II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Inflasi Inflasi adalah gejala peningkatan tingkat harga pada level agregat dalam perekonomian secara terus-menerus. Secara ringkas, inflasi dapat diartikan sebagai perubahan yang terjadi pada tingkat harga (Blanchard, 2004). Pengertian umum mengenai inflasi yang telah banyak diterima ini sesungguhnya mengacu pada definisi yang diberikan oleh Milton Friedman (1963, dalam Roger, 1998), yang menyatakan bahwa inflasi adalah kenaikan pada tingkat harga umum yang steady dan terus-menerus (sustained). Friedman menekankan perbedaan antara steady inflation, yaitu inflasi yang didorongan kenaikan harga yang relatif konstan dan intermitten inflation atau transient inflation. Perbedaan penting dari definisi Friedman adalah unsur yang persisten atau steady dari inflasi terkait dengan masalah ekspektasi dari inflasi itu sendiri, sementara transient inflation disebabkan oleh kondisi yang tidak diantisipasi. Berdasarkan definisi umum tersebut terdapat tiga aspek penting, yaitu : 1. Ada kecenderungan harga-harga yang meningkat, artinya dalam kurun waktu tertentu, harga-harga menunjukkan tren atau tendensi yang meningkat. 2. Peningkatan harga berlangsung secara terus-menerus (sustained), artinya dari waktu ke waktu mengalami peningkatan. 3. Pengertian harga adalah tingkat harga umum (general level of price), artinya harga tersebut mencakup keseluruhan komoditas dan bukan hanya pada satu atau beberapa komoditas saja. Secara empiris, banyak ditemukan bahwa pergerakan inflasi seiring dengan peningkatan jumlah uang beredar, baik dalam arti sempit (M1) maupun dalam arti luas (M2), sehingga seringkali peningkatan jumlah uang beredar dianggap sebagai penyebab utama terjadinya inflasi. Anggapan tersebut tentu tidak sepenuhnya salah karena Friedman menyatakan inflasi merupakan sebuah fenomena moneter. Inflasi sebagai fenomena moneter merupakan salah satu indikator yang dapat mencerminkan kondisi riil nilai uang. Bila terjadi inflasi maka nilai uang secara riil mengalami penurunan dan hal ini akan menyebabkan kemampuan daya beli dari uang itu sendiri menurun. Akibat dari penurunan ini adalah daya beli masyarakan akan menurun atau bahkan tergerus. Bila inflasi
18
tersebut tidak dibarengi dengan peningkatan pendapatan secara riil, maka sudah dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakan secara umum mengalami penurunan. Selanjutnya, melalui pendekatan pasar riil atau pasar barang, penyebab inflasi dibagi menjadi dua, yaitu berasal dari kelebihan permintaan atau karena adanya kenaikan biaya produksi. Penyebab pertama pada pasar riil adalah karena ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang tidak dapat mencukupi kelebihan permintaan masyarakat secara umum sehingga menyebabkan kenaikan harga secara agregat. Secara implisit, ketersediaan komoditas yang terbatas di pasar barang menyiratkan kapasitas produksi optimum dari suatu perekonomian sehingga hal tersebut sesungguhnya mencerminkan kondisi output potensial. Dalam beberapa literatur, inflasi dengan tipe seperti ini seringkali diistilahkan sebagai inflasi karena tarikan permintaan (demand pull inflation). Tipe kedua berdasarkan sumber penyebab inflasi seringkali disebut sebagai inflasi karena dorongan biaya (cost push inflation), dengan kenaikan harga yang terjadi merupakan kondisi yang tidak diantisipasi dan hal tersebut disebabkan oleh kenaikan biaya produksi. Kondisi yang tidak diantisipasi ini salah satunya disebabkan oleh adanya shock dari sisi penawaran. Pada praktiknya, inflasi seringkali dihitung berdasarkan pendekatan indeks harga. Beberapa alternatif dalam menghitung indeks harga adalah indek harga konsumen (IHK), indeks harga produsen (IHP) dan indeks harga implisit yang diturunkan dari penghitungan Produk Domestik Bruto (PDB), atau sering disebut sebagai GDP deflator. Berdasarkan beberapa alternatif dalam penghitungan inflasi, umumnya digunakan indek harga konsumen (IHK), karena nilai uang secara umum terkait dengan kekuatan daya beli dari uang pada tingkat konsumen. Hanya saja perlu disadari bahwa IHK tidak didesain untuk mengukur tren dari harga, sehingga seringkali IHK tidak dapat memberikan gambaran mendasar mengenai inflasi, mengingat ada ketidaksesuaian antara konsep dengan pendekatan penghitungan inflasi tersebut (Hanh, 2002). Adanya ketidaksesuaian tersebut, dari sudut pandang teoritis dapat disanggah karena tujuan utama dari kebijakan moneter adalah memaksimumkan kesejahteraan masyarakat. Secara logika, wajar jika kemudian pihak otoritas
19
moneter memfokuskan pada indeks harga yang dapat lebih mendekati indeks biaya hidup dari konsumen dan pada praktiknya, banyak negara yang menggunakan IHK sebagai dasar dari penargetan inflasi. Hal tersebut karena indeks biaya hidup dari konsumen lebih bisa didekati oleh IHK dibanding dengan IHP dan indeks implisit. Pertimbangan lain dari penggunaan IHK terkait dengan kualitas dari IHK yang jauh lebih baik dibanding indeks harga lainnya, karena pada kenyataannya kebanyakan badan/biro statistik di seluruh negara berusaha mengerahkan lebih banyak sumber daya untuk membangun IHK dibanding indeks harga lainnya. Oleh sebab itu, cukup adil jika mengatakan bahwa kebanyakan bank sentral yang menerapkan penargetan inflasi telah menemukan alasan secara praktis dalam menggunakan IHK bersamaan dengan alasan kredibilitas dalam menggunakan IHK dibanding pertimbangan untuk menolaknya (Roger, 1998). 2.2 Inflasi Regional Teori lokasi (location theory) menyatakan bahwa pemilihan lokasi perusahaan ditentukan oleh masalah minimisasi biaya transportasi atas beberapa alternatif lokasi dan dipengaruhi oleh aglomerasi ekonomi atau teori minimisasi biaya (cost minimization theories). Aglomerasi ekonomi sendiri mendorong perusahaan-perusahaan untuk terkonsentrasi dalam suatu lokasi sebagai akibat penurunan biaya transaksi, baik karena economies of scale, localization economies atau urbanization economies. Pendekatan lain dalam teori lokasi adalah teori maksimisasi keuntungan (profit maximization theories) yang berusaha menjawab masalah tentang bagaimana memaksimumkan keuntungan dengan permintaan atas produk yang dihasilkan perusahaan tersebar di mana-mana sementara penawaran atas bahan baku dalam proses produksi terkonsentrasi di suatu wilayah atau titik pasar tertentu saja (Cappelo, 2007). Ulasan singkat mengenai teori lokasi berdasarkan pendekatan produksi dan pendekatan pangsa pasar tersebut, sesungguhnya secara implisit bercerita mengenai bagaimana kemudian harga produk-produk di suatu daerah menjadi lebih murah dibanding daerah lainnya atau sebaliknya cenderung lebih mahal di suatu wilayah dibanding wilayah lainnya. Lebih jauh, teori lokasi juga menjelaskan bagaimana biaya transportasi yang terkait erat dengan masalah infrastruktur, aglomerasi yang kemudian akan memicu terjadinya kompetisi antar
20
perusahaan dan melakukan pembagian pasar sehingga dapat menjangkau dan memperoleh pangsa pasar yang lebih luas demi mengejar keuntungan maksimum. Teori lokasi tersebut secara tidak langsung juga menceritakan tentang bagaimana mekanisme pembentukan harga di suatu wilayah atau antar wilayah yang bisa bervariasi tergantung dari karakteristik dan struktur ekonomi dari masing-masing wilayah. Akibat perbedaan tersebut, sangat dimungkinkan terjadinya divergensi inflasi antar wilayah, yaitu antar negara atau pada tataran regional dalam satu negara. Studi empiris dari Marques et al. (2009) menyatakan bahwa biaya transportasi merupakan determinan penting yang memicu terjadinya divergensi inflasi di Chile, sementara besaran-besaran makroekonomi pada level nasional seperti suku bunga jangka pendek, tingkat pengangguran, perubahan harga minyak, jumlah uang beredar, nilai tukar efektif, upah tenaga kerja dan pergerakan sektor industri pengolahan kurang berperan dalam mendorong proses divergensi tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi dari bentuk negara Chili yang memiliki lebar wilayah sekitar 175 km sementara panjangnya mencapai 4.300 km, sehingga jarak geografis lebih menjadi masalah dibanding faktor-faktor lainnya. Karenanya, khusus untuk studi kasus Chili, inflasi lebih disebabkan oleh faktor spesifik dari negara tersebut yang bisa dikatakan unik ditinjau dari bentuk wilayahnya. Selanjutnya, Andrés et al. (2007) melakukan penelitian mengenai inflasi untuk kasus negara-negara Uni Eropa dalam perspektif regional atau antar negara. Penelitian ini kemudian menyimpulkan bahwa terjadinya perbedaan tingkat inflasi di negara-negara Uni Eropa meskipun telah menganut sistem moneter bersama disebabkan oleh perbedaan elastisitas permintaan di pasar barang sehingga pihak produsen bisa melakukan diskriminasi harga. Selain itu, divergensi inflasi tersebut juga disebabkan oleh derajat keterbukaan perdagangan dan preferensi barangbarang impor untuk keperluan konsumsi, tergantung dari elastisitas substitusi dari antara barang impor dan barang domestik. Kedua penyebab di atas yang bersumber dari perbedaan tingkat kompetitif dari perusahaan dan perbedaan derajat keterbukaan sepertinya menjadi lengkap dengan adanya perbedaan struktural seperti perbedaan tingkat upah dan besarnya potongan pajak. Lebih
21
lanjut, derajat inersia harga juga merupakan salah satu sumber penyebab terjadinya perbedaan tingkat inflasi tersebut dan diduga terkait erat dengan masalah mekanisme penyesuaian internal seperti pertimbangan dalam melakukan investasi dan eksistensi dari friksi pada sektor riil. Salah satu penelitian mengenai inflasi regional dalam tataran provinsi untuk studi kasus Indonesia dilakukan oleh Wimanda (2006). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat karakteristik, konvergensi dan determinan dari inflasi regional. Hasil yang diperoleh dengan menggunakan berbagai metode analisis menyatakan bahwa inflasi regional cenderung divergen karena dari 26 provinsi yang dianalisis hanya 8 diantaranya yang memperlihatkan gejala untuk konvergen sedangkan sisanya tidak. Temuan lainnya adalah inflasi yang terjadi pada kelompok transportasi dan kelompok perumahan pada
kebanyakan provinsi
menunjukkan level inflasi yang lebih tinggi dari inflasi nasional. Selain itu diperoleh bukti bahwa kenaikan harga BBM tidak saja memengaruhi kelompok transportasi tetapi juga kelompok lainnya pada sebagian besar provinsi. Bukti lainnya adalah terdapat keterkaitan inflasi yang cukup tinggi pada sebagian besar provinsi di Indonesia. Terakhir, determinan penting dari inflasi regional adalah ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar, sementara pengeluaran pemerintah daerah tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap inflasi regional. 2.3 Kurva Phillips Versi New Keynesian Dalam papernya yang terkenal, Phillips (1958, dalam Romer, 2006) mengungkapkan adanya bukti yang cukup kuat dan hubungan negatif yang relatif stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi upah di Inggris sepanjang satu abad sebelumnya. Tak lama berselang, beberapa peneliti selanjutnya menemukan hubungan yang sama antara tingkat penganguran dan inflasi harga dan hubungan tersebut kemudian dikenal sebagai kurva Phillips. Berdasarkan bukti empiris tersebut, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi, baik dari tinjauan teoritis maupun berdasarkan dukungan bukti empiris (Romer, 2006). Sampai dengan tahun 1960-an, kurva Phillips seakan menjadi rule of thumb dan banyak diterima oleh berbagai kalangan, namun ketika terjadi kenaikan harga
22
minyak dunia dan perubahan cara wage setters dalam membangun ekspektasi terkait dengan perubahan perilaku inflasi sehingga inflasi menjadi lebih persisten, hubungan tersebut tidak terlihat lagi. Berdasarkan temuan tersebut, hubungan yang stabil antara tingkat pengangguran dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips kemudian dipertanyakan. Serangan terhadap hubungan yang permanen antara pengangguran dan inflasi atau output dan inflasi sebagaimana dinyatakan dalam kurva Phillips dilakukan oleh Friedman (1968, dalam Blanchard, 2004) dan Phelp (1968, dalam Blanchard, 2004) yang menyatakan bahwa hubungan tersebut adalah tidak dapat diterima karena variabel nominal seperti inflasi dan money supply tidak dapat memengaruhi variabel riil. Hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukan Friedman (1968, dalam Romer, 2006), the natural rate hypotesis of Phillips Curve, memberikan penjelasan yang lebih memuaskan terhadap fenomena stagflasi yang dialami negara-negara industri pada tahun 1970-an. Secara umum, kurva Phillips versi tradisional, bahkan dalam bentuk augmented version sekalipun masih tetap menjadi obyek kajian yang intensif dari beberapa sudut pandang. Hal ini terutama menyangkut kurangnya landasan analisis ekonomi mikro yang dalam, yang menjadikannya sebagai subyek dari kritik Lucas (Lucas critique). Lebih dari itu, validitasnya sebagai suatu building block dari model untuk evaluasi atas berbagai alternatif kebijakan masih dipertanyakan. Perkembangan terkini dari teori inflasi melahirkan analisis Kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/NKPC). NKPC didasarkan pada landasan mikro ekonomi yang cukup kuat sebagai jawaban atas kritik Lucas dari versi kurva Phillips sebelumnya. Perbedaan yang mendasar dari versi ini dengan sebelumnya adalah perubahan harga merupakan hasil dari keputusan optimal dari para pelaku bisnis dalam memaksimumkan keuntungannya pada pasar persaingan monopolistik, dengan kendala berupa frekuensi penyesuaian harga dan dalam analisis pembentukan harga nominal yang bersifat tidak kontinyu (staggered), yang diilhami oleh John B. Taylor (1980, dalam Gali, 2002). Spesifikasi umum dari pendekatan ini didasarkan pada model staggered price setting yang dikembangkan oleh Calvo (1983, dalam Solikin, 2004). Persamaan
23
utama mengkaitkan tingkat inflasi saat ini dengan inflasi masa depan yang diharapkan dan biaya marginal (Gali and Gertler (2000); Gali et al. (2001, 2005)):
t = Et{t+1} + mct’
.............................................. (2.1)
dengan mct’ adalah persentase deviasi biaya marginal riil dari level steady state,
adalah discount factor, dan adalah koefisien yang merupakan dekomposisi dari beberapa parameter dalam sistem permodelan, sekaligus mencerminkan derajad kekakuan harga (price rigidity). Mengingat biaya marginal riil merupakan fungsi dari output riil, termasuk level steady state dari biaya marginal riil adalah fungsi dari output potensial, maka dengan beberapa asumsi yang dipakai dalam model standar optimisasi dengan perilaku harga nominal yang kaku, pola hubungan yang sederhana antara kedua variabel tersebut dapat diturunkan sebagai berikut. mct = ( yt – y*t )
.............................................. (2.2)
dengan yt dan y*t masing-masing adalah logaritma dari tingkat output riil dan tingkat output potensial. Kombinasi dari persamaan (2.1) dan (2.2) menghasilkan rumusan NKPC dengan dasar kesenjangan output/output gap (Gali, 2002) :
t = Et{t+1} + ( yt – y*t ) dengan
.............................................. (2.3)
.
