PENGEMBANGAN KAPASITAS PEMDA: UPAYA MEWUJUDKAN PEMDA YANG MENYEJAHTERAKAN MASYARAKAT Hanif Nurcholis Universitas Terbuka ABSTRACT Local autonomy should be perceived as one step for local society to empower themselves in accordance with their potency and ability with full support from their local government. In order to establish local autonomy, local government should have adequate capacity. Without it, it is impossible for local government to achieve the predefined targets. For that reason, local government should build their capacity. Capacity building is a systematic efforts covering intervention at all level: system, institution, and individuals. At system level, local government should be developed to clear and synchronize its legal framework. Institution should be developed to clear and focus decision making system, work mechanism, and coordination. Individual should be developed to allow apparatus of local government to carry out their job and responsibilities effectively. Key words: Pemerintahan Daerah, Otonomi Daerah, pengembangan kapasitas
Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 22/1999 yang kemudian direvisi dengan UU Nomor 32/2004 memasuki tahun kelima. Selama empat tahun, masyarakat daerah sedikit banyak telah mendapatkan pengalaman menyelenggarakan pemerintahan daerah (Pemda) sistem baru yang lebih dekat pada asas devolusi ketimbang desentralisasi dan/atau dekonsentrasi zaman Orde Baru. Dalam asas devolusi, penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada daerah adalah utuh dalam arti mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi semuanya diserahkan kepada daerah. Di samping itu, penyerahan urusan pemerintahan juga dibarengi dengan penyerahan pembiayaannya yang dirumuskan dalam konsep perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Hal ini sangat berbeda dengan desentralisasi dan dekonsentrasi menurut UU Nomor 5/1975 yang menyerahkan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah dengan cara mencicil satu per satu secara berjenjang, yaitu pusat menyerahkan kepada Daerah Tingkat I, Daerah Tingkat I lalu menyerahkan kepada Daerah Tingkat II dengan penyertaan dana model subsidi daerah otonom yang sasaran dan jumlah dananya sudah ditentukan oleh pusat. Sistem ini memang benar-benar baru dalam sistem ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sehingga sudah barang tentu di sana-sini banyak kejanggalan, kerancuan, bahkan kesalahan. Misalnya, dalam hal penyusunan program pembangunan karena sudah terbiasa dengan model penganggaran melalui DUK (Daftar Usulan Kegiatan), DIP (Daftar Isian Proyek), dan PO (Perintah Operasional) maka Pemerintah Kabupaten (Pemkab)/Pemerintah Kota (Pemkot) menjadi kebingungan ketika harus menyusun APBD secara mandiri berdasarkan dana block grant yang dialokasikan pemerintah pusat melalui DAU (Dana Alokasi Umum) dan DAK (Dana Alokasi Khusus). Di bidang pendidikan misalnya, Pemerintah Provinsi (Pemprov) dan Pemkab/Pemkot yang
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 49-58
sebelumnya hanya menangani pendidikan dasar khususnya bidang nonteknik edukatif, ketika semuanya diserahkan kepada Pemda dinas menjadi gamang dan bingung menangani masalah pendidikan yang sangat kompleks. Begitu juga bidang pelayanan, dengan dihilangkan semua kantor departemen (instansi vertikal) di semua tingkatan pemerintahan kecuali milik Departemen Agama, yang kemudian pelayanannya diintegrasikan ke dalam dinas daerah, banyak pemda yang tidak siap dalam SDM, sarana dan prasarana, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi program. Hendaknya semua pihak sadar bahwa otonomi daerah sistem baru ini hanyalah alat bukan tujuan. Tujuan utamanya adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian beragam pelayanan publik (public