7
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Sektor Basis Ekonomi Teori basis ekonomi mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Kegiatan ekonomi dikelompokkan atas kegiatan basis dan non basis. Teori ini menyatakan bahwa sektor basis membangun dan memacu penguatan dan pertumbuhan ekonomi lokal, sehingga diidentifikasi sebagai mesin ekonomi lokal. Rustiadi et al. (2009) membagi sektor ekonomi suatu wilayah menjadi dua golongan, yaitu sektor basis dan sektor non-basis. Sektor basis merupakan suatu kegiatan ekonomi dimana proses pemenuhan kebutuhan menyebabkan terjadinya mekanisme ekspor dan impor antar wilayah. Artinya industri basis dapat menghasilkan barang dan jasa, baik untuk pasar domestik daerah maupun pasar luar wilayah/daerah, adapun sektor non basis adalah sektor dengan kegiatan ekonomi yang hanya melayani pasar didaerahnya sendiri dan kapasitas ekspor ekonomi daerah belum mampu memenuhi kebutuhan di daerah lainnya. Kemampuan memacu pertumbuhan suatu wilayah sangat tergantung dari keunggulan atau daya saing sektor-sektor ekonomi di wilayah tersebut. Hal tersebut disebabkan oleh nilai strategis setiap sektor sebagai pendorong utama (prime mover) pertumbuhan ekonomi wilayah berbeda-beda. Untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis dan non basis dapat digunakan metode Location Quotient (LQ), yang merupakan perbandingan relatif antara kemampuan sektor yang sama pada daerah yang lebih luas dalam suatu wilayah. Asumsi dalam LQ adalah terdapat sedikit variasi dalam pola pengeluaran secara geografi dan produktivitas tenaga kerja homogen serta masing-masing industri menghasilkan produk/jasa yang seragam. Oleh karena itu berbagai dasar ukuran yang digunakan dalam penghitungan LQ harus disesuaikan dengan kepentingan penelitian dan sumber data yang tersedia. Analisis LQ merupakan teknik analisis yang digunakan untuk mengetahui pemusatan suatu aktivitas di suatu wilayah dalam cakupan wilayah agregat yang lebih luas. Analisis LQ juga memberikan gambaran sektor atau kegiatan ekonomi yang terkonsentrasi dan tersebar. Tarigan (2005) menyatakan bahwa LQ sebagai
8
petunjuk adanya keunggulan komparatif dapat digunakan bagi sektor-sektor yang telah lama berkembang, sedangkan bagi sektor yang baru atau sedang tumbuh apalagi yang selama ini belum pernah ada LQ tidak dapat digunakan karena produk totalnya belum menggambarkan kapasitas riil daerah tersebut. Persamaan umum dari metode Location Quotient sebagai berikut : ⁄
(1) dimana : LQij Xij Xi. X.j X..
= = = = =
Nilai LQ untuk aktivitas ke-j di wilayah ke-i Nilai aktivitas ke-j di wilayah ke-i Nilai total aktivitas di wilayah ke-i Nilai aktivitas ke-j di total wilayah Nilai total aktivitas di total wilayah
Berdasarkan persamaan 1 maka nilai LQ yang dihasilkan untuk tiap aktivitas di tiap wilayah beserta interpretasinya sebagai berikut:
Nilai LQij > 1, menunjukkan terjadinya konsentrasi aktifitas ke-j di wilayah ke-i secara relatif dibandingkan dengan total wilayah
Nilai LQij = 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total atau konsentrasai aktifitas di wilayah ke-i sama dengan rata-rata total wilayah.
Jika nilai LQij < 1, maka wilayah ke-i mempunyai pangsa relatif lebih kecil dibandingkan dengan aktifitas yang secara umum ditemukan diseluruh wilayah. Nilai LQ selain dapat mengetahui pola pemusatan aktivitas di suatu wilayah
juga dapat menduga aliran input-output dengan mengasumsikan bahwa aliran akan terjadi dari aktivitas dan wilayah dengan nilai LQ >1 ke aktivitas dan wilayah dengan nilai LQ < 1. Namun perlu diingat bahwa sebelum melakukan analisis LQ dan menginterpretasikannya, asumsi-asumsi yang digunakan dalam analisis ini harus dipenuhi dan diperhatikan. 2.2 Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk Metode pengambilan keputusan kriteria majemuk (multi-criteria decision making/MCDM) menurut beberapa peneliti (Jankowski 1995; Kahraman 2008)
9
terbagi menjadi dua pendekatan; (1) Pengambilan keputusan atribut majemuk (multi-attribute decion making/MADM) dan (2) Pengambilan keputusan tujuan majemuk (multi-objective decision making/MODM). Dalam penelitian ini, singkatan istilah yang digunakan tetap mengacu pada istilah aslinya. Jika pada suatu proses pengambilan keputusan terdapat sejumlah alternatif pilihan dan proses pengambilan keputusan tersebut didasarkan atas sejumlah nilai atribut yang memiliki alternatif pilihan, maka proses tersebut dikategorikan sebagai pendekatan MADM. Dalam pendekatan MADM pengambilan keputusan didasarkan terhadap pilihan terbaik dari sejumlah alternatif pilihan yang tersedia (Kahraman 2008). MADM merupakan salah satu cabang ilmu dalam proses pengambilan keputusan yang merupakan komponen model riset operasi yang berhubungan dengan masalah pengambilan keputusan menurut sejumlah kriteria. Pendekatan MADM memerlukan sejumlah pilihan, diantara alternatif keputusan yang dijelaskan dalam atribut-atribut keputusan yang tersedia. Dalam menyelesaikan persolan menggunakan pendekatan MADM, sejumlah alternatif keputusan yang jumlahnya terbatas telah disiapkan. Penyelesaian masalah dengan metode MADM dapat menggunakan metode pengurutan dan perangkingan. Pendekatan MADM merupakan metode alternatif untuk mengkombinasikan matriks keputusan masalah dengan tambahan informasi dari para pengambil keputusan untuk menentukan ranking, pilihan, dan seleksi terhadap sejumlah alternatif. Selain informasi yang terdapat dalam matriks keputusan, metode tercepat dalam proses pengambilan keputusan menggunakan MADM adalah adanya informasi tambahan dari para pengambil keputusan dalam menentukan ranking, urutan, dan pilihan. Sebaliknya, dalam pendekatan MODM alternatif keputusan tidak tersedia. MODM hanya menyediakan sejumlah kerangka matematis dalam mendesain alternatif keputusan. Setiap alternatif setelah diidentifikasi akan ditentukan peluangnya berdasarkan hubungan kedekatannya dengan tujuan yang akan dicapai. Pendekatan MODM merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan terhadap sejumlah alternatif yang jumlahnya tidak terbatas (tidak pasti),
10
dapat saling bertentangan serta umumnya dijelaskan menggunakan fungsi kontinyu (Massam 1988 dalam Phua dan Minowa 2005; Kahraman 2008). Dalam proses pengambilan keputusan di alam nyata yang memiliki kompleksitas sistem dan aspek ketidakpastian, berbagai persoalan tidak dapat didefinisikan dan disajikan dalam batas nilai yang bersifat tegas (Bellman et al. 1970). Menurut Zadeh (1965), untuk mengatasi persoalan yang bersifat kualitatif, informasi yang tidak pasti atau struktur masalah keputusan yang buruk, dapat menggunakan pendekatan teori fuzzy set sebagai suatu perangkat pemodelan untuk sistem yang bersifat kompleks yang dapat dikontrol oleh manusia namun sulit dijelaskan secara pasti. Logika fuzzy merupakan cabang dari ilmu matematika yang memungkinkan bagi perangkat komputer untuk melakukan pemodelan dunia nyata. Logika fuzzy menyediakan cara yang sederhana dalam memahami persoalan yang samar-samar, ambigu, dan pengetahuan yang tidak pasti. Hal tersebut membedakan antara pendekatan
fuzzy
dan
pendekatan
logika
Boolean.
