Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
AIR DAN LINGKUNGAN DI KAWASAN PERDESAAN1 Hidayat Pawitan, Dedi Sudarma dan Budi Indra Setiawan 2 Abstrak Pembangunan nasional selama beberapa dekade terakhir ini telah membawa perubahan besar, tidak saja terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat, akan tetapi juga terhadap kondisi sumber daya air wilayah dan lingkungan sebagai akibat langsung dari perubahan pola penggunaan lahan yang telah memberi dampak sangat nyata terhadap jasa lingkungan daerah aliran sungai (DAS), respons hidrologi DAS, serta gejala banjir dan kekeringan. Perubahan ini juga terjadi di kawasan perdesaan yang merupakan bagian terbesar dari wilayah Indonesia di mana 46% tenaga kerja Indonesia masih mengandalkan hidup di sektor pertanian, sebagai pengguna air terbesar. Disimpulkan bahwa perubahan lingkungan yang telah terjadi
dalam skala luas, khususnya di kawasan perdesaan, telah memberi dampak nyata terhadap penurunan jasa lingkungan DAS berupa hasil air (water yield), dengan semakin meningkatnya frekuensi kejadian ekstrem, seperti banjir dan kekeringan. Yang juga perlu dicermati adalah bahwa dalam kurun waktu setengah abad terakhir telah terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas di Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia, dibandingkan dengan waktu setengah abad sebelumnya. Dampak timbal-balik perubahan lingkungan ini semakin nyata dengan terbatasnya kapasitas simpan air sistem waduk dan danau yang ada di pulau Jawa. Kata kunci: dampak perubahan lingkungan, jasa lingkungan DAS, ketersediaan air, frekuensi banjir.
PENDAHULUAN Perkembangan pembangunan nasional selama beberapa dekade terakhir ini dicirikan oleh semakin menurunnya kontribusi ekonomi sektor pertanian terhadap total GDP (Gross domestic product) dari 47,2% pada tahun 1970 menjadi 24.8% pada tahun 1980 dan tinggal 17.6% pada tahun 1990 (ADB, 1992). Tahun 2000an ini diperkirakan kontribusi ekonomi dari sektor pertanian sebesar 15%. Penurunan andil ini berlawanan dengan meningkatnya tekanan penduduk terhadap sumber daya lahan dan air yang telah menunjukkan sejumlah dampak negatif yang serius, berupa perubahan penggunaan lahan yang tak-terkendali berupa perambahan hutan dan penebangan liar ke daerah hulu, hilangnya tutupan lahan hutan menjadi areal penggunaan lahan lainnya, yang terbukti memiliki daya dukung lingkungan lebih terbatas, sehingga bencana banjir dan kekeringan semakin sering terjadi, disertai bencana ikutannya, seperti tanah longsor, korban jiwa, pengungsian penduduk, gangguan kesehatan, sampai kelaparan dan anak putus sekolah.
