7 Ruang Lingkup Penelitian Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan pasar ekspor lada putih adalah pasar lada putih suatu negara pengekspor tertentu di suatu negara pengimpor tertentu, dilihat dari sudut pandang negara pengekspor tertentu tersebut. Sementara, yang dimaksudkan dengan pasar impor lada putih adalah pasar lada putih dari negara pengekspor tertentu di negara pengimpor tertentu, dilihat dari sisi negara pengimpor tertentu tersebut. Negara-negara pengekspor yang dianalisis dalam penelitian ini, terkait daya saing nya, adalah Indonesia dan Vietnam. Alasan pemilihan Vietnam adalah karena tren peningkatan produksi dan ekspor lada putihnya. Jika dibandingkan (data dari IPC, dapat dilihat pada Lampiran 3), maka terlihat bahwa jumlah ekspor lada putih Vietnam hampir menyamai jumlah produksi nya (pada tahun-tahun tertentu jumlah ekspor lebih besar dari pada jumlah produksi). Bahkan, baik jumlah ekspor, maupun produksi lada putih Vietnam mulai melampaui Indonesia. Berdasarkan hal-hal tersebut juga dapat disimpulkan bahwa pasar utama lada putih dari Vietnam adalah pasar ekspor/impor (dunia), sama hal nya dengan Indonesia.
2 TINJAUAN PUSTAKA Komoditi Lada Lada menjadi salah satu jenis rempah-rempah yang paling tua dan penting di dunia, sehingga lada juga seringkali disebut King of Spices. Pada abad pertengahan dan zaman Renaissance, dalam sejarah penjelajahan, rempah-rempah (termasuk di dalamnya lada) mempunyai kedudukan yang tinggi dan sangat spesial. Bahkan pada zaman kuno dan medieval, nilainya seringkali disetarakan dengan emas dan batu permata. Produk utama komoditi lada yang diperdagangkan di dunia (secara internasional) adalah lada putih (white pepper) dan lada hitam (black pepper). Lada putih dan lada hitam sebenarnya berasal dari buah lada yang sama. Lada putih merupakan olahan dari buah lada yang telah matang di pohon, dipanen, dan dikelupas kulitnya, serta dikeringkan. Sedangkan lada hitam merupakan buah tanaman lada yang dipanen sebelum buah matang dan masih berwarna hijau, serta langsung dikeringkan tanpa pengelupasan kulit. Lada (Piper nigrum Linn) merupakan famili Piperaceae. Famili tersebut terdiri dari 10-12 genus dan 1 400 spesies, yang bentuknya beragam, seperti herba, semak, tanaman menjalar, hingga pohon-pohonan. Lada dari genus Piper merupakan spesies tanaman yang berasal dari Ghats, Malabar India (Rismunandar 2007). Ciri morfologi dari tanaman lada antara lain: 1) berakar tunggang (dikotil); 2) perakarannya terdiri atas dua jenis, yaitu akar yang tumbuh dari buku di atas tanah (untuk menopang batang pokok dan menjalar atau memanjat pada tiang panjat atau inangnya) dan akar yang tumbuh dari buku di dalam tanah (sebagai penghisap makanan atau feeding roots); 3) memiliki satu batang pokok dengan dua macam cabang (orthotropis atau vertikal dan plagiotropis atau horizontal), yang menyebabkan lada memiliki cabang yang banyak; 4) buku-buku batang agak membengkak, dimana dari buku-buku tersebut keluar daun, tunas, dan perbungaan; 5) berdaun tunggal, letaknya berselang-seling pada cabang, berwarna
8 hijau gelap, lembaran daun sebelah atas agak mengkilap dan sebelah bawahnya pucat dan berkelenjar; 6) perbungaannya berbentuk bulir yang tumbuh di seberang daun, bunganya berukuran kecil, dan tanpa perhiasan bunga; 7) buahnya buni tak bertangkai, berbiji satu, berkulit keras, dibalut oleh daging buah yang tebal; serta 8) memiliki tinggi antara 5-15 m. Tanaman lada dikenal sebagai tanaman tahunan dan perkebunan, yang pada dasarnya merupakan tanaman tropis, serta membutuhkan curah hujan dan suhu yang tinggi, yang banyak dan merata. Lada dapat tumbuh pada daerah dengan ketinggian mencapai 1 500 m di atas permukaan laut (dpl), tetapi tumbuh lebih subur di daerah pada ketinggian 500 m dpl atau kurang, dengan curah hujan 2 200-5 000 mm dalam setahun, suhu antara 18°C-35°C, kelembaban udara berkisar antara 50-100 persen, serta perubahan musim yang cukup baik (musim kemarau yang cukup panjang, sekitar 2-3 bulan untuk menumbuhkan bunga dan buah). Di Indonesia, budidaya lada sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lampau. Tanaman lada kemungkinan dibawa koloni Hindu ke Jawa antara tahun 100 SM (Sebelum Masehi) sampai 600 M (Masehi). Marcopolo dalam riwayat hidupnya pada tahun 1298, menguatkan hal tersebut dengan mengatakan bahwa pada tahun 1280 di Jawa telah terdapat pengusahaan tanaman lada. Pada tahun 1720 sepertiga bagian dari seluruh keuntungan yang diperoleh VOC, semasa menduduki Indonesia, berasal dari komoditi lada. Pada tahun 1772, kontribusi lada semakin besar terhadap seluruh keuntungan VOC tersebut, yaitu mencapai dua per tiga bagiannya (Ditjenbun Deptan 2009). Bahkan sebelum perang dunia kedua, Indonesia memasok 80 persen kebutuhan lada dunia (Edizal 1998). Tanaman lada di Indonesia memiliki banyak nama daerah, diantaranya lada (Aceh, Batak, Lampung, Buru, dan Nias), raro (Mentawai), lado (Minangkabau), merico (Jawa), maica (Bali), ngguru (Flores), malita lo dawa (Gorontalo), marica atau barica (Sulawesi Selatan), rica jawa (Halmahera, Ternate, Minahasa), leudeu pedih (Gayo), sahang (Bangka, Banjarmasin, Jawa Barat), sakang (Madura), saha (Bima), dan mboko saah (Ende). Adapun daerah-daerah di Indonesia yang memenuhi persyaratan untuk budidaya lada, antara lain: Lampung, Bangka Belitung, Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara, Bengkulu, Kalimantan Tengah, dan lainnya (selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4). Lampung dan Bangka Belitung merupakan produsen lada terbesar di Indonesia, dimana Bangka Belitung sebagai produsen lada putih (Muntok White Pepper) dan Lampung sebagai produsen lada hitam (Lampong Black Pepper). Budidaya lada di Indonesia ini sebagian besar dilakukan oleh rakyat atau smallholders, bukan oleh pemerintah ataupun swasta dalam skala yang besar. Sekitar 99,9 persen produksi lada Indonesia dihasilkan dari perkebunan lada yang dikelola oleh rakyat (petani) atau smallholders (lihat Tabel 5).
