II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pemberdayaan Masyarakat Proses peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat diterapkan dengan berbagai pendekatan, salah satunya adalah melalui pemberdayaan masyarakat Istilah keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individuindividu lainnya dalam masyarakat untuk membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan (Anwar, 2007). Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang berada dalam kondisi tidak mampu dengan mengandalkan kekuatannya sendiri sehingga dapat keluar dari perangkap kemiskinan clan keterbelakangan atau proses memampukan dan memandirikan masyankat (Kartasasmita, 1996). Dalam terminologi pekerjazn sosial, menurut Dubois dan Milley (1992) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu strategi dalam mengatasi masalah yang berkaitan dengan keberfungsian sosial. Keberfimgsian sosial diartikan sebagai suatu situasi dimana orang bisa melaksanakan peran sesuai dengan status yang dimilikinya untuk melaksanakan tugas-tugas kehidupannya sebagai individu, anggota kelompok maupun anggota masyarakat secara luas. Salah satu upaya untuk mengatasi disfungsi sosial adalah melalui strategi pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk mendapatkan energi yang cukup dan bisa digunakan untuk mendayagunakan kemampuannya memperoleh daya saing, untuk membuat keputusan sendiri, dan mudah mengakses sumbersumber kehidupan yang lebii baik (Dharmawan, 2000 dalam Tonny, 2007). Konsep pemberdayaan (empowerment) dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dikembangkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan k e j a dan keadilan (Hilanat, 2006). Pemberdayaan masyarakat mengacu kepada kata enlpowerment, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat Pendekatan pemberdayaan masyarakat titik beratnya adalah pemahaman pada pentingnya masyarakat lokal yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir d i i mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat
yang demikian diharapkan dapat memberi peranan kepada individu bukan sebagai objek, tetapi jusbu sebagai subjek pembangunan yang ikut menentukan masa depan kehidupan masyarakat secara umum (Hikmaf 2006). Dilihat dari sasaran dan ruang lingkupnya, menurut Wasistiono dalam Roesmidi dan Riza (2006) pemberdayaan dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: pemberdayaan individu, anggota organisasi atau masyarakat; pemberdayaan pada tim atau kelompok masyarakat, serta pemberdayaan pada organisasi dan pemberdayaan pada masyarakat secara keseluruhan. Dalam kajian ini adalah pemberdayaan organisasi atau masyarakat, yaitu kelompok tani padi Saluyu dengan pengembangan kapasitas kelembagaannya Pemberdayaan kawasan komunitas adalah sebuah proses kemampuan, empowering, komunitas dan masyarakatnya untuk menemu-kenali, menggali potensi komunitas yang ada dan program yang kondusif bagi upaya pemanfaatan secara maksiium bagi kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat (Kolopaking & Tonny, 2007).
Berdasarkan pengertian di atas, maka pada studi kasus pemberdayaan kelompok tani padi Saluyu di Desa Pangadegan, dapat disimpulkan bahwa pendekatan kelompok merupakan pendekatan yang lazim digunakan. Kelompok dapat berperan dalam mengontrol suatu keputusan maupun kebijakan yang berpengamh langsung pada kehidupan komunitas. Pendekatan kelompok mempunyai kelebihan antara lain &pat mempercepat proses adopsi, karena adanya interaksi sesama anggota kelompok dalam bentuk saling mempengamhi satu sama lain (Vitayala, 1986). Menurut Soekanto (2005), bahwa dalam kelompok terjadi hubungan timbal balik yang saling mempengamhi dan kesadaran untuk saling tolong-menolong berdasarkan kesamaan nasib, kepentingan dan tujuan sehingga hubungan antara anggota bertambah erat. Berdasarkan konsep-konsep diatas, maka pengembangan komunitas petani juga perlu menggunakan pendekatan kelompok tani, agar terjadi hubungan timbal balik sesama anggota kelompok dan saling menolong berdasarkan kesamaan kebutuhan, kepentingan dan tujuan untuk mengembangkan potensi masyarakat.
2.2. Pengembangan Kapasitas Pengembangan
Kapasitas
(capacity
buildingJ
diartikan
sebagai
peningkatkan kemampuan masyarakat di segala bidang, termasuk mengorganisir diri sendiui dan mengembangkan jaringan (Gunardi, dkk, 2007). Sumpeno yang dikutip oleh Gunardi, dkk (2007), mengartikan pengembangan kapasitas sebagai peningkatan atau perubahan perilaku individu, organisasi, dan sistem masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien. Peningkatan kemampuan individu mencakup perubahan daya, dalam ha1 pengetahuan, sikap, dan ketrampilan; peningkatan kemampuan kelembagaan meliputi perbaikan organisasi dan manajemen, keuangan, dan budaya organisasi; peningkatan kemampuan masyarakat mencakup kemandiian, keswadayaan, dan kemampuan mengantisipasi perubahan. Peningkatan kapasitas sangat diperlukan agar program dapat berkelanjutan, karena tanpa kemampuan yang besar, masyarakat akan tergantung pada pihak l u x untuk mengatasi masalahnya. Ada tiga level yang dapat menjadi obyek dalam capacity building, yaitu: (a) level individu dan group, (b) level institusi dan organisasi, dan (c) level sistem institusi secara keseluruhan. Peningkatan kapasitas individu biasanya bempa pelatihan-pelatihan untuk memperbaiki pengetahuan dan ketrampilan, untuk institusi dan organisasi dikenal dengan pendekatan social learning process, sedangkan kapasitas masyarakat secara umum akan tergantung kepada institusi yang sehat (viable institutions), kepemimpinan yang memiliki visi, dukungan fmansial dan sumberdaya material, ketrampilan sumberdaya manusia, dan kerja yang efektii termasuk sistem, prosedur dan insentif kerja yang sesuai (Syahyuti, 2006). Pengembangan kapasitas masyarakat m e ~ p a k a n suatu pendekatan pembangunan yang berbasis pada kekuatan-kekuatan dari bawah secara nyata (Maskun, 1999 yang d i i t i p oleh Kolopaking dan Tonny, 2007). Kekuatankekuatan itu adalah kekuatan sumberdaya alam, sumberdaya ekonomi dan sumberdaya manusia sehingga menjadi suatu local capacity. Kapasitas lokal yang dimaksud adalah kapasitas pemerintahan daerab, kapasitas kelembagaan swasta dan kapasitas masyarakat desa.
