TINJAUAN PUSTAKA Dinamika Pertumbuhan Kota Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat dua pengertian kota, yaitu kota sebagai satuan sebagai satuan administratif dan kota sebagai satuan fungsional. Sebagai satuan administratif, kota adalah unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut Kotamadya dan setara dengan status hukum pemerintahan kota. Secara fungsional, kota didefinisikan sebagai unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya, dimana status desa/kelurahan yang dimilikinya dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan kota. Kota mengalami pertumbuhan yang sangat cepat. Pertumbuhan kota yang cepat telah membuat suatu wilayah mengalami perubahan fisik, sosial dan ekonomi yang cepat pula. Konsekuensi yang selalu mengikuti pertumbuhan kota ini adalah pertambahan jumlah penduduk. Pertambahan jumlah penduduk selalu diikuti dengan pertambahan kebutuhan rumah/tempat tinggal dan dan sejumlah kegiatan-kegiatan baru untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan. Pertambahan kebutuhan rumah dan seluruh aktifitas pendukung kehidupan, simultan dengan kebutuhan tanah/ruang. Di sisi lain, terdapat keterbatasan lahan di perkotaan untuk memenuhi kebutuhan perumahan. Yang terjadi adalah proses pemadatan (densifikasi) permukiman di dalam kota (Rindarjono 2010), dan penambahan ruang yang dilakukan di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota atau sering pula disebut sebagai urban fringe atau daerah periurban (Yunus 2008). Perkembangan (fisik) ruang merupakan wujud spasial dari pertambahan penduduk baik sebagai akibat proses urbanisasi maupun proses pertumbuhan penduduk alamiah, yang mendorong terjadinya peningkatan pemanfaatan ruang serta perubahan fungsi lahan. Menurut Yunus (1999) meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehidupan dalam aspek-aspek politik ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi, telah meningkatkan
10
kegiatan penduduk perkotaan. Peningkatan itu berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang untuk mengakomodasi fungsi/kegiatan perkotaan yang besar. Pemadatan pada kawasan permukiman perkotaan terjadi karena adanya upaya pengisian ruang-ruang kosong antar permukiman yang telah ada sebelumnya. Proses ini banyak ditemukan di dalam kota, di kawasan permukiman lama, dengan kondisi yang tidak teratur, baik segi arsitekturalnya, ukurannya maupun tata letaknya (Yunus 2008). Pola pembangunan seperti ini yang menyebar dan dibiarkan tidak beraturan di ruang-ruang kosong/ruang sisa dalam kota, semakin membebani pengelolaan kota. Di dalam proses permukiman informal inilah berlangsung urbanisasi penduduk yang secara terus menerus terakumulasi dan memadat memenuhi ruang-ruang sisa di kota. Oleh karena itu, kota yang banyak menerima dampak permukiman kumuh ini adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang sisa/marjinal dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana (Siregar 2011). Dampak pemadatan ruang di dalam kota oleh bangunan permukiman adalah menurunnya kualitas permukiman. Akibatnya di daerah perkotaan akan timbul daerah-daerah permukiman yang kurang layak huni dan padat yang selanjutnya disebut kumuh (Rindarjono 2010). Proses yang terjadi adalah berlangsungnya urbanisasi penduduk yang terus menerus, terakumulasi dan memadat memenuhi permukiman informal ini di ruang-ruang sisa (marjinal) di kota. Oleh karena itu, kota yang menerima dampak permukiman kumuh adalah kota yang paling banyak memiliki ruang-ruang marjinal/sisa dan membiarkan pemanfaatannya secara tidak terencana. Penambahan ruang di lahan-lahan terbuka hingga ke daerah