Dalam
pendekatan
menggunakan logika Boolean, setiap pernyataan hanya memiliki dua pilihan, benar atau salah yang disimbolkan dengan nilai 1 (benar) dan 0 (salah). Secara matematik, himpunan Boolean menggunakan persyaratan keanggotaan yang kaku. Sebaliknya himpunan fuzzy memiliki persyaratan keanggotaan yang lebih fleksibel sehingga memungkinkan adanya keanggotaan sebagian dalam suatu himpunan. Berbagai hal ditentukan sebagai persoalan kedekatan, dan argumen yang pasti benar dianggap sebagai faktor pembatas dari kondisi yang tidak pasti. Oleh karena itu, logika Boolean merupakan himpunan bagian dari logika fuzzy. Dalam kehidupan sehari-hari, proses pengambilan keputusan tidak dapat dilakukan sepenuhnya hanya dengan menggunakan pendekatan yang bersifat rigid dan kaku (Saaty 1980). Keterlibatan manusia dalam proses analisis keputusan sebagai bagian dari proses pengambilan keputusan, akan mempertimbangkan aspek subyektifitas, ketimbang hanya menggunakan ukuran peluang secara obyektif. Kondisi ini menyebabkan pengambilan keputusan menggunakan metode fuzzy menjadi penting (Burrough 1996).
11
2.2.1 Multi-Atribute Decision Making (MADM) Teknik yang digunakan dalam metode MADM dibagi menjadi dua metode, yaitu; (1) metode MADM yang menggunakan teknik non kompensasi (noncompensatory) dan (2) metode MADM yang menggunakan teknik kompensasi (compensatory). Teknik kompensasi dalam metode MADM terjadi jika seorang pengambil keputusan menganggap bahwa nilai suatu atribut dapat memberikan kompensasi terhadap nilai atribut lain yang memiliki nilai yang lebih rendah. Khususnya jika pada tahap analisis awal dilakukan, terdapat hal yang menunjukkan bahwa suatu alternatif pilihan tidak dapat mencapai standar minimum persyaratan yang dibutuhkan. Metode yang menggabungkan perpaduan tradeoff (pertukaran) antara hasil yang tinggi dan rendah dalam analisis disebut metode kompensasi, sedangkan yang tidak melakukan proses perpaduan tersebut disebut metode non-kompensasi. Hwang dan Yoon (1981) dalam Kahraman (2008) menguraikan bahwa dalam pendekatan MADM terdapat dua puluh jenis metode dan teknik analisis yang dapat digunakan, yaitu; metode dominan, maximin, maximax, konjungtif, disjungtif, leksikograf, leksikograf semi-order, eliminasi, metode penilaian linier, penambahan dengan pembobotan, pembobotan hasil, kriteria investasi modal secara non-traditional, TOPSIS, pendekatan jarak, proses hirarki analisis, outranking, model kegunaan multi-atribut, proses jaringan analisis, analisis pengembangan data, dan integral fuzzy multi-atribut. Uraian masing-masing teknik analisis tersebut secara ringkas disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Uraian ringkas metode dalam pendekatan MADM Metode 1
Dominan
Uraian Suatu alternatif keputusan disebut “didominasi” jika terdapat alternatif keputusan yang tidak menunjukkan performa dengan alternatif pilihan tersebut paling tidak pada satu atribut dan menunjukkan performa yang sama dengan sisa atribut lainnya. Dengan metode dominan, alternatif pilihan akan terseleksi, sehingga semua alternatif yang memiliki pengaruh dominan akan dibuang. Kemampuan metode ini dalam melakukan proses seleksi cenderung akan memperbesar jumlah atribut yang bersifat independen.
12
Tabel 1 (Lanjutan) Metode 2
Maximin
3
Konjungtif (Kepuasan)
4
Maximax
5
Disjungtif (Kebalikan)
6
Leksikograf
7
Leksikograf semi-order
Uraian Prisip utama pendekatan ini adalah suatu rantai akan memiliki kekuatan dengan jaringan yang paling lemah. Secara efektif, metode ini akan memberi nilai setiap alternatif yang setara dengan kekuatan dari kelemahan jaringannya, dimana jaringan tersebut merupakan atribut keputusan. Dengan demikian setiap jaringan memerlukan penyajian (dalam hubungannya dengan atribut) yang dapat diukur dalam unit yang sepadan atau dinormalisasi lebih dahulu dalam menyajikan metode ini. Teknik analisis ini murni merupakan metode seleksi/pemilihan. Persyaratan yang dibutuhkan dalam mengaplikasikan metode ini adalah suatu kriteria harus melampaui ambang nilai performa tertentu untuk seluruh atribut. Nilai atribut (yang menjadi nilai ambang) tidak harus terukur dalam unit analisis yang sama. Fokus utama metode ini adalah menentukan besaran nilai kepentingan atribut pada masing-masing alternatif yang menunjukkan hasil terbaik. Sesuai dengan analogi rantai yang digunakan pada metode maximin, maka pendekatan pada metode maximax adalah membandingkan rantai alternatif pilihan dalam menentukan hubungan terkuat (atribut). Nilai dari setiap rantai (alternatif) adalah sama dengan kekuatan yang ditunjukkan oleh hubungan terkuat atributnya. Metode ini juga memerlukan atribut yang setara melalui proses normalisasi. Metode ini juga murni merupakan metode seleksi. Metode ini melengkapi metode konjuntif, menggantikan “atau” pada tempat “dan”. Oleh karena itu, untuk melewati teknik seleksi disjungtif, suatu alternatif keputusan harus melampaui ambang performa tertentu minimal satu atribut. Sama halnya dengan metode konjuntif, metode ini tidak memerlukan atribut yang harus memiliki nilai unit analisis yang sama. Aplikasi yang paling umum digunakan pada metode ini adalah teknik pengurutan abjad huruf dalam kamus. Dengan metode ini, berbagai atribut dirangking berdasarkan urutan kepentingannya. Alternatif keputusan ditentukan dengan performa terbaik berdasarkan atribut yang paling penting, dan selanjutnya dipilih. Jika terdapat ikatan, dalam hubungannya dengan atribut tertentu, maka atribut yang paling penting berikutnya akan dipilih, dan seterusnya. Terdapat 2 cara penting, dimana masalah MADM berbeda dari metode pengurutan abjad huruf dalam kamus; (1). Hanya terdapat sedikit alternatif dalam masalah MADM daripada jumlah kata dalam kamus (2). Jika dalam matriks keputusan terdapat nilai atribut kuatitatif, maka secara efektif akan terdapat sejumlah nilai yang tidak terbatas (lebih dari 26) dari nilai yang mungkin memiliki peluang ikatan yang lemah. Metode ini merupakan variasi lain dari metode leksikograp yang lebih sederhana, dimana ikatan terdekat dapat digunakan untuk menghitung nilai ikatan tanpa memberikan pengurangan nilai pada alternatif, dimana nilai skor yang lebih rendah dari nilai toleransi. Perhitungan ikatan terdekat sebagai nilai ikatan menyebabkan metode ini menyerupai metode perangkingan dan lebih sesuai untuk pendekatan MADM dengan data kuantitatif dalam matriks keputusan. Namun demikian, metode ini dapat memberikan hasil yang saling melengkapi dimana A dipilih untuk B, B dipilih untuk C, namun C dipilih untuk A.
