TINJAUAN PUSTAKA
Sistem Kompensasi dan Gaji Pokok Tujuan utama dari sistem kompensasi adalah menyelaraskan tujuan dan keinginan karyawan dengan tujuan dan keinginan organisasi (Heneman, 2001). Keinginan organisasi, misalnya, adalah memiliki karyawan yang berpikir dan berperilaku seperti pemilik bisnis. Untuk hal-hal pokok seperti tujuan organisasi dan penghargaan untuk setiap pencapaian perlu diketahui semua karyawan melalui strategi korporat yang membantu menentukan tujuan yang diraih karyawan dan sistem kompensasi yang menghubungkan upaya karyawan meraih tujuan tersebut. Selanjutnya Heneman menjelaskan bahwa sistem kompensasi sebaiknya dirancang sesuai strategi bisnis guna mendukung kinerja organisasi secara efektif. Pernyataan Henneman ini mendukung apa yang sudah dijelaskan oleh Berger (1994), bahwa organisasi dengan strategi bisnis berbeda memerlukan strategi pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda pula. Strategi pengelolaan SDM ini termasuk di dalamnya adalah strategi kompensasi. Penyelarasan strategi kompensasi ini dilakukan dengan mempertimbangkan strategi bisnis, perencanaan strategis operasional dan nilai-nilai organisasi dengan pertimbangan tuntutan (konstrain) yang ada. Beberapa pilihan strategi pengelolaan sumberdaya sebagai daya saing dalam menghasilkan produk atau jasa yang akan mempengaruhi pilihan strategi kompensasi selanjutnya diuraikan oleh Heneman sebagai berikut : a. Strategi Pelayanan Pelanggan Perusahaan yang
menggunakan strategi ini
mencoba untuk
menghasilkan keunikan produk atau jasanya melalui fokus pada faktor-faktor utama pelayanan pelanggannya, seperti pelayanan secara fisik dan keandalan produk atau jasa yang diberikan. Pelayanan pelanggan yang baik dapat didefinisikan dalam berbagai faktor. Salah satunya adalah berupa wujud dari pelayanan yang diterima oleh pelanggan melalu tenaga pelayanan pelanggannya,
7
seperti tanggapan yang cepat, keramahan dan sikap tubuh yang bersahabat. Faktor lain misalnya adalah keandalan dari produk atau jasa yang diberikan, dikaitkan dengan tingkat pemenuhan atas kualitas yang diminta oleh pelanggan, pada kegiatan bisnis yang berulang.
b. Strategi Kualitas Perusahaan berkompetisi dengan basis kualitas produk atau jasa. Dalam hal ini, pendekatan Total Quality Management (TQM) sering digunakan bersama dengan aktivitas pengendalian proses (Statistical Process Control), aktivitas komunikasi dengan pelanggan perihal pemenuhan kebutuhan, aktivitas perencanaan proses bisnis terhadap sasaran-sasaran mutu, dan aktivitas proses pengambilan keputusan. Dengan menggunakan Statistical Process Controll (SPC) atau pengendalian proses secara statistik perusahaan dapat mengukur seberapa baik kwalitas produk atau jasa yang mereka hasilkan atau bilamana produk tersebut gagal memenuhi spesifikasi yang sudah ditetapkan, untuk kemudian dilakukan tindakan koreksi atau perbaikan. Dengan menjalin komunikasi yang rutin, perusahaan dapat memastikan kebutuhan pelanggannya terpenuhi. Melalui rekayasa perusahaan dapat memastikan bilamana proses bisnis sejalan dengan sasaran-sasaran mutu yang ditetapkan. Melalui proses pengambilan keputusan, perusahaan dapat mendapat masukan langsung dari karyawan yang berhubungan langsung dengan pelanggan sehingga situasi yang muncul dapat dengan cepat ditanggapi.
c. Strategi Inovasi dan Waktu Produk atau jasa hasil inovasi yang berkelanjutan dari suatu perusahaan
tidak
dengan
mudah
ditiru
pesaing,
sehingga
kecenderungan lamanya waktu untuk meniru juga lama. Upaya ini
8
menuntut kemampuan perusahaan untuk melakukan pembelajaran dalam melakukan inovasi secara berkelanjutan. Ketika inovasi tercipta, tidak menjamin keunggulan bersaing dimiliki selamanya. Disamping itu, gagasan yang baik harus bisa dihantarkan ke pasar secara cepat. Perusahaan perlu memiliki kemampuan untuk melakukan inovasi secara terus menerus. Beberapa hal harus dipersiapkan terlebih dahulu. Pertama, harus ada sistem yang ditetapkan untuk proses pengembangan produk atau jasa. Misalnya, dibentuknya tim lintas fungsi untuk melakukannya. Kedua, harus ada sistem
yang
memungkinkan
perusahaan
melakukan
alih
pengetahuan. Dalam hal ini proses pembelajaran pada suatu bagian di perusahaan dapat diteruskan ke bagian lain di perusahaan tersebut. Beberapa perusahaan, seperti General Electric misalnya, mempunyai Chief Learning Officer yang bertanggung jawab untuk memastikan proses alih pengetahuan ini berjalan dengan baik. Ketiga, pengetahuan harus dilembagakan sehingga dapat digunakan secara berulang.
d. Strategi Produktivitas Strategi ini mengupayakan peningkatan produk atau jasa yang dihasilkan (output) dan menurunkan jumlah sumber daya manusia yang digunakan untuk menghasilkan produk atau jasa tersebut (input). Peningkatan output berarti peningkatan kualitas produk/jasa, penurunan input berarti peningkatan kompetensi SDM untuk lebih produktif. Output dapat ditingkatkan dengan menghasilkan produk atau jasa yang lebih berkualitas, sementara input dapat diturunkan dengan mengurangi jumlah orang yang terlibat dalam produksi produk atau jasa tersebut. Upaya menurunkan jumlah SDM yang dibutuhkan dalam proses produksi, perlu upaya peningkatan kompetensi SDM sehingga karyawan memiliki kemampuan untuk bekerja lebih produktif dan mengembangkan cara-cara yang lebih efisien dalam menghasilkan produk atau jasa
9
e. Strategi Biaya Cara umum dan mudah ditiru ini mengupayakan penurunan biaya untuk menghasilkan peningkatan jumlah pelanggan. Hal ini mengakibatkan, perusahaan dapat terjebak pada kondisi perang harga yang berdampak pada penurunan kualitas produk atau jasa.
f. Strategi Keuangan Dengan memanfaatkan secara lebih produktif aset yang ada melalui model Economic Value Added (EVA), strategi ini mengupayakan perusahaan menghasilkan pengembalian aset yang diinvestasikan dibanding alternatif investasi lain.
g. Strategi Human Capital Cara pandang bahwa karyawan adalah aset untuk menghasilkan pendapatan bagi perusahaan memiliki hubungan yang positif dengan kinerja keuangan dan tingkat kepuasan pelanggan. Semakin banyak temuan yang menunjukkan bahwa iklim kekaryawanan di sebuah perusahaan ternyata memiliki hubungan yang positif dengan kinerja keuangan perusahaan tersebut. Disamping itu, juga ditemukan bahwa sikap karyawan dalam bekerja memiliki hubungan yang positif pula dengan tingkat kepuasan pelanggan. Kondisi ini mengarah pada kenyataan bahwa tingkat kepuasan pelanggan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan pertumbuhan pendapatan perusahaan.
h. Balanced Scorecard Perspektif terhadap penggunaan lebih dari satu strategi bersaing memungkinkan sebuah perusahaan memberikan penekanan berbeda tergantung pada situasi persaingan saat itu. Pendekatan ini disebut dengan Balanced Scorecard. Pendekatan ini juga memungkinkan terbentuknya kombinasi yang relatif unik dibandingkan dengan pesaing yang ada.
