13
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pembangunan Perkotaan dan Perdesaan Bekerja di kota ternyata lebih baik dan menjanjikan dari pada bekerja dengan lumpur di perdesaan (Suwandi, 2005).
Adanya ketimpangan
pembangunan antara desa sebagai produsen pertanian dengan kota sebagai pusat kegiatan dan pertumbuhan ekonomi telah mendorong aliran sumberdaya dari wilayah perdesaan ke kawasan perkotaan secara tidak seimbang, akibatnya jumlah dan persentase penduduk miskin lebih banyak terdapat di perdesaan dari pada di perkotaan. Berbagai program untuk mengatasi berbagai permasalahan kesenjangan pembangunan wilayah, sebenarnya telah dilakukan sejak Repelita (1968 – 1973).
Pada waktu itu pemerintah menetapkan tiga asas dalam
menetapkan lokasi proyek pembangunan yaitu efisiensi, perimbangan antar daerah dan perimbangan di dalam daerah. Program tersebut antara lain: 1. Percepatan
pembangunan
wilayah-wilayah
unggulan/potensial
berkembang, tetapi relatif tertinggal dengan menetapkan kawasankawasan seperti: (a) kawasan andalan (Kadal) dan (b) kawasan pembangunan ekonomi terpadu (Kapet) yang merupakan salah satu Kadal terpilih di tiap propinsi. 2. Program percepatan
pembangunan
yang bernuansa
mendorong
pembangunan kawasan perdesaan dan sentra produksi pertanian seperti:
(a)
kawasan
sentra
produksi
pengembangan kawasan tertinggal; dan
(KSP
atau
Kasep);
(b)
(c) proyek pengembangan
ekonomi lokal. 3. Program-program sektoral dengan pendekatan wilayah seperti: (a) program Bimas dengan pengembangan kelembagaan pelayanan perdesaan dan pengembangan kapasitas petaninya (dilakukan lebih dari 35 tahun); (b) perwilayahan komoditas unggulan; (c) pengembangan sentra industri kecil; (d) pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP); (e) program pengembangan kecamatan (PPK); dan (f) program kemiskinan. 2.2. Pengertian Kawasan Perdesaan Menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang didefinisikan kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan
14
utama pertanian, termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kata kawasan sendiri dapat diartikan sebagai wilayah dengan fungsi utama adalah lindung atau budidaya, sedangkan wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Menurut Suwandi (2005), desa selama ini diartikan sebagai struktur pemerintahan dan tidak pernah ditonjolkan desa sebagai aset nasional, aset perekonomian nasional. Desa tiada lain adalah kawasan fungsional dengan ciri kegiatan utama adalah sektor pertanian. 2.3. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Pradhan (2003) menyatakan bahwa pembangunan perdesaan hanya dapat berkesinambungan apabila fasilitas prasarana dan sarana yang tersedia dapat menstimulasi serta mendorong aktivitas produksi dan pasar di wilayah perdesaan. Perdesaan sebagai pemasok hasil produksi pertanian dalam bentuk produk-produk primer harus didorong menjadi desa-desa yang mampu menghasilkan bahan olahan atau industri hasil pertanian sehingga menjadi kawasan pertumbuhan ekonomi lokal. Menurut Pranoto (2002) untuk mencapai tujuan pembangunan perdesaan diperlukan integrasi kegiatan-kegiatan pokok yang meliputi: 1. Pembangunan sarana dan prasarana. 2. Pembangunan sistem agribisnis. 3. Pengembangan industri kecil dan rumah tangga. 4. Penguatan lembaga dan organisasi ekonomi masyarakat. 5. Pengembangan jaringan produksi dan pemasaran. 6. Penguasaan teknologi tepat guna. 7. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan peningkatan kehidupan sosial ekonomi kelompok keluarga miskin secara terpadu. 8. Menyempurnakan struktur organisasi pemerintah desa dan lembagalembaga ekonomi lainnya. Menurut Kurnia (1999) upaya untuk melakukan modernisasi dan penguatan ekonomi
perdesaan
adalah
melalui
dukungan
penyediaan
infrastruktur
15
perdesaan seperti jalan, listrik, air bersih, dan prasarana kegiatan ekonomi lainnya. Miyoshi (1997) mengemukakan pernyataan Friedmann dan Douglass, bahwa strategi pembangunan perdesaan yang cocok supaya memperhatikan: 1. Sektor pertanian harus dipandang sebagai leading sektor, 2. Kesenjangan pendapatan dan kondisi kehidupan antara kota dan desa harus dikurangi, 3. Dikembangkan small scale production untuk pemasaran lokal harus dilindungi melawan kompetisi dari pengusaha besar. Menurut Tong Wu (2002) strategi pembangunan dapat mencakup: 1. Redistribusi dengan pertumbuhan. 2. Substitusi export. 3. Penciptaan lapangan kerja dan pembangunan perdesaan. Pembangunan berkelanjutan atau sustainable development merupakan gagasan atau konsep pembangunan yang sudah sejak lama dicanangkan baik oleh sekelompok masyarakat tertentu, negara, maupun oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Konsep tersebut dipicu oleh kekhawatiran manusia
terhadap kelestarian tempat dimana mereka tinggal, disamping upaya mencari kemungkinan tempat tinggal lain di luar planet bumi. Namun demikian, yang lebih penting bagi manusia adalah bagaimana melestarikan tempat tinggal yang ada saat ini sehingga generasi penerus atau anak cucu kita dapat menikmatinya. Menurut WCED (1987), definisi pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut: ”Humanity has the ability to make development sustainable to ensure that it meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs”. Menurut Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 bahwa pembangunan berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai “ upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkup hidup termasuk sumberdaya ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan”. Dalam definisi tersebut, dapat dipahami bahwa konsep pembangunan berkelanjutan didirikan atau didukung oleh tiga pilar, yaitu ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Ketiga pendekatan tersebut bukanlah pendekatan yang berdiri