Organisasi-organisasi lokal diberi kebebasan untuk menentukan kebutultan organisasi dan kebutuhan masyarakat Karena itu, kebutuhan penting di sini adalah bagaimana mengembangkan kapasitas masyarakat yang mencakup kapasitas institusi dan kapasitas sumberdaya manusia. Dalam kerangka kebijakan untuk pengembangan kelembagaan dan kawasan berbasis komunitas dijelaskan bahwa kapasitas kelembagaan (institutional capacity) merupakan program bottom-up, berupa program pemberdayaan dan partisipasi masyarakat yang berupa aksi kolektif (Kolopaking dan Tonny, 2007). Menurut Kolopakimg dan Tonny (2007), bahwa dalam pengembangan kelembagaan perlu berlandaskan pada prinsip-prinsip: 1. "Partisipatif', yakni dimulai dengan suatu proses perencanaan partisipatif di aras mikro yang dilakukan bersama komunitas dengan melibatkan Pemerintab Komunitas, Badan Permusyawaratan Komunitas, dan pemangku kepentingan lainnya, seperti lembaga swadaya masyarakat. 2. "Keseimbangan" antara pembangunan di aras m h dan makro. Dalam mengimplementasikan kedua aras tersebut perlu melibatkan pemerintah lokal dalam bentuk kebijakan pemerintah, maupun pihak swasta. Partisipasi dari pihak pemerintah lokal dalam ha1 ini dengan memberikan kemudahan &lam mendapatkan akses terhadap sumberdaya yang dimiliki. 3. "Keterkaitan" sosial, ekonomi, dan ekologis. Prinsip ini menekankan
pentingnya bahwa dalam kelembagaan dan komunitas-komunitas tersebut memiliki ikatan, sebagai suatu: "local society", yang secara sosial ekonomi memiliki keterkaitan dalam konteks struktur sosial dan kultural; local ecology, yalcni secara ekologis diantam kelompok-kelompok masyarakat memiliki pola adaptasi ekologi dalam menghadapi dimamika d m perubahan sosial ekonomi yang sedang berlangsung, dan collective action, yaitu suatu aksi kolektif dalam bentuk kapital sosial dan kelembagaan sebagai wadah proses kehidupan dan pembangunan di kawasan perkomunitasan. 4. "Sinergis" antar kelemhgaan d m antar sektor pembangunan, artinya dalam pengembangan perlu dilakukan antara public sector, private sector, dan participatory
sector.
pengembangannya yang
Dalam
manajemen
difasilitasi pemerintah,
pembangunan
untuk
sinergi antar sektor
pembangunan dan antar institusi pemerintah menjadi suatu prinsip yang sangat krusial yang dimanifestasikan dalam bentuk rencana pembangunan. 5. "Transparansi"
dalam proses pengembangan kelembagaan. Prosesnya
dilaksanakan dengan semangat keterbukaan, sehingga seluruh warga komunitas dan pemangku kepentingan lainnya memiliki akses yang sama terhadap infoimasi tentang rencana dan pengembangan. Syahyuti (2003) menjelaskan, bahwa untuk menguatkan kapasitas kelembagaan perlu dianalisa variabei-variabel yang ada di dalam kelembagaan tersebut. Dengan demikian kita dapat menentukan indikator-indikator yang menunjukkan kekuatan dari kelembagaan tersebut, sekaligus potensi dan kesempatan
untuk
ditingkatkan
kapasitasnya.
Variable-variabel
dalam
kelembagaan yang perlu dianalisa adalah nilai, noma yang berlaku, dan group atmosphere (berkaitan dengan perilaku kolektif).
Floyd Ruch yang dikutip oleh Santoso (2004) menyqtakan bahwa group atmosphere menyangkut bal-bal berikut:
1. Keadaan fisik tempatkelompok, seperti tersedianya fasilitas dan peralatan
yang dibutuhkan anggota. 2. Treat Reduction (rasa aman), menyangkut ketentrarnan anggota untuk tinggal dalam kelompoknya (tidak ada ancaman, tidak saling curiga, tidak saling bermusuhan). 3 . Disrributive
leadership (kepemimpinan
bergilir),
adanya pemindahan
kekuasaan untuk pengendalian dan pengawasan terhadap kelompoknya. Dengan demikian, tiap anggota yang diberi kekuasaan akan dapat mengetahui kemampuan mereka masing-masing dan lebii dari itu akan menanamkan rasa tanggung jawab yang besar terhadap kelompok secara keseluruhan, baik pada saat menjadi pimpinan maupun sebagai anggota kelompok. 4. Goalformulation (perumusan tujuan), yang menjadi arah kegiatan bersama.
