9
TINJAUAN PUSTAKA Model Pembelajaran Joyce dan Weil (1980) mendefinisikan model pembelajaran sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman yang dijabarkan dengan prosedur sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu. Diantara berbagai model pembelajaran yang diselenggarakan di dunia pendidikan, selain model pembelajaran reguler atau konvensional, terdapat pula model pembelajaran percepatan atau akselerasi dan model pembelajaran berstandar internasional atau SBI. Akselerasi Program akselerasi adalah suatu sistem pendidikan yang dikembangkan oleh
Departemen
Pendidikan
Nasional
dengan
mempersingkat
atau
mempercepat masa studi. Peraturan mengenai kelas akselerasi diterbitkan oleh Permendiknas Republik Indonesia No. 70/2009 dalam pasal 5
ayat (1):
“Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan
dan/atau
bakat
istimewa
pada
satuan
pendidikan
mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah. Sekolah SSN atau RSBI adalah
sekolah
yang
memiliki
sumber
daya
yang
memadai
untuk
menyelenggarakan pendidikan bagai peserta didik didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dalam bentuk program akselerasi”. Tujuan didirikannya kelas akselerasi menurut Peraturan Pemerintah no. 17/2010 Pasal 134 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan adalah 1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya, 2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa
mengabaikan
keseimbangan
perkembangan
kecerdasan
spiritual,
intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lain. Pada program sekolah dasar, kurun waktu belajar yang seharusnya enam tahun dipercepat setahun menjadi lima tahun, selain itu pada program sekolah lanjutan masa belajar dipangkas dari tiga menjadi dua tahun saja. Kurikulum yang dipakai oleh program akselerasi adalah kurikulum nasional dan lokal, yang menekankan pada materi esensial dan diikembangkan secara berdiferensiasi.
10
Materi
kurikulum
program
ini
tidak
mengurangi
muatan
isi
kurikulum
sebagaimana pada program reguler. Kuncinya hanya terletak pada kalender pendidikan yang diciptakan khusus, sehingga kurikulum standar yang biasanya dipelajari selama tiga tahun dapat diperoleh dalam dua tahun. Oleh karena itu, untuk menjadi peserta akselerasi, syarat bagi siswa adalah memiliki nilai rapor rata-rata delapan pada jenjang sebelumnya dan memiliki IQ minimal 120 (Depdiknas 2007). Southern dan Jones (1991) diacu dalam Silvana (2010) menyebutkan kelebihan dari sistem akselerasi adalah adanya peningkatan efisiensi waktu belajar, peningkatan efektifitas karena siswa akselerasi memiliki kualifikasi tertentu sehingga proses transfer materi pelajaran lebih mudah diserap, akomodasi
bagi
siswa
yang
membutuhkan
fasilitas
untuk
menunjang
kemampuannya yang istimewa, mempercepat waktu untuk berkarir, siswa dimungkinkan untuk bergabung dengan siswa lain yang memiliki kemampuan intelektual dan akademis yang sama. Program akselerasi sangat esensial dalam menyediakan kesempatan pendidikan yang tepat bagi siswa yang cerdas. Proses yang terjadi akan memungkinkan siswa untuk memelihara semangat dan gairah belajarnya. Program akselerasi membawa siswa pada tantangan yang berkesinambungan yang akan menyiapkan siswa menghadapi kekakuan pendidikan selanjutnya dan produktivitas selaku orang dewasa. Melalui program akselerasi ini, siswa diharapkan akan memasuki dunia profesional pada usia yang lebih muda dan memperoleh kesempatan-kesempatan untuk bekerja produktif. Tidak hanya memiliki keunggulan, program akselerasi pun mempunyai beberapa potensi negatif, meskipun memenuhi persyaratan dalam bidang akademis, siswa akseleran kemungkinan imatur secara sosial, fisik, dan emosional dalam tingkatan kelas tertentu karena keterikatan siswa dengan tekanan akademik yang tinggi, siswa akan didorong untuk berprestasi dalam bidang akademiknya sehingga siswa kekurangan waktu beraktivitas dengan teman sebaya, hal ini menyebabkan siswa akan kehilangan kesempatan yang penting dan berharga di luar kurikulum sekolah yang normal misalnya mengikuti kesulitan
untuk
mengikuti
kegiatan
ekstrkurikuler
dan
kesempatan
mengembangkan hobi. Akibatnya, siswa akan kehilangan pengalaman yang penting yang berkaitan bagi kariernya di masa depan. Selain itu, siswa akseleran akan mudah frustasi dengan adanya tekanan dan tuntutan berprestasi. Siswa yang mengalami sedikit kesempatan untuk membentuk persahabatan pada
11