10
Pilihan strategi bisnis akan mempengaruhi perilaku dari organisasi (Gibson et al, 2000). Perilaku organisasi ini tercermin dari keputusan-keputusan yang dibuat oleh manajemen dan tindakan atau respon yang dilakukan oleh karyawan terhadap keputusan dimaksud atau terhadap cara atau proses keputusan itu dibuat. Salah satu keputusan penting yang sangat mempengaruhi perilaku organisasi adalah keputusan tentang sistem kompensasi. Menurut Case (2001) di era informasi dan pengetahuan sekarang ini dimana informasi tentang gaji sangat sulit untuk dirahasiakan, maka manajemen perlu lebih berhati-hati di dalam menyusun kebijakan dan sistem kompensasi agar tidak menimbulkan kontraproduktif di kalangan karyawan. Di samping itu manajemen perlu untuk meningkatkan inovasi dan kreativitasnya di dalam penyusunan kebijakan dan sistem kompensasi agar perusahaan mampu mempertahankan orang-orang terbaiknya dan bahkan mampu menarik talentatalenta unggul dari luar untuk mau bergabung dengan perusahaannya. Pendapat Case dikaitkan juga dengan teori internal equity. Menurut teori ini seorang karyawan memiliki kecenderungan untuk membandingkan dirinya dengan orang lain yang dianggap pantas untuk sebanding dengan dirinya. Adapun aspek yang dibandingkan adalah rasio dari outcomes (hasil) dengan input (masukan). Outcomes adalah segala sesuatu yang dia terima dari perusahaan. Segala sesuatu ini dapat berupa gaji, tunjangan-tunjangan, insentif, bonus, status, kebanggaan dan lain sebagainya. Sedangkan input adalah segala sesuatu yang dia bawa ke perusahaan, mencakup pendidikan, pengalaman, kompetensi, energi semangat dan lain sebagainya. Apabila seorang karyawan merasa rasio outcomes terhadap input-nya lebih besar atau sama dengan pembanding yang dia tetapkan, maka dia akan merasa perusahaan berlaku adil kepadanya. Tetapi apabila terjadi hal yang sebaliknya, dimana rasio outcomes terhadap input-nya lebih kecil dibandingkan dengan pembanding yang dia tetapkan, maka dia akan merasa sedang diperlakukan tidak adil oleh perusahaan. Dalam situasi seperti ini, setiap karyawan biasanya berusaha untuk mendapatkan keadilan internal (internal equity) dari perusahaan.
11
Keinginan untuk mendapatkan keadilan internal ini biasanya dimulai dengan berupaya untuk mendapatkan outcomes yang lebih besar. Caranya adalah dengan berdialog dengan atasan langsung, bagian sumberdaya manusia atau pihak-pihak yang menurutnya akan berpengaruh atas keputusan peningkatan outcomes yang akan diterimanya. Apabila upaya ini tidak berhasil, maka biasanya karyawan memilih untuk mengurangi input yang diberikannya ke perusahaan. Perilaku yang muncul bisa dengan mengurangi jam kerja efektifnya, sering mangkir, apatis dan perilaku-perilaku lainnya yang bisa sangat merugikan perusahaan. Pilihan terakhir bagi seorang karyawan untuk memperjuangkan rasa keadilannya adalah keluar dari perusahaan. Dalam hal ini perusahaan kehilangan aset paling berharga yang sudah dibina mungkin selama beberapa tahun. Christensen dan Raynor (2003) menjelaskan bahwa peran senior manejemen dalam hal inovasi; termasuk inovasi sistem kompensasi; ini sangatlah penting. Peran pertama adalah untuk berdiri diantara kenyamanan situasi bisnis saat ini dengan keberanian untuk keluar dari zona tersebut, serta kemudian memutuskan mana yang perlu dirubah dan mana yang tidak. Peran kedua adalah menciptakan mesin perubahan dan memastikan setiap individu mendukung rencana perubahan tersebut. Peran ketiga menurut Christensen adalah memastikan organisasi senantiasa peka terhadap perubahan dan secara terus-menerus memotivasi organisasi untuk melakukan perubahan baru sesuai kebutuhannya. Sejalan dengan itu Ross (2003) menyatakan bahwa salah satu nilai yang paling berharga dari seorang pimpinan perusahaan adalah kemampuannya untuk melakukan pembaharuan yang mempertimbangkan tren masa depan. Begitupun Dotlich dan Cairo (2003) memperkuat argumen tersebut dengan menyatakan bahwa salah satu penyebab gagalnya seorang pemimpin dalam era sekarang ini adalah terlalu arogan dan tidak peka dengan lingkungannya yang berubah. Pengembangan dan transformasi organisasi sepertinya sudah menjadi perjalanan tiada henti yang harus ditempuh oleh semua organisasi. Menurut
12
Cummings dan Worley (2001) para manajer sebaiknya memiliki pendekatan yang sistematis dalam melakukan pengembangan dan perubahan organisasinya. Pandangan ini memperkuat temuan Kotter (1998) yang mengatakan bahwa salah satu penyebab gagalnya transformasi organisasi adalah tidak adanya perencanaan yang sistematis atas kemenangan-kemenangan jangka pendek. Di samping itu Kotter juga menemukan bahwa kurangnya rasa sence of urgency untuk berubah, menjadi penyebab lain dari gagalnya transformasi. Menurut Wilson (2003) inovasi sistem kompensasi penting sekali untuk dilakukan pada situasi kerja yang sedang melakukan perubahan, karena perubahan
seringkali
membawa
ketidaknyamanan
bagi
karyawan.
Ketidaknyamanan ini perlu distimulasi dengan sistem kompensasi yang mendukung
arah
dan
kebijakan
perusahaan
sesuai
perubahan
yang
direncanakan. Perubahan pada sistem kompensasi biasanya akan mempengaruhi sub-sistem lain dari organisasi. Karena secara keseluruhan organisasi ada untuk mencapai tujuan tertentu, maka perilaku para anggotanya dapat dijelaskan sebagai pengejaran rasional terhadap tujuan tersebut. Dalam hal ini Robbins (2001) memberikan teorinya bahwa organisasi terdiri dari kelompok-kelompok yang masing-masing mencoba untuk memuaskan kepentingannya sendiri. Kelompok-kelompok
tersebut
menggunakan
kekuasaan
mereka
untuk
mempengaruhi distribusi sumberdaya dalam organisasi. Menyeimbangkan kebutuhan karyawan sebagai suatu kelompok dan kemampuan perusahaan yang diwakili oleh manajemen pada kelompok lainnya menjadi tantangan sendiri dalam aspek kompensasi. Pilihan-pilihan yang dibuat oleh manajemen sebaiknya menumbuhkan kepercayaan yang tinggi dari anggota organisasi, agar dukungan optimal dapat diperoleh sebagai konsekuensinya. Menurut Covey (2006), tingkat kepercayaan akan berhubungan dengan kecepatan dan biaya yang ditanggung oleh organisasi. Apabila kepercayaan tinggi, maka kecepatan organisasi akan meningkat dan biaya yang ditimbulkan akan rendah. Sedangkan bila tingkat kepercayaan rendah, maka kecepatan organisasi akan berkurang dan organisasi akan terjebak pada biaya tinggi.
