2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemodelan Dari tata istilah penelitian operasional, secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah obyek atau situasi nyata. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam sebab akibat.
Karena model adalah suatu
abstraksi dari kenyataan, sehingga wujudnya menjadi kurang kompleks dari pada kenyataan itu sendiri. Model dapat dikatakan lengkap apabila dapat mewakili berbagai aspek dari kenyataan yang sedang dikaji. Definisi model yang diungkapkan oleh Kossen dan Oosterhuits (1991) yaitu, “model adalah perwakilan dari sebagian kenyataan. Manipulasi dari model dapat memberikan keterangan sebagian kenyataan yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan“. Salah satu dasar utama untuk mengembangkan model adalah untuk menemukan peubah-peubah apa yang penting dan tepat. Penemuan peubah tersebut sangat erat hubungannya dengan pengkajian hubungan-hubungan yang terdapat diantara peubah-peubah. Teknik kuantitatif seperti persamaan regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar peubah dalam sebuah model. Model dapat dipilah menurut jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian atau derajat keabstrakannya. Pemilahan yang umum dari jenis-jenis model dikelompokkan menjadi (Blanchard dan Fabrycky, 1990; Eriyatno, 1998) : (1) Model ikonik (model fisik), adalah perwakilan fisik dari beberapa hal baik dalam bentuk ideal ataupun dalam skala yang berbeda. Model ikonik dapat berdimensi dua (foto, peta, cetak biru) atau dimensi tiga (prototipe mesin, alat). (2) Model analog (model diagramatik). Model analog dapat mewakili situasi dinamik. Model ini mampu untuk menyajikan karakteristik dari kejadian yang dikaji. Contoh dari model analog ini adalah kurva permintaan, kurva distribusi frekuensi pada statistik dan diagram alir. Blanchard dan Fabrycky (1990) membedakan model analog dari model diagramatik, yaitu bahwa model analog merupakan analogi dari sistem sebenarnya
6
yang dapat menggambarkan mekanisme bekerjanya sistem secara fungsional, seperti model sirkuit elektronika, model sistem mekanik dan lain-lain. (3) Model simbolik (model matematik) Format model simbolik dapat berupa angka, simbol dan rumus. Jenis model simbolik yang umum dipakai adalah suatu persamaan (equation). Model adalah sebuah gambaran dari sistem agar menjadi kenyataan, atau untuk menganalisis suatu sistem yang sebenarnya.
Percobaan dengan
menggunakan model merupakan cara untuk menghasilkan rancangan ataupun keputusan operasional menggunakan waktu yang singkat dan dengan biaya yang lebih murah bila dibandingkan dengan menggunakan sistemnya secara langsung.
Terlebih lagi bila sistem tersebut memang belum ada, atau uji
cobanya pada suatu sistem industri yang kompleks membutuhkan biaya yang sangat mahal dan bersifat merusak. Terdapat perbedaan yang mendasar dari penggunaan model dalam sains dan keteknikan.
Model dalam sains digunakan untuk mempelajari dan
memahami kejadian yang terjadi di alam. Sedangkan model dalam keteknikan digunakan untuk menguji coba sesuatu yang dibuat agar mencapai apa yang menjadi tujuannya. Model-model dalam sains yang telah divalidasi digunakan dalam keteknikan untuk berkreasi dalam produk dan meningkatkan produk hasil kreasi tersebut (Blanchard dan Fabrycky, 1990). Pada umumnya model matematik dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu model statik dan dinamik. Model statik memberikan informasi tentang peubahpeubah model hanya pada satu titik dari waktu.
Sedangkan model dinamik
mampu menelusuri jalur waktu dari peubah-peubah model (Eriyatno, 1998). Kegunaan utama dari simulasi dalam rekayasa sistem adalah untuk mencari efek-efek dari karakteristik sistem yang dipilih tanpa mencobanya pada sistem yang sebenarnya (Blanchard dan Fabrycky, 1990). Untuk melakukannya, maka diperlukan model-model yang pada umumnya bersifat matematik. Dalam banyak hal simulasi memerlukan alat bantu berupa komputer analog dan digital. Menurut Blanchard dan Fabrycky (1990), pemilihan model yang terbaik untuk kebutuhan simulasi sangat tergantung kepada latar belakang pembuat sistem. Model matematik sangat beragam mulai dari yang sangat sederhana sampai model yang sangat kompleks. Seni dalam pembuatan model adalah untuk
7
mencari kondisi yang optimal antara kesederhanaan (simplicity) dan keandalan (reliability) untuk mencapai tujuan dari model.
Model yang sederhana biasanya
lebih
informasi
mudah,
tetapi
menggambarkan
tidak
proses
memberikan
yang
terjadi.
Model
yang
yang
cukup
untuk
kompleks
dapat
menggambarkan proses yang jauh lebih baik, akan tetapi memiliki masalah yang lebih besar untuk mendapatkan nilai yang tepat karena jumlah parameter yang banyak dan kesulitan dalam penanganan modelnya. Kompleksitas dari model dapat dikurangi dengan hanya memilih dan menggunakan mekanisme yang penting-pentingnya saja.
Hal ini sering
dilakukan dengan cara membandingkan konstanta waktu. Mekanisme dengan tetapan waktu yang lebih besar dari proses diabaikan, sedangkan mekanisme dengan tetapan waktu yang lebih kecil dari prosesnya adalah pada kondisi tunak (steady state). Langkah awal dari permodelan adalah dengan menentukan jenis model abstrak yang akan diterapkan sejalan dengan tujuan dan ciri sistem, melalui pendekatan model kotak gelap (black box model) dan model terstruktur (structured model). Model kotak gelap (black box) hanya dapat menggambarkan sistem melalui fenomena yang terjadi dan tidak bersifat mekanistik (nonmechanistic), sehingga model kotak gelap disebut juga dengan model tidak terstruktur (unstructured model).
Melalui pendekatan ini tidak dimungkinkan
untuk melakukan ekstrapolasi (scale up), sehingga berangsur berubah menjadi model terstruktur (structured model) atau menurut Kossen dan Oosterhuits (1991) disebut juga dengan model kotak abu-abu (gray box model). Model kotak abu-abu merupakan kumpulan dari model kotak gelap-kotak gelap yang menjadi elemen sistem dan tersusun dalam sistem yang
saling
berinteraksi. Dalam bioreaktor interaksi antar elemen-elemen itu terdapat dalam persamaan-persamaan kinetik, persamaan-persamaan perpindahan dan lainlain. Kebanyakan kejadian fenomena biologis
menunjukkan model-model
matematik non-linear, misalnya model sederhana persamaan Monod.
Untuk
menyelesaikannya diperlukan berbagai macam tehnik pelinieran (Kossen dan Oosterhuits, 1991).
2.2. Ciri dan Jenis Limbah Industri
8
Pengetahuan mengenai sifat-sifat limbah akan sangat membantu dalam penetapan metode penanganan dan pembuangan limbah secara efektif. Secara ringkas Eckenfelder (1989) menyebutkan beberapa kandungan air limbah yang harus dihilangkan sebelum dibuang sesuai dengan jenis industri yang menghasilkannya. Kandungan itu adalah adalah sebagai berikut : (1) Bahan organik terlarut, yang dapat menyebabkan penurunan oksigen terlarut dalam air.
Untuk mempertahankan oksigen terlarut minimal
dalam badan air penerima, maka jumlah bahan organik terlarut harus disesuaikan dengan kapasitas badan air penerima atau pembatasan spesifik pada efluen. (2) Padatan tersuspensi.
Pengendapan padatan pada badan air akan
mengganggu kehidupan normal organisme air. Apabila hal ini terjadi, lapisan lumpur yang mengandung padatan organik, terdekomposisi
akan
menyebabkan
penurunan
kemudian
oksigen
dan
memproduksi gas-gas yang berbau. (3) Zat organik renik.
Senyawa-senyawa fenol dan organik lain yang
terkandung dalam limbah industri dalam jumlah sedikit yang dapat menimbulkan rasa dan bau tidak sedap dalam air. (4) Logam berat, sianida dan senyawa-senyawa beracun.