5. Flexibility (fleksibilitas), segala sesuatu yang menyangkut kelompok seperti
suasana, tujuan, kegiatan, struktur, dapat mengikuti pembahan yang terjadi.
6. Concensus (mufakat), dengan mufakat yang ada dalam kelompok, semua perbedaan angggota dapat teratasi sehingga tercapai keputusan yang memuaskan semua anggota. 7. Process awareness (kesadaran berkelompok), adanya peranan, fungsi, dan kegiatan masing-masing anggota dalam kehidupan berkelompok maka tiap-tiap anggota pasti timbul rasa kesadaran terhadap kelompoknya, terhadap sesama anggota, dan pentingnya berorientasi satu sama lain. 8. Continual evalt~ation (penilaian yang kontinyu), kelompok yang baik
seringkali mengadakan penilaian secara kontinyu terhadap perencanaan kegiatan dan pengawasan kelompok sehingga dapat diketahui tercapailtidaknya tujuan kelompok. Kluckhon dikutip oleh Syahyuti (2003) memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berguna untuk mengetahui nilai dalam kelembagaan tersebut. Inti pertanyaan tersebut adalah untuk mengupas nilai yang berlaku dari sistem tata nilai, jenis nilai dan orientasi dari nilai tersebut. Sedangkan norma ditiat berupa aturan-aturan yang InerupiIkaII kesepakatan bersama clan dilakukan oleh masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Sementara group atmosphere lebih menyangkut kinerja kelembagaan tersebut dan masyarakat yang ada di dalamnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, penguatan kapasitas kelembagaan dapat
dilakukan dalam berbagai aspek, yaitu: (a) Pembahan peran dan fungsi kelembagaan, (b) Pengertian nilai dan norma, (c) Pengertian kelembagaan melalui pengertian program teknologi, informasi, jejaring dan kepemimpinan. Apabila dikaitkan dengan pengembangan kapasitas kelembagaan kelompok tani padi Saluyu, yang dilakukan ialah dengan melakukan perubahan peran dan fungsi, termasuk normalaturn kelompok berdasarkan kebutuhan komunitas termasuk mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan komunitas. Keberhasilan kelompok tani Saluyu dalam menjalankan program SL-PTT akan ditentukau oleh kemampuan kelembagaan dalam meningkatkan kapasitas dengan pendekatan partisipatori. Konsep partisipatori mengandung makna masyarakat memilii peran dalam pengelolaan Program SL-ETT. Adapun prinsipprinsip pengembangan kapasitas kelembagaan dalam pengembangan masyarakat adalah:
pengembangan
kapasitas
masyarakat
menggunakan pendekatan
pembangunan berbasis kekuatan dari bawah (kekuatan sumberdaya manusia, sumberdaya ekonomi, sumberdaya dam) atau local capaciy; (lapasitas pemda, lembaga swasta, komunitas) untuk pengembangan masyarakat; organisasi lokal menentukan kebutuhan organisasi dan kebutuhan masyarakat (Tonny, 2007).
2.3. Kelembagaan
Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 273IKpts/OT.160/4/2007 tentang pedoman pembinaan kelembagaan petani dimana dukungan sumber daya manusia berkualitas melalui penyuluhan pertanian dengan pendekatan kelompok yang dapat mendukung sistem agribisnis berbasis pertanian (tanaman pangan, holtikultura, peternakan dan perkebunan). Sehubungan dengan itu perlu dilakukan pembiaan dalam rangka menumbuhkan kelompok tani menjadi kelompok yang h a t dan mandiri untuk meningkatkan pendapatan petani dan keiuarga. Substansi kelembagaan sosial adalah "keterkaitan",
karena keterkaitan
mengandung makna "ikatan sosial" yang dibangun berdasarkan jejaring sosial (social networkingl sebagai nilai tambah dari modal sosial (social capita() dengan
satu fokus interaksi pada pengembangan masyarakat (Lala & Tonny, 2007). Secara sosiologis upaya pembangunan saat ini perlu didekati dengan pembangunan berbasis lokal yang didalamnya ada ikatan sosial dan melakukan ikatan sosial antar kelompok, organisasi, komunitas. Mempelajari kelembagaan mempakan sesuatu
yang esensial, karena
masyarakat modern beroperasi dalam organisasi-organisasi. Tiap perilaku individu selalu dapat d i a k n a i sebagai representatif kelompoknya Seluruh hidup kita dilaksanakan dalam organisasi, mulai dari Iahir, bekeja,sampai meninggal.
