II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi Basis model pertumbuhan ekonomi adalah teori yang dirumuskan oleh Solow (1956), seorang penerima hadiah Nobel, namun dalam model tersebut belum memasukkan faktor sumberdaya secara keseluruhan. Model ini kemudian diperluas dengan memasukkan faktor sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan jasa-jasa dalam mendapatkan dan pengelolannya. Namun demikian, model-model yang diperluas ini hanya diaplikasikan dalam konteks debat tentang ekonomi berkelanjutan, bukan dalam bentuk aplikasi makro ekonomi (Stern, 2003).
2.1.1. Model Pertumbuhan Solow Model-model pertumbuhan ekonomi menguji evolusi dari perekonomian secara hipotesis selamanya sebagai kuantitas dan/atau kualitas berbagai input dalam perubahan proses produksi. Disini akan dijabarkan model pertumbuhan Solow (1956) mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Stern (2003). Dalam model ukuran angkatan kerja konstan menyatakan bahwa kapital merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan output, dalam hal ini adalah pendapatan nasional. Model Neoklasik mengasumsikan output meningkat dengan tingkat yang semakin menurun apabila jumlah kapital yang digunakan meningkat seperti Gambar 6. Apabila penduduk diasumsikan konstan, maka hasil kali antara angkatan kerja dan tabungan merupakan proporsi konstan dari pendapatannya. Sehingga tabungan digunakan untuk menciptakan barang-barang kapital baru merupakan
16
proporsi konstan dari penyusutan stok kapital yang ada (dan menjadi kurang produktif) dalam setiap periode waktu.
Sumber: Stern, 2003 Gambar 6. Model Pertumbuhan Solow
Stok kapital dalam keadaan keseimbangan ketika tabungan sama dengan penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6 kurva Solow. Catatan bahwa kurva tabungan mempunyai bentuk yang sama seperti kurva output, tetapi lebih rendah untuk setiap nilai K (kapital). Ini disebabkan tabungan merupakan proporsi konstan, s, dari pendapatan. Dinamika yang digambarkan pada gambar kurva Solow sangat sederhana. Pada bagian sebelah kiri K, dimana kapital per tenaga kerja adalah langka, investasi kapital menghasilkan pendapatan yang relatif lebih besar pada masa mendatang, dan akan menawarkan tingkat pengembalian yang tinggi. Lebih lanjut dapat dilihat posisi relatif kurva S (stok kapital) dan D (depresiasi) disebelah kiri K yang menambah stok kapital lebih besar daripada depresiasi dan juga meningkatkan kapital. Namun (digambarkan
demikian, oleh
tingkat
tingkat
pengembalian
penurunan
dari
kapital
peningkatan
yang kurva
menurun output)
17
mengimplikasikan bahwa kenaikan berturut-turut dari kapital menghasil tambahan pendapatan yang menurun pada masa mendatang, sehingga tingkat pengembalian investasi turun. Oleh karenanya insentif untuk akumulasi kapital melemah. Ketika stok kapital menyentuh K, akan terjadi keadaan stationer atau keseimbangan. Penambahan kapital dengan tabungan untuk menutupi kerugian
dalam
pengurangan kapital karena depresiasi dan tingkat pengembalian investai akan jatuh ke titik dimana tidak ada insentif untuk akumulasi kapital yang lebih banyak. Dalam model ini, perekonomian akan lebih cepat atau lebih lambat menyentuh keadaan stationer apabila tidak ada (tambahan) investasi bersih, dan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya harus terhenti. Dalam suatu proses transisi, pada saat suatu negara bergerak melewati keadaan stationer ini, pertumbuhan dapat dan akan terjadi. Pada perekonomian terkebelakang, dengan stok kapital per tenaga kerja yang kecil, dapat mencapai pertumbuhan yang cepat dengan membangun stok kapitalnya. Tetapi seluruh perekonomian pada akhirnya akan menuju pertumbuhan keseimbangan nol jika tingkat tabungan konstan. Tidak ada negara dapat tumbuh secara kekal hanya dengan mengakumulasi kapital. Jika angkatan kerja tumbuh pada tingkat yang tetap sepanjang waktu, total stok kapital dan total kuantitas output akan meningkat tetapi kapital per tenaga kerja dan output per tenaga kerja akan tetap konstan apabila suatu perekonomian telah mencapai keseimbangannya. Hanya perlu penyesuaian pada gambar kurva Solow bahwa seluruh unit sekarang diukur dalam bentuk per kapita. Mengacu pada teori pertumbuhan Neoklasik, pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi dengan adanya kemajuan teknologi. Kuantitas dan kualitas output yang lebih baik dapat diproduksi dari sejumlah input yang sama. Dalam
18
model Solow yang telah dijelaskan, kemajuan teknologi secara kontinu menggeser fungsi output ke atas, sehingga meningkatkan keseimbangan stok kapital per kapita dan level output. Secara intuitif, peningkatan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi akan meningkatkan tingkat pengembalian kapital, sehingga dapat dinyatakan bahwa pengembalian kapital yang menurun sebaliknya akan menghambat pertumbuhan.
2.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen Model Solow yang telah diuraikan tidak menjelaskan bagaimana perbaikan teknologi terjadi. Model tersebut mengasumsikan perubahan teknologi terjadi secara eksogen, sehingga disebut juga dengan model perubahan teknologi eksogen. Model yang lebih terkini memberlakukan perubahan teknologi secara endogen, yakni menjelaskan kemajuan teknologi yang masuk dalam model sebagai keluaran dari keputusan yang diambil oleh perusahaan atau individual. Dalam model pertumbuhan endogen, hubungan antara kapital dan output dapat ditulis dalam bentuk Y = AK. Kapital, K, didefenisikan lebih luas daripada model Neoklasik, yaitu gabungan pabrik/mesin dan pengetahuan berbasis kapital. Teori pertumbuhan endogen ini telah menempatkan asumsi-asumsi yang rasional, unsur A diekspresikan sebagai konstanta, dan pertumbuhan dapat terjadi tidak terhingga sebagai akumulasi kapital. Poin kunci dari model pertumbuhan endogen adalah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk kapital yang terakumulasi melalui research and development (R&D)
dan proses penciptaan pengetahuan lainnya. Ilmu
pengetahuan dan teknologi mempunyai dua sifat khusus. Pertama, stok kapital
19
tidak habis karena digunakan, yang mengimplikasikan bahwa stok pengetahuan dapat dihasilkan sepanjang waktu, walaupun sedang digunakan. Kedua, menghasilkan eksternalitas positif dalam produksi: perusahaan yang melakukan R&D memperoleh benefit dari mendapatkan pengetahuan, perusahaan yang lain juga memperoleh manfaat. Ada beneficial spillovers (limpahan manfaat) bagi perekonomian dari proses R&D sehingga manfaat sosial dari inovasi melebihi manfaat swasta kepada innovator awal (Stern, 2003). Menurut Romer (1994) bahwa ide dasar dari teori pertumbuhan endogen adalah investasi kapital baik dalam bentuk mesin maupun manusia mampu menciptakan eksternal positif. Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam teori pertumbuhan endogen bahwa inovasi teknologi dan pembentukan modal manusia dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth). Teori pertumbuhan endogen mengasumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris (Todaro, 2000). Seiring dengan itu, Sachs dan Larrain (1993)
menyatakan bahwa model pertumbuhan endogen
memiliki asumsi increasing return to scale yang menyatakan bahwa ekonomi skala hasil yang meningkat tidak harus dicapai pada stedy state growth rate yang sama dengan laju pertumbuhan penduduk ditambah dengan labor autmenting technical progress. Pertumbuhan pada tingkat yang lebih tinggi harus bisa berlangsung secara berkesinambungan (self-sustaining). Dan teori pertumbuhan
20
endogen menolak asumsi penyusutan imbalan marginal atas investasi modal (diminishing marginal returns to capital investments) yang dipegang teguh oleh teori Neokalsik. Selanjutnya, Todaro (2000) mengatakan model pertumbuhan endogenus menekankan bahwa investasi dalam modal fisik dan modal manusia akan dapat ekonomi eksternal dan perningkatan produktivitas yang melebihi keuntungan pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan kelebihan itu cukup untuk mengimbangi penurunan skala hasil. Pada saat selanjutnya, hal tersebut menciptakan peluang-peluang investasi baru yang nantinya juga membuahkan ekonomi eksternal sehingga αpada persamaan Solow sama dengan 1. Itu berarti persamaan persamaan pertumbuhan neoklasik Y AK L1, diubah menjadi sebuah persamaan persamaan pertumbuhan endogen yaitu Y AK . Hasil akhirnya adalah peningkatan skala hasil yang mampu menciptakan proses pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Terciptanya hasil akhir dari teori pertumbuhan Endogenous justru tidak dipercaya oleh para penganut teori pertumbuhan Neoklasik Tradisonal. Model pertumbuhan endogen juga menekankan pentingnya tabungan dan investasi modal manusia dalam rangka mamacu pertumbuhan diberbagai negara berkembang. Namun teori ini mengemukakan beberapa implikasi tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang bertolak belakang dengan teori pertumbuhan Neoklasik Tradisional. Pertama, teori pertumbuhan endogen menyatakan tidak ada kekuatan khusus yang menghadirkan suatu proses pemerataan tingkat pertumbuhan ekonomi antar negara, khususnya bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian tertutup. Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional
21
masing-masing negara akan tetap konstan, dan satu sama lainnya akan tetap berbeda, karena hal itu sepenuhnya tergantung pada tingkat tabungan dan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing negara. Lebih lanjut dikemukan oleh Todaro (2000), sekalipun memiliki tingkat tabungan yang sama besarnya, negara-negara miskin tidak tidak akan mampu untuk mengejar ketinggalannya dalam hal pendapatan per kapita dari negara-negara kaya. Hal ini menimbulkan
konsekuensi
yakni
terjadinya
resesi
suatu
negara
akan
mengakibatkan peningkatan permanen atas kesenjangan pendapatan antar negara yang bersangkutan dengan negara-negara lain yang lebih kaya. Kedua, kemampuan untuk menjelaskan perilaku aneh atas arus permodalan
internasional
yang
cenderung
memperlebar
ketimpangan
kesejahteraan atar negara-negara Dunia Pertama dan negara-negara Dunia Ketiga. Bertolak dari model ini dapat diketahui bahwa potensi dari keuntungan investasi yang tinggi di negara berkembang yang rasio modal-tenaga kerja masih rendah, ternyata terkikis oleh rendahnya tingkat investasi komplementer (complenetary investments) dalam modal sumber daya manusia (terutama melalui pengembangan fasilitas dan pendidikan, sarana infrastruktur, serta aneka kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D). Negara-negara miskin juga tidak banyak mendapatkan manfaat dari keuntungan-keuntungan sosial yang lebih luas yang muncul dari penyediaan modal untuk menggarap bidang-bidang tersebut. Karena individuindividu di negara-negara miskin tidak memperoleh keuntungan personal dari serangkaian eksternal positif yang diciptakan oleh investasi yang dilakukan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu pemberlakukan mekanisme pasar bebas justru akan menjauhkan upaya pendayagunaan investasi komplementer dari tingkat yang
22
optimal. Kontras dengan teori neoklasik, model pertumbuhan endogen menyarankan peran aktif dari kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan ekonomi melalui investasi langsung dan tidak langsung dalam formasi mutu modal manusia dan mendorong investasi swasta dalam industri yang membutuhkan teknologi tinggi. Dari beberapa keunggulan teori pertumbuhan endogen, muncul beberapa kritikan terhadap teori tersebut. Pertama, teori pertumbuhan endogen memiliki asumsi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara berkembang. Sebagai contoh, teori pertumbuhan ini mangsumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris. Situasi ini tidak menghasilkan pertumbuhan yang memunculkan realokasi tenaga kerja dan modal diantara sektor-sektor yang ditransformasikan selama proses perubahan struktural. Kedua, toeri ini tidak mampu untuk menguraikan sebab-sebab modal yang sangat langka tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pertumbuhan di negara berkembang terhambat oleh serangkaian inefisiensi yang bersumber dari kelemahan infrastruktur, struktur kelembagaan yang tidak memadai, serta pasar barang dan pasar modal yang jauh dari sempurna. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh ini ternyata kurang diperhatikan oleh teori pertumbuhan endogen. Itulah sebabnya aplikasi teori pertumbuhan ini dalam studi pembangunan ekonomi sangat terbatas, apalagi jika studi tersebut melibatkan perbandingan antar negara. Struktur insentif yang lemah di negara berkembang merupakan penyebabnya. Struktur insentif yang buruk tidak memungkinkan terciptanya akumulasi tabungan dan investasi yang tinggi, sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi di berbagai negara berkembang senantiasa tersendar-sendat. Inefisiensi alokasi sumberdaya ditemui
23
di berbagai perekonomian yang tengah mengalami transisi dari pasar tradisional ke pasar komersial. Teori-teori ini terlalu banyak memberikan perhatikan kepada faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dan Ketiga, serangkaian studi empiris terhadap nilai atau bobot prediktif teori-teori pertumbuhan endogen tidak mampu memberikan prediksi yang cukup akurat. Eksternalitas menciptakan momentum dalam proses pertumbuhan karena perusahaan-perusahaan memasang kapital baru. Pertumbuhan kapital berarti pertumbuhan dari gabungan stok kapital dan terpisah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya output dapat meningkat dengan proporsi konstan (A) dari gabungan stok kapital, dan tidak terjadi diminishing returns seperti yang digambarkan dalam gambar kurva Solow. Jadi dalam model pertumbuhan endogen tingkat pertumbuhan dapat tetap tumbuh konstan dalam kondisi tingkat pengembalian kapital yang menurun sebagai dampak eksternal pertumbuhan teknologi. Tingkat pertumbuhan secara permanen dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Tingkat tabungan yang lebih tinggi meningkatkan pertumbuhan tidak hanya pada level keseimbangan pendapatan.
2.1.3. Model Pertumbuhan dengan Sumberdaya Alam Model-model pertumbuhan yang telah dijelaskan di atas tidak memasukkan variabel sumberdaya alam termasuk energi. Seluruh sumberdaya alam yang ada pada umumnya dalam jumlah terbatas walaupun beberapa diantaranya seperti sinar matahari ketersediaannya sangat besar. Beberapa sumberdaya lingkungan bersifat tidak dapat direproduksi dan banyak sumberdaya yang dapat diperbaharui berpotensi habis terpakai. Kelangkaan dan habis terpakainya sumberdaya menimbulkan masalah notasi pertumbuhan ekonomi tidak terhingga.
24
Ketika ada lebih dari satu input kapital dan sumberdaya alam, ada banyak alternatif bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi. Alternatif yang diambil ditentukan oleh kesiapan kelembagaan yang menanganinya. Para analis melihat pada modelmodel pertumbuhan optimal yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah kesejahteraan dalam horizon waktu tertentu (selalu dinyatakan horison infinitif) atau mencapai keberlanjutan (social welfare yang tidak menurun) dan modelmodel ditekankan untuk menjelaskan perekonomian riil dengan mengasumsikan pasar persaingan sempurna atau aturan-aturan lainnya. Literatur Neoklasik tentang pertumbuhan dan sumberdaya memusatkan pada kondisi apa saja yang memungkinkan pertumbuhan keberlanjut, atau paling tidak konsumsi atau utilitas tidak menurun. Kondisi teknis dan kelembagaan menentukan kemungkinan berlanjut atau tidaknya suatu perekonomian. Kondisi teknis mengarahkan pada sesuatu seperti campuran antara sumberdaya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, kekayaan awal dari kapital dan sumberdaya alam, dan pengurangan substitusi antara input. Institusi mencakup sesuatu seperti stuktur pasar (kompetisi versus perencanaan terpusat), sistem hak kepemilikan (milik swasta versus publik), dan sistem nilai untuk generasi akan datang. Solow (1974) menggambarkan keberlanjutan dicapai dalam model dengan suatu keterbatasan dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan tidak menambah biaya dan kapital tidak menyusut. Namun demikian, model perekonomian dalam kondisi persaingan sempurna akan mengalami kesulitan sumberdaya dan konsumsi, sehingga kesejahteraan sosial pada akhirnya turun ke nol (Stiglitz, 1974). Dasgupta and Heal (1979) menggambarkan bahwa dengan
25
tingkat diskonto konstan yang disebut juga dengan jalur pertumbuhan optimal juga menyebabkan sumberdaya alam pada akhirnya habis dan perekonomian collapse. Interpretasi umum dari teori pertumbuhan standar adalah bahwa substitusi dan perubahan teknis dapat secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sumberdaya dan lingkungan. Habisnya sumberdaya atau degradasi lingkungan dapat digantikan dengan faktor lainnya dalam bentuk modal yang dibuat manusia (orang, mesin-mesin, pabrik, dsb). Tetapi terjadi interpretasi yang salah di sini. Para ekonom Neoklasik sebagian besar tertarik dengan kesiapan institusi, dan tidak pada kesiapan teknis, akan mempengaruhi keberlanjutan, sehingga mereka secara tipikal mengansumsi secara a priori bahwa keberlanjutan adalah kelayakan teknis dan kemudian menyelidiki apakah kesiapan institusi mempengaruhi keberlanjutan jika layak secara teknis. Berarti, bagaimanapun, secara relatif asumsi kelayakan secara teknis belum diuji (Stern, 2003). Lebih lanjut Stern (2003) menyatakan bahwa elastisitas substitusi antara apa yang disebut para ekonomi adalah kapital (pabrik, mesin dan lainnya) dan input dari lingkungan (sumberdaya alam, asimilasi sampah, jasa ekosistem) adalah unsur teknis kritikal yang mengindikasikan bahwa berapa banyak satu input harus ditingkatkan untuk menghasilkan tingkat yang sama produksi ketika penggunaan input lainnya dikurangi. Hal ini mengimplikasikan bahwa dampak biaya dalam meningkatkan harga suatu input dapat secara mudah dihilangkan dengan mengalihkan ke suatu teknik produksi yang menggunakan input lainnya, katakanlah kapital. Gambar 7 menggambarkan perbedaan kombinasi dua input yang dapat menghasilan tingkat output tertentu untuk nilai yang berbeda.