sendiri, tetapi saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain (Munasinghe, 1993). Tantangan pembangunan berkelanjutan adalah menemukan cara untuk meningkatkan kesejahteraan sambil menggunakan sumberdaya alam secara bijaksana. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan harus memberi perhatian
16
untuk perlunya menata kembali landasan sistem pengelolaan asset-aset di wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan. Penataan kembali tersebut lebih berupa integrasi kepada pemanfaatan ganda, yaitu ekonomi dan lingkungan/ekosistem, dan keberhasilannya dapat dilihat dan dirumuskan dengan melihat
indikator-indikator antara
lain:
kontribusi terhadap
keberlanjutan
lingkungan lokal, kontribusi terhadap keberlanjutan penggunaan sumberdaya alam, kontribusi terhadap peningkatan lapangan kerja, kontribusi terhadap keberlanjutan ekonomi makro, efektivitas biaya, dan kontribusi terhadap kemandiran teknis. 2.4. Sumberdaya Ikan 2.4.1. Sifat sumberdaya ikan Ikan adalah salah satu bentuk sumberdaya alam yang bersifat renewable atau mempunyai sifat dapat pulih. Menurut Widodo dan Nurhakim (2002) sumberdaya ikan pada umumnya dianggap bersifat open access dan common property yang artinya pemanfaatan bersifat terbuka oleh siapa saja dan kepemilikannya bersifat umum. Sifat sumberdaya seperti ini menimbulkan beberapa konsekuensi, antara lain: 1. Tanpa adanya pengelolaan akan menimbulkan gejala eksploitasi berlebihan (over exploitation), investasi berlebihan (over investment) dan tenaga kerja yang berlebihan (over employment). 2. Perlu adanya hak kepemilikan (property rigts), misalnya oleh negara, masayarakat atau swasta. Sifat-sifat sumberdaya seperti di atas menjadikan sumberdaya ikan bersifat unik, dan setiap orang seakan-akan mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut dalam batas-batas kewenangan hokum suatu Negara. Dengan demikian kondisi ini memungkinkan bagi setiap orang atau perusahaan dapat dengan bebas masuk dan mengambil manfaatnya. Dengan demikian secara prinsip sumberdaya milik bersama yang dicirikan dengan pengambilan secara bebas maupun akibat lain yang ditimbulkan seperti biaya eksternalitas (tidak ekonomis) sehingga akan menimbulkan kecenderungan pengelolaan secara deplesi (Suparmoko, 1997). Menurut Nikijuluw (2002) ada 3 sifat khusus yang dimiliki sumberdaya yang bersifat milik bersama antara lain: (1) ekskludabilitas; (2) substraktabilitas dan (3) indivisibilitas.
17
2.4.2. Pengelolaan sumberdaya ikan Pengelolaan sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan, keputusan, alokasi sumber dan implementasinya dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1997). Sementara menurut Widodo dan Nurhakim (2002) bahwa tujuan pengelolaan sumberdaya ikan, antara lain: 1. Menjaga kelestarian produksi, terutama melalui berbagai regulasi serta tindakan perbaikan. 2. Meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial para nelayan. 3. Memenuhi keperluan industri yang memanfaatkan produksi perikanan. Pengelolaan sumberdaya ikan haruslah mampu mencegah terjadinya konflik antara kegiatan pemanfaatan sumberdaya ikan untuk tujuan ekonomi termasuk adanya keadilan didalam distribusi manfaat yang dihasilkan oleh sumberdaya ikan tersebut serta upaya konservasi sumberdaya ikan untuk kepentingan generasi yang akan datang. Ada 4 strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut (Lawson, 1984), antara lain: 1. Mencegah
terjadinya
tangkap
lebih
(over eksploitation) dengan
melakukan pengendalian terhadap kegiatan penangkapan. 2. Memperbaiki kualitas ikan yang akan dijual kepada konsumen dengan jalan melakukan penanganan yang baik serta mengurangi kerusakan ikan setelah proses penangkapan. 3. Mengembangkan pemanfaatan sumberdaya perikanan lain seperti kegiatan budidaya. 4. Mengembangkan sistem pemasaran yang berorientasi pada spesies yang dapat diterima oleh konsumen. Menurut Tai (1995) mengembangkan model sistem pengelolaan perikanan yang didasarkan pada 3 (tiga) komponen utama sebagai sub model, yaitu sub model biologi, sub model sosial dan ekonomi serta sub model manajemen. Pada sub model biologi digambarkan dinamika populasi dalam perikanan dan berhubungan erat dengan sub model ekonomi melalui kegiatan penangkapan. Sementara sub model sosial-ekonomi menggambarkan adanya biaya manfaat dan biaya didalam kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal ini harga memainkan peranan penting didalam menentukan penerimaan dan keuntungan.
18
2.4.3. Kebijakan Pembangunan Perikanan Menurut Parsons (2001), kebijakan adalah seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik dan merupakan manivestasi dari penilaian yang penuh pertimbangan.
Pada dasarnya kebijakan dapat dibedakan menjadi 2,
yaitu kebijakan privat dan kebijakan publik (Simatupang, 2001). Kebijakan privat adalah tindakan yang dilakukan seseorang atau lembaga swasta dan tidak bersifat memaksa kepada orang lain atau lembaga lain. Kebijakan publik adalah tindakan kolektif yang diwujudkan melalui kewenangan pemerintah yang legitimate untuk mendorong, melarang atau mengatur tindakan privat (individu maupun lembaga swasta).