Pembatasan
terhadap bahan-bahan ini telah diatur oleh EPA (Environmental Protection
Agency)
sebagai
bahan-bahan
beracun
organik
dan
anorganik. (5) Warna dan kekeruhan. Hasil buangan ini lebih mengarah pada masalah estetika, sehingga beberapa tujuan dari pemanfaatan air tidak perlu menghilangkan sifat-sifat ini. (6) Nitrogen dan fosfor.
Senyawa-senyawa buangan ini tidak diinginkan
karena menyebabkan eutrofikasi dan merangsang pertumbuhan alga yang tidak diinginkan. (7) Senyawa-senyawa yang tahan terhadap biodegradasi. (8) Minyak
dan
bahan
mengapung.
Senyawa-senyawa
ini
dapat
menyebabkan kondisi yang tidak dapat ditembus oleh cahaya. (9) Bahan mudah menguap, misalnya senyawa hidrogen sulfida atau senyawa-senyawa organik lain yang mudah menguap. Setiap industri mempunyai limbah yang berbeda dalam jumlah dan mutunya. Penyusun limbah cair agroindustri sebagian besar adalah bahan organik.
9
Limbah cair pengolahan pangan umumnya mempunyai kandungan nitrogen yang tinggi, BOD dan padatan tersuspensi tinggi, dan berlangsung dengan proses dekomposisi cepat.
Beberapa jenis limbah seperti pada pengolahan bit,
mempunyai warna yang intensif. Selain kandungan organik, dalam limbah dapat juga mengandung pencemar lain seperti larutan alkali, kalor, dan insektisida seperti pada limbah dari pengolahan buah dan sayuran (Jenie dan Rahayu, 1993). Seperti halnya pada industri pengolahan yang lain, operasi pengolahan ikan menghasilkan limbah cair yang mengandung pencemar organik, senyawasenyawa koloid dan partikel. Penggunaan air dalam jumlah yang banyak pada industri perikanan menyebabkan keluaran limbah dalam jumlah yang banyak pula terhadap lingkungan, karena pada dasarnya air yang digunakan untuk proses pengolahan dalam industri perikanan untuk perebusan, pemasakan awal (precooking) dan pencucian akan dibuang kembali setelah digunakan. Besarnya beban cemaran yang terkandung didalamnya sangat tergantung pada jenis operasi pengolahan yang dilakukan.
Gonzales (1996) membagi derajat pencemaran tersebut
menjadi pencemaran kecil (misalnya: hasil dari operasi pencucian), ringan (misal: hasil dari pemfilletan ikan) dan berat (misal: cairan yang mengandung darah yang dibuang dari tangki-tangki penyimpanan ikan). Menurut River et al. (1998) jumlah debit air limbah pada efluen banyak berasal dari proses pengolahan dan pencucian.
Setiap operasi pengolahan ikan akan menghasilkan cairan dari
pemotongan, pencucian, dan pengolahan produk. Cairan ini mengandung darah dan potongan-potongan kecil daging ikan dan kulit, isi perut, kondensat dari operasi pemasakan, dan air pendinginan dari kondensor.
Ciri penggunaan air
dan aliran efluen spesifik yang diteliti oleh River et al (1998) dari beberapa jenis pengolahan hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 1. Park et al. (2001) menyatakan bahwa pada industri perikanan yang mengolah cumi-cumi dan ikan menghasilkan nilai BOD (1000 – 5000 mg/l) dan volume limbah cairnya pada tingkat yang lebih tinggi karena adanya perubahan dalam cara-cara mengolah yang disebabkan adanya peningkatan pemanfaatan ikanikan bernilai ekonomis rendah.
Proses pembersihan, pemotongan dan
pengemasan jenis ikan ini menghasilkan campuran yang kompleks dari bahan padatan terlarut dan limbah cair yang telah terkontaminasi, misalnya pada cairan tinta
cumi-cumi
yang
dibuang
selama
pengolahan
selain
mengandung
10
konsentrasi padatan organik yang tinggi juga mengandung protein terlarut yang tinggi, sehingga menghasilkan beban BOD yang tinggi. Tabel 1. Nilai rata-rata aliran efluen industri perikanan berdasarkan jenis konsumsi dan laju alir spesifik. Jenis Konsumsi Air Proses
Pencucian Pengolahan (%) (%)
Pengalengan Ikan (cakalang dan tuna) Pembuatan filet salmon Pengolahan udangudangan (Crustacea)
Laju Alir Spesifik Air Limbah m3/ton bahan baku
m3/ton produk
4,7
95,3
3,2
22,1
15,4
84,6
13,4
20,2
28,6
71,4
13,1
98,2
Sumber : River et al. (1998) Penggunaan air pada setiap unit pengolahan berasal dari dua arus utama: yaitu air yang digunakan untuk proses dan air yang digunakan untuk mencuci peralatan dan lantai. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Air untuk mencuci dapat dikurangi dengan sistem pencucian silang (countercurrent washing system), penghilangan padatan sisa-sisa potongan sebelum pencucian, atau dengan menggunakan deterjen sesuai dengan persyaratan minimum.
Hal ini dapat
direncanakan mulai sejak tahap yang paling awal yaitu pada tahap perancangan proses dan pabrik, perubahan reaksi atau dengan pengendalian arus masukan dan limbah. Pencemar yang ada dalam limbah cair perikanan yang menjadi beban pencemaran pada umumnya dapt bersifat fisikokimiawi maupun campuran dari senyawa-senyawa organik. Beban cemaran organik yang tinggi dalam limbah cair perikanan mengandung senyawa nitrogen yang tinggi, yang merupakan protein larut air setelah mengalami peluluhan (leaching) selama pencucian, pelelehan (defrost) dan proses pemasakan (Battistoni et al., 1992; Mendez et al., 1992; Veranita, 2001). Limbah cair ini dikeluarkan dalam jumlah yang tidak sama setiap harinya.
Pada waktu tertentu dikeluarkan dalam jumlah yang banyak
tetapi encer, terutama mengandung protein dan garam. Pada waktu yang lain dikeluarkan limbah cair dalam jumlah sedikit tetapi pekat, yang mengandung protein dan lemak.
Beban cemaran limbah cair yang berbeda-beda tersebut
11
tergantung jenis pengolahannya.
Limbah cair dari proses produksi tepung ikan
(fishmeal) juga dibagi menjadi limbah volume tinggi konsentrasi pencemar rendah dan volume rendah konsentrasi pencemar tinggi.
Limbah cair yang
bervolume tinggi konsentrasi pencemar rendah terdiri dari air yang digunakan untuk pembongkaran, transportasi dan penanganan ikan, dengan volume limbah mencapai 900 kg/ton ikan dan mengandung padatan terlarutnya yang terdiri dari darah, daging, lemak dan minyak sebesar 5.000 mg/l. Dari air dari pengepresan (stickwater) yang dihasilkan mengandung BOD 56.000 – 112.000 mg/l dengan konsentrasi padatan yang mengandung mayoritas protein sebesar 6%, volumenya diperkirakan mencapai 550 l/ton ikan (Islam et al., 2004). Beban limbah yang berasal dari perubahan fisikokimia efluen juga dapat diukur sebagai parameter tingkat pencemaran, misalnya pH, kandungan padatan, suhu, dan bau. Efluen dari industri pengolahan ikan pada umumnya mempunyai pH mendekati 7 atau alkali (Battistoni dan Fava, 1995; Gonzales, 1996). Hal ini umumnya disebabkan karena adanya dekomposisi dari bahanbahan yang mengandung protein dan banyaknya senyawa-senyawa amonia. Menurut Islam et al. (2004) beberapa industri mengandung limbah dengan kandungan alkali yang tinggi (pH = 11,0) atau keasaman yang tinggi (pH = 3,5). Padatan tersuspensi dari limbah cair perikanan pada umumnya cukup tinggi dan perlu dicermati karena dapat terjadi pengendapan pada saluran dan badan air penerima. Kandungan padatan tersuspensi ini sangat beragam dari setiap jenis industri pengolahan, mulai dari 0,7 – 0,78 kg/t pada industri pengolahan rajungan sampai mencapai 3,8 - 17 kg/t pada industri pengalengan tuna (Middlebrooks, 1979).