Kegiatan manusia, baik sengaja maupun tidak sengaja selalu diulang-ulang, akhimya menjadi melekat dan menjadi bagian yang tak terpisahkan serta mengatwr aktivitas manusia itu sendiri. Kelembagaan sendiri mempakan terjemahan langsung dari istilab 'Social institution". 'Social institution' dan Social organization' berada dalam level y x g
sama, untuk menyebut apa yang kita kenal dengan kelompok sosial, group, social form dan lain-lain yang relatif sejenis. Kata kelembagaan lebih disukai karena
memberi kesan lebih sosial, lebih menghargai budaya lokal, lebih humanis dan mengindikasikan suatu keinginan serta harapan yang murni, karena lebih menuju inti pokok suatu sistem sosial, sesuatu yang mengakar dan datang dari bawah (Syahyuti, 2003). Secara keilmuan, apa yang dikenal dengan organisasi, institusi, asosiasi baik formal maupun non formal disebut kelembagaan, karena mengandung aspek yang sama, yaitu aspek kultural terdii dari nilai, norma, dan aturan. Sementara aspek struktural berupa sesuatu yang lebih visual dan statis yaitu struktur, penetapan peran, tujuan, keanggotaan. Sedangkan pengembangan kelembagaan hanya difokuskan kepada kelembagaan yang memiliii struktur, serta organisasi yang potensial untuk dikembangkan (Syahyuti, 2003). Adapun institzrtion atau pranata ialah sebagai kelakuan berpola dari manusia dalam pengaruh dari tiga wujud kebudayaan, yaitu: (1) sistem norma dan tata kelakuan dalam konteks wujud ideal kebudayaan, (2) kelakuan berpola untuk wujud kelakuan kebudayaan, dan (3) peralatannya untuk wujud fisik kebudayaan. Ditambah dengan personelnya sendiri, dari empat komponen tersebut yang salimg berinteraksi satu sama lain (Koentjaraningrat, 2002). Akfivitas manusia yang bemlang-ulang terns menjadi bagian dari manusia dan masyarakatnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, kemudian prosesnya menjadi kerangka pengaturan untuk memenuhi kebutuhan yang
terbentuk-tumbub-berkembang-be~bah-mati-berganti-berbentukyang
bm,
kemudian seterusnya menjadi siklus kehidupan dinamakan kelembagaan sosial (Kolopabing & Tonny, 2007). Dari hasil analisis kajian potensi kelembagaan lokal bagi kelornpok tani padi Saluyu maka salah satu kesimpulannya, yaitu: kondisi kelembagaan yang ideal bagi sistem Community Based Management adalah apabila masyarakat setempat memiliii bentuk kelembagaan dengan tingkat kepemimpinan, rule of lmv, derajat ketaatan dan penegakkan yang tinggi (Suharno, 2005). Dari pendapat para ahli tentang kelembagaan, merupakan sesuatu yang stabil, mantap, berpola, berfungsi untuk tujuan-tujuan tertentu dalam masyarakat, ditemukan dalam sistem sosial tradisional maupun modem dan berfungsi untuk mengefisiensikan kehidupan sosial. Ada dua aspek dalam kelembagaan, yaitu: (a)
aspek kelembagaan perilaku; (b) aspek keorganisasian-struktur,d i a n a keduanya merupakan komponen pokok dalam setiap kelompok sosial. Perilaku dan Struktur sebagai bagian utama aspek kelembagaan dan aspek keorganisasian saling membutuhkan satu sama lain, ibarat dua sisi mata uang (Syahyuti, 2003).
2.4. Modal Sosial
Modal sosial m e ~ p & a n salah satu faktor penting dalam keberhasilan pembangunan selain modal ekonomi atau modal finansial Vinancial capital) dan modal manusia (human capita& Menurut pandangan Francis Fukuyama yang dikutip Hasbullah @uraerah, 2007), modal sosial memegang peranan penting dalam memfungsikan dan memperkuat masyarakat modem. Modal sosial yang lemah akan meredupkan semangat gotong royong, memperparah kerniskinan, meningkatkan pengangguran, kriminalitas dan menghalangi setiap upaya untuk meningkatkan kesejahtem penduduk. Menurut Colletta dan Cullen yang d i t i p oleh Nasdian dan Dharmawan (2007), kapital sosial didefenisikan sebagai suatu sistem yang mengacu kepada atau hail dari organisasi sosial dan ekonomi seperti pandangan umum (wordview), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balk (reciprocity), pertukaran
ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompokkelompok formal dan informal (fixma1
and informal groups), serta asosiasi-
asosiasi yang melengkapi kapital lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehimgga memudahkan te~jadiiya tindakan kolektif, pertumbuhan
ekonomi dan
pembangunan. Di sisi lain modal sosial dalam masyarakat memiliki empat dmensi. Pertama adalah integrasi, yaitu ikatan yang kuat antara anggota keluarga dan keluarga dengan tetangga sekitamya misalnya ikatan-ikatan kekerabatan, etnik dan agama. Kedua adalah pertalian yaitu ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal, misalnya jejaring dan asosiasi-asosiasi yang bersifat kewargaan yang menembus perbedaan kekerabatan, etnis dan agama. Ketiga adalah integritar orguni~asional, yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk meujalankan fungsinya, termasuk menciptakan kepastian hukum dan menegakkan peratwan. Keempat adalah sinergi, yaitu relasi antara pemimpin dan institusi
pemerintahan dengan komunitas. Fobs perhatian sinergi ini adalah apakah negara memberikan mang yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Menurut Huraerah (2003, modal sosial (social capita9 dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Pertama menekankan jaringan hubungan sosial (social nehvork), sedangkan kelompok kedua lebih memfokuskan karakteristik (trait) yang melekat pada diri individu manusia yang terlibat dalam sebuah interaksi sosial. Pendapat kelompok pertarna mengatakan bahwa modal sosial adaiah jaringan kerjasama diantara warga masyarakat yang menfasilitasi pencarian solusi dari pernasalahan yang diiadapi mereka. Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif diantara manusia: rasa percaya, saling pengertian, kesamaan nilai dan perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama. Pandangan kelompok pertama memfokuskan pada aspek jaringan hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya, s a l i g memahami, kesamaan nilai, dan saling mendukung. Modal sosial akan semakin kuat jika sebuah komunitas atau organisasi m e m i l i j a ~ g a n hubungan kerjasama, baik s e e m internal komunitaslorganisasi
atau
hubungan
kerjasama
yang
bersifat
antar
komunitaslorganisasi. Jaringan kerjasama sinergistik yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi kehidupan bersama Pendapat pakar dari kelompok kedua, modal sosial adalah serangkaian nilai dan norma informal yang dimilii bersama diantara para anggota suatu kelompok masyarakat yang memungkinkan terjalinnya kerjasama diantara mereka.