26
Modal
σ= 0 σ= 1
Sumber: Stern, 2003
σ= ~
Sumberdaya Alam
Gambar 7. Elastisitas Substitusi Antara Faktor Produksi Modal dan Sumberdaya Alam
Produk marginal adalah tambahan kontribusi terhadap produksi dengan menggunakan lebih dari satu unit input dengan anggapan bahwa input lainnya konstan (yaitu turunan parsial dari fungsi produksi terhadap input). Elastisitas subsitusi unitary, menjelaskan “substitusi sempurna”, berarti rasio dua input berubah dengan persentase tertentu dengan anggapan output konstan, perubahan rasio produk marginal dua input tersebut dengan persentase yang sama (dalam arah yang berlawanan). Hubungan ini digambarkan oleh kurva (dikenal dengan isoquant) dalam Gambar 7, yang asymptotic pada kedua aksis. Ketika sumberdaya yang digunakan nol, produksi dapat dihasilkan dengan meningkatkan penggunaan kapital secara tidak terhingga. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa total biaya produksi konstan disepanjang kurva isoquant. Substitusi sempurna tidak berarti bahwa sumberdaya dan kapital memiliki manfaat yang sama, dalam kenyatannya ketersediaan sumberdaya menurunkan produktivitas marginalnya tidak terhingga.
27
Gambar tersebut juga mengilustrasikan kasus dimana tidak ada substitusi adalah tidak mungkin dan dua input bersubstitusi tidak terhingga. Dalam kasus terdahulu dua input harus digunakan dalam rasio tetap dan kasus berikutnya produsen tidak berbeda pandangan antara input dan penggunaan sesuatu yang paling murah. Seperti diskusikan dibawah ini, substitusi sempurna merupakan asumsi tidak realistik dari perspektif biofisik, paling tidak jika diasumsikan untuk mengaplikasikan seluruh rasio kapital dan sumberdaya. Elastisitas permintaan untuk energi, yang didalam teori dihubungkan dengan elastisitas substitusi mengindikasikan bahwa elastisitas substitusi antara energi dan input lainnya dan antara bahan bakar yang berbeda bias menjadi antara nol dan satu. Lebih lanjut, jika elastisitas substitusi lebih besar dari satu, kemudian isoquant menyilang aksis dan input nonesensil untuk produksi dan sebaliknya. Ekonom seperti Solow (1974) secara eksplisit menyelesaikan kasus-kasus dimana untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan kapital lebih besar atau kecil dari satu. Dalam kasus sebelumnya kemungkinan substitusi adalah besar dan oleh karenanya kemungkinan tidak bersubstitusi bukan suatu isu. Dalam kasus terakhir, substitusi
tidak layak jika suatu perekonomian hanya
menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui. Ekonomi Neoklasik berargumen bahwa model-model pertumbuhan yang memasukkan
sumberdaya
dapat
menghitung
keseimbangan
massa
dan
keterbatasan thermodinamika dengan “kondisi esensial”. Jika lebih besar dari satu, maka sumberdaya adalah “non esensial”. Jika kurang atau sama dengan satu, maka
sumberdaya adalah “esensial”. Esensial dalam kasus ini berarti bahwa
memberikan input non sumberdaya positif, output hanya nol ketika input
28
sumberdaya adalah nol, dan sebaliknya sangat tegas positif (strictly positive). Fungsi produksi Cobb-Douglas, bentuk paling sering digunakan dalam modelmodel pertumbuhan. Para ekonom berargumen bahwa hal ini paling tidak digunakan untuk menghitung pada kondisi dimana beberapa dari energi dan material dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa. Tetapi ketika elastisitas subsitusi adalah unity, ini “esensial” karena jumlahnya dapat menjadi tidak terhingga jika kapital pabrik digunakan. Para ekonom juga mencatat bahwa sumberdaya-sumberdaya dan kapital saling tergantung (dalam model-model neoklasik) dengan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan asset-aset kapital. Oleh karenanya, stok kapital tidak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi stok kapital. Beberapa ekonom menyatakan bahwa suatu asumsi nilai sama atau lebih besar dari satu antara energi dan input lainnya melanggar hukum thermodinamika (Dasgupta dan Heal, 1979). Substitusi secara teknis mungkin akan terjadi jika tidak ada investasi masyarakat dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu untuk menggantikan berkurangnya sumberdaya alam dan ekosistem. Berapa banyak investasi yang diperlukan tergantung pada penetapan institusi dalam perekonomian. Sebagai contoh, dalam suatu perekonomian dimana keberlanjutan secara teknis layak (dan hanya ada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui) tidak akan terjadi dalam perekonomian kompetitif atau perencanaan terpusat, dimana keputusan yang ditetapkan adalah maksimisasi aliran utilitas terdiskonto dari gererasi masa depan menggunakan tingkat diskonto konstan dan positif. Konsumsi per kapita pada akhirnya akan menurun ke nol setelah periode awal pertumbuhan ekonomi karena sumberdaya dan ekosistem berkurang lebih cepat daripada akumulasi
29
kapital untuk menggantikannya (Stiglitz, 1974; Dasgupta and Heal, 1979). Keberlanjutan dicapai dibawah penetapan institusi yang pasti (Solow, 1974). Jika utilitas individual ditetapkan sama besar tanpa pertimbangan ketika mereka terjadi untuk hidup dan bertujuan untuk memaksimumkan jumlah utilitas sepanjang waktu, maka pertumbuhan dalam konsumsi dapat terjadi secara tidak terhingga. Ini ekivalen untuk memaksimumkan net present value dengan tingkat diskonto nol. Dengan jelas, level konstan dari konsumsi sepanjang waktu juga layak. Suatu hasil yang penting dalam konteks ini adalah aturan Hartwick (Hartwick, 1977) yang menggambarkan bahwa jika keberlanjutan secara teknis layak, level konstan dari konsumsi dapat dicapai dengan melakukan re-investasi sumberdaya dalam bentuk kapital, yang dapat mensubstitusi sumberdaya. Dixit et al. (1980) memperluas aturan untuk mengalikan stok kapital pada saat Hartwick (1995) memperluas aturan untuk perekonomian terbuka. Faktor kunci lainnya yang memungkinkan pertumbuhan dalam pandangan berbasis sumberdaya terbatas adalah perubahan teknologi. Perbaikan teknologi didefenisikan sebagai keuntungan (gain) dalam total produktivitas faktor yang mengimplikasikan bahwa output meningkat pada saat jumlah tertimbang inputinput dianggap konstan.
2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi Reproduksi merupakan suatu konsep kunci dalam ilmu ekonomi produksi. Sementara itu ada sejumlah barang bersifat tidak dapat direproduksi, namun dapat diolah dengan mengeluarkan sejumlah biaya yang masuk dalam sistem ekonomi produksi. Dalam satu proses produksi memerlukan input atau faktor produksi.
30
Faktor produksi dapat dibagi menjadi faktor produksi (input) primer dan input intermediate (antara). Para Ekonom Aliran Utama (mainstream) berpikir bahwa kapital, tenaga kerja, dan lahan sebagai faktor produksi primer, sedangkan barangbarang seperti bahan bakar dan bahan baku sebagai input antara. Harga-harga yang dibayarkan untuk berbagai jenis input akhir dipandang sebagai pembayaran untuk pemilik input primer sebagai balas jasa secara langsung untuk memproduksi input antara (Stern, 1999). Pendekatan ini fokus pada teori pertumbuhan terhadap input primer, khususnya kapital dan lahan, serta memperlakukan energi berperan tidak langsung dalam proses pertumbuhan. Input energi primer merupakan stok sumberdaya seperti cadangan minyak. Namun demikian, hal ini tidak ditetapkan secara eksplisit dalam teori-teori pertumbuhan standar yang hanya fokus pada tenaga kerja dan kapital. Oleh karenanya ide-ide tentang peranan energi dalam aliran utama teori pertumbuhan ekonomi cenderung agak kusut (Stern 2003). Kapital dan tenaga kerja dalam jangka waktu lebih panjang merupakan faktor produksi yang dapat direproduksi, sedangkan energi merupakan faktor produksi yang bersifat tidak dapat direproduksi. Oleh karenanya, para ahli sumberdaya dan sejumlah ekonom lingkungan memberikan perhatian yang besar terhadap peranan energi dan ketersediaannya dalam ekonomi produksi dan proses pertumbuhan (Stern, 1999). Hukum Termodinamika I (Hukum Konservasi) mengimplikasikan prinsip keseimbangan massa (Ayres dan Kneese, 1969). Mengacu pada hukum tersebut, Stern (2003) menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh material output dengan kuantitas yang lebih besar atau paling tidak sama dengan input yang
31
digunakan dalam suatu proses produksi, maka residual sebagai polutan atau sisa produk hendaknya sekecil mungkin. Oleh karenanya material input yang minimal dipersyaratkan dalam proses menghasilkan material output. Lebih lanjut Stern (2003) mengacu pada Hukum Termodinamika II (Hukum Efisiensi) menyatakan bahwa hukum tersebut mengimplikasikan kuantitas energi minimum dibutuhkan untuk mengatasi persoalan transformasi. Oleh karenanya harus membatasi substitusi penggunaan energi dengan faktor produksi lainnya dalam proses produksi. Seluruh proses ekonomi membutuhkan energi, melalui sejumlah aktivitas pelayanan yang tidak membutuhkan pengolahan material secara langsung. Namun demikian, hal ini benar hanya pada level mikro, sedangkan pada level makro seluruh proses ekonomi membutuhkan penggunaan material tidak langsung, termasuk didalamnya mengelola tenaga kerja atau memproduksi kapital (Stern 2003). Energi juga merupakan faktor produksi esensial (Stern, 1997). Seluruh produksi melibatkan transformasi atau perubahan zat dengan sejumlah cara dan seluruh transformasi seperti itu memerlukan energi. Berapa aspek sehubungan dengan pengaturan/pengorganisasian, yaitu informasi, juga perlu dipertimbangkan menjadi input non-reproduksi. Beberapa analis (seperti Spreng, 1993; Chen, 1994; Stern, 1994; Ruth, 1995) berargumen bahwa informasi merupakan faktor produksi yang bersifat non-reproduksi sama halnya dengan energi, dan ilmu ekonomi lingkungan harus mempertimbangkan informasi dan akumulasinya sebagai pengetahuan yang dibayarkan untuk energi. Energi memerlukan informasi tentang lingkungan karena tidak dapat diaktifkan penggunaannya tanpa informasi dan terakumulasi dalam bentuk pengetahuan. Tidak seperti energi, informasi dan
32
pengetahuan tidak mudah dikuantifikasikan. Tetapi faktor-faktor ini merupakan satu kesatuan dengan mesin, tenaga kerja dan material-material yang dibuat menjadi bermanfaat. Justifikasi biofisik ini memperlakukan kapital, tenaga kerja dan faktorfaktor lainnya hanya sebagai faktor kapital dan tenaga kerja karena lebih mudah diukur daripada informasi dan teknologi, ukuran-ukuran ini sangat tidak sempurna dibandingkan energi (Stern, 1999). Dalam pendekatan mainstream ilmu ekonomi Neoklasik, kuantitas ketersediaan energi terhadap ekonomi pada berbagai tahun diperlakukan sebagai endogenous, melalui pembatasan dengan batasan biofisik seperti tekanan pada penyimpanan minyak dan keterbatasan ekonomi seperti jumlah ekstraksi terpasang, penyulingan, dan kapasitas pembangkit, serta kemungkinan percepatan dan efisiensi dalam proses ini dapat diproses. Namun demikian, pendekatan analisis ini kurang digunakan untuk menganalisis peranan energi sebagai pengendali pertumbuhan produksi dan ekonomi (Stern, 2003). Sebagai alternatif, model-model ekonomi biofisik mengusulkan bahwa energi merupakan faktor produksi primer. Ini dapat dipahami karena ada stok energi tertentu yang didegradasi dalam proses penyediaan jasa-jasa untuk perekonomian. Tetapi ini berarti bahwa ketersediaan energi dalam setiap periode ditentukan secara exogenous (Stern, 1999). Dalam beberapa model biofisik (seperti Gever et al., 1986) batasan geologi merupakan tingkat yang tetap dari ekstraksi energi. Kapital dan tenaga kerja diperlakukan sebagai aliran konsumsi kapital dan jasa tenaga kerja, bukan stok. Aliran ini dihitung dengan cara memasukkan penggunaan energi besama-sama dengan input lainnya. Seluruh nilai tambah dalam perekonomian dianggap sebagai nilai sewa dari penggunaan energi dalam
33
perekonomian. Alternatif lainnya adalah teori distribusi produktivitas marginal Neoklasik seperti yang dikemukan oleh Kaufmann (1987). Kemudian, dalam ilmu ekonomi Marxist dinyatakan distribusi aktual dari surplus tergantung pada daya tawar relatif dari perbedaan kelas-kelas sosial (Kaufmann, 1987; Hall et al., 1986) dan pemasok bahan bakar luar negeri. Surplus energi diambil oleh pemilik modal, lahan dan tenaga kerja. Dan model input-output menyajikan suatu perekonomian dimana ada faktor produksi primer tunggal dengan harga yang tidak ditentukan oleh produktivitas marginal. Produk marginal adalah nol, namun vektor harga keseimbangan positif. Ada teknik produksi dengan proporsi yang tetap untuk setiap komoditi dalam bentuk aliran komoditas atau kebutuhan jasa-jasa (Stern, 1999). Para ekonom ekologi berargumen bahwa penggunaan energi untuk menghasilkan input-input antara seperti bahan bakar meningkat ketika kualitas sumberberdaya seperti penyimpanan minyak menurun. Oleh karenanya biaya energi meningkat sebagai representasi dari peningkatan kelangkaan dalam nilai penggunaannya (Cleveland dan Stern, 1999). Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa ada paradoks antara perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas
sumberdaya-sumberdaya
lainnya.
Perubahan
kualitas
sumberdaya
diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis. Dalam pendekatan Costanza dan pendekatan Energi (Brown dan Herendeen, 1996), sumberdaya dinyatakan sebagai input energi solar dan geologi. Oleh karenanya perubahan kualitas sumberdaya dinyatakan dengan perubahan dalam energi daripada perubahan dalam koefisien input-output. Jika stok
34
sumberdaya dinyatakan secara spesifik, energi tidak akan lebih jauh dari sekedar faktor produksi primer. Model neo-Ricardian yang dibangun oleh Perrings (1987) dan O'Connor (1993), seperti halnya model Neo Ricardian lainnya, menyatakan bahwa proporsi teknologi tetap dalam bentuk stok kapital daripada aliran dalam model Leontief. Mereka tidak membedakan antara faktor produksi primer dan intermediate. Namun pendekatan tersebut masih menempatkan batasan biofisik seperti keseimbangan massa dan konservasi energi dalam neraca (Stern, 1999). Jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan. Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris (Stern, 2003).
2.3. Kebijakan Energi Nasional Kebijakan energi nasional merupakan bagian kebijakan publik. Menurut Suharto (2005) bahwa kebijakan publik segala yang berkaitan dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupana warganya. Dengan demikian kebijakan publik menunjukkan suatu konsep untuk menentukan suatu pilihan-pilihan
35
tindakan tertentu yang spesifik, yang meliputi berbagai bidang-bidang seperti bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan lingkungan. Dalam hal ini kebijakan energi merupakan kebijakan publik dalam ekonomi yang lebih luas dan berkaitan dengan berbagai isu seperti lingkungan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan nasional (Gunawan, 2009). Menurut Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi berdasarkan prinsip keadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna menciptakan kemandirian dan ketahanan nasional. Dalam UU ini kebijakan energi nasional
bertujuan
untuk
tercapainya
kemandirian
pengelolaan
energi;
terjaminnya ketersediaan energi dan sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri, terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran
rakyat
secara
adil
dan
merata,tercapainya
pengembangan
kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia; dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup. Berdasarkan sejarahnya, menurut Yusgiantoro (2001) disebutkan bahwa kebijakan energi di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1976. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) yang setingkat dengan departemen dan bertanggung jawab
36
memformulasikan kebijakan energi serta mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini. BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) pada tahun 1984. Kebijakan ini terus menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan yang mempengaruhi pembangunan energi di Indonesia. KUBE 1984 diperbarui pada tahun 1990 yang berisikan kebijakan pemerintah untuk melakukan intensifikasi, diversifikasi dan konservasi energi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui peningkatan kegiatan survei dan eksplorasi sumber daya energi untuk mengetahui potensinya secara ekonomis. Diversifikasi merupakan upaya untuk penganekaragaman penggunaan energi non-minyak bumi melalui pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan industri semen. Konservasi dilakukan melalui penggunaan peralatan pembangkit maupun peralatan pengguna energi yang lebih efisien. Selanjutnya, KUBE tahun 1998 yang dikeluarkan oleh BAKOREN bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendukung terlaksananya strategi pembangunan bidang energi dan memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi. Dalam KUBE ini mulai diindikasikan adanya keterbatasan sumber daya energi, terutama minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara bertahap untuk digunakan dalam negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi. Dalam KUBE 1998 kebijakan energi yang perlu ditempuh mencakup lima kebijakan utama dan sembilan kebijakan pendukung (Sugiyono, 2004). Kebijakan utama tersebut adalah: (1) Diversifikasi yaitu penganekaragaman pemanfaatan
37
energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, (2) Intensifikasi yaitu pencarian sumber energi melalui kegiatan survei dan eksplorasi agar dapat meningkatkan cadangan baru terutama energi fosil, (3) Konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan, (4) Penetapan harga rata-rata energi yang
secara
bertahap
diarahkan
mengikuti
mekanisme
pasar,
dan
(5)
Memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan di sektor energi termasuk didalamnya memberikan prioritas dalam pemanfaatan energi bersih. Sementara itu, kebijakan pendukung meliputi: meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsentif, standardisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, pengelolaan sistem infomasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan kelembagaan dan pengaturan. Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sudah menyusun Rancangan Kebijakan Energi Nasional (DESDM 2004). Rancangan kebijakan ini merupakan pembaruan dari KUBE tahun 1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan stake holders di bidang energi. Selain itu, juga diharapkan menjadi acuan utama dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang energi yang sedang dipersiapkan. Kebijakan yang ditempuh masih serupa dengan KUBE sebelumnya yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen legislasi dan kelembagaan. Hal ini tertuang di dalam blue print energi nasional mengenai perkembangan kebijakan energi nasional. Perkembangan kebijakan energi nasional dapat ditunjukan pada Tabel 1.