9 Tabel 5
Luas areal dan produksi perkebunan lada di Indonesia menurut pengusahaan tahun 2009
No 1. 2. 3.
Pengusahaan Perkebunan Rakyat Perkebunan Pemerintah (Negara) Perkebunan Swasta Total Keterangan: -) Tidak mengusahakan
Produksi (ton) 82 833 1 82 834
Luas Areal (ha) 185 937 4 185 941
Sumber: Ditjenbun Deptan (2012)12 (Diolah) Sampai dengan tahun 2011, luas areal tanaman lada perkebunan rakyat adalah seluas 179 034 ha, dengan keterlibatan petani sebanyak 322 294 KK (Kepala Keluarga). Total tanaman menghasilkan nya adalah seluas 110 896 ha. Sedangkan luas areal tanaman lada perkebunan besar swasta sampai dengan tahun 2011 adalah seluas 4 ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2011)13. Lada putih dari Bangka Belitung sudah dikenal di pasar internasional. Bahkan komoditi ini memiliki brand, yaitu Muntok White Pepper. Penamaan Muntok White Pepper, salah satunya, disebabkan karena lada putih dari Bangka Belitung, pertama kali diperdagangkan secara internasional (diekspor) melalui pelabuhan Muntok di Kecamatan Muntok, Kabupaten Bangka Barat (setelah pemekaran). Roosgandha (2003), menyebutkan bahwa petani lada di Kabupaten Bangka, melakukan panen lada saat buah lada sudah masak yang ditandai dengan warna kuning sampai merah. Panen umumnya dilakukan dengan pemetikan mempergunakan tangan. Kemudian diolah dengan cara memasukkan lada yang telah dipanen tersebut ke dalam karung plastik. Setelah itu direndam dalam air (umumnya air mengalir) selama 7-14 hari, setelah itu dicuci untuk menghilangkan kulitnya. Dilanjutkan dengan menjemurnya dibawah sinar matahari selama 2-3 hari. Dari hasil pengolahan tersebut akan diperoleh lada putih kering dengan rendemen berkisar antara 15-45 persen atau rata-rata 24 persen. Perilaku ini juga merupakan perilaku yang terjadi secara umum di Bangka Belitung. Oleh karena itu, jika berbicara mengenai produksi lada di Bangka Belitung, maka yang dimaksud adalah produksi lada putih.
Tinjauan Penelitian Terdahulu Kelayakan Pengusahaan Lada Marwoto (2003) melakukan penelitian tentang perkebunan lada rakyat Kabupaten Bangka. Hasil penelitian menunjukan ketidakefisienan, yang tercermin dari kecenderungan penurunan nilai NPV menjadi Rp 2 148 648 dan B/C sebesar 1.13 pada skala usaha 5 tahunan dan tingkat suku bunga 12 persen, dengan PC sebesar 0.174; EPC sebesar 0.61; SRP sebesar 0.37; NT sebesar Rp -50 554 988;
12 [Ditjenbun Deptan] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2012. Luas Areal dan Produksi Perkebunan Lada Seluruh Indonesia Menurut Pengusahaan, Tahun 1967-2011 [Internet]. [diunduh tanggal 24 Januari 2013]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id/cigraph/index.php/viewstat/komoditiutama/7-Lada. 13 [Ditjenbun Deptan] Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian. 2013. Pedoman Pascapanen Lada [Internet]. [diunduh tanggal 13 Desember 2013]. Tersedia pada: http://ditjenbun.deptan.go.id.
10 TO sebesar Rp -22 652 569; NPCO sebesar 0.83; TI sebesar Rp 19 352 505; dan nilai NPCI sebesar 1.67. Zakaria (2009) mengatakan bahwa secara umum, permasalahan usahatani lada di Bangka Belitung adalah makin menurunnya luas areal, tingkat produksi dan produktivitas, serta minat petani melakukan budidaya komoditas lada. Menurunnya areal penanaman lada di Bangka Belitung merupakan akibat dari motivasi petani lada mengalihfungsikan lahan untuk tambang timah rakyat, karena harga jual produk lada cenderung rendah dan berfluktuasi, serta kurangnya perhatian akan pemeliharaan tanaman lada. Nilai R/C ratio pengusahaan lada di Bangka Belitung pada tahun 2008 adalah 1.52 untuk investasi selama pertumbuhan pertanaman (9 tahun). Tingkat profitabilitasnya sebesar 34 persen dan tingkat efisiensi usahataninya memadai.