services, development for economic growth, dan public protection) yang memuaskan melalui lembaga Pemda. Di sini lembaga Pemda menjadi sangat penting karena merupakan sarana utama bagi pencapaian tujuan tersebut. Untuk itu, lembaga Pemda harus diperkuat sehingga memiliki kemampuan yang memadai sebagai alat untuk mencapai tujuan. Dalam rangka menjadikan Pemda sebagai alat yang berkemampuan untuk mencapai tujuan inilah maka perlu dilakukan pengembangan kapasitas/capacity building. Melalui pengembangan kapasitas yang mencakup pengembangan sistem, pengembangan kelembagaan, dan pengembangan sumber daya manusia, Pemda akan menjadi lembaga yang sehat dan berdaya guna mencapai tujuan. Sejalan dengan paradigma baru Pemkab sebagai lembaga publik juga harus menerapkan prinsipprinsip corporate dalam menjalankan misinya. Melalui analisis SWOT (strengths, weaknesses, opportunities, and threats) Pemda harus mengenali core competence/kompetensi inti yang dimiliki. Dengan mengenali kompetensi inti ini maka Pemda yang bersangkutan dapat mengembangkan diri sebagai Pemda yang profesional dalam mengembangkan produk unggulannya sebagai sarana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan menciptakan kesejahteraan masyarakatnya. Artikel ini mencoba memberi masukan konseptual kepada para pengambil kebijakan di bidang pembangunan Pemda (Pemprov dan Pemkab/Pemkot) agar mampu mengembangkan daerahnya melalui pengembangan kapasitas agar berkemampuan mengembangkan kompetensi intinya menuju terwujudnya tujuan pemerintahan daerah.
KONSEPSI OTONOMI DAERAH YANG MENYEJAHTERAKAN Konsep tentang otonomi daerah dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah masih dipahami secara salah oleh masyarakat. Otonomi daerah masih dipahami sebagai penyelenggaraan pemerintahan oleh Pemda dan DPRD secara otonom, tanpa banyak intervensi oleh Pusat. Sedangkan Pemerintahan Daerah diartikan sebagai pemerintahan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah (eksekutif) dan DPRD (legislatif). Dalam konsepsi sistem demokrasi pengertian demikian adalah salah. Pemda terwujud karena adanya kebijakan desentralisasi, yaitu pelimpahan kekuasaan dari Pemerintah Pusat. Desentralisasi ada dua macam yaitu desentralisasi teritorial atau biasa disebut desentralisasi saja dan desentralisasi jabatan atau yang biasa disebut dekonsentrasi. Rondinelli (1983) menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab administrasi kepada cabang departemen atau badan pemerintah yang lebih rendah. Aldelfer (1964) menjelaskan bahwa pelimpahan wewenang dalam bentuk dekonsentrasi semata-mata
50
Nurcholis, Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah
menyusun unit administrasi atau field administration, baik tunggal ataupun jamak dalam hirarki, baik itu terpisah atau tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Tidak ada kebijakan yang dibuat di tingkat lokal serta tidak ada keputusan fundamental yang diambil. Badan-badan pusat memiliki semua kekuasaan dalam dirinya, sementara pejabat lokal merupakan bawahan sepenuhnya dan mereka hanya menjalankan perintah (Muluk, 2002). Larmour & Qalo (1985) menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pada pejabat atau kelompok pejabat yang diangkat oleh Pemerintah Pusat dalam wilayah administrasi. Sedangkan Maddick (1963) menjelaskan bahwa dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang untuk melepaskan fungsi-fungsi tertentu kepada pejabat pusat yang berada di luar kantor pusatnya. Oleh karena itu, dekonsentrasi menciptakan local state government atau field administration/wilayah administrasi (Hoessein, 2000). Jadi, dalam dekonsentrasi yang dilimpahkan hanya kebijakan administrasi (implementasi kebijakan politik) sedangkan kebijakan politiknya tetap berada pada Pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pejabat