38
Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Energi Nasional, Tahun 1981 – 2003 1981 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi 4. Indeksasi
1987 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Kebijakan Pendukung Pendukung 1. Penelitian dan pengem,bangan. 1. Industri energi 2. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Iklim Investasi 3. Harga Energi
1991 Kebijakan Umum Energi 1.Intensifikasi 2.Divesifikasi 3.Konservasi
1998 Kebijakan Umum Energi 1. Divesifikasi 2. Intensifikasi 3. Konservasi 4. Harga Energi 5. Lingkungan
2003 Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi
Kebijakan Pendukung 1. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Harga Energi
Kebijakan Pendukung 1. Investasi 2. Insentif & disinsentif 3. Standarisasi & sertifikasi 4. Pengembangan Infrastruktur 5. Peningkatan Kualitas SDM 6. Sistem Informasi 7. Penelitian dan Pengembangan 8. kelembagaan 9. Pengaturan
Kebijakan Pendukung 1. Infrastruktur 2. Penetapan mekanisme harga keekonomian 3. Perlindungan kaum duafa 4. Lingkungan 5. Kemitraan Pemerintah dan swasta 6.Pemberdayaan masyarakat 7. Litbang dan diklat 8. Koodinasi untuk optimalisasi energi Mix
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
Kebijakan Pemanfaatan Akhir
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga
Sumber: Kementrian ESDM, 2006. Perkembangan selanjutnya, kebijakan energi nasional saat ini mengacu pada Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 tentang energi. Dalam UndangUndang tersebut dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Dewan Energi Nasional (DEN) adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap, yang bertanggung jawab atas kebijakan energi nasional. Dalam hal ini DEN adalah Menteri Energi Sumber Daya dan Minareal (ESDM). Dalam Undang-Undang Energi tahun 2007 tentang energi menyatakan bahwa kebijakan energi nasional meliputi: (1) ketersediaan energi untuk kebutuhan
39
nasional, (2) prioritas pengembangan energi, (3) pemanfaatan sumber daya energi nasional, dan (4) cadangan penyangga energi nasional. Tujuan yang ingin dicapai dalam Undang-Undang ini seperti yang tercamtum dalam pasal 3 yang secara ringkas
meliputi
tercapainya
kemadirian
penglolaan
energi; terjaminnya
ketersediaan energi dan sumber energi dalam dan luar negeri; terjaminnya pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan; termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat; tercapainya pengembangan kemampuan industri dan jasa energi; dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup. Berdasarkan hasil rapat antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan komisi VII DPR RI memaparkan pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang meliputi arah kebijakan energi minyak dan gas bumi, batubara, energi terbarukkan, energi terbarukkan bahan bakar nabati (BBN), panas bumi, energi terbarukan surya, PLT tenaga laut dan arah kebijakan energi terbarukan nuklir. Secara rinci pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KESDM, 2010) yaitu:
I. Arah Kebijakan Energi Minyak dan Gas Bumi 1. Perlu sistem fiskal untuk minyak, gas bumi dan CBM (coal bed methane) yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (government take) yang kecil untuk R/C (revenue/cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar. 2.
Perlu segera membangun infrastruktur gas termasuk LNG (liquefied natural gas) receiving terminal, pipa transportasi, SPBG (stasiun pengisi
40
bahan bakar gas), infrastruktur gas kota dan lain-lain. Perlu harga gas dosmetik yang menarik. 3.
Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan melalui perbaikan ketersediaan data antara lain data geofisika dan geologi.
4. Perlu peningkatan kemampuan nasional migas dengan keberpihakan pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka pengelolaannya
diutamakan
untuk
perusahaan
nasional
dengan
mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. 5.
Perlu mendorong perbankan nasional untuk memberikan pinjaman guna membiayai kegiatan produksi energi nasional.
6.
Dana depletion premium dari energi tak terbarukan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas informasi untuk penawaran konsesi-konsesi migas baru, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur pendukung migas, serta untuk pengembangan energi nonmigas dan energi di pedesaan.
7.
Perlu dikaji segera kemungkinan impor gas (LNG), karena lebih baik/murah mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM. Di sektor rumah tangga, pemakaian LPG lebih murah dari pemakaian minyak tanah. Di sektor transportasi, penggunaan BBG lebih murah dan lebih bersih daripada BBM.
8. Perlu diperbaiki sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan di lingkungan ESDM di samping koordinasi antar institusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan fiskal, perijinan, tanah, tumpang tindih lahan, lingkungan, permasalahan desentralisasi dan lain-lain.
41
II. Arah Kebijakan Batubara 1. Mengutamakan kebutuhan dalam negeri dan melakukan pembatasan ekspor. 2. Melakukan pengaturan harga domestik dan kebutuhan internasional (ekspor). 3. Mengatur tatalaksana produksi dan pasar mulai dari hulu sampai hilir termasuk pembentukan badan pengatur yang independen. 4.
Mengembangkan infrastruktur, transportasi, stockpiling dan blending.
5. Menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada pertambangan batubara antara lain memasukkan biaya lingkungan, good mining practices, pembatasan open surface mining, mengutamakan tambang dalam, prioritas tata ruang, konservasi lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih. 6. Melakukan regionalisasi batubara termasuk mine mouth power plant. 7. Meningkatkan eksplorasi sumber daya (laju produksi seimbang dengan laju penambahan sumber daya dan cadangan).
III. Arah Kebijakan Energi Terbarukan 1. Pengembangan
energi
terbarukan
difokuskan
pada
panas
bumi
(geothermal), energi biomass, surya (solar) dan bahan bakar nabati. 2. Penyediaan dana khusus untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan guna menurunkan biaya produksi. 3. Pengaturan dan pemberlakuan harga khusus untuk energi terbarukan.
42
4. Peningkatan pengembangan industri peralatan produksi energi terbarukan dalam negeri (peralatan penyulingan BBN, solar cell dan panel harus menggunakan produksi dalam negeri). 5. Pengalokasian dana dengan skema khusus (smart funding) untuk pengembangan energi terbarukan diluar BBN, khususnya untuk skala kecil. 6. Pemerintah melakukan pengaturan dan pengalokasian dana dari program Clean Development Mechanism (CDM), sehingga insentif karbon kredit dapat memberi manfaat pada publik.
IV. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Bahan Bakar Nabati (BBN) 1. Pengembangan BBN untuk menggantikan sebagian BBM. 2. Pada tahap awal pengembangan BBN dilakukan oleh beberapa perusahaan besar yang dipilih untuk mencapai nilai keekonomian. 3. Pengaturan quota mandatory BBN bagi perusahaan penyedia listrik. 4. Penyempurnaan penetapan besaran quota mandatory dalam penggunaan BBN untuk sektor transportasi.
V. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Panas Bumi 1. Meningkatkan ekplorasi panas bumi dan membuat perkiraan biaya yang layak pada lokasi yang berbeda-beda. 2. Memastikan status tataguna lahan di hutan-hutan yang memiliki potensi panas bumi.
43
3. Mengkaji implementasi peraturan perundang-undangan di sektor panas bumi untuk mendekatkan sektor hulu dan hilir. 4. Melakukan penyempurnaan di dalam pengelolaan dan persyaratan tender panas bumi, yang antara lain meliputi : Pendelegasian kepada PLN untuk melaksanakan tender, pembagian resiko yang menguntungkan antara PLN dan pengembang, harga jual dan mekanismenya serta pembinaan untuk skala kecil dan penyehatan BUMN. 5. Meningkatkan kemampuan dalam negeri untuk mendukung kegiatan eksplorasi dan industri pendukung kelistrikan.
VI. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Surya 1. Penerapan mandatory penggunaan solar cell pada pemakai tertentu (industri besar, gedung komersial dan rumah mewah, PLN). 2. Mensinergikan mandatory dan penerapan feed in tarrif. 3. Penerapan audit teknologi terhadap komponen/peralatan instalasi PLTS. 4. Mengembangkan industri komponen/peralatan instalasi PLTS. 5. Mentargetkan pencapaian keekonomian PLTS ke grid connected tarrif dalam waktu 10 tahun. 6. Mengembangkan penguasaan teknologi PLTS dalam negeri baik melalui pembelian license atau meningkatkan penelitian dan pengembangannya.
VII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan PLT Tenaga Laut 1. Meningkatkan ekplorasi sumberdaya energi berbasis arus, gelombang dan perbedaan suhu air laut.
44
2. Meningkatkan kemampuan nasional untuk peningkatan pemanfaatan energi arus, gelombang dan perbedaan suhu air laut, baik skala industri maupun domestik di seluruh kawasan laut Indonesia yang potensial. 3. Meningkatkan kemampuan penelitaan dan pengembangan di bidang energi laut menuju pemanfaatannya secara ekonomis.
VIII. Arah Kebijakan Energi Terbarukan Nuklir 1. Krisis listrik nasional sudah berlangsung cukup lama, yang telah mengakibatkan terganggunya kehidupan sosial, pertumbuhan industri, ekonomi, dan sebagainya. Salah satu diantaranya adalah banyak angkatan kerja yang tidak dapat tertampung. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di samping ramah lingkungan juga dapat mengatasi krisis listrik dalam waktu yang relatif cepat untuk kapasitas yang sangat besar. Oleh sebab itu, PLTN merupakan solusi untuk mengatasi krisis listrik nasional. 2. Pemerintah meningkatkan kegiatan eksplorasi sumberdaya nuklir nasional. 3. Pemerintah harus konsisten dalam menerapkan kebijakan pemanfaatan energi nuklir sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007 tentang RPJP, dimana pada Bab. IV.2.3. RPJM ke-3 (2015–2019), dinyatakan: “... mulai dimanfaatkannya tenaga nuklir untuk
pembangkit
listrik
dengan
mempertimbangkan faktor keselamatan secara ketat,...”. 4.
Pemerintah perlu segera membentuk lembaga atau BUMN khusus yang ditugaskan untuk mengimplementasikan program PLTN sesuai dengan UU No. 17 tahun 2007. Studi kelayakan PLTN yang lebih komprehensif,
45
termasuk penetapan waktu pembangunan PLTN pertama, sebagaimana amanat Sidang DEN yang ke-4, dikoordinasikan oleh lembaga tersebut. 5. Pengembangan nuklir untuk energy security of supply dan lingkungan. 6. Perlu peningkatan sosialisasi dengan data dan informasi yang obyektif (teknis, ekonomis, keamanan/kendala dan sebagainya) dengan dana yang memadai, baik itu untuk generasi muda maupun untuk unsur masyarakat lainnya. (SF) Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa secara umum kebijakan energi nasional meliputi kebijakan diversifikasi, intensifikasi dan konservasi energi. Ketiga dari kebijakan tersebut dapat dijalan secara simultan agar sasaran dari kebijakan tersebut dapat tercapai. Menurut Sugiyono (2004), secara umum sasaran dari kebijakan energi, yaitu mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumber daya energi sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan melalui konservasi dapat dikatakan gagal. Hal ini disebabkan adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM.
2.4. Tinjauan Studi Empiris 2.4.1. Studi Konsep Pertumbuhan Ekonomi dan Energi Peranan energi dalam pertumbuhan ekonomi secara jelas dipaparkan dalam artikel yang ditulis oleh Stern (2003), Alam (2006), Momete (2007), dan Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003). Pada prinsipnya keempat penulis ini memaparkan tentang peranan penting dari energi dalam mendorong pertumbuhan energi suatu negara. Rumusan dari artikel tersebut dijelaskan berikut ini.
46
Artikel yang ditulis Stern (2003) menjelaskan hubungan antara energi dan pertumbuhan ekonomi dan menjelaskan peranan energi dalam produksi perekonomian. Ketika ilmuan bisnis dan keuangan memberikan perhatian yang signifikan terhadap dampak harga minyak dan harga energi lainnya terhadap aktivitas perekonomian, teori pertumbuhan eknomi Neoklasik tidak memberikan perhatian (perhatian yang kecil) terhadap peranan energi atau sumber-sumber energi natural dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Para ilmuan ekonomi sumberdaya dan ekologi mengkritik teori tersebut, khusunya sehubungan dengan implikasi termodinamika untuk produksi ekonomi dan prospek perekonomian jangka panjang. Ketika model alternatif menjelaskan bahwa proses pertumbuhan tidak bekerja dalam ekonomi Neoklasik, hasil studi empiris menunjukkan peranan energi dalam proses pertumbuhan. Hasil temuan utama menunjukkan bahwa adalah penggunaan energi per unit output ekonomi menurun, tetapi terjadi pergeseran energi yang besar dari penggunaan secara langsung bahan bakar fosil seperti batubara ke penggunaan bahan bakar yang berkualitas lebih tinggi, khususnya listrik. Ketika pergeseran ini terjadi dalam komposisi penggunaan energi final ditempatkan dalam penggunaan neraca energi dan level aktivitas ekonomi ditemukan masalah ganda. Ketika hal ini dan trend lainnya ditempatkan dalam neraca, prospek pengurangan penggunaan energi dalam aktivitas ekonomi menjadi terbatas (Stern, 2003). Berangkat dari teori ekonomi Neoklasik,
Alam (2006) membangun
sebuah alternatif konsep ekonomi yang memasukkan energi bersama-sama dengan kapital, tenaga kerja, dan teknologi sebagai faktor produksi. Dinyatakan bahwa
47
konstruk ekonomi Neoklasik dibangun berdasarkan tiga faktor produksi: kapital, tenaga kerja dan teknologi. Produksi pada awal setiap periode menggunakan kapital, tenaga kerja dan teknologi dalam tertentu. Kapital pada priode-periode awal merupakan proporsi dari output perekonomian
ditentukan oleh priode
sebelumnya. Para ilmuan Neoklasik secara umum tidak tegas tentang bagaimana tenaga
kerja
diproduksi
atau
direproduksi;
mereka
mengasumsikan
pertumbuhannya eksogen. Teknologi digambarkan sebagai cadangan ketersediaan ilmu pengetahuan untuk suatu perekonomian. Pengetahuan diwujudkan dalam mesin-mesin, keahlian manusia, atau ditempatkan dalam bentuk kode-kode dan tatanan sosial. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kekosongan dari neraca perekonomian Neoklasik adalah tidak dimasukkannya energi sebagai kekuatan primer yang mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Cukup meyakinkan, energi masuk dalam ekonomi neoklasik sebagai effort dari tenga kerja, tetapi sumberdaya energi telah mengalami penurunan secara tajam selama dua decade terakhir. Energi dari sumberdaya non manusia, seperti batubara, minyak, listrik, pangan atau pupuk, masuk dalam perekonomian hanya sebagai input intermediet, dan masuk dalam neraca pendapatan nasional suatu negara sebagai nilai tambah dalam sektor energi. Cukup sederhana, energi bukan merupakan faktor produksi. Dengan kata lain, ilmu ekonomi Neoklasik membangun ketidakseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Ekonomi neoklasik berada dalam kondisi isolasi yang baik sekali dari sifat alamiah dan terbebas dari energi. Diantara sejumlah ilmuan ekonomi, Georgescu-Roegen (1972 dan 1976) adalah yang pertama kali memberikan komentar terhadap diabaikannya energi
48
dalam teori ekonomi. Dia menyatakan bahwa ilmuan ekonomi Marxists dan Neoklasik tersamar dari sifat alamiah; mereka menempatkan aliran sumberdaya dan energi sebagai suatu yang pasti dan terhindar dari pemborosan output perekonomian. Georgescu-Roegen (1976) berargumen bahwa dalam ilmu ekonomi standar tidak dikenal apa yang disebut dengan “terrestrial resources of energy and materials are irrevocably used up and the harmful effects of pollution on the environment accumulate.” Para ahli ekonomi optimis tentang peluang tiada akhir dari pertumbuhan yang mengabaikan sifat alamiah dari kalkulusnya. Mengacu pada pendapatan Georgescu-Roegen dan lainnya, wajah baru dari ilmu ekonomi ekologi dijabarkan dengan cara yang berbeda dengan memasukkan sejumlah batasan terhadap pertumbuhan. Paper yang ditulis Alam (2006) bertujuan untuk menempatkan sifat-sifat dasar dari suatu perekonomian dengan energi sebagai kekuatan pengendali dibalik seluruh aktivitas ekonomi. Dengan fokus terhadap energi, perekonomian harus dipandang sebagai suatu sistem aliran energi, sebuah kesuksesan dalam mengkonversi energi, yang masuk dalam proses produksi barang dan jasa. Dengan adanya pemikiran ini diharapkan dapat mengubah pemahaman kita tentang tenaga kerja dan kapital sebagai sumber pertumbuhan. Gambaran yang difokuskan pada energi mampu menfasilitasi pemahaman yang lebih baik tentang revolusi industri dan pencetusan dalam pertumbuhan ekonomi telah dihasilkan sejak abad ke-19. Sebagai resume utama dari artikel ini, Alam (2006) menyatakan bahwa: Pertama, sketsa perekonomian sebagai suatu sistem energi akan membantu memecahkan perbedaannya dengan pendekatan ekonomi Neoklasik dalam fungsi produksi agregat. Ekonomi berisikan aliran produksi energi dan aktivitas-aktivitas
49
penggunaan energi. Energi adalah sentral untuk perekonomian tersebut karena mengendalikan seluruh aktivitas ekonomi. Ini menfokuskan pada energi sebagai sumber yang bersifat mendasar, untuk aktivitas konversi dan mengkonversi kembali energi tersebut, dan terakhir untuk aktivitas-aktivitas yang menggunakan energi untuk memproduksi barang dan jasa. Sampai abad ke-19, seluruh perekonomian menggunakan energi yang bersumber dari sumber-sumber organik. Setelah dua dekade berlalu, terjadi transisi sumber energi dari sumber-sumber organik menjadi anorganik, terutama sekali bahan bakar fosil. Kedua, para ilmuan ekonomi Neoklasik mengabaikan energi dalam perekonomian, yang memisahkan ekonomi dari ekologi atau sumber-sumber energi. Ini ditangkap dalam konsep fungsi produksi, sebuah pemetaan dari faktorfaktor yang hanya memasukkan tenaga kerja dan kapital untuk menghasilkan output, serta teknologi. Sebagai hasilnya, neraca pertumbuhan ekonomi Neoklasik disajikan dalam bentuk pertumbuhan kapital, tenaga kerja, dan teknologi. Energi tidak memainkan peranan dalam pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan. Ketiga, pengabaian energi dalam kerangka pemikiran Neoklasik membuatnya sulit untuk mendefenisikan tenaga kerja dan kapital. Buku teks-buku teks ilmu ekonomi yang ada tidak membantu dan tidak konsisten mendefenisikan ilmu ekonomi. Hal ini tidak mengejutkan ketika tenaga kerja dan kapital memainkan peranan pendukung dalam perekonomian yang hanya dapat dipamahami dalam kaitannya dengan energi. Bersama-sama, mereka menguraikan energi dari sumber-sumber natural, mengkonversi dan mengkonversi kembali sumber-sumber tersebut untuk digunakan dalam aktivitas perekonomian, dan kemudian arah dari aliran penggunaan energi ini untuk memproduksi dan mengkonsumsi barang dan jasa.