13
Tabel 1 (Lanjutan) Metode 8
Eliminasi pada aspek
9
Metode penetapan linier
10 Penjumlahan bobot
11 Produk bobot
12 Kriteria investasi modal nontradisional
13 TOPSIS
Uraian Metode ini adalah bentuk formal dari model heuristik yang dikenal sebagai proses eliminasi. Sama halnya dengan metode leksikograf, proses evaluasi akan menghasilkan satu atribut setiap saat, yang dimulai dengan atribut yang dianggap paling penting. Jika terdapat atribut yang tidak memenuhi persyaratan minimum, yang diukur dengan satu atribut tertentu, maka atribut tersebut akan dieliminasi. Proses tersebut akan diulangi hingga hanya akan tersisa satu atribut, meskipun penyesuaian terhadap nilai ambang dibutuhkan pada kasus tertentu untuk memperoleh solusi yang tertentu. Metode ini (sebagai tambahan pada data matriks keputusan) memerlukan bobot kepentingan dalam bentuk jenis data kardinal untuk setiap atribut dan rangking dari setiap alternatif yang berhubungan dengan atribut. Syarat informasi ini berada pada level menengah antara metode yang telah diuraikan sebelumnya dan metode yang diuraikan berikut, sehingga memerlukan kriteria rangking pilihan ordinal dari berbagai alternatif yang berhubungan dengan atribut. Tambahan informasi memungkinkan dilakukannya analisis kompensasi dibandingkan analisis non-kompensasi, sehingga kompensasi terhadap suatu atribut dapat dilakukan. Nilai dari sejumlah alternatif setara dengan jumlah bobot evaluasi kardinal (rangking pilihan), dimana bobot tersebut merupakan bobot kepentingan yang menyangkut setiap atribut. Hasil dari skor kardinal untuk setiap alternatif dapat digunakan untuk rangking, seleksi dan penentuan suatu alternatif. Metode PHA merupakan salah satu metode yang umum digunakan dalam teknik ini. Metode ini sama dengan metode penjumlahan bobot. Namun demikian, sebagai pengganti dari perhitungan sub-skor yang memperkalikan skor penilaian dan kepentingan atribut, maka skor penilaian ditingkatkan levelnya menjadi kekuatan bobot kepentingan atribut. Selanjutnya ketimbang menjumlahkan hasil subskor sejumlah atribut untuk memperoleh skor total, maka skor produk diubah menjadi skor alternatif akhir. Metode ini memerlukan perbandingan berpasangan dari hasil yang diperoleh (pada alternatif yang tersedia) diantara atribut untuk alternatif tertentu. Atribut harus diukur dalam satuan moneter. Perbandingan-perbandingan tersebut lalu digabungkan untuk mengestimasi nilai moneter pada setiap hasil yang diperoleh dan nilai tersebut kemudian dijumlahkan untuk memperoleh nilai perkiraan total dari setiap alternatif. Nilai perkiraan tersebut dapat digunakan untuk memilih alternatif, merangking pilihan, atau menyeleksi pilihan. Topsis (technique for order preference by similarity to ideal solution) merupakan metode pemilihan terhadap sejumlah alternatif yang didasarkan pada jarak terdekat terhadap solusi ideal, dan semakin jauh dari solusi negatif. Solusi ideal dibentuk sebagai hasil penyajian terbaik secara komposit yang ditunjukkan dalam matriks keputusan dari berbagai pilihan untuk setiap atribut. Solusi ideal negatif merupakan hasil komposit dari hasil penyajian yang bernilai paling jelek. Kedekatan terhadap masing-masing pusat hasil penyajian (terbaik dan terburuk) diukur dengan menggunakan persamaan Eucledian (misalnya; akar pangkat jumlah jarak pada setiap sumbu dari atribut keruangan) dengan pilihan bobot di setiap atribut.
14
Tabel 1 (Lanjutan) Metode 14 Jarak dari target
15 Proses hirarki analisis (PHA)
16 Model utilitas atribut jamak
17
Outrangking
Uraian Metode ini dan hasilnya dijelaskan secara langsung menggunakan grafik. Pertama, nilai target setiap atribut dipilih, yang tidak perlu disajikan dengan berbagai alternatif yang tersedia. Kemudian, alternatif pilihan dengan jarak terdekat (menggunakan persamaan Eucledian) dengan jarak target dalam atribut ruang dipilih. Dengan demikian pemboboton terhadap atribut memungkinkan dilakukan. Skor jarak dapat digunakan untuk menyeleksi, menyusun rangking, atau memilih alternatif yang lebih disukai. PHA merupakan metode penjumlahan bobot dan digunakan secara luas untuk berbagai kepentingan dan dilengkapi sejumlah perangkat lunak yang tersedia di pasaran. Pengambil keputusan terkadang mengalami kendala dalam menentukan bobot kepentingan data kardinal untuk sejumlah atribut secara serempak. Jika jumlah atribut meningkat, hasil terbaik akan diperoleh jika masalah keputusan disusun dalam sebuah matriks perbandingan berpasangan. PHA melakukan formalisasi proses konversi masalah pembobotan atribut menjadi matriks perbandingan berpasangan sehingga memudahkan menyelesaikan masalah dari sejumlah atribut yang saling berkompetisi. PHA meringkaskan hasil perbandingan berpasangan menjadi sebuah matriks perbandingan berpasangan. Untuk setiap pasangan atribut, pengambil keputusan menspesifikasi suatu penilaian dengan cara menentukan tingkat kepentingan suatu atribut dengan atribut yang lain. Teori utilitas merupakan pemilihan terhadap suatu solusi memuaskan sebagai upaya memaksimalkan kepuasan yang diperoleh dari sebuah proses pemilihan. Alternatif terbaik merupakan pilihan yang dapat memaksimalkan utilitas bagi struktur pilihan yang diinginkan pengambil keputusan. Model utilitas terdiri atas 2 jenis, yaitu; tipe penjumlahan, dan tipe perkalian model. Tahapan utama dalam melakukan model ini adalah (1) menentukan fungsi utilitas bagi setiap atribut, (2) menentukan bobot (factor skala), (3) menentukan tipe model utilitas yang digunakan, (4) menentukan nilai utilitas pada setiap alternatif pilihan dengan mempertimbangkan atribut tertentu khususnya pada atribut alternatif pilihan, dan (5) memilih alternative terbaik. Metode outranking (perangkingan lebih tinggi) terdiri atas ELECTRE, PROMETHEE, dan ORESTLE. Metode ini didasarkan atas pada bagaimana membuat suatu hubungan perangkingan menggunakan perbandingan berpasangan diantara berbagai pilihan pada setiap kriteria secara terpisah. Metode ini menghubungkan antara 2 jenis pilihan, dilambangkan dengan Ai Aj yang menjelaskan bahwa meskipun terdapat 2 pilihan i dan j tidak saling mendominasi satu sama lain secara matematik, pengambil keputusan dapat menerima resiko menyangkut pilihan terhadap Ai yang hampir pasti lebih baik dari Aj. Suatu alternatif didominasi, jika alternatif pilihan memiliki rangking lebih tinggi dari alternatif lainnya paling tidak pada satu kriteria dan sederajat dengan kriteria lainnya. Metode ELECTRE merupakan perbandingan berpasangan sejumlah alternatif berdasarkan derajat dimana evaluasi alternatif dan bobot pilihan memperkuat atau berbeda dengan hubungan dominasi berpasangan antara berbagai alternatif pilihan. Pengambil keputusan dapat menganggap bahwa dia kuat, lemah, atau memiliki pilihan lain atau bahkan tidak dapat menentukan pilihan antara dua alternatif yang dibandingkan.