2.5. Partisipasi Masyarakat Partisipasi menurut Sumardjo dan Saharuddii (2007); mengandung makna peran serta seseorang atau sekelompok orang atau sesuatu pihak dalam suatu kegiatan atau upaya mencapai sesuatu yang secara sadar diinginkan oleh pihak yang berperanserta tersebut. Bila menyangkut partisipasi dalam pembangunan masyarakat, maka menyangkut keterlibatan secara aktif dalam pengambifan keputusan, pelaksanaan, evaluasi, dan menikmati hasilnya atas suatu usaha pembahan masyarakat yang direncanakan untuk mencapai tujuan-tujuan masyarakat.
Dalam partisipasi konsep yang penting diperl~atikandalam diri individu adalah konsep kebutuhan manusia, kesadaran dan kemauan akan motif serta kesempatan yang diberikan oleh lingkungan yang mempakan pendorong utama dibalik tingkah laku manusia dalam konteks komunitas. Dari penjelasan tentang motif dan tingkah laku di atas maka motif akan merangsang seseorang bertingkah laku untuk pencapaian tujuan. Selain tingkah laku disebabkan oleh rangsangan motif, harapan dan kebutuhan juga disebabkan oleh rangsangan situasi yang berlaku pada saat itu. Oppenheim (1966) mengemukakan formula untuk menganalisis tingkah laku yaitu B = f (P,E) : "behavior is afirnction of the interaction behveen P (all the person's inner determinals, such as temperament, attitude, or character fruits) and E (all the environmental factors, as perceived by the individual). Tingkah
laku adalah interaksi antara manusia (seperti temperamen, sikap atau kamkter) dan lingkungannya (semua faktor-faktor dari lingkungan yang diterima oleh individu). Menumt Sumardjo dan Sahamdin (2007) terdapat dua ha1 yang dapat mendukung partisipasi dalam masyarakat yaitu: (1) ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan tejadinya prilaku tertentu itu. Untuk mengembangkan partisipasi perlu k i i y a memperhatikan kedua aspek tersebut. Sebagaimana &ketahui, pembangunan pada dasarnya merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk p e ~ b a h a nyang diharapkan adalah pembahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara kualitatif maupun kuantitatif mempakan salah satu pemjudan dari pembahan sikap dan perilaku tersebut. Agar proses pembangunan dapat berlangsung secara berkelanjutan, maka perlu diusahakan agar ada kesinambungan dan peningkatan yang bersifat komulatif dari partisipasi masyarakat melalui berbagai tindakan bersama dan aktivitas lokal tadi. Partisipasi masyarakat dalam pembangunan adalah keterlibatan masyarakat dalam proses tersebut yang dilandasi oleh kesadaran dan determinasi. Prasyarat untuk berpartisipasi ( Kolopaking & Tonny, 2007), yaitu adanya:
1. Kesempatan, yaitu adanya suasana atau kondisi lingkungan yang disadari oleh orang tersebut bahwa dia berpeluang untuk berpartisipasi. 2. Kemauan, adanya sesuatu yang rnendorong menumbuhkan minat dan sikap mereka untuk termotivasi berpartisipasi, misalnya berupa manfaat yang dapat dirasakan atas partisipasinya tersebut 3. Kemampuan, adanya kesadaran dan keyakinan pada dirinya bahwa dia
mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi, bisa berupa pikiran, tenaga, waktu, atau sarana dan material lainnya. Adanya kesempatan, kemauan dan kemampuan yang dimiliki oleh seseorang,
kelompok
atau
konstribusi/sumbangan
yang
masyarakat dapat
senantiasa
menunjang
dapat
memberikan
keberhasilan
program
pembangunan dengan berbagai bentuk atau jenis partisipasi. Adapun bentukbentukjenis partisipasi sosial menurut Sulairnan (1985), ada lima macam, yaitu: 1. Partisipasi langsung dalam kegiatan bersama secara fisik dan tatap muka. 2. Partisipasi dalam bentuk iuran uang, atau barang dalam kegiatan partisipatori,
dana, dan sarana sebaiknya datang dari dalam masyarakat sendiii. 3. Partisipasi dalam bentuk dukungan. 4. Partisipasi dalam proses pengambiian keputusan.