Persamaan (2.3) memperlihatkan adanya tradeoff antara inflasi dengan kesenjangan output, yaitu besarnya deviasi output aktual terhadap output potensial atau output naturalnya. Gambar 4 mengilustrasikan bagaimana terjadinya tradeoff tersebut, yaitu ketika output aktual berada di atas kondisi potensialnya maka tingkat inflasi akan lebih tinggi dari ekspektasi inflasi atau inflasi yang diharapkan (e). Kondisi sebaliknya, jika output aktual lebih rendah dari output potensial, maka tingkat inflasi aktual akan lebih rendah dari ekspektasi inflasi. Berdasarkan ilustrasi tersebut, sesungguhnya persamaan tersebut secara tidak langsung sudah mengakomodir hipotesis tingkat pengangguran alami yang dikemukakan Friedman (1968, dalam Roger, 1998), karena saat terjadinya tingkat pengangguran alami maka output yang tercipta adalah output natural yang merupakan pendekatan untuk kondisi output potensial, bahkan dengan landasan teori mikro ekonomi yang lebih kuat. Merujuk pada penjelasan sebelumnya, perlu difahami bahwa tradeoff yang diilustrasikan oleh Gambar 4 tersebut tidak bersifat permanen karena slop dari kurva Phillips versi NKPC bisa berubah-ubah seiring dengan terjadinya perubahan
24
fundamental dari suatu perekonomian (regime dependent). Beberapa penelitian dengan menggunakan kurva Phillips menyatakan bentuk kurva tersebut bisa menjadi lebih tegak atau lebih datar sehingga hal tersebut menyebabkan tidak terjadinya tradeoff sama sekali. Pertanyaan yang muncul dari beberapa fakta empiris adalah menyangkut bagaimana fenomena inflasi yang sebenarnya. Beberapa kritik ditujukan pada validitas formulasi NKPC yang menyatakan bahwa inflasi hanya merupakan fenomena forward-looking. Mengingat adanya persistensi dari tekanan inflasi, alternatif dari rumusan tersebut adalah inflasi pada dasarnya merupakan fenomena backward-looking. Hal ini tercermin dari keterkaitan yang erat antara inflasi saat ini dengan inflasi periode sebelumnya sebagaimana dipaparkan oleh analisis Kurva Phillips versi tradisional. Berkaitan dengan kedua fenomena tersebut, Gali and Gertler (2000) dan Gali et al. (2001) mengajukan model gabungan/hibrid (hybrid model) dari NKPC, yaitu model yang juga memperhitungkan kemungkinan adanya fraksi tertentu dari perusahaan yang menggunakan pola penyesuaian backwardlooking sebagai rule of thumb.
Sumber : Romer (2006)
Gambar 4. Hipotesis tradeoff antara inflasi dan output gap dalam kurva Phillips versi NKPC.
25
Berdasarkan hipotesis tersebut, NKPC dengan basis model hibrid dapat dituliskan sebagai: t
=
b
t-1
+
f
t
{
t+1}
+ mct’
.............................................. (2.4)
atau dengan menggunakan variabel output gap sebagai driving force variabel (Solikin (2004); Mehrotra et al. (2007)) : =
b
t-1
dengan
b
dan
t
+
f f
t
{
t+1}
+ (yt – y*t )
.............................................. (2.5)
masing-masing merupakan koefisien dekomposisi dari beberapa
parameter dalam permodelan, sekaligus mencerminkan perilaku backward-looking dan forward-looking dari inflasi. 2.3.1 Output Potensial dan Output Gap Output potensial sering diartikan sebagai level dari kegiatan ekonomi ketika permintaan agregat dan penawaran agregat berada pada kondisi yang konsisten dengan tingkat inflasi yang stabil, sementara kesenjangan output (output gap) adalah deviasi dari output aktual terhadap tingkat output potensial. Kedua indikator tersebut kian menjadi fokus perhatian, karena kemudian sering digunakan untuk menilai sampai sejauh mana efektivitas dari kebijakan makro ekonomi. Konsep di atas sepertinya dekat dengan definisi yang diberikan oleh Friedman (1968, dalam Gibbs, 1995), yaitu tingkat output maksimum yang bisa dihasilkan tanpa menimbulkan kenaikan inflasi. Definisi yang sedikit berbeda dengan Friedman diberikan oleh Okun (1962, dalam Gibbs, 1995), yang mengatakan bahwa output potensial yang diproksi dengan GNP potensial, bukanlah suatu level yang dapat dihasilkan oleh sejumlah permintaan agregat yang tidak terbatas. Suatu negara bisa saja lebih produktif dalam jangka pendek di bawah tekanan inflasi, namun target untuk memaksimumkan produksi dan tingkat penyerapan tenaga kerja dibatasi oleh keinginan untuk melakukan stabilisasi harga dan mendorong terjadinya pasar bebas atau lebih tepatnya pasar persaingan sempurna. Berdasarkan tujuan tersebut, maka penggunakan tenaga kerja secara penuh (full employment) harus dipahami sebagai tuntutan untuk memaksimumkan produksi tanpa adanya tekanan inflasi (Gibbs, 1995). Lebih lanjut, Justiniano and Primiceri (2008) memberikan definisi tentang output potensial yang berbeda dengan output natural. Output potensial merupakan tingkatan output yang dihasilkan dalam kondisi pasar barang dan pasar tenaga
26
kerja pada pasar persaingan sempurna, sementara output natural adalah output yang dihasilkan ketika pasar tidak dalam keadaan persaingan sempurna namun harga dan upah cukup fleksibel. Berdasarkan perbedaan ini, maka dapat disimpulkan bahwa definisi Justiniano and Primiceri mengenai output potensial cenderung merujuk pada definisi dari Okun tentang output potensial, sementara definisi tentang output natural tidak berbeda dengan definisi dari Friedman, meski keduanya mensyaratkan adanya kondisi NAIRU (non-accelerating inflation rate of unemployment). Meskipun konsep di atas sudah cukup jelas, namun dalam praktiknya, baik output potensial, output natural dan output gap adalah unobservable component. Banyak kalangan telah memahami bahwa estimasi yang dihasilkan seringkali dapat dikatakan tidak pasti mengingat perbedaan pendekatan yang digunakan. Perbedaan ini menjadi hal yang problematik karena akan menyebabkan cara diagnosa yang berbeda terhadap kondisi makro ekonomi termasuk rekomendasi kebijakan yang akan dibuat. Cerra and Saxena (2000) menyatakan, setidaknya ada enam pendekatan yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial, yaitu metode Hodrick-Prescott (HP) filter, metode unobserved components dengan beberapa
model
turunannya,
metode
struktural
VAR
dari
pendekatan
BlanchardQuah, pendekatan fungsi produksi, demand-side model dan sistem estimasi dari output potensial dan NAIRU dengan kelebihan dan kekurangan dari masing-masing metode. Penelitian yang sepertinya bisa menjawab bagaimana dinamika output potensial diperoleh dari Justiniano and Primiceri (2008) dengan menggunakan pendekatan dynamic stochastic general equilibrium (DSGE) untuk mengetahui level output potensial dan output natural pada negara Amerika Serikat berdasarkan data PDB triwulanan. Secara umum, hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa output potensial terlihat lebih halus sehingga output gap yang dihasilkan cenderung lebih dekat dengan hasil estimasi dengan pendekatan detrending tradisional. Kondisi sebaliknya, output natural cenderung lebih volatile, sebagai akibat tingginya variasi guncangan dari segi markup. Fluktuasi dari guncangan ini terjadi karena pada pasar persaingan yang tidak sempurna, perusahaan memiliki insentif untuk menaikkan atau menurunkan markup agar dapat memaksimumkan keuntungannya.