Dalam hal ini Hogwood and Gunn (1986)
mengemukakan adanya 2 ciri dari kebijakan publik, yaitu: 1. Dibuat atau diproses oleh lembaga pemerintahan atau berdasarkan prosedur yang ditetapkan pemerintah. 2. Bersifat
memaksa
atau
berpengaruh
terhadap
tindakan
privat
(masyarakat luas atau publik). Berangkat dari pemahaman diatas, maka kebijakan pembangunan perikanan dapat dikelompokkan kedalam kebijakan publik, yaitu suatu keputusan dan tindakan pemerintah untuk mengarahkan, mendorong, mengendalikan dan mengatur
pembangunan
perikanan
termasuk
didalamnya
pembangunan
perikanan tangkap, yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Dalam pembangunan perikanan, keberadaan sumberdaya ikan menjadi sangat penting, karena ikan dan sumberdaya lingkungan serta sumberdaya buatan manusia
termasuk
manusia
merupakan
unsur-unsur
yang
ada
dalam
sumberdaya perikanan. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya perikanan meliputi penataan pemanfaatan sumberdaya ikan, pengelolaan lingkungan dan pengelolaan kegiatan manusia (Nikijuluw, 2002). Lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa upaya mengelola sumberdaya perikanan pada dasarnya secara implisit merupakan tindakan menyusun langkah-langkah untuk membangun perikanan. Hal ini pula yang menyebabkan tujuan dari pengelolaan sumberdaya perikanan sama dengan tujuan dari pembangunan perikanan. Tujuan pembangunan perikanan (UU No. 45 Tahun 2009) adalah: 1. Meningkatkan taraf hidup nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil. 2. Meningkatkan penerimaan dan devisa negara. 3. Mendorong perluasan dan kesempatan kerja.
19
4. Meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumber protein hewani. 5. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan. 6. Meningkatkan produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing. 7. Meningkatkan ketersediaan bahan baku untuk industri pengolahan ikan. 8. Mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan lingkungan sumberdaya ikan secara optimal. 9. Menjamin kelestarian sumberdaya ikan, lahan pembudidaya ikan dan tata ruang. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka kebijakan pembangunan perikanan
Indonesia
ditekankan
pada
pengendalian
perikanan
tangkap,
pengembangan budidaya perikanan dan peningkatan nilai tambah melalui perbaikan
mutu
dan
pengembangan
produk
yang
mengarah
pada
pengembangan industri kelautan dan perikanan yang terpadu berbasis masyarakat. Strategi yang ditempuh adalah melalui peningkatan daya saing komoditas perikanan yang didukung dengan peningkatan sumberdaya manusia serta pemberian akses dan kesempatan yang sama pada seluruh pelaku usaha di bidang perikanan sehingga mampu menghadapi persaingan global di tengah peningkatan tuntutan dan kebutuhan masyarakat dengan berbagai dimensi. 2.4.4. Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan ambang batas pada laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta sumberdaya alam yang ada di dalamnya. Ambang batas ini tidak bersifat mutlak tetapi merupakan batas yang luwes yang tergantung pada kondisi teknologi dan social ekonomi tentang pemanfaatan sumberdaya alam serta daya dukung alam (carrying capacity) untuk menerima dampak kegiatan manusia. Pembangunan perikanan darat dapat berkelanjutan jika pola dan laku pembangunannya dapat dikelola sedemikian rupa, sehingga total permintaannya terhadap sumberdaya perikanan dan jasa-jasa lingkungannya tidak melampaui kemampuan suplai tersebut. Kualitas dan kuantitas permintaan tersebut
ditentukan oleh jumlah
penduduk dan standart atau kualitas kehidupannya. Konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya telah menjadi agenda International dalam pertemuan komisi dunia untuk pembangunan dan lingkungan (WCED) tahun 1987 dan telah dikonfirmasi oleh Negara-negara di dunia menjadi prioritas internasional dalam konvensi PBB untuk lingkungan dan pembangunan
20
(UNCED, 1992). Kemudian dalam agenda 21 konsep tersebut dibahas dalam Commission on Sustainable Development yang mengembangkan indicator pembangunan berkelanjutan dalam skala yang beragam. Penekanan pada perikanan yang mempunyai masalah pemanfaatan sumberdaya yang tidak lestari menjadi prioritas utama (FAO, 2001). Alder et al (2002) mengatakan bahwa sampai sekarang masih menjadi diskusi yang hangat istilah keberlanjutan (sustainability) dan bagaimana cara mengukurnya. Namun demikian secara umum terdapat satu kesepakan bahwa keberlanjutan harus mencakup komponen ekologi, ekonomi, social, teknologi dan etika (Alder et al, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan oleh WCED (1987) dinyatakan sebagai pembangunan yang mencukupi kebutuhan generasi sekarang dengan tidak mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mencukupi kebutuhannya. Penekanan pembangunan dalam kontek ini berkaitan dengan kualitas hidup bukan pertumbuhan ekonomi, walaupun kedua hal tersebut sangat berkaitan dalam sistem perekonomian modern. Costanza (1991) mengemukakan bahwa definisi keberlanjutan sangat berguna adalah tingkat konsumsi yang dapat dilanjutkan dalam waktu yang tidak terbatas menurunkan capital stock. Konsep pembangunan berkelanjutan juga dapat dilihat dalam konsep FAO (2001) sebagai pengelolaan dan perlindungan sumberdaya alam dan perubahan orientasi teknologi dan kelembagan dalam beberapa cara yang dapat mendukung pemenuhan kebutuhan generasi sekarang dan yang akan dating. Pembangunan berkelanjutan berusaha untuk melindungi tanah, air, tumbuhan serta sumberdaya genetik hewan yang tidak menurunkan kualitas lingkungan di mana secara teknis tepat, secara ekonomi berguna dan secara social diterima. Kerangka pendekatan hokum (legal framework) prinsip-pinsip pengelolaan sumberdaya perikanan sebenarnya telah terdapat dalam UNCLOS (1982) dan FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries, 1995 (FAO, 2001). Beberapa pertimbangan diperlukannya pembangunan perikanan berkelanjutan diantaranya meliputi: 1. Pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan aktivitas pengolahannya harus didasarkan pada ekosistem kelautan tertentu dan teridentifikasi dengan baik. 2. Memelihara daya dukung sumberdaya terhadap aktivitas pemanfaatan dalam jangka panjang.
