BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Model dan Pemodelan Matematika sebagai Aktivitas Problem Solving Perhimpunan guru-guru matematika nasional di Amerika yaitu National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) menekankan ”bahwa program pengajaran haruslah memungkinkan siswa untuk membangun pengetahuan melalui problem solving. Problem solving muncul dalam matematika dan konteks lain, berlaku dan disesuaikan untuk berbagai strategi yang tepat untuk memecahkan masalah, monitor dan refleksi atas proses problem solving”. Sejumlah peneliti memunculkan pertanyaan tentang ketepatan pembelajaran sekarang ini dalam mengajarkan matematika secara umum dan problem solving secara khusus. ”Ketidaktepatan problem solving secara tradisional justru menghasilkan yang lebih buruk lagi dalam kasus pekerjaan siswa, dengan masalahmasalah yang kurang jelas berhubungan dengan matematika sekolah dan yang menuntut siswa untuk mengatasi situasi yang belum biasa” (Lesh dan Doerr, 2003). Polya (1962) menerangkan bahwa: ”dalam istilah problem solving dengan menciptakan kesamaan-kesamaan atau persamaan, siswa akan menerjemahkan situasi nyata ke dalam istilah matematika, siswa memiliki kesempatan untuk mengalami bahwa konsep matematika dapat berhubungan dengan kenyataan. Akan tetapi hubungan itu harus diselidiki dengan cermat”. Lebih lanjut Polya (1973) mengajukan empat tahapan pemecahan masalah (problem solving) yaitu; pemahaman masalah (understand and explore the problem), membuat rencana pemecahan masalah (find a strategy), melaksanakan rencana pemecahan masalah (use the strategy to solve the problem), dan mengevaluasi kembali penyelesaian yang ditemukan (look back and reflection the solution).
Universitas Sumatera Utara
5
6 Menurut Lesh dan Sriraman (2005) yang berisikan tentang matematika dan sains: a. Model adalah dasar tentang maksud gambaran, keterangan atau konsep (kuantifikasi, dimensional, koordinasi, atau matematika umum), komputasi dan proses deduksi yang berkaitan. b. Model untuk desain atau seni dari sistem yang kompleks dari dalam diri sendiri. Urutan perspektif sejalan dengan pendapat modern dari Piaget dan Vygotsky dan juga prakmatis Amerika seperti Jhon Dewey, George Hebert Mead dan Charles Sanders Pierce. Filosofi perspektif ini menurut Les dan Sriraman berdasarkan pada pernyataan: a. Sistem konseptual merupakan buatan manusia, dan juga merupakan dasar sosial alamiah. b. Makna dari konstruksi cenderung didistribusikan sebanyak pariasi perwakilan media (dari bahasa ucapan, bahasa tulisan, diagram dan grafik, model kongkrit ke metafora berdasarkan pengalaman). c. Pengetahuan berdasarkan pengalaman sebanyak abstraksi dan cara berpikir yang memerlukan pemahaman proses pengambilan keputusan kompleks yang realistis harus mengintegrasikan ide dari disiplin tunggal atau area topic textbook atau teori utama. d. Seputar pengalaman yang harus dipahami dan dijelaskan oleh manusia adalah tidak tetap, hal ini merupakan sebagian besar hasil dari kreatifitas manusia. Jadi terus menerus berubah dan juga pengetahuan diperlukan manusia sebagai pembentuknya. Perspektif model dan pemodelan mengadaptasi prinsip-prinsip instruksional Zoltan Deines yang mendesain model aktifitas. Dari Lesh, et.al, (2003) ada enam prinsip instruksional yaitu; 1. Prinsip realitas (situasi terjamin dan menyambungkan pengetahuan sebelumnya/ pengalaman). 2. Prinsip kontruksi (situasi yang memerlukan perkembangan atau menyaring, modifikasi, atau memperluas) sebuah kontruksi penting dalam matematika. Universitas Sumatera Utara
7 3. Prinsip evaluasi diri (situasi yang mewajibkan penilaian diri). 4. Prinsip dokumentasi kontruksi (situasi yang mewajibkan siswa untuk membuka pikiran tentang situasi). 5. Prinsip konstruksi umum (model umum yang mendekati situasi yang mirip). 6. Prinsip sederhana (apakah situasi penyelesaian masalahnya sederhana). Pembentukan model luas membatasi situasi penyelesaian masalah dengan struktur matematika, model matematika sebagai proses penyelesaian masalah dari situasi yang ada. Contoh nyata dari kegiatan pemodelan luas didasari pada prinsip desain Deines. Suatu usaha untuk meninjau literatur terkait pada makalah dibagi dalam 3 topik diskusi utama. Topik utama pertama memposisikan pemodelan matematika sebagai kegiatan problem solving, topik utama kedua memaparkan prinsip dasar dalam mendesain kegiatan pemodelan dan topik terahir mendiskusikan keuntungan bagi siswa dan guru dalam bekerja dengan pemikiran pemodelan yang nyata.