yang diserahi pelimpahan wewenang tersebut adalah pejabat yang mewakili Pemerintah Pusat di wilayah kerja masing-masing atau pejabat pusat yang ditempatkan di luar kantor pusatnya. Tanda bahwa pejabat tersebut adalah pejabat pusat yang bekerja di daerah adalah yang bersangkutan diangkat oleh Pemerintah Pusat, bukan dipilih oleh rakyat yang dilayani. Karena itu, pejabat tersebut bertanggung jawab kepada pejabat yang mengangkatnya yaitu pejabat pusat, bukan kepada rakyat yang dilayani. Sebagai konsekuensinya, maka pejabat daerah yang dilimpahi wewenang, bertindak atas nama Pemerintah Pusat bukan atas nama dirinya sendiri yang mewakili para pemilihnya. Dalam asas dekonsentrasi timbul hirarki dalam organisasi tersebut. Terdapat hubungan sub-ordinat antara satuan organisasi pusat dengan satuan organisasi bawahannya. Maddick (1963) menjelaskan bahwa desentralisasi adalah penyerahan kekuasaan secara hukum untuk menangani bidang/fungsi tertentu kepada daerah otonom. Rondinelli & Chema (1983) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan penciptaan atau penguatan, baik keuangan maupun hukum, pada unit-unit pemerintahaan subnasional yang penyelenggaraannya secara substansial berada di luar kendali langsung pemerintah pusat. Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) (Koswara, 2001; h. 48) memberikan batasan tentang desentraliasi sebagai berikut. Decentralization refers to the transfer of authority away from the national capital whether by deconcentration (i.e. delegation) to field office or by devolution to local authorities or local bodies. Desentralisasi melahirkan daerah otonom (local self-government) karena dalam desentralisasi pengambilan kebijakan dan implementasinya diserahkan kepada satuan organisasi pemerintahan di bawah hirarki puncak. Sedangkan dekonsentrasi melahirkan daerah/wilayah administrasi (field administration) karena dekonsentrasi hanya menyerahkan implementasi kebijakan pada satuan organisasi di bawah hirarki puncak sedangkan pengambilan kebijakannya tetap dipegang oleh hirarki puncak. Dengan kata lain, desentralisasi melahirkan daerah otonom sedangkan dekonsentrasi melahirkan wilayah administrasi. Pada daerah otonom/Pemda terdapat otonomi daerah karena Pemerintah Pusat menyerahkan dua hal yaitu pembuatan kebijakan dan implementasinya pada masyarakat daerah yang bersangkutan.
51
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 49-58
Oleh karena itu, masyarakat daerah yang bersangkutan dapat membuat keputusan sendiri dan melaksanakannya. Pada wilayah administrasi tidak terdapat otonomi daerah karena Pemerintah Pusat masih memegang pengambilan kebijakan. Wilayah hanya melaksanakan apa yang diputuskan Pusat. Lalu apa yang dimaksud dengan otonomi daerah? Otonomi adalah kebebasan untuk membuat keputusan sendiri dengan tetap menghormati perundang-undangan (Eisenmann dalam Hoessein, 1993). Sementara The Liang Gie menjelaskan otonomi adalah wewenang untuk menyelenggarakan kepentingan sekelompok penduduk yang berdiam dalam suatu lingkungan wilayah tertentu yang meliputi mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan berbagai hal yang perlu bagi kehidupan penduduk (Hoessein, 1993). Sedangkan Khan (1982) menjelaskan bahwa otonomi daerah sama dengan kebebasan daerah untuk menentukan sendiri urusannya. Rakyat setempat dan perwakilannya memegang kekuasaan tertinggi. Pemerintah Pusat hanya mengintervensi untuk kepentingan yang lebih luas. Jadi, otonomi adalah hak yang diberikan kepada penduduk yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu untuk mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati perundangan yang berlaku. Dengan demikian, yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah hak penduduk yang tinggal dalam suatu daerah