5. Partisipasi representatif dengan memberikan kepercayaan dan mandat kepada wakil-wakil yang duduk dalam organisasi atau panitia. Adapun untuk mengembangkan partisipasi, diiihat dari proses belajar maka pendekatan partisipasi atas permintaan setempat lebih sesuai dan banyak digunakan dalam praktek lapangan. Kegiatan ini peranan pihak ekstemal lebih bersifat menjawab kebutuhan yang diputuskan dan dinyatakan oleh masyarakat lokal, bukan kebutuhan berdasarkan program yang diiancang dari luar (Mikkelsen, 2003). Di samping merupakan penvujudan dari upaya pengembangan kapasitas masyarakat, partisipasi dalam identifikasi masalah juga lebih menjamin program pembangunan yang dimmuskan akan lebih relevan dengan persoalan dan kebutuhan aktual masyarakat yang bemngkutan. Lebii lanjut, partisipasi masyarakat dalam perumusan program, tidak semata-mata sebagai konsumen
program, tetapi juga sebagai produsen karena telah ikut serta terlibat dalam proses pembuatan atau perumusannya. Hal ini menyebabkan masyarakat merasa ikut memiliki program tersebut, sehingga kemudian juga mempunyai tanggung jawab bagi keberhasilannya. Oleh sebab itu masyarakat juga lebih memiliki motivasi bagi partisipasi pada tahaptahap berikutnya Dengan demikian keterkaitan masyarakat dalam pelaksanaan program akan terbentuk karena kesadaran dan determinasinya, bukan karena diiobilisasi oleh pihak luar. Apabila ha1 tersebut dilakukan secara bemlang-ulang, maka akan memacu semakin cepat terwujudnya proses institusionalisasi atau keterlembagakannya perilaku membangun dalam masyarakat Hal itu disamping m e ~ p a k a nsuatu bentuk penvujudan dari berlakunya prinsip pengelolaan yang berbasis komunitas juga akan menjamin proses yang berkelanjutan karena masyarakat telah mempunyai kapasitas swakelola Partisipasi masyarakat pada tahap evaluasi akan membawa dampak positif bagi penyempumaan dan pencarian altematif yang tems menerus. Hasil evaluasi yang dilakukan akan dapat menjadi umpan balik bagi perbaikan dan penyempumaan program-program berikutnya. Dengan demikian, melalui partisipasi masyarakat akan terjadi proses bekerja sambil belajar secara berkesinambungan.
2.6. Kelompok Tani
Pengertian dari kelompok adalah sebagaimana dikemukakan oleh Mardikanto (dalam Setiana, 2005) yaitu himpunan atau kesatum manusia yang hidup bersama sehingga terdapat hubungan timbal balik dan saling mempengamhi satu sama lain serta m e m i l i kesadaran untuk saling menolong. Kumpulan orang tersebut juga mempunyai satu tujuan yang ingin dicapai bersama. Departemen Pertanian RI (dalam Setiana, 2005) memberi batasan bahwa kelompok tani adalah sekumpulan orang-orang 'ani atau petani, petani dewasa pria atau wanita maupun pemuda tani yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atau dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di liigkungan pengaruh dan
pimpinan seorang kontak tani. Kelompok dalam suatu komunitas mencerminkan adanya dinamika tindakan kolektif untuk mencapai tujuan bersama. Darmajanti (2004) menjelaskan bahwa kelompok sebagai gambaran kehidupan berorganisasi suatu komunitas mempakan refleksi dinamika tindakan kolektif warga dalam mengatasi masalah bersama, termasuk peningkatan pendapatan rumah tangga di komunitas. Pemberdayaan masyarakat akan lebih efektif jika dilakukan dengan pendekatan kelompok karena dalam kelompok ada kebersamaan, kesamaan kepentingan serta tujuan sehingga keinginan yang diharapkan lebih cepat tercapai. Adanya kekuatan dalam menolak keputusan serta kebijakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan lebih baik jika dilakukan dalam kelompok. Keputwan yang diambil akan lebii menyelumh sehiigga mengurangi tingkat kesenjangan antara masyarakat dengan pengambil kebijakan. Salah satu kelompok yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat adalah kelompok tani. Kelompok diartikan sebagai suatu sistem yang diorganisasikan dari dua orang atau l e b i yang saling berhubungan sehingga sistem tersebut melakukan beberapa fungsi, memiliki seperangkat standar hukum, peranan antara anggotanya dan mempunyai seperangkat norma yang mengatur fungsi kelompok dan masingmasing anggotanya, Mc.David dan Karari (dalam Effendi, 2001). Di dalam kelompok terjadi suatu dialogical encounter yang menumbuhkan dan memperkuat kesadaran clan solidaritas kelompok. Anggota kelompok menumbuhkan identitas seragam dan mengenali kepentingan mereka bersama Pemahaman terhadap kelompok bila diterapkan kepada kelompok tani memberikan pengetian bahwa kelompok tani adalah sejumlah petani yang mempunyai kaitan antar hubungan satu dengan yang lainnya atas dasar keserasian dan kebutuhan yang sama, terikat secara informal dalam suatu wadah kelompok, dan mempunyai aktifitas sama dalam ha1 tani, kebun dan pemeliharaan ternak Kelompok tani bisa dikategorikan sebagai wujud kelembagaan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan. Hal ini dapat dilibat dari aspek produksi, distribusi dan pengolahan hasil. Walaupun aspek distribusi dan pengolahan hasil biasanya dilakukan oleh pihak lain, namun untuk memperkuat posisi tawar petani di dalam
mengembangkan kemandiriannya maka kedua aspek tersebut selayaknya dikelola melalui kelompok Interaksi kelompok tani tidak terlepas dari komunikasi yang terbangun dari kelompok itu dan sehamsnya kelompok dijadikan wadah untuk memecahkan masalah yang diiasakan para anggotanya. Komunikasi kelompok hams befingsi dalam situasi-situasi pemecahan masalah dan pengambilan keputusan untuk dapat memmuskan atau mengungkapkan suatu penilaian. Pengembangan kelompok tani diarahkan pada peningkatan kemampuan kelompok tani dalam melaksanakan fungsinya, peningkatan kemampuan para anggota dalam mengembangkan agribisnis, penguatan kelompok tani menjadi organisasi petani yang kuat dan mandiri yang dicirikan antara lain : 1. Adanya pertemuadrapat anggowrapat pengurus yang diselenggarakan secara berkala dan berkesinambungan. 2. Disusunnya rencana kej a kelompok secara bersama dan dilaksanakan oleh para pelaksana sesuai dengan kesepakatan bersama dan setiap akhir pelaksanaan dilakukan evaluasi secara partisipasi. 3. Memiliki aturanlnoma yang disepakati clan ditaati bersama. 4. Memiliki pencatatadpengadministrasian organisasi yang rapih. 5. Memfasilitasi kegiatan-kegiatan usaha bersama di sektor hulu dan hilir.