2.2 Proses Berpikir Secara Matematika (Mathematical Thinking) Schoenfeld, (1992) mendefinisikan berpikir matematis sebagai berikut: ”pengembangan sudut pandang matematika, penilaian proses matematisasi dan abstraksi dan memiliki predileksi untuk menggunakannya dan pengembangan kompetensi dengan menggunakan alat-alat teknologi yang diperdagangkan dan menggunakan alat ini untuk mencapai tujuan pemahaman struktur”. Menurut Ma’moon (2005) berpikir deduktif adalah berhubungan dengan bukti matematika, karena berpikir deduktif berhubungan untuk berbagai pola yang menggunakan induksi matematika yang ada.
Lebih lanjut Mamoon menyebutkan as-
pek berpikir matematis terdapat enam skala yaitu; generalisasi, induksi, deduksi, penggunaan simbol, berpikir logika dan bukti matematis. ”Berpikir induktif adalah berhubungan dengan generalisasi sebagai bagian yang melibatkan pencarian untuk pola dari kasus yang khusus, digunakan untuk mengidentifikasi pola sehingga ditemukan aturan-aturan yang bersifat umum”. Proses pemikiran matematika yang digaris bawahi sebagai dasar pemikiran matematika oleh Mason, et.al. (1991) adalah: 1. spesialisasi Universitas Sumatera Utara
8 2. generalisasi 3. konjektur (penduga, penerka) 4. kepercayaan Berbagai pendakatan untuk mengembangkan perpikir matematika menurut Mason, et.al. (1991) mendasri pendekatan pada lima asumsi yang penting. 1. Anda dapat berpikir secara matematika 2. Berpikir matematika dapat diperbaiki melalui pertanyaan dan praktek dengan repleksi 3. Berpikir matematika dapat dipropokasi oleh kejutan, ketegangan dan kontradiksi 4. Suasana yang meragukan, menantang dan repleksi 5. Berpikir matematika adalah sangat membantu dan meningkatkan pemahaman dunia Ben-zev, (1996) berpendapat bahwa proses pemikiran matematika mengacu kepada tipe berpikir induktif sebagai berpikir analogi. Pendapat ini didukung oleh (Butler, et.al 1970, Dreyfus dan Esenberg, 1996). Dengan cara yang berbeda (Howard dan Sonia, 2002) menekankan pengembangan berpikir matematika dengan pemodelan matematika dan belajar secara metakognitip lebih efektip dari pada berpikir secara analogi.