21
3. Menghidupi tenaga kerja dalam bidang perikanan dalam masyarakat yang lebih luas. 4. Memelihara tingkat kesehatan dan kesatuan ekosistem kelautan untuk pemanfaatan lain, termasuk di dalamnya keanekaragaman hayati, ilmu pengetahuan, nilai intrinsik, struktur tropis dan kegunaan ekonomi lainnya seperti pariwisata dan rekreasi. Tujuan dari pembangunan berkelanjutan akan sejalan dengan tujuan pembangunan perikanan seperti memelihara stok sumberdaya perikanan dan melindungi habitatnya. Namun demikian mengelola sumberdaya perikanan untuk pembangunan yang berkelanjutan bersifat multi dimensi dan aktivitas bertingkat (multilevel activities) yang harus mempertimbangkan lebih banyak aspek dibandingkan dengan daya tahan hidup ikan dan perikanan itu sendiri (FAO, 2001). Paradigma pembangunan perikanan pada dasarnya mengalami evolusi dari paradigma konservasi (biologi) ke paradigma rasional (ekonomi), kemudian ke paradigma sosial/komunitas. Namun ketiga paradigma tersebut masih tetap relevan dalam kaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Pembangunan perikanan yang berkelanjutan haruslah mengakomodasikan ketiga aspek tersebut di atas. Oleh karena itu, konsep pembangunan perikanan yang berkelanjutan sendiri mengandung aspek (Charles, 2001): 1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologi). Dalam pandangan ini memelihara keberlanjutan stok/biomass sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem menjadi perhatian utama. 2. Sosioeconomic sustainability (keberlanjutan sosio-ekonomi). Konsep ini mengandung
makna
bahwa
pembangunan
perikanan
harus
memperhatikan keberlanjutan dari kesejahtetaan pelaku perikanan pada tingkat individu. Dengan kata lain, mempertahankan atau mencapai tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi merupakan perhatian kerangka keberlanjutan.. 3. Community
sustainability
(keberlanjutan
komunitas)
mengandung
makna bahwa keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas atau masyarakat haruslah menjadi perhatian pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
22
4. Institutional
Sustainability
(keberlanjutan
kelembagaan).
Dalam
kerangka ini, keberlanjutan kelembagaan yang meyangkut pemeliharaan aspek finansiil dan administrasi yang sehat merupakan prasyarat ketiga pembangunan berkelanjutan di atas. Berdasarkan definisi yang diuraikan di atas dapat disimpulkan bahwa pembangunan perikanan berkelanjutan adalah langkah strategis pembangunan dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan secara bijaksana dan konsisten untuk memenuhi kebutuhan manusia saat sekarang dan juga untuk generasi yang akan datang secara berkelanjutan dari dimensi ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan etik. McGoodwin (1990) menyatakan bahwa dalam menganalisis sumberdaya perikanan, konsekuensi sosial dan ekonomi harus diperhitungkan sama halnya dengan konsekuensi teknis dan etika. Alder et al. (2000) menyatakan bahwa tantangan bagi pengelolaan perikanan adalah menilai keberlanjutan sumberdaya tersebut dengan pendekatan yang bersifat multi disiplin yang mampu mengintergrasikan beberapa aspek yang beragam tersebut. FAO (2001) telah mengembangkan beberapa contoh kriteria untuk masing-masing dimensi dalam sustainable development reference system (SDRS) seperti yang tertera dalam Tabel 1.
23
Tabel 1. Kriteria Analisis Berkelanjutan No
Dimensi
1
Ekonomi
2
Sosial
3
Ekologis
4
Kepemerintahan
Dimensi
Pembangunan
Sumberdaya
Perikanan
Kriteria Volume produksi Nilai produksi Kontribusi perikanan dalam GDP Nilai ekspor perikanan (dibandingkan dengan total nilai ekspor) Investasi dalam perikanan dan fasilitas pengolahan Pajak dan subsidi Tenaga kerja Pendapatan Angkatan kerja Demografi Pendidikan Konsumsi protein Pendapatan Tradisi/budaya Hutang Distribusi gender dalam pengambilan keputusan Komposisi produksi Kelimpahan relatif spesies Tingkat pemanfaatan Dampak langsung alat tangkap terhadap non spesies terget Dampak alat tangkap terhadap habitat Keanekaragaman hayati Perubahan daerah dan kualitas dari habitat penting atau kritis Tekanan dari penangkapan (dibandingkan dengan daerah yang belum termanfatkan) Kepatuhan terhadap sistem pemerintahan (complience) Hak kepemilikan (property right) Keterbukaan dan partisipasi Kemampuan untuk mengelola Tata pemerintahan yang baik (good governance)
Sumber: FAO, 2001
2.4.5. Sistem Perikanan Berkelanjutan Keberlanjutan sistem perikanan menurut Charles (2001) ditentukan oleh keberlanjutan empat aspek, antara lain: 1. Keberlanjutan aspek ekologis (menghindari punahnya sumberdaya ikan di masa datang. 2. Keberlanjutan aspek sosial ekonomis (keberlanjutan dan kelayakan ekonomi dan keuntungan sosial). 3. Keberlanjutan aspek kemasyarakatan (menilai masyarakat lebih dari sekedar kumpulan individu) 4. Keberanjutan aspek institusional (kelayakan jangka panjang sistem pengelolaan sumberdaya).