Kandungan padatan ini tidak hanya tergantung pada
derajat kontaminasi, akan tetapi juga tergantung pada mutu air yang digunakan untuk proses. Dari suatu analisis pada air limbah pengolahan filet ikan diperoleh bahwa 65% dari total padatan yang ada dalam efluen berasal dari air yang digunakan (Gonzales et al., 1983 dalam Gonzales, 1996). Bau didalam air limbah sangat penting sehubungan dengan persepsi dan penerimaan umum yang tidak baik terhadap berbagai instalasi pengolahan limbah. Meskipun bau ini pada umumnya tidak berbahaya, akan tetapi dapat menyebabkan keresahan (stres) dan gangguan pernafasan (nausea). Bau yang timbul dari limbah cair perikanan disebabkan oleh dekomposisi bahan-bahan organik yang menghasilkan senyawa amina mudah menguap, diamina dan amonia.
12
Limbah cair industri perikanan pada umumnya tidak dibuang diatas suhu lingkungan, kecuali limbah cair yang berasal dari proses pemasakan dan sterilisasi dari industri pengalengan. 0
Suhu badan air penerima harus tidak
0
meningkat lebih dari 2 C atau 3 C, sebab akan mempengaruhi keseimbangan populasi organisme yang hidup didalamnya dan menurunkan kelarutan oksigen, yang kemudian dapat mengancam kelangsungan hidup beberapa bentuk kehidupan air. Oleh karena itu pembuangan limbah cair industri pengalengan tidak boleh sampai merubah suhu badan air penerima lebih dari 3 0C. Zat-zat pencemar yang ada dalam limbah cair perikanan yang bersifat organik dapat diukur dari BOD, COD, lemak dan kandungan hara yaitu nitrogen dan fosfor. Limbah cair dari proses pengolahan perikanan memiliki kandungan yang tinggi terhadap COD, zat hara nitrogen, minyak dan lemak, terutama pada saat proses penyiangan usus dan isi perut, serta proses pemasakan (Mendez et al., 1992). Battistoni et al (1992) menyebutkan bahwa pada efluen limbah cair industri pengolahan ikan herring dan salmon memiliki nilai BOD lebih dari 2500 mg/l. Hal yang sama disebutkan oleh Park et al (2001) bahwa nilai BOD limbah cair dari efluen suatu industri pengolahan cumi-cumi berkisar dari 1000 mg/l sampai
5000 mg/l. Selanjutnya menurut Islam et al. (2004) beberapa pabrik
pengolahan ikan di Jepang memperlihatkan nilai BOD rata-rata mencapai 750 mg/l untuk tuna,
240 mg/l untuk kamaboko dan 3.625 mg/l untuk surimi. Ada
tiga dari produk-produk industri perikanan tersebut yang limbahnya memiliki nilai BOD yang tertinggi, yaitu pabrik surimi, kamaboko dan tepung ikan, dengan nilai BOD secara berturut-turut 8.204 mg/l, 6.776 mg/l dan 18.400 mg/l, dengan penggunaan air sebesar 3 l/kg ikan atau 273 l/kg surimi. Untuk memproduksi surimi pencucian yang sangat ekstensif dilakukan untuk menghilangkan lemak dan senyawa-senyawa larut air, seperti protein sarkoplasma, pikmen, senyawasenyawa amina, vitamin dan enzim (Lin et al, 1995). Lemak dalam efluen limbah cair perikanan sering juga ditemukan terutama pada
satuan operasi proses pengolahan, misalnya pengukusan pada
pengalengan dan pengepresan pada pembuatan tepung ikan. Minyak dan lemak dalam limbah cair ini biasanya mengapung sehingga menghambat perpindahan oksigen ke dalam air dan juga merusak nilai-nilai estetika lingkungan perairan. Dalam jangka panjang lemak yang melekat pada saluran limbah dapat mengurangi kapasitas saluran yang pada akhirnya dapat menyumbat saluran.
13
2.3. Perubahan Biologis Limbah Organik Tujuan pengolahan air limbah secara biologis pada air buangan adalah untuk menurunkan komponen khususnya senyawa organik sampai pada batas yang aman terhadap lingkungan dengan memanfaatkan mikroorganisme. Untuk melanjutkan kelangsungan hidup dan aktivitas mikroorganisme, dalam media pertumbuhannya harus tersedia: (1) Sumber energi (2) Karbon untuk bahan pembentukan seluler yang baru. (3) Unsur-unsur hara anorganik seperti nitrogen (N), belerang (S), fosfor (P), kalium (K), kalsium (Ca) dan magnesium (Mg), dan sedikit unsur Zn, Mn, Mo, Se, Cu, Ni, dan V (Stanier et al., 1986). (4) Hara organik sebagai faktor petumbuhan dibutuhkan juga untuk pembentukan sel. (5) Kondisi lingkungan yang optimal, seperti pH dan suhu. Untuk memenuhi kebutuhan hara-hara tersebut, mikroorganisme pengurai melakukan perombakan terhadap senyawa-senyawa organik kompleks. Sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan mikroorganisme diperoleh dari dua
sumber
yaitu
berasal
dari
bahan
organik
dan
karbondioksida.
Mikroorganisme yang menggunakan bahan organik sebagai sumber karbon dan energinya disebut heterotrof, sedangkan yang berasal dari karbondioksida disebut ototrof. Konversi karbondioksida menjadi jaringan sel organik merupakan proses reduksi yang membutuhkan masukan energi, sehingga mikroorganisme ototrof
lebih
banyak
menggunakan
energi
dari
organisme
menyebabkan pertumbuhannya lebih lambat dari heterotrof.
lain
yang
Energi yang
dibutuhkan oleh mikroorganisme tersebut dapat berasal dari cahaya (disebut fototrofik) atau juga berasal dari reaksi oksidasi kimia (disebut kemotrofik). Organisme-organisme penting yang berperan dalam pengolahan limbah adalah organisme kemototrof (bakteri-bakteri nitrifikasi) atau organisme kemoheterotrof (yang didalamnya selain bakteri termasuk juga protozoa dan fungi). Selain karbon dan energi yang dibutuhkan untuk pembentukan sel oleh mikroorganisme, dibutuhkan juga hara organik yang disebut juga sebagai faktor pertumbuhan.
Setiap organisme membutuhkan faktor pertumbuhan yang
berbeda-beda.
Macam-macam faktor tersebut dikelompokkan menjadi tiga
kelompok, yaitu: 1) asam amino, 2) purin dan pirimidin dan 3) vitamin (Stanier et al., 1986)
14
Populasi organisme yang aktif dalam pengolahan limbah cair biasanya merupakan campuran, kompleks dan saling ketergantungan (interrelasi). Dalam hal ini dicontohkan dalam satu sistem reaktor aerobik tunggal terdapat jenis-jenis mikroba Pseudomonas, Nocardia, Flavobacterium, Achromobacter, dan Zooglea secara
bersama-sama
dengan
organisme-organisme
berfilamen
seperti
Beggioata dan Spaerotilus (Stanier et al., 1986). Dalam kerjasamanya ini bakteri bekerja menguraikan senyawa-senyawa organik dari influen, sedangkan protozoa memakan sebaran bakteri yang tidak terflokulasi, dan rotifer memakan partikel flok yang kecil dan tidak terendapkan dalam efluen. Klasifikasi
pengolahan
air
limbah
secara
biologis
dapat
dilakukan
berdasarkan tiga pendekatan (Grady dan Lim, 1980), yaitu berdasarkan: (1) Lingkungan proses biologis Pengolahan limbah secara biologis merupakan proses biokimia yang dapat berlangsung dalam lingkungan utama, yaitu lingkungan aerobik dan lingkungan anaerobik. Lingkungan aerobik adalah lingkungan yang memiliki kandungan oksigen terlarut (dissolved oksigen, DO) di dalam air terdapat cukup banyak, sehingga oksigen bukan merupakan suatu faktor pembatas. Lingkungan anaerobik, yaitu tidak terdapat
atau sedikit sekali oksigen
terlarut terdapat dalam air, sehingga oksigen menjadi faktor pembatas berlangsungnya proses metabolisme. (2) Jenis perubahan biologis yang terjadi. Dalam rangka menyisihkan bahan organik yang terlarut, mikroorganisme yang ada menggunakan bahan organik sebagai hara bagi pertumbuhannya menjadi sel-sel baru dan karbondioksida. Proses perubahan biologis terjadi dengan berbagai macam cara sesuai dengan mikroorganisme yang berperan didalamnya, misalnya jenis mikroba ototrof atau heterotrof (Loosdrecht dan Jetten, 1998).