1
2
Makalah disajikan dalam Seminar “ Air dan Kelestarian Lingkungan” diselenggarakan oleh Kemitraan Air Indonesia, Jakarta, 6 September 2007. Tim PPLH IPB terdiri atas: Hidayat Pawitan, Dedi Sudarma dan Budi Indra Setiawan
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Menurut Undang-undang RI No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang: “kawasan perdesaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi”. Kawasan perdesaan dibedakan dari kawasan lindung dan kawasan perkotaan. Mengacu pada UU 41/1999 tentang kehutanan, kawasan lindung dengan dominasi hutan alam minimal 30% dari total luas wilayah, sedangkan kawasan perkotaan adalah wilayah dengan kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat pemukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Dengan pengertian ini, kawasan perdesaan dengan pertanian sebagai kegiatan utama akan mengambil bagian terbesar dari luas suatu wilayah, walau dengan tuntutan persyaratan biofisik lahan, luas lahan „arable‟ Indonesia diperkirakan mencapai 100,2 juta ha (BPS, 2002), yang telah dimanfaatkan untuk pertanian mencapai 68,5 juta ha. Rincian ketersediaan lahan yang sesuai untuk pertanian ini telah disusun oleh Puslittanak (2001) berupa Atlas Arahan Tata Ruang Pertanian Indonesia skala 1:1.000.000. Untuk memanfaatkan potensi produksi sumber daya lahan tersebut diperlukan air dengan kesesuaian menurut tempat dan waktu, yang dipenuhi dari ketersediaan air dari curah hujan. Perkembangan lahan pertanian 1986-2002 (Abdurachman dkk, 2002) menunjukkan peningkatan luas sawah dari 7,77 juta ha tahun 1986 menjadi 8,52 juta ha tahun 1996, namun manyusut menjadi 7,77 juta ha tahun 2002. Luas pertanian lahan kering tidak banyak berubah, dari 11,28 juta ha tahun 1986 menjadi 13,18 juta ha tahun 2002. Perkembangan positif ditunjukkan pada lahan perkebunan, yang meningkat dari 8,77 juta ha tahun 1986 menjadi 19,91 juta ha tahun 2001. Dinamika perubahan luas lahan pertanian juga terjadi dari lahan sawah ke penggunaan non-pertanian yang mencapai 1,6 juta ha dalam kurun waktu 1981-1999, sekitar satu juta ha terjadi di Jawa. Untuk kurun waktu yang sama pencetakan sawah baru di Jawa mencapai 518 ribu ha dan di luar Jawa 2,7 juta ha. Perubahan penggunaan lahan pertanian yang didorong oleh pertambahan jumlah penduduk sekitar 3 juta per tahun, diikuti oleh peningkatan taraf hidup telah menyebabkan peningkatan kebutuhan pangan, lahan dan air. Dinamika perubahan lingkungan ini memberi dampak serius terhadap respons hidrologi kawasan perdesaan, dan kawasan hulu dan hilir DAS. Semakin sering terjadinya bencana banjir dan kekeringan ini telah ditunjukkan dengan peningkatan frekuensi kejadian ekstrem tersebut, sehingga bisa diharapkan akan terjadi setiap tahun dengan intensitas yang semakin kuat pula. Memasuki musim hujan tahun 2002 lalu dan terjadi lagi tahun 2003 lalu dikejutkan dengan bencana banjir bandang Bohorok, di susul banjir Jember, dan berlanjut dengan bencana banjir yang terus meluas dan menjadi berita setiap hari lewat media cetak dan elektronik sampai saat ini, dan diprakirakan akan terus berulang setiap musim hujan pada masa mendatang. Kerugian material dan ekonomi yang diakibatkan juga cenderung meningkat. Hanya dari banjir Jakarta 2002 selama satu-dua minggu saja tercatat kerugian ekonomi mencapai 5~6,7 triliun rupiah, yang meningkat menjadi 43 Triliun rupiah pada banjir Jakarta 2007 (Bappenas, 2007), dan tentunya jauh lebih besar untuk tingkat nasional. Dari sektor pertanian untuk kawasan perdesaan tercatat
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
rerata luas padi sawah yang terkena banjir mencapai 100 ribu ha/tahun, sedang akibat kekeringan mencapai lebih dari 200 ribu ha/tahun dan kebakaran hutan lebih dari 100 ribu ha pada tahun-tahun El Nino (263 991 ha tahun 1997). Rekor kebakaran hutan terjadi tahun 1982-83 di Kalimantan Timur dengan total luas tiga juta hekktar dan estimasi kerugian sebesar sembilan milyar USD atau setara 77 triliun rupiah dengan kurs saat ini. Kondisi hidrologi pulau Jawa dan Indonesia umumnya saat ini dicirikan oleh meningkatnya kejadian ekstrem seperti banjir dan kekeringan dengan kandungan cemaran yang tinggi di badan-badan air seperti sungai dan danau. Krisis air juga semakin terasa, khususnya menjelang dan selama musim kemarau, khususnya untuk pulau Jawa yang sudah diantisipasi akan mengalami kelangkaan air yang serius akibat tekanan penduduk yang akut dan kondisi perubahan penggunaan lahan. Diperkirakan bahwa sebagai dampak yang perlu dicermati dari perubahan penggunaan lahan dalam skala luas adalah telah terjadinya penurunan curah hujan dan regime hidrologi di sejumlah wilayah di Indonesia, khususnya untuk pulau Jawa.. Pengaruh perubahan lingkungan terhadap aspek sumber daya air, frekuensi banjir dan kapasitas storage waduk/sumber air untuk kawasan perdesaan menjadi fokus kajian dalam tulisan ini.