50
Keempat,
pengabaian
energi
dalam
fungsi
produksi
Neoklasik
menyimpang dari analisis standar dari pertumbuhan dan sumber-sumber pertumbuhan. Para ilmuan Neoklasik gagal untuk memperkenalkan hal tersebut dalam banyak kasus, pertumbuhan merupakan kecepatan dari aktivitas; jika aktivitas ini menggunakan mesin, jumlahnya dipengaruhi oleh kecepatan mesin. Ini menentukan sebuah arah keterkaitan antara energi dan pertumbuhan: ketika kecepatan selalu tergantung pada penggunaan energi. Ini berarti bahwa pertumbuhan menempatkan penawaran energi sebagai sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat diperlukan. Kelima, pengabaian energi dari kerangka pemikiran ekonomi Neoklasik, dan kegagalannya untuk mengubah hubungan antara energi dan pertumbuhan, berarti mereka tidak menguraikan hubungan dinamik antara penggunaan energi yang lebih besar dan perubahan teknis yang berhubungan dengan ketersediaan energi. Pengenalan energi baru seperti kincir air, kincir angin, mesin penyemprot atau peledak menciptakan suatu kekuatan daya dorong untuk membuat alat bagi pertumbuhan yang bermanfaat dan penyediaan energi yang lebih murah menggantikan energi anorganik untuk lahan dan tenaga kerja. Kerangka pemikiran produksi Neoklasik tidak menjelaskan hubungan ini. Keenam, analisis standar dari sumber-sumber pertumbuhan bermasalah karena mengasumsikan tenaga kerja homogen. Tenaga kerja seharusnya dipandang memiliki dua fungsi, yaitu penyediaan energi dan pengawasan aliran energi. Apabila proporsi rata-rata tenaga kerja dikombinasikan dengan energi sebagai fungsi dari pertumbuhan ekonomi, tidak dapat diasumsikan bahwa tenaga kerja adalah faktor homogen dalam konteks pertumbuhan.
51
Terakhir, para ilmuan ekonomi Neoklasik juga mengalami kekosongan pemikiran yang signifikan dalam hal pembedaan antara perekonomian organik dan perkonomian fosil. Tanpa suatu pemahaman tentang regim energi, mereka gagal untuk membangun sebuah apresiasi yang patut dari sumber-sumber tesebut, waktu dan kecepatan transpormasi ekonomi yang terjadi sejak awal dekade abad ke-19. Malahan mereka mencoba untuk menjelaskan revolusi industri dalam bentuk perubahan teknis yang menstimulasi temuan-temuan ilmiah. Demikian juga, mereka gagal untuk menguraikan keterbatasan penyediaan energi, yang dihasilkan dari bahan bakar fosil, dalam menstimulasi keberhasilan inovasi dan pertumbuhan kapital dan keahlian. Untuk alasan yang sama, para ilmuan ekonomi Neoklasik tidak menjelaskan ketidakseimbangan pembangunan dari dua perekonomian dengan keterbatasan energi yang berbeda dalam ekologi mereka. Senada dengan Stern (2003) dan Alam (2006), artikel yang ditulis oleh Momete
(2007)
memberikan
perhatian
pada
pentingnya
energi
untuk
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia, serta dampaknya terhadap pembangunan berkelanjutan. Dengan pendekatan Trinomial dan analisis trend, dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berdampak negatif terhadap lingkungan, dan pada waktu yang sama berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sehubungan dengan upaya untuk mengidentifikasi dampak energi secara keseluruhan, dapat dinyatakan bahwa konsumsi energi berkorelasi dengan pertumbuhan ekonomi dan emisi CO2. Lebih lanjut dari paper ini dapat dinyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan harus dirasakan sebagai dimensi lain dari pertumbuhan ekonomi yang hanya dapat dicapai dengan produksi dan penggunaan energi berkelanjutan.
52
Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) melakukan studi yang didasarkan pada pendapat bahwa wujud dari perekonomian thermodinamika membuka sistem lebih jauh dari keseimbangan, dan ilmu ekonomi lingkungan Neoklasik bukanlah cara yang terbaik untuk menggambarkan perilaku sistem seperti itu. Analisis ekonomi
standar
melakukan
pengembangan,
pendekatan
prediktif
dan
deterministik, yang mendorong untuk melakukan kebijakan prediktif untuk mengatasi masalah-masalah lingkungan. Hal ini secara aktual menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan konsumsi pada kondisi hipotesis dematerialisasi, yang dikenal dengan kurva lingkungan Kuznet atau kurva yang berbentuk huruf U terbalik. Ini memperlihatkan kepada kita bahwa karakteristik dari sistem ekonomi mengikuti perilaku yang kompleks, suatu analisis ex-post dalam kerangka ilmu ekonomi ekologi yang lebih tepat, yang menggambarkan perekonomian sebagai sistem non-kontinu dan non-prediktif dan yang memperlihatkan kebijakan sebagai mekanisme pengendalian. Mengacu pada latar belakang tersebut, Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) menyajikan sejumlah data empiris tentang evolusi intensitas energi untuk negara maju dan negara berkembang. Dalam rangka menguji hipotesis tidak adanya hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan penggunaan energi, disajikan diagram fase intensitas penggunaan energi dari data deret waktu. Temuan utama dari hasil kajian Ramos-Martini dan Ortega-Cerdà (2003) menyebutkan bahwa dalam kenyataannya perekonomian memperlihatkan perilaku non-linier pada variabel-variabel kunci dan tahapan pembangunan pada level hirarki yang berbeda membentuk hipotesis ‘punctuated equilibrium’ yang bermanfaat pada skala yang lebih tinggi, mengindikasikan suatu sistem
53
perekonomian yang lebih terbuka pada masa mendatang. Tahapan perilaku intensitas energi menegaskan bahwa hanya dengan mempertimbangkan energi sebagai barang konsumsi dan faktor produksi tidak cukup untuk memahami evolusi perekonomian. Intensitas energi adalah variabel kunci yang dapat digunakan sebagai indikator perubahan struktur sosial ekonomi, struktur keuangan atau hubungan ekonomi-lingkungan. Hal tersebut juga dapat digunakan sebagai indikator dari struktur yang baru. Ketersediaan data dan dukungan teknik analisis konsumsi energi dapat dipandang sebagai persyaratan dan kompleksitas hubungan sistem ekonomi pada masa mendatang. International Energy Association (IEA) sejak tahun 1993 telah menyediakan proyeksi energi dalam jangka menengah sampai jangka panjang dengan menggunakan World Energy Model (WEM). WEM merupakan konstruk secara matematik skala besar yang dirancang untuk menggambarkan tentang fungsi pasar energi sebagai alat utama yang digunakan untuk menjabarkan secara detail proyeksi sektor per sektor dan wilayah per wilayah untuk kedua referensi skenario dan berbagai skenario kebijakan alternatif. Model yang telah dibangun selama ini dibuat dalam enam modul utama, yaitu: permintaan energi akhir; pembangkit listrik; kilang dan transformasi lain; suplai bahan bakar fosil, emisi CO2, dan investasi seperti pada Gambar 8. Dari Gambar 8 dapat dinyatakan bahwa asumsi-asumsi eksogen yang utama menekankan pada pertumbuhan ekonomi, demografi, harga bahan bakar fosil internasional, dan perkembangan teknologi. Konsumsi listrik dan harga listrik berhubungan secara dinamis dengan modul permintaan energi final dan pembangkit listrik. Model kilang minyak menproyeksikan keluaran dan
54
persyaratan kapasitas berdasarkan permintaan minyak global. Permintaan utama bahan bakar fosil berfungsi sebagai input untuk modul penawaran. Neraca energi lengkap dikompilasi di tingkat regional dan emisi CO2 masing-masing daerah kemudian dihitung menggunakan penurunan faktor-faktor karbon.
Asumsi-Asumsi Eksogen
ModulModul Regional
Permintaan Energi Akhir
Pembangki Listrik, Kilang Minyak
Suplai Energi Fosil
Neraca Energi Regional
Emisi CO2
Investasi
Sumber: IEA, 2008 Gambar 8. Gambaran Model Energi Dunia
Dari aspek teknis, parameter dari modul-modul persamaan permintaan diduga dengan menggunakan pendekatan ekonometrika. Untuk memperhitungkan perubahan yang diharapkan secara struktural, kebijakan atau teknologi, penyesuaian
parameter-parameter
dibuat
selama
periode
pengamatan,
menggunakan model dan teknik ekonometrika. Modul permintaan dapat diisolasi dan simulasi dijalankan secara terpisah. Hal ini sangat berguna dalam proses penyesuaian dan analisis sensitivitas yang terkait dengan faktor tertentu. Dalam WEM, sejumlah asumsi makroekonomi dan kependudukan digunakan sebagai referensi dan skenario kebijakan alternatif. Proyeksi-proyeksi
55
dilakukan berdasarkan pada rata-rata harga eceran dari setiap bahan bakar yang digunakan oleh pengguna akhir, pembangkit listrik dan sektor transformasi lainnya. Harga-harga pengguna akhir diturunkan dari asumsi tentang harga internasional bahan bakar fosil. Harga bahan bakar fosil cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
2.4.2. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia Telah terdapat banyak studi yang membahas tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Berbagai penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif dan kombinasi diantaranya. Berikut ini dipaparkan tentang sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Sugiyono
(1999)
membangun
model
energi
Indonesia
dengan
menggunakan dua paradigma, yaitu paradigma model top-down dan model bottom-up. Model top-down menyajikan analisis perilaku perekonomian secara makro berdasarkan harga dan elastisitas. Model bottom-up mempertimbangkan berbagai pilihan teknologi untuk penyediaan energi dan sektor pengguna energi dalam terminologi biaya, bahan bakar dan karakteristik emisi. Namun demikian untuk keperluan proyeksi permintaan dan penyedia energi menggunakan paradigma gabungan top-down dan bottom-up. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk membuat proyeksi permintaan dan penyediaan energi di Indonesia. Proyeksi permintaan dan penyediaan energi ini dilakukan untuk dua kondisi perekonomian di Indonesia yaitu sebelum dan setelah krisis ekonomi.