Pada kondisi anaerobik terjadi proses
asidogenesis, asetogenesis dan metanogenesis (Beteau, 1997). Sedangkan pada kondisi aerobik dan anoksik terjadi proses pengubahan nitrifikasi dan denitrifikasi. (3) Konfigurasi bioreaktor Konfigurasi bioreaktor disusun dalam rangka mencapai efisiensi proses yang tinggi untuk mencapai standar kualitas efluen yang diinginkan.
15
Perombakan senyawa organik oleh mikroorganisme kemoheterotrof dapat digambarkan sebagai berikut (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986):
Karbohidrat Protein Hidrokarbon
O2
CO2 + H2O + NH4+ + Mineral + Sel-sel mikroba
mikroorganisme
Pada dasarnya ada dua mekanisme prinsip penghilangan nitrogen (N) yaitu mekanisme asimilasi dan mekanisme nitrifikasi-denitrifikasi (Gambar 1). N-organik (protein; urea)
asimilasi
Amonia Nitrogen
N-organik (Sel bakteri baru)
Penguraian dan autoksidasi
O2
nitrifikasi
N-organik (sel-sel bakteri)
Nitrit (NO2-)
Karbon Organik
O2
Nitrat (NO3-)
Gas N2 denitrifikasi
Gambar 1. Transformasi nitrogen didalam proses pengolahan secara biologis (Metcalf dan Edy, 1991)
Dari Gambar 1 terlihat bahwa nitrogen dalam air berada dalam berbagai bentuk, yaitu: (1) Gas nitrogen (N2) terlarut (2) Nitrogen organik yang terikat dalam bahan organik berprotein. +
(3) Amonia terion dan tidak terion (NH4 dan NH3)
16
_
(4) Ion nitrit (NO2 ) _
(5) Ion nitrat (NO3 ) Menurut Loosdrecht dan Jetten (1998), proses-proses mikrobial yang baru telah banyak memberikan informasi dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam proses daur nitrogen. Kemungkinan-kemungkinan baru dalam konversi senyawa nitrogen ini telah menambah sistem pengolahan limbah secara biologis menjadi lebih kompleks. Misalnya adanya peluang terjadinya denitrifikasi aerobik dan nitrifikasi heterotrofik, oksidasi anaerob amonium ataupun proses denitrifikasi oleh bakteri nitrifikasi ototrof. Peluang terjadinya proses-proses ini digambarkan dalam
Gambar 2.
HNO3 Keterangan :
HNO2
Nitrifikasi
NO
Asimilasi
N 2O
Denitrifikasi N-fiksasi
N2
Anammox
NH2OH
Denitrifikasi oleh nitrifier
N 2 H3 NH3
N-organik
Gambar 2. Beberapa kemungkinan terjadinya peyisihan nitrogen secara biologis (Loosdrecht dan Jetten, 1998) Hal ini didukung oleh Holman dan Wareham (2005) yang
dalam
penelitiannya menemukan bahwa Nitrobacter lebih tidak menyukai pada kondisi lingkungan DO rendah dari pada Nitrosomonas, sehingga operasi yang dilakukan pada DO rendah akan menghambat pertumbuhan Nitrobacter yang mengarah kepada pembentukan nitrit.
Meskipun demikian tetap ditemukan adanya
penurunan nitrogen yang signifikan, sehingga diduga terjadi proses denitrifikasi aerobik yang melalui jalur yang tidak seperti biasa.
17
Secara umum daur penyisihan nitrogen dalam limbah cair yang terjadi pada sistem pengolahan limbah cair dengan dua tahapan (nitrifikasi dan denitrifikasi) seperti digambarkan oleh Dold et al. (1980) (Gambar 3.). org-N NO3-N gas N2
NO3-N
org-N
influen NH3-N
NH3-N
efluen
Asimilasi-N (srplus sludge)
mixing point denitrifikasi
nitrifikasi
Gambar 3. Daur nitrogen dalam proses penyisihan biologis (Dold et al., 1980) 2.4. Sistem Pengolahan Biologis Limbah Agroindustri Degradasi limbah secara biologis merupakan proses yang berlangsung secara alamiah. Sistem biologis yang terkendali dan tak terkendali merupakan sistem utama yang digunakan untuk menangani limbah organik. Oleh karena proses yang berlangsung adalah proses biologis, maka pengertian proses harus berdasarkan pada dasar-dasar mikrobiologi dan perubahan dalam unit penanganan limbah secara biologis. Salah satu proses biologis yang banyak digunakan adalah proses lumpur aktif.
Proses lumpur aktif biasanya
dikombinasikan dengan kondisi proses aerobik, anaerobik maupun anoksik. Pada proses ini mikroba tumbuh dalam flok (lumpur) yang terdispersi. Lumpur aktif dapat merubah limbah cair organik menjadi bentuk anorganik yang mantap atau menjadi sel. Dalam proses ini bahan organik yang terlarut atau koloid yang telah mengalami sedimentasi awal oleh mikroorganisme akan mengalami metabolisme dengan menghasilkan CO2 dan air. Pada waktu yang sama fraksi yang cukup besar diubah menjadi massa sel, yang dapat dipisahkan dari aliran limbah cair dengan jalan sedimentasi gravitasi (Naidoo, 1999). Lee et al. (1999) dalam sistem penanganan limbah secara biologis menyederhanakan menjadi tiga komponen utama yang berperan dalam sistem
18
yaitu: biomassa, substrat dan oksigen terlarut.
Dalam sistem biologis,
mikroorganisme menggunakan limbah untuk mensintesis bahan seluler baru dan menyediakan energi untuk sintesis, sehingga padatan mikroba akan meningkat. Bila tidak ada makanan (substrat), pertumbuhan akan terhenti, mikroorganisme mati dan lisis melepaskan hara dari protoplasmanya untuk digunakan oleh sel-sel yang masih hidup dalam suatu proses respirasi seluler autooksidatif atau endogen. Kebanyakan dari sistem biologis yang digunakan untuk mengolah limbah organik tergantung dari organisme heterotropik, yang menggunakan karbon organik sebagai sumber energi.
Reaksi perombakan limbah organik tersebut
dapat digambarkan pada reaksi sebagai berikut (Verstraete dan Vaerenberg, 1986): Bahan organik + O2 + NH3 + sel
CO2 + H2O + sel baru
Nitrogen adalah hara penting dalam sistem biologis.
Dalam limbah, nitrogen
akan terdapat sebagai nitrogen organik dan nitrogen amonia, proporsinya tergantung bahan organik yang didegradasi. Pada saat ini pengolahan limbah untuk penghilangan fosfor dan nitrogen yang menggunakan proses secara biologis dengan lumpur aktif meningkat dengan cepat. Alasannya karena menyangkut kebutuhan lahan dan kebutuhan tingkat ketrampilan yang minimum (Gonzales, 1996).
Sistem lumpur aktif ini
dalam operasinya dapat dikaitkan dengan teknologi lain, misalnya presipitasi kimiawi dan perlakuan biologis secara terpisah. Alternatif lain teknologi yang digunakan untuk pengolahan limbah cair dengan menggunakan sistem tanah rawa (wetland) untuk mengolah limbah cair pengolahan ikan yang cukup besar dalam setiap tahunnya (Cardoch et al., 2000). Lin et al. (1995) menerapkan sistem penyaringan ultra untuk menurunkan nilai COD dari limbah cair pengolahan surimi sekaligus mengambil kembali protein yang terlarut dalam limbah cair. Pengurangan bahan organik biasanya terjadi pada tahap pengolahan sekunder dengan bantuan mikroorganisme (pengolahan secara biologis), sedangkan pengurangan hara terjadi pada tahap tersier. Teknologi pengolahan limbah secara biologis menerapkan konsep anaerobik dan aerobik. Metcalf dan Edy (1991) menyebutkan bahwa metode konvensional yang menggunakan proses anaerobik dan aerobik saja hanya mampu menurunkan kandungan nitrogen 10 – 30% dan fosfor sebesar 10 – 25%.
19
Sesuai dengan prinsip penyisihan nutrien secara bertahap, yaitu proses perubahan biologis metanogenesis, nitrifikasi dan denitrifikasi, maka tahapan yang dibutuhkan untuk berjalannya proses tersebut diperlukan kondisi anaerobik, aerobik dan anoksik.