KHARAKTERISTIK HIDROLOGI SUMBER DAYA AIR BEBERAPA SUNGAI UTAMA Informasi dasar mengenai kharakteristik hidrologi sejumlah sungai utama di Indonesia dan negara-negara Asia-Pasifik dapat diperoleh di Cataloque of Rivers Vol. 1 s/d 4 (Publikasi Unesco-IHP) yang memuat 10 sungai di Indonesia, seperti disajikan pada Tabel 1 dan 2. Delapan dari sepuluh sungai tersebut terdapat di Jawa dengan total luas kedelapan DAS tersebut mencapai separuh dari luas pulau Jawa, dan total rerata debit sebanding dengan proporsi luas DAS. Status penggunaan lahan dari sepuluh DAS utama ini sudah didominasi oleh lahan budidaya dan perkotaan yang menunjukkan tingkat perkembangan wilayah yang ada. Penggunaan lahan pertanian dan padi sawah sebagai ciri kawasan perdesaan telah mencapai 50% untuk sejumlah DAS sampai 90% untuk DAS Bengawan Solo, dan luas perkotaan mencapai hampir 30% untuk Citarum dan Brantas, sedang luas lahan hutan banyak sudah di bawah 20%, kecuali untuk DAS di luar Jawa. DAS Progo dan Bengawan Solo hanya memiliki luas hutan 4% dan 3% saja. Data terakhir dari Badan Planologi Dephut (Indrabudi, 2007) menyatakan bahwa luas tutupan hutan pulau Jawa saat ini tinggal empat persen saja, walau luas tutupan vegetasi mencapai 18%. Kharakteristik debit sungai sebagaimana diberikan pada Tabel 2 menunjukkan variasi aliran yang tinggi, baik untuk regime aliran sungai-sungai tertentu maupun antar sungai. Ratio debit maksimum/minimum bervariasi dari kurang dari 20 X sampai lebih dari 100 X, walau perlu dicermati juga akurasi informasi debit yang diberikan ini antara debit maksimum sesaat atau rerata bulanan. Sebagai indikator penting untuk menilai kharakteristik hidrologi banjir dari suatu sungai adalah debit jenis (specific discharge) yang dibataskan sebagai besar debit per satuan luas DAS (m3/s/100km2). Nampak bahwa sungai-sungai utama di Indonesia ini memiliki sifat banjir yang moderate dibandingkan dengan sungai-sungai di dunia, yaitu
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
dengan debit jenis antara 10 s/d 80 m3/s/100km2 kecuali Tuntang dan Jeneberang yang melampaui 100 m3/s/100km2 atau termasuk tinggi. Sebagai ukuran ketersediaan air dapat dinyatakan debit jenis terhadap debit rerata yang menghasilkan besaran antara 4 s/d 10 m3/s/100km2. Debit minimum menyatakan kondisi ketersediaan air pada musim kering yang tentunya harus digunakan terbatas untuk jenis penggunaan air tertentu saja, seperti penggunaan domestik dan industri, dan tidak untuk pertanian. Kondisi ketersediaan air demikian, dengan fluktuasi musiman yang nyata, menunjukkan perlunya pengembangan sistem waduk yang memadai untuk mengatasi kekurangan air saat musim kemarau dengan menyimpan kelebihan aliran saat musim hujan. Tabel 1. Kharacteristik beberapa sungai utama di Indonesia dengan status penggunaan lahannya. No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. 9