2.3 Model dan Pemodelan pada Pembelajaran Matematika ”Model” sebagai kata benda merupakan gambaran miniatur dari sesuatu, pola sesuatu yang dibuat, contoh untuk meniru atau emulasi, uraian atau analogi yang digunakan untuk membantu memvisualisasi segala sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung. Menurut Lesh dan Doerr (2003) model merupakan suatu sistem konseptual internal plus representasi eksternal dari sistem yang dipergunakan untuk menginterpretasikan sistem lainnya yang lebih komplek. Lebih lanjut Lesh da n Doerr (2003) menyatakan bahwa definisi model hanya dipergunakan sebagai referensi terhadap pemikiran dan proses belajar siswa atau guru. Sedangkan untuk tingkat peneliti dilaksanakan desain eksperimen dari model-model dan persfektif pemodelan. Universitas Sumatera Utara
9 Dym (2004) mendefinisikan pemodelan adalah sebuah pekerjaan, aktivitas kognitif dimana kita berpikir tentang membuat model dan berpikir tentang menjelaskan bagaimana alat atau objek itu ada. Menurut English (2006) pemodelan matematika adalah suatu studi tentang konsep dan operasi matematika dalam konteks dunia real dan pembentukan model-model dalam menggali dan memahami situasi masalah kompleks yang sesungguhnya.
Salah satu fokus utama dalam proses pemodelan
adalah kompetensi pemodelan. Akan tetapi untuk sementara konsep kompetensi pemodelan belum dapat dideskripsikan dalam bentuk yang komprehensif. Untuk kepentingan penelitian Maas (2006) mendefinisikan kompetensi pemodelan adalah ketrampilan dan kemampuan untuk melaksanakan proses penciptaan model secara tepat dan berorentasi tujuan dan juga sebagai keinginan untuk mewujudkannya ke dalam tindakan. Voskogluo (2006) memaparkan bahwa fokus pada pemodelan matematika adalah mentransformasikan dari situasi dunia real ke masalah matematika melalui penggunaan rangkaian simbol matematika, hubungan dan fungsi. Menurut Mousoulides, et,al (2007) proses pemodelan dalam problem solving, bahwa tidak ada prosedur tunggal yang kuat diantara tujuan dan sejumlah strategi untuk mengatasi setiap kesulitan dalam prosedur. Proses pemodelan merupakan suatu jenis tugas yang dikaitkan dengan realita. Karena terdapat sejumlah variasi tugas yang berkaitan dengan realita, perlu diperlihatkan suatu klasifikasi dari persoalan ini. Salah satu fokus utama dalam proses pemodelan adalah kompetensi pemodelan. Akan tetapi untuk sementara konsep kompetensi pemodelan belum dapat dideskripsikan dalam bentuk yang komprehensif. Hal ini terbukti dari pertanyaan yang diajukan dalam dokumen diskusi untuk ICMI-Study di Dormund, Blum & Kaiser (Maas, 2006). Pertanyaan yang muncul antara lain; Apakah kemampuan pemodelan dan konsep kompetensi pemodelan berbeda? Dapatkah sub ketrampilan dan sub kompetensi dari kompetensi pemodelan diidentifikasi? Apa karekteristik dari aktifitas siswa yang memiliki sedikit pengalaman tentang pemodelan? Untuk kepentingan penelitian (Maas, 2006) mendefinisikan kompetensi pemodelan adalah ”keterampilan dan kemampuan untuk melaksanakan proses penciptaan model secara tepat dan berorientasi tujuan dan juga sebagai keinginan untuk mewujudkannya ke dalam tindakan”. Frey (Maas, 2006) mendefinisikan kompetensi secara umum. Bahwa ”kompetensi adalah kemauan seseorang untuk memeriksa dan menilai kebenaran fakta masing-masing, dari edukasi pernyataan dan tugas-tugas secara personal dan untuk Universitas Sumatera Utara
10 mewujudkannya ke dalam tindakan”. Niss (2004) merincikan kompetensi matematika yang berarti kemampuan untuk memahami, menilai, melakukan, menggunakan ilmu matematika dalam berbagai konteks dan situasi baik intra maupun ekstra matematika dimana ilmu matematika memainkan atau dapat memainkan suatu peran.