13
Sementara itu menurut Krames (2003), seorang pemimpin perusahaan harus mampu menciptakan budaya berkinerja tinggi yang didukung oleh kemampuan belajar organisasi. Budaya berkinerja tinggi ini juga memerlukan dukungan dari sistem organisasi, tidak terkecuali sistem kompensasi. Sistem kompensasi sendiri oleh Berger & Berger (2000) dikelompokkan ke dalam empat komponen utama, yaitu Base Pay (Gaji Pokok), Benefit (Manfaat dan Tunjangan), Short Term Incentive (Insentif Jangka Pendek) dan Long Term Incentive (Insentif Jangka Panjang). Gaji pokok merupakan komponen utama dari sebuah sistem kompensasi yang dibayarkan secara tetap setiap satu kurun waktu tertentu yang disepakati antara pemberi kerja dan pekerja. Sementara itu manfaat dan tunjangan merupakan tambahan kenikmatan yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya, dapat berupa uang tunai atau dapat pula dalam bentuk kemanfaatan non tunai, seperti cuti, kupon bensin, pulsa telepon, asuransi, kendaraan, rumah, dan lain sebagainya. Adapun insentif merupakan stimulus yang diberikan oleh pemberi kerja kepada pekerjanya dengan tujuan untuk mendorong kinerja, baik jangka pendek maupun jangka panjang. Pemberian kompensasi kepada karyawan merupakan kewajiban dan upaya perusahaan untuk memenuhi kebutuhan dari karyawannya. Menurut Covey (2004) karyawan sebagai manusia memiliki 4 (empat) kebutuhan yang ingin dia puaskan dari waktu ke waktu, yaitu kebutuhan body (fisik) untuk hidup, kebutuhan mind (pikiran) untuk tumbuh dan berkembang, kebutuhan heart (perasaan) untuk membangun hubungan yang lebih kuat dan kebutuhan spirit (jiwa) untuk berkontribusi dan meninggalkan warisan. Semakin baik karyawan merasa kebutuhannya dipenuhi, semakin tinggi pula komitmen karyawan pada perusahaannya. Manajemen dihadapkan pada pilihan-pilihan di dalam menerapkan sistem kompensasi ini guna memenuhi kebutuhan karyawan tersebut. Apabila dikaitkan dengan pilihan-pilihan yang dibuat oleh manusia setiap harinya, Covey (2006) menyebutkan bahwa sadar atau tidak kita dihadapkan pada choice of act (pilihan bertindak), choice of purpose (pilihan atas tujuan) dan choice of principle (pilihan atas prinsip). Dalam konteks sistem kompensasi, pilihan atas prinsip keadilan biasanya menjadi pertimbangan yang
14
utama. Rasa keadilan yang ditimbulkan oleh sistem kompensasi yang diberikan akan mendorong komitmen karyawan dalam memberikan kontribusi terbaiknya kepada organisasi. Zender (2001) menjelaskan bahwa kesempatan yang sama yang diberikan kepada para konsultan mereka untuk memperoleh penghasilan sesuai dengan perilaku mereka di dalam organisasi, telah membuat kinerja mereka tumbuh secara baik dan turn over konsultan yang sangat rendah. Pemberian sistem kompensasi total menurut Chingos (2002) harus mempertimbangkan 3P, yaitu Pay for Position (kompensasi atas posisi), Pay for Person (kompensasi atas orang), dan Pay for Performance (kompensasi atas kinerja). Kompensasi atas posisi dan atas orang biasanya mempengaruhi komponen gaji pokok dan manfaat atau tunjangan yang diberikan. Sedangkan kompensasi atas kinerja biasanya mempengaruhi insentif jangka pendek atau insenstif jangka panjang. Menurut Ellis et al, (2004) kombinasi pemberian kompensasi kepada karyawan berkorelasi dengan produktivitas karyawan di dalam organisasi. Selanjutnya Ellis menjelaskan teorinya mengenai peningkatan produktivitas kompensasi dengan menggunakan sistem penilaian kerja strategik. Sementara itu Sallie (2004) juga menyatakan bahwa salah satu tantangan utama di dalam sistem kompensasi adalah mendapatkan internal equity (rasa keadilan internal). Smith dan Mazim (2004) lebih jauh menjelaskan bahwa perasaan karyawan atas kompensasi yang diterimanya merupakan sinyal kuat atas keputusan penting yang akan dibuat oleh karyawan tersebut berkaitan dengan masa depannya di organisasi tersebut. Meskipun kompensasi bukanlah alasan nomor satu dari keluarnya seorang karyawan dari organisasi, namun pada setiap survey karyawan selalu saja ditemukan ruang untuk perbaikan dari aspek ini.
Gaji Pokok dan Evaluasi Jabatan Gaji pokok biasanya ditetapkan dengan menghitung nilai jabatan terlebih dahulu. Nilai jabatan diperoleh melalui proses evaluasi jabatan, yakni serangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis untuk menentukan nilai
15
relatif suatu jabatan terhadap jabatan-jabatan lainnya yang ada di dalam suatu organisasi. Beberapa metode yang biasa dilakukan dalam proses evaluasi jabatan adalah metode ranking, metode grading (classification) dan metode point system (Berger & Berger, 2000). Menurut Sushil (2009), metode ranking adalah metode yang paling mudah dan sederhana. Setiap jabatan yang ada diranking berdasarkan tingkat kepentingannya di dalam organisasi, yang mencerminkan nilai relatif dari jabatan tersebut dibandingkan dengan jabatan lain yang ada di organisasi tersebut. Kelemahan dari metode ranking adalah ketidakmampuannya membedakan jarak antar ranking. Kita tidak bisa mengetahui apakah jarak antara ranking 1 (satu) ke ranking 2 (dua) sama atau tidak dengan jarak antara ranking 2 (dua) ke ranking 3 (tiga) dan seterusnya. Disamping itu, metode ini tidak efektif untuk diterapkan pada perusahaan besar yang jumlah jabatannya lebih dari 30 (tiga puluh). Metode grading (classification) muncul untuk menjawab kebutuhan perusahaan yang jumlah jabatannya banyak. Dengan metode ini, jabatan-jabatan yang dianggap memiliki karakteristik yang sama dikelompok-kelompokkan kedalam kelas tertentu. Misalnya kelas general manager, kelas senior manager, kelas manager dan seterusnya. Metode yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode point system (sistem poin). Dengan metode ini setiap jabatan yang ada di dalam organisasi dapat ditentukan poinnya sebagai acuan nilai relatif dari jabatan tersebut terhadap jabatan lain yang ada. Poin nilai jabatan ini diperoleh dengan menetapkan faktor penting yang disebut sebagai compensible factor. Pada perusahaan-perusahaan besar yang jumlah jabatannya ratusan, seringkali metode grading dan point system dikombinasikan penerapannya. Secara konseptual, metode evaluasi jabatan juga dijadikan dasar dalam pertimbangan
nilai
kesetaraan
dan
menghilangkan
kesenjangan
upah
berdasarkan gender. Namun sejauh mana evaluasi jabatan tersebut bisa menjadi alat yang efektif untuk upah yang setara dalam organisasi saat ini mulai ditanggapi secara skeptis. Banyak peneliti telah melakukan kajian atas pro dan
16
kontra dari penggunaan evaluasi jabatan sebagai instrument keputusan utama dalam pemberian kompensasi.