10
Name of River
Length [km] Catchment area [km2]
Highest peak [m]
Lowest point [m]
Main cities Population (year)
269 6 080
1 700 0
230 3 600
3 078 0
170 4 460
1 750 0
Tasik 187 609 Ciamis 145 406 Banjar 130 197 (1995)
158 3 383
2 565 0
140 2 380
1 650 0
Bengawan Solo
600 16 100
3 265 0
Brantas
320 12 000
3 369 0
Purwokerto 209 005 Magelang 116 468 (1995) Solo: 525 371 Ngawi:829 726 (1993) Surabaya 2 270 081 (1990)
139 798
3 142 0
147 3 741
2457 0
78.75 727
2 876 0
Citarum
Cimanuk
Citanduy
Serayu
Progo
Tuntang Asahan
Jeneberang
Bandung 2 513 000 (1992) Cirebon 256 134 (1995)
Salatiga: 104 834 Ambarawa:42 738 000(1997) Parapat, Porsea, Balige, Kisaran, Tj.Balai 889 997 (1992) Makassar Malino Bili-bili Sungguminasa 982 248 (1993)
Land use1) [%] F
L
A
P
U
20
2.5
18
30
29.5
22.8
0.01
29.8
36
6.6
9.3
0.08
48
24
16.6
17
-
35.6
24.6
22.7
4
-
32
45
19
3.0
.5
24.5
66
6.0
22.1
-
19.8
29.2
28.9
21.3
3.0
37.5
30.5
7.7
35.0
10.0
40.0
10.0
5.0
40.0
-
27.0
20.0
13.0
1). F: forest; L: lakes, rives, marshes; A: agriculture fields; P: paddy fields; U: urban areas. Sumber: Catalogue of Rivers, Vol. 1,2,3&4.
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Table 2. Kharakteristik debit beberapa sungai-sungai utama. No.
Name of River
Station
Catchment area(A) [km2] 1 675 3 003 2 515 2 631 2 008 12 804 8 650 798 3 741 384.4
Nanjung Citarum Rentang Cimanuk Cikawung Citanduy Rawalo Serayu Bantar Progo Bengawan Solo Bojonegoro Jabon Brantas Glapan Tuntang Siruar Asahan Patalikang Jeneberang Sumber: Catalogue of Rivers, Vol. 1,2,3&4. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
_ Q [m3/s] 68.7 134.7 204.0 273.4 89.3 362.9 258.7 27.7 96.6 43.5
_ Qmax [m3/s] 455.0 305.6 710.6 1 497 596.0 2 127 866.1 500.0 133.1 352.2
_ Qmin [m3/s] 5.4 19.9 16.3 58.8 9.0 19.0 46.6 4.5 42.1 0.3
Qmax/A [m3/s/100km2] 27.1 14.6 39.2 76.8 29.8 17.0 10.0 137.0 7.0 182.4
PERUBAHAN LINGKUNGAN UNTUK KAWASAN PERDESAAN Kharakteristik hidrologi yang dikemukan di atas tidak lepas dari kondisi hutan dan lahan yang telah mengalami perubahan yang sangat drastis dalam dua-tiga dekade terakhir ini, sebagaimana dapat dicermati dari peta vegetasi pada Gambar 1 dan Tabel 3 berikut. Angkaangka laju deforestasi seperti ditunjukkan pada Tabel 3 berikut menunjukkan variasi tahunan yang tinggi antara 634 ribu ha/tahun sampai 1,9 juta ha/tahun dengan rerata tahunan sekitar 1,2 juta ha, dan ini lebih rendah dari klaim Greenpeace yang menyatakan Indonesia dengan record rerata deforestasi sebesar 1,8 juta ha/tahun. Kenyataannya luas tutupan vegetasi Indonesia terus mengalami pengurangan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3 berikut untuk tahun 1992, 1998, dan 2004. Tabel 3. Laju deforestasi di Indonesia 1999 – 2005.