pinggiran kota mengakibatkan bertambah luasnya lahan (dengan fungsi perkotaan) terbangun (urban built-up land). Ini merupakan gejala perluasan kota hingga ke daerah pinggiran kota. Menurut Yunus (2008), gejala ini merupakan pola perkembangan urban sprawl yang terjadi di luar batas kota (masuk wilayah kabupaten). Gejala perembetan kota ini dapat terlihat dari kenampakan fisik kota ke arah luar yang ditunjukan oleh terbentuknya zona-zona yang meliputi daerah-daerah: pertama, area yang melingkari sub urban dan merupakan daerah peralihan antara desa kota yang disebut dengan sub urban fringe, kedua area batas luar kota yang
11
mempunyai sifat-sifat mirip kota, disebut dengan urban fringe, dan ketiga adalah area terletak antara daerah kota dan desa yang ditandai dengan penggunaan tanah campuran yang disebut sebagai Rural-Urban-Fringe. Bintarto (1983) menjelaskan bahwa, peristiwa perembetan kenampakan fisik kota ke arah luar sebagai bentuk pemekaran kota memiliki karakteristik dengan arah pemekaran yang beraneka ragam, dan kekuatan pengaruh yang berbeda. Ada karakteristik yang pengaruhnya kuat dan ada pula yang lemah. Pernyataan ini diperkuat oleh Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa daerah yang mengalami urbanisasi mulai dari pusat kota hingga ke perdesaan, memiliki karakteristik yang berbeda-beda, dan karakteristiknya dapat dibedakan dari proses dan pola yang terbentuk. Sedangkan menurut Tacoli (2003), bahwa sebagai proses urbanisasi yang dinamis, bentuk transformasi di daerah pinggiran kota (peri-urban) tidak bersifat homogen (pola tidak seragam). Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Urban Sprawl Sejak pertama kali digulirkan oleh Whyte (1958) dalam Rahman et al. (2008), pengertian dan pemahaman istilah urban sprawl makin berkembang. Saat ini urban sprawl dipahami sebagai pertumbuhan kawasan metropolitan, yang menyebar, ditandai dengan perkembangan berbagai jenis pemanfaatan lahan di perbatasan yang jauh dari perkotaan, diikuti dengan pemadatan pada ruang-ruang kota berpola pemanfaatan yang sama (Rahman et al. 2008). Ewing 1997 dalam Terzi dan Kaya (2008); Downs 1999 dalam Terzi dan Kaya (2008); Galster et al. 2001 dalam Terzi dan Kaya (2008); Malpezzi dan Guo 2001 dalam Terzi dan Kaya (2008) mendefinisikan urban sprawl sebagai bentuk perkembangan perkotaan
yang
ditandai
dengan
karakteristik
kepadatan
yang
rendah,
12
perkembangan berpola lompat katak, perkembangan kawasan komersial berpola memita dan merupakan perkembangan yang diskontinu. Pendapat lain dinyatakan oleh Sudhira dan Ramachandra (2007), bahwa urban sprawl merupakan perkembangan yang tidak tertata yang mengakibatkan berkurangnya lahan pertanian dan ruang terbuka serta menurunnya kualitas lingkungan baik di dalam maupun di sekeliling kota. Pendapat Sudhira dan Ramachandra (2007) ini menegaskan pernyataan Bosselman (1968) dalam Rahman
(2008)
bahwa
urban
sprawl
telah
menyebabkan
terjadinya
perkembangan yang tidak efesiensi serta buruknya kualitas lingkungan baik di dalam kota maupun di daerah perdesaan. Sementara itu Angel et al. 2007 mendeskripsikan urban sprawl sebagai suatu: (a) perluasan wilayah kota hingga menjauhi pusat; (b) penurunan kepadatan di perkotaan secara konstan dan sekaligus menunjukkan peningkatan konsumsi lahan oleh penduduk perkotaan; (c) proses suburbanisasi yang terus berlanjut sementara itu tetap menunjukkan peningkatan proporsi penduduk yang menetap dan bekerja di pusat kota metropolitan; (d) menurunnya keteraturan daerah terbangun di perkotaan dan meningkatnya jumlah ruang terbuka dengan luas yang mengecil; dan (e) peningkatan kepadatan perkotaan hingga ke