19
Ruang Lingkup Batasan Kajian Besarnya jumlah PKL dan banyaknya titik PKL di Kota Bogor, maka kajian ini dibatasi untuk lokasi di kawasan prioritas penataan PKL yang telah ditetapkan oleh Pemerintah. Beberapa pertimbangan antara lain : 1. Lokasi tersebut menjadi lokasi prioritas sejak Perda nomor 13 tahun 2005 tentang penataan PKL, namun hingga saat ini belum tertangani. 2. Terdapat jumlah PKL yang cukup besar di lokasi tersebut. Menurut hasil pemetaan dari Kantor Koperasi dan UMKM Kota Bogor tahun 2014, jumlah PKL sebanyak 323 PKL. 3. Lokasi berada di pusat kota, sehingga dapat mencerminkan wajah kota.
2 TINJAUAN PUSTAKA Sektor Informal Pembahasan sektor informal tidak dapat dipisahkan dari pembahasan sektor usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Usaha dalam skala ini berkembang pesat khususnya di negara-negara berkembang seperti di Indonesia karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal (Mubarok, 2012). Tinjauan mengenai sektor informal diawali dari dikotomi pemahaman antara ekonomi informal versus ekonomi formal (economy) yang telah banyak mendapatkan kritikan. Hal ini terutama disebabkan karena adanya kesulitan dalam membuat batasan yang jelas antar kedua tipe ekonomi ini. “Sektor informal” bukanlah benar-benar suatu 'sektor' seperti yang lazimnya dipahami dalam konteks formal (seperti sektor pertanian, finansial, manufakturing dan sebagainya), bahkan aktivitas informal terdapat pada beberapa sektor ekonomi. Oleh karenanya, istilah “ekonomi informal” semakin banyak digunakan dibandingkan istilah sektor informal. Banyak pakar yang mengemukakan definisi sektor informal dan secara sederhana sektor informal adalah kegiatan ekonomi yang berskala kecil, modal kecil, dan berusaha dengan pola yang sangat sederhana. Sethuraman (1978) menyebutkan bahwa, “kebanyakan kegiatan sektor informal sifatnya masih sub sistem, oleh karena itu sektor informal dapat diartikan sebagai unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan pokok menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri. Sehingga mereka dihadapkan pada kendala seperti modal fisik, faktor pengetahuan dan faktor ketrampilan”. Selanjutnya Sarjono (2005:15) mengatakan bahwa : “penelitian tentang sektor informal mengenai pelaku migran sirkuler sektor informal di kota dan dampaknya terhadap intensitas migrasi desa-kota menyebutkan bahwa kelompok migran ke kota bekerja di sektor informal karena ada daya dorong untuk kebutuhan atau aspirasi yang tidak dapat dipenudi di desa. Pengungkapan perasaan tidak menyenangkan di daerah asal dipandang sebagai faktor pendorong dan ”kesempatan kerja sempit”. Selain itu, Sarjono (2005) dalam penelitiannya tentang pergulatan pedagang kaki lima di perkotaan, menyimpulkan bahwa :
20
(1) terjadi transformasi sosial di sektor informal khususnya Pedagang Kaki Lima pada arus individu maupun kelompok, mengakibatkan perubahan yang mendasar dan sekaligus gradual dalam sistem sosial sektor informal pedagang kaki lima. (2) bahwa pada sektor atau pelaku perubahan yang terlibat atau subyek pada transformasi sektor informal pedagang kaki lima, berlangsung perubahan secara kelindan dengan kompleksitas permasalahan ekonomi seperti pertumbuhan pendapatan, dan segi-segi sosial seperti posisi dan status sosial pelaku dalam sistem sosial. (3) bahwa perubahan atau transformasi sosial pada sektor pedagang kaki lima terjadi secara unik dalam sebuah kontitum dalam arti ganda yakni pada satu sisi mengalami perubahan atau transformasi per atau inter karakteristik baik dengan perluasan maupun pengambil alihanan. Pada sisi lainnya meninggalkan atau menguatkan karakteristik perubahan itu sendiri atau pemapanan. Kenyataan transformatif menunjukkan keduanya dapat terjadi secara bersamaan atau tidak sendiri-sendiri. Pedagang Kaki Lima Pemahaman PKL saat ini telah berkembang dan dilihat dari berbagai sudut pandang. Dalam pandangan pemerintah disebutkan bahwa PKL adalah pelaku usaha yang melakukan usaha perdagangan dengan menggunakan sarana usaha bergerak maupun tidak bergerak, menggunakan prasarana kota, fasilitas sosial, fasilitas umum, lahan dan bangunan milik