Sumber: Baplan-Dephut (2007)
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Penurunan luas vegetasi, khususnya hutan, di Jawa telah berakibat pada penurunan jumlah curah hujan yang jatuh secara nyata, diperkirakan penurunan curah hujan mencapai 10 mm/tahun dalam seratus tahun terakhir di sebagian besar pulau Jawa. Perubahan tutupan vegetasi sejalan dengan tingginya laju deforestasi di Indonesia telah meningkatkan luas lahan kritis, yang saat ini diperkirakan lebih dari 40 juta hektar. Jumlah lahan kritis ini tercatat masih meliputi 22 DAS pada tahun 1984 dengan luas lahan kritis 13 juta ha, meningkat menjadi 39 DAS kritis dan pada tahun 1998 mencapai 62 DAS kritis. Hal ini berpengaruh nyata terhadap ketersediaan air untuk berbagai penggunaan, khususnya untuk pertanian di kawasan perdesaan yang sangat bergantung pada musim.
Gambar 1. Perubahan tutupan vegetasi antara tahun 1992, 1998, dan 2004.
FREKUENSI BANJIR SEJUMLAH SUNGAI UTAMA Informasi banjir untuk sungai-sungai utama di Indonesia dapat diperoleh dari data debit sungai yang dikompilasi oleh Balai Hidrologi - Puslitbang Air, Bandung. Pengamatan debit secara meluas dilakukan sejalan dengan program Pelita I sejak tahun 1970an, kecuali untuk sejumlah sungai seperti Citarum-Nanjung yang memiliki data debit sejak tahun 1918. Loebis (1998) memberikan inventori banjir untuk Indonesia dengan identifikasi luasan banjir
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
menurut kabupaten. Untuk mengetahui tingkat banjir (flood severity) suatu sungai dapat digunakan ukuran debit jenis seperti ditunjukkan pada Tabel 2, dengan sungai Tuntang dan Jeneberang dari sepuluh sungai tersebut memiliki debit jenis melampaui 100 m3/s/100km2. Untuk pulau Jawa sesungguhnya dicatat sejumlah sungai dengan langganan banjirnya, sedang dari debit jenisnya, selain Tuntang, hanya sungai Citanduy dan Serayu saja yang masih dapat dikelaskan sebagai moderate, walau tentunya perlu dikenali juga bahaya bencana banjir bandang untuk daerah hulu sungai (headwater catchment) yang dapat menghasilkan debit sangat tinggi dan koefisien limpasan lebih dari satu karena terjadinya akumulasi tampungan dan gejala gagal waduk beruntun (cascade dam break). Dari data series debit banjir yang tersedia dapat dihitung statistik deskriptif maupun frekuensi debit banjir sungai-sungai yang ada seperti ditunjukkan pada Tabel 4 berikut. Koefisien variasi dapat dijadikan ukuran untuk menilai variasi debit maksimum yang ada, dengan sungai Progo, Tuntang dan Jeneberang berada pada posisi paling bervariasi dari tahun-ke-tahun. Dari data series ini juga dapat diketahui perubahan besar banjir dari tahun ke tahun. Rerata debit banjir sungai Citarum pada stasiun Nanjung telah mengalami peningkatan debit banjir dari 242 m3/s pada awal abad ini menjadi 300 m3/s pada masa setelah 1973. Peningkatan debit banjir ini berlawanan dengan kondisi debit rerata yang mengalami penurunan sebesar 3 mm/tahun, yang berarti memang telah terjadi peningkatan intensitas banjir di sungai Citarum. Tabel 4. Statistik deskriptif dan frekuensi debit banjir sungai utama Indonesia. Basin Name
Citarum B.Solo
Station Name
Nanjung B.negoro Pakel
Basin Area [Km2] (1675) Qaverage [m3/s] Stdev Koef.Var Skew
(12804)
Brantas Asahan Citanduy Progo (3410)
Cimanuk Serayu Tuntang Jberang
Siruar
Ptarumn
B-budur Rentang
B-mas
Glapan
P-ikang
(3782)
(1163)
(948)
(2631)
(798)
(384)
(3003)
279