56
Model yang digunakan Sugiyono (1999) adalah model direpresentasikan sebagai persamaan matematik dalam bentuk nonlinear programming dengan menggunakan software General Algebraic Modeling System(GAMS). Model dibuat dengan tahun dasar 1995 dan untuk memproyeksikan permintaan dan penyediaan energi di Indonesia sampai tahun 2030. Periode proyeksi diambil 5 tahun untuk 1 periode, sehingga ada 7 periode dalam model. Data yang berkaitan dengan kondisi makroekonomi diperoleh dari International
Monetary Fund
(IMF) dan Biro Pusat Statistik (BPS) dari tahun 1980 sampai tahun 1996. Sedangkan data yang berhubungan dengan energi diperoleh dari beberapa publikasi dari institusi yang berhubungan dengan bidang energi seperti Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi (DJLPE), Komite Nasional Indonesia, World Energy Council (KNI-WEC), PT PLN Persero, BPPT, dan Pertamina. Data setelah terjadi krisis ekonomi diperoleh dari berbagai artikel di surat kabar dan majalah yang terbit selama tahun 1997 sampai dengan awal tahun 1999. Skenario yang digunakan untuk dianalisis yaitu skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi dan skenario base line yang merupakan kondisi seperti saat ini setelah terjadi krisis ekonomi. Skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi merepresentasikan studi yang dilakukan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Disamping itu juga dilakukan analisis sensitivitas terhadap discount rate untuk melihat pengaruhnya terhadap permintaan energi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Sugiyono (1999) menunjukkan bahwa permintaan energi akan tumbuh sebesar 4.3 persen
per tahun seandainya tidak terjadi krisis
ekonomi. Dalam kondisi krisis ekonomi, pertumbuhan permintaan energi diproyeksikan hanya sebesar 2.9 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan
57
energi tersebut batubara menjadi primadona sebagai sumber energi primer bila tidak terjadi krisis. Dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan permintaan energi tidak mengalami banyak kenaikan maka gas alam dan batubara yang berperan besar sebagai sumber energi primer. Dengan berperannya bahan bakar fosil sebagai energi di masa depan maka emisi CO2 dari penggunaan energi juga akan meningkat. Dalam model ini hanya emisi CO2 yang diperhitungkan. Untuk pengembangan studi selanjutnya, model dapat dikembangkan untuk menganalisis emisi seperti SO2, NO2, dan debu. Disamping itu, Sugiyono (2004) juga menulis artikel tentang Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjuta. Artikel yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sumberdaya energi yang digunakan di Indonesia adalah energi fosil (minyak bumi, gas bumi, dan batubara) yang tidak dapat diperbaharui dan energi yang dapat diperbaharui (tenaga air dan tenaga panas bumi). Kondisi minyak bumi saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan cadangan baru, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Berbagai kebijakan telah diterapkan selama ini dengan penekanan pada intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Namun untuk sektor transportasi, penggunaan minyak bumi dan subsitusi ke penggunaan batubara tidak memungkinkan. Penggunaan tenaga listrik dan gas untuk sektor transportasi masih relatif mahal apalagi dengan menggunakan energi terbarukan. Sehingga ketergantungan akan minyak bumi untuk sektor transportasi tidak dapat dihindari. Kebijakan energi yang ada saat ini belum tanggap terhadap rentannya pasokan minyak bila Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Untuk mengatasinya perlu paradigma baru dalam membuat
58
kebijakan. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk membahas kebijakan energi yang diperlukan serta proses pembuatannya supaya dapat memenuhi kriteria yang diharapkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Sugiyono (2004), untuk mewujudkan pembangunan energi berkelanjutan, yakni pembangunan energi yang memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, diperlukan kebijakan yang kondusif yang didukung dengan kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Kemandirian finansial dapat dicapai bila mampu secara mandiri membiayai operasional penyediaan dan penggunaan energi nasional. Kemandirian teknologi harus dilakukan melalui tahapan yang panjang. Tahap awal adalah meningkatkan kemampuan teknologi nasional dalam penyediaan barang dan jasa di sektor energi sehingga kandungan lokal teknologi nasional dalam barang atau jasa tersebut semakin besar. Sedangkan kemandirian sumberdaya manusia (SDM) dapat dicapai dengan terus meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri di sektor energi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara umum sasaran dari kebijakan energi, yakni mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumberdaya energi, sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan energi melalui konservasi dapat dikatakan gagal karena adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM. Strategi pengembangan energi jangka pendek dan jangka panjang juga belum tersusun dengan jelas. Kebijakan-kebijakan yang ada masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak ada aliran strategis terhadap
59
program jangka panjangnya. Oleh karenanya pada masa mendatang perlu suatu paradigma baru yang terkait dengan: (a) Proses pembuatan kebijakan harus transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi untuk menyempurnakan kebijakan tersebut; (b) Kebijakan sebaiknya bersifat kualitatif dan kuantitatif sehingga dampaknya dapat dengan mudah dievaluasi; dan (3) Perlu dipikirkan adanya kebijakan tentang keamanan energi (energy security). Sugiyono (2005) juga menulis artikel tentang Pemanfaatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Artikel yang tulis oleh Sugiyono (2005) diawali dengan permasalahan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan populasi dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. Konsumsi energi final meningkat dari 221,33 juta Setara Barel Minyak (SBM) pada tahun 1990 menjadi 489,01 juta SBM pada tahun 2003 atau meningkat sebesar 6,3 persen per tahun. Berdasarkan jenis energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) merupakan konsumsi energi final terbesar. Pada tahun 2003 konsumsi BBM sebesar 329 juta SBM (67,7 persen), Bahan Bakar Gas (BBG) sebesar 63 juta SBM (13,0 persen), listrik sebesar 55 juta SBM (11,3 persen), batubara sebesar 31 juta SBM (6,4 persen), dan LPG sebesar 8 juta SBM (1,6 persen). Sebagian besar konsumsi BBM digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak didukung oleh pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan, terintegrasi, dan ramah lingkungan. Sementara itu, pasokan energi berasal dari sumber energi dalam negeri dan dari impor dari negara lain. Apabila pasokan energi dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri dan
60
Indonesia harus mengimpor BBM dari Negara lain. Impor yang tinggi tentu akan membahayakan negeri ini. Kondisi ini juga didukung oleh potensi sumberdaya minyak bumi dan kemampuan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas. Oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif untuk substitusi BBM. Dengan demikian tujuan dari penulisan ini membahas peluang pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel dan bioethanol sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin bensin di sektor transportasi. Pengembangan dalam pemanfaatan biofuel menjadi lebih menarik dengan semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia yang mencapai US$70 per barel pada akhir tahun 2005. Selanjutnya metodologi yang digunakan oleh Sugiyono (2005) adalah menggunakan model reference energy system (RES) yang diformulasi dalam bentuk linear programming. Model akan mengalokasikan penyediaan energi primer dan sekunder dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala berbagai pilihan sumber dan teknologi energi untuk memenuhi kebutuhan energi final maupun energi bermanfaat. Analisis dilakukan dengan tahun dasar 2003 dan periode analisis sampai dengan tahun 2025. Proyeksi kebutuhan energi merupakan masukan model MARKAL dan diproyeksikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan sektor ekonomi dan populasi. Proyeksi kebutuhan energi diperhitungkan dengan menggunakan model Model for Analysis of Energy Demand (MAED). Skenario yang akan ditinjau ada dua yaitu kasus dasar dan kasus harga minyak mentah tinggi. Kasus dasar menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Asumsi yang digunakan pada kasus dasar adalah discount rate sebesar 10 persen,
61
harga minyak bumi tahun 2003 – 2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 US$/barel. Sedangkan harga bahan baku biofuel adalah untuk CPO sebesar 60,2 US$/SBM dan untuk ubi kayu sebesar 60,8 US$/SBM. Dengan mempertimbangkan bahan bakau tersebut maka biaya produksi biodiesel dari CPO dengan kapasitas 100.000 ton/tahun adalah Rp. 4.240/liter dan biaya produksi bioethanol dari ubi kayu dengan kapasitas 60 kl/hari adalah sebesar Rp. 4.720/liter. Sedangkan untuk kasus harga minyak mentah yang tinggi digunakan asumsi harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel mulai tahun 2005. Masing-masing kasus dilakukan optimasi untuk melihat peluang pemanfaatan biofuel. Hasil penelitian Sugiono (2005) menunjukkan dengan harga minyak mentah sebesar 40 US$/barel (kasus dasar), diperoleh biaya total sistem energi Indonesia (discounted total cost) adalah sebesar 590,7 milyar US$. BBM merupakan bahan bakar yang paling dominan digunakan di sektor transportasi. Biofuel baik berupa biodiesel maupun bioethanol belum dapat bersaing dengan BBM. Pada harga tersebut, teknologi transportasi berbasis minyak solar dan bensin ternyata masih tetap lebih ekonomis dibanding dengan BBG, apalagi dibandingkan dengan menggunakan biodiesel atau bioethanol. Biaya pemanfaatan biodiesel dan bioethanol masih lebih tinggi dibanding bahan bakar konvensional. Selanjutnya, harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel dan 60 US$/barel akan meningkatkatkan biaya total sistem energi Indonesia masing-masing adalah sebesar 610,8 milyar US$ dan 627,4 milyar US$. Pada harga minyak mentah sebesar 50 US$/barel, pola pemakaian energi final di sektor transportasi masih relatif tetap seperti pada kasus dasar. Hal tersebut disebabkan biaya produksi
62
biodiesel berbahan baku dan biaya produksi bioethanol berbahan baku ubi kayu masih lebih mahal dari biaya produksi BBM di kilang minyak. Sedangkan dengan harga minyak 60 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol berpotensi untuk dimanfaatkan di sektor transportasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pada harga minyak mentah sebesar 55 US$/barel maka biodiesel dan bioethanol sudah dapat bersaing dengan BBM. Sehingga pada harga minyak mentah di atas 55 US$/barel maka sebagian besar penggunaan minyak solar dan bensin digantikan dengan biodiesel dan bioethanol. Pemanfaatan biodiesel dan bioethanol terus meningkat hingga pada tahun 2025 mencapai 47 juta SBM untuk biodiesel dan 103 juta SBM untuk bioethanol, sehingga kenaikan penggunaan minyak solar dan bensin di sektor ini dari tahun 2003 hingga tahun 2025 relatif kecil. Penggunaan minyak solar meningkat dari sebesar 72 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 82 juta SBM pada tahun 2025 dan penggunaan bensin meningkat dari 81 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 114 juta SBM pada tahun 2025. Pemakaian avtur yang tidak dapat digantikan oleh bahan bakar lain relatif tetap pertumbuhannya yaitu sekitar 6.8 persen per tahun. Selain biodiesel dan bioethanol, diperkirakan BBG juga dapat bersaing dengan minyak solar dan bensin, sehingga pada tahun 2025 kontribusi BBG di sektor transportasi meningkat menjadi 20.6 persen terhadap total pemakaian energi di sektor transportasi. Berkolaborasi dengan Sugiyono, Jamin (2009) kemudian menulis artikel tentang Pengembangan Kelistrikan Nasional. Artikel yang ditulis oleh Jamin dan Sugiyono diawali dengan peningkatan tenaga listrik di Indonesia sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dimana peningkatannya rata-rata sebesar 9.2
63
persen
per
tahun.
Peningkatan
penggunaan
tenaga
listrik
perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Oleh karena itu makalah ini bertujuan memberikan gambaran tentang pengembangan kelistrikan nasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor, baik aspek teknis maupun ekonomis. Selain itu juga dipaparkan target-target pemerintah dalam pengembangan teknologi untuk mendukung pengembangan kelistrikan nasional. Jamin dan Sugiyono (2009) memaparkan pembangkit tenaga listrik di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kepentingannya, yaitu untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN (Persero) dan sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta, dalam istilah umum disebut IPP (Independent Power Producer), serta koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri (captive power) diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan PLN atau karena alasan keandalan sistem. Kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN sampai tahun 2006 sebesar 24.8 GW. Sedangkan kapasitas pembangkit tenaga listrik milik swasta yang sudah mempunyai ijin sampai dengan tahun 2006 mencapai 3.7 GW. Penyedian tenaga listrik tahun 2006 sebesar 133.1 TWh yang terdiri atas produksi tenaga listrik PLN sebesar 104.5 TWh dan pembelian sebesar 28.6 TWh. Penjualan tenaga listrik PLN tahun 2006 sebesar 112.6 TWh. Penjualan untuk sektor industri sebesar 43.6 TWh, sektor rumah tangga sebesar 43.8 TWh, sektor komersial atau usaha sebesar 18.4 TWh dan sektor publik atau umum sebesar 6.8 TWh.
64
Selanjutnya dalam kerangka restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, Pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 1985 tentang usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PT PLN (Persero) sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dan Pemegang Ijin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum (PIUKU). Peran PIUKU sangat penting karena keterbatasan finansial pemerintah untuk pendanaan sektor ketenagalistrikan. Kebijakan pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan sinyal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Untuk
memenuhi
kebutuhan
tenaga
listrik
tersebut
perlu
mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Pembangkit tenaga listrik skala besar yang mungkin dikembangkan adalah menggunakan batubara, gas bumi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara menjadi prioritas pertama dan disusul PLTGU, PLTN dan PLTU Mulut Tambang Provinsi Sumatera Selatan. Disamping itu untuk energi terbarukan yang dapat dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS). Kemudian
Sugiono
dan
Suarna
(2006) menulis
artikel
dengan
dilatarbelakangi oleh pengamatan tentang peranan energi dalam pembangunan sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk penggerak perekonomian. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, diperkirakan permintaan energi akan terus
65
meningkat. Namun
disisi lain terjadi keterbatasan sumber daya energi. Oleh
karena itu perlu dilakukan pengoptimalkan penggunaan energi melalui perencanaan energi terpadu. Untuk menganalisis penggunaan energi secara terpadu digunakan model MARKAL. Dari hal diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah membahas konsep dan aplikasi dari model MARKAL untuk optimasi penyediaan energi. Lebih jauh Sugiyono dan Suarna
(2006) memaparkan bahwa model
MARKAL merupakan model untuk optimasi penyediaan energi dengan menggunakan teknik LP untuk mengalokasikan penyediaan energi dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala teknologi serta sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam aplikasi, model MARKAL sudah merupakan perangkat lunak terintegrasi dengan user interface yang disebut ANSWER dan dapat dijalankan dengan menggunakan PC. Perangkat lunak GAMS merupakan salah satu modul ANSWER yang digunakan untuk optimasi. Dengan menggunakan PC yang berbasis Windows maka proses optimasi dan analisis menjadi lebih interaktif dan relatif mudah untuk dikerjakan. Di Indonesia model MARKAL digunakan sejak tahun 1980 dengan dibentuknya tim perencanaan energi antar institusi dengan BPPT sebagai koordinator dan bekerja sama dengan KFA Jerman. Saat ini ada empat institusi yang mempunyai lisensi untuk menggunakannya, yaitu: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), ASEAN Centre for Energy (ACE), Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM).
66
Selanjut Sugiyono dan Suarna (2006) membagi wilayah penelitiannya menjadi empat wilayah, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Pulau-pulau lain. Studi dimulai dengan tahun dasar 2000 dan dianalisis sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan adalah discount rate sebesar 10 persen, harga minyak bumi tahun 2000-2004 sebesar 28 US $/barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 US$/barel. Database untuk Indonesia mempunyai lebih dari 280 teknologi dengan lebih dari 160 energy carrier. Matriks LP mempunyai lebih dari 22.000 variabel dan 22.000 persamaan. Hasil yang ditampilkan di sini hanya untuk pembangkit tenaga listrik pada kasus dasar yang menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Lebih dari 80 macam teknologi pembangkit tenaga listrik digunakan dalam model ini, baik yang sudah komersial saat ini maupun teknologi baru. Untuk lebih mempermudah analisis, teknologi pembangkit tenaga listrik digabung menjadi 4 macam sesuai dengan bahan bakarnya, yaitu: (1) Batubara, (2)Bahan bakar minyak (BBM) termasuk di dalamnya minyak bakar dan minyak diesel, (3) Gas termasuk turbin gas dan turbin kombinasi gas-uap, dan (4) Energi terbarukan dan energi nuklir termasuk pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas bumi, biomasa dan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN). Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyediaan tenaga listrik akan didominasi oleh pembangkit listrik batubara, diikuti oleh pembangkit listrik gas dan penggunaan energi terbarukan. Pembangkit tenaga listrik batubara mengalami pertumbuhan sebesar 9.7 persen per tahun. Pada akhir periode analisis, batubara merupakan bahan bakar terbanyak dengan pangsa sebesar 58 persen. Energi terbarukan mempunyai pangsa 20 persen dan pangsa penggunaan gas hanya sebesar 19 persen.
67
Tambunan (2006) menulis artikel dengan tujuan untuk menjelaskan alasan, tantangan, dan opsi kebijakan sehubungan dengan siklus harga minyak kedua tertinggi tahun 2005, dibandingkan dengan siklus tertinggi pertama tahun 1974. Tidak seperti siklus harga minyak pertama, yang dihadapkan pada masalah utama dari aspek suplai, siklus kedua terjadi lebih dasyat karena kombinasi antara faktor suplai dan deman. Faktor suplai meliputi:(1) terbatasnya investasi pada industri minyak, baik pada sektor hulu (upstream) maupun pada sektor hilir (downstream), (2) masalah-malasah geopolitik di Timur Tengah, Negeria dan wilayah lainnya, dan (3) produksi minyak di negara-negara non-OPEC yang menurun, dan OPEC juga tidak dapat mengontrol jumlah cadangan minyak dunia. Dari sisi deman, percepatan pertumbuhan ekonomi China dan India, dan pemulihan ekonomi di Asia telah ikut mendorong siklus harga yang tinggi. Sumber utama dari ketidakpastian harga minyak dunia adalah (1) perseteruan goopolitik di Timur Tengah yang tidak kunjung selesai, (2) factor “oil boom” di Rusia, (3) terbatasnya rekayasa teknologi dalam industri minyak, dan (4) pergeseran permintaan dari minyak fosil. Menurut Tambunan (2006) tantangan ke depan adalah harga minyak yang cenderung meningkat, dengan frekuensi peningkatan harga dalam rentang waktu yang relatif singkat. Tidak ada bukti empiris yang kuat untuk menyatakan sebaliknya. Jika prediksi tersebut benar, ini dapat menjadi pendorong merosotnya pertumbuhan ekonomi, khususnya menyerang ekonomi energi, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Berdasarkan kausus Indonesia sebagai negara penghasil minyak kecil: kenaikan harga minyak dan pergeseran dari negara pengekspor menjadi pengimpor menciptakan tekanan fiskal yang kuat,
68
sehingga pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia secara mendasar mengurangi subsidi harga minyak, menyebabkan harga minyak domesik meningkat 125 persen. Dampak siklus kedua ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tetap stagnan pada level 5.2 persen, yang diperkirakan bimencapai 6.2 bisa persen pada tahun 2005. Opsi kebijakan dunia yang terbaik untuk setiap negara, dan untuk kelompok (kerjasama) dunia, sehubungan dengan siklus kenaikan harga minyak menurut Tambunan (2006) adalah mengembangkan “green energy plan” yang berisikan lima pilar dasar: (1) membangun suatu rencana unuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi, (2) konservasi dan mengurangi polusi, (3) meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi minyak, (4) mengembangkan akses energi yang sama untuk wilayah pedesaan (khususnya listrik), dan (5) secara bertahap mengembangkan pasar swasta untuk energi.
2.4.3. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi pada Beberapa Negara Seperti halnya dengan sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi yang telah dilakukan di Indonesia, telah banyak studi sejenis yang dilakukan pada berbagai negara dengan menggunakan berbagai model. Modelmodel yang digunakan mulai dari yang menggunakan analisis deskriptif, model kuantitatif sederhana sampai yang kompleks. Berikut ini dipaparkan sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi pada beberapa negara. Khan (2008) melakukan studi dengan menggunakan pendekatan regional dan global untuk memecahkan masalah ketahanan energi dan ketidakseimbangan
69
ekologi, dengan tujuan sepesifik terhadap masalah-masalah ketahanan energi Cina. Pertumbuhan ekonomi Cina yang tergantung pada energi telah menjadi perhatian utama para pengambil kebijakan di negara tersebut terkait dengan ekonomi dan ketahanan nasional. Berambisi untuk mencapai tujuan modernisasi ekonomi yang setara dengan perekonomian negara-negara industri baru lainnya di Asia telah berhasil diraih Cina dengan sangat baik, namun mengalami kesulitan untuk melakukan reorientasi prioritas-prioritas ekonomi. Jika diuji secara teliti, dengan menggunakan asumsi strategis dapat dilihat bahwa tujuan sesungguhnya adalah untuk menciptakan kemajuan teknologi pada masa mendatang. Tepatnya, Cina berkeinginan untuk menjadi benar-benar berusaha untuk menciptakan sistem inovasi bagi kebutuhan sendiri secara besar-besaran sebagai bagian dari perekonomian berbasiskan ilmu pengetahuan pada masa mendatang. Sistem inovasi seperti itu dikenal dengan positive feedback loop innovation systems (POLIS), telah diciptakan oleh negara-negara maju dan negara-negara industri baru di Asia seperti Korea Selatan dan Taiwan yang telah terlebih dahulu mewujudkannya dengan baik. Tetapi ini akan menambah beban energinya dan kemudian tergantung pada Amerika Serikat sebagai kekuatan yang menjadi kontrol kunci jalur laut. Hanya dengan strategi reorientasi untuk membangun POLIS bagi memenuhi kebutuhan sendiri dan kerjasama kelembagaan regional yang tepat menjadi jalan keluar untuk mengatasi dilema yang dihadapi Cina saat ini. Model POLIS yang sensitif terhadap lingkungan dan distribusinya dapat dibangun untuk Cina dan diaplikasikan secara strategik untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan.