pemerintah dan/atau swasta yang bersifat sementara/tidak menetap (Permendagri nomor 41/2012 pasal 1). Pengertian Pedagang Kaki Lima menurut ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia adalah istilah untuk menyebut penjaja dagangan yang menggunakan gerobak. Kelima kaki tersebut adalah dua kaki pedagang ditambah tiga (kaki) gerobak (yang sebenarnya adalah tiga roda atau dua roda dan satu kaki). Dari beberapa pandangan tersebut dapat diambil satu benang merahnya bahwa yang dimaksud dengan PKL adalah mereka yang berjualan di tempat-tempat umum yang sifatnya tidak permanen, bermodal kecil dan dilakukan secara pribadi atau berkelompok. Pedagang Kaki Lima juga memiliki karakteristik tersendiri. Ramli (1992:58) melihat karateristik PKL dari pola daganganya yaitu : (1) Kebanyakan PKL menjual barang dagangnya dengan harga luncur (sliding price system); (2) terdapat proses tawar menawar yang merefleksikan penetapan harga secara perkiraan saja dan tanpa pembukuan yang ketat; (3) berusaha mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dari jual beli yang dilakukan dan bukan untuk mencari langganan tetap; (4) ada mekanisme utang-mengutang kepada grosir atau kreditor. Disamping itu menurut Kurniadi dan Tangkilisan (2003) lebih merinci lagi karakteristik dari PKL yaitu : (1) Kelompok ini merupakan pedagang yang kadang-kadang juga berarti produsen sekaligus; (2) Peralatan kaki lima yang memberikan konotasi, bahwa mereka pada umumnya menjajakan barang-barang dagangan pada tikar di pinggir jalan, atau dimuka toko yang dianggap strategis
21
(3) Pedagang kaki lima umumnya bermodal kecil, bahkan tidak jarang mereka hanya merupakan ”alat” bagi pemilik modal dengan mendapatkan sekedar komisi sebagai imbalan jerih payah; (4) Pada umumnya kelompok Pedagang Kaki Lima ini merupakan kelompok marginal, bahkanada pula yang tergolong pada kelompok sub marginal; (5) Pada umumnya kualitas barang yang diperdagangkan oleh para pedagang kaki lima yang mengkhususkan diri dalam hal penjualan barang-barang cacat sedikit dengan harga yang jauh lebih murah. (6) Omset pedagang kaki lima ini pada umumnya memang tidak besar; (7) Para pembeli umumnya para pembeli yang mempunyai daya beli rendah (berasal dari apa yang dinamakan lower income pockets); (8) Kasus dimana pedagang kaki lima berhasil secara ekonomi, sehingga akhirnya dapat menaiki tangga dalam jenjang hierarki pedagang yang sukses, agak langka; (9) Pada umumnya usaha para pedagang kaki lima merupakan famili enterprise, atau malah one man enterprise; (10) Barang yang ditawarkan pedagang kaki lima biasanya tidak standar, dan shifting jenis barang yang diperdagangkan para pedagang seringkali terjadi; (11) Tawar menawar antar pedagang dan pembeli merupakan ciri khas usaha perdagangan pedagang kaki lima (12) Terdapat jiwa kewirausahaan yang kuat pada para pedagang kaki lima. Pemberdayaan PKL Konsep Pemberdayaan PKL Konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilemadilema pembangunan yang dihadapi. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, emporing, and sustainable” (Kartasasmita, 1996). Pemberdayaan memiliki tujuan 2 arah, pertama, melepaskan belenggu kemiskinan, dan kedua memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. Secara konseptual, pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Pemberdayaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemberdayaan sektor informal, khususnya kelompok PKL sebagai bagian dari masyarakat yang membutuhkan penanganan atau pengelolaan tersendiri dari pihak pemerintah yang berkaitan dengan sumberdaya yang mereka miliki, yang diharapkan mampu mendorong peningkatan pendapatan usaha dan penataan usaha PKL itu sendiri. Dalam ketentuan umum Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 41 tahun 2012 tentang pedoman penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima, Pemberdayaan PKL didefinisikan sebagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, dunia usaha dan masyarakat secara sinergis dalam bentuk penumbuhan iklim usaha dan pengembangan usaha terhadap PKL sehingga mampu tumbuh dan berkembang baik kualitas maupun kuantitas usahanya.