1869
521
384
827
534
761
1279
500
42
225
133
79
283
270
185
238
196
352 174
0.15
0.12
0.26
0.21
0.34
0.51
0.24
0.19
0.39
0.49
0.7841
-1.5368
0.2809
0.6276
-0.3205
0.393
0.8704
1.303
1.7629
0.1077
Q-2
z=0,0
279
1869
521
384
827
534
761
1279
500
352
Q-10
z=1,28
333
2157
691
485
1189
880
998
1584
751
575
Q-25
z=1,75
353
2263
754
522
1322
1007
1085
1696
843
657
377
2393
830
568
1486
1162
1191
1833
956
757
Q-100 z=2,327
KONDISI KETERSEDIAAN AIR PADA WADUK DAN SUMBER AIR Kondisi ketersediaan air dari waduk seperti ditunjukkan pada Tabel 6 dan untuk lokasi sumber air non-waduk seperti diberikan pada Tabel 7 dan Tabel 8. Jaringan irigasi yang memperoleh air dari sistem waduk tidak lebih dari 15% dari total daerah irigasi yang ada di Indonesia, dan hal ini diperparah oleh fluktuasi musim yang sangat mencolok akibat sistem iklim muson. Keterbatasan kapasitas simpan air waduk ini telah menempatkan Indonesia sebagai negara yang miskin air dengan kapasitas simpan air per kapita sebesar 54, hanya sedikit di atas Ethiopia dan jauh di bawah Thailand sebesar 1240 m3/tahun atau China yang memiliki kapasitas simpan air sebesar 2600 m3/tahun. Oleh karena itu sangat wajar apabila Indonesia segera meningkatkan kapasitas simpan air waduknya dengan membangun lebih
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
banyak sistem waduk, khususnya di pulau Jawa, setidaknya dapat menyamai Thailand dalam do tahun mendatang. Ini sebagai bagian dari pembangunan infrastruktur irigasi, yang saat ini diprogramkan sejumlah 92 buah (lihat Tabel 5), tetapi ini belum meningkatkan kapasitas simpan air waduk secara nyata.
KESIMPULAN 1. Perubahan lingkungan yang telah terjadi dalam skala luas, khususnya di kawasan perdesaan, telah memberi dampak nyata terhadap penurunan jasa lingkungan DAS berupa hasil air (water yield), dengan semakin meningkatnya frekuensi kejadian ekstrem, seperti banjir dan kekeringan. 2. Perlu dicermati adalah bahwa dalam kurun waktu setengah abad terakhir telah terjadi penurunan jumlah curah hujan secara luas di Jawa dan beberapa wilayah lain di Indonesia, dibandingkan dengan waktu setengah abad sebelumnya. 3. Dampak timbal-balik perubahan lingkungan ini semakin nyata dengan dengan terbatasnya kapasitas simpan air sistem waduk dan danau yang ada di pulau Jawa. 4. Perlu segera diprogramkan pembangunan sistem simpanan air waduk, khususnya di pulau Jawa untuk mengatasi kelangkaan air di musim kemarau.
KEPUSTAKAAN: Baharsjah, JS, 2002. Quo Vadis Masyarakat Hemat Air. Orasi Purnabakti. Hasan, M., 2007. Dukungan Prasarana SD Air pada Program Peningkatan Produksi Beras 2 Juta Ton. Lokakarya Masyrakat Hidrologi Indonesia dalam Rangka Peringatan Hari Air Dunia 2007 di Jakarta. Indrabudi, Hermawan, 2007. Forest Resource Monitoring. National Workshop on Forest and Climate Change. Ministry o Forestry in Cooperation with GTZ and MenLH, Jakarta Manan, Hilman, 2007. Dukungan Pengelolaan Lahan dan Air terhadap Peningkatan Produksi Beras 2 Juta Ton. Lokakarya Masyrakat Hidrologi Indonesia dalam Rangka Peringatan Hari Air Dunia 2007 di Jakarta. Pawitan, H., 2003. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan, Balai Penelitian Tanah - Badan Litbang Pertanian, Bogor, 18 Desember 2003 _________, 2004. Climate and Water Aspects in Dry Land Agriculture. CREATAIPB/NAM CSSTC Training on Appropriate Mechanization and Water Management for Dryland Agriculture, Dramaga Campus-Bogor.