27
2.3.2 Ekspektasi Inflasi Ekspektasi inflasi adalah salah satu unsur memegang peran penting dalam formulasi kurva Phillips. Pada horizon waktu yang cukup panjang, secara tidak langsung, hal ini bisa mencerminkan kredibilitas dari pihak otoritas moneter terkait dengan komitmennya dalam stabilisasi harga. Munculnya unsur ekspektasi inflasi sebagai fenomena forward looking dalam kurva Phillips merupakan jawaban atas kritik yang dilakukan oleh Lucas. Ide dasar dari ekspektasi inflasi tersebut adalah hipotesis ekspektasi rasional, dengan setiap pelaku ekonomi dalam membentuk ekspektasi secara optimal tergantung dari tingkat pemahamannya mengenai kondisi ekonomi dan sejumlah informasi yang tersedia untuknya (Lucas, 1972 dalam Kiley, 2009). Hipotesis ekspektasi rasional tersebut memberikan kerangka kerja yang cukup kuat dan elegan sehingga mendominasi cara pemikiran tentang dinamika struktur ekonomi dan evaluasi kebijakan berdasarkan pendekatan ekonometrik, lebih dari 30 tahun terakhir. Kesuksesan ini mendorong pengujian lebih lanjut mengenai adanya asumsi informasi yang kuat, yang digunakan secara implisit dalam aplikasinya. Oleh karenanya, Sargent (1993, dalam Orphanides and Williams, 2003) menyimpulkan bahwa dalam model ekspektasi rasional diasumsikan setiap pelaku ekonomi diposisikan sebagai pihak yang harus memiliki banyak pengetahuan. Konsekuensinya, untuk membentuk ekspektasi yang rasional, setiap pelaku ekonomi harus memahami sekali mengenai struktur ekonomi. Menyikapi hal tersebut, beberapa peneliti mengajukan penyesuaian mengenai model ekspektasi rasional yang mewakili prinsip bahwa setiap pelaku ekonomi menggunakan informasi secara efisien dalam membentuk ekspektasinya terkait dengan adanya keterbatasan dalam biaya yang ditimbulkan dalam proses mendapatkan informasi dan juga keterbatasan dari daya nalar dari setiap pelaku ekonomi, yang kemudian akan memengaruhi proses pembentukan ekspektasi (Sims, 2003, dalam Orphanides and Williams, 2003). Terkait dengan keterbatasan tersebut atau meminjam istilah dari Orphanides dan Williams (2003) karena pengetahuan yang tidak sempurna (imperfect knowledge), maka pemahaman setiap pelaku ekonomi terhadap kondisi ekonomi menjadi berbeda-beda. Hal ini membuat ekspektasi inflasi sangat
28
dipengaruhi oleh kondisi dan latar belakang sosial-demografi dari setiap pelaku ekonomi. Hasil penelitian Blanchflower and MacCoille (2009) di Inggris secara signifikan menunjukkan bahwa perbedaan kondisi sosial-demografi dari pelaku ekonomi memengaruhi pembentukkan ekspektasi inflasi. Akibat adanya imperfect knowledge, akan membuat kebijakan moneter menjadi tidak efektif dalam mengendalikan inflasi dan menjaga stabilitas makro ekonomi. Ekspektasi menjadi demikian penting dalam menentukan inflasi karena secara langsung terlibat dengan proses penentuan harga dan upah. Ekspektasi ini dapat memengaruhi inflasi melalui 3 jalur, yaitu melalui upah, karena penyesuaian upah tidak dapat dilakukan sewaktu-waktu maka para penentu upah (wage setters) harus mempunyai pandangan mengenai besarnya inflasi di masa mendatang. Jika inflasi diperkirakan persisten dan lebih tinggi di masa mendatang, maka para pekerja akan menuntut upah yang lebih tinggi demi menjaga daya belinya. Hal ini akan memicu terjadinya tekanan kenaikan harga atas output yang dihasilkan oleh perusahaan, dan pada akhirnya akan membuat harga di tingkat konsumen menjadi lebih tinggi. Kedua, bila perusahaan memperkirakan bahwa secara umum tingkat inflasi di masa mendatang akan lebih tinggi, maka mereka cenderung akan menaikkan harga outputnya karena yakin bahwa hal tersebut tidak akan menyebabkan terjadinya penurunan permintaan atas outputnya. Jalur terakhir adalah ekspektasi inflasi dapat secara langsung memengaruhi inflasi melalui pengaruhnya atas konsumsi dan investasi. Pada tingkat suku bunga nominal tertentu misalnya, jika perusahaan dan rumah tangga memperkirakan tingkat inflasi yang lebih tinggi, maka akan menyebabkan tingkat suku bunga riil yang diharapkan menjadi lebih rendah sehingga secara relatif membuat motif untuk berbelanja menjadi lebih tinggi dibanding motif menabung. Hal tersebut tentunya bisa terjadi jika pihak otoritas moneter tidak meresponnya dengan menaikkan suku bunga nominal acuan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana mengukur ekspektasi inflasi, mengingat perannya yang sangat penting dalam memengaruhi inflasi pada kerangka analisis kurva Phillips. Blanchflower and MacCoille (2009) mengidentifikasi adanya tiga kelompok besar untuk mengukur ekspektasi inflasi, yaitu pendekatan berbasis survei (survey-based measures), pendekatan berbasis
29
pasar (market-based measures) dan pendekatan indikator ekonomi. Pendekatan survei terhadap ekspektasi inflasi dapat dilakukan pada masyarakat umum, para akademisi, para ekonom dan perusahaan. Pendekatan lainnya, yaitu pendekatan berbasis pasar menghitung ekspektasi inflasi dengan melakukan estimasi atas bentuk kurva suku bunga nominal dan riil ke depan agar bentuk kurva inflasi ke depan dan tingkat pertukaran inflasi ditentukan. Berdasarkan kedua kasus tersebut, indikator-indikator yang dihasilkan tidak hanya mewakili ekspektasi inflasi dari pasar, tetapi juga inflasi dari premi resiko dan inflasi yang terjadi pada sejumlah pasar faktor lainnya. Selain dua pendekatan yang telah disebutkan, pergerakan dari ekspektasi inflasi dapat jelas terlihat dari indikator ekonomi seperti penentuan upah, dengan pihak yang meminta besaran tingkat upah harus membuat penilaian terkait dengan bagaimana tingkat inflasi sepanjang periode setelah upah ditetapkan. Tentu saja data mengenai besaran upah yang ditetapkan tidak secara sederhana mencerminkan ekspektasi inflasi tetapi juga mewakili kondisi faktor-faktor lainnya seperti kemampuan membayar dari perusahaan, termasuk juga produktivitas dari pekerja. Di Indonesia, survei mengenai ekspektasi inflasi telah dilakukan setiap bulan oleh Bank Indonesia melalui survei konsumen dan survei penjualan eceran. Tujuan dari kedua survei tersebut adalah menanyakan perkiraan atau ekspektasi harga dalam beberapa bulan ke depan untuk masing-masing responden rumah tangga yang mewakili konsumen dan responden pedagang eceran yang dianggap mewakili pihak perusahaan. Survei konsumen juga dilakukan oleh BPS setiap 3 bulan untuk mengetahui ekspektasi inflasi secara tidak langsung dari responden rumah tangga, yaitu melalui perkiraan pendapatan rumah tangga ke depan dan rencana pembelian barang-barang tahan lama (durable goods). Pendekatan survei lainnya adalah hasil penelitian dari Solikin dan Sugema (2004) tentang rigiditas harga-upah dan implikasinya bagi kebijakan moneter di Indonesia. Dalam penelitian tersebut, selain mengkaji dinamika pembentukan dan rigiditas harga dan penyesuaian upah, didapati pula kajian mengenai ekspektasi inflasi dilihat dari dua sudut pandang, yaitu dari perusahaan dan dari pedagang yang dirinci menjadi pedagang grosir dan pedagang eceran/ritel. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ekspektasi inflasi utamanya dipengaruhi oleh
30
administered prices, harga sembako, nilai tukar, upah minimum, suku bunga, harga periode sebelumnya, dan gaji PNS. Terkait dengan hasil penelitian untuk kasus Indonesia tersebut, hasil pendekatan survei menunjukkan bahwa ekspektasi inflasi sebagian besar dipengaruhi oleh indikator ekonomi. Satu hal yang perlu menjadi catatan penting yaitu hasil pendekatan survei tersebut secara tidak langsung menyatakan bahwa ekspektasi inflasi tersebut berasal dari common knowledge, sehingga hipotesis ekspektasi rasional sepertinya tetap berlaku untuk setidaknya untuk kasus negara Indonesia. 2.4 Pendekatan Kurva AD – AS Pendekatan AD – AS dibangun berdasarkan pendekatan dua buah kurva, yaitu kurva permintaan agregat (aggregate demand/AD) dan kurva penawaran agregat (aggregate supply/AS) yang mewakili terjadinya kondisi keseimbangan/ ekuilibrium serentak yang terjadi pada pada sisi permintaan dan sisi penawaran. Kurva permintaan agregat adalah kurva yang mewakili sisi permintaan dan menggambarkan bagaimana pengaruh dari harga terhadap output, sedangkan kurva penawaran agregat adalah kurva yang menggambarkan pengaruh dari output terhadap tingkat harga (Blanchard, 2006). 2.4.1 Permintaan Agregat Kurva permintaan agregat dapat diturunkan dari kurva IS – LM yang berdasarkan model Keynesian, yaitu kondisi yang mewakili terjadinya keseimbangan/ekuilibrium serentak yang terjadi pada pasar barang dan pasar uang. Kurva IS adalah kurva yang mewakili kondisi keseimbangan pada pasar barang/jasa yang dinyatakan dalam kombinasi hubungan antara output dan tingkat suku bunga dengan total jumlah barang yang diproduksi sama dengan total jumlah barang/jasa yang diminta. Secara ringkas persamaan untuk kurva IS dalam kondisi perekonomian terbuka dari model Keynesian adalah : Y = f (G, r, ) dengan : Y G r
= = = =
.............................................. (2.6)
output belanja pemerintah suku bunga riil nilai tukar efektif
Kurva LM adalah kondisi yang mencerminkan keseimbangan di pasar uang berdasarkan kombinasi hubungan antara tingkat suku bunga dan output
31
dengan permintaan uang (money demand) sama besar dengan penawaran uang (money supply). Pendekatan Keynesian untuk kondisi real money balanced tersebut dapat diringkas menjadi persamaan berikut (Romer, 2006) :
M L r e ,Y P
dengan : M = P = Y = r = e =
.............................................. (2.7)
stok uang tingkat harga output suku bunga riil ekspektasi inflasi
Merujuk pada pendekatan Keynesian, stok uang (M) pada persamaan (7) diasumsikan sebagai variabel eksogen, dan sebagai asumsi tambahan, tingkat harga (P) dianggap tetap sehingga ekspektasi inflasi (e) sama dengan nol, sehingga persamaan (7) menjadi M L r , Y P
.............................................. (2.8)
atau dapat dituliskan pula dalam bentuk M Y f ,r P
.............................................. (2.9)
Jika kemudian persamaan (2.6) dan persamaan (2.9) digabungkan, akan diperoleh persamaan untuk permintaan agregat : M Y f , G, r, P
.............................................. (2.10)
Persamaan (10) secara implisit memperlihatkan bagaimana stok uang riil
M P
,
belanja pemerintah (G), suku bunga riil (r) dan nilai tukar efektif () dapat memengaruhi permintaan agregat. Empat variabel tersebut, yaitu belanja pemerintah (G) adalah instrumen kebijakan fiskal sementara suku bunga riil (r), nilai tukar efektif () dan stok uang riil
M P
bukan merupakan instrumen atau
sasaran dari kebijakan moneter secara langsung karena sesungguhnya nilai nominal dari ketiga variabel terakhirlah yang merupakan instrumen dan sasaran kebijakan moneter. Terkait dengan analisis AD – AS, bila pemerintah melakukan kebijakan fiskal yang ekspansif, yaitu dengan meningkatkan belanja pemerintah, maka hal tersebut akan mendorong peningkatan harga, artinya akan menyebabkan
32
terjadinya inflasi. Ilustrasi dari dampak kebijakan fiskal ekspansioner dan kebijakan moneter ekspansioner dalam kerangka analisis IS – LM dan analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS) tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Sumber : Blanchard (2004)
Gambar 5. Mekanisme transmisi kebijakan fiskal ekpansioner dan kebijakan moneter ekpansioner terhadap inflasi. Saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner seperti peningkatan belanja pegawai atau peningkatan gaji pegawai pemerintah, output akan meningkat dan menyebabkan permintaan akan uang juga meningkat sehingga menyebabkan suku bunga naik dan kurva IS bergeser ke kanan (Gambar 5 panel (a) atas). Akibat peningkatan output tersebut, permintaan agregat mengalami peningkatan sehingga kurva AD akan bergeser ke kanan dan menyebabkan terjadinya kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (a) bawah). Merujuk pada pendekatan analisis AD – AS seperti telah disampaikan sebelumnya, kenaikan harga secara agregat ini didefinisikan sebagai inflasi. Sedikit berbeda dengan ilustrasi kebijakan fiskal ekspansioner, inflasi yang berasal dari sektor moneter berawal dari kenaikan stok uang sebagai hasil
33
dari kebijakan moneter ekspansioner yang menyebabkan kurva LM bergeser ke kanan sehingga menyebabkan suku bunga mengalami penurunan. Akibat penurunan suku bunga tersebut, investasi meningkat dan output juga mengalami peningkatan (Gambar 5 panel (b) atas). Mekanisme selanjutnya sama seperti pada saat terjadinya kebijakan fiskal ekspansioner, kurva AD bergeser ke kanan dan menyebabkan kenaikan harga secara agregat (Gambar 5 panel (b) bawah). 2.4.2 Penawaran Agregat Kurva penawaran agregat diturunkan dari price setting relation (PS) dan wage setting relation (WS), dengan harga ditentukan oleh besarnya upah sebagai input dalam kegiatan produksi dan markup, sementara upah dipengaruhi oleh ekspektasi harga ke depan dan tingkat pengangguran (Blanchard, 2004). PS
: P =(1+)W
.............................................. (2.11)
WS : W = Pe F(u, z) dengan : P = Pe = W= = u = z =
.............................................. (2.12)