22
Pelaksanaan Penataan dan Pemberdayaan PKL Kota Bogor Upaya penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Bogor tetap dilakukan dengan mempertimbangkan aspek kebutuhan ekonomi masyarakat, baik bagi pelaku PKL maupun bagi masyarakat konsumennya, disamping aspek ketertiban, keindahan, dan kenyamanan publik, sehingga dengan demikian upaya penanganan didasarkan pada konsep pembinaan, penataan dan penertiban. Penataan dan penertiban PKL senantiasa berlandasakan kepada peraturan yang telah ditetapkan antara lain : 1) Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. 2) Perda Kota Bogor nomor 8 tahun 2006 tentang Ketertiban Umum. 3) Peraturan Walikota Bogor Nomor 25 Tahun 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Kota Bogor Nomor 13 Tahun 2005 tentang Penataan PKL. 4) Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45-146 tahun 2008 tentang Penunjukan Lokasi Pembinaan dan Penataan Usaha PKL sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Walikota Bogor Nomor 511.23.45.-63 Tahun 2010 tanggal 4 Pebruari 2010. Tujuan dari penataan PKL adalah mewujudkan Kota Bogor yang bersih, indah dan nyaman dengan PKL yang tertib dan teratur berdasarkan peraturan dan perundang-undangan. Sedangkan sasaran penataan PKL adalah Kota Bogor Bersih, bebas macet dan kumuh akibat PKL serta tertatanya PKL yang tidak mengganggu ketertiban umum. Sesuai dengan RPJMD Kota Bogor tahun 2010 – 2014, strategi secara umum dalam penataan Pedagang Kaki Lima (sektor informal) adalah mengalokasikan ruang untuk kegiatan sektor informal dengan strategi sebagai berikut : 1. Menata ruang kegiatan sektor informal yang ada 2. Mengalokasikan ruang baru untuk sektor informal 3. Melibatkan masyarakat dalam pengendalian ruang sektor informal. Rencana penataan PKL dilaksanakan melalui : 1. Menempatkan sektor informal di lokasi yang direncanakan 2. Menata kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan sektor informal 3. Membatasi pemanfaatan ruang terbuka publik untuk kegiatan sektor informal dengan pembatasan area dan pengaturan waktu berdagang 4. Mengoptimalkan fungsi pasar untuk mengakomodir kebutuhan ruang sektor informal 5. Mengintegrasikan kegiatan sektor formal dan sektor informal 6. Melibatkan pemangku kepentingan dalam menjaga fasilitas publik agar tidak digunakan untuk kegiatan sektor informal 7. Mewajibkan setiap pengembang perumahan untuk mengalokasikan ruang bagi kegiatan sektor informal Sedangkan strategi yang ditempuh dalam penanganan PKL tahun 2010-2014 difokuskan pada : 1. Penataan Lokasi PKL a. Penegasan titik lokasi PKL, berikut dengan pengaturan jenis komoditas, model desain berjualan, dan waktu berjualan. b. Mewajibkan pengembang menyediakan pasar tradisional skala lingkungan di perumahan-perumahan
23
c. Mewajibkan pusat perbelanjaan modern menyediakan ruang untuk PKL khususnya makanan dengan insentif yang menarik d. Meredesain pasar yang ada agar nyaman bagi penjual dan pembeli khususnya komoditas hasil pertanian e. Pendataan regristrasi PKL untuk pengendalian jumlah PKL, dengan memberikan tanda khusus resmi 2. Penertiban PKL a. Penertiban PKL yang lebih tegas diluar lokasi titik PKL (strickly forbidden area) khususnya di jalan arteri dan kolektor b. Target penertiban PKL yakni 6 titik lokasi 3. Pembinaan PKL a. Pembinaan dan penyuluhan peningkatan disiplin PKL b. Pembinaan dan pemantauan kebersihan, keamanan dari komoditas yang dijual PKL dengan target 300 PKL c. Kelembagaan pengelolaan Perlu dibentuk tim kerja khusus penanganan PKL Rencana kerja serta monitoring evaluasi yang terjadwal dan terukur. Pemantauan dan penertiban PKL dilaksanakan bekerjasama dengan seluruh elemen masyarakat. Perlu ada peninjauan kembali terhadap Perda Nomor 13 Tahun 2005, khususnya mengenai kebijakan dan kriteria lokasi PKL. Program penataan PKL di Kota Bogor dilakukan secara lintas sektoral dan terpadu dengan SKPD terkait yaitu Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Kantor Koperasi dan UMKM, SatPol PP, Dinas Pengawasan Bangunan dan Permukiman, Dinas Bina Marga dan SDA, Dinas lalu Lintas dan Angkutan Jalan, PD. Pasar Pakuan Jaya, Kantor Kesbang dan Politik serta Kecamatan dan Kelurahan yang tentunya disesuaikan dengan tupoksi masing – masing. Program – program tersebut dijabarkan melalui kegiatan – kegiatan yang ada di SKPD masing – masing. Dalam upaya mendapatkan formulasi terbaik untuk menata PKL, Kantor Koperasi dan UMKM juga telah melaksanakan kegiatan Kajian Penataan PKL Kota Bogor yang telah selesai dilaksanakan pada bulan Desember 2012 yang diharapkan dapat menghasilkan konsep penataan PKL berdasar pada aspirasi berbagai stakeholder seperti pemerintah