2.3.1 Penilaian dalam Model matematika (1987) menunjukkan bahwa penilaian pemodelan sukar, karena pemodelan adalah proses penyelesaian masalah ruwet, apalagi dalam ujian sebagai alat evaluasi tradisional. Niss (1993) menjelaskan lebih lanjut penilaian yang membutuhkan waktu dan tidak bisa distandardisasi. Ini tidak berarti bahwa penilaian tidak dapat dilaksanakan di atas dasar suara refleksi dan penalaran dan mengartikulasikan kriteria dan tunduk pada komunikasi yang jelas. Sejumlah jenis penilaian yang digunakan untuk mengevaluasi pemodelan siswa adalah kemampuan dan pemahaman model ditemukan dalam sebuah tinjauan pustaka. Crouch dan Haines (2004) menggunakan format pilihan ganda, dalam pengembangan beberapa pertanyaan yang terkait dengan tes pemodelan, sementara Bell dan koleganya (1992) dan Hjalmarson (2005) mengusulkan penggunaan skala penilaian analitis, dengan menetapkan nilai-nilai titik berbagai dimensi kerja pemodelan.
2.3.2 Proses Pemodelan dalam Problem Solving Pendekatan pemodelan problem solving menunjukkan bahwa tidak ada satupun prosedur yang kuat antara strategi dan tujuan dalam satu set ”strategi” untuk mengatasi kesulitan dalam prosedur ini. Memang, pendekatan pemodelan menunjukkan sejumlah prosedur persidangan antara strategi dan tujuan agar sebuah solusi sukses. Problem solving merupakan sejumlah dari siklus berulang-ulang, di mana siswa berpindah dari strategi ke tujuan, kembali dan kembali bergerak menuju tujuan untuk menguji hipotesis, mempersempit hasil dan untuk meningkatkan solusi (Lesh & Doerr, 2003). Sejumlah karya yang relevan (Lesh et al, 2003; Blum & Niss, 1991) telah mendokumentasikan proses yang berbeda yang terlibat dalam model matematika sebagai aktivitas problem solving. Diharapkan, siswa terlibat dalam proses berikut: Universitas Sumatera Utara
11 a. Memahami dan menyederhanakan masalah. Ini termasuk pemahaman teks, diagram, formula atau tabular informasi dan menarik kesimpulan dari mereka; menunjukkan pemahaman konsep-konsep yang relevan dan menggunakan informasi dari siswa, latar belakang pengetahuan untuk memahami informasi yang diberikan. b. Memanipulasi masalah dan mengembangkan model matematika. Proses ini termasuk mengidentifikasi variabel dan hubungannya dalam masalah, membuat keputusan mengenai variabel relevansi, membangun hipotesis dan pengambilan, mengorganisir, mengingat dan kritis kontekstual, mengevaluasi informasi; menggunakan strategi dan heuristik untuk secara matematis menguraikan model. c. Menafsirkan penyelesaian masalah. Ini termasuk membuat keputusan, menganalisis sistem atau merancang sebuah sistem untuk memenuhi tujuan tertentu, dan mendiagnosis kerusakan dan mengusulkan sebuah pemecahan. d. Verifikasi, memvalidasi dan mencerminkan solusi masalah. Ini termasuk membangun dan menerapkan cara-cara yang berbeda representasi untuk problem solving; generalisasi dan solusi berkomunikasi; mengevaluasi solusi dari perspektif yang berbeda dalam upaya untuk merestrukturisasi solusi dan membuat mereka lebih sosial atau secara teknis dapat diterima, kritis memeriksa dan merefleksikan pada solusi dan secara umum model pertanyaan (Blum & Kaiser, 1997; Lesh & Doerr, 2003).
Universitas Sumatera Utara
12
Gambar 2.1 Proses pemodelan matematika Blum, 1996
Gambar 2.2 Lingkaran pemodelan oleh Blum, 1996
Universitas Sumatera Utara
13 Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika oleh Vokoglou (2006)
Gambar 2.3
Pembentukan model matematika sebagai alat belajar matematika (Voskoglou, 2006)
State 1 (S1) : analisis permasalahan (pemahaman pernyataan dan pengenalan pembatasan dan kebutuhan sistem real) State 2 (S2) : matematisasi yang meliputi formulasi dari situasi real dalam suatu cara yang untuk perlakuan matematika dan konstruksi model. State 3 (S3) : Solusi model yang dicapai oleh manipulasi matematika yang sesuai. State 4 (S4) : Validasi (kontrol model, yang kemudian dicapai dengan memperkenalkan model, perilaku sistem real di bawah kondisi yang ada sebelum solusi model) State 5 (S5): Memahami hasil matematika dan implementasinya pada sistem real untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan dunia real yang dimaksud.