untuk mengatur, mengurus, mengendalikan, dan mengembangkan urusannya sendiri dengan tetap menghormati peraturan perundangan yang berlaku. Dengan dimilikinya hak penduduk untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri tersebut maka timbullah pemerintahan daerah atau pemerintahan setempat (local self-government). Harris (dalam Tjahja Supriatna, 1993) menjelaskan bahwa pemerintahan daerah (local self-government) adalah pemerintahan yang diselenggarakan oleh badan-badan daerah yang dipilih secara bebas dengan tetap mengakui supremasi pemerintahan nasional. Pemerintahan ini diberi kekuasaan, diskresi (kebebasan mengambil kebijakan), dan tanggung jawab tanpa dikontrol oleh kekuasaan yang lebih tinggi. Sementara itu, PBB (UN; 1961) memberi batasan tentang pemerintahan daerah yaitu: Local government is a political sub-division of a nation (or, in federal system a State) which is constituted by law and has substantial control over local affairs, including the powers to impose taxes, or to extract labour for prescribed puprposes. The governing body of such an entity is elected or otherwise locally selected. De Guzman & Taples (dalam Tjahja Supriatna, 1993) menyebutkan unsur-unsur pemerintahan daerah yaitu: 1. Pemerintahan daerah adalah sub divisi politik dari kedaulatan bangsa atau negara. 2. Pemerintahan daerah diatur oleh hukum. 3. Pemerintahan daerah mempunyai badan pemerintahan yang dipilih oleh penduduk setempat. 4. Pemerintahan daerah menyelenggarakan kegiatan berdasarkan peraturan perundangan. 5. Pemerintahan daerah memberikan pelayanan dalam wilayah jurisdiksinya. Dengan merujuk pada uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa otonomi daerah berhubungan dengan pemerintahan daerah otonom. Pemerintahan daerah otonom adalah pemerintahan daerah
52
Nurcholis, Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah
yang badan pemerintahannya dipilih oleh penduduk setempat dan memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusannya sendiri berdasarkan peraturan perundangan dan tetap mengakui supremasi dan kedaulatan nasional. Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang memiliki otonomi daerah itu bukan Pemda dan DPRD tapi penduduk/masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangktutan. Mengapa penduduk/masyarakat setempat? Karena merekalah yang mendapatkan penyerahan kewenangan dari Pusat dan mereka pulalah pemilik kedaulatan. Berangkat dari kosepsi ini lalu berlaku teori principal-agency, pemilik kedaulatan-penerima amanah. Penduduk/masyarakat adalah prinsipal yaitu sebagai pemilik kedaulatan sedangkan Pemerintahan Daerah (Pemda dan DPRD) adalah sebagai penerima amanah. Prinsipal memberikan amanah kepada agency untuk menyelenggarakan apa yang diinginkannya yaitu apa yang telah dituangkan dalam Peraturan Daerah yang berisi visi, misi, renstra (rencana strategis), program pembangunan daerah (propeda), dan rencana pembangunan tahunan daerah (repetada). Agency melaksanakan amanah tersebut dan bertanggung jawab kepada prinsipal.
PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN MISI PEMDA
Pengembangan kapasitas yaitu upaya menyesuaikan kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan serta mereformasi lembaga-lembaga, memodifikasi mekanisme, prosedur dan koordinasi, meningkatkan keterampilan dan kualifikasi sumber daya manusia, dan mengubah sistem nilai dan sikap individu sebagai suatu cara untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan penyelenggaraan otonomi daerah yang lebih demokratis dan menyejahterakan masyarakat. Pengembangan kapasitas Pemda berarti upaya menyesuaikan, mereformasi, dan memodifikasi semua kebijakan, peraturan, prosedur, mekanisme kerja, koordinasi; meningkatkan keterampilan dan kualifikasi aparatur Pemda/DPRD; dan mengubah