Hal ini sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan oleh
mikroorganisme untuk berjalannya proses tersebut. Konfigurasi yang digunakan untuk unit pengolahan limbah sangat beragam. Morales (1991) melaporkan beberapa konfigurasi unit pengolahan limbah yang berbeda dan dijadikan contoh, yaitu: a. Proses Bardenpho. Bardenpho proses menggunakan dua zone anoksik untuk penghilangan nitrogen. Penghilangan fosfor dicapai dengan mengkombinasikan teknik biologis (keterkaitan anaerobik zone), presipitasi kimia dengan alum, dan penyaringan efluen. b. Proses Anaerobik-Anoksik-Oksik (Aerobik) (A2/O) Proses A2/O menggunakan susunan konfigurasi anaerobikanoksik-aerobik dalam reaksi transformasinya.
Proses ini
dimaksudkan untuk penghilangan nitrogen dan sekaligus fosfor secara biologis. c. Proses VIP (Virginia Initiative Plant). Konfigurasi VIP dimaksudkan untuk menghilangkan nitrogen dan fosfor biologis dengan kecepatan tinggi. d. Proses Anaerobik-Oksik (Aerobik) (A/O) Proses A/O berbeda dengan proses A2/O. Pada proses A/O tidak terdapat zone anoksik atau resirkulasi campuran aliran (mixed liquor). Kemampuan sistem untuk menghilangkan fosfor secara biologis dimungkinkan karena adanya zone anaerobik. Utomo et al. (2000) dalam laporan penelitiannya menyatakan bahwa untuk konfigurasi reaktor pengolahan limbah agroindustri karet yang terbaik adalah anaerobik-anoksik-aerobik. Dari konfigurasi ini mampu menurunkan COD dan indikator-indikator cemaran lain sampai 90%. 2.5. Proses Perubahan Nitrogen 2.5.1. Proses amonifikasi Dalam lingkungan akuatik, organisme pengurai akan menguraikan senyawa-senyawa organik berprotein, menghasilkan amonia.
Proses
20
degradasi senyawa organik berikatan N sehingga terjadi pembebasan amonia disebut amonifikasi (Barnes dan Bliss, 1983). Amonifikasi dapat terjadi pada sedimen, air, tanah dan juga proses perlakuan biologis.
Degradasi senyawa
organik kompleks bernitrogen seperti protein, menghasilkan senyawa karbon organik sebagai penyedia energi dan berfungsi sebagai substrat untuk sintesis. Sebagian amonia yang dibebaskan digunakan dalam pertumbuhan sel bakteri yang baru dan sisanya dibebaskan dalam bentuk NH4+. Ada tiga macam proses pembentukan amonia; (1) Dari senyawa ekstraselular yang mengandung senyawa nitrogen organik, secara kimia atau biokimiawi (misal: urea). (2) Dari sel-sel bakteri selama respirasi endogen. (3) Dari sel-sel yang mati dan lisis. Keberadaan senyawa amonium dan amonia yang terlarut dalam air sangat tergantung pada pH, dengan reaksi keseimbangan sebagai berikut (Jorgensen dan Johnsen, 1989): +
NH4 + OH
-
NH3 + H2O
Pada pH 7 dan dibawahnya amonia akan terionisasi sedang pada pH yang lebih tinggi proporsi amonia terdeionisasi akan meningkat.
Amonia terdeionisasi
bersifat toksik terhadap ikan, sedangkan amonia terionisasi bersifat hara terhadap alga dan tanaman air, selain juga meningkatkan kebutuhan oksigen terlarut (DO).
Amonia bebas menjadi toksik terhadap ikan pada konsentrasi
1mg/l (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Pada pH 7,0 99% dari amonia total terdapat dalam bentuk tidak terdisosiasi +
(NH4 ).
Sedangkan pada pH diatas 9,0 proses disosiasi amonium menjadi
amonia (lebih dari 20%) menjadi sangat penting (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).
Amonium yang tidak terionisasi merupakan gas yang
sangat mudah menguap dari air. Gas yang toksik ini kelarutannya dalam air tergantung pada pH dan suhu.
Selanjutnya menurut Barnes dan Bliss (1983) +
pada pH 7 sebanyak 99% amonium NH4 ) itu berada dalam rentang suhu 0 – 25 +
o
C. Pada pH 8 proporsi NH4 mempunyai rentang 99% pada suhu 0 oC dan 95%
pada suhu 25 oC. Menurut Carta-Escobar et al. (2005) laju penurunan senyawa organik pada tahap pra-penyimpanan pada pembebanan bahan organik konsentrasi tinggi dan
21
pH tinggi tidak dapat mendegradasi bahan organik tersebut walau dengan hidrolisis alkali. Dengan mendiamkan bahan organik selama 30 jam tanpa aerasi dapat memberikan hidrolisis yang menyebabkan laju konsumsi substrat meningkat. Dalam hal ini menandakan bahwa proses amonifikasi penting dalam meningkatkan laju proses penyisihan bahan-bahan organik dalam limbah. 2.5.2. Proses nitrifikasi Pada proses nitrifikasi terdapat dua tahap proses, yang dilakukan oleh dua tipe bakteri kemotrofi (bakteri yang memperoleh energi dari reaksi eksotermis nitrifikasi).
Proses tahap pertama ion amonia dikonversi menjadi nitrit
oleh
bakteri Nitrosomonas. Pada proses tahap kedua nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Selain itu Kostyal et al. (1997) melaporkan adanya aktivitas mikroorganisme Nitrosospira dalam proses nitrifikasi air limbah industri kertas. Secara umum reaksi nitrifikasi tersebut menurut Jorgensen dan Johnsen (1989) adalah sebagai berikut:
Nitrosomonas +
NH4 +
3 2
NO2
1 2
-
O2 Nitrobacter
+
+
NO2 + 2 H + H2O
O2
-
NO3
Secara stoikiometrik, kebutuhan oksigen pada seluruh reaksi nitrifikasi adalah +
4,56 mg O2/mg NH4 . Karena kebutuhan oksigen tersebut merupakan hasil dari pertumbuhan bakteri autotrofik, maka menurut Wiesmann (1994) bahwa kebutuhan O2 ternyata lebih rendah dari nilai stoikiometri tersebut, yaitu 4,3 mg + O2/mg NH4 .
Beberapa faktor lingkungan yang mempengaruhi laju proses nitrifikasi, yaitu: (1) Reaksi bersifat aerobik, sehingga apabila konsentrasi O2 turun dibawah 2 mg/l, laju reaksi menjadi turun drastis. (2) pH optimum reaksi antara 8 dan 9, dan
pH dibawah 6 akan
menghentikan reaksi. (3) Organisme
nitrifikasi
cenderung
menempel
pada
sedimen
atau
permukaan zat padat. (4) Laju pertumbuhan organisme nitrifikasi lebih rendah dari pertumbuhan dekomposer heterofilik, sehingga jika konsentrasi zat organik mudah urai
22
tinggi, bakteri heterotrop akan menghambat pertumbuhan nitrifier dan proses nitrifikasi terhambat. (5) Suhu optimal antara 20 – 25 0C. Menurut Davies (2005) jika oksigen dalam air limbah terlalu rendah, proses respirasi
akan
pertumbuhan.