tingkat harga ekspektasi harga upah nominal markup tingkat pengangguran variabel lainnya
Melalui proses eleminasi terhadap variabel upah nominal (W), persamaan (2.11) kemudian dapat dimasukkan ke persamaan (2.12), sehingga akan diperoleh persamaan untuk penawaran agregat. P = Pe ( 1 + ) F(u, z)
.............................................. (2.13)
Jika tingkat pengangguran (u) kemudian digantikan dengan dengan output (Y ) per angkatan kerja (L), sehingga ; u 1
Y L
maka persamaan (2.13) dapat dituliskan
dalam bentuk : Y P P e 1 u F 1 , z L
.............................................. (2.14)
Berdasarkan persamaan (2.14), secara eksplisit dapat dilihat, beberapa variabel yang dapat memengaruhi tingkat harga adalah ekspektasi harga, markup dan output. Perubahan ekspektasi harga dan pertumbuhan output akan memengaruhi harga melalui peningkatan upah nominal sehingga tentu saja adanya kenaikan upah nominal akan mendorong terjadinya kenaikan harga. Selain upah nominal, markup juga merupakan variabel yang memengaruhi harga secara
34
langsung, artinya, jika perusahaan menaikkan markup, maka harga akan ikut naik. Dalam kerangka analisis permintaan dan penawaran agregat (kurva AD – AS), dampak dari kenaikan upah diperlihatkan oleh Gambar 5 panel (b). 2.4.3 Upah Minimum dan Inflasi Penentuan upah minimum adalah salah satu bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar tenaga kerja mengingat pasar tersebut cenderung mengarah dari pasar oligopsonis ke pasar monopsonis. Tujuan kebijakan ini adalah sebagai jejaring pengaman (safety net) agar tingkat upah tidak merosot akibat ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran di pasar tenaga kerja. Menilik dari sisi perusahaan, upah minimum diharapkan akan meningkatkan produktivitas pekerja, sedangkan dari sisi pekerja sendiri, kebijakan tersebut idealnya dapat meningkatkan daya beli pekerja sehingga dapat meningkatkan taraf hidup pekerja dan keluarganya, sementara dari sisi pemerintah, instrumen tersebut merupakan salah satu program tidak langsung dalam upaya untuk mengentaskan kemiskinan melalui redistribusi pendapatan. Bila terjadi kenaikan upah minimum, perusahaan sesungguhnya memiliki tiga alternatif untuk meresponnya, yaitu mengurangi jumlah pekerja, mengurangi keuntungan perusahaan atau menaikkan harga produk. Umumnya, pendekatan teori ekonomi meramalkan bahwa jika upah minimum mengalami peningkatan, perusahaan tidak akan mengurangi keuntungan. Hal ini karena perusahaan yang memberikan standar gaji yang rendah biasanya adalah perusahaan yang terlalu kecil untuk dapat menyerap biaya ekstra yang ditimbulkan oleh kenaikan upah minimum. Pada pasar persaingan sempurna dengan setiap pelaku ekonomi diasumsikan sebagai price taker, teori ekonomi memprediksi bahwa perusahaan akan mengurangi pekerjanya dalam merespon kenaikan upah minimum. Selain itu, diprediksi pula oleh teori ekonomi jika terjadi lonjakan biaya pada tingkat industri yang cukup luas, maka kenaikan upah minimum tersebut akan direspon dengan menaikkan harga (Lemos, 2004b). Terkait dengan bagaimana upah minimum dapat memengaruhi harga dan inflasi, Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b) menjelaskan bagaimana mekanisme transmisi tersebut. Pertama, adanya dampak langsung dari perubahan upah minimum. Kedua, ada dampak spillover tak langsung dari penetapan upah
35
minimum yang baru. Ketiga, perusahaan menaikkan harga sebagai responnya atas biaya pekerja yang lebih tinggi. Keempat, perusahaan melakukan penyesuaian level kegiatan produksi dan melakukan penilaian atas besarnya input dan output terkait dengan minimisasi biaya dengan kendala ekspektasi permintaan. Kelima, menghasilkan kombinasi jumlah tenaga kerja dan tingkat upah yang baru untuk memproduksi keseimbangan baru pada tingkat pendapatan, permintaan agregat dan setelah beberapa waktu keseimbangan baru pada tingkat produksi. Keenam, inflasi dan tingkat pengangguran menjadi konsisten dengan keseimbangan baru yang mungkin pada waktunya kembali akan memengaruhi upah dan harga. Merujuk pada transmisi dari Sellekaerts (1981, dalam Lemos, 2004b), respon dari perusahaan ditekankan pada bagaimana kemudian upah minimum memengaruhi pasar tenaga kerja sehingga menghasilkan tingkat upah dan tingkat penyerapan tenaga kerja pada level keseimbangan yang baru. Hasil keseimbangan baru tersebut kemudian akan memengaruhi penawaran dan permintaan agregat, yang selanjutnya akan memengaruhi tingkat output dan harga. Berdasarkan penekanan pada keseimbangan di pasar tenaga kerja tersebut, Lemos (2004a) memberikan beberapa alternatif jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari pendekatan teori ekonomi, yaitu (1) melalui permintaan atas tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi, (2) melalui penawaran tenaga kerja, dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja sehingga mendorong harga menjadi lebih rendah; atau dengan meningkatkan partisipasi angkatan kerja yang kemudian akan mendorong upah atau harga menjadi lebih rendah, (3) melalui penawaran agregat, sehingga terjadi penurunan jumlah tenaga kerja dan output, kemudian mendorong upah dan harga menjadi lebih tinggi, (4) melalui permintaan agregat, dengan peningkatan pengeluaran agregat sehingga mendorong harga menjadi lebih tinggi; atau dengan penurunan permintaan untuk produk-produk pada perusahaan dengan tipe labour-intensive yang menerapkan upah minimum, sehingga mendorong harga menjadi turun. Pada kasus negara Indonesia, adanya sektor pekerjaan formal dan informal menjadikan dampak upah minimum terhadap pasar tenaga kerja menarik untuk diteliti. Di samping itu, pada sektor formal upah minimum tersebut bisa dilihat
36
pada sektor swasta dan sektor pemerintah. Besarnya upah minimum pada sektor swasta terbagi menjadi upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK), sementara pada sektor formal, besarnya upah minimum adalah besarnya gaji pegawai pemerintah (PNS/TNI/POLRI) dengan golongan terendah. Dalam 15 tahun terakhir, penetapan upah minimum pada sektor swasta dilakukan secara kontinu, setiap setahun sekali melalui proses negosiasi antara serikat pekerja dan asosiasi perusahan yang difasilitasi oleh pemerintah. Berbeda dengan sektor swasta, pada sektor pemerintah, penyesuaian gaji PNS/TNI/POLRI secara kontinu baru dalam beberapa tahun terakhir dengan tujuan untuk menjaga agar daya beli dari pegawai pemerintah tersebut tidak tergerus oleh inflasi dan yang terpenting adalah untuk meningkatkan produktivitas dari pegawai. Terkait dengan fenomena upah minimum tersebut, khususnya pada sektor swasta, penelitian Camola dan de Melo (2010) mengenai dampak desentralisasi penetapan upah minimum terhadap penyerapan tenaga kerja menyatakan (1) pada sektor formal, upah minimum memberi pengaruh negatif atas penyerapan tenaga kerja di sektor formal, khususnya pada perusahaan domestik, tetapi tidak memengaruhi tingkat penyerapan tenaga kerja pada perusahaan multi nasional yang beroperasi di Indonesia, (2) pada sektor informal, upah minimum memberi efek positif karena pengurangan tenaga kerja di sektor formal menambah tenaga kerja di sektor informal. Berdasarkan hasil penelitian Camola dan de Melo (2010) dan beberapa jalur yang memungkinkan penetapan upah minimum dapat memengaruhi harga dari Lemos (2004a), maka untuk kasus Indonesia, diduga upah minimum pada sektor swasta akan memengaruhi harga melalui permintaan tenaga kerja sehingga mendorong biaya perusahaan dan harga lebih tinggi. Ilustrasi dari kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 6 untuk panel (a), yaitu ketika terjadi kenaikan upah minimum di sektor swasta, maka akan mendorong kenaikan upah secara keseluruhan sehingga upah nominal menjadi naik, demikian pula dengan upah riil. Kenaikan upah nominal tersebut kemudian akan menyebabkan kenaikan harga, dan selanjutnya karena upah riil juga ikut naik, maka perusahaan meresponnya dengan mengurangi permintaan terhadap tenaga kerjanya sehingga secara agregat terjadi pengurangan tenaga kerja. Akibat dari pengurangan tenaga kerja tersebut akan terjadi penurunan output yang dibarengi oleh kenaikan harga.
37
Berbeda dengan sektor swasta, mekanisme transmisi penyesuaian upah minimum terhadap harga pada sektor pemerintah tidak melalui analisis pasar tenaga kerja seperti diilustrasikan oleh Gambar 6. Kenaikan upah minimum yang berupa kenaikan gaji PNS/TNI/POLRI pada golongan terendah dengan masa kerja nol tahun selalu diikuti kenaikan gaji pegawai pemerintah pada golongan berikutnya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan belanja pemerintah secara keseluruhan. Akibat kenaikan total belanja pemerintah tersebut, output akan ikut meningkat, namun kenaikan output tersebut akan diikuti dengan kenaikan harga alias akan menyebabkan inflasi (Gambar 5. panel (a)). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka mekanisme transmisi kenaikan upah minimum terhadap harga dan inflasi pada sektor pemerintah cenderung mengikuti jalur permintaan agregat sebagaimana dinyatakan oleh Lemos (2004a). 2.4.4 Administred Prices dan Inflasi Administred prices atau harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah merupakan salah satu sumber penting yang menyebabkan terjadinya volatilitas pada harga relatif komoditas lainnya secara menyeluruh. Oleh sebab itu, penyesuaian pada harga komoditas-komoditas yang diatur oleh pemerintah akan memberikan dampak pada inflasi. Mohanty dan Klau (2001) menyatakan bahwa administred prices bisa menjadi sumber utama dalam memengaruhi inflasi, namun hal tersebut tergantung bagaimana perilaku dari penyesuaiannya dan bagaimana respon kebijakan moneter jika terjadi penyesuaian administred prices. Jika revisinya dilakukan secara periodik untuk mengembalikannnya pada level relatif, maka tidak akan menyebabkan terjadinya inflasi (Phillips, 1994 dalam Mohanty dan Klau, 2001). Selain hal tersebut, maka penyesuaian pada harga yang diatur pemerintah akan menyebabkan inflasi. Pertama, penyesuaian pada harga yang diatur pemerintah mungkin akan diakomodasi oleh kebijakan moneter. Kedua, pengalaman di negara-negara dengan perekonomian dalam masa transisi menunjukkan bahwa, kenaikan yang terjadi pada harga yang diatur pemerintah tidak sepenuhnya dikompensasi oleh penurunan harga pada non administred prices, sehingga harga rata-rata meningkat pada perekonomian ini (IMF, 1996 dalam Mohanty dan Klau, 2001).
38
Khusus untuk Indonesia, harga yang diatur pemerintah diberlakukan pada beberapa komoditas, seperti harga bahan bakar minyak (BBM), tarif dasar listrik (TDL), tarif air minum (PAM/PDAM), dan tarif angkutan umum. Berdasarkan semua komoditas tersebut, karakteristik komoditas yang harganya diatur oleh pemerintah cenderung merupakan komoditas strategis atau bahkan menjadi komoditas politik yang menguasai hajat hidup orang banyak dan sebagian besar diproduksi oleh pemerintah sendiri (melalui badan usaha milik negara/pemerintah daerah). Lebih jauh, komoditas seperti BBM dan listrik merupakan salah satu komoditas utama yang banyak digunakan dalam proses produksi sehingga penyesuaian harga pada kedua komoditas tersebut akan memberi pengaruh yang signifikan pada harga komoditas lainnya, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung. Walhasil, kenaikan utamanya pada kedua jenis komoditas yang diatur pemerintah tersebut akan memicu terjadinya inflasi. Terkait dengan penyesuaian harga BBM di Indonesia, adanya shock dari luar negeri berupa kenaikan harga minyak dunia di pasar internasional tidak langsung ditransfer secara sebagian ataupun secara penuh ke harga domestik, karena pada praktiknya membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memutuskan kenaikan harga BBM di dalam negeri. Tarik ulur antara tetap memberlakukan harga lama dengan resiko subsidi akan meningkat sehingga akan membebani keuangan negara atau langkah sebaliknya, namun akan berakibat pada stagflasi, yaitu terjadinya penurunan tingkat kegiatan ekonomi bersamaan dengan inflasi yang cukup tinggi, bukanlah persoalan yang mudah. Oleh karenanya penyesuaian harga BBM misalnya, merupakan salah satu bentuk kebijakan pemerintah yang tidak populis dan menuai banyak kritik dari berbagai kalangan. Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred prices terhadap harga dan inflasi sesungguhnya mirip dengan terjadinya oil price shock sebagaimana disebutkan oleh Blanchard (2004). Ketika terjadi kenaikan pada harga BBM yang notebenenya diatur oleh pemerintah misalnya, maka perusahaan akan merespon dengan menaikkan markup, sehingga harga akan naik, karena hubungan antara keduanya berbanding lurus (persamaan (2.13) dan (2.14)). Akibat kenaikan harga tersebut, upah riil akan mengalami penurunan sehingga penawaran atas tenaga kerja menjadi menurun. Dampak lebih lanjut adalah
39
terjadinya pengurangan jumlah tenaga kerja dan hal tersebut menyebabkan jumlah pengangguran akan meningkat dan kemudian akan diikuti oleh output yang akan mengalami penurunan. Ilustrasi dari mekanisme transmisi ini diperlihatkan oleh Gambar 6 panel (b), yang secara tidak langsung menceritakan proses terjadinya inflasi karena dorongan biaya.