sistem nilai dan sikap yang dijadikan acuan aparatur Pemda/DPRD agar Pemda mampu menyelenggarakan tata pemerintahan yang demokratis dan menyejahterakan masyarakat. Upaya-upaya tersebut disebut intervensi. Dengan demikian, pengembangan kapasitas mencakup tiga level intervensi yaitu: 1. Level sistem, yaitu intervensi pada pengaturan kerangka kerja dan kebijakan dalam sistem pemerintahan daerah sehingga dapat mendukung pencapaian tujuan yang diinginkan. Pengaturan kerangka kerja dan kebijakan harus berangkat dari konsepsi pengaturan pemerintahan daerah berdasarkan UU Nomor 32/2004 yang dioperasionalkan melalui peraturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah dan peraturan teknis di bawahnya seperti Keputusan Menteri dan Instruksi Menteri. Pada tingkat Daerah, Daerah menindaklanjuti dengan pembuatan Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah, dan Keputusan Pimpinan DPRD. Semua pengaturan tersebut harus serasi, selaras, dan terpadu yang semuanya mendukung pencapaian tujuan yaitu menyejahterakan masyarakat melalui pemberian pelayanan publik yang memuaskan. 2. Level kelembagaan/institutional, yaitu intervensi pada penataan struktur organisasi, proses pengambilan keputusan organisasi, prosedur dan mekanisme kerja, instrumen manajemen, dan hubungan dan jaringan antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya. Penataan struktur organisasi Pemda dikembangkan berdasarkan asas efektivitas dan efesiensi organisasi yang ditandai dengan bentuk organisasi yang ramping, datar, dan sesuai dengan kebutuhan. Proses pengambilan keputusan organisasi dikembangkan berdasarkan pada model pengambilan keputusan yang baik (pengumpulan data yang akurat, partisipatif, pengembangan alternatif secara cerdas, dan pemilihan satu alternatif terbaik). Pemda harus mengembangkan prosedur
53
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 49-58
dan mekanisme kerja yang urut, runtut, logis, tidak tumpang tindih, mengarah pada satu titik/tujuan, dan tidak bolak-balik dengan standar yang terukur. Pemda harus mengembangkan instrumen manajemen berupa pedoman kerja, peralatan, sarana dan prasarana sabagai fasilitasi untuk mencapai tujuan. Hal yang tak kalah pentingnya adalah perlunya mengembangkan sistem koordinasi antara satu unit dengan unit lainnya. 3. Level individual, yaitu intervensi pada peningkatan kualitas individu aparatur Pemda dan anggota DPRD sehingga memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, etika, dan motivasi kerja sehingga berkemampuan menyelenggarakan tata kepemerintahan yang baik (good governance). Aparatur Pemda harus dilatih dengan keterampilan sesuai bidangnya sehingga menjadi kompeten. Aparatur bidang keuangan misalnya harus dilatih sehingga kompeten dalam menyelenggarakan keuangan Pemda. Begitu juga dengan anggota DPRD. Anggota DPRD diberi pelatihan sehingga mampu menyerap aspirasi rakyat/ pemilihnya, mampu menyusun sistem penganggaran daerah, mampu melakukan pengawasan, dan mampu melakukan komunikasi politik dengan konstituennya. Jika ketiga intervensi tersebut dirinci, setidaknya terdapat sembilan bidang yang perlu ditangani dalam pengembangan kapasitas yaitu: 1. Pengembangan kerangka aturan mengenai Pemerintah Daerah (Pemda) dan Desa yang komprehensif dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Kepala Daerah (KDH), Keputusan Ketua DPRD, dan Peraturan Desa. 2. Pengembangan kelembagaan Pemerintah Daerah dan Desa sehingga menjadi lembaga pemerintahan yang efektif dan efisien. 3. Pengembangan dan pengelolaan sumber daya manusia/aparatur Pemerintah Daerah dan Desa. 4. Manajemen Keuangan Pemerintah Daerah dan Desa yang transparan dan akuntabel. 5. Pengembangan lembaga DPRD, BPD, dan lembaga swadaya masyarakat sehingga berfungsi secara maksimal. 