24
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mewujudkan sistem perikanan berkelanjutan dapat dilakukan dengan pendekatan dari aspek lingkungan biofisik, lingkungan manusia dan institusi politik dan ekonomi. Lingkungan biofisik dapat ditentukan dengan 3 cara, yaitu: (1) menetapkan batas-batas ekologis dan menyesuaikan dalamm hubungan dengan ekosistem; (2) mengenali kebutuhan untuk menggabungkan aktivitas manusia dengan siklus alam dan (3) aktivitas utama didasarkan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pendekatan aspek manusia dilakukan dengan 3 cara, yaitu (1) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; (2) menerapkan asas kesamaan dan keadilan sosial dan (3) peraturan yang pasti. Pendekatan institusi politik dan ekonomi (kelembagaan) dapat ditentukan dengan 6 cara, yatiu: (1) membangun perspektif jangka panjang lebih dominan; (2) menetapkan tujuan ganda (sosial/ekonomi/lingkungan); (3) mengantisipasi perkembangan di masa datang/adaptif; (4) responsif terhadap krisis pada level yang berbeda; (5) menetapkan orientasi dari sistem yang dibangun dan (6) menetapkan prinsip-prinsip manajemen yang kondusif. Pendekatan ketigas aspek tersebut mempunyai kriteria dan indikator yang jelas untuk menilai keberlanjutan sistem perikanan. Menurut Charles (2001) bahwa kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek ekologi meliputi
tingkat
penangkapan,
jumlah
biomassa,
ukuran
ikan,
kualitas
lingkungan, keragaman spesies, keragaman ekosistem, luas area dilindungi dan pemahaman ekosistem. Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek ekonomi menurut Charles (2001) meliputi fleksibilitas masyarakat, kemandirian masyarakat, daya dukung manusia, daya dukung lingkungan, kesamaan distribusi, investasi, suplai pangan dan ketahanan pangan jangka panjang. Kriteria sistem perikanan yang berkelanjutan ditinjau dari aspek institusional
menurut
Charles
(2001)
meliputi
efektivitas
manajemen,
penggunaan metode tradisional, penggabungan input lokal, kapasitas terpasang dan keberlangsungan institusi. 2.4.6. Pembangunan Agribisnis Perikanan di Indonesia Pembangunan perikanan selama ini terlampau berorientasi kepada usaha budidaya
dengan
sasaran
utama
peningkatan
produksi.
Paradigma
pembangunan yang demikian menciptakan hasil yang tidak sesuai potensi yang dimiliki, baik terhadap perekonomian nasional maupun bagi para petani/nelayan sebagai pelaku usaha terbesar di sektor ini. Struktur agribisnis yang hanya
25
memberikan subsistem agribisnis usaha budidaya sebagai porsi ekonomi petani/nelayan sulit diharapkan dapat meningkatkan pendapatannya. Oleh karena itu, diharapkan petani/nelayan dapat ikut serta dalam subsistem agribisnis hulu dan hilir yang merupakan subsistem yang memiliki potensi untuk mendorong pertumbuhan yang tinggi dan dapat mengatasi kemiskinan karena daya jangkau dan spektrum kegiatannya yang sangat luas. Pembangunan sektor perikanan dengan pendekatan sistem agribisnis adalah membangun dan mengembangkan subsistem industri hulu perikanan (upstream agribusiness) meliputi: pembenihan, industri peralatan budidaya dan penangkapan ikan, dan industri pakan, subsistem budidaya atau penangkapan ikan
dan
penangkapan
pascapanen
dan
pascapenangkapan
(on
farm
agribusiness), subsistem industri hilir (down stream agribusiness) meliputi: pengolahan (agroindustri) dan pemasaran dan subsistem jasa penunjang meliputi: perbankan, transportasi, penelitian dan pengembangan, kebijakan pemerintah, penyuluhan. Pembangunan yang berwawasan agribisnis merupakan upaya sistematis yang dipandang strategis dalam mencapai beberapa tujuan antara
lain
menarik dan
mendorong
pengembangan
sektor perikanan,
mencipatakan struktur ekonomi yang tangguh, efisien dan fleksibel, menciptakan nilai tambah, meningkatkan devisa negara, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan. Untuk menciptakan kondisi strategik agribisnis, maka eksistensi dan keterkaitan masing-masing subsistem merupakan syarat yang perlu bagi berlangsungnya sistem agribisnis yang dinamis. Kondisi seperti ini membuat para petani/nelayan akan terlengkapi perangkap fungsional dalam memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan rasional serta efektif dan efisien dalam mentransformasikan masukan menjadi luaran untuk mendapatkan nilai tambah maksimal serta menjadi pelaku usaha dengan posisi tawar yang tinggi. 2.5. Pengertian Kawasan Minapolitan Menurut UU No. 26/2007 tentang penataan ruang, kawasan adalah suatu wilayah yang mempunyai fungsi dan atau aspek/pengamatan fungsional tertentu. Secara terminologi, Minapolitan terdiri dari kata mina yang berarti perikanan dan politan yang berarti kota. Minapolitan (KKP, 2010) merupakan konsep pembangunan kelautan dan perikanan berbasis wilayah dengan pendekatan dan
26
sistem manajemen kawasan dengan prinsip-prinsip, integrasi, efisiensi, kualitas, dan akselerasi. Kawasan Minapolitan berdasarkan turunan kawasan Agropolitan: adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem minabisnis. Kawasan Minapolitan adalah suatu wilayah yang mempunyai fungsi sebagai pengembangan usaha perikanan yang berkembang dalam sebuah sistem agribisnis yang utuh dan menyeluruh, yang berangsur-angsur menampilkan suatu ciri kekotaan karena kelengkapan prasarana dan sarana yang dimilikinya (DPK Kabupaten Gowa, 2008). Pengembangan minapolitan ini lebih menekankan kepada pengembangan wilayah, kelestarian lingkungan, kelembagaan, peningkatan produk lokal dan partisipasi masyarakat. Program Pengembangan Kawasan Minapolitan adalah
pembangunan
ekonomi berbasis perikanan di Kawasan Agribisnis, yang dirancang dan dilaksanakan dengan jalan mensinergikan berbagai potensi yang ada untuk mendorong berkembangnya sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi, yang digerakkan oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah (KKP, 2010).