Pro dan Kontra terhadap Evaluasi Jabatan Sejak diperkenalkan dan digunakan secara luas, sampai dengan saat ini banyak sekali studi yang membahas metode, kegunaan dan manfaat yang diberikan oleh proses evaluasi jabatan kepada organisasi. Muara dari studi tersebut adalah adanya pro dan kontra dengan argumentasi dan paradigma yang terus berkembang di dalamnya. Mahoney (1983) menyebutkan bahwa penggunaan istilah nilai relatif dalam evaluasi jabatan harus bisa menjawab tantangan dari aspek sosial dan aspek legal di dalam organisasi. Kita mengetahui bahwa pada masa itu banyak sekali praktek diskriminasi yang diberikan oleh perusahaan kepada pekerjanya, baik berupa jender ataupun ras. Sementara itu Ahmed (1989) menyebutkan bahwa evaluasi jabatan merupakan proses yang sistematik dalam menentukan nilai relatif jabatan di dalam organisasi. Beberapa pendekatan analitis kuantitatif diterapkan untuk mempelajari kompleksitas tugas, pendidikan yang diperlukan, tingkat supervisi yang dibutuhkan dan mental atau kebutuhan lain yang relevan dengan tugas pemangku jabatan untuk bisa menghasilkan kinerja secara efektif. Chang dan Kleiner (2002) menyebutkan bahwa sebagai suatu proses yang sistematik untuk memperoleh informasi yang valid, evaluasi jabatan harus mampu membantu manajemen dalam mengambil keputusan. Karena itu pendekatan sistematik ini harus didukung oleh kerjasama yang baik dari karyawan dan metode yang dapat diterima oleh fungsi SDM di dalam organisasi. Beberapa langkah yang disarankan Chang adalah (1) identifikasi dan isolasi komponen tugas dalam sebuah jabatan, (2) kaji bagaimana tugas dilaksanakan oleh pemangku jabatan, (3) identifikasi area penting tanggung jawab, (4) beri catatan lingkungan kerja yang dihadapi, menyangkut aspek fisik, sosial dan finansial, serta (5) identifikasi persyatatan yang harus dimiliki oleh pemangku jabatan untuk bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Proses yang
17
sama disajikan oleh Balderrama (2003) dalam publikasinya yang berjudul rediscovering job evaluation. Dengan memperhatikan konsep yang dilakukan Taber dan Peters (1991), menyebutkan bahwa akurasi dari proses evaluasi jabatan sangat ditentukan oleh kelengkapan informasi yang disajikan. Semakin lengkap informasi yang disajikan, semakin tinggi tingkat akurasi proses yang dilakukan oleh para analis. Pada tahun 1986, Levine melakukan penelitian terhadap metode analisa jabatan berbeda untuk kepentingan yang berbeda. Ada 7 (tujuh) metode evaluasi jabatan yang dipilih dalam penelitian ini, yaitu
critical incident technique
(teknik kejadian kritis), position analysis questionnaire (kuesioner analisa jabatan), job element method (metode unsur jabatan), ability requirement scales (skala persyaratan kemampuan), functional job analysis (analisa jabatan fungsional), task inventory-CODAP (kumpulan tugas-CODAP), threshold trait analysis (analisa persyaratan minimum). Metode-metode ini dipilih karena penggunaannya yang luas dan perbedaan kedalaman diantaranya. Metode yang berbeda dari analisa jabatan ternyata memberikan rating yang berbeda pada kepentingan yang berbeda. Misalnya untuk kepentingan job description (deskripsi jabtan), kombinasi metode task inventory dan functional job analysis memiliki rating yang paling tinggi. Sementara itu untuk kepentingan job classification (klasifikasi jabatan), disamping task inventory dan functional job analysis, position analysis questionnaire juga menunjukkan rating yang tinggi. Davis et al, (1991) menyebutkan bahwa metode pembobotan dapat dijadikan alternatif untuk memperkuat metode lainnya dalam implementasi. Sedangkan Skenes dan Kleiner (2003) menjelaskan bahwa metode evaluasi jabatan yang paling banyak digunakan saat ini adalah metode poin. Studi yang dilakukan oleh Wilde (1992) terhadap sebuah hypermarket (kulakan) besar yang memiliki puluhan gudang yang tersebar di seluruh daerah memberikan makna lain dari proses evaluasi jabatan. Perusahaan ini memiliki 29 (dua puluh Sembilan) departemen yang berbeda yang masing-masingnya membutuhkan spesialis tertentu. Jumlah karyawannya adalah sekitar 1.670 (seribu enam ratus tujuh puluh orang) sampai 1.820 (seribu delapan ratus dua
18
puluh orang) tergantung musim. Faktor yang disepakati sebagai compensable factor (faktor penentu kompensasi) adalah pendidikan dan pengetahuan dasar yang dibutuhkan, pengalaman, kompleksitas tugas, tanggungjawab pada material atau dampak dari kesalahan, kontak dengan pihak lain atau lingkungan kerja, kerahasiaan data, supervisi yang diterima dan tanggung jawab untuk melakukan supervisi. Wilde menyimpulkan bahwa manfaat dari evaluasi jabatan akan optimal jika metode yang digunakan adalah metode yang sudah dikenal, mudah dimengerti dan mudah diterapkan. Sejalan dengan ini Hornsby et al, (1994) melakukan kajian atas dampak dari sistem pengambilan keputusan terhadap metode evaluasi jabatan. Dalam hal ini Hornsby menyimpulkan bahwa keterlibatan karyawan dalam pemilihan metodologi akan memberikan tingkat kepercayaan dan keterterimaan lebih tinggi dibandingkan metode yang dipilih oleh manajemen dengan tidak melakukan pelibatan. Sementara itu Collins dan Muchinsky (1993) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) aspek yang perlu dipertimbangkan dalam evaluasi jabatan, yaitu keterampilan, tanggungjawab, upaya yang dituntut dan kondisi kerja. Meskipun demikian tidak ada batasan yang jelas terhadap keempat hal tersebut secara pasti, melainkan berupa judgment (pendapat subjektif) dari para evaluator yang selalu menimbulkan pertanyaan berkaitan dengan akurasinya. Terhadap aspek yang perlu dievaluasi, Buonasera (1994) kemudian mengembangkan beberapa kemungkinan metode skoring yang bisa digunakan. Kelemahan dari proses evaluasi jabatan yang ditemukan oleh Benson dan Hornsby (1988) adalah adanya pengaruh yang kuat dari politik kantor terhadap hasil evaluasi jabatan yang dilakukan oleh komite evaluasi. Pengaruh politik kantor ini sangat mungkin dimanfaatkan oleh orang yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi
orang
lain
dengan
pandangan-pandangan
yang
dirasionalkan melalui kemampuan komunikasi verbal. Montemayor dan Rose (1994) secara tegas menyatakan bahwa kajian yang bertujuan untuk memberikan rasa kesetaraan sebetulnya hanyalah mitos. Kejadian yang sesungguhnya adalah bahwa setiap proses evaluasi jabatan tidak akan pernah memuaskan semua orang terlepas sebaik apapun hasil yang
19
diperoleh. Dia bahkan menyatakan diskriminasi tetap akan terjadi dalam bentuk ras, jender, warna kulit atau kecacatan. Pendapat ini diperkuat oleh Behrooz dan Kalantar (1995) yang menyebutkan bahwa dilema dalam perbedaan upah merupakan dinamika yang terjadi melalui proses evaluasi jabatan. Bahkan di Amerika pekerja wanita tetap mengalami ketidakadilan sampai saat ini, sebagai bukti nyata dari gagalnya evaluasi jabatan. Senada dengan ini, Naughton dan Thomas (1998) juga menemukan bahwa satu dari dua jabatan yang berkaitan dengan wanita memiliki nilai 5.6% lebih rendah. Hal ini biasanya dikaitkan dengan aspek upaya dan aspek tanggungjawab yang dibutuhkan dalam bekerja, bukan pada aspek pendidikan atau pengetahuan. Chen dan Brasher (1999) bahkan menemukan tingkat kesalahan yang lebih besar pada proses evaluasi jabatan yang terjadi karena bias jender, yakni 34%-44% terhadap jabatan-jabatan yang didominasi oleh pekerja wanita. Sementara itu Grams dan Schwab (1986) melakukan kajian yang agak berbeda dari kajian-kajian yang dilakukan oleh peneliti lainnya. Kalau kebanyakan peneliti mengkaji bias jender yang terjadi pada jabatan-jabatan yang memiliki preferensi jender, maka Grams justru melakukan kajian atas bias hasil evaluasi jabatan yang terjadi karena perbedaan jender evaluatornya. Perbedaan komposisi jender dalam evaluasi jabatan ternyata menunjukkan beberapa perbedaan pada hasil evaluasi jabatan tersebut. Seperti diketahui perbedaan hasil evaluasi jabatan akan membawa implikasi kepada penetapan gaji. Welbourne dan Trevor (2000) menjelaskan bahwa peran dari suatu departemen atau posisi tawar dari evaluator juga sangat berpengaruh pada hasil evaluasi jabatan. Hal ini diperkuat oleh Arnault et al, (2001) yang menyatakan bahwa setiap jabatan memiliki nilai inheren yang bebas dari harga pasar dan pengaruh supply –demand. Namun ternyata dari penelitian yang dilakukannya, satu dari 3 (tiga) evaluator gagal mengukur nilai relatif ini secara akurat. Kesimpulan yang ditarik oleh Arnault adalah bawah penilaian nilai relatif jabatan sensitif terhadap evaluator yang dipilih.
