahulu. Pengolahan ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas jerami dan daya simpan jerami jagung. Pengolahan jerami jagung dapat dilakukan dengan menjadikan jerami jagung sebagai hay atau silase. Pembuatan silase sebaiknya dilakukan segera setelah panen agar kadar air masih cukup untuk proses pembuatan silase (Parakkasi, 1999). Pemberian limbah tanaman jagung dalam bentuk hay, silase, atau fermentasi dibandingkan dengan pakan tradisional dapat meningkatkan bobot badan harian sapi (Anggraeny et al., 2005). Kualitas pakan dari biomassa jagung ini tidak berbeda dengan kualitas pakan yang diolah dari jerami sorgum yang juga dapat mencapai kadar protein 7,16 % - 11,78 % (Sajimin et al., 2003). Penambahan daun lamtoro atau bungkil kelapa pada kambing betina lokal yang mendapatkan pakan dasar jerami jagung dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan, dan pertambahan bobot badan harian (Marsetyo, 2006). Silase ransum komplit berbasis hasil sampingan jagung dan sampingan ubi kayu menunjukkan kualitas fermentasi dan nutrisi yang baik setelah enam minggu ensilase serta layak disimpan sebagai sumber pakan ternak (Lendrawati, 2008). Daun Ubi Kayu Hampir 10-40% dari tanaman ubi kayu terdiri atas daun. Daun ubi kayu sangat baik untuk sumber protein karena mempunyai kandungan protein tinggi sekitar 28,8% akan tetapi defesien asam amino methionin dan sistein (Sukria dan
8
Krisnan, 2009). Daun ubi kayu mengandung protein dan lemak lebih tinggi dibanding tulang dan tangkai, akan tetapi abunya lebih rendah. Silase daun ubi kayu muda dapat memperbaiki nilai nutrisi ransum ternak. Wanapat et al. (2007) melaporkan hay daun ubikayu dapat menggantikan pemakaian bungkil kedele pada sapi perah di daerah tropis. Selain berfungsi sebagai sumber protein, daun ubikayu juga berperan sebagai anti cacing (anthelmintic) dan kandungan taninnya berpotensi meningkatkan daya tahan saluran pencernaan ternak terhadap mikroorganisme parasit (Wanapat dan Knampa, 2006). Tinggi rendahnya kandungan HCN merupakan pembatas dalam penggunaan daun ubi kayu sebagai pakan. Kandungan HCN daun ubi kayu dapat diturunkan dengan pengeringan, perebusan, penambahan methionin atau senyawa lain yang mengandung sulfur (Adegbola, 1977). Kavana et al. (2005) melaporkan perlakuan silase daun ubikayu selama 3 bulan dapat menurunkan kadar HCN dari 289 mg/kg menjadi 20,1 mg/kg. Perlakuan silase ransum komplit basis hasil sampingan ubi kayu mempunyai kualitas fermentasi dan nutrisi in vitro maupun in vivo lebih baik dibandingkan dengan silase ransum komplit berbasis hasil sampingan jagung dan sawit (Lendrawati, 2008). Pucuk Tebu Selain menghasilkan gula sebagai produk utama, tanaman tebu juga menghasilkan beberapa produk turunan yang dapat dimanfaatkan. Produk turunan terdiri dari dua kelompok yaitu hasil samping perkebunan dan hasil samping industri gula. Hasil samping perkebunan berupa pucuk tebu, sedangkan hasil samping industri gula berupa baggase, tetes/molases, dan blothong. Pucuk tebu adalah komponen hasil samping yang proporsinya mencapai 14% dari bobot total tanaman tebu (Wahyono dan Hardianto, 2004). Pucuk tebu memiliki daya cerna dan nilai gizi yang relatif rendah, hal tersebut dapat dilihat dari kandungan SK yang cukup tinggi. Akan tetapi dengan tindakan pengolahan kimiawi, hayati fisik, secara signifikan mampu meningkatkan daya cerna, kandungan gizi dan konsumsi pakan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa pucuk tebu dapat menggantikan peran rumput gajah, tanpa memberikan efek negatif baik pada sapi potong maupun sapi perah. Kelebihan pucuk tebu adalah biasa dipanen pada musim kemarau, sehingga akan sangat membantu kontinyuitas penyediaan pakan.