6. Pengembangan sistem perencanaan yang baik. 7. Pembangunan ekonomi daerah. 8. Manajemen proses transisi/peranan kepegawaian daerah. 9. Program-program sektoral untuk mendukung desentralisasi yang mencakup bidang-bidang: a. Pendidikan. b. Permukiman dan prasarana wilayah. c. Pertanian (termasuk perkebunan dan peternakan). d. Penanaman modal. e. Industri dan perdagangan. f. Perhubungan. g. Kelautan dan perikanan. h. Sektor-sektor lain seperti lingkungan hidup, pariwisata, arsip, koperasi. Peningkatan kapasitas melalui intervensi pada level sistem, institusi, dan individu adalah suatu upaya yang multidimensi. Oleh karena itu, perencanaannya harus ditentukan dalam tahapan waktu yang rasional: pendek, menengah, dan panjang. Setiap tahapan harus ditetapkan prioritas-prioritasnya. Prioritas pertama dari semua tahapan tersebut adalah membuat kebijakan dan peraturan pendukung yang dapat menciptakan sistem yang efektif dan efisien untuk mencapai tujuan. Yang dimaksud dengan kebijakan dan peraturan pendukung tersebut adalah penjabaran secara lebih operasional
54
Nurcholis, Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah
dari framework otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32/2004 dan UU Nomor 33/2004 yang wujudnya adalah penyesuaian dan modifikasi semua perangkat peraturan perundangan organik berupa Kebijakan Daerah seperti Perda, Keputusan Kepala Daerah, dan Keputusan Pimpinan DPRD. Semua kebijakan dan peraturan tersebut harus jelas menggambarkan sistem dan mekanisme prosedural yang melibatkan semua level tersebut. Prioritas berikutnya adalah menangani permasalahan yang terjadi dalam hubungan antar unit dan antar sektor. Pengembangan kapasitas tidak hanya ditujukan pada lembaga pemerintahan tapi juga DPRD dan stakeholders yang luas: partai politik, lembaga-lembaga pendukung, kelompok masyarakat lokal, dan masyarakat madani secara luas. Semua komponen stakeholders tersebut menjadi penting dalam pengembangan kapasitas karena menjadi infrastrukur bagi terciptanya sistem good governance. Karena pengembangan kapasitas memerlukan reformasi kelembagaan pada semua level, modifikasi mekanisme kerja, dan penyesuaian gaya dan perangkat manajemen, maka perlu dilakukan pengembangan keterampilan, pelatihan, dan pendidikan politik bagi aparatur Pemda dan anggota DPRD serta stakeholders. Melalui upaya ini akan tercipta persepsi dan konsepsi yang sama antara para pelaku sehingga mampu mengarahkan kegiatan pada tujuan secara terintegrasi.
PENGEMBANGAN KAPASITAS DAN SAKA SAKTI
Otonomi daerah model UU Nomor 32/2004 memberi kewenangan penuh kepada daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepadanya. Dengan kewenangan yang besar tersebut daerah diberi keleluasaan untuk mengembangkan daerahnya menjadi daerah yang adil, makmur, dan sejahtera. Dalam rangka menciptakan daerah yang adil, makmur, dan sejahtera tersebut daerah harus mengenali potensi daerahnya dengan baik. Potensi daerah adalah sumber kekuatan daerah sebagai modal utama untuk mengembangkan dirinya. Potensi daerah terdiri atas sumber daya potensial dan sumber daya aktual. Sumber daya potensial adalah sumber daya alam yang belum dibudidayakan seperti tambang (migas, emas, batu bara, timah, bauksit, dll.), bahan galian, hutan, ladang, sawah, laut, pantai, flora, fauna, sungai, waduk, iklim, gelombang, angin, matahari, dan sumber daya manusia (SDM) yang belum melakukan kegiatan usaha produktif. Sumber daya aktual adalah sumber daya yang sudah berwujud dan dapat menghasilkan pendapatan bagi daerah. Sumber daya aktual berupa SDM (penduduk terdidik, guru/dosen, dokter, tenaga medis, PNS, TNI/POLRI, tenaga kerja produktif, pedagang, dan pengusaha) dan kegiatan ekonomi produktif (industri, perdagangan, pertanian, perkebunan, perikanan, perbankan, agro industri, pariwisata, jasa, dan