2.3.3 Model Matematika Sebuah model adalah sistem konseptual internal ditambah representasi eksternal dari sistem yang digunakan untuk menafsirkan sistem kompleks lainnya (Lesh & Doerr, 2003; Lesh, Doerr, Carmona & Hjalmarson, 2003). Biasanya, definisi model ini hanya digunakan dalam referensi untuk siswa dan guru untuk berpikir dan belajar (Doerr & Lesh, 2003). Untuk memberikan konstruksi paralel pada tingkat peneliti, desain eksperimen dilakukan dari sebuah model dan pemodelan perspektif (sebuah pemodelan desain eksperimen) harus konsisten dengan definisi ini. Desain diuji oleh percobaan meliputi dua bagian (mirip dengan model). Yaitu mencakup desain asumsi teoritis (yaitu, tingkat-peneliti sistem konseptual tentang pengetahuan matematika, model, pengembangan guru, dll) dan asumsi eksternal (yaitu, representasi dari tingkat peneliti, sistem konseptual dalam bentuk intervensi, kurikulum, dll) (Lesh & Doerr, 2003; Lesh & Sriraman, 2005). Model terdiri dari sistem konseptual internal dan eksternal atau representasi (Lesh & Doerr, 2003; Lesh et al, 2000). Selain model menggabungkan sejumlah representasi eksternal (misalnya, sebuah grafik, tabel), membangun model, siswa mengidentifikasi, memilih dan mengumpulkan data yang relevan, mengungkapkan keterbatasan dan kondisi dari suatu model, menafsirkan solusi dalam konteks, Universitas Sumatera Utara
14 berkomunikasi secara efektif dan menggambarkan situasi dengan menggunakan berbagai bentuk representasi. Tingkat guru-model untuk mengajar matematika termasuk tidak hanya komponen matematika, komponen model siswa, tetapi juga unsur-unsur paedagogi dan metodologis untuk membantu siswa mengembangkan model matematika mereka sendiri (Doerr & Lesh, 2003). Seperti model siswa, model guru terdiri dari dua bagian: internal dan eksternal sistem konseptual. Namun, dari perspektif model, tidak ada pemisahan antara eksternal dan sistem konseptual. Melainkan keduanya saling terkait dalam satu model. Seperti model matematika siswa, perubahan eksternal, perubahan internal sistem konseptual dan sebaliknya (Lesh & Doerr, 2003). Prinsip-prinsip dan asumsi-asumsi tentang tingkat siswa dan guru pada pembelajaran matematika harus juga berlaku untuk tingkat peneliti pemodelan. Satu asumsi adalah bahwa desain peneliti mengembangkan bersama berbagai dimensi seperti model siswa mengembangkan sepanjang beberapa dimensi (Lesh, 2002). Sebagai contoh, model-model siswa dapat berpindah dari tidak stabil ke stabil atau dari yang sederhana sampai yang kompleks. Sebagai peneliti mempelajari desain, tidak stabil awal asumsi yang berulang kali diuji dan menjadi lebih berkembang dengan baik dan stabil. Beberapa asumsi-asumsi atau artefak dapat direvisi pada seluruh studi dan akhirnya dapat menstabilkan pada beberapa poin untuk situasi tertentu. Ketika asumsi yang diangkut ke situasi lain, mereka mungkin menjadi tidak stabil lagi. Model siswa mungkin sangat sederhana pada awalnya.