masanya akan menjadi terasing atau agresif terhadap orang lain (Southern dan Jones 1991 diacu dalam Silvana 2010). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Prihatina (2011) bahwa siswa kelas akselerasi memiliki tingkat stress yang lebih tinggi dibandingkan kelas lain dan sama seperti yang ditemukan oleh Fuad (2008) bahwa tekanan akademik yang tinggi menciptakan suasana kompetensi individual yang berhubungan negatif dengan kemampuan sosial dan moral para siswanya. Sekolah Berstandar Internasional (SBI) Menurut Permendiknas nomor 78 tahun 2009, Kelas SBI adalah kelas yang berasal dari sekolah bertaraf internasional dan sudah memenuhi seluruh SNP (Standar Nasional Pendidikan yaitu kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang diperkaya dengan keunggulan mutu tertentu yang berasal dari negara anggota OECD (Organisation for Economic Co-Operation and Development adalah organisasi internasional yang tujuannya membantu pemerintahan negara anggotanya untuk menghadapi tantangan globalisasi ekonomi) atau negara maju lainnya yang mempunyai keunggulan tertentu dalam bidang pendidikan sehingga memiliki daya saing di forum internasional. Tujuan penyelenggaraan SBI dalam pasal 2 adalah untuk menghasilkan lulusan yang memiliki : 1) kompetensi sesuai standar kompetensi lulusan dan diperkaya dengan standar kompetensi pada salah satu sekolah terakreditasi di negara anggota OECD atau negara maju lainnya, 2) daya saing komparatif tinggi yang dibuktikan dengan kemampuan menampilkan keunggulan lokal ditingkat internasional, 3) kemampuan bersaing dalam berbagai lomba internasional yang dibuktikan dengan perolehan medali emas, perak, perunggu dan bentuk penghargaan internasional lainnya, 4) kemampuan bersaing kerja di luar negeri terutama bagi lulusan sekolah menengah kejuruan, dan 5) kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris (skor TOEFL Test > 7,5). Keunggulan yang ada diantaranya adalah lulusan SBI dapat melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik di dalam maupun di luar negeri, lulusan SBI dapat bekerja pada lembaga-lembaga internasional dan/atau negara-negara lain, dan lulusan SBI meraih medali tingkat internasional pada berbagai kompetisi sains, matematika, teknologi, seni, dan olah raga (Astika 2011).
12
Proses Pembelajaran kelas SBI dalam Pasal 5 dijelaskan bahwa SBI menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis teknologi informasi dan komunikasi, aktif, kreatif, efektif, menyenangkan, dan kontekstual. SBI dapat menggunakan bahasa pengantar bahasa Inggris dan/atau bahasa asing lainnya yang digunakan dalam forum internasional bagi mata pelajaran tertentu. Pembelajaran mata pelajaran Bahasa Indonesia, Pendidikan Agama, dan Pendidikan
Kewarganegaraan,
Pendidikan
Sejarah,
dan
muatan
lokal
menggunakan bahasa pengantar bahasa Indonesia. Menurut Wijaya (2009) program ini memiliki kelemahan dari segi buku pegangan siswa yang seharusnya berbahasa Inggris tetapi nyatanya tidak berbeda dengan buku kelas reguler, SDM guru yang belum siap berbahasa Inggris akibatnya penyampaian materi tidak optimal, ujian yang semestinya berstandar internasional ternyata tidak berbeda dengan Ujian Nasional biasa. Dalam hal ini pemerintah terbilang belum siap menyelenggarakan program SBI sehingga fakta di lapangan menunjukkan banyaknya pemenyimpangan konsep awal didirikannya SBI. Selain itu, karena kekurangsiapan guru dan siswa dalam melaksanakan
program
seperti
ini,
ketika
penyampaian
materi
tidak
menggunakan Bahasa Inggris tetapi saat ulangan siswa harus menjawab soal berbahasa Inggris maka banyak sekali kecurangan seperti perilaku mencontek yang tak kunjung hilang karena siswa kesulitan menjawab soal (Dharma 2007). Bahkan karena sistem yang terbentuk terkesan eksklusif karena kesenjangan fasilitas yang disediakan maka hal ini berdampak pada terbentuknya sekat antara siswa SBI dengan siswa reguler. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian Susanti (2010), rata-rata kematangan emosi siswa SMP RSBI lebih rendah dibandingkan dengan kelas reguler. Selain itu, Suryaningsih (2011) menemukan bahwa perbedaan fasilitas yang diperoleh antara siswa kelas RSBI dengan siswa kelas reguler menciptakan hambatan sosial diantara keduanya. Hal-hal seperti inilah tentu saja mempengaruhi kemampuan intrapersonal dan interpersonal siswa. Tingkat Perkembangan Nilai Moral Menurut Hurlock (1980), morality atau moral berasal dari kata moralis yang berarti kebiasaan, tingkah laku, pola perilaku yang mengkonfirmasikan standar grup atau kelompok. Menurut Megawangi (2007), moral adalah pengetahuan seseorang terhadap hal yang baik atau buruk sedangkan karakter lebih dilihat pada tabiat atau kebiasaan yang langsung dikendalikan oleh otak. Santrock (2007) menyatakan bahwa perkembangan moral adalah perubahan
13
penalaran, perasaan, dan perilaku seseorang terkait benar and salah. Kohlberg dalam Hastuti (2008) mengatakan bahwa perkembangan moral berarti perubahan tingkat moral dari bentuk moral yang berorientasi sosial menjadi moral yang berlandaskan hati nurani sendiri. Scott (1965) mengatakan bahwa nilai moral (moral ideal) yaitu sebuah konsep individu tentang relasi yang ideal yang digunakan untuk menilai kebaikan (goodness) atau keburukan (badness), kebenaran (rightness) atau kesalahan (wrongness) dari sebuah relasi sosial yang dialami atau dihayati. Seseorang bisa dikatakan melakukan nilai moral ketika ia menganggap sebuah keadaan tertentu sebagai ultimate end atau merupakan kebaikan absolut dalam situasi apapun, dimana nilai-nilai ini seharusnya menjadi tujuan
universal
seluruh
manusia.