kota, PKL dan warga masyarakat. Kegiatan ini difokuskan dalam mencari solusi terbaik tentang langkah penataan PKL dengan fokus yang direkomendasikan antara lain yaitu : 1. Penataan PKL dalam bentuk relokasi dengan 3 (tiga) tahap penangann yaitu : Jangka pendek dengan pola infil (dimasukkan) pada ruas jalan tertentu sekitar lokasi semula dengan persyaratan tertentu; Jangka menengah dengan memanfaatkan lahan/ruang di sekitar lokasi eksisting Jangka panjang dengan relokasi PKL ke zona yang diperuntukkan untuk kawasan penataan PKL, sesuai dengan RTRW yaitu Wilayah Pengembangan (WP) B dengan lokasi Bubulak-Sindangbarang, WP C dengan lokasi YasminPasar TU Kemang, WP D lokasi Tajur dan sekitar rencana akses tol CiawiSukabumi Inner Ring Road. Penetapan lokasi berdasarkan pada kesamaan/karakteristik kesesuaian alam dan sosial ekonomi, batasan fisik, batasan administrasi, batasan kesatuan cakupan pelayanan, jumlah penduduk yang dilayani, posisi dalan struktur kota dan kesamaan tipologi penanganan
24
2. Pembentukan kantong-kantong PKL bagi PKL yang memiliki kesamaan komoditas yang diperjualbelikan yang diarahkan pada penggunaan asset pemkot dan sesuai rencana tata ruang; 3. Kerjasama pembangunan kios di komplek tempat hiburan, obyek wisata, pusat perbelanjaan dan lingkungan tempat pendidikan; 4. Pemberdayaan paguyuban PKL sebagai sarana komunikasi; 5. Pembentukan Koperasi PKL; 6. Pembinaan usaha dan pembinaan mental wirausaha; 7. Penertiban dan penegakan perda. Hasil nyata dari pelaksanaan penataan dan penertiban PKL di Kota Bogor selama tahun 2012 antara lain : 1. Kesepakatan dengan PKL di sekitar Suryakencana dengan melakukan pergeseran dan penataan PKL malam hari di 3 lokasi antara lain di Jalan Otista, Jalan Lawang Saketeng dan Jalan Roda sehingga fungsi pedestrian dan jalan di wilayah Suryakencana dapat berjalan dengan baik pada malam hari. Hal ini dilaksanakan dalam upaya membuka akses jalan Suryakencana pada malam hari dan PKL dapat tetap mencari nafkah sampai Kota Bogor memiliki fasilitas penampungan PKL yang representatif. 2. Pemeliharaan jalan Pajajaran sebagai etalase Kota Bogor agar tetap bebas dari PKL 3. Kerjasama dengan Kementerian Koperasi dan UMKM dalam rangka penataan PKL di Jalan Roda, Papandayan, Tegal Gundil dan Gang Selot melalui kegiatan penataan, pelatihan dan perbaikan sarana prasarana PKL. 4. Kerjasama dengan PT. KAI melalui kegiatan penataan 200 PKL di sepanjang Jalan Nyi Raja Permas dengan membuat pedestrian yang nyaman untuk pejalan kaki dan penempatan PKL di dalam pusat jajanan PKL yang dilewati oleh pejalan kaki yang menuju ke Stasiun Besar Kota Bogor. Dalam pelaksanaan pemberdayaan PKL beberapa startegi yang dilakukan di Kota Bogor (Kantor Koperasi dan UKM, 2013), antara lain : 1. Peningkatan kemampuan berusaha 2. Fasilitasi akses permodalan 3. Fasilitasi bantuan sarana dagang 4. Penguatan kelembagaan 5. Fasilitasi peningkatan produksi 6. Pengolahan, pengembangan jaringan dan promosi, dan 7. Pembinaan dan bimbingan teknis. Manajemen Strategis Manajemen strategis dapat didefinisikan sebagai seni dan pengetahuan untuk merumuskan, mengimplementasikan dan mengevaluasi keputusan lintas fungsional yang membuat organisasi mampu mencapai objektivittas. Delapan istilah kunci dalam manajemen strategis yaitu : perencanaan strategi, pernyataan visi dan misi, peluang dan ancaman, kekuatan dan kelemahan, tujuan jangka panjang, strategi, sasaran dan kebijakan (David, 2004). Konsep strategis berkembang mulai dari sekedar alat untuk mencapai tujuan, kemudian berkembang menjadi alat menciptakan keunggulan bersaing dan selanjutnya menjadi landasan untuk memberi respon terhadap kekuatan-kekuatan
25
internal dan eksternal. Sehingga menjadi alat untuk memberikan kekuatan, motivasi kepada stakeholder agar perusahaan tersebut dapat memberikan kontribusi secara optimal (Rangkuti, 2004). Tugas utama dari manajemen strategis adalah memberikan secara menyeluruh misi dari suatu bisnis, artinya mengajukan pertanyaan “apa bisnis kita ?” pertanyaan ini mengiring pada penetapan objektif, pengembangan strategi dan membuat keputusan sekarang untuk hasil dimasa depan, lebih lanjut mengemukakan bahwa proses manajemen strategis terdiri dari tiga tahap : perumusan strategi, implementasi strategi dan evaluasi strategi (David, 2004). Perumusan strategi termasuk mengembangkan misi bisnis, mengenali peluang dan ancaman eksternal perusahaan, menetapkan kekuatan dan kelemahan internal, menetapkan objektif jangka panjang, menghasilkan strategi alternatif dan memilih strategi tertentu untuk dilaksanakan. Implementasi strategi menuntut perusahaan untuk menetapkan objektif