2.3.4 Karakteristik Kegiatan Pemodelan Alat-alat yang berbeda yang dirancang dan dibuat untuk memfasilitasi siswa dan guru, eksternalisasi pemikiran mereka dan situasi masalah pemahaman bertujuan untuk mereka berpikir dan dengan demikian peneliti mengacu pada alat-alat ini sebagai model yang menggambarkan kegiatan (Lesh et al., 2003; Lesh & English, 2005; Lesh & Sriraman, 2005). Di antara karakteristik pusat kegiatan ini adalah: a. Untuk mengembangkan sebuah model yang menggambarkan situasi kehidupan nyata, b. Model untuk mendorong solver untuk menggambarkan, merevisi, dan memperbaiki ide-ide mereka, dan c. Model mendorong penggunaan representasi media untuk menjelaskan (dan dokuUniversitas Sumatera Utara
15 men) sistem konseptual. Kegiatan model dapat dirancang untuk mengarah pada bentuk-bentuk yang signifikan karena melibatkan matematis oleh kuantifikasi, dimensionis, koordinasi, menggolongkan, aljabar, dan sistematisasi objek yang relevan, hubungan, tindakan, pola, dan keteraturan. Contoh model kegiatan bagi siswa untuk mengungkap cara siswa berpikir tentang situasi kehidupan nyata yang dapat dimodelkan melalui matematika. Solusi model matematis untuk digunakan oleh klien diidentifikasi yang perlu untuk mengimplementasikan model memadai. Akibatnya, siswa harus jelas menggambarkan proses pemikiran mereka dan tidak membenarkan solusi tunggal, melainkan semua (atau sebagian besar) optimal dan solusi yang tepat (English, 2003). Keterlibatan siswa dengan hasil tugas matematika dalam mengembangkan konsep-konsep matematika melalui kebutuhan untuk mengembangkan ide-ide matematika untuk memecahkan masalah. Dengan demikian, mereka diberikan suatu tujuan akhir. Menurut English & Lesh, (2003) untuk mengembangkan sebuah model matematika adalah menjelaskan, memprediksi, atau memanipulasi jenis situasi kehidupan nyata yang disajikan kepada mereka. Dengan cara ini, kegiatan pemodelan memungkinkan siswa untuk mendokumentasikan pemikiran mereka sendiri dan pengembangan pembelajaran. Tujuan dari kegiatan pemodelan masalah termasuk spesifikasi dan validasi, terlibat dalam pemodelan penggunaan kritis, partisipasi dan kemampuan komunikasi; kreatif dan pemecahan masalah sikap, aktivitas, kompetensi; memberikan kesempatan bagi siswa untuk menerapkan praktek matematika yang mereka perlukan sebagai individu dalam masyarakat; untuk berkontribusi gambaran matematika yang seimbang; untuk membantu dalam memperoleh dan pemahaman konsep matematika (Battye & Challis, 1997).
2.3.5 Jenis Kegiatan Pemodelan Kegiatan memunculkan model meliputi tiga jenis produk: alat-alat, konstruksi dan masalah. (1) Produk sebagai alat. Peralatan memenuhi fungsional atau peran operasional dan mereka meliputi: (a) Model. Model digunakan untuk peringkat item, orang dan tempat; menentukan pembayaran pinjaman dan mungkin membentuk sistem berbasis kompleks seperti operasi keuangan perusahaan, (b) Deskripsi dan Universitas Sumatera Utara
16 penjelasan. Deskripsi dan penjelasan menggambarkan dan membuktikan hasil dari suatu eksperimen atau penyelidikan atau mungkin menjelaskan mengapa sesuatu yang muncul secara matematis dangkal benar adalah tidak benar, (c) Desain dan rencana. Digunakan di semua lapisan masyarakat, desain dan rencana harus memenuhi kriteria yang rinci dan rumit dan harus dimasukkan sesuai aturan matematika dan sistem representasi, dan (d) Penilaian instrumen. Mereka digunakan dalam berbagai konteks seperti menilai kemajuan belajar, dan memilih staf dengan ketat, biasanya mengalami perkembangan yang menggabungkan siklus pengujian, memperbaiki dan menerapkan (Lesh & Doerr, 