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Tabel 5. Usulan kegiatan peningkatan infrastruktur irigasi 2007. USULAN KEGIATAN NO
PROVINSI
1
2
Embung Kecil/ Waduk Lapangan
Upaya Efisiensi Air (Re-Use Drainase, dsb)
PAT
Volume (Buah)
(Rp M)
Volume (Titik)
(Rp M)
Volume (Ha)
(Rp M)
3
4
5
6
7
8
TOTAL (Rp M)
9
NAD
-
-
20
5
8,391
18
23
2
Sumatera Utara
-
-
20
5
34,052
19
24
3
Sumatera Barat
-
-
-
-
39,704
23
23
4
Sumatera Selatan
24
16
9,534
19
35
5
Lampung
-
-
13
6
25,287
29
35
6
Jawa Barat
12
20
22
10
48,872
55
85
7
Jawa tengah
23
15
26
12
119,964
53
80
8
DIY
-
-
-
-
12,311
15
15
9
Jawa Timur
32
29
28
11
74,800
50
90
-
-
-
-
40,906
20
20
-
8
5
2,480
12
17
1
10
Banten
11
Bali
12
NTB
15
10
38
8
13,000
13
30
13
Kalimantan Barat
-
-
-
-
6,425
15
15
14
Kalimantan Selatan
-
-
-
-
7,053
22
22
15
Sulawesi Selatan
-
-
30
5
93,642
65
70
16
Gorontalo
-
-
30
5
7,189
10
15
92
74
259
88
543,610
TOTAL
Kemitraan Air Indonesia
438
600
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Tabel 6. Ketersediaan air waduk Periode : 9 Februari 2007
No.
1
Nama Waduk
2
JAWA TIMUR 1 Sutami - Lahor - Sutami - Lahor 2 Selorejo 3 Bening 4 Wonorejo 5 Pondok, Ngawi 6 Sangiran, Ngawi 7 Kedungbendo,Ngawi 8 Ngebel, Ponorogo 9 Telogopasir, Magetan 10 Pacal, Bojonegoro 11 Prijetan, Lamongan 12 Gondang, Lamongan 13 BG. Babat, Lamongan 14 Joto, Lamongan 15 Sdt.Sedayu L, Lamongan 16 Banjaranyar, Gresik 17 Sumengko Gresik 18 Notopuro, Madiun 19 Dawuhan, Madiun 20 Saradan, Madiun 21 Ranu Pakis 22 Ranu Klakah
Kemitraan Air Indonesia
Normal Elevasi (m)
Volume (Juta m3)
3
4
261.70 261.70 261.90 612.70 101.44 162.97 96.52 126.00 9.08 5.83 14.50 102.40 42.14 31.52 5.60 5.00 4.00 3.55 2.81 3.59 3.66 0.38 4.00
Elevasi & Volume Pemantauan Elevasi Volume (m) (Juta m3) 5
69.05 61.92 7.13 16.93 5.27 40.56 -
258.85 258.85 259.35 612.09 101.31 159.31 96.52 120.00 9.08 5.83 8.00 102.40 42.14 31.52 4.30 0.00 1.80 2.85 2.81 3.59 3.66 0.38 4.00
Deviasi
Elevasi Siaga Kekeringan (m)
KONDISI WADUK
Keterangan (Instansi Pengirim)
8
9
10
1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 7/31/2006 1/31/2007 1/31/2007 15/10/2006 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 7/31/2006 7/31/2006 7/31/2006 7/31/2006 7/31/2006 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007 1/31/2007
Waspada
(m)
6
7
51.69 47.12 4.57 15.77 5.07 32.16 5.02 4.00 0.32 7.96 1.50 0.34 0.92 4.19 16.00 0.00 1.00 0.00 2.00 0.30 2.80 0.17 0.15 1.60
Status Pemantauan
-2.85 -2.85 -2.55 -0.61 -0.13 -3.66 0.00 -6.00 0.00 0.00 -6.50 0.00 0.00 0.00 -1.30 -5.00 -2.20 0.00 -0.70 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
246.00 246.00 253.00 598.00 96.40 141.00 94.00 114.00 2.50 102.00 40.20 29.40 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 1.00 1.00 1.00 1.00 2.30
PJT I Malang Waspada Waspada Waspada Normal Waspada Normal Normal Waspada Normal Normal Normal Waspada Kering Waspada Kering Waspada Normal Normal Normal Kering Normal
&
Sub Din OP DPU Pengairan Prov. Jawa Timur
Sub Din OP DPU Pengairan Prov. Jawa Timur
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Tabel 7. KONDISI KETERSEDIAAN AIR PADA LOKASI SUMBER AIR (Jaringan Irigasi Non Waduk) No.