9
Pucuk tebu dapat diproses dalam bentuk silase dan hay (kering), Pucuk tebu dalam bentuk hay mempunyai nilai nutrisi yang rendah yaitu BK 85%, PK 5,5%, dan EM 7 MJ/kg serta nilai kecernaan BK sebesar 27,5%. Apabila digunakan sebagai pakan ternak, pucuk tebu dapat digolongkan kedalam pakan hijauan berkualitas rendah. Selain nutrisinya, pucuk tebu juga memiliki faktor pembatas lain yaitu kemungkinan adanya residu zat kimia organoklorine (OCs). OCs seperti dieldrin yang digunakan sebagai pestisida di sebagian besar perkebunan tebu, bahan kimia ini cukup resisten dan berada di tanah sebagai residu. Jagung Jagung merupakan butiran yang mempunyai nilai TDN, net energi (NE), dan lemak yang tinggi, SK yang rendah dan kaya akan bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) sehingga mudah dicerna. Akan tetapi kandungan PK jagung rendah dan defesiensi asam amino lisin. Mutu standar jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Mutu Standar Jagung Komposisi
Mutu I
Kadar air (%) maksimum
14,0
Protein kasar (%) minimum
7,5
Serat kasar (%) maksimum
3,0
A b u (%) maksimum
2,0
Lemak (%) maksimum
3,0
Aflatoxin (pbb) maksimum
50,0
Ocratoxin (pbb) maksimum
5,0
Butir pecah (%) maksimum
5,0
Warna lain (%) maksimum
5,0
Benda asing (%) maksimum
2,0
Kepadatan (kg/cm3) minimum
700
Sumber: SNI (1998)
Jagung merupakan pakan yang sangat baik untuk ternak, jagung sangat disukai ternak dan pemakaiannya dalam ransum ternak tidak ada pembatasan, kecuali untuk ternak yang akan dipakai sebagai bibit. Pemakaian yang berlebihan untuk ternak ini dapat menyebabkan kelebihan lemak dan sulit untuk berproduksi. Jagung tidak mempunyai anti nutrisi dan sifat pencahar. 10
Ubi Kayu Tanaman ubi kayu merupakan tanaman yang potensial sebagai pakan ternak ruminansia. Seluruh bagian strukturnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber pakan. Sebagai sumber serat dapat digunakan batangnya, sebagai sumber energi dapat digunakan umbinya, dan sebagai sumber protein dapat digunakan daunnya. Tanaman ubi kayu mulai berproduksi pada umur 10-12 bulan, bila dilakukan penanaman secara tradisional dengan rataan produksi 5-12 ton per hektar, tetapi bila dilakukan penanaman dengan varietas yang baik dan dengan penanaman yang baik maka produksi rata-rata dapat mencapai 40-60 ton per hektar. Jika sistem produksi dan panennya dapat dirancang dengan baik, maka tanaman ubi kayu dapat diandalkan sebagai pakan masa depan (Sukria dan Krisnan, 2009). Umbi kayu merupakan karbohidrat utama dan dapat menggantikan jagung sebagai sumber energi dalam ransum ternak babi dan unggas. Penggunaan ubi kayu dalam ransum harus diimbangi dengan protein yang lebih tinggi. Kadar Ca dan P cukup, akan tetapi kandungan asam oksalat yang tinggi (0,1-0,31), sehingga dapat mempengaruhi penyerapan Ca dan Zn. Mutu standar tepung ubi kayu dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Mutu Standar Tepung Ubi Kayu Komposisi
Mutu I
Kadar air (% b/b) maksimum
12
Serat kasar (% b/b) maksimum
4,0
A b u (% b/b) maksimum
1,5
Asam sianida (mg/kg) maksimum
40,0
Kehalusan (%) minimal
90,0
Cemaran Logam Timbal (Pb) (mg/kg) maksimum
1,0
Tembaga (Cu)(mg/kg) maksimum
10,0
Seng (Zn) (mg/kg) maksimum
40,0
Sumber: SNI (1996)
Suatu faktor pembatas dalam penggunaan ubi kayu adalah racun asam sianida (HCN) yang terdapat dalam bentuk glikosida sianogenik dalam ubi kayu, yaitu
11