20
Studi lain yang dilakukan oleh Rutt dan Doverspike (1999) adalah dampak gaji dan hirarki organisasi yang terjadi terhadap hasil evaluasi jabatan. Kecenderungan yang terjadi adalah semakin tinggi hirarki organisasi maka akan semakin tinggi pula nilai evaluasi yang diberikan oleh evaluator. Hal ini menimbulkan efek vertikal pada karyawan, yakni keinginan untuk mendapatkan promosi ke hirarki yang lebih tinggi guna mendapatkan gaji yang lebih tinggi pula. Yu dan Kleiner (1992) melakukan kajian atas peraturan yang dikeluarkan pada 20 desember 1994 oleh Department of Labor (departemen tenaga kerja) di Amerika yang berisi tentang Labor Condition Application (LCA). Dalam hal ini pemerintah mengharuskan para pekerja untuk memperoleh sertifikasi tertentu, yang sebetulnya bertujuan untuk melindungi pekerja lokal dari pekerja migran. Hal ini membuktikan bahwa kecenderungan untuk terjadinya bias tetap belum bisa dieliminasi sepenuhnya. Figart (2000) menyatakan bahwa sebetulnya evaluasi jabatan dirancang untuk mengeliminasi praktek-praktek manajemen yang paternalistik, yang kadang-kadang melihat pekerja dari lingkungan keluarga dari pekerja tersebut, sejarah bekerjanya selama ini dan segala hal yang bersifat personal yang kemudian dikaitkan dengan penentuan gaji. Pada tahun 2001, Figart melakukan kajian yang cukup komprehensif atas evaluasi jabatan. Dia menyebutkan bahwa sebetulnya penggunaan evaluasi jabatan secara luas mulai dikenal antara tahun 1920-an dan 1930-an. Kemudian ramai kembali dibicarakan pada era pasca perang dunia ke dua antara tahun 1940 sampai dengan 1960. Era pasca perang dunia kedua ini juga sering disebut sebagai era Fordism. Fordism adalah semacam penyebutan terhadap era dimana Henry Ford, pemilik perusahaan otomotif terkemuka pada saat itu di Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan berkaitan dengan hubungan pabrik otomotif yang dimilikinya dengan para pekerja. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Henry adalah kebijakan 5 dollar a day, dimana pekerja mendapatkan upah sebesar 5 (lima) dolar perhari. Kesimpulan dari penelitian Figart adalah bahwa saat ini pendekatan evaluasi jabatan mulai diabaikan oleh neo-economist maupun oleh political economist.
21
Salah satu contoh dari kesimpulan Figart mungkin bisa dilihat dari ilustrasi yang disampaikan oleh Ang et al, (2002) yang melakukan penelitian terhadap IT Professional (professional teknologi infromasi) sebanyak1576 (seribu lima ratus tujuh puluh enam) orang dari 39 (tiga puluh sembilan) institusi berbeda. Kajian yang dilakukannya menunjukkan bahwa gaji secara signifikan ditentukan oleh nilai human capital yang diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman. Perusahaan besar membayar lebih mahal dibandingkan perusahaan kecil kepada orang yang memiliki pendidikan lebih tinggi, sedangkan perusahaan kecil membayar lebih mahal dibandingkan perusahaan besar kepada orang yang memiliki pendidikan lebih rendah. Pembayaran gaji ternyata tidak ada korelasinya terhadap nilai evaluasi jabatan yang dilakukan sebelumnya. Prinsip dari evaluasi jabatan adalah membandingkan pekerjaan dengan menggunakan prosedur formal dan sistematis untuk menentukan posisi relatif dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam hirarki upah dengan asumsi bahwa setiap pemangku jabatan dianggap memiliki kinerja maksimal 100%. Dengan menggunakan asumsi ini gaji pokok seorang pemangku jabatan pada nilai jabatan yang sama ditetapkan sama. Kalaupun ada perbedaan, biasanya hanya perbedaan kecil yang timbul karena ada pertimbangan pendidikan dan pengalaman kerja dari seorang pemangku jabatan. Pada era informasi dan pengetahuan sekarang ini, asumsi ini sebetulnya sudah tidak lagi relevan, karena setiap pemangku jabatan yang memiliki kompetensi berbeda berpotensi untuk menghasilkan kinerja berbeda, meskipun ditempatkan pada posisi yang sama. Seperti yang sudah disampaikan pada bagian pendahuluan bahwa perbedaan kinerja pada jenis pekerjaan yang kategorinya sederhana saja bisa mencapai 300%. Semakin rumit suatu pekerjaan, semakin besar jarak kinerja antara kinerja unggul dengan yang buruk. Evaluasi jabatan merupakan prosedur formal yang secara hirarki mengatur serangkaian pekerjaan sesuai dengan kapabilitas masing-masing pekerja. Semakin besar nilai sebuah jabatan dalam sebuah organisasi, semakin besar gaji yang didapat oleh pemangku jabatannya. Inti dari evaluasi jabatan ini lebih difokuskan kepada pembayaran yang didasarkan atas 'nilai tarif' dari
22
jabatan dan bukan didasarkan kepada nilai perorangan dari pemangku jabatannya. Sementara itu kita mengetahui bahwa yang menghasilkan kinerja sesungguhnya adalah orang atau karyawan sebagai pemangku jabatan. Begitupun yang menerima gaji adalah orangnya dan bukan jabatannya. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab munculnya rasa ketidakadilan di antara karyawan yang merasa memiliki kompetensi lebih dibandingkan orang lain. Heneman et al, (2003) menyatakan bahwa dengan banyak sekali kritik yang dilontarkan kepada praktek evaluasi jabatan ini maka perlu dicari alternatif baru yang lebih bisa menjawab tantangan ini secara berkelanjutan. Sistem kompensasi perlu mempertimbangkan strategi organisasi dan lingkungan bisnis yang berubah dari waktu ke waktu. Salah satu alternatif yang ditawarkan oleh Hughes (2003) adalah mengaitkan pembayaran gaji secara langsung dengan keterampilan atau pendidikan pekerja. Dalam hal ini dia kemudian melakukan kajian atas mana yang sebaiknya lebih menentukan gaji, apakah keterampilan, ataukah diploma yang diperoleh dari proses pendidikan. Kesimpulan yang diperoleh Hughes mengindikasikan bahwa pada banyak kasus, keterampilan mendapatkan prioritas lebih sebagai faktor yang lebih mempengaruhi.