Pasar dan Daya Saing Lada Djulin dan Malian (2005), salah satunya, melakukan analisis pemasaran dan integrasi pasar (dengan model Ravallion) lada putih di daerah produksi utama (Bangka Belitung). Berdasarkan hasil penelitian ini disimpulkan bahwa saluran tataniaga lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung diawali dari petani yang menjual lada putih yang dihasilkan kepada pedagang desa atau pedagang pengumpul. Beberapa pedagang pengumpul menghadapi dan menentukan harga pembelian di tingkat petani. Seluruh lada putih yang dibeli pedagang pengumpul dijual kepada eksportir yang berkedudukan di Pangkalpinang (ibukota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung). Sebagian besar lada putih ini (90 persen) diekspor dengan tujuan Singapura dan Amerika Serikat. Hanya sekitar 10 persen lada putih yang dihasilkan dijual ke Jakarta untuk memenuhi kebutuhan domestik. Marjin biaya yang dikeluarkan oleh pedagang desa, pedagang pengumpul, dan eksportir berturut-turut Rp 135/kg, Rp 620/kg, dan Rp 600/kg. Pedagang pengumpul mengeluarkan biaya cukup besar, khususnya untuk menanggung terjadinya susut sebesar dua persen. Peluang terjadinya susut ini sangat besar, karena lada putih yang dijual petani dan pedagang desa umumnya belum memenuhi standar ekspor. Para eksportir menikmati marjin keuntungan yang terbesar yaitu Rp 1 600/kg, diikuti oleh pedagang pengumpul (Rp 680/kg), dan pedagang desa (Rp 565/kg). Besarnya keuntungan yang diterima oleh eksportir ini terkait dengan kemampuan mereka untuk menaksir kecenderungan perubahan nilai tukar. Hasil analisis integrasi harga petani dan harga eksportir lada putih menunjukkan bahwa harga jual di tingkat petani ditentukan oleh tingkat harga jual petani pada bulan sebelumnya dan tingkat harga eksportir pada bulan sebelumnya. Sedangkan dummy bulan panen tidak mempengaruhi harga jual di tingkat petani. Hal ini diduga terkait dengan pola pemasaran yang dilakukan oleh petani dalam bentuk penjualan secara bertahap. Dari dugaan parameter, diperoleh indeks integrasi pasar (MII) sebesar 21.7. Hal ini menunjukkan bahwa integrasi harga petani dan harga eksportir sangat lemah. Penentuan harga beli di tingkat petani tidak ditentukan oleh harga di tingkat eksportir, tetapi antara petani dan pedagang desa atau antara petani dan pedagang pengumpul. Lemahnya posisi tawar ini
11 terkait dengan tidak tersedianya informasi pasar yang cukup, sehingga petani selalu menerima tingkat harga yang ditetapkan oleh para pedagang. Sementara itu, hasil analisis integrasi harga eksportir dan harga dunia memperlihatkan bahwa harga jual di tingkat eksportir dipengaruhi oleh tingkat harga jual eksportir dan tingkat harga dunia pada bulan sebelumnya. Sedangkan delta harga dunia (selisih harga dunia bulan ini dan bulan sebelumnya), serta dummy bulan panen tidak mempengaruhi harga jual di tingkat eksportir. Dari hasil analisis diperoleh indeks integrasi pasar (MII) antara harga eksportir dan harga dunia sebesar 0.68. Angka indeks ini memberikan indikasi adanya integrasi pasar yang kuat antara harga eksportir dan harga dunia. Hal ini berarti bahwa penentuan harga beli oleh eksportir ditentukan oleh tingkat harga di pasar dunia, serta nilai tukar rupiah. Integrasi harga ini sangat dimungkinkan, mengingat para eksportir memiliki fasilitas informasi pasar dunia yang memadai. Penguasaan informasi pasar dunia ini memberikan keuntungan bagi para eksportir, karena penurunan harga lada putih di pasar dunia atau penurunan nilai tukar rupiah akan segera direspon dalam bentuk penurunan harga beli. Namun jika harga lada di pasar dunia menunjukkan kenaikan atau terjadi penguatan nilai tukar rupiah, maka para eksportir memberikan respon secara lambat. Triana (2000), dengan menggunakan metode two stage least squares (2SLS), menganalisis penawaran ekspor lada putih Indonesia dan permintaan impor lada putih di negara tertentu. Adapun negara-negara tujuan ekspor lada putih Indonesia yang dianalisis adalah Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Jepang, dan Singapura. Sementara itu, pesaing lada putih Indonesia (juga produsen lada putih) yang dianalisis penawaran ekspornya yaitu Malaysia dan Brazil. Permintaan impor diwakili oleh negara-negara: Amerika Serikat, Jerman, Belanda, Jepang, dan Singapura. Variabel eksogen (independen/bebas) yang digunakan dalam model penawaran ekspor lada putih yaitu harga riil ekspor lada putih negara yang melakukan penawaran ekspor, harga riil ekspor lada hitam negara yang melakukan penawaran ekspor, produksi lada putih negara yang melakukan penawaran ekspor, nilai tukar mata uang negara yang melakukan penawaran ekspor (terhadap dollar USA), tingkat suku bunga negara yang melakukan penawaran ekspor, volume ekspor lada putih negara yang melakukan penawaran ekspor setahun sebelum nya (t-1), dan dummy standar mutu negara yang melakukan penawaran ekspor. Sedangkan variabel eksogen (independen/bebas) yang digunakan dalam model permintaan impor lada putih yaitu harga impor lada putih suatu negara, pendapatan bruto riil suatu negara, jumlah penduduk suatu negara, nilai tukar mata uang suatu negara (terhadap dollar USA; Amerika Serikat terhadap rupiah), dan volume impor lada putih suatu negara setahun sebelumnya (t-1). Hasil dari penelitian ini, yang terkait dengan penawaran ekspor lada putih Indonesia dan permintaan impor lada putih di negara tertentu, antara lain: (1) penawaran ekspor lada putih Indonesia ke Jerman, Belanda, dan Singapura lebih responsif terhadap perubahan produksi dibandingkan terhadap perubahan harga ekspor lada putih dan lada hitam, nilai tukar, suku bunga, dan volume reekspor lada putih Singapura. Sementara itu, penawaran ekspor ke Amerika dan Jepang lebih responsif terhadap perubahan volume reekspor lada putih Singapura; (2) penawaran ekspor lada putih Malaysia dan Brazil lebih responsif terhadap