lanamarine (±93% dari bentuk glikosida sianogenik) dan lotaustarin (7%). Penggunaan ubi kayu dalam ransum ruminansia berdasarkan beberapa penelitian adalah 40-90%. Kandungan HCN dapat direduksi melalui proses pengeringan, perendaman, perebusan, fermentasi, dan kombinasi dari proses-proses ini (Sukria dan Krisnan, 2009). Dedak Padi Dedak padi merupakan sisa dari penumbukan atau penggilingan padi (Sukria dan Krisnan, 2009). Dedak padi didefinisikan sebagai hasil ikutan pengolahan padi menjadi beras terutama terdiri dari lapisan kulit ari. Banyaknya dedak padi yang dihasilkan bergantung pada cara pengolahan, jumlah dedak padi dapat mencapai 10% dari jumlah gabah yang digiling. Menurut Sofyan et al. (2000) angka konversi untuk dedak kasar adalah 14,44%. Sebanyak 26,99% dedak halus, 3% bekatul, dan 11,17% menir dapat dihasilkan dari berat gabah kering. Persyaratan mutu standar dedak padi dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Mutu Standar Dedak Padi Komposisi
Mutu I
Mutu II
Mutu III
Kadar air (%) maksimum
12
12
12
Protein kasar (%) minimum
12
10
8
Serat kasar (%) maksimum
11
14
16
A b u (%) maksimum
11
13
15
Lemak (%) maksimum
15
20
20
Asam lemak bebas (% dari lemak) maks
5
8
8
0,04-0,30
0,04-0,30
0,04-0,30
0,6-1,6
0,6-1,6
0,6-1,6
Aflatoxin (ppb) maksimum
50
50
50
Silika (%) maksimum
2
3
4
Calsium (%) Fosfor (%)
Sumber: SNI (1996)
Dedak padi pada usaha pembibitan dapat menggantikan konsentrat komersial hingga 100% terutama dedak padi kualitas sedang sampai baik yang biasa disebut dengan pecah kulit (PK) 2 atau separator (Mariyono dan Romjali, 2007). Dedak padi
12
mempunyai kandungan serat kasar yang cukup tinggi, penggunaan yang terlalu tinggi dikhawatirkan memberi pengaruh negatif pada ternak. Menurut Sofyan et al. (2000) pemanfaatan dedak padi dalam ransum ternak umumnya sampai 25% dari campuran konsentrat. Pembatas dilakukan karena pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat menyebabkan susahnya pengosongan saluran pencernaan karena sifat pencahar pada dedak. Pemakaian dedak padi dalam jumlah besar dapat memungkinkan ransum tersebut mudah mengalami ketengikan selama penyimpanan karena dedak mengandung lemak yang tinggi
(14-18%).
Masalah
ketengikan
dapat
diatasi
dengan
jalan
pengeringan/pemanasan segera setelah penggilingan padi, atau dengan menggunakan zat anti ketengikan. Penambahan kapur atau zeolit dalam penyimpanan dedak padi dapat mengurangi peningkatan kadar air, oksidasi dan hidrolisis lemak sampai dengan penyimpanan dua belas minggu dibandingkan tanpa penambahan kapur atau zeolit. Kapur dan zeolit memberikan efektivitas yang sama dalam menekan pertumbuhan kapang selama penyimpanan dedak padi. Pengolahan dedak dapat dilakukan dalam tiga perlakuan, yaitu perlakuan fisik, perlakuan kimia, dan perlakuan biologi. Sama halnya dengan pengolahan limbah pertanian yang lain, pengolahan dedak bertujuan untuk meningkatkan kualitas, memperbaiki daya simpan, dan menghilangkan hambatan dalam penggunaannya sebagai pakan ternak. Pengolahan fisik dapat dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama dengan pendekatan perbaikan sistem penggilingan, perdekatan kedua dengan klasifikasi dedak. Sejauh ini, dedak padi bukan lagi sebagai limbah, tetapi telah menjadi hasil samping yang mempunyai pasar tersendiri. Pemanfaatan utama adalah industri pakan ternak. Pemanfaatan lain yang telah berkembang dan peralatannya sudah dijual secara komersial adalah mengolahnya menjadi pellet. Ampas Tahu Pada industri pembuatan tahu akan dihasilkan hasil samping industri berupa ampas tahu. Angka konversi ampas tahu menurut Tabrany (2006) adalah 28-37,5% dengan angka konversi rata-rata sebesar 33,27% dan menurut Sofyan et al. (2000) angka konversi untuk ampas tahu antara 25-67% dengan angka konversi rata-rata
13