Sumber : Blanchard (2004)
Gambar 6. Ilustrasi dampak kenaikan upah minimum dan kenaikan harga BBM. Mekanisme transmisi dampak penyesuaian pada administred price khusus untuk kasus kenaikan harga BBM terhadap harga dan inflasi seperti diilustrasikan pada Gambar 6 panel (b) sesungguhnya berdasarkan kajian teoritis. Tidak banyak memang penelitian yang bertujuan untuk melihat dampak penyesuaian harga yang diatur (oleh pemerintah) terhadap tingkat harga dan inflasi. Salah satu penelitian mengenai hal tersebut dilakukan oleh Lünnemann and Mathä (2005) untuk studi kasus negara-negara pada Uni Eropa dengan tujuan untuk melihat dampak dari harga yang diatur dan tarif jasa terhadap persistensi inflasi. Berdasarkan disagregasi indeks (Harmonic Index of Consumer Price/HICP) menurut sub kelompok, ditunjukkan bahwa perubahan indeks yang terjadi pada sub kelompok harga yang diatur termasuk perubahan tarif jasa berkorelasi positif dengan
40
perubahan indeks yang terjadi pada komoditi lainnya. Selain itu, ditemukan pula bahwa pada harga yang diatur dan tarif jasa lebih rigid ke bawah, yang artinya cenderung lebih mudah naik dibanding turun. Selain itu didapati pula indeks untuk harga yang diatur dan tarif jasa menunjukkan perubahan tingkat inflasi yang lebih besar dibanding indeks lainnya. Dan terakhir jika kemudian harga yang diatur dan tarif jasa dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, akan mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat. Berdasarkan kajian empiris dan landasan teoritis, maka tidak diragukan lagi bila administred prices memang merupakan salah satu determinan penting dalam memengaruhi terjadinya inflasi. 2.5 Derajat Keterbukaan Perdagangan (Trade Openness) dan Inflasi Teori perdagangan internasional menyatakan bahwa dengan adanya kelimpahan sumber daya, setiap wilayah yang memiliki keunggulan komparatif akan melakukan spesialisasi guna memroduksi komoditi yang harganya relatif murah, sehingga dapat bersaing di pasar domestik dan pasar internasional. Kondisi sebaliknya, apabila terjadi keterbatasan sumber daya, melalui perdagangan interregional dan pasar internasional, kebutuhan akan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, mengingat adanya keunggulan komparatif dari wilayah atau negara lain, dapat dipenuhi melalui kegiatan impor. Oleh
karenanya,
kegiatan
ekspor-impor
dianggap
dapat
meningkatkan
kesejahteraan penduduk suatu wilayah atau negara karena konsumen akan mendapatkan komoditi yang diinginkan dengan harga yang relatif murah, terkait dengan adanya spesialisasi antar wilayah atau negara (Salvatore, 1996). Berdasarkan teori standar tersebut, seharusnya dengan semakin besar kapasitas perdagangan internasional, diduga akan menurunkan harga barang/jasa kebutuhan konsumen sehingga secara tidak langsung hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan (trade openness) dengan inflasi diprediksi akan berbanding terbalik atau memiliki hubungan negatif. Terkait dengan prediksi dari teori perdagangan standar tersebut, Romer (1993, dalam Al-Nasser et al., 2010) memberikan bukti empiris yang menyatakan terdapat hubungan negatif antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Keterkaitan antara keterbukaan perdagangan dan inflasi dari Romer tersebut dibangun berdasarkan model dari
41
Barro-Gordon untuk menguji hipotesis bahwa pada perekonomian yang lebih besar dan kurang terbuka akan memicu terjadinya tingkat inflasi yang lebih tinggi. Berdasarkan analisis data cross section, Romer menemukan bahwa rata-rata tingkat inflasi yang lebih rendah terjadi pada negara dengan perekonomian lebih kecil dan lebih terbuka. Argumen Romer mengenai hal ini adalah masalah independensi dari bank sentral terkait dengan hubungan antara keterbukaan dan inflasi. Kondisi di negara-negara dengan bank sentral yang lebih independen, adalah bank sentral akan melaksanakan tugasnya dengan kredibilitas sehingga seharusnya tidak akan ada hubungan antara tingkat keterbukaan perdagangan dengan inflasi. Sebaliknya, pada negara-negara dengan kondisi otoritas moneter yang tidak independen, keterbukaan akan berperan untuk mengurangi insentif pemerintah dalam memicu terjadinya inflasi. Menurut Al-Nasser et al. (2010), meskipun beberapa penelitian sebelum dan sesudahnya mendukung pendapat Romer, namun tidak hal tersebut karena setidaknya beberapa peneliti setelahnya seperti Terra (1998), Bleaney (1999) dan Temple (2002) kemudian menentangnya. Melihat prediksi dari teori perdagangan internasional dan hasil empiris yang ambivalen maka perlu ditelusuri bagaimana sebenarnya mekanisme transmisi dari tingkat keterbukaan perdagangan terhadap inflasi. Bowdler and Malik (2006) dalam papernya menyatakan ada 2 jalur mengenai bagaimana keterbukaan dalam perdagangan internasional dapat berpengaruh terhadap volatilitas inflasi. Jalur pertama, keterbukaan memengaruhi biaya terkait dengan volatilitas inflasi, yaitu dengan menciptakan insentif bagi pemerintah dan bank sentral untuk mengimplementasikan kebijakan yang akan memberikan implikasi yang berbeda-beda terhadap tingkat volatilitas. Menurut Cavelaars (2006, dalam Bowdler and Malik, 2006), mekanisme pada jalur ini cukup rumit karena harus melihat faktor apa yang mendorong terjadinya peningkatan keterbukaan perdagangan, apakah didorong oleh kemajuan teknologi sehingga menyebabkan penurunan harga atau berasal dari penurunan tarif impor yang akan menimbulkan terjadinya diskresi dalam kebijakan moneter dan akan membuat inflasi menjadi lebih volatile. Berdasarkan beberapa penelitian berikutnya, Bowdler and Malik (2006) kemudian menyimpulkan bahwa stabilitas
42
kebijakan moneter memegang peranan penting dalam menentukan tingkat volatilitas inflasi. Jalur kedua, keterbukaan perdagangan akan memengaruhi struktur konsumsi dan produksi, dan melalui diversifikasi konsumsi akan menyebabkan terjadinya cancel out dalam agregasi indeks harga. Sesungguhnya jalur ini mengacu pada teori perdagangan standar seperti telah dijelaskan sebelumnya, yaitu akibat spesialisasi produksi dan diversifikasi konsumsi akan menurunkan volatilitas inflasi. Meskipun demikian, terdapat jalur lainnya yang mungkin dapat menyebabkan keterbukaan perdagangan akan meningkatkan terjadinya volatilitas inflasi. Adanya spesialisasi pada kegiatan produksi misalnya, akan meningkatkan terjadinya kerapuhan dari sektor-sektor tertentu yang bergantung pada kegiatan ekspor. Ketergantungan ekspor tersebut akan membuat permintaan untuk produk domestik menjadi volatile dan melalui jalur tersebut akan memicu meningkatnya fluktuasi inflasi yang tinggi. Dampak terhadap tingginya volatilitas inflasi juga akan terjadi jika meningkatnya keterbukaan dalam perdagangan diikuti dengan keterbukaan dalam konteks finansial. Dalam perspektif perekonomian global, Benigno and Faia (2010) mencoba menjelaskan bagaimana globalisasi dapat memengaruhi dinamika inflasi di dalam negeri. Dalam papernya, mereka berfokus pada bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi terhadap inflasi. Jalur pertama adalah melalui pass-through dari kombinasi antara nilai tukar nominal dan biaya marginal dari luar negeri melalui barang-barang impor, baik barang-barang untuk kebutuhan konsumsi akhir atau yang tergolong sebagai input antara, sehingga akan memberikan pengaruh terhadap tingkat kompetisi produk dalam dan luar negeri. Jalur kedua adalah melalui pengaruh secara tidak langsung yang akan menimbulkan dampak pada strategi harga dari perusahaan domestik dalam menjual produknya untuk pasar internal. Akibatnya, perusahaan domestik dan luar negeri akan berkompetisi untuk meningkatkan market share dari produk mereka melalui strategi penentuan harga. Hasil penelitian tersebut kemudian menyimpulkan bahwa derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan
43
komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing. Berdasarkan beberapa kajian teoritis dan penelitian empiris yang telah disampaikan, cukup rumit juga untuk meramalkan pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi karena terkait erat dengan perilaku dari pembuat kebijakan dan struktur perekonomian dari suatu wilayah, terlepas berbagai kemungkinan mekanisme transmisi yang akan terjadi. Oleh karenanya, untuk melihat seberapa jauh pengaruh dari keterbukaan perdagangan terhadap inflasi atau tingkat volatilitas inflasi akan lebih bijaksana bila melibatkan beberapa faktor lainnya seperti kondisi spesifik dari suatu negara dan kondisi global sebagaimana dilakukan oleh Beirne (2009), meskipun tujuan dari penelitiannya adalah untuk mengetahui tingkat vulnerabilitas dari inflasi. 2.6 Infrastruktur dan Inflasi Beberapa teori pertumbuhan ekonomi sepakat mengenai arti penting dari infrastruktur terhadap pembangunan regional, karena akan menjadi determinan dalam membangun sistem pertumbuhan di tingkat lokal dan bagaimana kemudian jalur pembangunan akan terbentuk. Menurut teori pertumbuhan export base dan growth-poles; kapasitas ekspor, sistem produksi yang kompetitif dan kemampuan wilayah dalam menarik suatu kegiatan ekonomi baru merupakan hasil endowment berupa infrastruktur yang sudah terbangun. Dampak dari endowment kondisi infrastruktur yang lebih baik akan dapat menarik kehadiran perusahaan baru pada suatu wilayah dan akan menjadi sumber pemicu terjadinya persaingan dengan perusahaan-perusahaan yang terlebih dahulu sudah beroperasi di wilayah tersebut. Hal tersebut kemudian akan meningkatkan produktivitas dari faktor produksi dan dengan peningkatan akses akan menurunkan biaya-biaya yang terkait dengan pengeluaran perusahaan, sehingga akan membangkitkan eksternalitas positif pada pembangunan di tingkat lokal. Tentu saja infrastruktur yang dimaksud adalah infrastruktur ekonomi seperti fasilitas transportasi, jalan raya, pelabuhan laut dan udara, rel kereta dan pembangkit tenaga listrik, karena secara langsung akan berfungsi dalam meningkatkan produktivitas perusahaan (Cappelo, 2007). Penelitian tentang dampak infrastruktur telah banyak dilakukan baik di negara-negara maju maupun di negara-negara berkembang. Umumnya penelitian
44
tersebut ingin mengetahui dampaknya terhadap output, total factor productivity, tenaga kerja, perdagangan dan distribusi pendapatan, namun sayangnya studi yang secara eksplisit bertujuan untuk mengetahui dampaknya terhadap tingkat harga dan inflasi bisa dikatakan tidak mudah untuk ditemukan. Hasil dari sejumlah penelitian tersebut biasa berakhir dengan kesimpulan bahwa infrastruktur memberikan dampak positif bagi objek yang diteliti, sebagaimana diprediksi oleh beberapa teori pertumbuhan regional. Terkait dengan penelitian mengenai dampak infrastruktur terhadap tingkat harga dan inflasi, Beirne (2009) melakukan studi dengan tujuan untuk mengetahui indikator-indikator yang mungkin menjadi determinan terhadap inflasi. Dalam studi tersebut Beirne memasukkan faktor spesifik dari 10 negara anggota baru dari Uni Eropa terkait dengan reformasi struktural dengan salah satunya adalah indeks reformasi infrastruktur. Menariknya, hasil studi empiris tersebut menyimpulkan bahwa semakin tinggi indeks yang artinya semakin baik kondisi infrastruktur akan mendorong terjadinya kenaikan tingkat harga atau dengan kata lain akan memberi pengaruh positif terhadap inflasi. Hasil ini tentu saja bertolak belakang dengan prediksi dari teori sebelumnya dengan seharusnya semakin baik kondisi infrastruktur akan menurunkan tingkat harga. Penjelasan dari penulis mengenai hasil empiris tersebut adalah dengan semakin baiknya kondisi infrastruktur akan mendukung masuknya investasi dan kegiatan ekonomi dari luar. Anomali hasil empiris tersebut tentu saja menjadi pertanyaan besar karena pastinya ada penjelasan mengenai bagaimana mekanisme transmisi sesungguhnya. Studi dari Oosterhaven and Elhorst (2003) tentang manfaat ekonomi secara tidak langsung dari investasi pada infrastruktur transportasi sepertinya merupakan alternatif jawaban atas teka-teki tersebut. Berdasarkan pendekatan model ekonomi regional dan makro ekonomi yang digunakan dalam studi tersebut, mereka menyatakan
bahwa
peningkatan
kualitas
infrastruktur
transportasi
akan
menyebabkan penurunan biaya transport dan penghematan waktu dalam perjalanan. Penghematan tersebut secara langsung akan memengaruhi permintaan terhadap produk lokal berupa input antara, tingkat konsumsi dan permintaan atas investasi. Secara sektoral atau menurut produk, penghematan tersebut bisa memberi dampak positif atau negatif dan dampak tersebut bisa meningkat karena
45
economies of scale pada perusahaan lokal. Secara agregat, dampak dari peningkatan kualitas infrastruktur otomatis bisa menyebabkan kenaikan tingkat harga atau sebaliknya tergantung dari struktur perekonomian suatu negara atau wilayah. Peningkatan kualitas infrastruktur transportasi dapat menyebabkan dua kondisi yang berbeda, yaitu akan mendorong peningkatan ekspor atau sebaliknya akan meningkatkan permintaan atas produk impor. Bila kemudian yang terjadi adalah peningkatan ekspor maka pengaruhnya terhadap harga cenderung menjadi negatif atau menyebabkan penurunan harga alias akan berpengaruh negatif terhadap inflasi, namun jika terjadi hal yang sebaliknya maka dampaknya terhadap inflasi menjadi positif. Mekanisme transmisi dari kondisi infrastruktur terhadap harga tentunya tidak sesederhana itu karena secara tidak langsung hal tersebut juga akan memengaruhi kondisi pasar tenaga kerja di suatu negara atau wilayah, seperti tingkat pengangguran, adanya lowongan pekerjaan dan terutama tingkat upah. Oleh karenanya tidak mudah untuk melihat dampak agregat dari peningkatan kualitas infrastruktur khususnya infrastruktur transportasi dan infrastruktur secara umum terhadap harga. Mengingat terdapat beberapa jalur yang kemungkinan dapat memengaruhi harga dan dimungkinkan pula terjadi dampak bauran dari beberapa alternatif jalur tersebut, maka dampak total terhadap harga menjadi tidak mudah untuk diprediksi. 2.7 Metode Univariate Detrending Beberapa variabel ekonomi yang terkait dengan runtun waktu umumnya memiliki tren stokastik dan komponen stasioner, seperti hipotesis permanent income yang disintesakan oleh Milton Friedman atau output potensial dan inflasi inti (core inflation) seperti telah dibahas sebelumnya. Khusus untuk estimasi output potensial dengan metode univariate non-structural, Ladiray et al. (2003) menjelaskan beberapa teknik detrending yang memisahkan antara komponen tren yang bersifat permanen dan transitory component, yaitu deviasi dari komponen tren yang cenderung bersifat sementara. Transitory component sendiri kemudian didekomposisi menjadi komponen siklus dan gangguan (irregular) yang diasumsikan mengikuti pola acak (white noise).