2003). (2) Produk sebagai sebuah konstruksi. Sebuah konstruksi biasanya membutuhkan siswa untuk menggunakan kriteria yang diberikan untuk mengembangkan item matematika. Sebuah konstruksi dapat berupa: (a) Tata ruang konstruksi, (b) Asumsi kompleks. Kriteria untuk desain mereka sering berfokus pada defisit di Wikipedia atau pada anggapan adanya asumsi kebutuhan masyarakat, (c) Kasus. Kasus menggunakan wacana persuasif untuk mengadopsi sikap pada masalah, untuk merekomendasikan salah satu tindakan terhadap yang lain, atau untuk menyorot suatu masalah yang membutuhkan perhatian. Kasus terutama efektif ketika mereka memanfaatkan data matematika untuk mendukung klaim mereka dan (d) Penilaian. Mereka adalah produk dari penilaian penerapan alat. Produk tersebut dapat melayani beberapa tujuan dan biasanya menyarankan atau tindakan menyiratkan (Lesh & Doerr, 2003). (3) Soal sebagai produk. Kemampuan untuk mengajukan masalah ini menjadi semakin penting dalam akademis dan konteks kejuruan. Selama siklus pemodelan, model yang terlibat dalam memunculkan kegiatan masalah siswa yaitu; mereka berulang kali merevisi atau menyempurnakan tentang konsep mengenai soal yang diberikan. Selama kegiatan memunculkan model, siswa menemukan cara untuk menilai kekuatan dan kelemahan dari alternatif cara berpikir dan apakah respon yang diberikan sesuai dan cukup baik (Lesh & Doerr, 2003; English & Lesh, 2003).
2.3.6 Prinsip Kegiatan Pemodelan Salah satu ciri khas dari desain eksperimen adalah bahwa para peneliti membuat, menguji, dan memodifikasi desain dalam penggunaan konteks (Design-Based Universitas Sumatera Utara
17 Research Collective, 2003). Sebagai contoh, peneliti mungkin menguji kurikulum yang baru atau metode pengajaran di kelas (misalnya, Erickson & Lehrer, 1998; Verschaffel et al., 1997). Karakteristik ini konsisten dengan model-kegiatan yang meminta siswa untuk mengembangkan model matematika untuk menjelaskan situasi kehidupan nyata. Itu pengembangan desain atau model juga sering siklik (Lesh & Lehrer, 2003). Dalam rangkaian khas siklus, siswa mengungkapkan pikiran dalam beberapa asumsi atau produk, uji asumsi, dan kemudian merevisi asumsi. Sebagai contoh, seorang siswa menciptakan sebuah panduan konsumen untuk membeli mobil mengembangkan spreadsheet untuk penilaian karakteristik mobil, meminta anggota lain dari kelompok atau kelas mereka untuk menguji ketepatan penilaian mereka sebagai pemandu (untuk menguji produk), dan kemudian direvisi produk didasarkan pada hasil pengujian untuk meningkatkan solusi mereka (memperbaiki produk) (Hjalmarson, 2005). Revisi siswa dipandu oleh suatu tujuan (end-in-view) yang menggambarkan fungsi terakhir produk harus mampu mereka lakukan (English & Lesh, 2003). Demikianpula, untuk model desain eksperimen, peneliti harus memiliki tujuan (akhirdalam-pandangan) untuk produk dalam pengembangan. Tujuan (akhir - dalam - pandangan) peneliti harus memandu pengambilan keputusan tentang revisi yang dibuat untuk produk dari siklus penelitian. Sebuah peringatan penting adalah bahwa untuk desain eksperimen menggunakan model dan pemodelan perspektif, asumsi dan pemahaman guru (dan peneliti) dapat berubah sepanjang studi. Sangat penting untuk mendokumentasikan perubahanperubahan seperti yang dibuat (Lesh & Sriraman, 2005). Sering kali, para peneliti tertarik pada pengembangan tanggapan siswa atau bagaimana perubahan di dalam sesi atau antara pemodelan sesi. Jadi, ketimbang belajar konstruksi atau memeriksa foto-foto konstruksi secara terpisah, para peneliti dapat mempelajari perubahan dalam konstruksi sepanjang waktu dan di seluruh