70
Menurut Khan (2008), bagaimanapun waktu adalah hal yang pokok. Dalam menentukan jalur ketergantungan pembangunan, apabila tidak dicarikan strategi alternatif untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam jangka waktu 5 tahun kedepan, mungkin akan terlambat. Hasil temuan awal mengkonfirmasikan prediksi-prediksi berdasarkan penggunaan bahan bakar fosil dan menjadi pertimbangan serius dari sumber-sumber energi alternatif. Pencapaian tujuan kembar yakni ketahanan energi dan keseimbangan ekologi merupakan tantangan tetapi sulit diwujudkan untuk Cina. Keseriusan riset kebijakan dapat digunakan secara efektif jika ada kemauan politik untuk melakukannya. Tujuan kerjasama regional juga dapat dicapai jika negosiasi untuk membangun kepercayaan dimulai lebih awal. Tepatnya, kerjasama perekonomian dengan negara-negara Asia, khususnya Jepang, Indonesia, Vietnam dan India menjadi krusial. Paper ini memperlihatkan kompleksitas kerjasama dan konflik antara Cina dan Jepang. Pada masa mendatang Cina juga harus melakukan kerjasama regional dengan Asia Timur, Selatan, dan Tenggara, demikian juga dengan negara-negara Afrika dan Amerika Latin. Ghader et al. (2006) membangunan model dan meramalkan permintaan listrik di Iran. Studi ini dilatarbelakangi oleh upaya untuk merealisasikan suatu perekonomian yang stabil, produksi dan eksploitasi energi perlu diprogramkan, sama pentingnya dengan faktor sumberdaya manusia, bahan baku, sumber-sumber keuangan dan input lainnya. Mempertimbangkan kondisi energi saat ini banyak negara lebih fokus pada ketersediaan energi yang terbatas. Untuk mewujudkan listrik sebagai salah satu sumber energi bersih, maka penyelarasan antara penawaran dan permintaan menjadi sebuah tantangan bagi para pengambil
71
kebijakan. Produktivitas industri dari sisi permintaan dan mekanisme harga dari sisi penawaran dapat dipertimbangkan sebagai alat yang tangguh dalam mengambil keputusan, mengelola dan mengawasi permintaan konsumsi listrik untuk industri. Dalam studi ini, sektor yang mengkonsumsi listrik dibagi dalam sektor pertanian dan sektor industri. Mengacu pada keberagaman industri dari sisi peralatan, produk, teknologi, proses dan konsumsi energi, maka sektor industri dalam mengkonsumsi listrik dibagi dalam dua kelompok, yaitu industri dengan konsumsi energi tinggi dan industri dengan konsumsi energi rendah, dan model permintaan disajikan untuk setiap sektor secara terpisah. Tiga jenis industri yang ditempatkan dalam kelompok pertama (industri dengan konsumsi energi tinggi), yaitu industri kimia, logam dasar, dan mineral bukan logam. Kemudian yang termasuk dalam kelompok kedua (industri dengan konsumsi energi rendah) adalah industri pangan, tekstil, kertas, dan industri-industri penghasil mesin. Metode analisis Ordinary Least Squares (OLS) digunakan untuk menduga dan meramalkan ketiga persamaan tersebut secara terpisah. Data yang digunakan adalah data time series pada periode 1979-2003. Temuan utama dari studi ini menyebutkan: (1) untuk model permintaan listrik pada industri dengan konsumsi listrik tinggi, intensitas listrik dan harga substitusi berpengaruh positif; (2) pada industri dengan konsumsi listrik rendah, jumlah pelanggan, berpengaruh positif dan signifikan; dan (3) pada sektor pertanian, jumlah konsumsi listrik peride yang lalu berpengaruh positif dan signifikan. Tubss (2008) membangun model simulasi permintaan dan penawaran energi di Kanada. Studi yang dilakukan oleh Tubss (2008) dimotivasi oleh
72
keinginannya
untuk
menggunakan
model
regresi
berganda dan
model
perdagangan antarwilayah ketika mengevaluasi kebijakan iklim di Kanada. Suatu model penawaran dan permintaan energi yang terintegrasi antara Kanada dan Amerika Serikat secara khusus penting untuk menganalisis kebijakan iklim Kanada karena perekonomian Kanada terintegrasi secara mendalam dengan perekonomian Amerika Serikat. Spesialisasi Kanada dalam komoditas membuat perekonomiannya mudah dipengaruhi oleh perubahan harga komoditas serta perubahan biaya produksi domestik yang diakibatkan oleh kebijakan iklim. Suatu model Kanada-Amerika Serikat yang terintegrasi dapat digunakan untuk menganalisis manfaat dari koordinasi kebijakan antara Kanada dan Amerika Serikat. Studi ini bertujuan untuk: (1) membangun model simulasi penggunaan energi Kanada dan Amerika Serikat, (2) menghubungkan model permintaan energi dengan model penawaran energi menggunakan model perdagangan energi internasional, dan (3) menggunakan model terintegrasi untuk melakukan simulasi terhadap sejumlah skenario terhadap kebijakan iklim Kanada dan Amerika Serikat pada masa mendatang. Model CIMS Kanada digunakan sebagai langkah awal untuk membangun dua model baru sektor perekonomian Kanada dan Amerika Serikta. Data dari Energy Information Administration (EIA) Amerika Serikat dan National Energy Modelling System (NEMS) digunakan dalam konstruksi model sektor Amerika Serikat. Data teknologi dari Model Kanada digunakan dalam model Amerika Serikat untuk sebuah perluasan yang besar, dengan penyesuaian untuk mencocokkan penggunaan dan emisi energi Amerika Serikat. Referensi EIA dari
73
Annual Energy Outlook 2006 digunakan untuk merumuskan skenario output perekonomian dan harga energi. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa peramalan efektivitas dan dampak perekonomian dari kebijakan-kebijakan publik untuk mengatasi masalah perubahan iklim membutuhkan model ekonomi energi yang tepat. Studi ini merupakan langkah awal integrasi model teknologi bottom-up dan model makroekonomi top-down. Hasil temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa output pada masa mendatang menurut sektor energi akan berkurang ketika ditetapkan harga terhadap emisi di Kanada. Kebijakan iklim Amerika Serikat juga menentukan pengurangan emisi di Kanada. Nondo dan Kahsai (2009) mempresentasikan hubungan antara konsumsi energi dan pertumbuhan energi untuk sejumlah negara di Afrika. Latar belakang dilakukan studi oleh Nondo dan Kahsai (2009) ini adalah fakta bahwa SubSaharan Africa pada dasarnya diberkahi dengan sejumlah sumberdaya energi natural seperti angin, batubara, minyak, kayu dan sinar matahari, namun sumbersumber dalam jumlah besar ini tidak dieksploitasi untuk beberapa dekade. Konsekuensinya banyak negara-negara Afrika mengalami defisit energi yang serius karena miskinnya investasi pada infrastruktur energi. Ketidakseimbangan persediaan pelayanan energi di Sub-Saharan Africa disebut oleh the United Nations Economic Commission for Africa (UNECA, 2004) sebagai keterbatasan faktor untuk pertumbuhan ekonomi dan usaha pengentasan kemiskinan. Terutama sekali pada penduduk desa dan penduduk miskin perkotaan yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan energi moderen. Dalam rangka untuk memenuhi konsumsi energi sehari-hari, mayoritas penduduk menggunakan sumber-sumber
74
biomass tradisional seperti kayu, sisa-sisa pertanian, dan sumber-sumber energi premitif lainnya dan oleh karenanya menyebabkan masalah degradasi lingkungan dan lahan. Pasca periode kemerdekaan di benua Afrika mulai akhir 1960-an, banyak pimpinan negara-negara Afrika membentuk integrasi wilayah sebagai sebagai elemen sentral dari strategi pembangunan mereka. Pembentukan Regional Economic Communities (RECs) di Afrika bertujuan untuk mendorong persatuan, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, meningkatkan daya saing dan mengintegrasikan negara-negara Afrika dalam perekonomian global melalui kerjasama yang menguntungkan antara negara-negara anggota. Mengacu pada penyediaan energi, banyak negara-negara Afrika membentuk kerjasama regional untuk mengatasi masalah defisit energi. Sebagai contoh, Common Market for Eastern and Southern Africa (COMESA) yang beranggotakan 20 negara, dengan tujuan mendorong integrasi regional melalui pembangunan perdagangan. Mayoritas negara-negara anggota COMESA adalah negara sedang berkembang dan juga sejumlah negara miskin. Dengan dibentuknya COMESA, belum cukup investasi pada sektor energi untuk membangun infrastruktur energi sehingga masih tetap terkebelakang. Namun demikian, kebijakan ini mampu meningkatkan konsumsi energi per kapita sehingga dapat membantu pencapaian pembangunan sosial dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa untuk merumuskan kebijakan energi dengan tepat, maka penting untuk menentukan hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan pertumbuhan ekonomi untuk COMESA.
75
Mengacu pada latar belakang di atas, studi ini menggunakan data panel untuk menganalisis hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan Produk Domestik Bruto (PDB) terhadap 19 negara Afrika berdasarkan data tahunan untuk periode 1980-2005. Pada tahap awal, dilakukan pengujian derajat integrasi antara konsumsi energi dan PDB dengan menggunakan tiga panel unit roots tests dan ditemukan bahwa variabel-variabel terintegrasi satu sama lain. Pada tahap kedua, dilakukan pengujian hubungan jangka panjang antara konsumsi energi dan PDB. Hasilnya memperlihatkan bahwa konsumsi energi dan PDB bergerak bersamasama dalam jangka panjang. Pada tahap ketiga, dilakukan pendugaan hubungan jangka panjang dan uji kausalitas menggunakan panel-based error correction models. Hasilnya mengindikasikan bahwa kausalitas jangka pendek dan jangka panjang
tidak
searah,
bergerak
dari
konsumsi
energi
ke
PDB.
Ini
mengimplikasikan bahwa berkurangnya konsumsi energi dapat menyebabkan menurunnya pertumbuhan ekonomi. Aqeel dan Butt. (2001), juga melakukan studi tentang hubungan antara konsumsi energi dan pertumbuhan energi, untuk kasus di Pakistan. Tujuan umum dari artikel yang ditulis Aqeel dan Butt (2001) adalah untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara konsumsi dan aktivitas perekonomian di Pakistan. Secara spesifik tujuannya adalah untuk menganalisis hubungan kausal antara konsumsi energi dan pertumbuhan PDB. Dapat ditambahkan bahwa untuk menjelaskan berbagai peluang terhadap arah kausalitas sebagai informasi lanjutan, konsumsi
energi
didisagregasi
kedalam
komponen-komponen
petroleum,
konsumsi gas dan listrik. Tujuan spesifik selanjutnya adalah untuk mengetahui arah hubungan kausalitas antara konsumsi energi dan kesempatan kerja. Uji
76
kausalitas Granger dengan menggunakan teknik kointegrasi digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya kointegrasi antara variable-variabel yang menjadi perhatian utama. Kemudian untuk menyeleksi panjangnya lag optimum, uji Granger versi Hsia digunakan untuk mengindentifikasi perbedaan data dan menggunakan kriteria FPE. Dari hasil pendugaan dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi mempengaruhi konsumsi energi total. Hasil investigasi lanjutan mengindikasikan bahwa pertumbuhan ekonomi menyebabkan konsumsi energi petroleum meningkat, sedangkan dalam kasus sektor gas, pertumbuhan ekonomi tidak mempengaruhi konsumsi gas. Namun demikian, untuk sektor pembangkit listrik, konsumsi energi mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Terakhir, konsumsi energi juga secara langsung mempengaruhi kesempatan kerja. Berdasarkan hasil temuan utama tersebut dapat dirumuskan sejumlah implikasi kebijakan. Ketika Pakistan harus mengeluarkan dana yang tinggi untuk mengimpor minyak, impor petroleum menurun menjadi $1.53 milyar pada tahun 1999/2000 dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar $1.57 milyar. Pada tahun 2000/2001 impor petroleum mencapai $2.5 milyar atau sekitar 25 persen dari total impor. Oleh karena itu, dengan penggunaan minyak secara lebih efisien dan menggantikan minyak dengan gas merupakan kebijakan yang baik. Implikasi dari studi ini menegaskan bahwa kebijakan konservasi energi sehubungan dengan konsumsi petroleum tidak akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Pakistan. Sebaliknya untuk kebijakan pertumbuhan energi dalam kasus gas dan konsumsi listrik, pertumbuhan dalam sektor ini menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan seperti ini akan memperluas kesempatan kerja di dalam negeri.
77
Kemudian Krichene (2005) membangun model persamaan simultan untuk pasar dunia minyak mentah dan gas alam. Artikel yang ditulis oleh Krichene (2005) dilatarbelakangi oleh fenomena pasar minyak mentah dan gas alam merupakan subjek goncangan dan memiliki konsekuensi perubahan/penguapan yang sangat tinggi di Amerika Serikat. Goncangan penawaran dan permintaan menyebabkan pergerakan yang besar pada harga minyak dan gas alam, yang diikuti respon dinamik penawaran dan permintaan energi, serta dalam eksplorasi energi dan aktivitas-aktivitas pembangunan. Oleh karenanya pemodelan pasar minyak mentah dan gas alam sangat penting, tidak hanya karena pengaruhnya terhadap aktivitas ekonomi makro, tetapi juga karena peranan energi dalam perencanaan investasi perusahaan dan rumahtangga. Biaya dan efisiensi energi telah menjadi perhatian utama dalam perencanaan investasi tersebut. Krichene
(2005)
membangun
model
persamaan
simultan
yang
menghubungkan antara harga minyak, perubahan nilai tukar efektif nominal dollar Amerika Serikat, dan suku bunga, yang kemudian mengidentifikasi goncangan kebijakan moneter terhadap peningkatan permintaan minyak mentah. Untuk tujuan pendugaan jangka pendek, model tersebut diduga dengan metode Two Stage Least Squares (2SLS). Untuk memperkuat keyakinan terhadap hasil pendugaan, model tersebut diduga kembali dengan Error Correction Model (ECM). Kemudian elastisitas jangka panjang diduga dengan bantuan analisis ECM dan kointegrasi. Temuan utama dari artikel tersebut menyebutkan bahwa penawaran dan permintaan minyak mentah dan gas alam terhadap harga sangat inelastis dalam jangka pendek, berarti terjadi perubahan/penguapan yang sangat tinggi pada pasar
78
minyak mentah dan gas alam. Permintaan minyak mentah mengalami perubahan struktural yang dalam pada periode 1973-2004. Sebagai catatan, lompatan harga minyak, ketika pajak energi di negara-negara pengimpor minyak tinggi, menyebabkan elastisitas permintaan berkurang secara signifikan, melalui substitusi dan penghematan energi, permintaan minyak jangka panjang tidak elastis, dengan permintaan terhadap bahan bakar cair meningkat secara terbatas untuk transportasi. Elastisitas pendapatan tinggi untuk permintaan minyak mentah dan gas alam. Elastisitas penawaran minyak mentah mengalami penurunan yang tajam setelah goncangan minyak, merefleksikan perubahan struktur pasar kompetitif menjadi tidak kompetitif. Demikian pula halnya dengan elastisitas gas alam dengan menggunakan model VECM, merefleksikan respon penawaran sebagai pendorong permintaan gas alam. Hasil analisis dampak kebijakan moneter terhadap harga minyak menunjukkan bahwa perubahan suku bunga dan nilai tukar nominal Amerika Serikat memberikan dampak yang signifikan terhadap harga minyak. Penurunan suku bunga dan depresiasi nilai tukar menyebabkan harga minyak meningkat tajam, dan sebaliknya. Hal ini mengindikasikan bahwa harga minyak dan gas alam akan tetap tinggi selama suku bunga menurun dan nilai tukar dollar terdepresiasi. Sebagai implikasinya, koordinasi kebijakan moneter antara negara-negara industri harus dilakukan untuk memasukkan perubahan/penguapan pasar minyak secara terpisah dalam target inflasi. Studi pertumbuhan ekonomi dan energi yang lebih kompleks dilakukan oleh Adams et al. (2006). Mencermati kondisi Thailand sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengimpor energi, Adams et al. (2000)
79
membangun suatu model keseimbangan energi untuk Thailand, melakukan proyeksi kebutuhan energi pada masa mendatang, dan menguji berbagai strategi alternatif untuk mengatasi masalah ketergantungan energi. Kunci untuk memproyeksi keseimbangan energi adalah hubungan antara komponen-komponen yang terkait dengan pembangunan ekonomi dan struktur keterkaitan internal yang membentuk keseimbangan. Model persamaan simultan dengan pendekatan analisis Two Stages Least Squares (2SLS), terhadap data neraca keseimbangan energi
Thailand
pada
periode
1978-1993,
digunakan
untuk
menduga,
memproyeksi dan mensimulasi model keseimbangan energi yang dibangun. Model keseimbangan energi yang dibangun terdiri dari 3 (tiga) blok. Blok 1 adalah blok kebutuhan energi total menurut sektor. Kebutuhan energi total terhadap masing-masing bahan bakar sekunder (secondary fuels) dibangun dalam persamaan-persamaan secara terpisah. Total permintaan sektoral terhadap bahan bakar menyatakan kebutuhan energi sekunder menurut bahan bakar. Blok berikutnya adalah transformasi. Kebutuhan produk dipenuhi dengan transformasi domestik atau impor. Jumlah listrik yang dihasilkan secara langsung berhubungan dengan kebutuhan jumlah konsumsi domestik. Diasumsikan bahwa kecukupan kapasitas pembangkit terpenuhi, yaitu konsumsi tenaga listrik (electrical power) tidak dibatasi oleh kapasitas, dan tidak ada impor yang signifikan. Kebutuhan bahan bakar untuk pembangkit listrik thermal merefleksikan kebutuhan tenaga thermal (setelah diberikan kepada bentuk-bentuk tenaga listrik lainnya) dan parameter efisiensi eksogen. Input minyak mentah (crude oil input) untuk penyulingan (refining) ditentukan oleh kesediaan kapasitas kilang minyak (refinery) dan pemanfaatan kapasitas. Output kilang minyak kemudian ditentukan oleh input minyak mentah dan parameter kehilangan sebuah kilang minyak.
