TINJAUAN PUSTAKA
Hormon dan Perannya dalam Dinamika Ovari Gonadotrophin Releasing Hormone (GnRH). GnRH tidak secara langsung mempengaruhi ovarium, tetapi hormon yang dihasilkan hipotalamus ini bekerja menstimulus sintesis dan pelepasan gonadotropin (FSH atau LH) dari hipofise anterior. Senger (1999) menyatakan hormon GnRH mengatur sekresi gonadotropin yang juga disebut LH/FSH releasing hormone (LH/FSH-RH). GnRH telah digunakan secara luas sejak tahun 1970 an untuk mengatasi kejadian sistik folikel. Penggunaan pada donor untuk produksi embrio ditujukan untuk sinkronisasi gelombang folikel dan meningkatkan ovulasi. Preparat sintetis GnRH merupakan dekapeptida, dengan rantai 10 asam amino. Pemberian GnRH selama siklus estrus menyebabkan regresi dan ovulasi folikel dominan dan inisiasi segera gelombang folikel baru
pada 2.5 hari
kemudian (Pursley et al. 1995). Pemberian GnRH diketahui akan menyebabkan ovulasi folikel dominan atau regresi folikel sampai atresia tergantung pada status folikel pada saat pemberian GnRH (Twaqiramungu et al. 1995). Penyuntikan GnRH akan dapat menginduksi pelepasan LH dan FSH dari hipofise anterior, yang efeknya tergantung kepada dosis GnRH yang digunakan. Penggunaan dosis GnRH yang tinggi dapat berpengaruh sebaliknya pada penurunan simpanan LH dan sensitivitasnya akibat menurunnya jumlah reseptor pada sel-sel pituitary, yang akhirnya menekan sekresi gonadotropin dari kelenjar hipofise (Ulker et al. 2001) Twaqiramungu et al. (2002) menyarankan penggunaan GnRH setelah pemberian PGF2α untuk memastikan ovulasi folikel dominan.
Lebih lanjut
dinyatakan pemberian GnRH pada 48 jam setelah pemberian PGF2α meningkatkan ovulasi dan diketahui waktu yang tepat untuk inseminasi buatan (24 jam kemudian). Pemberian GnRH sebelum superovulasi, menginduksi pelepasan LH dan ovulasi atau luteinisasi folikel dominan yang ada, selanjutnya akan terjadi gelombang folikel yang baru dalam 2 hari. Pemberian PGF2α untuk menginduksi regresi CL yang asli dan CL yang terbentuk hasil induksi GnRH. Penyuntikkan GnRH yang kedua berguna untuk meningkatkan induksi sinkronisasi ovulasi.
Pentingnya pemberian GnRH kedua telah ditunjukkan dengan tingkat ovulasi yang lebih tinggi pada sapi yaitu 99 % dibandingkan dengan satu kali pemberian GnRH yang hanya 77 % (Bergfelt et al.1997). Twaqiramungu et al. (1995) menyatakan bahwa aplikasi GnRH eksogenous pada proses produksi embrio ada dua bentuk: pertama: aplikasi sebelum superovulasi dengan tujuan untuk sinkronisasi gelombang folikel, melalui eliminasi folikel dominan. Awal gelombang folikel terjadi 3-4 hari setelah penyuntikan GnRH, yang sangat penting artinya dalam sinkronisasi antar individu. Penggunaan GnRH untuk sinkronisasi gelombang folikel dilakukan Martinez et al. (2000) pada sapi perah, Moghaddam
et al. (2002) pada sapi
perah dan potong, Fernandez et al. (2002) pada sapi perah induk dan dara. Aplikasi kedua GnRH bertujuan untuk sinkronisasi ovulasi, diberikan 48 jam setelah pemberian PGF2α atau 12 jam sebelum IB (Sato et al. 2005) atau saat pelaksanaan IB (Ptaszynka 2002), yang akan meningkatkan
pelepasan LH