46
Salah satu metode detrending yang sering digunakan untuk mengestimasi output potensial adalah metode Hodrick–Prescott (HP) filter, meskipun metode ini banyak dikritik karena tidak berdasarkan pendekatan struktural. Walapun banyak mendapat kritik, namun jika dibandingkan metode univariate detrending lainnya seperti BeveridgeNelson decomposition, metode ini menghasilkan dugaan yang unique, sementara metode kedua tidak (Enders, 2004). Hal ini disebabkan oleh ketergantungan dari model ARIMA (p,1,q) yang sesuai dengan kondisi data, sementara masalah kesesuaian pada model ARIMA sendiri cenderung bersifat subjektif. Pendekatan detrending dengan menggunakan HP filter berusaha untuk mendekomposisi series data menjadi tren (t) dan komponen stasioner yt – t. Jika didefinisikan jumlah kuadrat sebagai berikut : SS
1 T
T
(y t 1
t
t )2
T
T 1
[( t 2
t 1
t ) ( t t 1 ) ] 2
.................... (2.15)
dengan adalah sebuah konstanta dan T adalah jumlah observasi yang digunakan. Permasalahan dalam penggunaan metode Hodrick–Prescott Filter adalah bagaimana menentukan suatu deret dari t sehingga meminimumkan jumlah kuadrat (SS). Terkait dengan permasalahan minimisasi, adalah suatu sembarang konstanta yang mencerminkan biaya atau pinalti terkait dengan bagaimana menurunkan fluktuasi menjadi tren. Tarik ulur dalam menentukan besar akan berimplikasi pada hasil dekomposisi, akan menjadi tren yang halus atau bahkan akan menjadi konstanta (Enders, 2004). Selain dua metode detrending series yang telah disebutkan sebelumnya, metode band pass filter merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk menghitung output potensial. Pendekatan ini berusaha untuk mengestimasi komponen siklus secara langsung agar mendekati band pass filter yang ideal, sehingga berada di antara selang low band (1*) dan high band (2*). Terdapat dua pendekatan dalam metode ini, yaitu metode band pass BaxterKing dan metode
band
pass
ChristianoFitzgerald.
Keduanya
berusaha
untuk
meminimumkan deviasi antara respon frekuensi dari filter yang ideal dengan estimasi dari respon frekuensi dari estimasinya, hanya saja untuk band pass
47
ChristianoFitzgerald menggunakan penimbang berupa densitas spektral dari data runtun waktu yang akan dilakukan detrended. Fungsi yang diminimumkan pada band pass filter versii BaxterKing dan ChristianoFitzgerald adalah sebagai berikut (Ladiray et al., 2003) : BaxterKing
Q
ChristianoFitzgerald
Q
e iw e iw dw
........ (2.16)
e iw e iw
........ (2.17)
2
2
f y w dw
dengan, (eiw) menyatakan respon frekuensi dari filter yang ideal, (eiw) dan
(eiw) adalah respon frekuensi yang diestimasi dan fy(w) merupakan densitas spektral dari data yang di-detrended. Menurut Ladiray et al. (2003), perbedaan dari kedua fungsi kerugian tersebut adalah persamaan (2.16) mengharuskan kondisi yang simetris sementara pada persamaan (2.17) dimungkinkan terjadinya kondisi yang tidak simetris pada penimbang band pass filter. Perbedaan lainnya pada kedua metode tersebut adalah BaxterKing menggunakan asumsi bahwa variabel mengikuti distribusi yang identik dan independen, sementara pada band pass filter ChristianoFitzgerald, variabel diasumsikan sebagai random walk. Implikasi adanya perbedaan kedua asumsi tersebut adalah perbedaan tingkat akurasi dari estimasi yang dihasilkan oleh keduanya. Perbedaan yang menjadi implikasi lainnya adalah jumlah hasil estimasi yang diperoleh dari metode BaxterKing menjadi berkurang beberapa observasi di awal dan di akhir pada serangkaian data yang dianalisis, sedang pada metode ChristianoFitzgerald diperoleh observasi yang lengkap. Terakhir, berdasarkan metode BaxterKing akan didapatkan estimasi yang cukup baik saat high band sehingga cenderung lebih baik digunakan untuk rentang waktu yang relatif pendek, sebaliknya metode ChristianoFitzgerald cenderung baik untuk digunakan pada rentang waktu yang relatif panjang atau bahkan tidak terbatas mengingat estimasi yang dihasilkan cukup baik saat low band. 2.8 Metode Regresi Data Panel Data panel adalah data yang memiliki dimensi ruang (individu) dan waktu. Penggabungan data cross section dan time series dalam studi data panel
48
digunakan untuk mengatasi kelemahan dan menjawab pertanyaan yang tidak dapat diberikan oleh model cross section dan time series murni. Aplikasi metode estimasi dengan menggunakan data panel banyak digunakan baik secara teoritis maupun
aplikatif
dalam
berbagai
literatur
mikroekonometrik
dan
makroekonometrik. 2.8.1 Regresi Data Panel Statis Secara umum, terdapat dua pendekatan dalam metode data panel statis, yaitu Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM), yang dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Secara umum, persamaan regresi panel data statis dituliskan sebagai berikut : yit = i + Xit + it
.......................................... (2.18)
dengan yit : nilai variabel dependen untuk setiap unit individu i pada periode t dengan i = 1, …, n dan t = 1, …, T
i : unobserved heterogenity Xit : nilai variabel independen yang terdiri dari sejumlah K variabel.
: parameter yang diestimasi dengan pada one way error, bentuk it didekomposisi menjadi it = i + uit
.......................................... (2.19)
dengan i adalah efek individu dan uit adalah gangguan yang bersifat acak dengan asumsi uit iid (0,u2). Bentuk error it dapat didekomposisi menjadi two way atau three way error, tergantung dari asumsi yang digunakan, namun pada penelitian ini dibatasi hanya menggunakan bentuk one way error saja, baik untuk data panel statis maupun dinamis.
2.8.1.1 Fixed Effect Model (FEM) FEM digunakan ketika efek individu dan efek waktu mempunyai korelasi dengan atau memiliki pola yang sifatnya tidak acak. Berdasarkan asumsi ini, maka komponen error dari efek individu dan waktu dapat menjadi bagian dari intersep, sehingga untuk bentuk one way error, persamaan (2.19) dapat dituliskan menjadi yit = ( i + i ) + Xit + uit
.......................................... (2.20)
49
Penduga dari model ini mampu menjelaskan perbedaan atau variasi antar individu (differences within individual), karena model ini memungkinkan adanya perbedaan intersep
pada setiap i. Penduga dari model ini ditentukan
sebagaimana penduga least square dalam regresi namun dalam bentuk deviasi rata-rata individual. Khusus untuk one way error, penduga FEM dapat dihitung dengan teknik Pooled Least Square (PLS), Least Square Dummy Variable (LSDV) dan Within Group (WG). 2.8.1.2 Random Effect Model (REM) REM digunakan ketika efek individu dan efek waktu tidak berkorelasi dengan atau memiliki pola yang sifatnya acak. Dengan kondisi ini, maka komponen error dari efek individu dan efek waktu dimasukkan ke dalam error, sehingga pada bentuk one way error, persamaan (2.18) dapat ditulis ulang menjadi yit = i + Xit + uit + i
......................................... (2.21)
Asumsi yang digunakan dalam model efek acak (REM) adalah E uit | i 0
E uit2 | i u2
E i | xit 0 ; i, t
E u 0 ; i, t, j E u u 0 untuk i j dan t s E i2 | xit 2 ; i, t it
j
it
js
Dalam bentuk one way error, penduga REM dapat dihitung dengan teknik Between Estimator (BE) dan Generalized Least Square (GLS). 2.8.2 Regresi Data Panel Dinamis Analisis data panel dapat digunakan pada model yang bersifat dinamis dalam kaitannya dengan analisis penyesuaian dinamis (dynamic of adjustment). Hubungan dinamis ini dicirikan oleh keberadaan lag dari variabel dependen di antara regresor. Perkembangan teknik ekonometrika pada tahap selanjutnya seiring dengan tuntutan dalam ekonomi regional menyebabkan regresi panel data dinamis bisa menangkap adanya keterkaitan secara spasial.