daerah ekspansi perluasan kota. Urban sprawl ditandai dengan perkembangan pemanfaatan lahan dan peningkatan areal lahan terbangun yang tidak terkendali, terutama pada daerah marjinal di beberapa wilayah metropolitan (Li 2009). Hal ini dipertegas oleh Rahman et al. (2008) bahwa daerah perkotaan yang mengalami sprawl merupakan daerah yang mengalami perkembangan tak menentu sehingga tidak dapat menunjukkan sifatnya sebagai kawasan perkotaan dan tidak tepat pula menunjukkan sifat-sifat sebagai perdesaan. Menurut Spencer (1979) dalam Warsono (2006) proses perkembangan kota ke arah pinggiran yang cenderung alamiah, daripada terencana, merupakan suatu gejala sub-urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali, dan dalam literatur pola perkembangan yang demikian disebut sebagai gejala urban sprawl. Ditinjau dari aspek fisik, sprawl merupakan proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke wilayah pinggiran yang menyebabkan transformasi
13
fisik spasial (Yunus 2008). Proses transformasi fisik spasial ini dapat terjadi lebih dahulu dari proses transformasi sosio kultural, dan dapat pula terjadi sesudah terjadinya transformasi sosio kultural kedesaan menjadi bersifat kekotaan. Pola perkembangan urban sprawl adalah pola perkembangan yang tidak efisien (Djunaedi 2002; Bosselman 1968 dalam Rahman et al. 2008; Bento et al. 2006 dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl menjelaskan suatu keadaan antara desakan kebutuhan rumah, nilai lokasi yang tinggi, dan lemahnya pengendalian kawasan dari pemerintah (Zulkaidi 2007). Urban sprawl yang terjadi di daerah pinggiran kota merupakan kawasan yang berkembang secara tidak terencana (Korcelli 2008; Heripoerwanto 2009) sehingga pemerintah daerah (kabupaten) tidak siap menghadapi sprawl (Djunaedi 2002). Akibat yang terjadi adalah infrastruktur yang dibangun tidak dapat mengimbangi pesat dan kompleksnya pembangunan yang berlangsung akibat penyediaan tambahan kapasitas
prasarana
dan
fasilitas
lingkungan
perkotaan
serta
sejumlah
infrastruktur, tidak dapat dilakukan. Situasi yang menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam menyediakan sejumlah prasarana dan fasilitas perkotaan disebabkan karena pengurangan investasi pemerintah pusat, atau gagalnya pemerintah untuk menghasilkan pendapatan di tingkat daerah (Tacoli 2003). Oleh karena itu Li (2009) dalam penelitiannya di Cina, menyimpulkan bahwa fenomena urban sprawl yang menunjukkan pertumbuhan melompat dan menyebar, bila tidak dikendalikan akan memperlambat proses perubahan. Dengan demikian pertumbuhan yang efisien dapat dilakukan melalui pengelolaan pertumbuhan kota serta pengaturan sistem investasi infrastruktur yang dapat meningkatkan kesejahteraan (Ding et al. 1999 dalam Cymerman et al. 2011). Urban sprawl terjadi akibat sub-urbanisasi, yang dimulai dengan dua kegiatan utama yang saling berlomba, yakni pengembangan perumahan dan pembangunan jalan tol. Akibatnya nilai lahan suatu lokasi turut berpengaruh terhadap terjadinya perkembangan yang sprawl di daerah perdesaan. Menurut Bourne et al. (2003), nilai lahan di perdesaan di daerah peri-urban sangat ditentukan oleh kebutuhan perkotaan. Kawasan perdesaan menjadi pihak yang pasif (bukan penentu) dalam penggunaan ruangnya oleh kawasan perkotaan. Padahal situasi ini mengakibatkan kawasan perdesaan mengalami degradasi
14