Dengan
demikian
definisi
tingkat
perkembangan nilai moral adalah perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku seseorang tentang relasi yang ideal, yang digunakan untuk menilai kebaikan atau keburukan, kebenaran atau kesalahan dari sebuah relasi sosial yang dialami atau dihayati secara mutlak. Lickona menjelaskan bahwa karakter memiliki tiga komponen karakter yang baik, diantaranya adalah pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral acting). Hal ini dapat diartikan bahwa individu yang berkarakter adalah seseorang yang memiliki pengetahuan tentang kebaikan (knowing the good), menginginkan dan mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan kebaikan (acting the good) (Hastuti 2008). Menurut Megawangi (2007), komponen pertama yakni pengetahuan tentang moral (moral knowing) terdiri atas enam hal, diantaranya adalah kesadaran tentang moral (moral awareness), mengetahui nilai moral (knowing moral values), kemampuan persepsi/sudut pandang (perspective taking), alasan moral atau penjelasan tentang hal baik dan buruk (moral reasoning), dan pembuatan keputusan (decision making). Perasaan tentang moral (moral feeling) merupakan komponen kedua yang harus ditanamkan kepada anak yang menjadi sumber energi dari dalam diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Komponen moral ini terdiri atas enam hal yang kesemuanya harus dirasakan oleh seseorang agar menjadi manusia yang berkarakter. Enam hal tersebut adalah, ketetapan hati/nurani (conscience), kepercayaan diri (self esteem), empati (empathy), mencintai kebenaran (loving the good), mampu mengontrol diri (self control), dan rasa malu/kerendahhatian (humility) (Megawangi 2007).
14
Komponen
ketiga,
perilaku
bermoral
(moral
acting),
merupakan
implemensi dari pengetahuan moral dan perasaan moral yang diwujudkan menjadi tindakan nyata. Komponen ini mengandung tiga aspek karakter seperti kompetensi
(competence),
kemauan/niat
(will),
dan
kebiasaan
(habit)
(Megawangi 2007). Menurut Borba (2001), kecerdasan moral terdiri atas tujuh nilai penting, diantaranya adalah empati, ketetapan hati, kontrol diri, respek, kebaikan, toleransi, dan keadilan. Empati merupakan pusat moral yang mengarahkan seseorang untuk mengerti perasaan orang lain. Ketetapan hati adalah suara hati yang membantu seseorang untuk memutuskan untuk berjalan di arah yang benar dan tetap konsisten berada pada jalur tersebut, serta dengan ketetapan hati inilah seseorang akan merasa bersalah jika ia melenceng ke arah yang salah. Kebaikan
merupakan
demonstrasi
akan
perhatian
contoh
terhadap
kesejahteraan dan perasaan orang lain, bagaimana contoh memikirkan kebutuhan orang lain, caranya menunjukkan perhatiannya kepada sekitar, dan tawaran untuk membantu atau menolong yang sedang membutuhkan. Kejujuran adalah perbuatan contoh yang dapat dipercaya, berkata benar apa adanya, tidak berbohong dengan alasan apapun. Kontrol diri adalah kemampuan contoh untuk menahan perilaku impulsif, berpikir sebelum bertindak, mampu menunda kepuasan karena mempertimbangkan efek/jangka panjang. Kohlberg (1967) diacu dalam Vasta et al (1999) berpandangan bahwa penalaran moral yang menjadi dasar dari perilaku etis dirumuskan dalam enam tahap perkembangan yang dapat diidentifikasi. Keenam tahap tersebut kemudian diklasifikasi menjadi tiga tingkat yang berbeda dimana setiap tahapan dan tingkatan menunjukkan tanggapan yang lebih adekuat terhadap dilema moral dibanding tingkat dan tahapan sebelumnya. Setiap tingkat memiliki perspektif yang baru, lebih komprehensif, beragam, dan terintegrasi dibandingkan dengan tingkat sebelumnya. Ketiga tingkat tersebut yaitu tingkat pra konvensional, tingkat konvensional, dan tingkat post konvensional. Tingkat pertama merupakan tingkat pra-konvensional yang terdiri atas dua tahapan. Tahap pertama, orientasi kepatuhan dan hukuman (heteronomous morality), merupakan tahapan dimana anak mengarah pada kepatuhan kepada orang yang lebih superior karena takut akan hukuman. Siswa tidak bisa mempertimbangkan perpektif orang lain dan cenderung egosentris karena mengasumsikan bahwa orang lain memikirkan atau merasakan hal yang siswa pikirkan atau rasakan. Tahap kedua, poientasi minat pribadi (timbal balik),
15