asuransi). Di samping itu, sumber daya aktual juga berupa sarana dan prasarana seperti jalan, jaringan telepon, air minum, bandara, dermaga, terminal, sekolahan, rumah sakit, Puskesmas, panti asuhan, panti jompo, kawasan industri, perkantoran, pelelangan ikan, pasar, dan bursa tenaga kerja. Dengan mengenal potensi daerahnya masing-masing daerah akan dapat membuat perencanaan ke depan dengan baik. Melalui penelitian dan assessment yang mendalam, daerah mampu menemukan kekuatan inti daerahnya berdasarkan potensi daerahnya tersebut. Kekuatan inti adalah kekuatan yang paling menonjol dari potensi daerah yang bersangkutan. Kota Tangerang Banten misalnya kuat/menonjol pada bidang industrinya. Kabupaten Kutai Kartanegara Kalimantan Timur misalnya kuat/menonjol
55
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 49-58
pada bidang migas dan hutannya. Provinsi Bali misalnya kuat/menonjol pada bidang pariwisatanya. Hal yang sama terjadi pada daerah-daerah lain. Pemda perlu melakukan assessment terhadap potensi yang dimilikinya. Dengan assessment maka akan dapat diketahui secara persis potensi apa yang paling kuat yang bisa dikembangkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tersebut. Potensi yang paling menonjol dan utama inilah lalu dijadikan prioritas pengembangan. Dengan memilih satu potensi utama Pemda lalu melakukan pengembangan dengan fokus pada satu potensi yang paling menonjol tersebut. Dalam membangun daerahnya, kekuatan inti tersebut bisa dijadikan unggulan daerah. Unggulan daerah dapat dijadikan penggerak utama ekonomi daerah yang pada gilirannya akan menciptakan multiplier effect. Untuk itu, setiap Pemkab/Pemkot perlu mencari satu kekuatan inti. Satu Kabupaten/Kota, Satu Kekuatan Inti dengan singkatan SAKA SAKTI hendaknya menjadi sumber inspirasi dan tenaga bagi Kabupaten dan Kota untuk mengembangkan daerahnya berdasarkan kekuatan intinya. Semboyan Satu Kabupaten/Kota Satu Kekuatan Inti, SAKA SAKTI, mempunyai hubungan yang erat dengan pengembangan kapasitas. Dengan melakukan pengembangan kapasitas maka Pemda dengan sistem yang integratif, kelembagaan yang solid, dan aparatur yang terampil dan cekatan akan mampu melaksanakan fungsinya dengan baik. Pemda akan dapat mengembangkan diri sebagai organisasi penyelenggara pemerintahan dan pembangunan sehingga mampu melaksanakan fungsinya dengan benar. Fungsi utama Pemda adalah memberikan pelayanan publik yang prima. Pelayanan publik mencakup public services, development for economic growth, dan public protection (pelayanan masyarakat baik perorangan maupun kelompok, pembangunan sarana dan prasarana untuk pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional, dan pemberian ketentraman/keamanan/ketertiban masyarakat). Pemda yang kapabel sebagai akibat dari pengembangan kapasitas tersebut akan mampu mengembangkan SAKA SAKTI-nya. Unggulan daerah sebagai kekuatan inti akan dikembangkan oleh Pemda dengan perencanaan yang matang. Unggulan daerah tersebut dikembangkan Pemda dengan cara menyiapkan sarana dan prasarana untuk mempermudah akses, produksi, tranportasi, dan pemasaran baik lokal, regional, maupun internasional. Pemda lalu membuka peluang seluasluasnya kepada masyarakat daerah yang bersangkutan untuk ikut berpartisipasi mengembangkan unggulan daerah tersebut. Dengan kapasitas yang memadai, Pemda akan mampu memberikan pelayanan prima dalam pengembangan unggulan daerah tersebut. Pemda memberikan kemudahan dan insentif kepada masyarakat. Pada akhirnya Pemda akan menghasilkan output (keluaran) dan outcome (dampak) yang berpengaruh langsung bagi pengembangan ekonomi secara keseluruhan, yang pada gilirannya akan menciptakan peningkatan kesejahteraan masyarakat baik masyarakat daerahnya sendiri, masyarakat daerah sekitarnya, maupun masyarakat secara nasional.