12 perubahan produksi dibandingkan terhadap perubahan harga ekspor lada putih dan lada hitam, nilai tukar, suku bunga, dan volume reekspor lada putih Singapura; dan (3) permintaan impor lada putih Amerika Serikat dan Belanda lebih responsif terhadap perubahan pendapatan dibandingkan terhadap perubahan harga impor lada putih dan lada hitam, jumlah penduduk, dan nilai tukar. Permintaan impor lada putih Jepang lebih responsif terhadap perubahan harga lada hitam dunia. Sedangkan untuk Jerman dan Singapura permintaan impornya lebih responsif terhadap perubahan jumlah penduduk. Edizal (2007) melakukan analisis penawaran ekspor dan permintaan impor lada putih dunia dalam kaitannya meningkatkan daya saing lada putih Indonesia. Penawaran ekspor yang dianalisis berasal dari: Indonesia, Malaysia, Brazil, dan Singapura, sementara untuk permintaan impor berasal dari Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa, Jepang, Singapura, dan rest of world. Variabelvariabel eksogen (independen/bebas) yang masuk dalam model penawaran ekspor ini adalah harga ekspor lada putih, penawaran ekspor lada putih negara tertentu tahun sebelumnya (t-1), nilai tukar, dan waktu (menggambarkan perubahan yang bersifat monotonik seperti teknologi dan infrastruktur). Sedangkan variabelvariabel eksogen yang masuk dalam model permintaan impor lada putih yaitu harga lada putih dunia, harga lada hitam dunia, indeks harga umum, pendapatan per kapita negara pengimpor (tertentu), dan waktu (menggambarkan kecenderungan perubahan selera). Hasil analisis menunjukkan bahwa penawaran ekspor lada putih dari Indonesia, Malaysia, Brazil, dan Singapura, dalam jangka pendek, bersifat inelastis. Artinya bagi Indonesia adalah: (1) dalam jangka pendek adanya perubahan harga ekspor lada putih tidak dapat direspon dengan cepat oleh para eksportir lada putih Indonesia; (2) para eksportir lada putih Indonesia umumnya melepas lada putihnya di pasar internasional berapapun tingkat harga yang berlaku; dan (3) para eksportir tidak menerapkan manajemen stok karena keterbatasan gudang yang memadai dan keterikatan kontrak dengan para importir, terutama importir dari Singapura. Indonesia dalam mengekspor lada putihnya sangat tergantung kepada pasar impor Singapura dan Singapura sendiri saat ini mendominasi dalam perdagangan lada putih dunia. Singapura mempunyai fasilitas ekspor yang lebih baik dari Indonesia, seperti ketersediaan kapal besar, pelabuhan ekspor dan gudang yang memadai. Dalam jangka panjang, penawaran ekspor lada putih dari Indonesia, Malaysia, dan Brazil bersifat elastis, akan tetapi Singapura bersifat inelastis. Permintaan impor lada putih oleh Amerika Serikat, Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), Jepang, dan rest of world dalam jangka pendek bersifat inelastis, sedangkan Singapura bersifat elastis. Hal ini berarti adanya perubahan harga tidak begitu berpengaruh terhadap perubahan permintaan lada putih Amerika Serikat, MEE, Jepang, dan rest of world. Sementara itu untuk Singapura, adanya perubahan harga menyebabkan perubahan permintaan impor yang lebih besar. Susilowati (2003) melakukan penelitian mengenai daya saing lada Indonesia. Alat analisis yang digunakan adalah model Pangsa Pasar Konstan (Constant Market Share/CMS) dan analisis substitusi impor. CMS digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang paling berperan sebagai sumber peningkatan daya saing ekspor lada Indonesia, sedangkan analisis substitusi impor digunakan untuk menganalisis persaingan antara Indonesia dengan negara pengekspor
13 lainnya di pasar internasional. Negara pengekspor yang dianalisis adalah Indonesia, Brazil, India, dan Malaysia, sementara negara tujuan impor nya adalah Amerika Serikat, MEE, dan Singapura. Susilowati mengikuti model CMS (Constant Market Share/Pangsa Pasar Konstan) oleh Chen dan Duan. Pangsa pasar suatu negara dinyatakan sebagai jumlah ekspor negara tertentu terhadap total ekspor dunia pada periode yang sama, dengan asumsi harga ekspor antar negara pada periode tersebut adalah konstan. Pada dekomposisi tingkat pertama, model CMS menguraikan perubahan ekspor melalui tiga komponen: pengaruh struktural, pengaruh kompetitif, dan pengaruh order kedua (second order). Sementara, pada dekomposisi tingkat kedua: (1) pengaruh struktural diuraikan lebih lanjut menjadi pengaruh pertumbuhan, pengaruh pasar, pengaruh komoditas, dan pengaruh interaksi; (2) pengaruh kompetitif diuraikan menjadi pengaruh kompetitif umum dan pengaruh kompetitif spesifik; serta (3) pengaruh order kedua dibagi menjadi pengaruh order kedua murni dan pengaruh struktural dinamis. Untuk analisis substitusi impor, variabel-variabel yang dimasukkan dalam model adalah jumlah impor lada dari negara atau pasar tertentu yang berasal dari negara pengekspor A (jumlah ekspor negara A ke pasar tertentu), jumlah impor lada dari negara atau pasar tertentu yang berasal dari negara pengekspor B (jumlah ekspor negara B ke pasar tertentu), harga lada negara A, dan harga lada negara B. Variabel endogen (dependen) nya adalah nisbah jumlah ekspor negara A ke pasar tertentu terhadap jumlah ekspor negara B ke pasar tertentu, sementara variabel eksogen (independen) nya adalah nisbah harga lada negara A terhadap harga lada negara B. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa selama periode 1985-2001, Indonesia secara konsisten berhasil mempertahankan pangsa ekspornya di pasar lada dunia (Amerika Serikat, MEE, dan Singapura), sementara tiga negara pesaing Indonesia (Brazil, India, dan Malaysia) cenderung mengalami penurunan ekspor. Penurunan ekspor dari negara-negara pesaing Indonesia terutama disebabkan oleh penurunan impor oleh pasar tujuan. Disagregasi berdasarkan periode analisis cenderung menghasilkan kesimpulan yang sama, dimana ekspor lada Indonesia secara konsisten mengalami peningkatan, sementara ekspor dari tiga negara pesaing lainnya mengalami penurunan, kecuali pada periode awal (1985-1996). Untuk seluruh periode analisis, daya saing Indonesia mengalami peningkatan relatif terhadap tiga negara pesaingnya, kecuali pada periode awal (1985-1996) (daya saing India dan Malaysia mengungguli Indonesia). Pada periode 1985-1996, Indonesia hanya mampu meningkatkan daya saing untuk salah satu jenis komoditas lada yang diekspor, sebaliknya India dan Malaysia berhasil meningkatkan daya saing ekspor mereka secara umum, baik untuk lada hitam, maupun lada putih. Namun, untuk periode berikutnya Indonesia mampu meningkatkan daya saingnya secara umum, baik untuk lada hitam, maupun lada putih. Daya saing Brazil selama periode analisis semakin menurun, bahkan terhadap India dan Malaysia, sedangkan Malaysia secara agregat masih mengalami peningkatan daya saing, meskipun dengan besaran parameter yang relatif kecil. Dekomposisi tahap kedua menunjukkan bahwa Indonesia mengkonsentrasikan ekspor lada hitam dan putih dengan pertumbuhan pasar yang relatif cepat. Sebaliknya Brazil dan India hanya mengkonsentrasikan ekspor mereka pada jenis lada tertentu, yaitu hanya untuk lada hitam.
14 Pengaruh distribusi pasar menunjukkan bahwa pasar Amerika Serikat, MEE, dan Singapura merupakan pasar tujuan yang tepat bagi ekspor lada Indonesia. Brazil dan India lebih mengutamakan ekspor mereka untuk pasar tujuan Amerika dan MEE, sementara Malaysia lebih mengutamakan tujuan ekspornya ke Singapura dan MEE. Sedangkan ekspor lada dari ketiga produsen utama tersebut ke pasar lainnya relatif kecil dan cenderung menurun. Ketimpangan distribusi ekspor yang ditujukan kepada ketiga pasar tersebut ditunjukkan melalui besaran pengaruh distribusi pasar yang bernilai negatif, baik untuk Malaysia, India, dan Brazil, sedangkan untuk Indonesia bernilai positif. Secara keseluruhan Indonesia memiliki daya saing ekspor yang baik, relatif terhadap negara pesaingnya. Secara konsisten, Indonesia mampu meningkatkan ekspornya, baik untuk jenis lada hitam, maupun lada putih. Demikian pula pasar Amerika Serikat, MEE, dan Singapura, hingga saat ini merupakan tujuan ekspor lada Indonesia yang tepat. Berdasarkan nilai substitusi impor, Indonesia dan India akan bersaing di pasar MEE, sementara Indonesia dan Malaysia akan bersaing di pasar Amerika Serikat dan Singapura. Nilai elastisitas substitusi impor antara Indonesia dan Malaysia di pasar Singapura bernilai relatif besar, meskipun tidak elastis. Hal ini berimplikasi bahwa Indonesia perlu memperhatikan lebih serius perkembangan harga lada Malaysia di pasar Singapura. Hasyim (1986) melakukan penelitian mengenai kedudukan komoditi lada Indonesia di pasar internasional. Dalam penelitian ini tidak dibedakan jenis lada nya; lada putih atau lada hitam. Model yang digunakan untuk menjelaskan pasar lada dunia adalah model persamaan simultan kuadrat terkecil dua tahap (two stage least square-2SLS). Daya saing lada Indonesia di pasar internasional menggunakan indikator elastisitas substitusi impor bagi negara-negara pengimpor lada. Pasar impor dunia dibagi dalam empat kelompok, yaitu Amerika, Eropa Barat, Eropa Timur, dan Asia-Afrika-Pasifik. Negara pengekspor yang dianalisis adalah Indonesia, Malaysia, Brazil, India, dan negara produsen lainnya. Variabel-variabel eksogen (independen) dalam model penawaran ekspor yang dibangun adalah harga lada dunia yang dideflasi dengan indeks harga (wholesale price) Amerika Serikat pada tahun dasar 1973, jumlah produksi lada negara yang melakukan penawaran ekspor tahun lalu (t-1), areal produktif tanaman lada negara yang melakukan penawaran ekspor, jumlah curah hujan tahunan di negara yang melakukan penawaran ekspor (khusus untuk model penawaran ekspor Indonesia), jumlah stok lada negara yang melakukan penawaran ekspor pada periode dua tahun yang lalu (khusus untuk model penawaran ekspor Indonesia), laju ekspor efektif lada negara yang melakukan penawaran ekspor (khusus untuk model penawaran ekspor Indonesia), pendapatan per kapita penduduk negara yang melakukan penawaran ekspor, dan jumlah penduduk negara yang melakukan penawaran ekspor. Sementara itu, variabel-variabel eksogen (independen) dalam model permintaan impor yang dibangun yaitu harga lada dunia yang dideflasi dengan indeks harga (wholesale price) Amerika Serikat pada tahun dasar 1973, pendapatan per kapita penduduk negara yang melakukan permintaan impor, jumlah penduduk negara yang melakukan permintaan impor, dan jumlah stok lada negara yang melakukan permintaan impor pada periode dua tahun yang lalu (khusus untuk model permintaan impor Amerika Serikat).