15
Tabel 1 (Lanjutan) Metode 18 Proses jaringan analisis
19 Data envelopment analysis (DEA)
20 Multi-atribut integral fuzzy
2.2.2
Uraian Pada berbagai praktek pengambilan keputusan, terdapat situasi dimana bobot setiap kriteria berbeda untuk setiap alternatif. PHA memiliki keterbatasan dalam memberi perlakukan terhadap kasus demikian, dimana PHA memberi nilai bobot lokal yang sama pada setiap kriteria. Untuk mengatasi masalah tersebut, Saaty TL (1996) dalam Kahraman C (2008) mengusulkan untuk menggunakan proses jaringan analisis (Analytic Network Process/ANP). ANP memungkinkan penggunaan bobot kriteria berbeda untuk berbagai alternatif pilihan. Metode ini merupakan teknik analisis non-parametrik untuk mengukur efisiensi pengambilan keputusan pada satu unit pengambilan keputusan seperti perusahaan atau lembaga kebijakan publik. DEA merupakan perangkat pengukuran efisiensi yang secara teknis menggunakan metode riset operasi dan secara otomatis dapat menghitung bobot yang diberikan terhadap input dan output bobot dari suatu unit yang dinilai. DEA merupakan metode multikriteria non-parametrik yang tidak menggunakan data produksi, biaya, dan fungsi keuntungan. Ketika pilihan kebebasan yang bersifat timbal balik antara kriteria dapat diasumsikan, dengan mempertimbangkan bahwa fungsi utilitas bersifat penambahan dan berbentuk bobot jumlah. Asumsi pilihan kebebasan satu dengan lainnya diantara kriteria jarang dilakukan dalam kehidupan seharihari. Untuk dapat memahami fenomena interaksi di antara kriteria dalam perhitungan, diusulkan untuk mensubtitusi fungsi himpunan yang monoton pada himpunan atribut N disebut ukuran fuzzy pada vektor bobot yang digunakan dalam perhitungan jumlah terbobot. Pendekatan tersebut dianggap sebagai memasukkan ke dalam perhitungan bukan hanya tingkat kepentingan setiap kriteria namun juga kepentingan setiap bagian dari kriteria.
Multi-Objective Decision Making (MODM) Dalam aplikasi MODM, fungsi-fungsi aplikasi dilaksanakan dengan melihat
ukuran keberhasilan (pencapaian) dari sejumlah persyaratan yang ditentukan oleh pengambil keputusan (pencapaian hasil, kedekatan dengan titik ideal, kepuasan, dll) berdasarkan fungsi tujuan dan dilanjutkan denga proses menemukan titik kompromi yang baik. Metode yang digunakan dalam pendekatan MODM dapat dikategorikan dalam berbagai cara, misalnya menggunakan pendekatan berbentuk model (linear, non-linier, atau stokastik), pendekatan karakteristik ruang keputusan (terbatas atau tidak terbatas), atau pendekatan proses solusi (spesifikasi awal dari pilihan atau interaktif). Diantara metode MODM, terdapat pula multiobjective linear programming (MOLP) dan varian-variannya seperti multiobjective stochastic integer linear programming, MOLP interaktif, multi-objective goal programming (MOGoP); multi-objective geometric programming (MOGeP); multi-objective nonlinear fractional programming; multi-objective dynamic
16
programming; dan multi-objective genetic programming serta teknik compromise programming yang digunakan dalam penelitian ini. 2.3 Proses Hirarki Analisis (PHA) PHA merupakan salah satu metode yang paling umum digunakan dalam proses pengambilan keputusan multi kriteria (MCDM). PHA merupakan metode penilaian yang digunakan untuk memperoleh skala perbandingan berpasangan baik secara diskrit maupun kontinyu. Proses perbandingan tersebut dapat dilakukan dengan penilaian langsung atau menggunakan skala yang menunjukkan hubungan kekuatan secara relatif bahkan menggunakan perasaan (Saaty 1987; Saaty 1980). Namun demikian, penilaian tersebut dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang yang memiliki pengalaman dan keahlian sehingga dapat diperoleh hasil yang obyektif dan realistik (Saaty 1980). PHA merupakan metode yang dapat membantu para pengambil keputusan menghadapi persoalan yang kompleks, dimana terdapat tujuan dan kriteria keputusan yang saling bertentangan antara satu dengan lainnya. Jika dibandingkan dengan metode MCDM lainnya seperti ELECTRE, SMART, PROMETHEE, UTA, dll maka metode PHA masih lebih umum digunakan (Alessio dan Ashraf 2009). Bahkan integrasi PHA dalam SIG menghasilkan kombinasi metode pendukung pengambilan keputusan dengan kemampuan penyajian dan pemetaan dalam menghasilkan peta kesesuaian penggunaan lahan (Marinoni 2004). PHA merupakan salah satu metode MCDM yang menggunakan matriks perbandingan kriteria/indikator berpasangan untuk menentukan skala kepentingan diantara sejumlah alternatif pilihan yang tersedia (Alessio dan Ashraf 2009). Untuk menggunakan metode ini diperlukan beberapa tahapan hingga diperoleh bobot kepentingan di antara berbagai komponen pilihan yang tersedia. Saaty (2008) telah merumuskan langkah-langkah yang dilakukan dalam mengaplikasikan metode PHA: 1. Mendefinisikan masalah dan menentukan tujuan yang diharapkan 2. Menyusun struktur hirarki keputusan disertai sasaran pengambilan keputusan dari level tertinggi, lalu penentuan kriteria keputusan dari perspektif yang lebih makro pada sub level berikut, dilanjutkan pada sub kriteria keputusan
17
pada level yang lebih rendah (dimana komponen kriteria berada), hingga pada level akhir yang biasanya terdiri atas sejumlah alternatif pilihan 3. Menyusun matriks perbandingan berpasangan. Komponen keputusan yang berada pada level yang lebih tinggi digunakan untuk membandingkan komponen keputusan pada level yang lebih rendah 4. Menggunakan prioritas yang diperoleh dari matriks perbandingan berpasangan untuk membobot prioritas yang berada pada level berikutnya pada setiap komponen yang dianalisis. Lalu setiap komponen yang berada pada level yang lebih rendah dijumlahkan nilai bobotnya untuk memperoleh bobot akhir. Proses pembobotan tersebut tersebut diulang lalu hasilnya dijumlahkan hingga nilai prioritas akhir dari setiap alternatif pilihan diperoleh. 2.3.1 Formulasi Masalah dan Penyusunan Hirarki Keputusan Menurut Saaty (1980) dalam proses penyusunan hirarki keputusan terdapat sejumlah kriteria dan indikator beserta keterkaitannya yang berada di luar kemampuan seseorang untuk membandingkannya untuk menjadi sebuah informasi yang utuh. Hal tersebut menyebabkan salah satu aspek yang paling rumit untuk dirumuskan dalam sebuah proses pengambilan keputusan adalah menentukan struktur permasalahan dari sebuah persoalan. Oleh karena itu, struktur permasalahan yang baik menentukan proses pengambilan keputusan. PHA sebagai sebuah pendekatan MCDM menggunakan perbandingan kriteria berpasangan (matriks berpasangan) untuk menentukan skala pilihan terhadap sejumlah alternatif (Saaty 1977). Untuk mengaplikasikan hal tersebut, sejumlah persoalan yang ada harus disistematisasi menjadi sebuah struktur keputusan yang berhirarki, sehingga jika diaplikasikan pada sebuah sistem yang besar, sistem tersebut dapat dibagi menjadi sub-sistem yang lebih kecil. Hirarki merupakan sebuah tipe sistem yang bersifat khusus, yang didasarkan atas asumsi dari sebuah entitas obyek yang dapat diidentifikasi dan dikelompokkan menjadi komponen yang terpisah, dimana entitas sebuah kelompok mempengaruhi entitas kelompok lainnya dan sebaliknya. Komponen dari masing-masing hirarki kelompok (kriteria, indikator, level, tingkatan, dll) diasumsikan berdiri sendiri. Menurut Saaty (1980) penyusunan keputusan yang didasarkan pada model hirarki memiliki beberapa kelebihan, antara lain:
18
1. Hirarki merupakan representasi dari sebuah sistem yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana perubahan pada level yang lebih tinggi dapat mempengaruhi komponen sistem pada level yang lebih rendah. 2. Hirarki dapat memberikan informasi yang lebih detail tentang struktur dan fungsi dari sebuah sistem pada level yang lebih rendah dan memberikan gambaran tentang komponen lainnya yang berada pada level yang lebih tinggi. Kelemahan suatu komponen pada level tertentu dapat diungkapkan pada level yang lebih tinggi untuk memastikan bahwa komponen tersebut berada pada posisi yang tepat. 3. Sistem alam disusun secara hirarki yang berevolusi secara efisien dibandingkan dengan sistem yang disusun secara utuh. 4. Hirarki bersifat stabil dan fleksibel. Perubahan yang sifatnya kecil dapat memberi
dampak
yang
kecil,
sedangkan
fleksibel
sebab
perubahan/penambahan struktur hirarki yang baik tidak akan mempengaruhi hasil pembobotan. Gambar 1 memberikan sebuah ilustrasi tentang proses pengambilan keputusan yang dilakukan berdasarkan model hirarki.