tahunan, melengkapi dengan kebijakan, memotivasi karyawan dan mengalokasikan sumber daya sehingga strategi yang dirumuskan untuk dilaksanakan. Hal ini termasuk mengembangkan budaya mendukung strategi, menciptakan struktur organisasi yang efektif, mengubah arah usaha pemasaran, menyiapkan anggaran, mengembangkan dan memanfaatkan sistem informasi dan menghubungkan kompensasi dengan prestasi organisasi, implementasi strategi tersebut sering disebut tahap tindakan manajemen strategis. Evaluasi strategis adalah tahap akhir dalam manajemen strategis. Semua strategi dapat dimodifikasi dimasa depan karena faktor-faktor eksternal dan internal selalu berubah. Ada tiga macam aktivitas mendasar untuk mengevaluasi strategi yaitu : (1) meninjau faktor-faktor ekternal dan internal yang menjadi dasar strategi (2) mengukur prestasi, dan (3) mengambil tindakan korektif. Evaluasi strategi diperlukan karena keberhasilan hari ini bukan merupakan jaminan keberhasilan dimasa depan. Mengenai misi, sasaran dan strategi organisasi yang sudah ada merupakan titik awan yang logis untuk manajemen strategis karena situasi dan kondisi perusahaan saat ini mungkin menghalangi strategi tertentu dan mungkin bahkan mendikte tindakan tertentu. Proses manajemen strategis bersifat dinamis dan berkelanjutan. Apapun yang akan terjadi, keputusan strategis mempunyai konsekuensi berbagai fungsi utama dan pengaruh jangka panjang. Pada suatu organisasi, proses manajemen strategi terdiri dari tiga tahap, yaitu : perumusan strategi, implementasi strategi, dan evaluasi strategi. Sasaran jangka panjang berarti lebih dari satu tahun, dapat ditentukan sebagai hasil spesifik yang ingin dicapai sebuah organisasi dengan melaksanakan misi dasarnya. Sasaran perlu untuk keberhasilan organisasi karena menyatakan arah, mambantu dalam evaluasi, menciptakan sinergi, mengungkapkan prioritas, memfokuskan koordinasi dan menyediakan dasar untuk perencanaan, pengorganisasian, memotivasi dan mengendalikan aktivitas secara efektif. Sasaran tahunan adalah patokan jangka pendek yang harus dicapai oleh organisasi dalam rangka mencapai sasaran jangka panjang, harus dapat diukur, kuantitatif, menantang, realistik, konsisten dan mempunyai prioritas. Peluang eksternal dan ancaman eksternal merujuk pada keadaan ekonomi, sosial, budaya, demografi lingkungan, politik, hukum, pemerintah, teknologi dan kecenderungan persaingan serta peristiwa yang dapat menguntungkan atau merugikan suatu organisasi secara signifikan dimasa depan. Peluang dan ancaman sebagian besar diluar kendali organisasi yang disebut dengan eksternal. Ajaran
26
mendasar dari manajemen strategi adalah bahwa perusahaan perlu merumuskan strategi untuk memanfaatkan peluang eksternal dan menghindari atau mengurangi dampak ancaman ekternal untuk sukses merupakan hal yang penting dilaksanakan dengan pengumpulan serta memahami informasi eksternal yang disebut dengan mengamati lingkungan (environmental scanning) atau evaluasi industri. Kekuatan internal dan kelemahan internal adalah aktivitas dalam kendali organisasi yang prestasinya luar biasa baik atau buruk. Kekuatan dan kelemahan muncul dalam aktivitas manajemen, pemasaran, keuangan/akutansi, produksi/operasi, penelitian dan pengembangan dan sistem informasi komputer serta bisnis, mengenali dan mengevaluasi kekuatan dan kelemahan organisasi dalam berbagai bidang fungsional dari bisnis adalah aktivitas manajemen strategis. Diagram manajemen strategis dapat dilihat pada Gambar 1. Umpan Balik Melakukan Analisa Eksternal
Penetapan Visi dan Misi
Penetapan Tujuan Jangka panjang
Pemilihan dan Penetapan Strategi
Penetapan Kebijakan dan Tujuan Tahunan
Pengaloka sian Sumber Daya
Implementasi
Mengukur dan Mengevaluasi Kinerja
Melakukan Analisa Eksternal
Gambar 1 Manajemen Strategis
David (2004), menyatakan bahwa manajemen strategis menawarkan manfaat berikut ini : 1. Memungkinkan mengenali, menetapkan prioritas dan memanfaatkan berbagai peluang. 2. Menyediakan pandangan objektif mengenai masalah manajemen. 3. Menjadi kerangka kerja untuk memperbaiki koordinasi dan pengendalian aktivitas. 4. Meminimalkan pengaruh kondisi dan perubahan yang merugikan. 5. Memungkinkan keputusan utama yang lebih baik mendukung sasaran yang telah ditetapkan. 6. Memungkinkan alokasi waktu dan sumber daya yang lebih efektif untuk mengenali peluang. 7. Memungkinkan sumber daya yang lebih kecil dan waktu lebih sedikit dicurahkan untuk mengoreksi kesalahan atau keputusan. 8. Menciptakan kerangka kerja untuk berkomunikasi internal diantara staf. 9. Membantu memadukan tingkah laku individual menjadi total 10. Menyediakan dasar untuk penjelasan tanggung jawab individu.