15 Hasil penelitian ini menunjukkan: 1) peubah-peubah yang berpengaruh terhadap penawaran ekspor lada Indonesia adalah harga lada dunia, produksi lada tahun lalu, luas areal, curah hujan, laju ekspor efektif, dan pendapatan perkapita; 2) penawaran ekspor lada nonIndonesia sangat dipengaruhi oleh jumlah produksi kelompok negara produsen selain dari Indonesia, luas tanaman lada nonIndonesia, dan pendapatan per kapita di luar Indonesia; 3) permintaan impor lada Amerika Serikat hanya dipengaruhi oleh besarnya stok lada yang tersedia; 4) permintaan impor lada nonAmerika Serikat dipengaruhi oleh harga lada dunia; 5) dalam perdagangan lada internasional, lada Indonesia ternyata berkomplemen dengan Malaysia di wilayah pasar Amerika dan Eropa Timur; 6) Ekspor lada Indonesia dan India bersaing pada seluruh wilayah pasar; 7) persaingan dengan Brazil terjadi di pasaran Eropa Barat dan Asia-Afrika-Pasifik; dan 8) Ekspor lada kelompok negara produsen lain tidak menunjukkan persaingan yang kuat dengan ekspor lada Indonesia. Hendayana dan Darwis (1998) melakukan analisis pangsa pasar lada hitam Indonesia di wilayah pertumbuhan utara (Indonesia, Malaysia, Thailand) dan di pasar lada dunia. Analisis yang digunakan adalah analisis pangsa pasar dengan Partial Adjustment Model (PAM). Variabel-variabel eksogen (independen/bebas) pada model empiris yang dibangun yaitu tingkat harga lada domestik di negara yang bersangkutan, nisbah harga lada dari negara yang bersangkutan terhadap harga lada dunia, waktu berlangsungnya kegiatan ekspor (data series), dan lag pangsa pasar ekspor lada hitam. Sementara itu, sebagai variabel endogen (dependen) nya adalah pangsa ekspor lada dari negara yang bersangkutan terhadap ekspor lada dunia. Hasil analisisnya adalah: (1) pada periode 1986-1996 pangsa ekspor lada Indonesia cenderung meningkat dan hal ini tidak terlepas dari kinerja ekspor lada tahun sebelumnya; (2) pangsa ekspor lada Indonesia mempunyai korelasi yang positif dengan nisbah harga lada di pasar dunia, meskipun tidak nyata secara statistik; (3) koefisien elastisitas pangsa pasar terhadap nisbah harga lada dunia pada persamaan Indonesia relatif kecil dibanding Thailand dan Malaysia, baik dalam jangka pendek, maupun jangka panjang, yakni sekitar 0.07 dan 0.013, yang berarti perubahan harga lada dunia terhadap pangsa ekspor lada Indonesia tidak elastis, atau daya saing lada Indonesia di pasar dunia berada di bawah Malaysia dan Thailand; (4) proses penyesuaian terhadap perubahan harga di pasar dunia lebih cepat di Indonesia, diikuti Malaysia dan Thailand. Hal ini menunjukkan bahwa efisiensi mekanisme pasar lada Indonesia berada di atas Malaysia dan Thailand; dan (5) untuk meningkatkan perolehan devisa dari perdagangan lada diperlukan upaya untuk meningkatkan daya saing lada hitam Indonesia antara lain melalui peningkatan kualitas.