Tujuan
Level 1
Level 2
Level 3
Kriteria 1
Kriteria 2
Alternatif 1
Kriteria 3
Alternatif 2
Kriteria 4
Alternatif 3
Gambar 1 Struktur masalah dengan tiga level hirarki. Menurut Saaty (2008) untuk membuat sebuah keputusan yang disusun dengan sejumlah hirarki prioritas diperlukan tahapan berikut: 1. Menyusun formulasi masalah dan jenis penyelesaian masalah yang akan digunakan
19
2. Menentukan struktur hirarki keputusan, dari tingkat lebih umum (kriteria) hingga ke tingkat yang lebih detail (indikator) 3. Menyusun matriks perbandingan berpasangan atas kriteria dan indikator yang digunakan 4. Menggunakan prioritas keputusan yang dihasilkan sebagai bobot derajat kepentingan untuk setiap kriteria dan indikator Alessio dan Ashraf (2009) menyatakan bahwa struktur masalah dalam PHA dapat dikategorikan menjadi tiga komponen; (1). Menentukan tujuan yang akan dicapai, (2). Menyusun kriteria yang akan digunakan, dan (3). Menentukan alternatif pilihan atas keputusan yang akan diambil. 2.3.2 Penentuan Bobot Kepentingan dan Pengujian Konsistensi Untuk menentukan bobot kepentingan, PHA menentukan nilai eigenvector dan eigenvalue (dijelaskan kemudian) dari matriks perbandingan berpasangan yang berisi pilihan kepentingan antara sejumlah komponen. Proses tersebut dilakukan dengan membandingkan tingkat kepentingan suatu komponen dengan komponen lain menggunakan matriks perbandingan yang mengukur kepentingan relatif dari masing-masing komponen. Matriks perbandingan berpasangan digunakan untuk menentukan vektor prioritas (eigenvector) dari suatu komponen tertentu dengan membandingkan setiap kriteria/indikator secara berpasangan sesuai dengan tujuan keputusan. Jika terdapat suatu matriks penilaian, disimbolkan A, memiliki nilai aij yang merupakan matriks perbandingan antara baris pada komponen Ai dengan kolom pada komponen Aj maka akan diperoleh sejumlah matriks penilaian n x n yang memenuhi persamaan berikut: A = (aij),
(i , j= 1; 2; ………. N)
(2)
Jika proses tersebut dilakukan pada sejumlah n kriteria/indikator maka akan dihasilkan matriks berpasangan sejumlah kriteria/indikator tersebut. Misalnya pada Gambar 1 terdapat 4 kriteria (level 2) untuk komponen pengambilan keputusan maka akan diperoleh matriks 4 x 4 sebagai berikut: [
]
(3)
20
Menurut Saaty (1986) terdapat empat aksioma yang menjadi dasar teori validitas matriks berpasangan, sehingga jika suatu komponen aij dimasukkan ke dalam sebuah matriks A maka didefinisikan sebagai berikut: 1. Matriks perbandingan berpasangan. Jika aij = α, maka aji = 1/α, α ≠ 0 2. Homogenitas. Jika komponen pada baris i dianggap memiliki kepentingan yang sama dengan komponen pada kolom j, maka aij = 1, aji = 1, khususnya jika ai1 = 1 untuk semua nilai i, sehingga matriks A akan memiliki bentuk berpasangan sebagai berikut: ⁄ [ ⁄
(4) ⁄
]
3. Independen. Jika pilihan telah ditetapkan pada suatu kriteria tertentu, maka setiap kriteria dianggap independen dari komponen alternatif keputusan. 4. Harapan. Jika suatu struktur hirarki masalah keputusan telah diusulkan, maka struktur tersebut dianggap telah sempurna. Untuk menentukan skala kepentingan antar komponen, Saaty (2000) dalam Ramanathan (2001) dan Saaty (2008) menggunakan skala penilaian untuk mentransformasikan penilaian verbal menjadi penilaian kuantitatif menggunakan nilai vektor untuk menentukan nilai dari setiap komponen aij. Skala penilaian tersebut menggunakan nilai perbandingan dari 1 hingga 9 untuk menentukan tingkat kepentingan suatu komponen, dimana nilai 1 berarti “sama penting” hingga 9 berarti “kepentingan ekstrim” (Tabel 2). Penentuan bobot kepentingan dalam PHA dilakukan dengan mengisi baris dan kolom matriks yang dimulai dari sisi baris matriks yang dibandingkan dengan komponen yang sama di bagian kolom pada urutan yang sama dengan baris matriks (Saaty 2007) sehingga memenuhi persamaan 4 (Cay dan Uyan 2013). Jika matriks penilaian berpasangan komponen kriteria telah disusun, maka nilai eigenvector (vektor prioritas) dapat diperoleh dengan melakukan proses normalisasi terhadap matriks berpasangan. Proses normalisasi dilakukan dengan membagi setiap nilai kolom j dengan jumlah kolom j sebagai berikut:
21
∑
∑
∑
Aw =
(5) [∑
∑
∑
]
Tabel 2 Skala kepentingan dalam PHA Intensitas kepentingan 1 2 3
4 5
6 7
8 9
Defenisi
Keterangan
Sama penting (Equal importance) Lemah, sedikit (Weak/slight) Agak penting (Moderate importance)
Dua aktifitas berkontribusi sama terhadap tujuan
Pengalaman dan penilaian sendiri sedikit menentukan kepentingan suatu aktifitas terhadap aktifitas lainnya
Agak lebih penting (Moderate plus) Cukup penting (Strong importance)
Pengalaman dan penilaian sendiri sangat menentukan kepentingan suatu aktifitas terhadap aktifitas lainnya
Penting (Strong plus) Sangat penting (Very strong)
Pengalaman dan penilaian menunjukkan kesukaan yang kuat atas suatu aktifitas lebih dari aktifitas lainnya
Sangat-sangat penting (very, very strong) Kepentingan mendesak (Extreme importance)
Pengalaman menunjukkan bahwa kesukaan terhadap sesuatu sangat lebih dibandingkan dengan kesukaan lainnya.