6. Memfasilitasi usaha tani secara komersial dan berorientasi pasar.
7. Sebagai sumber serta pelayanan informasi dan teknologi untuk usaha para petani umumnya dan anggota kelompok tani pada khususnya 8. Adanya jalinan kerjasama antara kelompok tani dengan pihak lain. 9. Adanya pemupukan modal usaha, baik iuran dari anggota atau penyisihan
hasil usahalkegiatan kelompok.
2.7. Dinamika Kelompok Tani dan Permasalahannya Dalam ilmu sosial konsep dinamika kelompok diartikan sebagai bidang studi yang mempelajari gerak atau kekuatan dalam kelompok, yang menentukan perilaku kelompok dan anggotanya. Bagi para praktisi diiamika kelompok
digunakan untuk menunjuk pada kualitas suatu kelompok dalam mencapai tujuannya, jadi cendemng ditujukan untuk mengukur tingkat keefektifan kelompok dalam mencapai tujuan (Slamet, 2004). Keberhasilan kelompok tani dalam kegiatan usaha tani dapat dilihat dari kemampuan kelompok tani. Menurut Suhardiyono (1992) agar kemampuan kelompok tani dapat berkembang secara dimamis, maka hams dikembangkan sepuluh jenis kemampuan kelompok tani yang dikenal dengan sepuluh jurus kemampuan kelompok tani yaitu: (1) daya serap dan pemanfaatan informasi; (2) perencanaan kegiatan; (3) pengadaan dan pengembangan sarana kerja; (4) pola kepemimpinan dan manajemen kelompok; (5) kemampuan memupuk modal; (6) menaati pejanjian; (7) mengatasi hal-ha1 damrat; (8) pengembangan kader; (9) hubungan dengan koperasi unit desa; dan (10) tingkat produktivitas usahatani. Selanjutnya Departemen Pertanian (Deptan) membagi tingkat kemampuan kelompok tani dalam melaksanahan sepuluh jurus tersebut menjadi empar strata, yaitu: kelompok tani pemula, lanjutan, madya dan utama. Menurut Sumardjo (2003) kelompok yang berfungsi efektif dalam lingkungan sosial mempunyai gejala-gejala sebagai berikut: (1) keanggotaan dan aktivitas kelompok Jebii didasarkan kepada masalah, kebutuhan dan minat ealon anggota; (2) kelompok tani berkembang mulai dari informal, efektif dan berpotensi serta berpeluang untuk berkembang ke arah formal sejalan dengan kesiapan dan kebutuhn kelompok yang bersangkutan; (3) status kepengumsan yang dikelola dengan motivasi mencapai tujuan bersama dan memenuhi kebutuhan yang kepentingan bersama, cendemng lebii efektif untuk meringankan beban bersama sesama anggota, dibandimgkan bila pemecahan masalah dan pemenuhan kebutuhan diiakukan secara sendiri-sendiri; (4) inisiatif anggota kelompok tinggi untuk bemsaha meraih kemajuan dan keefektifan kelompok karena adanya keinginan kuat untuk memenuhi kebutuhannya. Dalam hal ini penyuluh lebii beeifat memfasilitasi; (5) kinerja kelompok sejalan dengan berkembangnya kesadaran anggota, bila terjadi penyimpangan pengurus segera dapat di kontrol oleh proses dan suasana demokrasi kelompok; (6) agen perubahan cukup berperan secara efektif sebagai pengembang kepemimpinan dau kesadaran kritis dalam masyarakat atas pentingnya peran kelompok serta kemampuan
masyarakat mengorganisir diri secara diiamis dalam memenuhi kebutuhan hidup berkelompok; (7) kelompok tani tidak terikat hams berbasis sehamparan, karena yang menentukan efektivitas dan diiamika kelompok adalah keefektivan pola komunikasi lokal dalam pengembangan peran kelompok. Selma masa Orde Barn pembiiaan kelompok tani cendemng bersifat sentralistik, top-down dan seragarn, sehingga kelompok tani tidak dapat mengembangkan kemampuannya secara mandiii dan cendemng dijadiian sebagai salah satu alat politik p e m e ~ t a h .Hal ini diperkuat oleh Sumardjo (2003) yang menyatakan bahwa pengembangan kelembagaan tani, khususnya kelompok tani yang bersifat sentralistik (pendebtan lop davn), temyata bisa menjadi kepentingan p e m e ~ t a hwaktu itu dan cenderung melemahkan berkembangnya potensi komoditi unggulan lokal. Kelompok tani pada kondisi seperti itu secara obyektif tampak jelas lebii ditempatkan sebagai media indoktrinasi kepentingan dan obsesi swasembada betas nasional. Gejala tersebut mengarah kepada
ketidakefektifan kelembagaan tani
(khususnya
kelompok tani) sebagai
kelembagaan pangan di pedesaan. Kelembagaan yang seperti ini biasanya mengalami pasang sunrt, sejalan dengan pasang surutnya intensitas pembiiaan oleh pemerintah.