50
2.8.2.1 Data Panel Dinamis Non Spasial Model regresi data panel statis dengan pendekatan Fixed Effect Model (FEM) dan Random Effect Model (REM) merupakan penduga yang konsisten dan efisien, namun pada kondisi ini berbeda jika diterapkan pada model data panel dinamis, yaitu dengan hadirnya lag dari variabel dependen pada ruas kanan persamaan. Pembuktian secara matematis mengenai inkonsistensi dan inefisiensi dari penduga FEM dan REM untuk model data panel dinamis tidak disampaikan di sini, namun secara lengkap dapat dilihat lebih lanjut dalam Verbeek (2008). First-Difference GMM (FD-GMM) Arrelano dan Bond (1991, dalam Baltagi, 2005) menyarankan suatu pendekatan generalized method of moments (GMM) untuk mengatasi masalah ini. Secara umum, bentuk data panel autoregresif dengan lag 1 atau AR(1) tanpa variabel eksogen adalah sebagai berikut (Baltagi, 2005) : yit = yi,t-1 + uit ; < 1 ; t = 1, 2, … , T
.......................................... (2.22)
dengan uit = i + vit, dengan i iid (0,2) dan vit iid (0,v2). Untuk memperoleh penduga yang konsisten, dengan N dengan T tertentu, maka dilakukan first-difference pada persamaan (2.22) untuk menghilangkan efek individu. yit – yi,t-1 = (yi,t-1 – yi,t-2) + (vit – vi,t-1) ; t = 2, 3, … , T
.................. (2.23)
dengan (vit – vi,t-1) mengikuti proses MA (1) dengan unit root. Secara umum, pada persamaan (2.23) dapat dilihat bahwa yi,t-2 adalah variabel instrumen yang valid karena berkorelasi dengan (yi,t-1 – yi,t-2), akan tetapi tidak berkorelasi dengan (vit – vi,t-1). Prosedur instrumental variable masih belum ada untuk differenced error term pada persamaan (2.23), dengan E(vivi) = v2 (IN G)
.......................................... (2.24)
dengan : vi = (vi3 – vi2, … , viT – vi,T-1) dan 2 1 0 1 2 1 G 0 0 0 0 0 0
0 0 0 0 1 2 1 0 1 2 0
0
.......................................... (2.25)
adalah (T-2) x (T-2), karena vi adalah MA(1) dengan unit root. Didefinisikan sebagai
51
yi Wi 0
yi 1 , yi 2
yi 1 ,, yi ,T 2 0
......................................... (2.26)
sebagai matriks instrumen. Setiap baris pada matriks Wi berisi instrumen yang valid untuk setiap periode yang diberikan. Konsekuensinya, himpunan seluruh kondisi momen dapat dituliskan secara ringkas sebagai E(Wivi) = 0
......................................... (2.27)
Dengan mengalikan ulang persamaan difference (2.22) dalam bentuk vektor dengan Wi, akan diperoleh Wy = W (y-1) + Wv
......................................... (2.28)
Dengan prosedur GLS untuk mengestimasi persamaan (2.28), maka akan diperoleh Arrelano dan Bond (1991) preliminary one-step consistent estimator : 1 1 1 ˆ1 y 1 W W I N G W W y 1 y 1 W W I N G W W y 1
... (2.29)
Optimal GMM estimator dari ala Hansen (1982, dalam Baltagi, 2005) untuk N yang tak hingga dan T relatif tetap dengan hanya menggunakan moment restriction di atas menghasilkan notasi yang sama seperti (2.29) kecuali bahwa N W I N G W Wi G Wi
......................................... (2.30)
i 1
digantikan oleh N V N Wi vi vi Wi
......................................... (2.31)
i 1
GMM estimator memerlukan no knowledge concerning kondisi awal atau distribusi dari vi dan ui. Prosedur estimasi pada metode ini adalah vi digantikan oleh difference residual yang diperoleh dari preliminary consistent estimator. Hasil metode estimasi ini adalah two-step Arrelano-Bond (1991) GMM estimator (Baltagi, 2005) : 1 1 1 ˆ2 y 1 W VˆN W y 1 y 1 W VˆN W y 1
.......................... (2.32)
Sebuah estimasi yang konsisten dari asymptotic var ( ˆ2 ) diberikan oleh bentuk pertama dalam persamaan (2.33)
1 Var ˆ2 y 1 W VˆN W y 1
1
........................... (2.33)
52
Kondisi ˆ1 dan ˆ2 adalah asymptotically equivalent jika adalah vit iid (0,v2). Berdasarkan cara yang sama, dapat diturunkan pula jika pada persamaan (2.22) dimasukkan variabel eksogen, sehingga akan diperoleh persamaan berikut : yit = x'it + yi,t-1 + uit
................................ (2.34)
Parameter persamaan (2.35) juga dapat diestimasi menggunakan generalisasi variabel instrumen atau pendekatan GMM. Berbagai asumsi dapat digunakan untuk xit , dengan demikian sekumpulan instrumen tambahan yang berbeda dapat dibangun berdasarkan asumsi tersebut. System GMM (SYS-GMM) Menurut Blundell dan Bond (1998, dalam Baltagi, 2005), penduga FD-GMM dapat mengandung bias pada sampel berukuran kecil, hal ini terjadi ketika
lagged
level
dari
deret
berkorelasi
secara
lemah
dengan
first-difference berikutnya, sehingga instrumen yang tersedia untuk persamaan first-difference lemah. Dalam model AR(1) pada persamaan (2.22), fenomena ini terjadi karena parameter autoregresif () mendekati satu, atau varian dari pengaruh individu (i) meningkat relatif terhadap varian transient error (vit). Mereka menunjukkan bahwa penduga FD-GMM pada persamaan (2.23) dapat terkendala oleh bias sampel terbatas, terutama ketika jumlah periode amatan yang tersedia relatif kecil. Oleh karenanya, merupakan hal penting untuk memanfaatkan kondisi awal (initial condition) dalam menghasilkan penduga yang efisien dari model data panel dinamis ketika T berukuran kecil. Misalkan diberikan model autoregresif data panel dinamis sebagai berikut : yit = yi,t-1 + i + vit
................................ (2.35)
dengan E(i) = 0; E(vi) = 0; E(ivi) = 0; untuk i = 1, 2, . . . , N ; t = 1, 2, . . . , T. Dalam hal ini, Blundel dan Bond (1998) memfokuskan pada T = 3, oleh karenanya hanya terdapat satu kondisi ortogonal yang diberikan oleh E(yi1vi3) = 0; sedemikian sehingga tepat teridentifikasi (just identified). Dalam kasus ini, tahap pertama dari regresi variabel instrumen diperoleh dengan meregresikan yi2 pada yi1. Perhatikan bahwa regresi ini dapat diperoleh dari persamaan (2.35) yang dievaluasi pada saat t = 2 dengan mengurangi kedua ruas pada persamaan tersebut, yakni
53
yi2 = ( 1) yi,1 + i + vi2
................................ (2.36)
karenakan ekspektasi E(yi1i) > 0; maka (1 – ) akan bias ke atas (upward biased) dengan
p lim ˆ 1 1
c c(
2
/
2 u
.................... (2.37) )
dengan c = (1 – )/(1 + ). Bias dapat menyebabkan koefisien estimasi dari variabel instrumen zi1 mendekati nol. Selain itu, nilai statistik-F dari regresi variabel instrumen tahap pertama akan konvergen ke 12 dengan parameter non-centrality
( u c ) 2 0 2 2 u c 2
; saat 1
.................... (2.38)
Ketika 0 maka penduga variabel instrumen menjadi lemah. Blundell dan Bond mengaitkan bias dan lemahnya presisi dari penduga first-difference GMM dengan masalah lemahnya instrumen yang mana hal ini dicirikan dari parameter konsentrasi (). Selanjutnya mereka memperluas penduga sistem GMM dengan menggunakan lagged differences dari yit sebagai instrumen untuk persaman pada level, sementara lagged level dari yit sebagai instrumen untuk persamaan dalam first differences (lihat Arellano dan Bover, 1995). 2.8.2.2 Data Panel Spasial Dinamis Model data panel spasial dinamis adalah pengembangan lebih lanjut ketika variabel dependen atau bentuk error-nya memiliki keterkaitan spasial. Bentuk umum dari model spasial dengan i = 1, 2, … , N unit spasial dan t = 1, 2, … , T periode waktu, dengan jumlah amatan unit spasial relatif lebih besar dari panjang periode waktu. Jika diasumsikan data pada waktu ke-t dibangkitkan mengikuti model berikut : yt = yt-1 + WN yt + xt + ut
................................ (2.39)
dengan WN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N dengan seluruh elemen pada diagonal utama berisi nol dan elemen pada setiap baris dinormalkan;
adalah koefisien dari variabel dependen, adalah koefisien autoregresif spasial yang mengukur efek dari terjadinya interaksi antar variabel endogen, sementara xt dan ut masing-masing adalah variabel penjelas yang diasumsikan strictly exogenous dan error term (Jacobs et al., 2009).
54
Selanjutnya, pada kasus terjadinya keterkaitan struktur error secara spasial, maka komponen error uit mengikuti proses autoregresif spasial sebagai berikut : ut = MN ut + t
................................ (2.40)
dengan MN adalah matriks penimbang spasial berukuran N N, sehingga MN uit merupakan bentuk error spasial. Selanjutnya it = IN + vit ; vit iid (0,v2IN), dengan vektor (unobservable) unit-specific fixed effects. Persamaan (2.39) dan (2.40) kemudian dapat direduksi sehingga akan diperoleh persamaan berikut : yt = (IN WN )1 [ yt-1 + xt + ut ]
..................................... (2.41)
atau yt = zt + ut
..................................... (2.42)
ut = (IN MN )1 [ IN + vt ]
..................................... (2.43)
dengan zit = [ yi,t-1 ; WN yit ; xit ], sementara = [ ; ; ' ] Spatially Corrected Arellano-Bond (SCAB) Metode ini merupakan perluasan dari metode data panel dinamis dari Arellano dan Bond (1991) yang menghadirkan adanya keterkaitan secara spasial pada variabel lag dan galatnya. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial Arellano-Bond akan diturunkan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, digunakan GMM untuk mengestimasi yang digunakan menghitung uˆ it yit z itˆ , kemudian untuk menghilangkan
digunakan pembedaan pertama
(first-difference) dari persamaan (2.42) dan (2.43). yt = zt + ut
................................ (2.44)
ut = (IN MN )1 vt ; t = 3, … , T
................................ (2.45)
Baik lag dari waktu dan lag secara spasial dari variabel dependen adalah variabel endogen yang saling berhubungan. Tantangan dari kondisi tersebut adalah menemukan instrumen spasial yang memiliki korelasi yang lebih kuat dengan lag spasial dibanding lag dari waktu pada variabel dependen, sebaliknya instrumen dinamis memerlukan kondisi yang sebaliknya. Konsistensi dari prosedur GMM data panel terletak pada eksistensi matriks instrumen HSAB dengan dimensi N (T 2) F dengan memenuhi kondisi F momen berikut : E [H'SAB uit] = 0.