39,02%. Ampas tahu berasal dari kacang kedelai sehinga anti nutrisi yang terdapat dalam ampas tahu adalah sama dengan kedelai, hanya saja konsentrasinya lebih sedikit karena mengalami pengolahan. Ampas tahu merupakan hasil samping industri pertanian yang dapat digunakan sebagai pakan ternak karena mengandung zat gizi yang cukup tinggi. Ampas tahu tidak mempunyai sifat pencahar akan tetapi mempunyai kadar air yang tinggi, yaitu sekitar 89,96% karena dihasilkan dalam bentuk basah sehingga tidak tahan terhadap penyimpanan. Pemberian ampas tahu sebagai pakan konsentrat ruminansia biasanya diberikan dalam bentuk basah karena lebih disukai ternak dari pada diberikan dalam bentuk kering (Tabrany,2006). Ketersediaan ampas tahu pada masing-masing daerah bergantung dari jumlah pabrik tahu dan kesanggupan untuk memproduksi tahu daerah tersebut. Komposisi kimia ampas tahu juga sangat bergantung pada proses pembuatan yang beragam. Penggunaan ampas tahu berkisar 12-95% dari campuran konsentrat. Berdasarkan kandungan airnya, sebaiknya ampas tahu tidak diberikan lebih dari 41% (Sukria dan Krisnan, 2009). Ampas Tempe Ampas tempe (kulit ari kedelai) merupakan hasil samping dari industri pembuatan tempe. Ampas tempe ini dihasilkan dari proses perendaman dan perebusan kacang kedelai yang kemudian dilakukan pelepasan kulit ari kedelai dan selanjutnya dilakukan peragian dan pembungkusan, adapun angka konversi ampas tempe sebesar 10-15% dengan konversi rata-rata sebesar 12,5%. Kandungan protein kasar ampas tempe cukup baik sebesar 17,93% akan tetapi memiliki kandungan serat kasar yang cukup tinggi yaitu sebesar 17,70% (Tabrany 2006). Industri Pakan Berkelanjutan Industri pengolahan adalah semua kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang bukan tergolong produk primer. Produk primer adalah produk produk yang tergolong bahan mentah, yang dihasilkan oleh kegiatan eksploitasi sumberdaya alam hasil pertanian, kehutanan, kelautan, dan pertambangan, dengan kemungkinan mencakup produk pengolahan awal sampai dengan bentuk dan spesifikasi teknis yang standar dan lazim diperdagangkan sebagai produk primer (Deperind, 2005).
14
Industri pakan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu bahan pakan baik secara manual, mekanis, dan kimia menjadi pakan yang dapat dikonsumsi ternak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Kebutuhan gizi yang dimaksud adalah kebutuhan gizi untuk hidup pokok dan kebutuhan gizi untuk berproduksi dan bereproduksi. Industri pakan ternak merupakan bagian yang sangat penting dalam jaringan global produksi pangan manusia dan mata rantai utama dalam rantai pangan manusia (Gill, 1994). Industri pakan ternak di dalam negeri sangat berperan mendukung industri peternakan dalam menyediakan ketersediaan konsumsi daging dan produk turunannya bagi masyarakat sebagai tambahan sumber protein. Pakan memiliki kontribusi 70% dari total biaya produksi peternakan, sehingga tetap menjadi suatu bisnis yang cerah. Peternakan yang modern dapat meneruskan perannya sebagai perputaran utama pertanian. Dengan industri pakan, peternakan mengubah hasil samping pertanian yang tidak dapat dimakan dalam jumlah yang sangat banyak dan hasil samping industri lainnya menjadi pangan untuk manusia (Gill, 1994). Dalam industri pakan, untuk mendapatkan keuntungan yang maksimal bergantung pada harga pembelian bahan baku. Selain pertimbangan harga, industri pakan juga harus memikirkan kualitas dan kontinyuitas ketersediaan bahan tersebut. Industri pakan kemungkinan tidak akan memakai bahan pakan yang ketersediaannya tidak terjamin, walaupun bahan tersebut murah dan mempunyai kualitas baik. Sukria dan Krisnan (2009) menyatakan bahwa dalam pengembangan pakan alternatif sangat penting melihat kemungkinan penggunaan bahan selain untuk pakan. Banyak bahan hasil sisa, hasil samping pertanian dan industri pertanian dapat digunakan untuk keperluan lain yang mungkin saja lebih ekonomis dibandingkan sebagai pakan ternak. Menurut Kumar et al. (2002) beberapa kemungkinan penggunaan non pakan adalah 1) materi perbaikan kondisi tanah (kesuburan, aerasi, infiltrasi, dan penyimpanan air), 2) materi proses konversi biologis (ligno-selulosa) untuk menghasilkan etanol dari bahan sisa tanaman dengan kandungan serat tinggi, dan 3) penggunaan sebagai bahan bakar untuk pemanas seperti boiler dalam berbagai industri yang semakin meningkat.