Pasar dan Daya Saing Komoditi Lainnya Penelitian Suprihatini (2005) mengenai daya saing ekspor teh Indonesia di pasar teh dunia, menggunakan pendekatan Constant Market Share (CMS) seperti yang digunakan Tyers et al. Model CMS tersebut terdiri atas empat komponen, yaitu (1) pertumbuhan standar, (2) pengaruh komposisi komoditas, (3) pengaruh distribusi pasar, dan (4) pengaruh persaingan. Analisis dengan model CMS ini
16 menghasilkan kesimpulan bahwa pertumbuhan ekspor teh Indonesia jauh di bawah pertumbuhan ekspor teh dunia, bahkan mengalami pertumbuhan yang negatif. Negara-negara pengekspor teh, selain Indonesia, yang dianalisis pertumbuhan ekspor nya antara lain Vietnam, Cina, Bangladesh, Jerman, India, Jepang, Kenya, Sri Lanka, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat. Jepang adalah negara dengan pertumbuhan ekspor paling tinggi. Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Emirat Arab merupakan negara importir teh curah, namun negara-negara tersebut mampu mendapatkan nilai tambah dengan mengolah sebagian dari teh curah yang diimpornya dan mengekspornya kembali dalam bentuk produk-produk hilir teh. Selain itu, negara-negara ini juga mampu mereekspor sebagian kecil dari teh curah yang telah diimpornya karena memiliki jaringan perdagangan teh yang kuat. Oleh sebab itu, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Emirat Arab dimasukkan dalam analisis pasar teh sebagai negara-negara pengekspor berbagai jenis dan produk teh dunia, sekaligus sebagai negara-negara pengimpor teh curah. Adapun, negara-negara tujuan ekspor, yang dianalisis adalah Kanada, Perancis, Jerman, Jepang, Polandia, Federasi Rusia, Inggris, Amerika Serikat, dan sisanya. Pertumbuhan ekspor teh Indonesia yang jauh di bawah pertumbuhan ekspor teh dunia disebabkan karena: (1) komposisi produk teh yang diekspor Indonesia kurang mengikuti kebutuhan pasar (angka komposisi komoditas teh Indonesia bertanda negatif: -0.032); (2) negara-negara tujuan ekspor teh Indonesia kurang ditujukan ke negara-negara pengimpor teh yang memiliki pertumbuhan impor teh tinggi (angka distribusi bertanda negatif: -0.045); dan (3) daya saing teh Indonesia di pasar teh dunia masih lemah (angka faktor persaingan bertanda negatif: -0.211). Untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor teh Indonesia, diperlukan upaya peningkatan komposisi produk teh melalui peningkatan ekspor teh Indonesia dalam bentuk produk-produk hilir dan teh hijau curah. Selain itu, diperlukan pula upaya peningkatan pengaruh distribusi pasar. Pada aspek daya saing, posisi daya saing teh Indonesia lebih lemah dibandingkan negara-negara produsen teh lainnya, kecuali Bangladesh. Kustiari (2007) melakukan identifikasi daya saing ekspor kopi Indonesia, identifikasi struktur pasar kopi dunia, analisis integrasi harga antara pasar domestik dan internasional, dan analisis permintaan impor kopi Indonesia. Untuk mengidentifikasi daya saing negara-negara pengekspor kopi berdasarkan perubahan ekspor nya digunakan model CMS (Constant Market Share), sementara identifikasi struktur pasar kopi dunia (kekuatan pasarnya) dilakukan dengan menggunakan model penghargaan untuk pasar dan pemimpin harga (model triopoli dan model triopsoni). Keterkaitan harga di tingkat produsen, pasar domestik, pengekspor, dan di tingkat dunia dianalisis dengan model VECM. Dalam menganalisis permintaan produk kopi Indonesia di pasar dunia digunakan model perdagangan umum Armington. Negara yang melakukan perdagangan dibagi dalam enam kelompok. Pengekspor adalah Brazil, ROW1 (Vietnam, Kolombia, dan Indonesia), dan ROW2 (Guatemala, Peru, India, Ethiopia, Uganda, Honduras, Pantai Gading, dan Mexico). Sedangkan negara pengimpor adalah Uni Eropa (Jerman, Italia, Perancis, Spanyol, Belgia, Inggris, Belanda, Denmark, Portugal, Swedia, Yunani, Finlandia, dan Asutria), Amerika Serikat, dan ROWIM (Jepang, Rusia, Kanada, Polandia, Aljeria, Korea, dan Swiss).
17 Model CMS yang digunakan dalam penelitian ini mengikuti model CMS oleh Chen dan Duan (1999), yang juga digunakan oleh Susilowati dalam penelitiannya: Dinamika Daya Saing Lada Indonesia. Model penawaran dan permintaan yang dibangun dalam penelitian ini antara lain: (1) permintaan kopi di tiga negara pengimpor, (2) penawaran ekspor dari pengekspor pesaing, (3) permintaan impor yang dihadapi Brazil, (4) penawaran ekspor kopi dunia, (5) permintaan oleh negara pengimpor lainnya, dan (6) permintaan impor kopi dari Uni Eropa. Variabel-variabel eksogen (independen) dalam model permintaan kopi di tiga negara pengimpor yang dibangun yaitu harga kopi di pasar dunia, harga teh (komoditi substitusi), harga cokelat (komoditi substitusi), variabel identifikasi kekuatan pasar (Pwko*T; T merepresentasikan perubahan cita rasa dan kewaspadaan terhadap kesehatan yang dapat mempengaruhi konsumsi kopi), dan pendapatan negara pengimpor. Sementara itu, variabel-variabel eksogen dalam model penawaran ekspor dari pesaing yang dibangun yaitu harga kopi komposit, harga kopi “mild” kolombia (sebagai substitusi), nilai tukar, suku bunga, stok, pendapatan negara pengekspor. Adapun variabel-variabel eksogen pada model-model lainnya yaitu: (1) model penawaran ekspor kopi dunia: harga dunia, harga kopi “mild” Kolombia (sebagai