masalah dan individu. Menangkap perubahan dan efek perubahan dapat menjadi tujuan desain eksperimen dengan model dan pemodelan perspektif. Jadi, baik komponen desain (asumsi teoritis dan artefak) akan berubah sama seperti bagi model siswa, kedua sistem konseptual internal dan eksternal perubahan gambaran. Ini karakteristik lain bagaimana tingkat peneliti desain eksperimen harus konsisten dengan tingkat siswa. Untuk kegiatan pemodelan yang menggambarkan, sebuah komponen penting adalah konteks lokal yang menempatkan tugas. Konteks membimbing siswa dalam pengembangan solusi, membantu dalam pengambilan keputusan tentang apakah cara Universitas Sumatera Utara
18 berpikir adalah ”buruk” atau ”baik”, dan membantu mereka dalam tujuan (akhirdalam-pandangan) dalam konteks yang nyata kepada para siswa (English & Lesh, 2003). Konteks menempatkan kegunaan desain dan bantuan pembangunan sejak produk akhir akan berguna dalam konteks itu (Design - Based Research Collective, 2003). Namun, hal ini tidak menunjukkan bahwa produk - produk yang tidak digeneralisasikan ke situasi lain (atau konteks). Seperti dengan memunculkan kegiatan pemodelan di mana siswa mengembangkan produk untuk klien tertentu yang digeneralisasikan ke situasi lain (sama terstruktur), desain juga harus digeneralisasikan ke situasi pendidikan lainnya. Syarat ini berarti bahwa peneliti perlu menggariskan tepat kondisi di mana desain digunakan dan modifikasi yang mungkin perlu dibuat untuk desain yang sesuai untuk situasi yang berbeda (Design-Based Research Collective, 2003). Kolaborasi juga merupakan komponen eksperimen model desain mengikuti perspektif bahwa asumsi paralel tentang belajar siswa. Kolaborator dapat meliputi peneliti, guru dan siswa melanjutkan sepanjang beberapa tingkat perkembangan yang mirip dengan percobaan multi mengajar (Kelly & Lesh, 2000; Lesh & Kelly, 2000; Schorr & Lesh, 2003). Peneliti perlu guru untuk membantu merancang, menguji dan mengimplementasikan produk. Produk harus dikembangkan oleh pertanyaan guru tentang praktek mereka sendiri dalam pikiran (misalnya pribadi kebermaknaan), dan peneliti dapat memberikan bantuan sumber daya untuk pengembangan guru (Design-Based Research Collective, 2003). Mungkin juga ada beberapa guru atau peneliti terlibat dalam pengembangan produk. Karakteristik ini dapat membantu triangulasi dari penafsiran tentang hasil dan generalisasi hasil jika produk telah diuji di beberapa konteks. Kolaborasi juga membantu dokumentasi hasil dengan mengharuskan bahwa strategi atau peralatan yang perlu dikomunikasikan kepada orang lain untuk komentar (misalnya, individu guru mengembangkan cara berpikir lembaran atau peta konsep untuk berbagi dengan kelompok) (Koellner-Clark & Lesh, 2003).
2.3.7 Kepatutan, Kegunaan dan Manfaat Kegiatan Pemodelan. Untuk penelitian sangat penting bahwa pendidik mengambil siswa di luar ruang kelas tradisional, di mana jarang meluas pemikiran pemecahan masalah atau kemampuan matematika mereka. Ada kebutuhan yang kuat untuk menerapkan moUniversitas Sumatera Utara
19 del berharga dari pengalaman di SD dan sekolah menengah, jika guru membuat model matematika dengan cara yang sukses dalam pemecahan masalah bagi siswa (Blum & Niss, 1991). Kegiatan pemodelan telah ditemukan tepat untuk meningkatkan kapasitas siswa dan guru untuk terlibat dalam pemecahan masalah, dengan demikian meletakkan dasar untuk menjelajahi sistem kompleks (Lesh et al, 2003). Kegiatan-kegiatan ini sangat inovatif untuk pengalaman belajar (English, 2003). Sejumlah fitur terkait telah muncul, menunjukkan sejumlah manfaat.
Universitas Sumatera Utara