terhambat
sehingga
energi
tidak
akan
tersedia
untuk
o
Pada suhu 20 C air limbah dalam kondisi jenuh udara dapat
menyimpan oksigen sekitar 9,2 mg O2/l. Konsentrasi oksigen dalam limbah tidak menjadi pembatas jika konsentrasi antara 1,5 – 2,0 mg O2/l untuk bakteri dalam flok dan sekitar 0,6 mgO2/l bagi bakteri terdispersi. Dibawah batas konsentrasi yang kritis ini proses respirasi menurun sangat cepat, dan pertumbuhan bakteri berfilamen menjadi dominan. Bakteri nitrifikasi termasuk organisme yang sensitif terhadap penghambatan oleh senyawa-senyawa organik, sehingga proses nitrifikasi
diperkirakan
merupakan tahap paling sensitif pada pengolahan air limbah. Oleh karena itu pada pengolahan air limbah industri sering tidak terjadi proses nitrifikasi atau tidak lengkap (Kostyal et al., 1997). Proses nitrifikasi dari setiap kondisi berjalan sangat spesifik. Menurut Henze et al (1987) bahwa setiap perbedaan konfigurasi reaktor akan memberikan hasil yang berbeda meskipun reaktor dioperasikan pada kondisi lingkungan, SRT (solid retention time), pemasukan dan lain-lainnya sama. Menurut Rittmann et al. (1994), dalam rangka menjaga proses nitrifikasi berjalan dengan baik populasi mikroba dalam sistem pengolahan limbah cair pasti akan selalu terjadi pencampuran antara bakteri nitrifikasi ototrof dan bakteri heterotrof. Sebab pemberian pasokan oksigen yang cukup untuk pertumbuhan ototrof yang tumbuhnya lebih lambat dari heterotrof, dan umur lumpur yang panjang untuk mempertahankan kestabilan proses nitrifikasi akan memberikan suasana yang lebih baik juga bagi pertumbuhan heterotrof. Dalam kehidupan bersama antara organisme ototrof dan heterotrof dalam sistem menyebabkan kompetisi terhadap penggunaan oksigen terlarut, nitrogen dan ruang. Interaksi ini dapat menghasilkan kerjasama yang menguntungkan misalnya: heterotrof menghasilkan
senyawa organik
yang menstimulasi pertumbuhan ototrof
(Steinmuller dan Bock, 1976; dan Par dan Umbreit, 1972 dalam Rittmann et al., 1994). Heterotrof menghasilkan polimer ekstraselular yang dapat meningkatkan pembentukan agregat flok kedua tipe bakteri tersebut. Nitrifier menghasilkan dan melepaskan produk-produk mikrobial terlarut yang dapat meningkatkan pasokan
23
hara bagi heterotrof (Furumai dan Rittmann, 1992 dalam Rittmann et al., 1994). Selain itu interaksi ini dapat juga menyebabkan efek negatif misalnya: heterotrof menguraikan senyawa organik yang dapat menghambat pertumbuhan nitrifier (Richardson, 1985 dalam Rittmann et al., 1994). 2.5.3. Proses denitrifikasi Pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan air, sehingga terjadi penurunan kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi (COD) yang berhubungan dengan proses oksidasinya.
Hal ini pada
kenyataannya tidak menurunkan jumlah massa nitrogennya, melainkan yang terjadi adalah perubahan bentuk senyawa nitrogen tersebut. Akibatnya proses nitrifikasi saja tidak dapat dianggap mampu mengatasi masalah eutrofikasi, sebab untuk mencegahnya perlu adanya penyisihan ketersediaan hara dalam lingkungan perairan. Salah satu cara untuk meminimalkan ketersediaan nitrogen adalah membebaskannya ke atmosfir sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis. Denitrifikasi dapat terjadi karena aktivitas berbagai jenis mikroorganisme yang pada umumnya juga banyak terdapat pada sistem pengolahan limbah cair, yaitu termasuk didalamnya Achromobacter, Aerobacter, Alcaligenes, Bacillus, Flavobacterium, Micrococcus, Proteus dan Pseudomonas (Grady dan Lim, 1980 ; Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986; Metcalf dan Eddy, 1991).
Jenis
mikroorganisme ini digolongkan kedalam kelompok kemoheterotrof, yaitu kelompok mikroorganisme yang kebutuhan haranya diperoleh dari penguraian senyawa-senyawa organik.
Senyawa-senyawa organik ini diuraikan menjadi
senyawa yang lebih sederhana melalui proses oksidasi, sehingga molekulmolekul organik tersebut menjadi berukuran lebih kecil dan dalam kondisi teroksidasi yang lebih tinggi.
Molekul-molekul yang lebih kecil ini berfungsi
sebagai senyawa antara yang berperan dalam proses biosintesis sel sebagai pemasok karbon dan energi.
Pada proses metabolisme senyawa protein
diuraikan dulu menjadi asam amino. Pemecahan senyawa yang lebih besar ini menjadi unit yang lebih kecil terjadi di luar sel. Bakteri-bakteri ini bersifat aerob fakultatif yang menggunakan sistem respirasi sitokrom untuk menghasilkan energi dengan fosforilasi perpindahan elektron. Jika ada oksigen, oksigen ini digunakan sebagai penerima elektron. Tetapi jika oksigen tidak tersedia, maka bakteri ini menggunakan nitrat dengan sistem sitokrom
(Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986).
Bakteri-bakteri ini tidak
24
bersifat anaerob fakultatif sebab organisme ini tidak dapat menggunakan senyawa-senyawa organik sebagai penerima elektron atau memperoleh energi dari fosforilasi tingkat substrat (Verstraete dan van Vaerenbergh, 1986). Nitrogen dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk pembentukan protein dan asam-asam nukleat. Nitrogen ini dapat diperoleh mikroorganisme dalam bentuk organik maupun anorganik, umumnya dalam bentuk-bentuk ion amonium dan ion nitrat. Ion amonium dapat diasimilasi langsung oleh sel melalui proses aminasi molekul asam keto menjadi asam glutamat.
Kemudian senyawa amino
dipindahkan ke asam-asam keto yang lain melalui transaminasi, sehingga membentuk asam amino yang lain. Saat asam-asam amino tersebut terbentuk, nitrogen dengan mudah tergabung kedalam protein dan asam nukleat (Grady dan Lim, 1980). Pada proses denitrifikasi, nitrogen-nitrat (N-NO3 ) berfungsi sebagai terminal penerima hidrogen pada proses respirasi mikrobial sebagai pengganti ketiadaan oksigen molekuler. Pada proses reduksi N-NO3 terdapat dua tipe sistem enzim yang berperan, yaitu asimilasi dan disimilasi.
Proses asimilasi reduksi nitrat
terjadi jika tidak tersedia sumber N yang lain selain nitrat. Dalam kondisi ini NNO3 dikonversi menjadi N-amonia untuk digunakan sebagai komponen sel dalam biosintesis. Pada proses disimilasi reduksi nitrat terjadi pada saat
N-
NO3 dikonversi menjadi gas nitrogen. Konversi ini melalui beberapa senyawa antara yaitu HNO2, NO, dan N2O. Proses denitrifikasi memerlukan penyumbang elektron yang berasal dari bahan organik atau senyawa-senyawa tereduksi seperti sulfida atau hidrogen (Van Loosdrecht dan Jetten, 1998). Fungsi nitrat sebagai terminal penerima elektron dalam respirasi mikrobial dapat dilihat pada Gambar 4. Langkah-langkah dalam reaksi penurunan bilangan oksidasi nitrat adalah sebagai berikut: _
_
NO2
NO3
NO
N2O
N2
Bakteri-bakteri denitrifikasi memanfaatkan potensial redoks positif tersebut, yaitu _
_
_
dari nitrat Eo (NO3 / NO2 ) = +0,43 V, nitrit Eo (NO2 / NO) = +0,35 V, nitric oxide Eo (NO/ N2O) = +1,175 V, nitrous oxide Eo (N2O/ N2) = +1,355 V, untuk memenuhi kebutuhan energi melalui proses sintesa ATP dan transpor elektron (Einsle dan Kroneck, 2004).
Sekuen penurunan bilangan oksidasi nitrogen
selama proses denitrifikasi tersebut dikatalisis oleh beberapa peran sistem
25
enzim, yaitu nitrat reduktase, nitrit reduktase, nitric oxide reductase dan nitrous oxide reduktase (Einsle dan Kroneck, 2004). Karena N-NO3
-
berperan sebagai penerima elektron, konsentrasinya dapat
juga disetarakan dengan basis oksigen, yaitu setiap mg N-NO3 setara dengan 2,86 mg O2 dalam menerima sejumlah elektron yang sama (Grady dan Lim, 1980).
Substrat ATP Produk Fermentasi
NADH2 ATP Flavin
Quinon NO3ATP
NO2-
Cytochrome b
Respirasi Anoksik
NO2Cytochrome c
NO O2
ATP
Cytochrome a
H 2O
Respirasi Aerobik
Gambar 4. Diagram rute aliran elektron pada respirasi mikrobial (Grady dan Lim, 1980) Proses denitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nisbah ketersediaan sumber karbon dan nitrogen (Dold et al, 1980 dan Zayed dan Winter, 1998). Nisbah COD/MLVSS berada pada selang 1,43 dan 1,48 mg COD/mg MLVSS merupakan nisbah yang terbaik dalam memberikan keseimbangan energi, untuk sintesis lumpur dan konsumsi oksigen pada reaksi sintesis (Dold et al., 1980; Henze et al., 1987; Munch et al., 1999) .