23
Manajemen Kompetensi dalam Transformasi Human Capital Sistem Manajemen SDM yang berkembang di era industri, mengalami transformasi menuju pendekatan human capital pada era pengetahuan dan informasi sekarang ini. Manusia yang dulunya disebut sebagai sumberdaya, saat ini dinyatakan sebagai aset yang paling berharga bagi perusahaan. Adapun wujud aset yang dimiliki oleh manusia adalah berupa kompetensi; ketrampilan (skill), pengetahuan (knowledge) dan perilaku (behavior); yang diyakini memiliki hubungan sebab-akibat dengan kinerja manusia tersebut di dalam sebuah organisasi. Pengelolaan kompetensi sebagai wujud aset yang dimiliki oleh manusia di dalam organisasi menjadi faktor kunci keberhasilan organisasi di era ini. Fitz-enz (2002) menyatakan bahwa dalam pendekatan human capital, inisiatif pengelolaan manusia di dalam organisasi haruslah bisa diukur perkembangannya. Dengan dilakukannya pengukuran ini, manajemen dapat mengambil keputusan-keputusan penting berkaitan dengan aset yang paling berharga tersebut. Kompetensi didefinisikan oleh Spencer & Spencer (1993) sebagai karakteristik melekat yang dimiliki oleh seseorang yang berhubungan sebab akibat dengan kinerjanya pada situasi atau standar kinerja tertentu. Kompetensi dikelompokkan dalam Threshold Competency (Kompetensi Ambang) dan Differentiating Competency (Kompetensi Pembeda). Kompetensi Ambang; biasanya berupa skill (Keterampilan) atau knowledge (Pengetahuan); merupakan karakteristik dasar minimal yang harus dimiliki oleh seseorang agar dia bisa efektif dalam menjalankan tugas-tugasnya. Sementara itu, Kompetensi Pembeda; biasanya berupa kumpulan perilaku; merupakan karakteristik yang akan membedakan orang yang kinerjanya superior dengan orang yang kinerjanya rata-rata dalam suatu tugas atau jabatan tertentu. Dari riset terhadap 200 (dua ratus) jabatan, ditemukan 20 (dua puluh) kompetensi pembeda, yaitu orientasi berprestasi, kepedulian terhadap keteraturan, inisiatif, pencarian informasi, pemahaman hubungan antar manusia, orientasi pada pelayanan pelanggan, dampak dan pengaruh, pemahaman keorganisasian, membangun jejaring, mengembangkan orang lain, pengarahan, kerjasama, kepemimpinan,
24
pemikiran analitis, pemikiran konseptual, pengendalian diri, keyakinan diri, fleksibilitas, komitmen berorganisasi dan pengembangan keahlian. Begitu pentingnya isu manajemen kompetensi saat ini sehingga Hansen et al, (2001) menyarankan agar setiap organisasi merumuskan strategi khusus untuk mengelola pengetahuan guna memenangkan persaingan di era informasi dan pengetahuan ini. Menurut Hansen pengelolaan pengetahuan dapat dilakukan dengan kodefikasi maupun melalui strategi personalisasi. Sejalan dengan pemikiran ini, Krames (2008) menyebutkan bahwa salah satu hal penting yang dilakukan oleh pemimpin hebat di era informasi dan pengetahuan ini adalah melakukan audit terhadap kompetensi karyawannya. Audit kompetensi ini dimaksudkan untuk menemukan kekuatan dari masing-masing karyawan untuk selanjutnya diberdayakan secara optimal. Buckingham dan Cliffton (2001) juga menyarankan agar organisasi lebih fokus kepada kekuatan karyawannya, untuk membuat kelemahannya menjadi tidak relevan. Sementara itu kebanyakan pemimpin jutsru berusaha keras untuk memperbaiki kelemahan karyawannya. Hal ini menurut Buckingham sangatlah tidak efektif. Dari pada memboroskan energi untuk menutupi kelemahan, dia menyarankan untuk mengembangkan kekuatan orang-orang untuk menjadi yang terbaik di bidangnya. Apapun pilihan yang diambil oleh sebuah organisasi, diperlukan suatu proses yang sistematis terlebih dahulu untuk mendefinisikan kompetensi yang dibutuhkan, sebelum melakukan audit terhadap kompetensi yang dimiliki oleh karyawan. Setelah itu barulah dipikirkan cara-cara untuk mengembangkan kompetensi tersebut secara cepat guna mendukung kinerja organisasi. Menurut Brown dan Duguid (2001) pendekatan pembelajaran organisasi dapat dilakukan untuk mempercepat proses ini. Melalui pembelajaran organisasi, keterbatasan anggaran dan waktu yang dimiliki oleh pendekatan pelatihan yang konvensiaonal dapat dieliminasi. Hal ini memperkuat pandangan Prokesh (2000) yang menjelaskan bahwa organisasi akan memperoleh hasil yang luar biasa jika mampu melepaskan energi belajarnya secara kolektif. Proses mendefinisikan semua kompetensi yang dibutuhkan oleh sebuah jabatan oleh Spencer disebut sebagai pemodelan kompetensi jabatan. Hasilnya disebut model kompetensi jabatan.
25
Dalam organisasi yang menerapkan Competency Based Human Resource Management (CBHRM), pemodelan kompetensi ini merupakan langkah awal yang sangat menentukan keberhasilan organisasi. Hal ini disebabkan karena selanjutnya proses pengelolaan SDM akan menggunakan model kompetensi jabatan ini sebagai dasar pengambilan keputusan yang berkaitan dengan manajemen SDM. Keputusan rekrutmen, penempatan atau promosi akan didasari pada kesesuaian kompetensi kandidat dengan model kompetensi jabatan. Keputusan pelatihan dan pengembangan akan difokuskan pada kesenjangan antara kompetensi seseorang dengan model kompetensi jabatannya. Keputusan pengelolaan karir akan dimulai dengan menetapkan jenjang karir berdasarkan kedekatan model kompetensi jabatan dari sekumpulan jabatan tertentu. Begitu juga dengan keputusan tentang kompensasi. Sama halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Spencer, Martone (2003) juga menyebutkan bahwa kompetensi merupakan salah satu aspek penting yang harus diperhatikan dalam menyusun sistem pengelolaan kinerja di era pengetahuan dan informasi seperti sekarang ini. Lebih lanjut Martone menyatakan bahwa di dalam sistem pengelolaan kinerja, kompetensi yang berorientasi kepada perilaku jauh lebih penting untuk dijadikan pertimbangan dibandingkan hasil pekerjaan itu sendiri. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ridley pada tahun 2007, yang menemukan bahwa aspek perilaku manusia memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap perbedaan kinerja. Perilaku yang disebutkan di sini adalah perilaku yang berkaitan dengan kebutuhan pekerjaan itu sendiri (job related behavior), atau yang oleh Spencer disebut sebagai kompetensi. Pemodelan kompetensi menurut Spencer dapat dilakukan dengan beberapa metode. Tiga metode yang paling banyak digunakan adalah (1) survey, (2) behavior event interview (BEI) dan (3) expert panel. Masing-masing metode memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Metode survey misalnya memiliki keunggulan karena prosesnya dapat lebih cepat dan murah. Disamping itu pelibatan karyawan di dalam survey juga
26
dapat memberikan dampak positif dari aspek komitmen karyawan. Tetapi kelemahan dari metode survey adalah keterbatasan data yang diperoleh dari kuesioner yang dibagikan. Jika informasi yang ingin digali lebih banyak, survey juga bisa menjadi tidak efisien untuk dilakukan. Metode behavior event interview (BEI) memiliki keunggulan pada kedalaman informasi yang dihasilkan. Metode ini juga memberikan informasi tentang algoritma berfikir para responden yang biasanya dipilih karena perbedaan kinerja mereka yang superior dibandingkan dengan kinerja rata-rata. Melalui BEI juga bisa dihasilkan bahan dan informasi yang sangat berguna untuk kepentingan assessment dan pengembangan karyawan. Informasi ini dapat dimanfaatkan oleh pusat pengkajian dan pengembangan karyawan dalam menemukan cara-cara yang efektif untuk kepentingan pengembangan. Pusat pengkajian dan pengembangan karyawan (assesment
center)
menurut
Woodruffe (2003) tidaklah diartikan sebagai sebuah tempat, melainkan pendekatan yang komprehensif menggunakan beberapa alat, metoda dan rater di dalam menilai kompetensi seseorang. Dibandingkan dengan pendapat seseorang (single rater), Kipley dan Lewis (2008) menyatakan bahwa multi rater dapat memberikan kelengkapan sudut pandang terhadap aspek yang dinilai, dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Adapun kelemahan dari metode BEI terletak pada banyaknya waktu dan biaya yang diperlukan untuk melaksanakannya. Karena itu, biasanya untuk organisasi yang besar dan memiliki banyak sekali jabatan, metode ini menjadi sulit untuk dilakukan. Metode expert panel memiliki keunggulan dari aspek kecepatan dan efisiensi proses. Dalam hal ini panel ahli adalah orang yang dianggap memiliki kompetensi di bidang organisasi dan manajemen kompetensi. Kelemahan dari metode ini terletak pada kemungkinan perbedaan sudut pandang dari masingmasing ahli dan kemungkinan mereka terjebak dalam motherhood statement. Tetapi menurut Lohman (2004), kelemahan ini sekaligus dapat dijadikan kekuatan, bila metode panel ahli didukung oleh sistem pengambilan keputusan yang dapat diandalkan.