15
Feedmill (pabrik pakan) merupakan salah satu komponen pendukung industri pakan dalam menyediakan pakan yang dapat dikonsumsi ternak untuk memenuhi kebutuhan gizinya. Menurut Direktorat Budidaya Ternak Non-Ruminansia (2010) menyatakan bahwa untuk membangun pabrik pakan perlu memperhatikan empat aspek penting yaitu: 1) pengelolaan pabrik pakan meliputi penentuan lokasi, persyaratan bangunan, tata letak bangunan, kebutuhan peralatan; 2) pengelolaan bahan baku meliputi survei ketersediaan bahan baku, perhitungan kebutuhan pakan, dan pembuatan formula pakan; 3) pengolahan bahan baku; 4) pelatihan yang terdiri dari pelatihan operasionalisasi alsin dan pelatihan formulasi pakan. Hal pertama yang perlu diperhatikan dalam industri pakan ternak adalah penentuan lokasi pabrik. Penentuan lokasi pabrik sangat menentukan kelangsungan hidup pabrik pakan. Pabrik pakan sebaiknya didirikan di wilayah yang diprioritaskan untuk pengembangan daerah industri yang direkomendasikan. Proses pengolahan merupakan salah satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap mutu pakan, disamping faktor lain, seperti bahan pakan, bahan tambahan, peralatan pengolahan, serta perhitungan formulasi. Sebelum melakukan formulasi pakan dan mengolah bahan pakan menjadi pakan jadi, perlu dilakukan dulu survei ketersediaan bahan pakan, penghitungan kebutuhan pakan serta harus dipahami informasi yang berkaitan dengan tujuan penggunaan bahan pakan, syarat-syarat bahan pakan, uji mutu bahan pakan, fungsi bahan pakan, bahan pakan yang umum digunakan, dan bahan pakan substitusi (Direktorat Budidaya Ternak NonRuminansia, 2010). Sebelum mengolah pakan dalam jumlah yang cukup besar, perlu diperhatikan informasi tentang keberadaan bahan pakan. Pakan yang akan digunakan harus memenuhi persyaratan antara lain : mengandung nilai nutrisi tinggi, mudah diperoleh, mudah diolah, tidak mengandung racun (antinutrisi), harga murah dan terjangkau, butirannya halus atau bisa dihaluskan. Formula pakan sangat mempengaruhi mutu/kualitas produk pakan yang dihasilkan, untuk itu penguasaan formula pakan sangat diperlukan. Adapun tahaptahap dalam menyusun ransum adalah : 1.
Menentukan standar kebutuhan nutrien untuk spesifik ternak tertentu (umur, sex, BB, jenis produksi).
16
2.
Memilih bahan pakan yang tersedia dan mengetahui komposisi nutrisinya.
3.
Memasukkan harga bahan pakan (termasuk biaya transportasi, processing, storage).
4.
Memperhatikan keterbatasan penggunaan bahan pakan (limiting factor).
5.
Menentukan metode formulasi yang akan dipakai. Adapun yang dimaksud dengan sustainabilty (keberlanjutan) dapat diartikan
sebagai upaya pengelolaan sumberdaya dan usaha melalui penerapan teknologi dan kelembagaan secara berkesinambungan bagi generasi kini dan masa depan. Konsep LEISA (low-external-input and sustainable agriculture) yang dikenal dalam pertanian berkelanjutan yaitu pertanian yang mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya alam dan manusia yang tersedia di tempat dan yang secara ekonomis layak, mantap secara ekologis, disesuaikan menurut budaya dan adil secara sosial. Pemanfaatan input luar tidak dikesampingkan namun hanya sebagai pelengkap pemanfaatan sumberdaya lokal (Reinjtjes, 2003). Pemahaman lain terhadap konsep berkelanjutan dikemukakan oleh Roderic dan Mappen (1997) bahwa berkelanjutan memerlukan pengelolaan tentang: (1) skala keberlajutan ekonomi terhadap dukungan sistem ekologi, (2) pembagian distribusi sumberdaya dan kesempatan antara generasi sekarang dan generasi yang akan datang secara berimbang/adil, dan (3) efesiensi dalam pengalokasian sumberdaya.
17