merupakan tahap dimana seorang anak mulai memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan dan pandangan yang berbeda. Tahap ini dapat diidentifikasi melalui tingkah laku yang ditentukan oleh pemuasan pada diri sendiri dan orang lain, karena adanya timbal balik saat kegiatan memberi dan menerima. Tingkat kedua adalah tngkat konvensional yang terdiri atas dua tahapan lanjut dari tingkat sebelumnya (tahap ketiga dan keempat). Tahap ketiga adalah orientasi konformitas dan relasi interpersonal. Seseorang yang berada pada tahap ini berorientasi mencari penerimaan dari orang lain, guna menyenangkan dan membantu orang di luar dirinya sendiri. Tahap keempat adalah orientasi otoritas dan pemeliharaan aturan sosial, merupakan tahapan saat seseorang berorientasi pada penyelesaian tugas, menghormati otoritas, mempertahankan keteraturan, dan percaya bahwa perbuatan baik atau bajik akan ada hadiahnya. Seseorang meilhat moralitas dari sudut pandang sistem sosialnya dan menganggap bahwa menjaga keteraturan sistem sosialnya adalah penting. Tingkat ketiga, post konvensional. Pada tingkat ini terdapat dua tahapan terakhir dari perkembangan moral, tahap kelima dan keenam. Tahap lima, orientasi kontrak sosial, hak individu, dan hukum demokratis. Pada tahap ini seseorang menganggap hukum dan peraturan yang ada menentukan apa yang benar dan apa yang salah, sedangkan tugas dan kewajiban dipandang memang sebagai kebutuhan harus dipenuhi, yang merupakan konsep abstrak dari kontrak sosial yang ada. Seseorang pada tahap ini mengerti bahwa tidak setiap orang berbagi nilai dan ide tetapi ia menghargai perbedaan itu sebagai hak untuk tetap eksis. Tahap keenam adalah prinsip etika universal yang merupakan tahapan tertinggi moral yang terlihat dari orientasi pada pertimbangan hukum dan peraturan, serta didasari juga pada penghormatan atas keputusan dan kepercayaan bersama, prinsip ideal yang terintrinsikisasi pada diri sendiri, dan kepemilikan atas prinsip moral yang lebih luas. Motivasi Belajar Motivasi adalah dorongan yang memberi semangat, arah, dan kegigihan dalam perilaku seseorang. Perspektif psikologis menjelaskan motivasi dengan cara yang berbeda berdasarkan cara yang juga berbeda. Diantaranya adalah perspektif behavioral, perspektif humanities, perspektif kognitif, dan perspektif sosial (Santrock 2008). Perspektif Behavioral menekankan imbalan dan hukuman ekternal sebagai kunci dalam menentukan motivasi murid. Imbalan atau insentif tersebut
16
berupa peristiwa atau stimuli positif/negative yang dapat memotivasi perilaku murid. Perspektif Humanitis menitikberatkan pada kapasitas murid guna mengembangkan kepribadian dan kebebasan untuk memilih nasib murid. Perspektif ini berkaitan erat dengan teori dari Abraham Maslow tentang teori kebutuhan dimana kebutuhan dasar tertentu harus dipuaskan terlebih dahulu sebelum menunaikan kebutuhan pada jenjang yang lebih tinggi. Kebutuhan yang digambarkan Maslow terdiri atas lima tingkatan, yakni kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan cinta kasih, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Namun tidak semua orang setuju dengan pendapat Maslow karena mungkin saja kebutuhan kognitif untuk sebagian murid lebih dianggap krusial dibandingkan dengan kebutuhan harga diri (Santrock 2008). Menurut perspektif Kognitif, tekanan ekstrinsik seperti yang dipentingkan oleh perspektif behavioris tidak terlalu dilebih-lebihkan. Yang menjadi hal fundamental adalah tanggung jawab para murid untuk mengontrol prestasi murid sendiri. Perspektif ini sejalan dengan gagasan White (1959), yang diacu dalam Santrock (2008) dimana ia mengatakan bahwa ide seseorang dalam menghadapi lingkungan siswa secara efektif, menguasai dunianya sendiri, dan memproses informasi secara efisien bukan dikarenakan kebutuhan biologis, tetapi karena desakan motivasi intrinsik untuk berinteraksi dengan lingkungannya secara efektif. Menurut perspektif sosial, kebutuhan afiliasi atau keterhubungan merupakan motif untuk berhubungan dengan orang lain secara aman. Hal ini membutuhkan pembentukan, pemeliharaan, dan pemulihan hubungan personal yang hangat dan akrab. Kebutuhan afiliasi murid tercermin dalam motivasi murid untuk menghabiskan waktu bersama teman, kawan dekat, keterikatan siswa dengan orang tua, dan keinginan untuk menjalin hubungan positif dengan guru. Murid sekolah yang merasakan hubungan yang penuh perhatian dan suportif biasanya memiliki sikap akademik yang positif dan lebih senang bersekolah. Dalam suatu studi yang berskala luas, salah satu faktor terpenting dalam motivasi dan prestasi murid adalah persepsi murid mengenai hubungan positif atau negatif murid dengan gurunya (McCombs 2001, diacu dalam Santrock 2008). Jenis Motivasi Terdapat dua jenis motivasi jika dilihat dari sumber timbulnya motivasi, yakni motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik timbul sebagai