Nisbah COD dan nitrat juga dapat
mempengaruhi efisiensi penyisihan nitrat. Nisbah COD/nitrat yang baik berkisar antara 5 sampai 6 merupakan nisbah optimal untuk penyisihan nitrogen. Pada
26
nisbah yang rendah, nitrit terbentuk menandakan proses denitrifikasi terhambat (Zayed dan Winter, 1998). Menurut Beschkov et al. (2004) proses denitrifikasi dapat juga dipercepat dengan pemberian medan listrik yang tetap (constant electric field).
Dalam penelitiannya medan listrik statik dapat mempercepat
reduksi nitrat dengan mengurangi waktu dalam fase lag pertumbuhan bakteri denitrifikasi. Carrera et al. (2003) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa laju denitrifikasi
yang
diperoleh
dengan
sistem
lumpur-ganda
lebih
tinggi
dibandingkan dengan sistem lumpur-tunggal. Selain itu disebutkan pula bahwa suhu berpengaruh penting pada laju denitrifikasi. Koefisien suhu yang diperoleh pada selang antara 10 – 25 0C adalah 1,10 dan pada selang 6 – 10 0C adalah 1,37. Secara keseluruhan proses nitrifikasi-denitrifikasi tersebut dapat ditulis sebagai berikut : :
NH4 + 2 O2
Denitrifikasi
:
NO3 + H
Reaksi resik
_
+
Nitrifikasi
_
+
: NH4 +
3 4
+
NO3 + 2H + H2O
+
1 2
5
( H2O + N2) + 4 O2 +
O2
H + 1 12 H2O +
1 2
N2
Pada alur proses nitrifikasi dan denitrifikasi yang lazim tersebut, dilaporkan juga terdapat proses yang tidak lazim. Menurut Van de Graaf et al. (1990) dalam Muller et al. (1995) amonia dan nitrat secara simultan dapat dikonversi menjadi gas nitrogen pada kondisi anoksik. kondisi adanya oksigen.
Proses denitrifikasi tersebut terjadi pada
Diantara bakteri-bakteri tersebut ditemukan bakteri-
bakteri spesies heterotrof seperti Thiosphaera pantotropha dan nitrifier ototrof. Menurut Einsle dan Kroneck (2004), proses perubahan nitrogen anorganik ini (termasuk didalamnya senyawa nitrat, nitrit dan amonium) menjadi N2 melalui jalur oksidasi amonia anaerobik yang disebut proses Anammox.
Persamaan
reaksi proses anammox ini adalah sebagai berikut: +
-
NH4 + NO2
N2 + H2O
2.6. Kinetika Pertumbuhan Mikroorganisme Pengendalian lingkungan dan komunitas biologis sangat diperlukan untuk merancang pengolahan limbah cair biologis. Beberapa faktor kondisi lingkungan
27
yang dapat dikendalikan dan berpengaruh pada pertumbuhan mikroorganisme yaitu pengaturan pH, pengaturan suhu, penambahan nutrien atau unsur renik, penambahan dan pengurangan oksigen, dan pencampuran atau pengadukan. Oleh
karena
mikroorganisme
tersebut
memanfaatkan
limbah
bagi
pertumbuhannya, maka faktor lamanya berada dalam sistem untuk bereproduksi ikut menentukan, yang pada akhirnya akan dapat mengendalikan limbah secara efektif. 2.6.1. Pertumbuhan sel Persamaan pertumbuhan sel bakteri dirumuskan sebagai berikut :
Keterangan :
r r
X ,g
=μX
(1)
= laju pertumbuhan bakteri, (massa/satuan volume.waktu)
X ,g
μ
= laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1
X
= konsentrasi mikroorganisme, (massa/satuan volume)
Pada biakan sistem curah dX dt =
r
X ,g
dX dt = μ X
; untuk reaktor curah berlaku juga: (2)
2.6.2. Pertumbuhan pada substrat terbatas Pada suatu sistem biakan curah, jika kebutuhan hara dan substrat untuk pertumbuhan
tersedia pada jumlah yang terbatas, pertumbuhan akan
menurun dan terhenti.
Sedangkan pada sistem sinambung (continous),
pertumbuhannya yang terbatas Dari hasil percobaan, pada kondisi substrat dan hara terbatas, dapat digunakan reaksi Monod sebagai berikut :
μ = μm
Keterangan :
S KS +S
(3)
μ
= laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1
μm
= laju pertumbuhan spesifik maksimum, (waktu)-1
S
= konsentrasi substrat pertumbuhan larutan, (massa/satuan volume)
terbatas pada
28
= tetapan
KS
Monod,
yang
merupakan
konsentrasi
substrat pada separuh nilai laju pertumbuhan maksimum, (massa/satuan volume). Jika nilai
μ pada persamaan (3) dimasukkan pada persamaan (1), maka
laju pertumbuhan bakteri akan menjadi : dX dt
=r
X ,g
=
μ mXS
(4).
KS+S
Parameter μ m dan K S dapat dijadikan ciri dari mikroorganisme yang berbeda. Bakteri berfilamen dalam lumpur aktif ditandai dengan nilai μ m dan
K S yang rendah, yang berarti bakteri lebih suka pada konsentrasi substrat rendah. Sedangkan bakteri pembentuk flok dicirikan dengan nilai μ m dan K S yang lebih tinggi, yang berarti lebih suka pada konsentrasi substrat yang tinggi (Cenens et al., 2000). 2.6.3. Pengaruh metabolisme endogen Distribusi umur sel bakteri pada sistem tidak semuanya seragam, sehingga penghitungan laju pertumbuhan harus dikoreksi dalam rangka pemanfaatan energi untuk pemeliharaan.
Faktor lain juga seperti kematian sel dan
pemangsaan (predasi) harus dipertimbangkan.
Dengan asumsi bahwa
penyebab penurunan sel adalah gabungan dari faktor-faktor tersebut, berbanding terhadap konsentrasi organisme, dalam hal ini disebut juga sebagai perombakan endogen (endogenous decay). Persamaan dari perombakan endogen adalah sebagai berikut :
r
X ,d
= −k d X
Keterangan : k d = koefisien perombakan endogen, (waktu)-1
X = konsentrasi sel, massa/satuan volume Dengan menambahkan perombakan endogen kedalam laju pertumbuhan, maka laju pertumbuhan menjadi sebagai berikut :
r'
' X ,g
=
μm X S KS +S
Keterangan :
− kd X
29
= laju pertumbuhan, (massa/satuan volume.waktu)
r'
X ,g
Oleh karena itu, maka laju pertumbuhan spesifik, menjadi :
μ' = μm
S −kd KS +S
Keterangan : μ ' = laju pertumbuhan spesifik, (waktu)-1 Respirasi endogen tersebut, pada akhirnya mempengaruhi pertumbuhan bersih bakteri yang akan diperhitungkan didalam perolehan tumbuh yang teramati (yield observation) sebagai berikut:
Y obs = −
r' r
X ,g
SU
keterangan :
r
SU
= laju penggunaan substrat, (massa/satuan volume.waktu)
2.6.4. Hubungan pertumbuhan sel dan penggunaan substrat Pada biakan sistem curah dan sinambung, sebagian substrat dikonversi menjadi sel-sel baru dan sebagian lagi dioksidasi menjadi produk-produk organik dan anorganik. Hubungan antara laju penggunaan substrat dan laju pertumbuhan sel adalah :
r
X ,g
= −Y r SU
(5)
Keterangan : Y = koefisien perolehan maksimum, (mg MLVSS/mg COD) (didefinisikan sebagai nisbah antara massa sel yang terbentuk terhadap massa substrat yang dikonsumsi, diukur selama periode pertumbuhan logaritmik terbatas)
Perolehan tergantung pada : (1) status oksidasi sumber karbon dan unsurunsur hara, (2) tingkat polimerisasi substrat, (3) jalur metabolisme, (4) laju pertumbuhan dan (5) berbagai parameter fisik pertumbuhan.