27
Sistem manajemen kinerja berbasis kompetensi merupakan cara formal pembentukan keterampilan dan perilaku karyawan untuk berhasil dalam perannya sekarang dan untuk pertumbuhan organisasi di masa depan. Ekspektasi perusahaan kepada karyawan diinformasikan dan ditempatkan pada jalur yang jelas melalui model kompetensi yang dihasilkan dari kerangka kerja terstruktur guna menyelaraskan kinerja karyawan dengan sasaran (jangka pendek dan jangka panjang) organisasi. Sejumlah organisasi berusaha membuat program berbasis kompetensi yang mengharuskan semua karyawan untuk kuat di semua keterampilan namun cenderung gagal karena tidak mencerminkan kenyataan bahwa semua orang tidak memiliki keterampilan dan minat yang sama. Namun dengan mengetahui perbedaan dan kekuatan individu sementara pada saat yang sama mengajarkan karyawan ketergantungan, keselarasan dan kemampuan untuk bekerja sama dengan erat, output kolektifnya akan jauh lebih besar daripada individu yang bekerja secara independen. Sistem
manajemen
kinerja
berbasis
kompetensi
memungkinkan
organisasi bisa menggambarkan kriteria kinerja untuk setiap tingkat sehingga menciptakan dasar untuk pengakuan, penghargaan, dan promosi. Dengan sistem ini perusahaan akan dapat lebih mudah mengelola bakat karyawan, merencanakan suksesi perencanaan dan membangun kekuatan baku. Aspek penting yang harus dipertimbangkan dalam merancang dan menerapkan sistem manajemen kinerja berbasis kompetensi adalah :
1. Membangun Kompetensi Perusahaan
menentukan
kompetensi
budaya
seperti
integritas,
profesionalisme, akuntabilitas, kualitas, fokus hasil, dan profitabilitas. Perusahaan
memilih
tiga
sampai
empat
kompetensi
budaya,
mendefinisikan dan membuat daftar prilaku untuk setiap kompetensi tersebut. Perusahaan juga dapat memilih kompetensi organisasi, yaitu keterampilan khusus yang diharapkan ditunjukkan oleh karyawan pada setiap tingkatan untuk promosi.
28
2. Menetapkan Target dan Ekspektasi Kinerja Perusahaan perlu menetapkan dan ekspektasi kinerja untuk setiap pemimpin dan karyawan. Para pemimpin membuat laporan tentang target dan ekspektasi kerja untuk pengembangan karyawan dan mereka sendiri. Tahap penandatanganan oleh pemimpin dan karyawan adalah tahap penting untuk memastikan keselarasan target dan ekspektasi kinerja tersebut. Meskipun langkah ini bisa memakan waktu, langkah ini adalah komponen kunci. Target yang ada harus selaras antara target yang di tingkat atas dengan tujuan di tingkat di bawahnya sehingga secara kolektif hasil tujuan fungsional dan individu akan selaras. Misalnya, target pendapatan yang ditetapkan untuk sales representative perorangan harus sama atau melebihi target pendapatan yang sudah ditetapkan untuk departemen penjualan, dan target yang ditetapkan untuk semua departemen harus sama atau melebihi target pendapatan untuk keseluruhan organisasi.
3. Memonitor Keberhasilan Kinerja dan Umpan Balik Ada banyak proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik, tapi yang harus dipilih adalah yang terkait dengan kompetensi dan yang memberikan arahan berkelanjutan, pengukuran, dan umpan balik. Kunci sukses proses ini adalah menjadikannya bagian dari dialog yang dilakukan secara teratur antara karyawan dan atasan langsung. Cara paling buruk untuk mengelola sebuah proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik adalah melakukan proses penetapan tujuan sekali setahun dan kemudian tidak memberikan umpan balik sampai penilaian akhir tahun. Padahal, kunci sukses proses monitoring keberhasilan kinerja dan umpan balik adalah membuat proses ini bagian dari dialog yang dilakukan secara teratur antara pimpinan dan bawahannya. Dialog informal harian, mingguan, dan bulanan dan dialog formal triwulan formal atau, minimal, setengah tahunan menjadi proses bekerja. Diskusi triwulanan atau tahunan formal kuantitatif dan kualitatif memberikan karyawan umpan balik yang
29
diperlukan, untuk memastikan bahwa mereka berada di jalur, berfokus pada hal yang benar, dan memiliki alat yang tepat untuk mencapai tujuan mereka. Secara keseluruhan, mekanisme ini membuat semua orang di organisasi mendapat informasi yang dibutuhkan dan memungkinkan semua orang untuk mengetahui bilamana seorang individu sedang bekerja dengan benar.
4. Membuat Profil Lengkap Karyawan dan Rencana Pengembangan Profil karyawan berisi ringkasan keterampilan, pengalaman, pendidikan, prestasi besar, posisi penting yang dijabat, dan kekuatan dan bidang pengembangan untuk setiap karyawan. Profil ini menjadi peta karir karyawan. Komponen fundamental dari perusahaan-perusahaan sukses adalah adanya umpan balik yang berkelanjutan, kuantitatif dan kualitatif yang dilakukan secara teratur antara leadermanajer dan stafnya. Tim eksekutif senior harus meninjau dan secara berkala dimutakhirkan proses ini. Pemimpin tim harus mampu melihat bilamana mereka memiliki orang yang tepat pada peran yang tepat bagi perusahaan yang akan sukses.
5. Memulai Perencanaan Suksesi dan Manajemen Talenta Pemimpin
mengidentifikasi
kandidat
suksesi
dan
kesenjangan
keterampilan dan bakat di organisasi. Rencana tindakan dikembangkan untuk menutup kesenjangan tersebut. Dengan cara ini, pemimpin dapat mengelola dan mengembangkan bakat mereka dan fokus pada perilaku dan pengembangan keterampilan secara kolektif dan secara individual untuk mencapai gol utama organisasi.
Sistem kompetensi berbasis kinerja juga mengikat secara langsung proses rekrutmen dan seleksi. Dalam proses ini pemimpin menentukan keahlian, pengalaman, dan perilaku yang dibutuhkan. Proses ini juga memberikan wawasan yang jelas tentang kapan harus mendapatkan bakat di luar organisasi. Menurut Cappelli (2008) keputusan untuk mengembangkan kompetensi dari
30
dalam organisasi harus diimbangi dengan keputusan untuk membeli bakat dari luar organisasi. Organisasi berkejaran dengan waktu, sehingga penting sekali untuk dapat mengambil keputusan yang tepat guna mendapatkan hasil yang maksimal. Di era ekonomi pengetahuan ini, keberhasilan organisasi dalam mengelola manusia sebagai aset paling berharga merupakan modal utama memenangkan persaingan bisnis. Fatwan dan Denni (2009) menyatakan bahwa kinerja organisasi ditentukan oleh kompetensi organisasi dan kompetensi organisasi ditentukan oleh kompetensi orang-orang yang ada di dalamnya.