55
Berdasarkan penjelasan tersebut, penduga untuk koreksi spasial Arellano-Bond tahap pertama adalah sebagai berikut : z 1 z H SAB ASAB H SAB y ˆSAB z H SAB ASAB H SAB
...................... (2.46)
dengan ASAB = [H'SAB G HSAB]1 adalah matriks instrumen berdimensi F F, sementara G adalah matrik penimbang dengan ukuran N (T 2) N (T 2), dengan elemen dari G seperti pada persamaan (2.25). Berdasarkan variabel instrumen yang digunakan pada persamaan (2.46), implikasi dari prosedur Arellano-Bond adalah harus terpenuhi kondisi momen berikut : E(y'i,ts vit) = 0 ; t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1
......................... (2.47)
Meski demikian, karena adanya keterkaitan spasial maka dengan modifikasi dari pendekatan Kelejian dan Robinson (1993, dalam Jacobs et al. 2009) harus terpenuhi juga kondisi momen : E[(WN xi,t2 )' vit ] = 0 ; E[ x'i,t2 vit ] = 0 ; t = 3, … , T
............. (2.48)
Pada tahap kedua, masih menurut Jacobs et al. (2009), penduga GMM yang konsisten dari dan v2 diperoleh dari uˆit dan memenuhi modifikasi dari kondisi momen berdasarkan Kapoor et al. (2007) berikut : 2 1 v N (T 2 ) Q 1 2 1 Q v tr ( M N M N ) N (T 2 ) N 1 Q 0 N (T 2 )
...................... (2.49)
dengan : Q = (IT1 JT1/(T 1)) IN adalah matriks transformasi “within”, IT1 merupakan matriks identitas berdimensi T 1 dan JT1 = eT
1
e' T
1,
dengan
elemen sebanyak (T 1) (T 1). Vektor dan adalah vektor dengan ukuran N (T 1) 1, didefinisikan sebagai berikut ...................... (2.50) it u it u dan u u dengan : uit yit zit SAB ; u ( I T 1 M N ) u dan u ( I T 1 M N ) u Kemudian, dengan memasukkan persamaan (2.49) ke (2.50) akan diperoleh 1 (T 2 ) uˆ Q uˆ 2 1 1 uˆ Q uˆ N N (T 2 ) 1 uˆ Quˆ v 2 (T 2 )
...................... (2.51)
56
dengan 1 (T 2 ) uˆ Q uˆ 1 uˆ Q uˆ (T 2 ) 1 uˆ Quˆ (T 2 )
2 uˆ Q uˆ ( T 2) 2 u Q uˆ (T 2 ) 2 uˆ Q u uˆ Q uˆ (T 2 )
1 uˆ Q uˆ (T 2 ) 1 u Q u (T 2 ) 1 uˆ Q u (T 2 )
tr ( M N M N ) 0 1
Selanjutnya, pada tahap terakhir, penduga dari digunakan untuk melakukan mentransformasi spasial, variabel pada persamaan (2.44) sehingga akan diperoleh hasil ~ y ~ z SCAB
....................... (2.52)
dengan untuk p = {y, z}, ~p I N ˆ M N p Model transformasi kemudian digunakan untuk menurunkan penduga SAB pada tahap ketiga
~ ~ ~ ~ ˆSCAB ~z H SAB ASAB H SAB z ~ G H SAB dengan ASAB H~ SAB ~
1
1
~ ~ ~ ~ ~ z H SAB ASAB H SAB y
....................... (2.53)
dan H~ SAB I N ˆ M N H SAB
Spatially Corrected Blundell-Bond (SCBB) Sistem GMM yang disarankan oleh Blundell-Bond (1998) sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya merupakan cara untuk menanggulangi adanya kelemahan dari instrumen yang digunakan dalam metode FD-GMM. Menurut Jacobs et al. (2009), penduga dari koreksi spasial metode Blundell-Bond (SCBB) dapat diturunkan melalui model berikut : yit z it u it y z u it it it
....................... (2.54)
atau secara ringkas dapat ditulis menjadi yBB(t) = zBB(t) + uBB(t)
......................... (2.55)
dengan yBB(t) adalah vektor 2N 1. Pada model Blundell-Bond, jumlah amatan menjadi dua kali lipat, yaitu dari sebelumnya N ( T 2 ) menjadi 2N (T 2 ), sehingga akan meningkatkan efisiensi dari pendugaan. Prosedur pendugaan SCBB dapat menggunakan tiga tahap dengan mengikuti langkah-langkah yang digunakan pada pendugaan SCAB sebelumnya. Tahap pertama dari penduga spasial Blundell-Bond yang disarankan oleh Jacobs et al. (2009) adalah
57
z 1 z H SBB ASBB H SBB y ˆSBB z H SBB ASBB H SBB
...................... (2.56)
dengan ASBB = [H'SBB HSBB]1 dan HSBB didefinisikan seperti berikut H H SBB D 0
0 H L
...................... (2.57)
Pada matriks HSBB, HD berisi instrumen untuk model dengan pembeda pertama, sedangkan HL terdiri dari instrumen untuk model dalam bentuk level. Struktur dari matriks HSBB sebagaimana dapat dilihat pada persamaan (2.57) secara tidak langsung memastikan tidak adanya interaksi antar variabel instrumen, sehingga antara variabel instrumen tidak dapat memengaruhi satu dengan lainnya. Matriks instrumen HD berdasarkan kondisi momen berikut E[ y'(ts) v(t)] = 0 ; E[(WN x)' v(t)] = 0 ; E[x'(t) v(t)] = 0
........ (2.58)
sementara matriks instrumen HL berdasarkan E[ y'(t) v(ts)] = 0 ; E[(WN x)' v(ts)] = 0 ; E[x'(t) v(ts) ] = 0
. (2.59)
untuk t = 3, … , T dan s = 2, … , T 1. Dengan mengambil analogi dari metode SCAB, tahap kedua dan ketiga
dapat dilakukan dengan prosedur pendugaan menggunakan uˆ y z SBB dengan SBB diperoleh dari pendugaan tahap pertama dan z hanya berisi variabel pada
level.
58
2.9 Penelitian Sebelumnya Beberapa penelitian empiris yang menjelaskan tentang keterkaitan inflasi dengan beberapa variabel lain yang memengaruhinya disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4. Ringkasan hasil penelitian sebelumnya No.
Peneliti
1. Beirne (2009)
2. Benigno (2010)
and
Objek / Tujuan
Metode dan Data
Hasil
Mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan atau memicu terjadinya inflasi secara komprehensif pada 10 negara anggota baru dari Uni Eropa.
Metode panel data dinamis dengan menggunakan data kuartalan tahun 1998 – 2007, Variabel-variabel yang diteliti adalah yang mewakili kondisi spesifik dari setiap negara dan merepresentasikan faktor global.
Inflasi inersia, nilai tukar nominal efektif (NEER), defisit fiskal, belanja pemerintah, investasi (PMTB), kondisi infrastruktur dan variabel-variabel yang menggambarkan tekanan inflasi yang berasal faktor global berpengaruh positif dan signifikan terhadap inflasi di negara-negara yang diteliti.
Faia Meneliti tentang bagaimana mekanisme transmisi dari globalisasi dan besarnya dampak pass-through terhadap inflasi.
Metode yang digunakan adalah Seemingly Unrelated Regressions (SUR) dengan data yang digunakan adalah kuartalan tahun 1983 – 2008 untuk 5 industri manufaktur di Amerika Serikat.
Derajat pass-through akan meningkat seiring dengan bertambahnya produk asing ke pasar domestik. Lebih lanjut, tingkat ketergantungan dari perusahaan domestik yang menggunakan komponen impor dalam melancarkan strategi penentuan harga juga meningkat bila kemudian terjadi peningkatan derajat kompetisi dengan perusahaan asing.
3. Bowdler and Malik Meneliti tentang dampak Metode panel dinamis dengan unbalanced panel. keterbukaan perdagangan model (2006) Penelitian dilakukan pada 96 terhadap volatilitas inflasi. negara dengan data kuartalan tahun 1961 – 2000.
Keterbukaan perdagangan memberikan pengaruh negatif terhadap volatilitas inflasi. Hubungan tersebut terlihat sangat kuat pada negara-negara berkembang (developing and emerging market economies).
4. Gali and (2000)
Gertler Membangun model struktural inflasi dengan mengakomodir aturan backward-looking berdasarkan kurva Phillips versi New Keynesian (New Keynesian Phillips Curve/ NKPC).
Metode GMM nonlinear dengan variabel instrumen dan marginal cost sebagai driving force variable dalam model NKPC hibrid.
Model hibrid cukup robust dlm menjelaskan aturan backward-looking, sementara aturan forward-looking lebih dominan dalam menjelaskan inflasi.
5. Lemos (2004b)
Meneliti tentang pengaruh dari penetepan upah minimum terhadap tingkat harga.
Studi kasus yang digunakan adalah negara Amerika Serikat namum menggunakan berbagai teknik estimasi termasuk data dengan tahun yang berbedabeda.
Penyesuaian upah minimum akan memberi dampak positif terhadap tingkat upah dan harga namun tidak berdampak negatif terhadap tingkat penyerapan tenaga kerja, namun pengaruhnya terhadap inflasi relatif kecil, berdasarkan berbagai teknik estimasi yang digunakan.
6. Wimanda (2006)
Melakukan studi tentang karakteristik, konvergensi dan determinan inflasi regional di Indonesia
Metode yang digunakan adalah Granger causality; koefisien korelasi; koefisien konvergensi dan ; dan OLS
Inflasi regional cenderung divergen, sementara determinan penting dalam inflasi regional adalah ekspektasi inflasi (backward looking) dan nilai tukar.
59
60
7. Lünnemann Mathä (2005)
8. Solikin (2007)
9.
Solikin (2004)
and Meneliti tentang derajat Disagregasi indeks (HICP). kekakuan harga dan persistensi inflasi, khususnya terkait dengan harga yang diatur dan tarif jasa untuk 15 negara Uni Eropa.
Administred prices cenderung rigid ke bawah dan cukup besar dalam memengaruhi inflasi. Jika dikeluarkan dari paket penghitungan indeks harga, maka akan mengurangi terjadinya persistensi dari inflasi secara agregat.
Melakukan penelitian untuk Menggunakan metode SVAR mengetahui karakteristik model dekomposisi Cholesky, dengan analisi data kuartalan tekanan inflasi di Indonesia tahun 1974 – 2002.
FEVD menunjukkan bahwa guncangan pada sisi penawaran, yang merupakan agregasi dari shock dari luar negeri dan kondisi penawaran agregat, relatif lebih dominan dalam memengaruhi harga dibanding sisi permintaan. Implikasi hasil adalah kebijakan moneter masih dapat digunakan secara berhati-hati untuk memengaruhi inflasi.
Meneliti tentang keberadaan Model yang digunakan adalah dari kurva Phillip dalam hybrid NKPC yg diestimasi dengan GMM, sementara perekonomian Indonesia driving force variable adalah output gap, dengan estimasi output gap berbagai metode
Kurva Phillips versi NKPC memang benar eksis, dengan tradeoff antara output gap dan tingkat inflasi berubah seiring dengan terjadinya perubahan struktural di Indonesia (time dependent). Selain itu diketahui pula bahwa perilaku forward-looking berperan lebih penting dalam membentuk inflasi dibanding dengan unsur backward-looking.
10.
Mehrotra et al. (2007)
11.
Al-Nasser (2009)
12.
Prasertnukul (2010)
et
et
Membangun sebuah model inflasi untuk negara China dalam perspektif provinsi untuk melihat sampai sejauh mana NKPC dapat menangkap proses terjadinya inflasi pada tingkat provinsi.
Baseline model adalah hybrid NKPC dengan driving force variable adalah output gap, yg diestimasi metode GMM. Kemudian untuk menjelaskan perbedaan pembentukan inflasi digunakan regresi probit.
Inflasi dengan output gap sebagai driving force variable dan aturan forward-looking cukup baik dalam menjelaskan perilaku inflasi hanya provinsi-provinsi di wilayah pesisir timur saja akan tetapi tidak dapat menjelaskan perilaku inflasi di wilayah lainnya.
al. Berusaha untuk membuktikan validitas dari hubungan negatif antar keterbukaan perdagangan dengan tingkat inflasi yang sebelumnya telah diteliti oleh Romer (1993).
Metode yang digunakan adalah metode data panel, dengan jumlah negara yang diteliti sebanyak 152 negera untuk tahun 1950 – 1992.
Pada prinsipnya hasil penelitian dari Romer masih berlaku sampai dengan tahun 1990-an dan mementahkan kritik yang menyatakan hubungan yang sebaliknya. Hasil penelitian cukup robust karena berdasarkan pembagian kelompok negara-negara menunjukkan hasil yang sama.
al. Meneliti tentang dampak dari diadopsinya kerangka kerja penargetan inflasi (inflationtargeting framework/ITF) terhadap pass-through dan volatilitas nilai tukar di Indonesia, Filipina, Thailand dan Korea.
Metode yang digunakan adalah OLS, SURE dan VAR untuk melihat dampak pass-through, dan untuk melihat volatilitas digunakan metode GARCH, dengan data bulanan dari Januari 1990 - Juni 2007.
Secara umum, dengan diadopsinya ITF, akan menurunkan derajat exchange rate pass-through dan volatilitas inflasi. Khusus untuk Indonesia, pengaruhnya tidak terlihat signifikan.
61
62
62
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian Berdasarkan penjelasan sebelumnya, permasalahan utama yang dalam penelitian ini yang diduga akan membentuk inflasi nasional adalah tekanan inflasi daerah dan struktur ekonomi daerah. Dalam menjelaskan kedua permasalahan utama tersebut, maka dilakukan pendekatan melalui analisis AD – AS dan pendekatan kurva Phillips versi New Keynesian (NKPC), khususnya terkait dengan pembentukan inflasi daerah. Selain itu dilakukan pula pendekatan lain melalui kondisi infrastruktur dan keterbukaan dalam perdagangan yang mewakili struktur ekonomi daerah. Berdasarkan kedua pendekatan tersebut, kemudian dirinci beberapa variabel yang terkait dengan pembentukan inflasi sesuai dengan tujuan penelitian, termasuk bagaimana mekanisme transmisi dari setiap variabel yang dianalisis dalam model akan memengaruhi inflasi. Mekanisme
transmisi
sebagaimana
diilustrasikan
oleh
Gambar
7
memperlihatkan bahwa hubungan langsung dari variabel-variabel yang dianalisis terhadap inflasi nasional ditunjukkan oleh panah dengan garis tidak terputus-putus (
),
sementara hubungan langsung dalam memengaruhi inflasi nasional diperlihatkan oleh panah dengan garis terputus-putus (
). Dalam mekanisme transmisi tersebut juga
dapat dilihat beberapa variabel yang sesungguhnya tidak dianalisis dalam model karena memang tidak dimasukkan sebagai tujuan pada penelitian ini. Secara eksplisit, variabelvariabel yang masuk dalam model penelitian dinyatakan dengan kotak tanpa garis terputus-putus (
), sedangkan variabel-variabel di luar model penelitian namum
terkait dengan mekanisme transmisi disimbolkan dengan kotak dengan garis terputusputus (
). Lebih lanjut, variabel-variabel yang masuk dalam model penelitian akan
dianalisis dengan regresi panel data dinamis.
Gambar 7. Kerangka pemikiran penelitian. 63