Jika
r
X ,g
pada
30
persamaan (4) dimasukkan pada persamaan (5), maka laju penggunaan substrat akan menjadi :
r
SU
μm Y
=−
μm X S
Y (K S + S
(6)
)
adalah sering disebut juga laju maksimum penggunaan substrat
per satuan massa organisme ( k ) (Metcalf dan Eddy, 1991), sehingga :
k=
μm
(7)
Y
Dengan demikian maka :
r
SU
=−
kXS (K S + S
(8)
)
2.6.5. Penerapan kinetika pertumbuhan dan penghilangan substrat pada perlakuan biologis. Kinetika pertumbuhan organisme dan penggunaan substrat melalui proses biologis dapat dimanfaatkan untuk perancangan pengolahan limbah cair. Dalam hal pemanfaatan atau penerapannya akan menyangkut pada dua hal, yaitu : (1) Keseimbangan antara perkembangan biomassa dan substrat. (2) Prakiraan konsentrasi biomassa dan substrat pada efluen. Menurut Henze et al (1987) nisbah TCOD dan VSS diperkirakan mempunyai keseimbangan sekitar, dan menurut Munch et al. (1999) nisbahnya adalah 1,92 g COD per g VSS. Secara
sederhana
keseimbangan
massa
pada
bioreaktor
dengan
pengadukan sempurna dapat ditulis sebagai berikut: 1.
Pernyataan Umum :
Laju akumulasi mikroorganisme dalam sistem terbatas
=
Laju aliran masuk mikroorgani s-me kedalam
Laju aliran keluar mikroorg an-isme dari i
+
Pertumbuhan mikroorganisme dalam sistem
31
2.
Pernyataan Umum sederhana :
Akumulasi = Aliran masuk - Aliran keluar + Pertumbuhan 3.
Pernyataan diatas dapat ditulis sebagai berikut :
dX .V r = F X 0 − F X + V r r ' X , g dt Keterangan :
dX dt
= laju perubahan konsentrasi biomassa dalam bioreaktor, (massa MLVSS/satuan volume.waktu)
Vr
= volume bioreaktor
F
= laju alir, (volume/waktu)
X0
= konsentrasi biomassa pada influen, (massa MLVSS/satuan volume) = konsentrasi mikroorganisme pada reaktor, (massa
X
MLVSS/satuan volume)
r'
X ,g
= laju pertumbuhan bersih mikroorganisme, (massa MLVSS/satuan volume.waktu)
Jika nilai
r'
X ,g
dimasukkan, maka :
dX ⎛μ XS ⎞ .V r = F X 0 − F X + V r ⎜ m − kd X ⎟ dt ⎝ KS +S ⎠
(9)
Seperti pada keseimbangan biomassa, maka keseimbangan massa substrat dapat ditunjukkan sebagai berikut :
dS V ⎛μ XS⎞ .V r = F S 0 − F S + r ⎜ m dt Y ⎝ K S + S ⎟⎠ Keterangan : S0 S
(10)
= Konsentrasi substrat pada influen (mg/l) = Konsentrasi substrat pada efluen atau dalam bioreaktor yang teraduk sempurna (mg/l).
2.6.6. Konsentrasi substrat dan biomassa pada efluen
32
Jika diasumsikan bahwa konsentrasi mikroorganisme pada influen dapat diabaikan, sehingga pada saat kondisi tunak (steady state) dX dt = 0 . Maka persamaan (9) dapat disederhanakan menjadi :
F
=
Vr
1
θ
=
μmS KS +S
− k d , dan kemudian nilai
S dimasukkan pada KS +S
persamaan (10), maka konsentrasi biomassa pada efluen adalah:
X =
μ m(S O − S ) Y (S O − S ) = k (1 + k d θ ) (1 + k d θ )
(11)
dan konsentrasi substrat pada efluen adalah :
S=
K S (1 + θ k d ) θ (Y k − k d ) − 1
(12)
2.7. Stoikiometri dan Keseimbangan Bahan Menurut Dold et al. (1980) bahwa total COD influen yang berasal dari air limbah
terdiri
dari
(unbiodegradable) (biodegradable).
senyawa
dan
yang
senyawa
tidak
yang
bisa
diurai
secara
biologis
mudah
diurai
secara
biologis
Dari senyawa mudah urai terdiri dari dua macam, yaitu :
senyawa yang sudah siap diasimilasi (soluble substrat) dan senyawa partikulat. Dold et al. (1980) menyebutkan bahwa 24 persen dari COD mudah urai pada influen merupakan substrat terlarut (soluble substrat).
Hal ini dihitung
berdasarkan pada kebutuhan oksigen pada reaksi sintesis, yaitu sebanyak 34 persen COD dimetabolisme; sehingga sebanyak 66 persen diubah menjadi selsel baru.
Fraksi COD mudah urai pada influen menjadi 1/0,34 kali dari laju
penggunaan oksigen; yaitu 0,08/0,34 = 0,24. Amonia dioksidasi menjadi nitrit oleh bakteri kemoautolitotrofik.
Jenis
mikroba yang terpenting adalah Nitrosomonas sp, yaitu bakteria yang berbentuk batang pendek berukuran 1-1,5 μ m berflagela polaris.
Proses katabolisme
tersebut adalah sebagai berikut : NH +4 +
3 O 2 → NO −2 + H 2 O + 2 H + + 240-350 kJ/mol 2
Melihat kebutuhan oksigen yang cukup besar, pH reaksi akan menurun tanpa adanya pengendalian pH.
Dari proses stoikiometri proses katabolisme dan
anabolisme secara total adalah sebagai berikut :
33
55NH +4 + 76 O 2 + 109 HCO 3− → C 5 H 7 NO 2 + 54 NO −2 + 57 H 2 O + 104 H 2 CO 3 Koefisien perolehan ( Y ) yang diperoleh adalah sebagai berikut : O
YB
N − NH 4+
=
O
YB
O2
Y OO 2
=
( 55 )(14 g )
= 0.15 g odm per g N-NH +4
113 g = 0.047 g odm per g O2 ( 76 )( 32 g )
N − NH 4
Y HCO3−
113 g
=
( 76 )( 32 g ) = 3.16 g ( 55 (14 g ) )
N − NH 4+
=
O2 per g N-NH +4
(109 )( 61 g ) = 8.6 g ( 55)(14 g )
HCO 3− per g N-NH +4
Keterangan : odm (organic dry matter) = bahan organik kering/MLVSS Proses selanjutnya adalah oksidasi nitrit menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter sp, suatu bakteri berbentuk batang pendek ukuran 0,5 - 1 μ m atau kadang-kadang dapat muncul berbentuk cocci, dan hidup bersimbiosis dengan Nitrosomonas. Proses katabolismenya adalah sebagai berikut: NO −2 +
1 O 2 → NO 3− 2
+65 - 90 kJ/mol
Untuk kebutuhan ini terlihat bahwa kebutuhan energi untuk pertumbuhan rendah bila dibandingan dengan Nitrosomonas.
Stoikiometri untuk katabolisme dan
anabolisme secara keseluruhan adalah sebagai berikut : 400 NO −2 +NH +4 + 4 H 2 CO 3 + HCO 3− + 195 O 2 → C 5 H 7 NO 2 + 3 H 2 O + 400 NO 3− Dengan diasumsikan bahwa untuk proses biosintesis Nitrobacter menggunakan N-NH +4 , maka koefisien perolehan (Y) nyata adalah sebagai berikut:
YBO/ N − NO2 = YBO/ O2 =
113 g = 0.02 g odm per g N-NO 2 ( 400 )(14 g )
(113 g ) = 0.018 g (195)( 32 g )
odm per g O 2
34
YOO2 / N − NO2 =
(195)( 32 g ) = 1.11g ( 400 )(14 g )
O 2 per g N-NO 2
Jadi total koefisien perolehan nitrifier adalah :
YBO/ N − NH 4 + YBO/ N − NO2 = 0.17 g odm per g N dan
YBO/ O2 = 0.065 g odm per g O 2 . Hasil ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai koefisien perolehan nyata dari publikasi lain yaitu :
YBO/ O2 = 0,72 g odm per g O 2 . Dari hasil
penggunaan oksigen oleh nitrifier terlihat bahwa tipikal karakteristik proses nitrifikasi merupakan proses yang mengkonsumsi oksigen tinggi dan produksi biomassa rendah.