80
Blok yang terakhir adalah blok penyediaan energi primer yang terdiri dari produksi domestik, ekspor dan impor. Produksi domestik diproyeksikan berdasarkan suplai saat ini dan proyeksi dari sumber-sumber domestik. Ekspor ditetapkan sebagai variabel eksogen karena volumenya relatif kecil kecuali untuk produk-produk
petroleum
(industri
perminyakan)
yang
merefleksikan
ketidakseimbangan antara konsumsi dan spektrum penyulingan. Kebutuhan impor minyak mentah petroleum dan produk-produk petroleum, yang menjadi target analisis, dihitung sebagai selisih antara kebutuhan domestik (plus ekspor) dan produksi domestik. Dengan demikian keseimbangan energi menyajikan suatu kerangka pemikiran dan menyajikan identitas dasar dari sistem yang dibangun. Persamaan perilaku menyatakan keterkaitan antara aktivitas dalam perekonomian dan respon terhadap harga energi relatif dan penggunaan teknologi. Persamaan-persamaan tersebut juga menggambarkan peranan penting dari stok minyak yang dikonsumsi peralatan, kendaraan, dan kapasitas penyulingan. Temuan utama dari studi ini menyebutkan bahwa negara-negara seperti Thailand yang berada pada kondisi kekurangan energi dan sedang tumbuh dengan sangat cepat akan terbebani, ceteris paribus, dengan biaya impor energi yang besar. Pertumbuhan energi relatif terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan produk-produk industri, tidak tumbuh lebih cepat daripada pertumbuhan ekspor. Oleh karenanya peningkatan produksi energi domestik atau perbaikan efisiensi dapat membantu mengurangi kecenderungan impor energi yang lebih tinggi dari pertumbuhan ekonomi, namun memberikan dampak terhadap pajak energi lebih besar, khusus terhadap bensin dan gasoline relatif kecil.
III. KERANGKA TEORITIS 3.1. Kedudukan Energi dalam Output Perekonomian Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab 2, ada paradoks antara perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas sumberdayasumberdaya lainnya. Perubahan kualitas sumberdaya cenderung diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis. Menurut Stern (2003), jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan. Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris. Senada dengan pendapat Stern (2003), Reksohadiprodjo dan Pradono (1999) menyatakan bahwa energi merupakan salah satu sumberdaya alam penting yang mempengaruhi output/produksi nasional. Sumberdaya yang dapat menjadi kendala dalam pembangunan ekonomi meliputi sumberdaya lahan, manusia, modal, teknologi, informasi, dan energi. Sumberdaya ini merupakan faktor produksi atau input dalam suatu proses produksi. Faktor tenaga keja, modal, dan teknologi berasal dari manusia, sedangkan sumberdaya alam dan energi lebih bersifat pemberian alam. Fungsi
82
produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah masukan (input) dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = f(L, K, N, E, T) ................................................................................
(1)
dimana: Y = Output/produksi nasional L = Jumlah tenaga kerja K = Kapital N = Sumberdaya alam E = Enterpreneuship T = Teknologi Secara empiris, dengan menggunakan prinsip dualitas dalam produksi, peubah-peubah fisik yang dimasukkan ke dalam model dapat difomulasikan ke dalam nilai uang. Peubah output/produksi nasional menggunakan data PDB, peubah tenaga kerja dapat menggunakan proksi upah dan peubah kapital menggunakan proksi suku bunga. Peubah sumberdaya alam, dalam studi ini adalah energi, tetap menggunakan kuantitas konsumsi energi. Peubah enterpreneuship (kewirausahaan) tidak digunakan karena tidak tersedianya data enterpreneuship pada data deret waktu. Sementara itu peubah teknologi dapat menggunakan proksi trend. Walaupun dalam suatu studi yang ideal seluruh peubah tersebut perlu dimasukkan, namun kendala ketersediaan data dan masalah teknis pendugaan memungkinkan sejumlah peubah tidak dapat dimasukkan ke dalam persamaan. Disamping itu, setiap peubah dapat didisagregasi sesuai kebutuhan. Dalam studi ini dilakukan disagregasi, yaitu
83
sektor industri, sektor transportasi, sektor pertanian, dan sektor lainnya. Secara umum, dalam studi ini fungsi output/produksi nasional dirumuskan sebagai berikut; PDB i
= f(Wi, r, Cei, T, PDB it-1) ..........................................................
(2)
dimana: PDB i
= Poduk Domestik Bruto sektor ke i
Wi
= Upah tenaga kerja sektor ke i
r
= Suku bunga
Cei
= Konsumsi energi sektor ke i
T
= Trend
LPDBit-1 = Lag PDB 3.2. Konsep Permintaan Energi Permintaan energi berasal dari permintaan terhadap suatu barang dan jasa, yaitu keinginan untuk menggunakannya bagi memenuhi kepuasan konsumen. Secara teoritis, permintaan seorang konsumen terhadap suatu barang dapat diturunkan dari fingsi kegunaan (utility function), dengan pembatasan angaran belanja dari konsumen tersebut (Varian, 1992; Koutsoyiannis,1982; dan Henderson dan Quandt, 1980). Oleh sebab itu fungsi permintaan energi untuk konsumsi langsung juga dapat diturunkan dari fungsi kegunaan konsumen energi (energy user). Secara matematis fungsi kegunaan
konsumen energi dapat dituliskan sebagai berikut:
U = f(Ce,Cne) ........................................................................................ dimana: U
= Tingkat utilitas konsumen
Ce
= Jumlah konsumsi energi
Cne
= Jumlah konsumsi barang lain (non energi)
(3)
84
Dengan menggunakan fungsi permintaan Marshallian yang mengasumsikan konsumen bersikap rasional, maka konsumen akan memaksimumkan kegunaannya dalam mengkonsumsi barang-barang tersebut pada tingkat harga dan pendapatan tertentu. Pada tingkat harga energi Pe dan harga barang selain energi Pne, serta pendapatan konsumen Y, maka fungsi anggaran konsumen dapat dinyatakan sebagai berikut: Y = Pe * Ce + Pne * Cne ......................................................................... Fungsi
permintaan
Marshallian
merumuskan
bahwa
(4)
konsumen
memaksimumkan kepuasannya dengan kendala anggaran. Dengan menggunakan prinsip tersebut, rumus pemecahan maksimisasi kegunaan energi dengan pembatas pendapatan konsumen menggunakan fungsi lagrange (L) dan lagrange multiplier (λ ) sebagai berikut: L = f(Ce, Cne) + λ(Y - Pe * Ce - Pne * Cne) ........................................
(5)
Fungsi permintaan energi akan diperoleh jika persamaan (5) memenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC), yaitu turunan pertama sama dengan nol dan determinan matrik Hessian bernilai positif. Selain itu, dari FOC diperoleh: L
L
Ce * Pe = 0 atau Ce = λ* Pe ..........................................
(6)
Cne * Pne atau Cne = λ*Pne .....................................
(7)
Y Pj *Cj Pnj * Cnj ..............................................................
(8)
Ce
Cne
L
85
dengan mensubstitusikan persamaan (7) ke persamaan (8) maka akan diperoleh: Ce' Cne' ....................................................................................... Pj Pne'
atau
(9)
Ce' Pe ........................................................................................... (10) Cne' Pne
Ce' adalah marginal utility dari konsumsi energi, sedangkan Cne' adalah tambahan marginal utility dari konsumsi barang lain atau non-energi. Makna dari persamaan (10) adalah bahwa kepuasan konsumen dalam mengkonsumsi sejumlah barang akan maksimum jika rasio tambahan kepuasan yang dihasilkan oleh barang tersebut sama dengan rasio harganya. Menurut Hendersond and Quandt (1980) dengan menyelesaikan Ce dan Cne, yaitu dengan mensubstitusikan persamaan (6) dan (7) ke dalam persamaan (8) akan menghasilkan fungsi permintaan energi dan barang non energi berikut: Ce = (Pe, Pne, Y) .................................................................................... (11) Cne = f(Pe, Pne, Y).................................................................................. (12) Ini berarti permintaan konsumen terhadap energi dan barang konsumsi lainnya ditentukan oleh harga energi, harga barang konsumsi lainnya dan pendapatan konsumen. Persamaan (11) dan (12) digunakan untuk permintaan energi pada sektor rumahtangga. Untuk sektor selain rumahtangga, seperti sektor industri, transportasi, pertanian dan sektor lainnya, permintaan energi merupakan permintaan input antara yang digunakan untuk menghasil output. Dengan demikian konsep teori permintaan energi pada sektor tersebut mengunakan konsep teori permintaan input.
86
Secara teoritis, fungsi permintaan input dibangun dari pendekatan penurunan fungsi keuntungan atau fungsi biaya. Pendekatan pertama dikenal dengan pendekatan maksimisasi laba, dan pendekatan kedua dikenal dengan minimisasi biaya, sehingga kedua pendekatan tersebut dikenal dengan pendekatan dualitas dalam produksi. Kedua pendekatan tersebut menghasil pemecahan sama (Henderson dan Quandt,1980 dan Hartono, 2004) Dengan demikian untuk menurunkan fungsi permintaan input dapat dilakukan dengan menurunkan fungsi keuntungan. Fungsi produksi yang menyatakan hubungan antara keluaran (output) dengan jumlah masukan (input) tenaga kerja (L), modal (K), sumberdaya alam (N) dan input lainnya (Z). Hubungan antara output dan input tersebut dapat dilihat dalam bentuk fungsi produksi sebagai berikut: Y = f(L,K,N,Z) .......................................................................................
(13)
Selanjutnya dari fungsi produksi tersebut dapat ditentukan fungsi keuntungan sebagai berikut: Л= Pq*f(L,K,N,Z) – λ (Pl*L + Pk*K + Pn*N +Pz*Z) ...............................(14) dimana: Л= keuntungan produsen Pq= harga output Y Pl = harga input L (upah) Pk = harga input K Pn = harga input N Pz = harga input lain Z.
87
Fungsi permintaan input diperoleh jika dipenuhi syarat First Order Condition (FOC) dan Second Order Condition (SOC). Dimana FOC mensyaratkan bahwa turunan pertama dari fungsi keuntungan tersebut harus sama dengan nol, dan SOC mensyaratkan nilai determinan matrik Hessian harus positif (Koutsoyiannis, 1979; Henderson dan Quandt, 1980 dan Hartono, 2004). Bila kedua persyaratan tersebut dipenuhi maka dari FOC akan diperoleh:
= Pq * L’- Pl = 0 atau Pa = Pq * L' .................................................... L
(15)
= Pq * K’ - Pk = 0 atau Pk = Pq * K’ .................................................... (16) K
= Pq * N' - Pn = 0 atau Pn = Pq * N' ..................................................... (17) N = Pq * Z' - Pz = 0 atau Pz = Pq * Z' ...................................................... Z
(18)
Penyelesaian terhadap persamaan( 15) hingga (18) akan menghasilkan fungsi permintaan input sebagai berikut: L = f(Pl, Pk, PN, Pz, Pq) .........................................................................
(19)
K = f(Pk, PN, Pl, Pz, Pq) ........................................................................
(20)
N = f(Pn, Pl, Pk, Pz, Pq) .......................................................................... (21) Z = f(Pz, Pl Pk, Pn, Pq) ........................................................................... dimana: L = permintaan tenaga kerja K = permintaan modal N = permintaan sumberdaya Z = permintaan terhadap input Iainnya.
(22)
88
Secara empiris,
permintaan energi sektoral (sektor industri, transportasi,
pertanian dan sektor lainnya) meliputi permintaan energi BBM, listrik, batubara, gas dan biomas. Mengacu pada persamaan (19) sampai (22) maka permintaan energi per jenis energi dipengaruhi oleh harga energi itu sendiri, harga energi lainnya (bersifat subsitusi atau komplemen), harga output dan peubah bedakalanya. Karena penelitian ini menggunakan pendekatan makroekonomi, harga output yang digunakan adalah PDB sektoral. Dengan demikian permintaan energi sektoral per jenis energi dapat dirumuskan: Ceij = f(P i, Pz, PDBj, Ceijt-1)
...............................................................
(23)
dimana: Ceij
= Konsumsi energi ke i sektor ke j
Pi
= Harga energi ke i
Pz
= Harga energi lainnya
PDB
= PDB sektor ke j
Ceijt-1 = Lag konsumsi energi ke i sektor ke j Permintaan energi yang oleh konsumen dalam bentuk energi akhir (Final Energy) yang diklasifikasikan berdasarkan sektoral. Dalam World Energi Model (WEM) yang dibangun Oleh IEA sejak tahun 1993 bahwa permintaan energi dapat dibagi menurut sektoral yang terdiri dari permintaan energi final sektor industri, sektor rumahtangga, sektor jasa dan sektor transportasi (IEA, 2008). Namun dalam data neraca energi Indonesia yang dikeluarkan oleh Kementrian Energy Sumberdaya
89
Mineral bahwa permintaan energi akhir terdiri dari beberapa sektor yaitu sektor industri, transportasi, rumahtangga, komersial dan sektor lainya. Menurut IEA (2008) Wilayah-wilayah yang termasuk dalam Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) dan non-OECD permintaan energi akhir dimodelkan dalam cakupan sektoral dan pengguna energi akhir secara rinci, yakni: (1) Industri dipisahkan ke dalam lima sub-sektor, sehingga memungkinkan analisis yang lebih rinci mengenai trend dan pengendalian di sektor industri; (2) Permintaan energi residensial (pemukiman) dipisahkan menjadi lima pengguna akhir menurut bahan bakar; (3) Permintaan jasa-jasa; dan (4) Permintaan energi sektor transportasi dimodelkan secara rinci menurut moda angkutan dan bahan bakar. Permintaan energi akhir dimodelkan pada tingkat sektoral untuk setiap wilayah WEM, tetapi dilakukan pemisahan pada tingkat pengguna akhir. Dalam penelitian ini permintaan energi sektor industri tidak dirinci dalam sub-sektor dan permintaan energi akhir sektor transportasi tidak dirinci berdasarkan moda angkutan secara detail karena keterbatan data. Total permintaan energi akhir adalah jumlah konsumsi energi di setiap sektor pengguna akhir. Pada setiap sub-sektor atau pengguna akhir, setidaknya enam jenis energi ini akan ditampilkan: batubara, minyak, gas, listrik, energi panas bumi dan energi-energi terbarukan. Namun, tingkat agregasi ini masih terlalu agregat, sehingga ada sejumlah aspek yang tidak bisa dimunculkan secara gamblang. Sebagai contoh, produk-produk minyak yang berbeda dimodelkan secara terpisah sebagai input ke model kilang minyak. Dalam setiap sub-sektor atau pengguna akhir, permintaan energi diduga sebagai hasil dari peubah intensitas energi dan peubah aktivitas.
90
Pada persamaan-persamaan penting, permintaan energi adalah fungsi dari peubah-peubah berikut: 1. Peubah aktivitas. Peubah aktivitas yang biasa digunakan adalah peubah PDB atau PDB per-kapita. Dalam banyak kasus, peubah aktivitas yang banyak digunakan adalah PDB total maupun PDB sektoral. PDB total maupun PDB sektoral kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun sebagai peubah bedakala. 2. Harga pengguna akhir. Peubah harga yang digunakan dalam bentuk data historis time-series untuk batubara, minyak, gas dan harga listrik. Untuk setiap sektor digunakan harga perwakilan (atau harga rata-rata tertimbang) yang diturunkan dengan memperhatikan bauran produk dalam konsumsi akhir dan perbedaan antarwilayah (jika studi mendisagregasi wilayah). Harga pengguna akhir ini kemudian digunakan sebagai peubah penjelas baik secara langsung ataupun sebagai peubah bedakala. 3. Peubah lain. Peubah lainnya yang dapat dimasukkan ke dalam model adalah peubah yang digunakan untuk memperhitungkan perubahan struktural dan teknologi, efek-efek saturasi atau pengendali penting lainnya. Dari sisi penggunaan akhir, model dapat dikembangkan menurut pengguna yang dapat dibagi menjadi pengguna industri, transportasi, rumahtangga, jasa, dan sektor ekonomi lainnya. Masing-masing sektor pengguna dapat didisagregasi sesuai dengan tujuan penelitian yang diharapkan dan data yang tersedia. Untuk sektor industri misalnya dapat didisagregasi menjadi agroindustri dan non agroindustri. Sektor transportasi didisagregasi menurut mode transportasi seperti penggunaan
91
sarana transportasi publik dan transportasi pribadi, disagregasi menurut roda, jenis bahan bakar dan lainnya. Dan untuk rumahtangga dapat diagregasi menurut jenis peralatan
rumahtangga
yang menggunakan
energi, rumahtangga
desa-kota,
rumahtangga pertanian-non pertanian dan lainnya.