lingkungan baik secara fisik, sosial maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan oleh temuan Sajor (2007), bahwa perkembangan daerah peri-urban Bangkok di Thailand yang ditunjukkan oleh intensitas penggunaan lahan campuran (mixed land use) tinggi, menyebabkan menurunnya kualitas kehidupan bertani penduduknya. Keadaan ini tidak hanya terjadi di Thailand tetapi terjadi juga di Manila - Filipina dan Jakarta (Sajor 2007). Namun di sisi lain, pola pemanfaatan lahan campuran yang merupakan kombinasi permukiman dan sarana penghidupan (tempat bekerja) dalam satu kawasan peri-urban yang kompak, mampu mempersingkat jarak perjalanan antar aktifitas (Parker 1994 dalam Kim 2009). Peningkatan area lahan terbangun mengindikasikan intensitas penggunaan lahan campuran pada daerah pinggiran kota (peri-urban) yang mengalami perkembangan sprawl. Menurut Sajor (2007), jenis kegiatan perkotaan yang mendominasi peningkatan lahan terbangun adalah peningkatan jumlah kegiatan industri, pertumbuhan dan perkembangan kawasan perumahan terutama di koridor/jalur pergerakan primer yang menghubungkan dengan pusat kota. Sementara itu perkembangan perumahan sendiri memicu tumbuhnya sejumlah fasilitas penunjang seperti kawasan perdagangan, pasar swalayan (supermarket) dan toko serba ada. Akibatnya adalah menurunnya luas areal pertanian yang merupakan bentuk kegiatan utama penduduk perdesaan hingga 50%, karena perubahan pola pemanfaatan lahannya menjadi kawasan permukiman, kawasan industri, perdagangan, kawasan rekreasi dan kawasan pendidikan. Temuan ini mempertegas apa yang disampaikan oleh Sheehan (2001) dan Kombe (2005) dalam Chirisa (2009), bahwa urban sprawl sebagai hasil berbagai tekanan di daerah perluasan kota, dapat diklasifikasi menjadi dua bentuk perubahan yakni suburbanisasi permukiman (residential suburbanization) dan peri-urbanisasi (peri-urbanization). Kenyataan di atas menunjukkan bahwa daerah perkotaan memiliki pola pertumbuhan yang berbeda-beda yang dipengaruhi oleh proses atau bentuk perubahannya. Dalam teorinya Dietzel et al. (2005) dalam Wu et al. (2010) menyimpulkan bahwa pertumbuhan daerah perkotaan dapat dibedakan dari proses terjadinya, yaitu proses difusi dan peleburan. Proses difusi adalah proses pertumbuhan kota yang tersebar dari pusat kota hingga daerah pengembangan
15
(baru), sedangkan proses peleburan adalah proses pertumbuhan yang inkonsisten, yakni terjadinya perkembangan di luar wilayah kota, dan sekaligus pemadatan di pusat kota (Rindarjono 2010). Penjabaran berbagai konsep urban sprawl di atas, memberikan pemahaman konteks urban sprawl sebagai suatu fenomena pertumbuhan kota. Dengan demikian urban sprawl dapat dipahami lebih luas sebagai suatu: 1) proses pertumbuhan kawasan perkotaan; 2) pertumbuhan menyebar dan acak yang dipengaruhi oleh proses dan bentuk terjadinya pertumbuhan; 3) situasi perkembangan tidak tertata; 4) proses peningkatan lahan terbangun melalui pertumbuhan ke arah pinggiran kota (proses horizontal), dan pemadatan (fill in) di perkotaan (proses vertikal); 5) keadaan kepadatan bangunan rendah di daerah pinggiran namun tinggi di perkotaan; 6) situasi transformasi fisik spasial dari sifat kedesaan menjadi sifat kekotaan; 7) keadaan pemanfaatan lahan yang tidak terkendali dan peningkatan areal lahan terbangun di perdesaan; 8) pola pemanfaatan lahan yang dinamis dengan berbagai jenis penggunaan; 9) keadaan berkurangnya/hilangnya lahan pertanian; 10) perkembangan tidak dapat diimbangi dengan penyediaan infrastruktur; 11) pola perkembangan yang tidak efisien; 12) sprawl ditemukan di dalam kota dan di luar batas kota. Kawasan Permukiman dan Karakteristik yang Dimilikinya Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 (UU No. 1/2011) tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, yang dimaksud dengan kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan
yang
mendukung
perikehidupan
dan
penghidupan.
Sedangkan
permukiman adalah bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Adapun yang dimaksud dengan prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi standar tertentu untuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman, serta nyaman, dan sarana adalah
16
fasilitas
dalam
lingkungan
hunian
yang
berfungsi
untuk
mendukung
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi. Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa permukiman terdiri dari komponen: perumahan, jumlah penduduk, tempat kerja, sarana dan prasarana, baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kawasan permukiman mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung, baik di perkotaan dan di perdesaan. Dengan demikian berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (UU No. 26/2007) tentang Penataan Ruang serta Bagian Penjelasan Pasal 59 dan Pasal 61 UU No 1/2011, yang
dimaksud
dengan
kawasan
permukiman
perkotaan
dan
kawasan
permukiman perdesaan dapat dijabarkan sebagai berikut. Kawasan permukiman perkotaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Sedangkan yang dimaksud kawasan permukiman perdesaan adalah kawasan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan/tempat kerja yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumber daya alam, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi, yang mendukung perikehidupan dan penghidupan.
.
Kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut Jayadinata (1996), pada awalnya pola-pola permukiman atau perkampungan di pedesaan merupakan tempat kediaman (dormitory settlement) dari penduduk kampung di wilayah pertanian dan wilayah perikanan umumnya yang bekerja di luar kampung. Antar kampung dihubungkan oleh jalan dan terdapat ruang terbuka yang kecil, berbentuk segi empat seluas halaman rumah sebagai tempat bermain anak-anak, atau tempat orang dewasa bertemu pada sore hari untuk mengobrol atau merundingkan
17
sesuatu. Situasi berbeda terdapat di permukiman di daerah perkotaan yang umumnya didominasi oleh lingkungan hunian dengan bangunan yang teratur. Menurut Koestoer (1997), karakteristik kawasan permukiman perdesaan ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Pola permukiman perdesaan berkelompok, membentuk perkampungan yang letaknya tidak jauh dari sumber air. Jaringan jalan di lingkungan kampung tidak beraspal dan bentuknya tidak beraturan. Sedangkan wilayah permukiman di perkotaan yang sering disebut sebagai daerah perumahan, memiliki keteraturan bentuk secara fisik. Artinya, sebagian besar rumah memiliki hadapan yang teratur ke arah jalan, merupakan bangunan permanen, berdinding tembok, dan dilengkapi dengan penerangan listrik. Jaringan jalannya-pun bertingkat mulai dari jalan raya, jalan penghubung hingga jalan lingkungan atau lokal. Namun, di tengah keteraturan permukiman perkotaan, ditemui wilayah perumahan penduduk kota yang termasuk dalam kelompok dengan karakteristik kawasan permukiman penduduk pedesaan, karena ditandai oleh ketidakteraturan bentuk fisik rumah. Perbedaan karakteristik kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan dipengaruhi oleh pola perkembangan permukiman yang terbentuk. Sebagaimana telah diuraikan pada subbab pertumbuhan kota, Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006) berpendapat bahwa pola perkembangan permukiman di perdesaan yang berada di pinggiran kota, tidak selalu seragam. Ada wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan permukiman penduduk berpenghasilan menengah atas, sementara di wilayah lain ada yang didominasi oleh kawasan industri yang padat, ada juga wilayah yang perkembangannya didominasi oleh perkembangan perumahan murah (perumahan bagi penduduk yang berpenghasilan rendah), atau ada pula kawasan yang dikembangkan menjadi daerah penghasil produk pertanian hortikultura (sayur mayur/buah-buahan). Dan semua ini akan mempengaruhi pola permukiman yang terbentuk di suatu wilayah. Latar belakang perkembangan kawasan permukiman di perkotaan dan perdesaan juga berbeda-beda. Menurut Antrop (2004) dalam Busck et al. (2006) gambaran perubahan karakter kehidupan di perdesaan menjadi karakter perkotaan adalah gambaran dari proses yang kompleks. Masyarakat perkotaan dapat tinggal dan menetap di daerah perdesaan, menjadi penglaju ke tempat kerjanya di pusat
18
kota dan menikmati pelayanan fasilitas rekreasi di tempat yang lain. Semua dapat terjadi karena daerah pinggiran kota (peri-urban) menjadi penarik bagi masyarakat tertentu, terutama bagi mereka yang mencari hunian murah dan lingkungan yang baik (Berg dan Wintjes 2000 dalam Busck et al. 2006). Dan inilah yang menurut Bourne et al. (2003) melatarbelakangi peningkatan proses urbanisasi di perdesaan dan menjadikan kawasan perdesaan sebagai kawasan yang berciri perkotaan. Kondisi di atas menjelaskan kuatnya pengaruh perkotaan terhadap kawasan
perdesaan. Menurut Tacoli (2003), kuatnya pengaruh tersebut
disebabkan oleh beberapa faktor. Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perkembangan perdesaaan adalah karakteristik geografis, demografi seperti kepadatan penduduk dan persebaran penduduk, akses ke pemilikan lahan hingga karakteristik yang dapat menjelaskan ketersediaan prasarana transportasi dan kemudahan pergerakan dari kawasan tempat tinggal ke pusat kota, dimana pasar dan sejumlah pelayanan lainnya berada. Kajian teori di atas menyimpulkan bahwa proses pertumbuhan kota seiring dengan pertumbuhan yang disebabkan faktor alamiah serta migrasi penduduk ke kota, maupun perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, menunjukan proses yang alamiah yang tidak
terencana. Perkembangan ini
merupakan suatu gejala sub-urbanisasi (Rustiadi dan Panuju 1999) dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali (Spencer 1979 dalam Warsono 2006). Sebagaimana dijelaskan oleh Jayadinata (1996); Koestoer (1997); Tacoli (2003) dan Antrop (2000) dalam Busck et al. (2006), bahwa kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan memiliki karakteristik yang berbeda satu dengan yang lain. Adapun beberapa karakteristik yang dapat membedakan pedesaan dengan perkotaan, adalah: a. Karakteristik pemanfaatan lahan (Bourne et al. 1984 dalam Korcelli 2008). Karakteristik pemanfaatan lahan dapat digunakan untuk mengklasifikasi kawasan menjadi dua tipe berdasarkan bentuk pemanfaatan lahannya. Pertama, klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan yang berkonotasi perkotaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan non agraris, kedua klasifikasi bentuk pemanfaatan lahan perdesaan ditunjukkan dengan bentuk pemanfaatan lahan agraris. Bentuk pemanfaatan lahan non agraris adalah bentuk
19
pemanfaatan lahan yang berasosiasi dengan sektor kekotaan dan diklasifikasi sebagai kawasan permukiman (settlement built-up areas), sedangkan bentuk pemanfaatan lahan agraris khususnya daerah pertanian (vegetated area) berasosiasi dengan sektor kedesaan. b. Populasi (Bourne et al. 1984 dalam Korcelli 2008; Pieser 1989 dalam Terzi dan Kaya 2008). Kota memiliki penduduk yang jumlahnya lebih besar dibandingkan desa, dengan demikian penduduk mempunyai pengaruh yang besar terhadap kebutuhan akan perumahan, dan akan berujung pada pola pembangunan perumahan yang terbentuk. c. Karakteristik bangunan (Rahman 2008; Terzi dan Kaya 2008) Suatu kota dapat dicirikan oleh dominasi fungsi bangunan yang berorientasi pada kegiatan kekotaan atau sektor non agraris. Tinjauan mengenai karakteristik bangunan tentang kepadatan bangunan dan jumlah bangunan pada suatu areal tertentu dapat menunjukkan perbedaan antara apa yang terdapat di daerah pedesaan dengan apa yang terdapat di bagian kota. d. Profil wilayah seperti struktur penduduk (Hall 1973 dalam Korcelli 2008). Perbedaan lain karakteristik perkotaan dengan perdesaan terdapat pada struktur kependudukan yakni mata pencaharian. Di desa, penduduk berada di sektor ekonomi primer yaitu bidang agraris, yang ditandai dengan keberadaan keluarga petani. Kehidupan ekonomi terutama tergantung pada usaha pengelolaan tanah untuk keperluan pertanian, peternakan dan termasuk juga perikanan darat. Sebaliknya kota merupakan pusat kegiatan sektor ekonomi sekunder yang meliputi bidang industri, disamping sektor ekonomi tersier sehingga di sana tidak akan ditemukan keluarga petani. Pola Kawasan Permukiman Lingkungan permukiman merupakan bagian dari lingkungan kota yang mempunyai pola-pola perkembangan yang spesifik (Setyohadi 2007). Untuk pertama kali dasar teori berbagai pola persebaran permukiman desa dan kota diperkenalkan oleh Christaller pada tahun 1933, yang kemudian dikenal dengan
20
Central Place Theory (Clark 1982). Atas dasar lokasi, Christaller merumuskan tujuh (7) tipe permukiman yang berbeda ukuran dan luas berdasarkan jumlah penduduk dan jarak rata-rata. Penyebaran tersebut kadang-kadang bergerombol atau berkelompok dan kadang-kadang terpisah jauh satu sama lain. Teori ini menjelaskan bahwa pemusatan adalah hal yang alami dalam perkembangan suatu tempat dan akan diikuti dengan terbentuknya pola permukiman. Menurut Christaller (1933) dalam Herbert dan Thomas (1982), pola permukiman yang baik adalah yang dibentuk atas prinsip penyediaan pelayanan kepada penduduk, dengan menempatkan aktifitas pada permukiman yang luasnya meningkat dan lokasinya terletak pada simpul-simpul jaringan heksagonal. Jadi lokasi kegiatan yang melayani kebutuhan penduduk harus berada di pusat (tempat yang sentral). Perkembangan teori Central Place Theory diawali oleh temuan Lösch di Negara Bagian Iowa, Amerika Serikat (Clark 1982), dan diikuti oleh temuantemuan lain oleh Berry dan Garrison (1958), Saey (1973) dan Beavon (1977) dalam (Herbert dan Thomas 1982). Lösch merumuskan empat tipe permukiman yang lebih sesuai dengan karakteristik wilayah Iowa, dan temuan ini membuktikan bahwa perkembangan dan pembentukan kota merupakan wujud dari ekspresi masyarakat yang hidup di dalamnya. Kenyataan ini dipertegas oleh Kostof (1991) dalam Putra (2006), bahwa perwujudan spasial fisik kota merupakan hasil kolektif perilaku budaya masyarakatnya serta pengaruh ”kekuasaan tertentu” yang melatarbelakanginya. Disamping itu, faktor sejarah kehidupan kota, baik itu sejarah secara fisik ataupun ideologis, kondisi sosial politik dan kondisi pemerintahannya, kondisi karakteristik lingkungan dan datangnya pengaruh dari luar, serta akibat perkembangan penduduk dan proses urbanisasi juga berkontribusi pada terjadinya perubahan bentuk dan struktur suatu kota (Kostof 1991 dalam Putra 2006). Bentuk perkembangan kota yang sering dijumpai dapat merupakan sebagian, keseluruhan ataupun gabungan pola garis, memusat, bercabang, melingkar, berkelompok, pola geometris dan organisme hidup. Menurut Kostof (1991) dalam Putra (2006) pola kota dapat dibagi dalam tiga bentuk, yaitu organik, diagram dan grid. Pola kota organik merupakan pola yang berkembang secara spontan, dipengaruhi oleh
masyarakatnya, tidak terencana, pola tidak
21
teratur (irregular) atau non geometrik, dan berorientasi pada alam. Pola kota diagram berkembang dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, kekuasaan dan sistem kepercayaan,
yang
bertujuan
untuk
mengawasi/mengorganisir
sistem
masyarakatnya. Sedangkan pola grid adalah pola kota yang mengutamakan efisiensi dan nilai ekonomis serta lebih teratur, sehingga lebih mudah dan terarah pengorganisasiannya. Deskripsi Korcelli (2008) dari temuan European Spatial Planning Observation Network (ESPON), menjelaskan empat pola permukiman yang teridentifikasi dari berbagai tipologi perkotaan di Eropa. Keempat pola tersebut dikenal sebagai monocentric, polycentric, sprawl dan sparsely populated (rural) sebagaimana tersaji dalam Gambar 2.
Sumber: ESPON (2004) dalam Korcelli (2008) Gambar 2 Pola morfologi permukiman. Penelitian-Penelitian Terdahulu Terkait Topik Penelitian Penelitian-penelitian mengenai kawasan permukiman telah banyak dilakukan. Besarnya perhatian tersebut terutama tertuju pada berbagai permasalahan yang diakibatkan oleh proses pertumbuhan kota yang berakibat meningkatnya kebutuhan perumahan dan menyebabkan perubahan fisik, misal
22
perubahan tata guna lahan, demografi, keseimbangan ekologis serta kondisi sosial ekonomi. Beberapa hasil penelitian yang terkait dan menjadi referensi bagi penelitian ini disajikan dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1 Beberapa hasil penelitian terdahulu No
Pustaka
Judul
Kata kunci
Kesimpulan
Land system changes in the context of urbanisation: Examples from the peri-urban area of Greater Copenhagen. Peri-urban dynamics and regional planning in Africa: Implications for building healthy cities
Perubahan pola guna lahan, multifunctionality, urbanisasi tersamar, strukturisasi pertanian
Perubahan pola penggunaan lahan sangat dipengaruhi proses perubahan sosial-ekonomi dan dan daerah hijau (ecological) dari sistem lahan.
Peri-urbanitas, public health, metropolitanisasi, komunitas
Tipologi wilayah desa - kota, karakteristik, morfologi permukiman. Perkembangan permukiman, permukiman kumuh, pendekatan spasial Lingkungan, equity in water, pemekaran wilayah metropolitan
Perubahan pola interaksi pusat kota dengan daerah peri-urbannya menyebabkan peningkatan demand lahan, perubahan struktur sosial dan persebaran populasi yang tidak beraturan. Teridentifikasi tiga tipologi wilayah kotadesa, dengan karakteristiknya.
1
Busck et al. (2006)
2
Chirisa (2009)
3
Korcelli (2008)
Review of Typologies of European RuralUrban Region.
4
Rindarjono (2010)
Perkembangan Permukiman Kumuh di Kota Semarang Tahun 1980-2006.
5
Sajor (2007)
Mixed land use and equity in water governance in periurban Bangkok
6
Warsono (2006)
Perkembangan Permukiman Pinggiran Kota pada Koridor jalan Kaliurang Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman.
Pertumbuhan, suburban, tipologi, kelompok, permukiman.
Proses densifikasi permukiman akan diikuti oleh infilling process. Pemekaran wilayah metropolitan menunjukkan intensitas penggunaan lahan campuran tinggi. Akibatnya distribusi air tidak merata dan kualitas kehidupan bertani menurun. Dihasilkan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perkembangan tipologi kelompok-kelompok permukiman.
23
Tabel 1 (lanjutan) No
Pustaka
7
Webster dan Theeratham (2004)
8
Zulkaidi et al. (2007)
Judul Policy Coordination, Planning and Infrastructure Provision: A Case Study of Thailand Dampak Pengembangan Lahan Skala Besar Terhadap Pasar Lahan dan Transformasi Periurban Kota Jakarta
Kata kunci
Kesimpulan
Infrastruktur; struktur, pelaku dan proses.
Pentingnya peningkatan infrastuktur di wilayah peri-peri kota (periurban) Thailand.
Pengembangan lahan skala besar, dinamika pasar lahan, dinamika kependudukan.
Pengembangan lahan skala besar (kasus BSD) berpengaruh terhadap dinamika dan proses transformasi di daerah pinggiran kota.