substitusi), stok, pendapatan, dan variabel yang mengidentifikasi perbedaan antara keseimbangan pasar persaingan sempurna dan triopsoni jika fungsi penawaran ekspor bergeser (PwkoW*T); (2) model permintaan oleh negara pengimpor lainnya: harga kopi, harga cokelat (komoditi substitusi), harga teh (komoditi substitusi), stok, pendapatan, dan variabel tren waktu untuk merepresentasikan perubahan cita rasa dan kewaspadaan akan kesehatan (T); serta (3) model permintaan impor kopi dari Uni Eropa: harga kopi di Uni Eropa, harga cokelat (komoditi substitusi), harga teh [digunakan peubah beda kala/lag] (komoditi substitusi), stok, dan pendapatan. Variabel-variabel yang dimasukkan dalam model VECM: (1) untuk analisis keterkaitan harga di tingkat produsen dan harga dunia yaitu harga produsen, harga dunia, peubah dummy kuota, peubah dummy bencana frost, dan peubah dummy depresiasi; dan (2) untuk analisis keterkaitan harga di tingkat produsen, pasar domestik, pengekspor, dan harga dunia yaitu harga di tingkat petani, harga di pasar domestik, harga di tingkat pengekspor, dan harga di pasar dunia. Sementara itu, variabel-variabel pada model Armington yaitu pangsa impor (nilai) dari negara j di negara i (variabel dependen), harga kopi dari negara j di negara i (variabel independen), indeks harga kopi di negara i (variabel independen), dan total nilai impor kopi di negara i (variabel independen). Hasil penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan, yaitu: 1) kinerja ekspor kopi Indonesia lebih baik pada masa pasar bebas, dibandingkan dengan pada saat diberlakukannya sistem kuota oleh ICO (1986-1989). Ekspor Indonesia tampak terkonsentrasi di pasar-pasar dengan pertumbuhan yang relatif lambat; 2) posisi daya saing ekspor Indonesia berada pada urutan pertama: hasil analisis CMS perubahan volume ekspor periode 2000-2004, dan urutan ketiga: hasil dekomposisi nilai ekspor, yang artinya dalam jangka pendek perlu prioritas utama dalam hal peningkatan mutu, serta upaya peningkatan produktivitas untuk jangka panjang; 3) struktur pasar kopi dunia mengarah ke pasar persaingan sempurna (hasil analisis model penghargaan untuk pasar). Pangsa pasar Brazil (pengekspor) dan Uni Eropa (pengimpor) yang relatif besar tidak membuat masing-masing
18 negara tersebut menjadi pemimpin harga di pasar kopi internasional; 4) harga kopi biji di tingkat petani (baik robusta, maupun arabika), terintegrasi dengan harga di pasar internasional. Perubahan harga di pasar dunia ditransmisikan ke harga di tingkat petani secara simetri. Harga kopi robusta menyesuaikan ke keseimbangan jangka panjang relatif lambat karena harga kopi robusta lebih fluktuatif dibandingkan dengan harga kopi arabika, sehingga risiko perubahan dalam perdagangan kopi robusta lebih tinggi dibandingkan arabika. 5) permintaan kopi biji Indonesia di pasar Amerika Serikat, Perancis, dan Italia bersifat sangat elastis. Permintaan kopi arabika Indonesia di Italia dan permintaan kopi robusta Indonesia di Amerika Serikat, Jerman, Jepang, dan Singapura bersifat elastis. Amerika Serikat adalah pasar yang potensial untuk meningkatkan ekspor kopi robusta, sedangkan Italia adalah pasar yang prospektif untuk meningkatkan volume ekspor kopi arabika (berdasarkan pangsa pasar yang cenderung meningkat di pasar yang tumbuh relatif cepat dan permintaan yang bersifat elastis); dan 6) permintaan impor kopi sangrai Indonesia di Jepang, Malaysia, Kanada, Perancis, dan Inggris bersifat elastis. Permintaan kopi terlarut Indonesia di Jepang, Malaysia, dan Rusia juga elastis. Hanya di Malaysia yang pangsa pasarnya cenderung meningkat, serta pertumbuhan permintaan impornya relatif cepat, sehingga Indonesia berpeluang untuk meningkatkan ekspor kopi sangrai dan kopi terlarut, pada jangka pendek, ke negara tersebut. Rifin (2010) menganalisis posisi minyak kelapa sawit Indonesia di pasar dunia dengan membangun persamaan permintaan dua-tahap (two stage demand equation). Persamaan pertama menganalisis permintaan dunia tanpa mempertimbangkan sumber produknya. Sementara itu, persamaan kedua menganalisis permintaan dunia dengan mempertimbangkan sumber produknya menggunakan pendekatan AIDS (the Almost Ideal Demand System). Negara sumber impor yang dianalisis adalah Indonesia, Malaysia, dan ROW (Rest of the World). Variabel-variabel pada persamaan permintaan tahap pertama yaitu world import (variabel dependen), real world palm oil price (variabel independen), real palm oil substitute price (variabel independen), dan real world GDP per capita (variabel independen). Sedangkan variabel-variabel pada persamaan permintaan tahap kedua (model AIDS) yaitu share of import source in the world market (variabel dependen), price of palm oil (variabel independen), expenditure (variabel independen), dan corrected stone price index (variabel independen). Hasil analisisnya menunjukkan bahwa peningkataan permintaan minyak kelapa sawit dunia, pada umumnya, disebabkan oleh peningkatan pendapatan dunia. Selain itu, produk-produk minyak kelapa sawit dari Indonesia dan Malaysia lebih ke saling berkomplemen, dari pada bersaing. Oleh sebab itu, Indonesia dan Malaysia seharusnya bekerjasama dalam rangka untuk meningkatkan permintaan minyak kelapa sawit dunia di masa yang akan datang.