Nama Lokasi Sumber Air
Debit rata-rata (m3/dt)
Deviasi (m3/dt)
Debit Sungai
Kebutuhan Irigasi
9.10 11.45 13.94 17.85 15.20 12.26
9.00 11.27 13.70 18.00 16.50 8.48
82.45 0.89 34.08 19.85 27.65 1.65
23.21 4.00 10.00 4.15 3.26 3.66
59.24 -3.11 24.08 15.70 24.39 -2.01
0.44 1.31
1.30 1.42
-0.86 -0.11
91.31 31.39 26.74
23.73 21.23 30.12
67.58 10.16 -3.38
I. Wilayah Sungai Brantas 1 2 3 4 5 6
Lodoyo-Tulungagung (Lodagung) Mrica Kiri Mrica Kanan Pintu Air Mlirip Delta Brantas Kali Konto
0.10 0.18 0.24 -0.15 -1.30 3.78 DATA JANUARI 2007
II. Wilayah Sungai Pemali Juana 1 2 3 4 5 6
Notog Cawitali Kaliwadas Pesantren Kletak Krompeng Mijen III. Wilayah Sungai Bengawan Solo
1 Bonggo 2 Trani IV. Wilayah Sungai Serayu Opak 1 Bd. Gerak Serayu 2 Manganti 3 Kalibawang
Kemitraan Air Indonesia
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Tabel 8. KONDISI KETERSEDIAAN AIR PADA LOKASI SUMBER AIR-Non waduk Periode : 9 Februari 2007 No.
Nama Lokasi Sumber Air
Debit rata-rata (m3/dt)
Neraca
Status
3
Sungai
Keb. Air
(m /dt)
Pemantauan
0.03 2.22 1.71 1.70 0.44 1.31 2.63
0.58 0.46 1.09 0.94 1.30 1.42 0.57
-0.55 1.77 0.63 0.76 -0.86 -0.12 2.06
05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007
2.69 1.12 0.69 2.04 0.72 0.17 3.91 91.31 31.39 19.16 0.40 0.12 26.74
1.81 1.02 0.29 1.00 0.41 0.33 1.19 23.73 21.23 0.81 0.82 0.12 30.12
0.40 1.04 2.72 67.58 10.17 18.35 -0.43 0.00 -3.38
05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 05/02/2007 10/1/2007
Ket.
III. Wilayah Sungai Bengawan Solo 1 2 3 4 5 6 7
Temon Kaligawe Dimoro Parean Bonggo Trani Grogol
IV. Wilayah Sungai Serayu Opak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Tangsi Peketingan Pringtukul Watubarut Pingit Calgawen IV Kalisapi Limpakdau Bd. Gerak Serayu Manganti Penulisan Cilemeh Cijalu Kalibawang
Kemitraan Air Indonesia
Data blm masuk Data blm masuk
Data blm masuk Data blm masuk Data blm masuk
Seminar “Air dan Kelestarian Lingkungan”, Jakarta, 6 September 2007
Kemitraan Air Indonesia