Minapolitan
merupakan upaya percepatan pengembangan pembangunan kelautan dan perikanan di sentra-sentra produksi perikanan yang memiliki potensi untuk dikembangkan dalam rangka mendukung visi dan misi Kementerian Kelautan dan Perikanan. Tujuan dari pengembangan minapolitan (KKP, 2010), yaitu: 1. Meningkatkan
produksi
perikanan,
produktivitas
usaha
dan
meningkatkan kualitas produk kelautan dan perikanan. 2. Meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya dan pengolah ikan yang adil dan merata. 3. Mengembangkan Kawasan Minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi di daerah dan sentra-sentra produksi perikanan sebagai penggerak perekonomian rakyat. Adapun sasaran dari pengembangan minapolitan (KKP, 2010) adalah: 1. Ekonomi rumah tangga masyarakat kelautan dan perikanan skala kecil makin kuat
27
2. Usaha kelautan dan perikanan kelas menengah ke atas makin bertambah dan berdaya saing tinggi. 3. Sektor kelautan dan perikanan menjadi penggerak ekonomi nasional. Menurut KKP (2010) bahwa pendekatan yang harus dilakukan dalam pengembangan minapolitan antara lain: 1. Ekonomi kelautan dan perikanan berbasis wilayah Mendorong penerapan manajemen hamparan untuk mencapai skala ekonomi, mencegah penyebaran penyakit, meningkatkan efisiensi dalam menggunakan
sumberdaya
sekaligus
mengintegrasikan
pemenuhan
kebutuhan sarana produksi, proses produksi, pengolahan dan pemasaran hasil dan pengelolaan lingkungan dalam kesisteman yang mapan. 2. Kawasan ekonomi unggulan Memacu pengembangan komoditas yang memilki kriteria (a) bernilai ekonomis tinggi; (b) teknologi tersedia, (c) permintaan pasar besar dan (d) dapat dikembangkan secara masal. 3. Sentra produksi Minapolitan berada dalam kawasan pemasok hasil perikanan (sentra produksi perikanan) yang dapat memberikan konstribusi yang besar terhadap mata pencaharian dan kesejahteraan masyarakat. Seluruh sentra produksi kelautan dan perikanan menerapkan teknologi inovatif dengan kemasan dan mutu terjamin. 4. Unit usaha Seluruh unit usaha dilakukan dengan menggunakan prinsip bisnis secara profesional dan berkembang dalam satu kemitraan usaha yang saling memperkuat dan menghidupi. 5. Penyuluhan. Penguatan kelembagaan dan pengembangan jumlah penyuluh merupakan salah satu syarat mutlak keberhasilan pengembangan minapolitan. Penyuluh akan berperan sebagai fasilisator dan pendamping penerapan teknologi penangkapan dan budidaya ikan serta pengolahan hasil perikanan. 6. Lintas sektor Minapolitan dikembangan dengan dukungan dan kerjasama berbagai instansi terkait untuk mendukung kepastian usaha antara lain terkait
28
dengan sarana dan prasarana pemasaran produk perikanan, tata ruang wilayah, penyediaan air bersih, listrik, akses dan BBM.
2.5.1. Ciri-Ciri Kawasan Minapolitan Menurut DPK Kabupaten Gowa (2008) bahwa Kawasan Minapolitan memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1. Sebagian besar masyarakat di Kawasan Minapolitan memperoleh sumber pendapatan dari kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan agribisnis perikanan. 2. Sebagian besar kegiatan di Kawasan Minapolitan didominasi oleh kegiatan agribisnis perikanan, termasuk di dalamnya usaha agribisnis hilir (pengolahan dan perdagangan hasil-hasil perikanan), agribisnis hulu (pengadaan sarana perikanan dan permodalan), agrowisata, jasa pelayanan, dan lain-lain. 3. Hubungan antar kota dan daerah sekitarnya (hinterland) adalah hubungan timbal balik yang harmonis dan saling membutuhkan, dimana kawasan hinterland perikanan mengembangkan produk primer dan produk olahan skala rumah tangga, sebaliknya pusat kawasan menyediakan fasilitas-fasilitas yang mendukung pengembangan usaha budidaya dan usaha-usaha lain yang berkaitan. 4. Kehidupan masyarakat di Kawasan Minapolitan mirip dengan suasana kota karena keadaan sarana yang ada di Kawasan Minapolitan tidak jauh berbeda dengan di kota. 2.5.2. Persyaratan Kawasan Minapolitan Suatu wilayah dapat dikembangkan menjadi suatu Kawasan Minapolitan apabila memenuhi persyaratan (DPK Kabupaten Gowa, 2008) sebagai berikut: 1. Memiliki sumberdaya lahan dengan agroklimat yang sesuai untuk mengembangkan komoditi perikanan yang dapat dipasarkan atau telah mempunyai pasar (komoditi unggulan), serta berpotensi atau telah berkembang
diversifikasi
usaha
dari
komoditi
unggulannya.