Proses tersebut dilanjutkan dengan menghitung nilai rata-rata matriks setiap baris i (dinotasikan dengan Ci), sehingga nilai Ci menunjukkan nilai tingkat kepentingan relatif (vektor prioritas) dari setiap komponen (Cay dan Uyan 2013). Suatu vektor prioritas juga harus mereproduksi dirinya sendiri dalam bentuk nilai skala rasio sebab nilai tersebut menentukan urutan kepentingan (vektor prioritas) setiap komponen (Saaty 2003). Proses perhitungan vektor prioritas tersaji pada persamaan di bawah ini: ∑
C=[
∑
∑
]=
(6) [
∑
∑
∑
]
22
Eigenvector (Vektor prioritas) juga berperan penting dalam menjaga konsistensi nilai matriks berpasangan, jika hasil perhitungan konsistensi rasio (CR) tidak konsisten. Perubahan terhadap matriks perbandingan berpasangan untuk memperoleh nilai CR yang konsisten menyebabkan eigenvector menjadi tidak valid (Saaty 1980). Selanjutnya uji konsistensi dilakukan dari bobot nilai matriks C (vektor prioritas). Prosedur pengujian rasio konsistensi dilakukan dengan tahap sebagai berikut: 1. Melakukan operasi perkalian matriks AC (vektor prioritas): AC = [
] x [
] = [
]
(7)
2. Perhitungan λmax dilakukan menggunakan persamaan berikut: λmax =
∑
(8)
dimana n = matriks dan λmax merupakan nilai eigenvalue dari matriks perbandingan berpasangan. 3. Penentuan nilai indeks konsistensi (CI) dilakukan dengan persamaan berikut: CI =
(9)
4. Validasi konsistensi dari matriks perbandingan berpasangan dilakukan dengan menentukan rasio konsistensi (CR) melalui persamaan berikut: CR =
(10)
Nilai random indeks (RI) disajikan pada Tabel 12. Jika CR ≤ 0.10 maka tingkat konsistensi dapat diterima, namun jika nilai CR > 0.10 maka vektor prioritas sebagai bobot kepentingan mungkin tidak memberikan arti apa-apa (Saaty 1980). CR merupakan nilai acak probabilitas yang dihasilkan dari matriks perbandingan berpasangan (Saaty 2008). Tabel 3 Nilai random indeks (RI) Ukuran matriks
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Random indeks (RI)
0
0
0.58
0.9
1.12
1.24
1.32
1.41
1.45
1.49
1.51
1.48
1.56
1.57
1.59
23
2.3.3 Pengambilan Keputusan Berkelompok Saat awal digunakan PHA didesain hanya untuk memperoleh pendapat dari satu orang pengambil keputusan. Namun seiring dengan perkembangan situasi yang membutuhkan kemampuan manajerial yang bersifat multi-dimensi, pendapat berbagai bidang keahlian semakin diperlukan dalam suatu proses pengambilan keputusan. Hal tersebut mendorong perkembangan penggunaan PHA dalam proses pengambilan keputusan yang dihasilkan dari pendapat sekelompok orang (Saaty 1989; Tung et al. 2012). Sejumlah penelitian yang berfokus pada penyusunan hirarki kelompok dalam pengambilan keputusan telah dilakukan dengan membandingkan komponen dalam hirarki dan proses agregasi bobot. Terdapat empat pendekatan dasar yang dapat digunakan untuk menentukan bobot kepentingan dalam suatu hirarki, yaitu: (1) konsensus, (2) pilihan atau kompromi, (3) rata-rata geometrik penilaian individu, dan (4) bobot rata-rata aritmetik (Tung et al. 2012). Aczel dan Saaty (1983) telah menegaskan bahwa rata-rata geometrik dapat mempertahankan aspek timbal balik (reciprocal) dalam sebuah matriks perbandingan berpasangan. Dengan demikian, rata-rata geometrik dianggap konsisten dan dapat mempertahankan empat aksioma yang mendasari proses PHA seperti jika dilakukan terhadap pendapat individu (Duke dan Aull-Hyde 2002). Hal tersebut menyebabkan rata-rata geometrik merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan dalam menentukan prioritas kelompok (Tung et al. 2012). Jika terdapat sejumlah m responden maka penilaian komposit nilai aij merupakan rata-rata geometrik dari nilai aij yang didefinisikan dengan persamaan berikut: = (∏ Penggunaan nilai rata-rata geometrik
)
(11)
terhadap sejumlah bobot numerik w1,
w2,……,wn dilakukan untuk menghasilkan tingkat kepentingan relatif setiap komponen yang terdapat pada masing-masing atribut. Bobot numerik ini menunjukkan bobot kepentingan relatif vektor dimana ∑ himpunan bobot numerik
.
Suatu
v1, v2, ….., vn juga dihitung untuk menunjukkan
24
tingkat kepentingan relatif atribut secara umum. Bobot numerik tersebut menunjukkan vektor bobot kepentingan relatif untuk atribut secara keseluruhan dimana ∑
. Proses pengolahan PHA dapat dilakukan dalam program
spreadsheet dan hasil penentuan rasio konsistensi dilakukan pada level agregat. 2.4
Evaluasi Lahan Evaluasi lahan merupakan upaya untuk mengusahakan suatu jenis
penggunaan lahan sesuai dengan kapasitas yang terdapat pada lahan tersebut (FAO 1976). Proses analisis evaluasi lahan merupakan proses pengelompokan suatu areal lahan yang sesuai dengan rencana peruntukannya. Oleh sebab itu, proses evaluasi lahan dilakukan berdasarkan karakteristik yang terdapat pada suatu lahan dan tidak melibatkan upaya untuk membuat distribusi alokasi lahan dalam mencapai tujuan optimalisasi. Dengan demikian, proses evaluasi lahan merupakan salah satu faktor dalam menentukan alokasi lahan secara optimal (Rossiter 1996). Tujuan utama evaluasi lahan adalah melakukan pendugaan terhadap kapasitas yang terdapat pada suatu unit lahan sehingga dapat mendukung peruntukan penggunaan lahan tertentu hingga jangka waktu yang lama tanpa menimbulkan kerusakan dan dilakukan dalam rangka meminimalkan biaya sosial ekonomi dan lingkungan. Proses evaluasi lahan dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai cara dan model, sehingga pilihan terhadap model yang akan digunakan akan menentukan cakupan dan akurasi hasil evaluasi. Selain itu, pertimbangan yang digunakan dalam melakukan evaluasi lahan dapat beragam, antara lain; tujuan evaluasi, data yang tersedia, pemahaman terhadap hubungan antara tanah dan penggunaan lahan, luas areal yang dievaluasi, akurasi hasil yang diinginkan, serta dinamika spasial dan temporal jenis penggunaan lahan. Tantangan utama yang dihadapi dalam melakukan evaluasi lahan adalah membuktikan hubungan hasil evaluasi terhadap berbagai tekanan terhadap masalah penggunaan lahan yang terjadi dewasa ini. Pendugaan hasil evaluasi lahan hanya dapat bermanfaat jika dapat digunakan oleh para pengambil keputusan, termasuk pengguna lahan untuk kepentingan individu, kelompok dan pemerintah, untuk menghasilkan keputusan yang lebih baik (Rossiter 1996).