27
11. Memberikan dorongan untuk pemikiran ke depan. 12. Menyediakan pendekatan kerjasama terpadu dan antusias dalam menangani berbagai masalah dan peluang. 13. Mendorong tingkat disiplin dan formalitas yang tepat pada manajemen dari suatu bisnis. Analisis SWOT Analisis SWOT digunakan untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang dan kendala (ancaman) yang dimiliki oleh objek yang diteliti di Kota Bogor. Rangkuti (1997) menyatakan bahwa matrik SWOT dipakai untuk menyusun faktorfaktor strategi perusahaan. Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal yaitu peluang dan ancaman dengan faktor internal yaitu kekuatan dan kelemahan sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi. Adapun matriks SWOT disajikan pada Tabel 2 Tabel 2 Matriks SWOT
Faktor
Stengths – S Tentukan faktor-faktor kekuatan internal
Weakness – W Tentukan faktor-faktor kelemahan internal
Opportunities – O Tentukan faktor-faktor peluang eksternal
Strategi S – O Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Strategi W – O Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Threats – T Tentukan faktor-faktor ancaman eksternal
Strategis S – T Strategi W – O Ciptakan strategi yang Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan meminimalkan untuk mengatasi ancaman kelemahan dan menghindari ancaman
Internal Faktor Eksternal
Sumber : Rangkuti (2000) Dalam analisis SWOT, Rangkuti (2000) menggunakan matriks yang akan menghasilkan 4 (empat) set kemungkinan alternatif dari suatu strategi, yaitu : 1. Strategi SO : strategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang yang sebesar-besarnya. 2. Strategi ST : strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman yang mungkin timbul. 3. Strategi WO : strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan kelemahan yang ada. 4. Strategi WT : strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
28
Tabel 3 Matriks perencanaan strategis kuantitatif
Faktor-Faktor Kunci
Bobot
Alternatif-alternatif Strategi AS TAS AS TAS (Strategi 1) (Strategi 1) (Strategi 2) (Strategi 2)
Peluang 1. 2. Dst Ancaman 1. 2. Dst Kekuatan 1. 2. Dst Kelemahan 1. 2. Dst Jumlah Total Keterangan : AS (Attract Score) TAS (Total Attract Score)
Sumber : David (2004)
Analytic Hierarchy Process (AHP) Analytic Hierarchy Process (AHP) pertama kali dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari University of Pittsburg pada tahun 1970-an. AHP pada dasarnya didesain untuk menangkap secara rasional persepsi orang yang berhubungan erat dengan permasalahan tertentu melalui prosedur yang didesain untuk sampai pada skala preferensi diantara berbagai set alternatif (Falatehan,2011:1). AHP adalah salah satu bentuk pengambilan keputusan yang pada dasarnya berusaha menutupi semua kekurangan dari model-model sebelumnya. Peralatan utama dari model ini adalah sebuah hirarki fungsional dengan input utamanya persepsi manusia. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dan tidak terstruktur dipecah dalam kelompok-kelompoknya, kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki. AHP dapat menyelesaikan masalah multikriteria yang kompleks menjadi suatu hirarki. Masalah yang kompleks dapat di artikan bahwa kriteria dari suatu masalah yang begitu banyak (multikriteria),struktur masalah yang belum jelas, ketidakpastian pendapat dari pengambil keputusan, pengambil keputusan lebih dari satu orang, serta ketidakakuratan data yang tersedia. Menurut Saaty, hirarki
29
didefinisikan sebagai suatu representasi dari sebuah permasalahan yang kompleks dalam suatu struktur multi level dimana level pertama adalah tujuan, yang diikuti level faktor, kriteria, sub kriteria, dan seterusnya ke bawah hingga level terakhir dari alternatif. Dengan hirarki, suatu masalah yang kompleks dapat diuraikan ke dalam kelompok-kelompoknya yang kemudian diatur menjadi suatu bentuk hirarki sehingga permasalahan akan tampak. Analytic Hierarchy Process (AHP) mempunyai landasan aksiomatik yang terdiri dari : 1. Reciprocal Comparison, yang mengandung arti si pengambil keputusan harus bisa membuat perbandingan dan menyatakan preferensinya. Preferensinya itu sendiri harus memenuhi syarat resiprokal yaitu kalau A lebih disukai dari B dengan skala x, maka B lebih disukai dari A dengan skala. 