Pengembangan kawasan tersebut tidak saja menyangkut kegiatan budidaya perikanan tetapi juga kegiatan pada agribisnis hulu dan hilir. 2. Memiliki berbagai sarana dan prasarana agribisnis yang memadai untuk mendukung pengembangan sistem agribisnis, antara lain:
29
a. Pasar, baik pasar untuk hasil perikanan, pasar sarana perikanan, alat dan mesin perikanan, maupun pasar jasa pelayanan, termasuk pasar lelang, gudang tempat penyimpanan dan pengolahan hasil perikanan sebelum dipasarkan. b. Lembaga keuangan (perbankan dan non perbankan) sebagai sumber modal untuk kegiatan agribisnis perikanan. c. Memiliki kelembagaan petani ikan (kelompok, koperasi, asosiasi) yang dinamis dan terbuka pada inovasi baru. Kelembagaan ini harus
berfungsi
pula
sebagai
Sentra
Pembelajaran
dan
Pengembangan Agribisnis (SPPA). Disamping itu diharapkan kelembagaan petani dengan petani ikan disekitarnya merupakan inti-plasma dari usaha agribisnis. d. Balai Penyuluhan Perikanan (BPP) yang berfungsi sebagai Klinik Konsultasi Agribisnis (KAA), yakni sebagai sumber informasi agribisnis, tempat percontohan usaha agribisnis, dan pusat pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan usaha agribisnis yang lebih efisien dan menguntungkan. 3. Jaringan jalan yang memadai dan aksesibilitas dengan daerah lainnya serta sarana irigasi yang dapat mendukung usaha agribisnis yang efektif dan efisien. 4. Memiliki
sarana
dan
prasarana
umum
yang
memadai
seperti
transportasi, jaringan listrik, telekomunikasi, air bersih, dan lain-lain. 5. Memiliki sarana dan prasarana kesejahteraan sosial/masyarakat yang memadai, seperti sarana kesehatan, pendidikan, kesenian, rekreasi, perpustakaan, swalayan, dan lain-lain. 6. Kelestarian lingkungan hidup, baik kelestarian sumberdaya alam, kelestarian sosial budaya, maupun keharmonisan hubungan kota dan desa yang semakin baik. 2.5.3. Konsep Kawasan Minapolitan Menurut Deptan (2002) agropolitan berasal dari kata agro berarti pertanian dan politan berarti kota, yaitu kota pertanian yang tumbuh dan berkembang dalam sistem usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Dapat juga
30
disebutkan sebagai kota pertanian atau kota di lahan pertanian atau juga pertanian di daerah kota. Minapolitan merupakan konsep pengembangan yang diadopsi dari konsep agropolitan, yaitu kota perikanan yang tumbuh dan berkembang dalam sistem usaha agribisnis sehingga dapat melayani, mendorong dan menarik kegiatan pembangunan agribisnis di wilayah sekitarnya. Menyangkut luasan wilayah minapolitan dalam kota pertanian dan desa penyangga sentra produksi perikanan sebagai aktifitas pembangunan dengan jumlah penduduk antara 50.000 sampai dengan 150.000 jiwa. Sebagai contoh kawasan agropolitan berbasis peternakan sebagai komoditas unggulan di kabupaten Agam terdiri dari 5 (lima) kecamatan dengan jumlah penduduk 56.000 jiwa. Sedangkan menurut Rustiadi et al, 2006 menyatakan lebih cocok pada skala kecamatan oleh karena: (1) kemudahan akses, (2) cukup luas untuk mengembangkan wilayah pertumbuhan ekonomi dan diversifikasi produk, (3) pengetahuan lokal yang mudah disinergisasi dalam proses perencanaan. Konsep minapolitan pada dasarnya merupakan perpaduan teori-teori lokasi yang berkembang dalam konsep agropolitan seperti teori Christaller, teori Losh dan teori Von Thunen, kesemua teori ini memberikan pehamahan terhadap masyarakat bahwa setiap wilayah memiliki hirarki dan fungsi yang berbeda, sehingga membentuk suatu interaksi yang tetap dan berlanjut antara kota dan desa. Atas dasar fungsi dan hirarki tersebut dapat ditentukan lokasi untuk setiap aktivitas ekonomi yang akan dikembangkan. LUAR
SENTRA PRODUKSI 2
NEGERI
SENTRA PRODUKSI 3 UNIT
USAHA
X UNIT
BUDIDAYA X
X
PRODUK
USAHA
PASAR
X
X
SENTRA PRODUKSI 1
OLAHAN X UNIT USAHA TANGKAP
DALAM FAKTOR
X X
NEGERI
EKSTERNAL X X X: UNIT USAHA TURUNAN
Gambar 3. Skema Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan.
31
2.5.4. Strategi Pengembangan Kawasan Minapolitan Pengembangan Kawasan Minapolitan memiliki sasaran dan tujuan di dalamya.
Sasaran
pengembangan
Kawasan
Minapolitan
adalah
untuk
mengembangkan kawasan perikanan berpotensi menjadi Kawasan Minapolitan melalui: 1. Pemberdayaan
masyarakat
pelaku
agribisnis
agar
mampu
meningkatkan produksi, produktivitas komoditi perikanan serta produkproduk olahan perikanan yang dilakukan dengan pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang efisiensi; 2. Penguatan kelembagaan petani; 3. Pengembangan kelembagaan sistem agribisnis (penyedia agroinput, pengelolaan hasil, pemasaran dan penyedia jasa); 4. Pengembangan kelembagaan penyuluhan pembangunan terpadu; 5. Pengembangan iklim yang kondusif bagi usaha dan investasi. Departemen Kimpraswil pada tahun 2002 (Dep. PU, 2005) menjabarkan delapan tujuan yang ingin dicapai, yaitu: 1. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat petani di perdesaan; 2. Mendorong berkembangnya system dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasiskan kerakyatan dan berkelanjutan; 3. Meningkatkan keterkaitan desa dan kota (rural-urban linkages); 4. Mempercepat
pertumbuhan
kegiatan
ekonomi
perdesaan
yang
berkeadilan; 5. Mempercepat industrialisasi di wilayah perdesaan; 6. Mengurangi arus urbanisasi atau migrasi dari desa ke kota; 7. Memberi peluang usaha dan menciptakan lapangan pekerjaan; 8. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk mencapai sasaran dan tujuan tersebut, menurut Soenarno (2003) terdapat beberapa strategi yang dapat dilakukan untuk mencapai sasaran dan tujuan di atas antara lain: 1. Penyusunan master plan pengembangan Kawasan Minapolitan yang akan menjadi acuan masing-masing wilayah/propinsi.