25
Proses evaluasi lahan menyediakan berbagai informasi tentang potensi sumberdaya lahan yang terdapat di suatu wilayah. Namun demikian, informasi tersebut seringkali tidak dapat digunakan dalam perencanaan dan implementasi untuk penggunaan lahan yang lebih baik disebabkan oleh berbagai kendala. Salah satu kendala yang dihadapi adalah perbedaan pilihan jenis penggunaan lahan antara pemerintah dan masyarakat. Perbedaan tersebut terjadi akibat pendekatan perencanaan yang bersifat top-down yang kurang mengakomodir kepentingan, kemampuan, dan kendala yang dihadapi oleh masyarakat di tingkat lokal (Bronsveld et al. 1994). 2.4.1
Pendekatan Fuzzy Set dalam Evaluasi Lahan Pendekatan fuzzy set merupakan salah satu model pendekatan yang
umumnya digunakan dalam menyajikan suatu obyek atau fenomena yang berbentuk kontinyu, jika obyek/fenomena tersebut tidak memiliki batas kelas yang bersifat tegas. Dalam bidang evaluasi lahan, pendekatan tersebut dapat digunakan dalam menyajikan obyek yang berhubungan dengan kualitas/karakteristik lahan (Burrough 1996). Menurut Banai (1993) dalam Baja et al. (2002) terdapat tiga hal yang membedakan antara evaluasi lahan yang dilakukan menggunakan metode Boolean dan metode fuzzy set, yaitu: 1. Dalam teknik klasifikasi menggunakan metode Boolean batas suatu kelas ditentukan secara pasti, adapun pada metode fuzzy set batas tersebut memungkinkan ditentukan secara fleksibel. 2. Dalam metode Boolean hanya terdapat dua kemungkinan; yaitu suatu obyek termasuk ke dalam himpunan kelompok atau berada di luar himpunan kelompok (benar atau salah), sedangkan dalam metode fuzzy set jarak kedekatan suatu obyek terhadap kondisi ideal yang diinginkan turut dipertimbangkan. 3. Berbeda dengan metode fuzzy set, logika Boolean tidak mempertimbangkan sebagian keanggotaan dari suatu himpunan bagian. Suatu obyek A yang didefinisikan menggunakan fuzzy set dapat ditulis dengan persamaan berikut:
26
A = {x, µA(x)}x ε X dimana; X µA(x)
(12)
= {x}, himpunan (kumpulan) obyek (spasial) yang jumlahnya terbatas = derajat keanggotaan (MF) X terhadap sekumpulan obyek A
Dengan demikian, kumpulan obyek fuzzy dijelaskan oleh nilai MF yang mendefiniskan derajat keanggotaan suatu obyek fuzzy secara simultan, yang terdiri atas obyek dan derajat keanggotaannya. Nilai MF dalam kumpulan obyek fuzzy menentukan tingkat keanggotaan obyek x dalam himpunan obyek A. Mc Bratney dan Odeh (1997) menguraikan bahwa terdapat berbagai cara untuk memperoleh derajat keanggotaan dalam metode fuzzy. Dalam bidang yang berhubungan dengan aspek lingkungan dan sumberdaya alam, terdapat dua pendekatan yang berbeda (namun saling melengkapi) yang sering digunakan untuk mengelompokkan sejumlah obyek ke dalam fungsi keanggotaan fuzzy. Pendekatan pertama adalah model hubungan kemiripan (similarity relation model/SRM) dan pendekatan kedua adalah model impor semantik (semantic import model/SIM), yang diuraikan sebagai berikut:
Pendekatan similarity relation model (SRM) atau pendekatan fuzzy c-means (FCM), merupakan model pengamatan terhadap obyek yang secara statistik multi-variat dipisahkan secara relatif seimbang, sehingga penentuan jumlah kelas tidak dilakukan atas dasar nilai tertentu.
Pendekatan sematic import model (SIM), merupakan pendekatan dimana nilai MF ditentukan tanpa mengacu pada nilai tertentu. Dalam pendekatan SIM, penentuan nilai MF lebih mudah dilakukan sebab batas kelas MF bersumber dari variabel yang telah ditentukan (Burrough 1989). Penentuan batas kelas dilakukan berdasarkan pengalaman dan secara konvensional batas ditentukan sebelum obyek dikelompokkan berdasarkan jarak kedekatan suatu obyek dengan persyaratan suatu kelas. Kadang-kadang nilai MF dianggap sangat sederhana dan merupakan perluasan model logika Boolean, sehingga dengan alasan tersebut, pendekatan ini diaplikasikan dalam model evaluasi lahan. Jika batas suatu kelas belum ditentukan, maka pendekatan FCM dapat
27
dilakukan untuk menentukan batas kelas kesesuaian yang dapat digunakan dalam pendekatan SIM. Menurut Burrough dan McDonnel (1998) dalam pendekatan SIM, jika derajat keanggotaan MF pada obyek xi merupakan representasi dari nilai MF ke-i untuk suatu persil lahan x maka pendekatan impor semantik (SIM) yang dilakukan dalam proses komputerisasi menggunakan persamaan berikut: [
] (
{
dan 0 ≤
(13)
} )
dimana; MF(xi) = nilai derajat keanggotaan (MF) ke-i untuk persil lahan x r = lebar zona transisi (nilai x pada MF = 0.5 atau nilai CP (crossover point)/titik infleksi xi = nilai ke-i indikator lahan x b = nilai dari indikator (atribut) lahan x pada titik ideal atau indeks standar Persamaan 13 digunakan untuk menentukan derajat keanggotaan dari kualitas lahan yang menggunakan fungsi kurva simetrik, dimana hanya terdapat satu titik ideal (nilai b = c) yang menjadi pusat (Gambar 2: model simetrik 1). Selain itu, dapat pula digunakan kurva model simetrik 2 jika terdapat dua titik optimum dengan persamaan berikut: MF(xi) = 1 jika (b + r1) ≤ Xi ≤ (c - r2)
(14)
Jika fungsi model simetrik 2 dilakukan maka perhitungan nilai keanggotaan fuzzy algoritma akan dilakukan dua kali, masing-masing untuk nilai b dan r. Namun dalam perangkat SIG menggunakan modul Idrisi, hal tersebut dapat dilakukan dengan memasukkan nilai indikator (a, b, c, dan d), sehingga proses tersebut dapat dijalankan sekaligus. Dalam penilaian kualitas lahan juga terdapat situasi dimana hanya terdapat batas kelas yang lebih rendah atau lebih tinggi. Dalam kondisi seperti ini, fungsi kurva asimetrik dapat digunakan. Fungsi kurva asimetrik kiri digunakan untuk menentukan batas kelas yang lebih rendah, sedangkan fungsi kurva asimetrik kanan digunakan untuk menentukan batas kelas yang lebih tinggi, yang dapat disusun dalam bentuk persamaan berikut:
28
Model asimetrik kiri;
[
] {
(
Model asimetrik kanan;
[
(
jika Xi < (b + r1)
} )
{
]
} )
jika Xi > (c - r2)
(15)
(16)
Dengan kata lain fungsi asimetrik kiri berlaku bila MFxi = 1 jika xi ≥ b; dan fungsi asimetrik kanan berlaku jika MFxi = 1 jika xi ≤ c; fungsi asimetrik kanan. Gambar 2 menyajikan kurva model S yang digunakan dalam persamaan fungsi fuzzy set.