2.8. Hasil Penelitian Relevan
Muhammad Syahid, (2005) dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Meldui Pengembangan Kelompok Tani Ternak Itik di Kabupafen Banjar Provinsi Kalimantan Selatan, hasil kajiannya menunjukkan bahwa diperlukan langkah atau
strategi pengembangan ekonomi lokal melalui pengembangan kelompok tani temak itik. Dalam pelaksanaannya, strategi ini melibatkan seluruh komunitas dan stakeholders yang ad3 yaitu pemerintah daerah, pihak swasta dan tokob-tokoh
masyarakat setempat. Strateginya adalah memposisikan seluruh komunitas menjadi lebii berdaya dan mandiri serta melibatkan mereka secara total dalam setiap pemanfaatan sumberdaya lokal. Menurut R. Suharyanto, (2004) daiam Penlberdq~annKelompok Tani di Kabupaten Bandung bahwa komunitas petani Desa Margamulya mengalami
permasalahan struktural yang disebabkan oleh Program Kredit Usaha Tani (KUT).
Pengembangan masyarakat difokuskan pada pemberdayaan kelompok tani, dimaksudkan agar komunitas petani Desa Margamulya mampu memiliki kembali kelembagaan kelompok tani yang dinamis. Selain itu dapat membangun kembali modal sosial yang sesuai dengan potensi dan kebutuhan masyarakat Desa Margamulya.
Strategi dalam pemberdayaan kelompok tani melalui program
pengembangan masyarakat yaitu membangun kembali kelompok tani dan upaya peningkatan sumberdaya manusia petani. Menurut Erman, (2003), dalam Pemberdayaan Komunifas Pefani Padi di
Desa Teluk Latak Kecamafan Bengkalis, Program pengembangan masyarakat di Desa Teluk latak ternyata masih terdapat banyak sekali hambatan, antara lain : (1) hambatan ketersediaan sumber daya manusia; (2) kurangnya pengawasan; (3) belum diberdayakannya iembaga ekonomi masyarakat, dan terakhir adalah (4) terbatasnya modal usaha yang diberikan. Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpukan bahwa perencanaan serta pelaksanaan program pengembangan masyarakat harus lebih didasarkan pada kebutuhan serta keinginan dari masyarakat serta didukung dengan pembentukan kebijakan pemerintah yang berdasarkan kebutuhan lokal masyarakat Desa Teluk Latak, dan talc lupa pula di sini peran pendamping sebagai fasilitator antara pemerintah dan masyarakat dapat terbentuk dengan baik.
2.9. Kerangka Pemikiran
Konsep pemberdayaan dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandii, partisipasi, jaringan keja dan keadilan. Pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (komunitas). Faktor-faktor yang mempengaruhi terhambatnya pemberdayaan di kelompok tani Saluyu meliputi faktor internal dan faktor lingkungan. Faktor internal peneliti menetapkan variabel motivasi, modal kelompok, pengetahuan dan ketrampilan, sebagai variabel independent yang berpengamh terhadap kelompok tani Saluju. Adapun faktor lingkungan yang diteliti adalah sosialisasi program
SL-PTI', sarana produksi dan kepemimpinan komunitas (Gambar 1).
Pemerintah telah berupaya meningkatkan pemberdayaan kelompok tani melalui program SL-P7T (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu), program tersebut belum nampak dapat memberdayakan kelompok tani Saluyu di Desa Pangadegan. Atas dasar tersebut di atas maka penulis b e ~ p a y untuk a menggambar alur kerangka pemikiran pemberdayaan kelompok tani padi Saluyu yang digunakan berdasarkan hasil identifikasi potensi dan pemetaan sosial desa, diperoleh infoimasi bahwa sektor pertanian merupakan basis perekonomian Desa Pangadegan. Dalam pemanfaatan sumberdaya pertanian ini peran kelompok tani menjadi sentral, sebagai wadah kelemhagaan tempat petani berhimpun dan
Agar lebih jelas kerangka p e m i k i i ini, maka di buat skema seperti yang disajikan dalam gambar berikut:
1. Motivasi 2. Modal kelompok 3. Pengetahuan dan
SLrn (Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu)
PROGRAM PEMBERDAYAAN KELOMPOK TAN1 SALUYU
1. Sosialisasi
Progam SL-PTT 2. Sarana Pmduksi tanaman (benih,
Gambar 1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran