6
2. Aset atau aktiva hutan yang dilakukan penilaian terbatas pada aset hutan dalam bentuk tegakan (standing timber) dan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon yang dikonversi ke dalam bentuk biomassa pohon 3. Biomassa pohon yang diperhitungkan sebagai media rosot karbon dibatasi pada bagian batang (stem), sedangkan kandungan karbon pada bagian biomassa pohon di cabang, akar dan daun tidak diperhitungkan dalam penelitian ini.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep dan Indikator Pembangunan Keberlanjutan Konsep keberlanjutan pada dasarnya berimplikasi kepada suatu karakteristik sistem, program atau sumberdaya yang akan tetap ada sepanjang waktu. Konsep ini pertama kali muncul pada tahun 1980 dalam konteks strategi konservasi dunia yang digagas oleh International for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN). Konsep keberlanjutan selanjutnya menjadi mengemuka setelah pada tahun 1987, Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan Bruntland Commisision melalui laporannya yang berjudul Our Common Future, di mana dalam dokumen laporan tersebut menekankan peran kunci keberlanjutan pertanian sebagai basis dari pembangunan berkelanjutan (Singh dan Shishodia 2007). Pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam beragam cara yang berbeda yang menyebabkan pembahasan mengenai masalah yang penting ini kadangkala menjadi sesuatu yang membingungkan. Terdapat sejumlah keragaman mengenai pengertian dalam konsep pembangunan berkelanjutan atau topik-topik yang berhubungan dengan pembangunan berkelanjutan tersebut. Pengertian yang paling sering dikutip untuk mendefinisikan arti pembangunan berkelanjutan adalah definisi yang diberikan oleh Komisi Brundtland yaitu pembangunan berkelanjutan sebagai “pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya”.Permasalahan yang timbul dari definisi pembangunan berkelanjutan tersebut adalah hanya memberikan sedikit kemanfaatan dalam tataran praktis. Oleh karena permasalahan tersebut maka akan lebih bermanfaat untuk menghubungkan secara langsung konsep pembangunan berkelanjutan dengan konsep konsumsi dalam sistem akuntansi nasional dan Net Domestic Product (NDP). Apabila konsumsi agregat suatu negara kurang dari atau sama dengan NDP maka perekonomian negara tersebut pasti mengikuti jalur pembangunan berkelanjutan karena stok kapital total akan meningkat atau setidaknya tidak mengalami penurunan sepanjang waktu. Secara implikasi terdapat kekonsistenan dengan konsep pembangunan berkelanjutan untuk negara yang mengalami deplesi stok kapital dari sumberdaya alam selama negara tersebut mengkompensasi deplesi tersebut dengan kapital buatan (produced or man made
7
capital) dan kapital insani (human capital). Dalam kasus kapital alami, keberlanjutan mensyaratkan adanya sejumlah nilai ambang batas (treshold) di mana kehidupan di bumi menjadi tetap layak dan oleh karenanya menjadi berbahaya apabila memusatkan perhatian hanya pada satu ukuran agregat tunggal dari kekayaan (wealth). Pezzy (1989) menarik perbedaan antara pengertian keberlanjutan lemah (weak) dan keberlanjutan kuat (strong). Berdasarkan pengertian keberlanjutan kuat, suatu perekonomian akan berada pada jalur keberlanjutan hanya apabila stok kapital per kapita dari kapital buatan, kapital alami dan kapital insani kesemuanya tidak mengalami mengalami penurunan sepanjang waktu. Definisi menurut keberlajutan lemah hanya mensyaratkan bahwa agregat stok kapital (penjumlahan dari nilai ketiga jenis kapital) tidak mengalami penurunan. Lebih lanjut Pearce dan Barbier (2000) menjelaskan bahwa weak sustainibity secara implisit tidak membedakan antara natural kapital dan made capital sehingga meskipun natural capital mengalami deplesi,selama masih bisa disubstitusi oleh man made capital dan human capital yang sama nilainya maka stok agregat masih berada tingkat yang tidak menurun. Sebaliknya dalam kasus strong sustainibility baik human capital dan man made capital tidak dapat mengganti natural capital yang menyangkut fungsi layanan ekologis yang diberikan oleh sumberdaya alam tersebut. Fauzi (2004) menyatakan bahwa dalam prakteknya pengukuran keberlanjutan lemah lebih sering digunakan karena syarat yang paling minimum untuk menguji pembangunan berkelanjutan suatu negara. Dua pengukuran keberlanjutan lemah yang sering digunakan adalah metode produk nasional hijau yang dikembangkan oleh Hartwick dan metode genuine saving yang dikembangkan oleh Pearce dan Atkinson. 2.2 Kesejahteraan Nasional Yang Sesungguhnya Perkembangan yang pesat di bidang ilmu ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan selama dua dasa warsa terakhir, termasuk didalamnya penilaian teknik valuasi ekonomi sumberdaya, cukup memberikan dampak yang berarti bagi pengukuran tingkat kesejahteraan suatu bangsa. Pada masa itu juga perhatian terhadap lingkungan, khususnya dampak terhadap perubahan kuantitas dan kualitas lingkungan akibat pembangunan ekonomi juga semakin menguat. Pada awalnya, perhatian hanya terbatas pada preservasi spesies yang terancam punah dan pemeliharaan estitika lingkungan, selanjutnya mengarah ke yang lebih radikal, dengan pemikiran yang mulai sangat berkembang yaitu bahwa keseluruhan proses pembangunan akan sangat tergantung pada bagaimana sumberdaya alam dan lingkungan tersebut dimanfaatkan (Fauzi dan Anna 2003). Beberapa faktor seperti deplesi dan degradasi telah dicoba diakomodasikan melalui perhitungan beberapa indeks yang telah disebutkan di atas. Namun demikian, perhatian terhadap sumberdaya alam dan lingkungan masih dirasa belum cukup terakamodasi ke dalam perhitungan indeks tersebut. Dua masalah yang selalu timbul dalam hal aspek lingkungan ini adalah apa yang disebut sebagai “omission-commission”. Sebagai contoh aktifitas perempuan
8
dinegara berkembang dalam hal pencarian air bersih atau bahan bakar yang merupakan kegiatan rumah tangga tidak diperhitungkan dalam perhitungan national account, sementara proyek-proyek besar seperti rehabilitasi sungai tercemar atau reboisasi dimasukan dalam perhitungan GDP, sehingga peningkatan aktifitas restorasi ini justru malah meningkatkan GDP bukan sebaliknya (Fauzi dan Anna 2003). Upaya untuk mengkoreksi national account ini kemudian lebih berkembang menjadi pencarian terhadap the true GDP atau Green GDP yang kemudian juga diasosiasikan dengan Resource Accounting (Lobo 2001 diacu dalam Prudham SW, et.al 1993). Resource Accounting secara sederhana diartikan sebagai sistim akunting terhadap stok dan perubahan stok sumberdaya alam baik dalam pengukuran fisik maupun moneter. Resource Accounting pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan informasi terhadap kondisi sumberdaya alam dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya. Secara makro Resource Accounting juga ditujukan untuk menyediakan pengukuran income dan kesejahteraan yang lebih baik dalam rangka mengevaluasi apakah negara-negara, khususnya negara yang kaya tetap berjalan dalam koridor sustainable consumption path atau tidak (Fauzi dan Anna 2003). Untuk menjawab masalah di atas, bagian statistika PBB menawarkan jalan keluar dengan cara pengitegrasian aspek lingkungan kedalam perhitungan konvensional GNP. Namun demikian, pengintegrasian aspek lingkungan ini tidak disarankan langsung ke dalam core perhitungan national account, melainkan sebagai komplemen dari SNA (System of National Account). Mengingat sifatnya yang tidak menjadi bagian utuh namun berupa komplemen inilah kemudian sistim ini dikenal juga dengan istilah Satellite Account. Struktur dasar dari Satellite Account ini tidak banyak jauh berbeda dengan SNA, hanya penambahan aspek lingkungan sehingga perhitungan GNP kemudian disesuikan dengan pengeluaran untuk lingkungan dan degradasi/deplesi sehingga menghasilkan perhitungan yang disebut sebagai EDP (Environmentally Adjusted Domestic Product). Satellite account memfokuskan pada dua aspek yakni pengukuran deplesi dari sumberdaya alam yang langka dan yang kedua mengukur biaya degradasi lingkungan dan pencegahannya. Dalam perjalanannya, resource accounting kemudian menjadi “partner” yang tidak terpisahkan dalam pengukuran keberlanjutan (sustainability) dari proses pembangunan. Theys (1990) bahkan melihat resource accounting (atau diistilahkan dengan patrimony account) bersama-sama dengan national account dan satellite account dapat digunakan untuk menentukan skenario alternatif keberlanjutan pembangunan dengan kriteria evaluasi yang berbeda. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengukuran well being yang sampai saat ini masih berpegang pada Growth Domestik Product (GDP) dalam menilai kinerja ekonomi dari negara kita ternyata mengalami keterbatasan karena masih belum mengakomodasi terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas dari sumber daya alam (deplesi dan degradasi). Perhitungan GDP tersebut dikritik karena tidak dimasukkannya perhitungan nilai kerusakan sumberdaya alam dan lingkungan, sehingga nilai yang dihasilkan sama sekali tidak memberikan
9
gambaran yang sebenarnya dari kondisi kinerja ekonomi keseluruhan (Hartwick 1990; Hung 1993; Maler 1991; Repetto et al.1989). Oleh karena sumber daya alam merupakan natural kapital yang menjadi bagian dari proses produksi untuk menghasilkan output (GDP), maka patut kiranya pengambil kebijakan dan pengguna sumberdaya memperhatikan penurunan dari pelayanan barang dan jasa yang dihasilkan dari sumber daya alam. Salah satu cara untuk menjembatani keterbatasan tersebut dilakukan dengan pengukuran deplesi dan degradasi sumber daya alam agar kita dapat menghitung the truth national well being/real GDP/Green GDP/PDB (Produk Domestik Bruto Hijau) seperti yang disarankan oleh Lobo (2001) dan ahli-ahli lainnya. 2.3 Sistem Akuntansi Nasional (System of National Accounting=SNA) dan Pendapatan Nasional Sistem akuntansi nasional (System of National Accunting) merupakan kerangka kerja statistik dan basis data untuk meringkas dan menganalisis kegiatan perekonomian dan kekayaan dari sistem perekonomian suatu negara. Tujuan utama dari akuntansi nasional adalah untuk menyajikan informasi yang berguna dalam analisis ekonomi dan perumusan kebijakan makroekonomi. Sistem Akuntansi Nasional yang pertama kali diperkenalkan dan dipergunakan merupakan rintisan karya dari Kuznet pada tahun 1946 yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1953. SNA kemudian diperbaharui pada tahun 1968 dan sekali lagi dilakukan pembaharuan pada tahun 1993 dan pembaharuan terakhir dilakukan pada tahun 1998. SNA tahun 1993 dipublikasikan secara bersama antara PBB, Bank Dunia, Dana Moneter Internasiona/IMF,Organisasi Kerjasama Ekonomi Negara-Negara Maju/OECD dan Uni Eropa /European Community. SNA tahun 1993 ini kemudian diadopsi di sebagian besar negara-negara di dunia termasuk Rusia, China dan Amerika Serikat, yang mampu menyediakan kerangka kerja konseptual untuk semua data makroekonomi yang digunakan untuk tujuan analisis dan rumusan kebijakan. SNA tahun 1993 mengintegrasikan pendapatan nasional, pengeluaran, akun produksi, tabel input-output, akun aliran finansial dan neraca pembayaran nasional disamping itu juga memperkenalkan akun penyerta (satellite account) agar dapat mencakup bidang-bidang atau sektor seperti pariwisata, kesehatan dan lingkungan. Pentingnya akuntansi nasional ini dapat dilihat dari pandangan Robert Repetto yang menyoroti peranan Sistem Akuntasi Nasional sebagaimana dalam kutipan berikut ini: Terlepas dari keterbatasannya dan hanya sebagian kecil susunan/kontruksi dalam SNA yang dapat dipahami oleh masyarakat umum, sistem akuntasi pendapatan nasional tidak diragukan lagi merupakan salah satu penemuan sosial yang signifikan dari abad kedua puluh. Bukanlah hal yang kebetulan saja bahwa sejak ukuran-ukuran perekonomian yang tersedia di SNA menjadikan pemerintah di sebagian negara telah mengambil tanggung jawab untuk pertumbuhan dan stabilitas dalam perekonomian di negaranya masing-masing dan sejumlah besar invesatsi dalam bidang sumberdaya
10
manusia dan energi telah ditanamkan untuk memahami bagaimana ekonomi dapat dikelola secara lebih baik. Dampak politik dan ekonomi melampui dari apa yang diperkirakan atau diharapkan sebelumnya (Repetto 1992 diacu dalam Grafton NQR et al 2004) Akun pendapatan nasional agregat yang paling banyak dipergunakan adalah Gross Dometic Bruto/GDP (Produk Domestik Bruto=PDB). GDP mengukur nilai total berdasarkan harga pasar dari aktivitas produktif di dalam suatu perekonomian selama satu tahun. Ukuran agregat lain adalah Net Domestic Product/NDP (Produk Domestik Neto=PDN). NDP diperoleh dengan mengurangkan depresiasi atau penyusutan stok modal/kapital dari GDP. (Nilai depresiasi dalam hal ini dinotasikan dengan Dt). Oleh karenanya GDP,NDP dan D dalam periode t dapat dihubungkan dalam sebuah persamaan sebagai berikut: NDPt GDPt Dt (1) Di mana NDPt adalah Net Domestic Product, GDPt adalah Gross Domestic Bruto dan Dt adalah depriasi kapital. 2.4 Pengertian Deplesi, Degradasi dan Depresiasi Kapital Alami Istilah deplesi, degradasi dan depresiasi seringkali merupakan tiga istilah yang dapat dipertukarkan pengertiannya dan merujuk kepada satu pengertian.Namun demikian dalam studi-studi mengenai akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan ketiganya memiliki arti yang berbeda.Deplesi diartikan sebagai tingkat/laju pengurangan stok dari sumber daya alam tidak dapat diperbarukan (non-renewable resources) dalam hal ini terjadi jumlah penurunan stok sumber daya alam yang jauh di atas laju penurunan stok seharusnya, atau terjadi laju eksploitasi yang lebih tinggi dari yang seharusnya, bila dikaitkan dengan laju eksploitasi optimal yang dihitung dalam analisis dinamik pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan (yang memperhatikan aspek kesejahteraan generasiyang akan datang dengan tidak mengurangi kesejahteraan generasi sekarang). (Fauzi dan Anna 2004). Degradasi diartikan sebagai penurunan kualitas/kuantitas sumberdaya alam dapat diperbarukan, dalam hal ini sumber daya alam dapat diperbarukan berkurang kemampuan alaminya untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya. Kondisi ini dapat terjadi baik karena kondisi alami maupun karena faktor pengaruh dari aktivitas manusia. Namun demikian, pada sumber daya alam secara umum kebanyakan degradasi terjadi karena ulah manusia, baik berupa aktivitas produksi; penangkapan/eksploitasi, maupun karena aktivitas nonproduksi seperti pencemaran akibat limbah domestik maupun industri (Fauzi dan Anna 2004). Kedua istilah di atas, baik degradasi maupun deplesi lebih mengacu kepada istilah besaran fisik, sementara depresiasi adalah merupakan nilai besaran moneter dari kedua istilah tersebut, baik deplesi maupun degradasi. Jadi depresiasi adalah merupakan nilai deplesi atau degradasi yang dimoneterkan. Moneterisasi dalam depresiasi ini tentu saja harus mengacu kepada harga riil dan bukan harga nominal. Artinya untuk menghitungnya harus selalu mengacu
11
kepada indeks harga konsumen yang berlaku untuk setiap komoditi sumber daya alam (Fauzi dan Anna 2004). 2.5 Akuntansi Sumberdaya Alam dan Lingkungan Akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan muncul dari adanya kebutuhan untuk memahami secaralebih baik mengenai hubungan antara sistem manusia, sosial dan ekonomi serta patrimoni alami. Hubungan tersebut terdiri dari penyediaan berbagai jasa lingkungan untuk manusia dalam bentuk: (1) barang/jasa konsumtif yang pada umumnya merupakan sumberdaya yang dipasarkan (sumberdaya biologis dan sumberdaya tidak pulih),(2) jasa asimilasi yang umumnya dicirikan dengan ketiadaan pasar atau pasar yang tidak lengkap,(3) sumberdaya kualitas lingkungan, di mana beberapa di antaranya sangat penting bagi kehidupan manusia tetapi hanya sedikit yang memiliki kejelasan hak kepemilikan dan pasar. Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam memiliki dua tujuan dalam menyusun struktur guna penyediaan informasi mengenai penggunaan sumberdaya alam. Tujuan pertama adalah untuk mengkoreksi kelemahan SNA yang merupakan versi kerangka kerja yang disusun oleh PBB pada tahun 1968 dan sampai sekarang masih tetap digunakan, terutama pada perolehan pendapatan (income) yang berasal dari konsumsi sumberdaya alam dan jasa lingkungan lain yang tidak berkelanjutan. Tujuan yang kedua adalah semata-mata untuk menyediakan informasi dan tidak ditujukan sebagai komponen dari akuntansi ekonomi makro yang diperluas Sejak dikeluarkan SNA pada tahun 1968, perhatian diarahkan menuju evaluasi indikator ekonomi makro, khususnya GDP dan GNP. Inti dari perdebatan terletak pada kecukupan ukuran tersebut (GDP dan GNP) sebagai indikator kemakmuran ekonomi (economic well being). Salah satu kelemahan mendasar terkait dengan kegagalan indikator agregat untuk mencerminkan kontribusi input lingkungan terhadap output ekonomi dan kegagalan untuk merefleksikan implikasi terhadap kesejahteraan generasi mendatang karena penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh aktivitas perekonomian. Mayoritas upaya yang dilakukan untuk merevisi perlakuan deplesi sumberdaya alam dan degradasi lingkungan dalam akun ekonomi makro dicurahkan terhadap pendekatan akun satelit yang mana di dalamnya penciptaan pendapatan dan konsumsi kapital di mana aset alami yang bersangkutan harus dibedakan secara eksplisit. Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam dan lingkungan dirancang untuk memonitor pemanfaatan sumberdaya alam oleh manusia. Secara umum kerangka kerja tersebut mencakup serangkaian pengujian dari tiga fungsi utama lingkungan alami yang terkait dengan populasi manusia, yaitu: a) Penyediaan barang konsumsi, umunya sumberdaya alam yang dipasarkan sebagai input pada produksi ekonomi b) Kemampuan asimilasi alami atau penguraian limbah c) Penyediaan barang non konsumsi, umumnya berupa sumberdaya kualitas lingkungan yang tidak dipasarkan.
12
Kerangka kerja akuntansi sumberdaya alam umumnya mencatat stock dan flow dari sumberdaya dan laju pemanenan. Untuk sumberdaya biologis, ektraksi yang melebihi laju penggantian alami diklasifikasikan sebagai deplesi. Dalam struktur akuntansi yang memusatkan pada integrasi akun sumberdaya dengan SNA, nilai deplesi tersebut dapat diestimasi dengan menggunakan sejumlah metode dan koreksi terhadap akun pendapatan dapat dilakukan (sebagai contoh, Peskin 1989).Untuk sumberdaya alam tidak pulih, semua bentuk ektraksi atau pengambilan merupakan deplesi (meskipun cadangan ekonomis dapat meningkat melalui penambahan atau penemuan dan penyesuaian harga). 2.6 Green Accounting Sebagai Penyesuaian Ukuran Agregat Makroekonomi Produk Domestik Bruto (PDB) Hijau atau yang sering juga disebut dengan Green NDP atau Eco Domestic Product merupakan agregasi makroekonomi yang disesuaikan (adjusted macroeconomic aggregate) yang paling popular di bawah kerangka kerja akuntansi hijau (green accounting). PDB hijau sebenarnya merupakan PDB konvensional yang dikurangi dengan semua bentuk depresiasi kapital (kapital buatan, kapital alami dan kapital insani). Dengan menggunakan standar kerangka kerja SEEA (System of Environmental and Economic) yang dikembangkan oleh PBB, Eco Domestic Product didefinisikan sebagai PDB dikurangi dengan depresiasi kapital (depresiasi dari aset tetap) dan biaya lingkungan (Alisjahbana dan Yusuf 2004). Sebagaimana halnya PDB konvensional dan pertumbuhannya yang menjadi sangat populer sebagai indikator untuk mengukur kinerja makroekonomi, PDB hijau juga merupakan indikator yang populer sebagai ukuran agregat makroekonomi hijau. PDB hijau telah dikaitkan dengan pembangunan berkelanjutan. Vincent dan Castaneda (1997) menyatakan bahwa PDB hijau dapat memprediksi dampak dari deplesi sumberdaya alam terhadap kemungkinan konsumsi jangka panjang di suatu negara dengan melihat apakah kecenderungan nilai PDB hijau mengalami kenaikan atau penurunan. Produk Domestik Regional Bruto Hijau sebenarnya merupakan perkembangan dari Produk Domestik Regional Bruto yang konvensional yang disebut juga sebagai Produk Domestik Regional Bruto Coklat. Dalam perhitungan PDRB konvensional tersebut aktivitas perekonomian yang dimasukkan ke dalamnya hanyalah output atau produk yang diperdagangkan dan memiliki harga pasar, sedangkan faktor sumberdaya alam dan lingkungan masih diabaikan peranannya. Suparmoko (2008) menyatakan bahwa pada dasarnya PDRB merupakan seluruh jumlah nilai barang dan jasa akhir (final product) yang dihasilkan dari kegiatan perekonomian daerah (propinsi,kabupaten/kota) dalam waktu satu tahun. Dalam konsep PDRB konvensional tidak diperhitungkan dimensi sumberdaya alam dan lingkungan, artinya hilangnya nilai sumberdaya alam dan kerusakanlingkungan tidak diperhitungkan sebagai bentuk pengurangan kapital. Sebagai akibatnya maka nilai PDRB konvensional tersebut hanya mencerminkan hasil kegiatan ekonomi yang belum dikurangi penyusutan kapital alami yaitu kapital sumberdaya alam dan lingkungan alami. Nilai PDRB konvensional yang dihasilkan dianggap memberikan gambaran struktur
13
perekonomian dan pertumbuhan ekonomi suatu daerah baik menurut sektor maupun secara total.Namun sesungguhnya tidak demikian karena sumberdaya alam yang hilang karena ekploitasi (deplesi) dan penurunan kualitas lingkungan (degradasi) akibat kegiatan perekonomian itu sendiri belum diperhitungkan sebagai nilai kerugian yang harus dibayar. 2.7 Penelitian Sebelumnya Foy (1991) melakukan studi mengenai nilai deplesi sumberdaya minyak sebagai komponen Produk Domestik Regional Bruto negara bagian Lousiana, Amerika Serikat selama periode waktu tahun 1963-1987. Kajian Foy berupaya untuk membandingkan secara kuantitatif pengaruh penggunaan metode pengurangan rente total yang dikembangkan oleh Repetto et.al (1989) dan metode penerimaan berkelanjutan atau metode biaya penggunaan (user cost method) yang diajukan oleh El Serafy (1989). Hasil studi Foy menunjukkan bahwa Produk Domestik Regional Bruto negara bagian Lousiana, Amerika Serikat berkurang sebesar 3,3 % dengan metode pengurangan rente total dan berkurang sebesar 13,8% dan 8,7% dengan menggunakan metode El Seraffy pada tingkat diskonto 5% dan 10%. Hasil studi ini berkebalikan dengan dugaan secara intuisi yang menyatakan bahwa dengan metode El Serafi pengurangannya akan lebih rendah dibandingkan dengan metode Repetto.Foy berargumen bahwa adanya hasil yang berlawanan tersebut disebabkan oleh 2 faktor, yaitu: (i) dengan metode pengurangan rente total akan memberikan hasil yang besar yang dihasilkan dari penilaian terhadap penambahan cadangan ekonomis, (ii) metode pengurangan rente total melibatkan perhitungan selama daur hidup (life cycle) dari sumberdaya yang bersangkutan, sedangkan pada metode El Serafy hanya melibatkan perhitungan penerimaan bersih dalam tahun berjalan, yaitu penerimaan total dikurangi dengan nilai faktor input (termasuk penggantian untuk konsumsi kapital) Repetto et. al (1989) membahas pertanyaan bagaimana deplesi sumberdaya alam dapat mempengaruhi perkiraan pendapatan nasional Indonesia. Metode yang dipergunakan oleh Reppetto et al (1989) meliputi penyusunan akun stock dan flow sumberdaya alam sepanjang waktu yang secara khusus disusun akun untuk sumberdaya hutan (kayu), minyak dan sumberdaya tanah. Studi Repeto et al (1989) mengukur besaran agregat untuk penyesuaian perekonomian Indonesia dari tahun 1971 sampai dengan 1984. Hasil studi menunjukkan bahwa GDP perekonomian Indonesia tumbuh rata-rata sebesar 7% per tahun selama periode 1971 sampai 1984, dengan memperhitungkan deplesi sumberdaya alam, koreksi pertumbuhan GDP adalah sebesar 4%. Gundimeda et al (2007) melakukan studi mengenai akuntansi sumberdaya alam di India dengan mengambil contoh kasus untuk sumberdaya hutan. Dalam studinya Gundimeda et al (2007) menganalisis empat komponen dalam pembentukan nilai sumberdaya hutan, yaitu: produksi kayu, penyimpanan karbon, pemanfaatan kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu. Nilai aset hutan yang berupa kayu dan kayu bakar dinilai dengan metode net price, sedangkan penilaian rosot karbon (carbon sink) didasarkan pada pendekatan biaya kerusakan
14
marjinal sosial (marginal social damage) yang dikembangkan oleh Atkinson dan Gundimeda (2006).Penilaian hasil hutan bukan kayu dilakukan dengan dua pendekatan. Pendekatan pertama adalah nilai royalti yang dibebankan kepada pemanfaat dan pendekatan kedua dengan opportunity cost atau biaya imbangan yang diperlukan mengumpulkan hasil hutan bukan kayu tersebut.Hasil studi menunjukkan bahwa akumulasi neto dari deplesi sumberdaya hutan adalah sebesar -1,05% dari GDP untuk kayu dan -0,31% dari GDP untuk karbon.Sedangkan untuk kayu bakar dan hasil hutan bukan kayu tidak dimasukkan ke dalam perhitungan terhadap GDP, namun ditunjukkan besarnya nilai ekonomi yang disumbangkan oleh keduanya terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat. Goio et al (2007) melaporkan hasil studinya mengenai integrasi nilai sumberdaya hutan ke dalam perhitungan pendapatan regional untuk propinsi Trento, Italia. Dalam studinya Goio, et al, mengestimasi nilai manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar, yaitu: nilai bentang lahan (nilai rekreasi alami), nilai penambatan karbon dan nilai perlindungan hidrogeologis. Hasil studi menunjukkan bahwa dengan memasukkan semua nilai manfaat dari hutan, kontribusi sektor kehutanan meningkat dari semula 25 juta euro per Ha (hanya memasukkan nilai manfaat kayu yang dipanen) menjadi sebesar 136 juta euro per Ha. Hasan dan Ngwenya (2006) mengembangkan studi untuk mengintegrasikan kerangka kerja akuntansi sumberdaya hutan yang bertujuan untuk memberikan koreksi terhadap ukuran kesejahteraan dan kinerja ekonomi konvensional yang diturunkan dari System of National Account (SNA), yaitu Gross Saving di negara Swaziland. Dalam studinya Hasan dan Ngwenya memasukkan perubahan nilai aset tegakan (kayu) dan nilai manfaat penyimpanan karbon di kawasan hutan untuk menghasilkan indikator yang disebut net saving atau geunine saving Kapitalisasi nilai aset tegakan dinilai dengan tiga pendekatan yaitu : Change in Value (CAV) Method, Net Price Method (NP) dan El Seraffy User Cost Method (ESUC).Sedangkan untuk perubahan penyimpanan karbon diestimasi dengan pendekatan model dinamik densitas penyimpanan karbon yang dikembangkan oleh Hassan (2000). Nilai satuan karbon yang dipergunakan diperoleh dari hasil studi yang dilakukan oleh orang lain, sehubungan dengan Swaziland belum memiliki estimasi untuk nilai karbon yang tersimpan di dalam hutan. Berdasarkan pendekatan tersebut, temuan-temuan penting yang dihasilkan dari studi tersebut adalah: (a) rata-rata akumulasi neto dari stok tegakan meningkatan rata-rata net saving Swaziland sebesar 56% (b) penyimpanan karbon menyumbangkan rata-rata tambahan terhadap net saving sebesar 36%, selama periode waktu dari tahun 1988 sampai dengan 1999. Suparmoko (2008) melakukan studi yang bertujuan untuk mengembangkan ukuran yang dapat dipercaya yang dapat digunakan sebagai indikator terhadap pembangunan ekonomi daerah. Ukuran tersebut dikenal dengan Produk Domestik Regional Bruto Ramah Lingkungan dengan kasus sektor kehutanan. Dalam studinya Suparmoko memasukkan nilai deplesi sumberdaya hutan dan degradasi lingkungan akibat penebangan hutan di Kabupaten Blora selama periode tahun 2002 sampai dengan 2004. Nilai deplesi
15
hutan dihitung dengan menggunakan metode unit rent atau net price method yang mencakup tiga jenis komoditas yaitu jati, mahoni dan kayu bakar. Sedangkan nilai degradasi lingkungan yang dimasukkan ke dalam perhitungan PDRB ramah lingkungan mencakup nilai penggunaan tidak langsung dan nilai non guna dari sumber daya hutan. Nilai guna tidak langsung mencakup: konservasi tanah dan air, penyerapankarbon, pencegahan banjir, transportasi air dan keanekaragaman hayati. Untuk nilai non guna mencakup nilai pilihan dan nilai keberadaan. Nilai penggunaan tidak langsung dan nilai non guna didasarkan pada nilai ekonomi yang dihasilkan oleh studi yang lain (benefit transfer). Hasil studi menunjukkan bahwa depresiasi sumberdaya hutan di Kabupaten Blora sangat tinggi yang mencapai 30% dari nilai sumbangan sektor kehutanan terhadap PDRB Kabupaten Blora. 2.8. Posisi Penelitian terhadap Penelitian Sebelumnya Penelitian ini pada dasarnya mengikuti model yang dikembangkan oleh Gundimeda et. al (2007) dan Hasan dan Ngwenya (2006) yang meneliti mengenai penilaian manfaat hutan yang tidak dimasukkan ke dalam perhitungan pendapatan nasional di di India dan Swaziland serta penelitian yang dilakukan oleh Suparmoko (2008) dalam mengembangkan indikator produk domestik regional bruto ramah lingkungan untuk sektor kehutanan di Kabupaten Blora. Beberapa hal yang membedakan dengan kedua penelitian tersebut adalah: 1. Suparmoko (2008) menilai deplesi sumberdaya hutan dengan menggunakan metode net price atau unit rent, di mana nilai deplesi tegakan dihitung dengan mengalikan kuantitas kayu yang dipanen dengan unit rent-nya.Dengan menggunakan metode ini maka semua bentuk pemanenan akan dihitung sebagai deplesi, sehingga metode ini kurang tepat diaplikasikan untuk sumberdaya biologis seperti hutan yang memiliki pertumbuhan alamiah (natural rate of growth). Metode net price akan sesuai apabila sumberdaya hutan yang dinilai kapitalisasi asetnya merupakan hutan yang sudah memasuki umur daurnya atau mature forest, di mana untuk hutan yang demikian pertumbuhan alaminya dianggap mendekati atau sama dengan nol.Untuk mengatasi kelemahan tersebut dalam penelitian ini nilai deplesi dihitung sebagai selisih antara stok awal dengan stok akhir dikalikan dengan unit rent. Selisih antara stok awal dengan stok akhir tegakan mencerminkan akumulasi neto tegakan selama satu periode dan nilai moneternya merupakan nilai depresiasi atau apresiasi sumberdaya hutan yang bersangkutan. Valuasi aset tegakan selain dinilai dengan menggunakan metode Net Price, juga akan dihitung dengan menggunakan metode user-cost yang dikembangkan oleh ElSeraffy sehingga dikenal dengan El-Seraffy User-Cost (USUC) Method. 2. Hasan dan dan Ngwenya (2006) mengintegasikan nilai deplesi tegakan hutan (kayu) dan nilai penyimpanan karbon di dalam kawasan hutan dengan ukuran agregat makroekonomi di tingkat nasional atau negara yaitu gross saving sehingga diperoleh ukuran yang disebut dengan net saving atau genuine saving. Penelitian ini akan mengintegrasikan nilai
16
deplesi tegakan hutan dan nilai penyimpanan karbon dengan ukuran agregat makroekonomi di tingkat kabupaten yaitu Produk Domestik Regional Bruto sehingga dihasilkan ukuran Eco Regional Gross Domestik Product Kabupaten Blora. 3. Nilai manfaat hutan sebagai penyimpan karbon, Suparmoko (2008) menggunakan metode benefit transfer yaitu menggunakan hasil penelitian yang sejenis yang dilakukan di lokasi lain. Dalam penelitian ini akan dilakukan penyusunan neraca sediaan karbon (carbon stock) di dalam kawasan hutan baik neraca fisik maupun neraca moneter dengan mengunakan metode yang dikembangkan oleh Hasan (2000). Untuk valuasi nilai karbon yang tersimpan di dalam hutan mengunakan nilai yang dikembangkan oleh Tol (2003) di mana manfaat karbon yang tersimpan di hutan dinilai dengan pengeluaran yang dapat dihindarkan (avoidded expenditure) sehubungan dengan emisi karbon di atmosfer yang dapat mempengaruhi perubahan iklim.
3. KERANGKA PEMIKIRAN Peranan akunting sumberdaya alam di setiap sektor yang bergerak dalam pemanfaatan/pengusahaan sumberdaya alam seperti kehutanan adalah menyediakan data tentang tingkat depresiasi (pengurangan) maupun apresiasi (penambahan) stok neto sumberdaya tersebut sebagai akibat dari aktivitas perekonomian untuk mengasilkan sejumlah nilai pendapatan (income). Angka-angka depresiasi neto dalam skala nasional akan mengoreksi nilai pendapatan nasional (National Income) dan pada tingkat daerah (kabupaten/kota dan propinsi) dipergunakan untuk penyesuaian (adjustment) pendapatan regional (regional income). Produk Domestik Bruto (PDB dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang terkoreksi inilah kemudian disebutkan sebagai "Sustainable National/Regional Income”. Nilai Produk Domestik Bruto atau Produk Domestik Regional Bruto yang dikatakan mencerminkan keberlanjutan pembangunan dihitung dengan mengurangkan Produk Domestik Bruto dengan deplesi sumber daya alam dan nilai kerusakan lingkungan. Nilai deplesi sumberdaya alam adalah nilai ekonomi dari penurunan stok (stock level) sumberdaya alam yang terbaharukan dan sumberdaya alam tak terbaharukan.Nilai degradasi lingkungan adalah nilai ekonomi penurunan/degradasi kualitas lingkungan (environmental degradation). Internalisasi nilai depelesi sumberdaya alam dan degrdasi lingkungan diperlukan karena ada beberapa hal yang belum tergambar dalam perhitungan PDB/PDRB konvensional. Berikut ini adalah beberapa hal yang belum tergambar dalam perhitungan PDB/PDRB konvensional : a) PDB/PDRB konvensional belum menunjukkan hubungan yang seharusnya antara deplesi sumberdaya alam, penurunan mutu lingkungan hidup dengan kegiatan ekonomi. b) PDB/PDRB konvensional lebih mempertimbangkan deplesi terhadap modal buatan manusia (human-made kapilal) seperti infrastruktur, peralatan dan