2. Homogenity, yang mengandung arti preferensi seseorang harus dapat dinyatakan dalam skala terbatas atau dengan kata lain elemen-elemennya dapat dibandingkan satu sama lain. Kalau aksioma ini tidak dapat dipenuhi maka elemen-elemen yang dibandingkan tersebut tidak homogenous dan harus dibentuk suatu‟cluster‟ (kelompok elemen-elemen) yang baru. 3. Independence, yang berarti preferensi dinyatakan dengan mengasumsikan bahwa kriteria tidak dipengaruhi oleh alternatif-alternatif yang ada melainkan oleh objektif secara keseluruhan. Ini menunjukkan bahwa pola ketergantungan atau pengaruh dalam model AHP adalah searah keatas, Artinya perbandingan antara elemen-elemen dalam satu level dipengaruhi atau tergantung oleh elemenelemen dalam level di atasnya. 4. Expectations, artinya untuk tujuan pengambilan keputusan, struktur hirarki diasumsikan lengkap. Apabila asumsi ini tidak dipenuhi maka si pengambil keputusan tidak memakai seluruh kriteria dan atau objektif yang tersedia atau diperlukan sehingga keputusan yang diambil dianggap tidak lengkap. Dalam memecahkan persoalan dengan analisis logis eksplisit, ada tiga prinsip: prinsip menyusun hirarki, prinsip menetapkan prioritas dan prinsip konsistensi. a. Menyusun Hirarki Ialah menggambarkan dan menguraikan secara hirarki, yaitu memecah persoalan menjadi unsur-unsur yang terpisah. b. Menentukan Prioritas Penentuan prioritas ini berdasarkan atas perbedaan prioritas dan sintesis, yaitu menentukan peringkat elemen-elemen menurut relatif tingkat kepentingannya. c. Konsistensi Logis Ialah menjamin bahwa semua elemen dikelompokkan secara logis dan diperingkat secara konsisten sesuai dengan suatu kriteria yang logis. Dalam model AHP digunakan batas 1 sampai 9 yang dianggap cukup mewakili persepsi manusia. Perbandingan antar elemen satu dengan yang lain digunakan untuk memperoleh gambaran pengaruh relatif atau pengaruh setiap elemen terhadap masing-masing tujuan (elemen yang lain) setingkat di atasnya. Perbandingan didasarkan pada penilaian (judgment) dan para pengambil keputusan dengan memberikan penilaian tingkat kepentingan satu elemen dibandingkan dengan elemen lainnya dengan kriteria sebagaimana Tabel Perbandingan sesuai tingkat kepentingan secara berpasangan dilakukan dengan kuantifikasi atas data kualitatif pada materi wawancara atau melalui kuesioner dengan nilai komparasi/pembobotan antara nilai 1
30
sampai 9 (Falatehan,2011). Tabel 4 Skala banding secara berpasangan dalam AHP Intensitas 1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Keterangan Kedua elemen sama pentingnya Elemen yang satu sedikit lebih penting daripada elemen yang lainnya Elemen yang satu lebih penting daripada elemen yang lain Elemen sang satu jelas lebih penting daripada elemen yang lain. Elemen yang satu mutlak lebih penting daripada elemen yang lain Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berdekatan Jika untuk aktivitas ke-i mendapat satu angka bila dibandingkan dengan aktivitas ke-j, maka j mempunyai nilai kebalikannya bila dibandingkan dengan i. Hasil Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang terkait dengan penataan dan pemberdayaan PKL memberikan gambaran tentang karakteristik PKL, peran pemerintah dan upaya solusi yang direkomendasikan. Beberapa fokus penyelesaian nampaknya masih perlu beberapa pendekatan yang mendekatkan pada solusi nyata bagi pemberdayaan PKL. Lemahnya penegakan aturan dan pendekatan solusi kreatif masih menjadi masalah bagi penataan PKL. Hasil penelitian Mubarak (2012) dengan pendekatan analisis regresi dan AWOT menyimpulkan bahwa strategi pendekatan pemberdayaan PKL di Kota Bogor perlu dilakukan dengan beberapa tahapan. Dimulai dari proses pendataan dan pemetaan, dialog antara pemerintah dan PKL, menyiapkan ruang relokasi bagi PKL, pembatasan jumlah pedagang dan kerjasama dengan swasta dalam penyiapan ruang bagi PKL. Penelitian Akliyah (2008) tentang kajian penataan PKL di Tasikmalaya dengan pendekatan partisipatif, menyimpulkan 2 alternatif penataan PKL antara lain: Alternatif pertama, relokasi in-situ yaitu berupa pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berdagang. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan PKL di jalan-jalan ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung PKL. Agustinus (2010), dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) pada penelitian strategi penataan PKL di Jakarta Utara, menyimpulkan bahwa secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi adalah penentuan lokasi strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi. Penelitian Nazir (2010), Dewi Suci, dkk (2008), Winarti (2012), dan Iswanto (2007) telah memberikan gambaran mengenai karater PKL dari aspek pendapatan, penggunaan ruang publik dalam berdagang, faktor modal PKL, pengorganisasian PKL, dan upaya rancang ulang desain ruang untuk PKL. Beberapa hasil kajian terdahulu, disajikan dalam Tabel 5 dibawah ini.