Penyusunan
dilakukan oleh pemerintah daerah dan masyarakat sehingga program yang disusun lebih akomodatif.
Master plan disusun dalam jangka
32
waktu panjang (10 tahun), jangka menengah (5 tahun) dan jangka pendek (1-3 tahun) yang bersifat rintisan dan stimulun. 2. Penetapan lokasi minapolitan yang kegiatannya dimulai dari usulan penetapan kabupaten oleh pemerintah propinsi, untuk selanjutnya oleh pemerintah kabupaten mengusulkan Kawasan Minapolitan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi dan masalah untuk mengetahui kondisi dan potensi lokal (komoditas unggulan), antara lain: potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, kelembagaan, iklim usaha dan sebagainya serta terkait dengan sistem pemukiman nasional, propinsi dan kabupaten. 3. Sosialisasi program minapolitan dilakukan kepada seluruh stakeholder yang terkait dengan pengembangan program minapolitan baik di pusat maupun di daerah, sehingga pengembangan program minapolitan dapat lebih terpadu dan terintegrasi. 2.6. Analisis Kinerja Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Dalam pelaksanaannya pengembangan kawasan terkadang memerlukan peninjauan agar konsep dan strategi yang dilakukan berjalan dengan sesuai rencana yang telah ditetapkan. Keberhasilan program minapolitan ditentukan oleh dua indikator berdasarkan dua pendekatan (Dep. PU, 2005), yaitu: 1. Pendekatan dampak a. Pendapatan masyarakat dan pendapatan petani meningkat minimal 5% di Kawasan Minapolitan (di kota dan desa lokasi program minapolitan). b. Produktivitas lahan meningkat minimal 5% di lokasi program. c. Investasi masyarakat (petani, BUMN, swasta) meningkat minimal 10%. 2. Pendekatan Output a. 80% dari kelembagaan petani (kelompok tani, koperasi, kelompok usaha) di Kawasan Minapolitan yang dibina mampu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan. b. Terjadinya
partisipasai
masyarakat
program/rencana tahunan. c. Terbentuknya jaringan bisnis petani.
dalam
menyusun
33
d. Terciptanya system penyuluhan pertanian yang professional yang dilihat dari frekuensi pertemuan yang berkualitas dan multidisiplin. e. 80% dari kontak tani maju terpilih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya. 2.6.1. Peran dan Fungsi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Arahan pengembangan fungsi dan peran kawasan minapolitan: 1. Pusat budidaya perikanan di Kabupaten Gowa Sebagai sentral budidaya perikanan di Kabupaten Gowa, Kawasan Minapolitan
diharapkan
mampu
meningkatkan
pertumbuhan
perekonomian wilayah dalam sektor perikanan serta mampu mencukupi kebutuhan ikan dalam skala regional dan nasional sehingga dapat meningkatakan kesejahteraan masyarakat petani ikan dan menyumbang PAD dari sektor perikanan. 2. Pusat kegiatan perdagangan dan jasa perikanan Kegiatan perdagangan dan jasa adalah perdagangan dan jasa dalam sektor pariwisata serta peralatan perikanan. Dengan adanya aktivitas perdagangan ini diharapkan mampu menjadi motor penggerak roda perkonomian di wilayah Kawasan Minapolitan serta mampu mencukupi segala macam kebutuhan para petani ikan baik itu benih, obat-obatan dan pakan ikan.
2.6.2. Visi Dan Misi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa Visi Kawasan Minapolitan adalah terbentuknya kota mina yang produktif, kompetitif dan berkesinambungan. Visi tersebut dapat diartikan sebagai berikut: a. Produktif: mampu menghasilkan sebuah produk perikanan secara komprehensif yang mampu mencukupi kebutuhan lokal, regional, nasional dan internasional sehingga mampu mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat petani ikan. b. Kompetitif: bahwa produk yang dihasilkan oleh para petani ikan Kawasan Minapolitan mampu bersaing dengan produk luar, baik dari segi kualitas, kuantitas maupun harga. c. Berkesinambungan: dalam pengembangan budidaya perikanan tetap memperhatikan faktor kelestarian lingkungan, sehingga tidak merusak lingkungan dan alam sekitarnya. Di sisi lain alam merupakan bagian
34
dari sarana pengembangan budidaya ikan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Adapun misi Kawasan Minapolitan Kabupaten Gowa, antara lain: a. Menumbuhkan dan mengembangan kehidupan perekonomian rakyat yang berbasis sumberdaya lokal b. Penggunaan teknologi budidaya perikanan yang tepat guna c. Menyelenggarakan serta peningkatan pelayanan dan ketrampilan kepada para petani d. Mendayagunakan serta menjaga kelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidup secara optimal. e. Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana perikanan yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan perikanan. f.
Mendorong berkembangnya industri perikanan melalui optimalisasi potensi lokal dengan mewujudkan iklim investasi yang kondusif dan berkesinambungan.