PENUTUP Demi mencapai tujuannya, yaitu menciptakan kesejahteraan masyarakat, Pemda perlu melakukan pengembangan kapasitas. Melalui intervensi pada tingkat sistem, tingkat lembaga, dan tingkat individu akan lahir Pemda yang berkemampuan menyelenggarakan fungsi-fungsinya dengan baik.
56
Nurcholis, Pengembangan Kapasitas Pemerintah Daerah
Dengan otonomi yang luas dan nyata pada pemerintah kabupaten dan kota maka setiap pemerintah daerah dituntut untuk mencari dan mengembangkan kekuatan intinya berdasarkan potensi daerah masing-masing. Penemuan kekuatan inti ini sangat penting karena akan menjadi andalan dan modal utama untuk mengembangkan daerah yang bersangkutan. Pemda perlu mengembangkan satu kompetensi inti tersebut sebagai basis pengembangan ekonomi daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kompetensi inti diperoleh melalui assessment yang komprehensif terhadap semua potensi yang dimiliki. Potensi yang paling menonjol dari sekian potensi yang dimiliki dijadikan basis pengembangan. Pemda yang berkemampuan sebagai akibat dari dilakukannya program pengembangan kapasitas akan mampu mengembangkan unggulan daerah dengan baik. Pemda yang kompetens dan excellent dalam pemberian pelayanan publik akan memberikan dampak positif pada kesejahteraan masyarakat.
REFERENSI Aldelfer (1964). Local government in developing countries. New York: Mc. Graw Hill. Hoessein, B. (1993), Berbagai faktor yang mempengaruhi besarnya otonomi daerah Tingkat II, suatu kajian desentralisasi dan otonomi daerah dari segi Ilmu Administrasi. Disertasi Pascasarjana UI.Tidak diterbitkan. Jakarta. Hoessein, B. (1995). Sentralisasi dan desentralisasi: Masalah dan prospek, dalam Menelaah format politik Orde Baru. Jakarta: PPW LIPI, Yayasan Insan Politika, Gramedia. Hoessein, B. (2000), Hubungan penyelenggaraan pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah. Jurnal Bisnis dan Birokrasi, 1 (I), Juli 2000. Hoessein, B. (2001). Transparansi pemerintahan. Jurnal Forum Inovasi. November 2001. Hoessein, B. (2001). Hubungan kewenangan antara Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah. Hoessein, B. (2002). Kebijakan desentralisasi. Jurnal Administrasi Negara, 2 (2), Maret 2002. Hoessein, B. (2002). Reposisi peran DPRD. Jurnal PSPK, Edisi II, April 2002. Khan, A.A. (1982). Theory of Local Government. New Delhi: Starling Publisher Private Limited. Koswara, E. (2001) Otonomi daerah untuk demokrasi dan kemandirian rakyat. Jakarta: Pariba. Larmour & Qalo, Ed. (1985). Decentralisatiion in the South Pacific. Papua New Guinea: University of The South Pasific. Madic, H. (1963). Democracy, decentralization, and government. Illionis House: Glencoe. Manan, B. (1994). Hubungan antara pusat dan daerah menurut UUD 1945. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Muluk, M.R.K. (2002). Desentralisasi, teori, cakupan, dan elemen. Jurnal Administrasi Negara, 2 (2), Maret 2002. Nurcholis, H. (2005), Teori dan praktik: Pemerintahan dan otonomi daerah. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia. Rondinelly, D.A. & Cheema, G.S. Eds. (1983). Decentralization and development, policy implementation in development countries. London: Sage.
57
Jurnal Organisasi dan Manajemen, Voume. 1, Nomor 1, September 2005, 49-58
Rondinelly, D.A., Nells, J.R., & Cheema, G.S. (Eds). (1983). Decentralization in developing countries: A review of recent experience. Washington D.C.: Worldbank Staff Working Paper. Gie, T.L. (1968). Pertumbuhan pemerintahan daerah di negara Republik Indonesia, Jilid I. Jakarta: Gunung Agung. Supriatna, T. (1993). Sistem administrasi pemerintahan di daerah. Jakarta: Bumi Aksara. United Nations (1961). The United Nations of public administration. New York: UN Publisher.
58