17
akibat dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan atau dorongan dari luar diri individu, melainkan karena kesadaran dan keinginan dari dalam diri sendiri. Misalnya siswa belajar karena penghayatan akan kebutuhannya menimba ilmu, maka ia memilih untuk memperdalam ilmunya karena dorongan hatinya untuk menjadi seorang pembelajar, kegiatan belajar yang disertai dengan motivasi instrinsik akan menimbulkan perasaan senang dan sama sekali tidak menjadikan belajar sebagai sebuah beban, malah senang menerima tantangan dalam proses belajar murid (Santrock 2008). Winkel (1991), diacu dalam Wardhani (2005) mengatakan bahwa terbentuknya motivasi intrinsik dapat juga dipengaruhi oleh orang lain yang memegang peran, misalnya orang tua atau guru menyadarkan anak akan kaitan antara belajar dan menjadi orang yang berpengetahuan. Biarpun kesadaran itu pada suatu ketika mulai timbul dari dalam diri sendiri, pengaruh dari pendidik telah ikut menanamkan kesadaran tersebut. Motivasi Ekstrinsik menurut Santrock (2008), muncul karena dipengaruhi insentif ekternal baik positif maupun negatif. Contoh motivasi ini timbul pada kegiatan belajar karena kewajiban, belajar demi menghindari hukuman, belajar demi memperoleh hadiah atau materi, belajar demi meningkatkan gengsi atau mengikuti arus persaingan, belajar untuk dipuji dan banyak macam lainnya. Imbalan ekstrinsik dapat berguna untuk mengubah perilaku, akan tetapi dalam beberapa situasi, imbalan atau hadiah dapat melemahkan pembelajaran. Dalam sebuah studi, murid yang sudah lebih dulu tertarik dengan seni dan tidak mengetahui bahwa akan ada imbalan menghabiskan lebih banyak waktu untuk menggambar ketimbang murid yang juga tertarik pada seni tapi tahu akan ada imbalan atau hadiah. Kecerdasan Intrapersonal Gardner (1983) menyatakan bahwa kecerdasan intrapersonal merupakan kapasitas seseorang untuk membedakan antara perasaannya menyenangkan dan menyakitkan bagi dirinya sendiri sehingga ia dapat memposisikan dirinya sesuai perasaannya dan menanggulanginya untuk kebaikan diri sendiri. Kecerdasan ini dimiliki oleh seseorang yang memiliki kemampuan mendeteksi, membedakan, dan menyimbolkan berbagai perasaan yang kompleks dalam dirinya. Hoerr (2007) mendefinisikan kecerdasan intrapersonal sebagai akses pada kehidupan emosional diri yang menjadi sarana untuk memahami diri sendiri dan orang lain. Kecerdasan ini menurutnya, memiliki berbagai kompetensi dasar seperrti kemampuan untuk memutuskan, bekerja sendiri, mempromosikan diri,
18
menetapkan
tujuan,
menyusun
sasaran,
berinisiatif,
mengevaluasi,
menaksir/menilai, merencanakan, mengorganisasikan, melihat kesempatan, berinstrospeksi, dan memahami diri. Menurut Hoerr (2007), kebanyakan orang sukses
karena
orang-orang
tersebut
telah
menemukan
peran
yang
memungkinkan mereka menggunakan kecerdasan terkuatnya, sebaliknya menghindari kegiatan atau jalan yang membutuhkan kecerdasan terlemah kita. Mencari jalan dengan cara seperti itu, menemukan arena yang di dalamnya bisa digunakan kekuatan sendiri dan juga kelemahan dianggap kurang relevan untuk dipakai, merupakan bukti kecerdasan intrapersonal yang kuat. Menurut Beachner dan Pickett (2001), anak-anak yang memiliki kecerdasan ini memang memiliki personalitas yang kuat namun cenderung menghindar dari interaksi dengan aktivitas kelompok karena menikmati kesendiriannya. Kecerdasan intrapersonal merupakan kecerdasan seseorang yang mampu memahami diri sendiri, mengetahui kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya sendiri, sehingga dapat memotivasi diri sendiri. Biasanya orang yang mempunyai skor tinggi dalam faktor- faktor kecerdasan intrapersonal akan digambarkan sebagai seorang yang merasa nyaman pada dirinya sendiri, puas dan berfikiran positif karena apa yang dilakukannya dihasilkan atas jerih payahnya sendiri (Hoerr 2007). Kecerdasan intrapersonal adalah kecerdasan kunci yang bisa menempatkan seseorang di dalam kesuksesan. Kecerdasan intrapersonal yang lemah akan menghadapkan seseorang pada frustasi dan kegagalan yang terus menerus, dan jika terjadi keberhasilan, mungkin hal itu dapat disebut sebagai kebetulan belaka (Hoerr 2007). Kecerdasan intrapersonal yang kuat membuat seseorang berhasil mengendalikan
situasi
untuk
meningkatkan
kekuatan
dan
memperkecil
kelemahan. Dengan mengetahui kekuatannya, seseorang dapat menemukan situasi untuk dikuasai dengan menggunakan kelebihannya agar dapat mencapai keberhasilan dan menjadi dihargai. Selain itu, dengan menyadari kelemahan, seseorang dapat menghindari situasi yang didalamnya cenderung membawanya kepada kegagalan. Dengan mengetahui kelemahan pula, seseorang bisa berusaha memperbaikinya serta mencoba mengonversikan kelemahan tersebut menjadi kekuatan. Apapun kekuatan dan kelemahan itu, seseorang dapat memaksimalkan kecerdasan
bakatnya
intrapersonal
melalui yang
kecerdasan
lemah
dapat
intrapersonal. menyebabkan
Sebaliknya, seseorang
menciptakan kesalahan yang berulang sehingga menghambatnya untuk belajar memecahkan masalah (Hoerr 2007).
19
Kecerdasan Interpersonal Kecerdasan interpersonal ialah kemampuan seseorang untuk mengamati dan mengerti maksud, motivasi, temperamen, keinginan, perasaan, dan perilaku orang lain yang terlihat atau bahkan dalam keadaan yang tersembunyi (Gardner (1983). Peka terhadap ekpresi wajah, suara dan gerakan tubuh orang lain dan mampu memberikan respon secara efektif dalam berkomunikasi. Kecerdasan ini juga mengindikasikan bahwa orang yang memilikinya mampu untuk masuk dan menelaah diri orang lain, mengerti dunia orang lain, mengerti pandangan, sikap orang lain dan umumnya dapat memimpin suatu kelompok. Kecerdasan interpersonal juga dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang berlangsung antar dua pribadi, mencirikan proses-proses yang timbul sebagai suatu hasil dari interaksi individu dengan individu lainnya. Kecerdasan interpersonal menunjukkan kemampuan seseorang untuk peka terhadap perasaan orang lain. Seseorang cenderung untuk memahami dan berinteraksi dengan orang lain sehingga mudah bersosialisasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Kecerdasan interpersonal ini juga sering disebut sebagai kecerdasan sosial, selain kemampuan menjalin persahabatan yang akrab dengan teman, juga mencakup kemampuan seperti memimpin, mengorganisir, menangani perselisihan antarteman, memperoleh simpati dari peserta didik yang lain, dan sebagainya. Orang yang memiliki kecerdasan interpersonal yang rendah dapat memunculkan konflik interpersonal (Hoerr 2007). Beachner dan Pickett (2001) menyatakan bahwa anak yang memiliki kecerdasan ini biasanya muncul sebagi pemimpin/ketua di kelas atau sekolah. Positifnya, anak-anak ini dapat menjadi mediator yang baik karena berinteraksi secara persuasif dengan sangat baik, tetapi kemampuan ini sekaligus menjadi hal negatif karena bisa bersifat manipulatif. Karakteristik Anak Seorang anak dipengaruhi berbagai macam hal dalam proses tumbuh kembangnya, diantaranya adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi anak adalah potensi yang dimiliki anak di dalam dirinya seperti kematangan usia, jenis kelamin, dan urutan anak. Usia Secara umum, masa remaja dibagi menjadi dua bagian, yaitu masa awal dan masa akhir. Awal masa remaja menurut Hurlock (1980), berlangsung di
20
sekitar usia 13-16 tahun, sedangkan akhir masa remaja berkisar pada 16-18 tahun. Pada usia remaja, terdapat lima perubahan universal yang hampir sama pada setiap remaja. Pertama adalah meningkatnya emosi, yang intensitasnya bergantung kepada perubahan fisik dan psikologisnya. Kedua, perubahan tubuh, dimana minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial untuk dipesankan menimbulkan masalah baru. Bagi remaja muda, masalah yang baru dan timbul tampaknya lebih sulit dibandingkan masalah yang dihadapi sebelumnya. Remaja tahap ini akan selalu merasa ditimbuni masalah sampai ia menyelesaikan masalahnya sendiri menurut taraf kepuasannya. Keempat, dengan berubahnya minat dan pola perilaku, maka nilai-nilai juga berubah. Tingkat urgensi/kepentingan akan sesuatu berbeda dengan persepsi saat masa sebelumnya. Pada masa ini remaja lebih menghargai kualitas suatu hubungan dibandingkan kuantitasnya. Para remaja dalam memilih teman tidak lagi dilatarbelakangi alasan kemudahan dan kegiatan yang sama seperti yang terjadi pada masa kanak-kanak, tetapi remaja menjalin hubungan persahabatan karena terikat oleh kesamaan nilai dan minat yang dapat dimengerti oleh sesamanya, yang membuat remaja merasa aman dan nyaman. Kelima, sebagian besar remaja bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. Remaja menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi takut bertanggung jawab atas akibat yang ditimbulkan dan masih sering meragukan kemampuan mereka untuk dapat mengatasi tangung jawab tersebut. Jenis Kelamin Rata-rata remaja laki-laki lebih lambat matang daripada remaja perempuan. Oleh karenanya, laki-laki mengalami periode awal masa remaja yang lebih singkat, meskipun pada usia 18 tahun sudah bisa dianggap dewasa seperti halnya perempuan. Akibatnya, laki-laki seringkali terlihat kurang matang dibandingkan lawan jenisnya. Namun, karena status yang lebih matang di rumah dan sekolah, biasanya laki-laki cepat menyesuaikan diri dan menunjukkan perilaku yang lebih matang, yang sangat berbeda dengan perilaku ramaja yang lebih muda (Hurlock 1980). Remaja laki-laki biasanya memiliki perasaan lebih unggul atas lawan jenisnya. Keunggulan maskulin biasanya diungkapkan dengan mengharapkan laki-laki berperan lebih “tinggi” dalam kegiatan sosial, sekolah, ataupun masyarakat. Meskipun perempuan dapat berperan sebagai pemimpin dalam kegiatan serupa, namun pada umumnya laki-laki memainkan peran yang lebih
21
penting dan bergengsi. Remaja laki-laki berusaha menujukkan keunggulannya di bidang-bidang olahraga, pelajaran, permainan, atau dalam mencapai otonomi kehidupan yang lebih besar sehingga remaja menuntut lebih banyak kebebasan yang dianggap sebagai keunggulan kaumnya. Pengelompokkan remaja laki-laki biasanya lebih besar dan tidak terlampau akrab dibandingkan dengan pengelompokkan remaja perempuan yang lebih kecil dan erat. Urutan Anak Hurlock (1980) menyatakan bahwa hubungan yang ramah dengan saudara kandung sejenis sepanjang masa kanak-kanak seringkali berubah menjadi hubungan yang kurang baik saat masa remaja. Misalnya kakak perempuan
yang
permpuannya,
dan
cenderung
mengkritik
saudara-saudara
penampilan
yang
lebih
dan
muda
perilaku tidak
adik
menyukai
keiistimewaan yang diberikan kepada saudara-saudara yang lebih tua. Hal ini terjadi karena anak yang lebih tua sudah memiliki konsep kebaikan dan cenderung mnegajarkannya kepada adik-adiknya karena pengaruh proses pengasuhan yang terlebih dulu diterapkan oleh orang tuanya. Karakteristik Keluarga Karakter seorang anak dapat terbentuk dilihat dari pengasuhan yang dilakukan oleh orang tua. Pengasuhan sendiri dilihat dalam konteks sosial, anak yang hidup dalam keluarga, keluarga di dalam grup sosial yang lebih besar, dimana hal ini akan mempengaruhi orang tua dalam melakukan proses pengasuhan dan sebaliknya hasil pengasuhan orang tua pada anaknya akan membentuk generasi selanjutnya dalam masyarakat (Brooks 2001). Lingkungan keluarga yang dianalisis oleh Bronfenbrenner yang diacu dalam Brooks (2001) menggambarkan interaksi seorang anak dengan objek dan orang lainnya. Terdapat lima lingkungan yang yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan seorang anak. Pertama lingkungan mikrosistem, yakni lingkungan terdekat anak yang terdiri atas orang tua, pengasuh, guru, teman sepermainan dan lain-lain. Yang kedua adalah mesositem, yaitu lingkungan yang didalamnya terdapat interaksi antara orang-orang dalam lingkungan mikrosistem yang hubungannya mempengaruhi anak secara langsung misalnya interaksi orang tua dengan guru. Ketiga, lingkungan eksositem yang tidak secara langsung berinteraksi dengan anak tetapi cukup mempengaruhi, misalnya tempat kerja orang tua. Lingkungan keempat adalah makrosistem, yaitu konteks sosial budaya
22
yang lebih luas yang di dalamnya terdapat anggota dari kelompok mikrosistem dan mesosistem. Terakhir adalah lingkungan kronosistem yang merupakan perubahan dan keberlanjutan yang
berlangsung
sepanjang
waktu dan
mempengaruhi kehidupan anak, contohnya pindah sekolah, pubertas, dan pernikahan.