31
Tabel 5 Penelitian terdahulu N O 1
2
3
JUDUL Karakteristik Dan Permasalahan Pedagang Kaki Lima (Pkl) Serta Strategi Penataan Dan Pemberdayaanny a Dalam Kaitan Dengan Pembangunan Ekonomi Wilayah Kota Bogor
NAMA & TAHUN Ahmad Mubarak, 2012 Disertasi, IPB
Kajian Penataan Pedagang Kaki Lima (PKL) di Kota Tasikmalaya Secara Partisipatif
Leli Syiddatul Akliyah, 2008
Strategi Penanganan Pedagang Kaki
Tumpal Hasiholan Agustinus,
Tesis, IPB
METODOLOGI
HASIL
Analisis deskriptif digunakan untuk mengkarakteristik kan PKL dan persepsi masyarakat, pemasok dan pesaing mengenai keberadaan PKL. Analisis regresi dilakukan terhadap faktorfaktor yang mempengaruhi pendapatan PKL Untuk menganalisis strategi penataan dan pemberdayaan PKL digunakan metode hibrid AWOT
Beberapa strategi dirumuskan yaitu : (a) Registrasi dan pembuatan database PKL, (b) Pemberdayaan ekonomi pelaku PKL, (c) Menyatukan persepi dalam pengelolaan PKL, (d) Penundaan penggusuran & dialog dengan pemda, (e) Pembatasan jumlah pedagang dalam satu lokasi and (f) mensyaratkan setiap pengelola gedung/pabrik/komple ks perumahan untuk menyediakan lokasi tertentu bagi PKL, serta melakukan Penataan lokasi PKL Alternatif model dari hasil penelitian ini ada 2 alternatif penataan PKL. Alternatif pertama, relokasi insitu yaitu berupa pengaturan lapak, penyeragaman sarana berjualan (gerobak, bangku/jongko), pengaturan jenis dagangan, dan pengaturan waktu berdagang. Alternatif kedua, relokasi eks-situ, yaitu memindahkan PKL di jalan-jalan ke suatu tempat yang dikhususkan untuk menampung PKL. Secara keseluruhan alternatif dengan prioritas tertinggi
Analisis RankSpearman untuk analisis keterkaitan karakteristik PKL Analisis Deskriptif untuk tinjauan karakteristik PKL, Kebijakan Tata Ruang Tasikmalaya, dan aspirasi masyarakat tentang PKL. Peta tematik berbasis GIS
Dengan menggunakan pendekatan
32
Lima Di Kota Administrasi Jakarta Utara
2010
4
Analisis Determinan Pendapatan Pedagang Kaki Lima Di Kabupaten Aceh Utara
Nazir, 2010
4
Penataan Fungsi Dan Fisik Arsitektural Ruang Terbuka Kota Akibat Pedagang Kaki Lima Studi Kasus; Kawasan Manahan Surakarta
Dwi Suci Sri Lestari dan Djumiko, 2008
Tesis, UI
Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Tunas Pembangunan
Analytical Hierarchy Process (AHP)
penelitian deskriptif kuantitatif serta sifat penelitiannya adalah eksplanasi. Metode analisis data yang digunakan adalah Multiple Regrssion Linear (Analisis Regresi Berganda)
adalah penentuan lokasi strategis tempat usaha bagi PKL, yang merupakan variabel dari aspek ekonomi.
Hasil analisis hipotesis pertama menunjukkan bahwa secara simultan modal kerja, jam usaha, pengalaman dan jenis barang dagangan (produk) berpengaruh sangatsangat signifikan terhadap pendapatan pedagang kaki lima di Kabupaten Aceh Utara, dan secara parsial modal kerja sebagai variabel yang paling dominan. Metode analisis data hipotesis kedua yang digunakan adalah Chi Square. Hasil hipotesis kedua menunjukkan bahwa ada perbedaan pendapatan pedagang kaki lima yang berdagang di bawah jam usaha ratarata dengan yang berdagang di atas jam usaha rata-rata di Kabupaten Aceh Utara. Metode penelitian, Hasilnya design guidependekatan lines penataan deskriptik analitik Kawasan Manahan perpaduan antara melalui penataan PKL pendekatan kualitatif pada kelompok lokasi: induktif-deduktif seputar Lapangan dengan naturalistik Manahan, sebelah selatan rel KA (penggal timur dan barat Jl Hasanuddin), dan seputar Lapangan Kota Barat. Sebagian