3.3. Konsep Penyediaan dan Transformasi Energi Dalam WEM yang dibangun oleh IEA (2008) modul penyediaan energi fosil bertujuan untuk memproyeksikan tingkat produksi energi fosil (khususnya minyak) di setiap negara. Tingkat energi fosil disetiap negara melalui pendekatan parsial bottomup. Pendekatan tersebut disajikan pada Gambar 9. Identified y et-to -be Developed fields
Onshore Shelf Deepwater Non-Conv.
Available cast constraints
Potential greenfield project s
Reserves
Selected projects ’ gross capacities New fields production
Technical and drilling costs
Standart production prifiles Total production
Price threshold for economic analysis
Existing field s (from start of projection) Total cash Existing fields Net Output
Decline rate (aggregate)
Industry cash flow s
Developments investments
Realised market price Industry total investments
Industry’s share of cash-flow (after government take)
Industry investment policy (re-investment rate)
New discoveries
Creaming curves base on USGS estimates of ultimately recoverable resources
Number of exploration wells
Sumber: IEA, 2008 Gambar 9. Struktur Modul Penyediaan Energi Fosil
Producing fields investments
Exploration investments
92
Berdasarkan Gambar 9 dapat dijelaskan bahwa struktur modul suplai energi fosil berdasarkan pada: 1. Review statistik yang lengkap dari rangkaian sejarah panjang semua negara produsen, mencakup produksi di darat maupun produksi lepas pantai, data-data penemuan dan pengeboran. 2. Pengembangan daftar penemuan-penemuan masa lalu. 3. Perincian data lapangan berdasarkan pada profil standar produksi dan perkiraan tingkat penurunan pada level lapangan dan level negara. 4. Perluasan survei dari proyek-proyek hulu yang diduga, direncanakan dan diumumkan dalam jangka pendek dan jangka menengah oleh negara-negara OPEC dan Non-OPEC, mencakup cadangan konvensional dan non-konvensional. 5. Metodologi baru dalam WEO-2008 yang bertujuan untuk meniru sedapat mungkin keputusan modus dari industri dalam mengembangkan cadangan baru dengan menggunakan kriteria Net Present Value dari arus kas masa depan. 6. Satu set asumsi ekonomi dibahas dan disahkan oleh industri termasuk tingkat diskonto dan harga ambang batas yang digunakan dalam analisis ekonomi proyek-proyek potensial, biaya pengeboran, tingkat pengembalian investasi arus kas industri dan pangsa eksplorasi total investasi. 7. Perluasan survei regim fiskal diterjemahkan ke dalam perkiraan pemerintah masing-masing dalam bentuk arus kas yang dihasilkan oleh proyek-proyek. 8. Menduga nilai akhir dari pemulihan cadangan. Setiap negara memproyeksikan profil produksi bahan bakar fosil terdiri dari enam komponen:
93
1. Proyeksi produksi dari produksi saat ini: tingkat penurunan yang diproyeksikan dari produksi di darat maupun di lepas pantai berdasarkan hasil analisis lapangan. 2. Produksi dari perkembangan temuan lapangan yang diduga, direncanakan dan diumumkan. 3. Produksi dari ladang-ladang yang menunggu pengembangan. 4. Produksi dari ladang yang belum diketahui. 5. Perkiraan potensi dari proyek-proyek tambahan. 6. Produksi gas alam cair dan lainnya. Transformasi energi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan konsep penyediaan energi dalam rangka menghasilkan energi yang siap dikonsumsi. Transformasi energi adalah proses perubahan energi dari satu bentuk ke bentuk lain. Dengan kata lain transformasi energi merupakan perubahan energi primer seperti batubara, minyak mentah, gas dan lain-lain menjadi energi akhir (Energy Final) seperti BBM, listrik, LPG (Liquefied Petroleum Gas), LNG (Liquefied Natural Gas) dan lain-lain. Energi akhir inilah yang dapat dikonsumsi oleh penggunanya, seperti energi yang dikonsumsi oleh sektor industri, transportasi, rumahtangga, pertanian, dan sektor lainnya. Dengan demikian transformasi energi merupakan bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dalam proses penyediaan dan konsumsi energi. WEM membangun model permintaan kilang global di antara daerah utama: OECD, transisi ekonomi, Cina, India, Timur Tengah, Afrika Utara dan daerah-daerah berkembang lainnya. Kapasitas kilang dipisahkan menurut produksi, permintaan, ekspor minyak mentah dan produk olahan, dan biaya. Gambar 10 menunjukkan struktur dari modul kilang dan transformasi energi.
94
Sumber: IEA, 2008 Gambar 10. Struktur Modul Kilang dan Transformasi Energi
Setelah menentukan output dan kapasitas kilang, kemudian dihitung neraca produk minyak global. Total permintaan produk minyak (tidak termasuk penggunaan langsung minyak mentah) disesuaikan dengan total pasokan produk minyak, termasuk produk dari NGLs dan GTLs. Dengan demikian, pada tingkat global: Total output kilang = total permintaan produk minyak - (produk NGLs + produk GTL) + (penggunaan sendiri kilang) Model neraca penawaran dan permintaan melalui proses pengoptimalan. Kelebihan permintaan dibagi menurut sebuah matriks pengoptimalan yang memperhitungkan biaya unit, lingkungan dan kendala politik dan kendala kapasitas. Ada tiga jenis kapasitas penyulingan tambahan: kilang baru (biaya tertinggi); menambahkan kapasitas kilang yang ada dan kapasitas secara perlahan-lahan (biaya terendah). Kapasitas penyulingan mengacu pada kapasitas hari kalender. Persyaratan investasi dipisahkan antara investasi tambahan dan investasi konversi. Penambahan
95
investasi didasarkan pada biaya saat ini yang bervariasi antar wilayah/negara. Untuk penambahan
investasi,
model
tersebut
memproyeksikan
pangsa
kapasitas
penyulingan tambahan untuk masing-masing daerah/negara dan mengalokasikan biaya yang sesuai. Investasi konversi didasarkan pada perkiraan biaya memodifikasi kapasitas yang ada untuk memenuhi permintaan baru (produk yang lebih ringan) atau pembatasan lingkungan baru pada produk (mengandung belerang). Permintaan produk dibagi menjadi tiga: ringan, menengah dan berat. Model menggunakan rincian sektoral dan spesifikasi wilayah/negara untuk memproyeksikan permintaan produk. Modul kilang memproyeksikan kebutuhan kapasitas konversi, didasarkan pada proyeksi permintaan produk-produk ringan, menengah dan berat, dan mengantisipasi peraturan lingkungan. Proyeksi yang digunakan untuk menghitung biaya investasi per juta barel per hari dikonversi. Dilakukan penghitungan rata-rata tertimbang biaya teknologi, dengan memperhitungkan biaya masing-masing teknologi yang berbeda seperti catalytic crackers and hydro-skimmers, dari sumbersumber industri. Investasi kilang tidak termasuk biaya pemeliharaan. Disamping membangun Modul Kilang, WEM juga membangun modul pembangkit listrik yang menghitung: (1) Permintaan listrik, (2) Jumlah listrik yang dihasilkan oleh setiap jenis pembangkit untuk memenuhi permintaan listrik, (3) Jumlah kapasitas pembangkit baru yang diperlukan, (4) Jenis pembangkit baru yang akan dibangun, (5) Konsumsi bahan bakar dari sektor pembangkit listrik, dan (6) Harga listrik. Untuk setiap wilayah, permintaan listrik dihitung dalam modul permintaan berdasarkan sektor. Berbagai faktor yang mempengaruhi permintaan layanan listrik,
96
mencakup harga listrik, pendapatan rumahtangga, dan kemungkinan beralih ke sumber energi lain untuk menyediakan layanan yang sama. PDB per kapita sebagai proksi pendapatan. Modul struktur pembangkit listrik ini dijelaskan pada Gambar 11.
Sumber: IEA, 2008 Gambar 11. Struktur Modul Pembangkitan Listrik Untuk setiap wilayah, pembangkit listrik dihitung dengan menambahkan proyeksi permintaan listrik, listrik yang digunakan oleh pembangkit listrik sendiri dan kerugian/kehilangan jaringan. Kapasitas yang ada didasarkan pada database dari seluruh pembangkit listrik dunia. Untuk setiap wilayah, diasumsikan beban terpenuhi.
97
Kapasitas pembangkit baru dihitung sebagai selisih antara total kapasitas listrik yang dibutuhkan dan realisasi. Kapasitas untuk pembangkit listrik tenaga nuklir dan pembangkit listrik energi terbarukan didasarkan pada asumsi-asumsi, yang pada gilirannya didasarkan pada penilaian terhadap rencana pemerintah dan daya saing relatif teknologi ini dengan
teknologi pembangkit listrik berbahan bakar
fosil. Pada kondisi
keseimbangan pasar, berlaku asumsi bahwa harga yang berlaku adalah harga bahan bakar fosil internasional. Modul pembangkit listrik energi terbarukan (energi biomassa, angin, sinar matahari, air, gelombang pasang dan surut dan lainnya) dapat dilihat pada Gambar 12.
Sumber: IEA, 2008 Gambar 12. Struktur Modul Pembangkit Listrik Energi Terbarukan
98
3.4. Konsep Efisiensi Pemakaian Energi Hipotesis penelitian ini menunjukkan ada hubungan yang erat antara konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi (PDB). Dari hubungan ini dapat diperkirakan berapa kenaikan konsumsi energi yang diperlukan untuk mendapatkan tingkat pertumbuhan PDB tertentu. Besarnya kenaikan konsumsi energi yang dibutuhkan untuk menaikkan PDB dapat diketahui dengan menghitung elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi dirumuskan (Yusgiantoro, 2000; dan KESDM, 2006):
( EC / EC) ................................................................................ (PBD / PDB )
(24)
dimana: ε
= Elastisitas pemakaian energi
ΔEC
= Incremental konsumsi energi pada tahun tertentu (EC2-EC1)
EC
= Konsumsi energi pada tahun tertentu
ΔPDB = Incremental PDB pada tahun tertentu (PDB2-PDB1) PDB
= Produk Domestik Bruto pada tahun tertentu
Selain untuk melihat hubungan antara konsumsi energi dengan PDB, Beberapa manfaat elastisitas pemakaian energi yang digunakan yaitu sebagai indikator dalam proses pengambilan keputusan strategi pembangunan dan untuk mengukur tingkat efisiensi pemakaian energi pada suatu negara. Elastisitas pemakaian energi yang besar dari satu (ε>1) menunjukkan pemakaian energi suatu
99
negara tersebut tergolong boros. Sebaliknya, elastisitas pemakaian energi yang kecil dari satu (ε< 1) menunjukkan pemakaian energi pada negara tersebut efisien. Namun elastisitas bukanlah satu-satunya konsep yang digunakan untuk pengetahui peranan energi dalam pembangunan. Beberapa negara tertentu menggunakan konsep perhitungan selain elastisitas pemakaian energi, yiatu konsep intensitas energi. Konsep intensitas energi dapat dirumuskan: I = EC/PDB .............................................................................................
(25)
dimana: I
= Intensitas energi
EC
= Konsumsi energi pada waktu tertentu
Yusgiantoro (2000) mengatakan bahwa intensitas energi tidak dapat menggambarkan efisiensi pemakaian energi. Hal ini disebabkan konsep yang digunakan dalam intensitas energi adalah konsep rata-rata (average), bukan konsep marjinal (marginal) seperti elastisitas pemakaian energi. Penjelasan intensitas energi terbatas pada besar pemakaian energi dalam pembangunan suatu negara. Dengan membandingkan keduanya dapat diketahui keunggulan konsep elastisitas pemakaian energi. Efisiensi penggunaan energi dapat diketahui dari elastisitas energi, tetapi tidak dapat diketahui dari intensitas energi. Oleh karena itu dalam penelitian ini, untuk mengetahui efisiensi pemakaian energi digunakan konsep elastisitas pemakaian energi. Elastisitas pemakaian energi yang akan dipaparkan pada Bab VIII dengan menampilkan elastisitas pemakaian energi berbagai sektor (sektor industri, rumahtangga, transportasi, pertanian dan sektor lainnya).
100
3.5. Kerangka Pemikiran Berdasarkan konsep dan penelitian empiris yang telah diuraikan pada bagian tinjauan pustaka dan mengacu pada perumusan masalah dan tujuan penelitian, ada hubungan yang erat antara konsumsi energi dengan perkembangan perekonomian suatu negara, termasuk di Indonesia (Gambar 13). Merujuk pada hasil ulasan terhadap sejumlah literatur yang telah dipaparkan pada bagian pendahuluan dan tinjauan pustaka dapat dinyatakan bahwa permasalahan konsumsi dan penyediaan energi dalam kaitannya dengan perkembangan perekonomian Indonesia dapat dilihat dari sisi konsumsi (permintaan) dan dari sisi penyediaan (penawaran). Dari sisi konsumsi, sektor energi di Indonesia paling tidak dihadapkan pada tiga permasalahan. Pertama, pemanfaatan energi di Indonesia yang relatif boros, diperlihatkan oleh tingkat elastisitas dan intensitas pemakaian energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Elastisitas konsumsi energi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase peningkatan PDB menyebabkan persentase peningkatan konsumsi energi lebih tinggi dari persentase peningkatan PDB. Selain elastisitas pemanfaatan energi, intesitas konsumsi energi di Indonesia juga tinggi, yang ditunjukkan oleh jumlah konsumsi energi per PDB yang tinggi dan jumlah konsumsi energi per kapita yang juga tinggi dan cenderung meningkat. Kedua, harga energi, khususnya BBM, yang rendah karena disubsidi oleh pemerintah sehingga belum mencapai harga keekonomiannya. Dari sisi penyediaan, sektor energi di Indonesia dihadapkan pada tiga permasalahan utama yang menyebabkan masih terbatasnya penyediaan energi di Indonesia. Pertama, terbatasnya teknologi eksplorasi yang ditunjukkan oleh sebagian
101
Hubungan Antara Konsumsi dan Penyediaan Energi dengan Perkembangan Perekonomian Indonesia
Pemasalahan dari Sisi Konsumsi: Pemanfaatan energi yang relatif boros Harga BBM yang rendah, belum mencapai harga keekonomiannya
Pemasalahan dari Sisi Penyediaan: Terbatasnya teknologi eksplorasi Investasi yang terbatas
Studi Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia
Model Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Blok Konsumsi Energi
Blok Transformasi Energi
Blok Penyediaan Energi
Peramalan Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia Tahun 2025
Kejutan Eksternal: Harga minyak dunia Nilai tukar Suku bunga Subsidi BBM Kombinasi diantaranya
Analisis Efisiensi Energi Mengunakan Rumus Elastisitas Pemakaian Energi
Blok Harga Energi
Blok Output Perekonomian
Metode Pendugaan: Two Stages Least Squares (2SLS)
Hasil Pendugaan: Koefisien Pendugaan Nilai Elastisitas
Rumusan Implikasi Kebijakan Konsumsi dan Penyediaan Energi yang Efektif dalam Perekonomian Indonesia
Gambar 13. Kerangka Pemikiran Studi Konsumsi dan Penyediaan Energi Dalam Perekonomian Indonesia
102
besar aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia dilakukan kontraktor perusahaan minyak asing sehingga tidak sepenuhnya hasil eksplorasi minyak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik. Dan kedua, investasi dibidang energi masih terbatas dan cenderung menurun. Hal ini disebabkan oleh masalah ketidakpastian dan inkonsistensi regulasi, kebijakan penetapan harga yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor, ekonomi biaya tinggi, inkonsistensi di bidang perpajakan, dan keterbatasan infrastruktur. Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan dan gambar di atas adalah sangat menarik untuk melakukan studi ”Analisis Konsumsi dan Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia”. Data utama yang digunakan merupakan data neraca energi Indonesia yang bersumber dari Kementrian Energi Sumberdaya Mineral Model yang dibangun dalam studi ini mencakup lima blok persamaan, yaitu blok persamaan konsumsi, blok persamaan transformasi energi, blok persamaan sumber (penyediaan) energi, blok persamaan harga energi, dan blok persamaan output perekonomian. Blok-blok persamaan ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya sehingga akan dianalisis dengan metode persamaan simultan, yakni Two Stage Least Squares (2SLS). Lebih detail hubungan antara blok-blok persamaan ini dijelaskan pada Bab IV, yakni sub-bab spesifikasi model. Lebih lanjut dari gambar kerangka pemikiran di atas dapat dinyatakan bahwa disamping dilakukan pendugaan terhadap koefisien pendugaan dan elastisitas berdasarkan data historis juga dilakukan pendugaan terhadap data peramalan (forcasting). Peramalan dilakukan sampai tahun 2025 dengan pertimbangan bahwa pada tahun tersebut sesuai dengan rancangan kebijakan energi nasional yang berlaku
103
pada tahun 2025. Dari data historis dan data peramalan kemudian dilakukan perhitungan elastisitas pemakaian energi untuk mengetahui tingkat efisiensi pemakaian energi berdasarkan data historis dan tingkat efisiensi pemakaian energi pada masa mendatang. Disamping itu juga dilakukan simulasi terhadap external shocks (kejutan eksternal) seperti peningkatan harga minyak dunia, nilai tukar rupiah terhadah US Dollar, penurunan suku bunga dan subsidi BBM sebagai faktor yang diduga paling menentukan konsumsi dan penyediaan energi dalam kaitannya dengan dinamika perkembangan perekonomian di Indonesia.