Pendidikan orang tua Menurut Hastuti (2008), orang tua yang berpendidikan lebih tinggi relatif lebih “kaya” memberikan stimulasi yang lebih baik kepada anak, memiliki alokasi waktu yang relatif lebih panjang, berinteraksi lebih sering, dan lebih mampu memberikan biaya untuk aktivitas anak-anaknya. Pendidikan yang dapat membentuk kematangan berpikir bukan hanya dilihat dari pendidikan formalnya saja, tetapi juga dari pendidikan non formal, pengalaman berorganisasi, akses kepada buku dan media massa. Tetapi hal negatif dari ibu yang berpendidikan tinggi adalah ibu cenderung menetapkan standar pendidikan yang juga tinggi untuk anaknya, dampaknya pada anak adalah motivasi anak untuk mencari ilmu pengetahuan tidak tumbuh dan kegiatan belajar hanyalah buah dari keterpaksaan (Santrock 2008). Pekerjaan orang tua Menurut Hurlock (1980), ibu bekerja akan memiliki pengaruh yang sangat signifikan dalam menghambat proses pengasuhan, namun demikian, hal positif yang dapat diperoleh dari ibu yang bekerja adalah akses ibu untuk memperoleh pengetahuan untuk proses pengasuhan menjadi lebih baik. Lain halnya dengan ayah, semakin baik pekerjaan yang dimiliki ayah, maka keluarga memiliki kesempatan yang lebih banyak untuk memperoleh sumberdaya, termasuk untuk proses pengasuhan dan pendidikan anak. Peran ibu sebagai wanita karir akan mempengaruhi pengasuhan ibu terhadap anaknya. Paling tidak dari alokasi waktu bekerja yang akan membuat ibu kelelahan sesampainya di rumah sehingga ibu kesulitan untuk bermain dan bercengkerama bersama anak. Hal ini menciptakan proses pengasuhan yang relatif tidak kondusif bagi anak (Hastuti 2008). Pendapatan keluarga Menurut Hastuti (2008), pengasuhan yang tidak berkualitas akan membentuk anak menjadi anak yang antisosial. Pengasuhan orang tua sendiri
23
dipengaruhi oleh kondisi emosi dan ekonomi. Ketidakstabilan emosi dan ekonomi ini akan berimbas kepada proses pengasuhan anak. Fagan (1995), diacu dalam Megawangi (2004) mengatakan bahwa faktor sosial
ekonomi
berperan
dalam
kenakalan
anak,
dimana
kemiskinan
berhubungan erat dengan tingkat stress dalam keluarga, perilaku kekerasan, dan berpengaruh terhadap kualitas karakter anak. Besar keluarga Menurut Gunarsa dan Gunarsa (2004), pola dan corak komunikasi antar anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh jumlah atau besarnya keluarga. Jumlah interaksi interpersonal anggota keluarga semakin banyak dan kompleks jika keluarga memiliki ukuran yang lebih besar. Hubungan yang semakin majemuk akan menciptakan dukungan yang lebih banyak atau malah memicu ketegangan yang semakin besar. Santrock (2008) menyatakan bahwa walaupun jumlah anggota keluarga yang semakin banyak memiliki potensi negatif dalam proses komunikasi dan pembagian sumberdaya, tetapi semakin besar ukuran keluarga hal ini dapat pula meningkatkan dukungan untuk masing-masing anggota keluarga.