Gambar 2 Kurva model S metode fuzzy set untuk evaluasi lahan. Keterangan: MF = a = d = b, c = r1, r2 =
derajat keanggotaan (membership function) titik infleksi terendah (lower crossover point/LCP) titik infleksi tertinggi (upper crossover point/UCP) titik optimum rentang (spread), kisaran nilai titik infleksi dan titik optimum
Kurva simetrik (symmetric) berlaku untuk karateristik lahan yang memiliki kinerja optimum pada kisaran sedang, seperti temperatur udara, curah hujan dan pH tanah. Kurva asimetrik kiri digunakan untuk menilai karakteristik lahan yang memiliki sifat semakin besar semakin baik (the more the better/monotonically increasing) seperti kedalaman efektif, KTK, dan kejenuhan basa, sedangkan kurva asimetrik kanan berlaku untuk karakteristik lahan yang memiliki sifat semakin
29
kecil semakin baik (the less the better/monotonically decreasing), seperti drainase tanah, tekstur, lereng, bahaya erosi, genangan, batuan permukaan, dan singkapan batuan. Mengingat setiap indikator lahan yang digunakan memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap jenis penggunaan lahan, maka nilai indikator untuk aspek rentang (r1, r2), titik optimum (b dan/atau c), dan titik infleksi (a dan/atau d) akan berbeda, tergantung pada respon dan persyaratan tumbuh komoditas tersebut terhadap masing-masing karakteristik lahan (Baja et al. 2002). Untuk menentukan nilai derajat keanggotaan kriteria (penggabungan indikator) dalam proses evaluasi lahan, dihitung dari nilai rata-rata kriteria menggunakan persamaan berikut: (∑
=
)
(17)
dimana:
m
= penggabungan nilai MF kriteria lahan ke-i = nilai indikator lahan ke-i = jumlah indikator di setiap kriteria/kelompok karakteristik lahan
Jika pembobotan dilakukan pada sejumlah n kriteria, maka nilai gabungan individu MF karakteristik lahan tersebut akan dikombinasikan menggunakan fungsi kombinasi untuk menghasilkan derajat keanggotaan gabungan (JMF) untuk seluruh atribut X, sebagaimana disajikan dalam persamaan berikut: ∑ 0≤ 0≤ λ1 + λ2 + λ3 + … λn = 1, dan 0 < λi < 1.0
(18)
dimana: JMF (X) = derajat keanggotaan gabungan untuk kriteria lahan ke-i = bobot faktor ke-i untuk lahan x = gabungan nilai MF kriteria lahan ke-i n = atribut lahan yang dipertimbangkan Untuk menentukan nilai indeks kesesuaian lahan (IKL) dilakukan proses operasi perkalian (fungsi minimal) nilai sel raster dengan persamaan sebagai berikut: IKLp(TPL) = JMF(Tp) x JMF(I(p)) x JMF(L(p))
(19)
dimana: IKLp(TPL) = indeks kesesuaian lahan untuk jenis penggunaan lahan tertentu (TPL) pada sel raster p
30
JMF(Tp) JMF(Ip) JMF(Lp)
= nilai JMF tanah pada sel raster p = nilai JMF iklim pada sel raster p = nilai JMF lereng pada sel raster p
2.4.2 Metode Kontinyu dalam Evaluasi Lahan Metode kontinyu (continuous method) merupakan istilah yang umum digunakan dalam proses evaluasi kesesuaian lahan (Baja 2012). Penggunaan metode kontinyu dipakai untuk membedakan dengan metode kategori yang digunakan pada model evaluasi lahan menggunakan logika Boolean. Dalam logika Boolean (metode kategori) pemberian batas antar kelas dan batas spasial (deleniasi batas unit lahan) memiliki batas yang tegas (hard boundary). Misalnya batas kelas kesesuaian lahan S1, S2, S3 (kelas sesuai), dan N (kelas tidak sesuai) atau batas wilayah (unit lahan). Metode kontinyu mendasarkan pemberian nilai pada indikator lahan dan ruang secara kontinyu, misalnya kesesuaian lahan untuk suatu lahan disajikan menggunakan interval nilai 0-1, dimana nilai 0 dianggap sangat buruk dan nilai 1 dianggap sangat baik. Secara spasial setiap areal lahan disajikan secara kontinyu, sehingga batas antar ruang/areal lahan merupakan batas yang tidak tegas (soft boundary). Metode kontinyu yang dalam evaluasi lahan menunjukkan pada nilai data yang berubah secara gradual menurut pergeseran antar sel data yang bertetangga. Metode kontinyu dalam fuzzy set menunjukkan perbedaan batas antar ruang (spasial) yang terjadi secara berangsur-angsur. Hal tersebut membedakan metode fuzzy set dengan metode Boolean. Dalam pendekatan logika Boolean defenisi batas ruang berlaku secara tegas sehingga menyebabkan sejumlah unit lahan yang seharusnya sesuai untuk penggunaan lahan tertentu menjadi tertolak. Akibatnya areal lahan yang masih sesuai dianggap tidak sesuai untuk penggunaan lahan tertentu. Hal ini menyebabkan kualitas analisis evaluasi lahan menggunakan teknik Boolean menjadi berkurang (Burrough et al. 1992). Dalam konteks ini pendekatan metode kontinyu memiliki peranan penting dalam proses evaluasi lahan.
31
2.5 Compromise Programming (CP) 2.5.1
Prinsip Dasar Compromise programming merupakan pendekatan multikriteria yang
mengindentifikasi solusi yang tidak dominan pada berbagai kondisi dan menjadi dasar terbaik dalam menyusun program yang bersifat interaktif (Tecle et al. 1988). Konsep tidak dominan dalam CP digunakan sebagai dasar menentukan alternatif terbaik dari sejumlah pilihan yang tersedia. Suatu solusi disebut tidak dominan jika tidak terdapat solusi lain yang menyebabkan perubahan terhadap nilai suatu obyek atau fungsi kriteria tanpa membuat nilai dari fungsi obyek lain berubah menjadi lebih buruk (Tecle dan Yitayew 1990). Oleh sebab itu, dalam konsep CP pilihan dominan atas sejumlah alternatif yang ada belum tentu menjadi alternatif terbaik dalam mencapai tujuan yang diharapkan. Pilihan terbaik dalam CP adalah pilihan hasil kompromi atas sejumlah alternatif pilihan yang tersedia (Strager dan Rosenberger 2007). Oleh sebab itu, dalam konteks alokasi lahan, persil lahan yang menjadi pilihan utama belum tentu merupakan pilihan ideal menurut tujuan yang diharapkan. Dalam konteks MCDM, prinsip jarak merupakan hal yang menyangkut pilihan bagi pengambil keputusan ketimbang merupakan sebuah pendekatan geometrik. Dalam penelitian ini hal tersebut diimplementasikan menggunakan pendekatan fuzzy dan dilambangkan dalam nilai indeks dengan interval 1 (nilai ideal/baik) hingga 0 (tidak ideal/buruk). Konteks titik ideal (ideal point) yang digunakan mengacu pada nilai yang mendekati angka 1 untuk setiap kriteria/indikator, sehingga pengambil keputusan dapat menentukan pilihannya berdasarkan suatu nilai indeks yang mendekati nilai 1. Perbedaan jarak nilai yang terdapat dalam setiap sel data raster dan nilai titik ideal yang terdapat di setiap indikator kemudian dihitung menggunakan persamaan Lp-metric. 2.5.2
Bidang Kartesian Dalam bidang kartesian, jarak antara 2 titik, misalnya titik x1 = (
titik x2 = (
dan
dihitung menggunakan persamaan dalil Phytagoras berikut: [
]
(20)
32
Konsep perhitungan jarak tersebut kemudian dikembangkan secara spasial untuk sejumlah titik ke-n, sehingga jarak antara titik x pada posisi ke-j dapat diubah pada persamaan berikut: d = *∑
(
) +
(21)
2.5.3 Pengukuran Jarak dalam CP Metode pengukuran jarak dalam CP yang umum digunakan adalah metode jarak Euledian (Persamaan 22). Model persamaan tersebut merupakan bagian dari model persamaan yang dikenal sebagai model persamaan Minkovsky atau persamaan Lp-metric dengan persamaan umum sebagai berikut: [∑
|
| ]
dimana = titik ideal (kondisi yang diharapkan) = nilai yang diperhitungkan dari titik j p = nilai parameter yang mengatur jarak antara = bobot kriteria titik ke-j
(22)
dan
Setiap nilai parameter p yang berbeda akan menghasilkan nilai jarak yang berbeda antara titik yang diperhitungkan (
dengan titik ideal ( ). Jika nilai p =
1 maka akan dihasilkan jarak geometrik yang maksimum antara dua titik. Dalam konteks evaluasi lahan, pengurangan satu unit dari satu kriteria akan dikompensasikan secara keseluruhan dengan nilai lain pada kriteria yang lain. Dalam kondisi demikian, jika nilai p = 2, maka nilai Lp-metric dapat menunjukkan nilai jarak Eucledian (Persamaan 22), dan hanya sebagian dari proses kompensasi yang dilakukan. Apabila nilai p menjadi lebih besar dari 10, maka deviasi terbesar pada |
| akan mendominasi proses evaluasi, dan
akan mencapai kondisi yang tidak bisa dikompensansi jika nilai p = ∞. Oleh sebab itu seluruh jarak yang terdapat dalam ruang yang dievaluasi akan dibatasi oleh jarak terjauh (L1-metric) dan jarak terpendek (L∞-metric) yang dikenal dengan model persamaan jarak Chebyshev (Baja et al. 2006).