Penggunaan AHP untuk Pengambilan Keputusan Multi Kriteria Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah metode yang dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty dari Wharton Svhool of Business pada tahun 1970-an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli (judgment) dalam memilih alternatif yang paling disukai. Prinsip kerja AHP adalah penyederhanaan suatu persoalan kompleks yang tidak terstruktur, stratejik dan dinamik menjadi bagian-bagian dan tertata dalam suatu hirarki (Marimin dan Magfiroh, 2010). Tingkat kepentingan setiap variabel diberi nilai numerik, yang secara subjektif memberikan arti penting variabel tersebut secara relatif dibandingkan dengan variabel yang lain. Dari berbagai pertimbangan kemudian dilakukan sintesa untuk menetapkan variabel yang memiliki prioritas tinggi dan berperan untuk mempengaruhi hasil pada sistem tersebut. Turban (1995) menyebutkan bahwa AHP dapat membantu pengambil keputusan untuk sampai pada keputusan terbaik apabila dihadapkan pada konflik multi objek atau kriteria. Kelebihan AHP ini dibandingkan dengan metode mengorganisir informasi lainnya adalah sebagai berikut: 1. Struktur yang berhirarki, sebagai konsekuensi dari kriteria yang dipilih, sampai pada sub dari subkriteria yang paling dalam. 2. Memperhitungkan validitas sampai dengan batas toleransi inkonsistensi berbagai kriteria dan alternatif yang dipilih oleh para pengambil keputusan.
31
3. Memperhitungkan daya tahan atau ketahanan output analisis sensitivitas pengambilan keputusan. Taticchi (2009) menyebutkan bahwa AHP mempunyai kemampuan untuk memecahkan masalah yang multi-objektif dan multi-kriteria yang berdasarkan pada perbandingan preferensi dari setiap elemen dalam hirarki. Jadi, model ini merupakan suatu model pengambilan keputusan yang komprehensif. Sutterfield, et al (2008) menyebutkan bahwa AHP merupakan alat bantu pengambilan keputusan yang sangat bisa diandalkan untuk situasi kompleks karena struktur hirarki sebetulnya merupakan dasar dari pemikiran manusia, yang
mencakup
aktivitas
identifikasi
elemen-elemen
suatu
persoalan,
mengelompokkannya ke dalam kumpulan yang homogen dan menatanya ke dalam tingkatan yang berbeda. Beberapa penelitian terbaru yang menggunakan AHP sebagai alat bantu pengambilan keputusan diantaranya adalah yang dilakukan oleh Natarajan, Sarminto, Bhatta, dan Charouz. Natarajan (2010) melakukan kajian atas penggunaan AHP dalam pemilihan preferensi oleh pelanggan consumer banking melalui Self-Service Technology (SST). Dalam hal ini Natarajan mempelajari faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan pelanggan pada waktu bertransaksi menggunakan perangkat semacam Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Melalui penelitian ini Natarajan menyimpulkan bahwa AHP adalah alat bantu yang efektif dalam membantu pengambilan keputusan pelanggan. Sementara itu Sarmiento dan Thomas (2010) menggunakan AHP untuk mengidentifikasi area yang perlu diperbaiki dalam implementasi green initiative melalui pendekatan rantai pasok. Kajian yang dilakukan oleh Sarmiento adalah menyangkut kesenjangan hasil pada studi-studi terdahulu menyangkut rantai pasok, pengelolaan rantai pasok dan isu-isu benchmarking. Temuan dari kajian yang dilakukan Sarminto adalah bahwa studi-studi terdahulu memiliki kelemahan pada aspek ruang lingkup dan fokus pembahasan. Karena itu kebaruan dari kerangka kerja dan pendekatan yang dilakukannya dengan menerapkan AHP pada green initiative memberikan ruang pada perbaikan.
32
Bhatta dan Doppler (2010) juga menggunakan AHP dalam melakukan kajian atas diferensiasi pertanian pada perkampungan di daerah pegunungan Nepal. Dalam hal ini Bhatta mengkaji faktor-faktor dominan yang berpengaruh pada keragaman pertanian di kawasan padat lembah Kathmandu, sebagai sentra produksi sayuran bagi kebutuhan kota di sekitarnya. Penelitian yang hampir sama dilakukan pula oleh Charouz yang menggunakan AHP sebagai alat bantu pengambilan keputusan multi kriteria dalam menentukan portofolio manajemen. Charouz menggunakan AHP untuk menetapkan pilihan portofolio investasi dalam memaksimalkan hasil yang akan diperoleh. Dalam hal ini keputusan yang harus diambil adalah keputusan atas alokasi ases, mana yang perlu dijual dan mana yang perlu dibeli untuk keperluan investasi. Pengambilan keputusan multi kriteria juga dikaji oleh Athawale et al, (2011) untuk aplikasi pemilihan pemasok berdasarkan kriteria kualitas, harga, ketepatan waktu pengiriman, penyelesaian masalah, kepakaran dan reputasi pemasok. Menurut Marimin (2010), AHP dapat digunakan pula sebagai alat bantu pengambilan keputusan yang melibatkan multi rater atau panel ahli. Penggabungan pendapat ahli tadi dilakukan menggunakan rata-rata geometrik. Rata-rata (average) adalah nilai yang mewakili sehimpunan atau sekelompok data (a set of data). Nilai rata-rata pada umumnya mempunyai kecenderungan terletak ditengah-tengah dalam suatu kelompok data yang disusun menurut besat kecilnya nilai. Dengan perkataan lain ia mempunyai kecenderungan memusat. Oleh karena itu rata-rata sering disebut ukuran kecenderungan memusat (measures of central tendency). Beberapa jenis rata-rata yang sering digunakan adalah rata-rata hitung (arithmatic mean), rata-rata ukur (geometric mean) dan rata-rata harmonis (harmonic mean). Dalam AHP (analytical hierarchy procces), salah satu perbedaan dari pendekatan deterministik dan pendekatan statistik adalah terletak pada adanya suatu pertimbangan-pertimbangan, pengelompokan atau penyatuan dari beberapa prioritas secara keseluruhan. Bila dalam suatu kelompok, masing-masing
33
mempunyai pertimbangan yang berbeda maka perlu adanya suatu derajat atau pangkat yang dapat dipergunakan untuk menyatukan dari beberapa alternatif tersebut, karena pada dasarnya sebuah kelompok pasti mempunyai perbedaan pertimbangan dalam memilih alternatif. Bila dua alternatif dipangkatkan, akan mempengaruhi pertimbangan yang diambil, tetapi masih tetap mempunyai kesamaan kepentingan hingga akhirnya akan memberikan satu kesepakatan yang disebut rata-rata kelompok. Pendekataan yang paling tepat dalam hal ini adalah rata-rata geometrik (Robert et al, 1999).
Kesimpulan Tinjauan Pustaka Kesimpulan yang dapat ditarik dari kajian pustaka yang dilakukan adalah bahwa belum ditemukan istilah person value dalam kajian-kajian yang menyangkut sistem kompensasi. Selama ini kajian terhadap sistem kompensasi banyak membahas tentang job value yang dihasilkan melalui serangkaian proses yang disebut job evaluation (evaluasi jabatan). Kompetensi merupakan atribut yang dimiliki oleh seseorang dan memiliki hubungan sebab akibat dengan kinerjanya pada suatu jabatan, situasi atau tugas tertentu. Dengan demikian atribut yang sesuai dengan kebutuhan jabatan, situasi atau tugas tertentu ini dapat dijadikan determinan dalam menentukan gaji pokok yang akan dibayarkan kepada seorang karyawan. Analytical Hierarchy Process (AHP) dapat digunakan untuk membantu proses pengambilan keputusan dengan kriteria majemuk dalam skala pemanfaatan
yang
luas.
Alat
bantu
ini
sangat
bermanfaat
untuk
menyederhanakan persoalan kompleks, karena struktur hirarki sebetulnya merupakan dasar dari pemikiran manusia, yang mencakup aktivitas identifikasi elemen-elemen suatu persoalan, mengelompokkannya ke dalam kumpulan yang homogen dan menatanya ke dalam tingkatan yang berbeda. Dengan demikian alat bantu ini dapat diandalkan dalam proses penyusunan desain sistem kompensasi sesuai dengan subjek penelitian ini.