sebagai induktor ovulasi. Aplikasi GnRH untuk tujuan sinkronisasi ovulasi telah banyak dilakukan antara lain oleh Barros et al. (2000) pada sapi potong, Caravalho et al. (2002) pada kerbau, Dominiguez et al. (2000) pada sapi potong, Irikura et al. (2002) pada kerbau. Penggunaan GnRH untuk sinkronisasi gelombang folikel (diawali ovulasi folikel dominan) dan sinkronisasi ovulasi sangat penting artinya dalam meningkatkan efisiensi reproduksi ternak (Rajamahendran 2002). Lebih lanjut dijelaskan bahwa superovulasi pada saat ada folikel dominan memberikan respon yang sangat bervariasi, bahkan tidak menimbulkan respon. Berbagai macam GnRH sintetik sering digunakan dalam penelitian. Martinez et al. (2003) membuktikan bahwa penggunaan gonadorelin diacetate tetrahydrate, gonadorelin hydrochloride dapat meningkatkan pelepasan LH untuk menginduksi ovulasi folikel dominan dan segera terjadi gelombang folikel baru. Peter (2005) menyatakan bahwa GnRH dapat digunakan untuk mencegah kematian embrio, pengaturan program sinkronisasi perkembangan folikel, induksi ovulasi pada anestrus setelah partus, dan penanggulangan sistik ovari. Lebih lanjut dinyatakan GnRH efektif dalam meningkatkan angka kebuntingan, jika diberikan pada saat inseminasi atau antara hari ke 11 dan 14 setelah inseminasi.
Folicle Stimulating Hormone (FSH) - Luteinizing Hormone (LH). Toelihere (1985) menyatakan bahwa hormon utama yang digunakan pada superovulasi adalah hormon gonadotropin, yaitu FSH dan LH. FSH merupakan hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel granulosa folikel, berfungsi menstimulasi pertumbuhan folikel, sehingga sangat diperlukan dalam proses superovulasi.
FSH mempunyai berat molekul 32.700
sampai 33.700 kDa pada ternak kambing dan kuda (Kaltenbach & Dunn 1980 dalam Yusuf 1990) dan 29.000 kDa pada babi. Secara kimiawi FSH mempunyai dua sub unit, rantai α dan rantai β, yang tidak identik dan tidak terdapat ikatan kovalen diantara keduanya. Rantai β terdiri dari 96 asam amino dan dua rantai karbohidrat, sedangkan rantai α terdiri dari 119 asam amino dan satu rantai karbohidrat ( Kaltenbach & Dunn 1980 dalam Yusuf 1990).
Salah satu preparat gonadotropin yang dapat digunakan dalam
superovulasi yaitu Pluset® (Laboratorios Callier, S.A., Spain) yang merupakan ekstraksi hipofise, dimana setiap dosis mengandung 1000 IU FSH dan 1000 IU LH (Anonim 2002). Hormon gonadotropin ini disusun oleh sub unit α dan sub unit β (BM 27.000 – 34.000 kDa). Lebih lanjut dinyatakan bahwa aplikasi FSHLH tersebut pada ternak sapi, menunjukkan waktu paruh dari FSH adalah 150 menit dan LH selama 40 menit. LH berfungsi sebagai induksi proses ovulasi, pematangan akhir folikel dan proses luteinisasi. Pemberian LH harus dalam kadar yang optimal, karena kelebihan LH dapat menurunkan angka fertilitas disebabkan proses pematangan oosit yang prematur (Donaldson & Ward 1996). Progesteron, Estrogen dan Prostaglandin 2 Alpha. Johnson dan Everit (1995), menyatakan tingginya konsentrasi progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum pada fase luteal secara alami menghambat terjadinya ovulasi folikel dominan, sehingga akhirnya folikel tersebut mengalami atresia. Menurut Senger (1999) ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron dominan, kondisi hormonal yang sesuai untuk perkembangan akhir folikel akan nyata setelah luteolisis (tanpa CL) dan menurunnya kadar progesteron. Pada superovulasi, ovulasi beberapa folikel de Graaf juga diinduksi oleh penurunan
progesteron akibat lisis korpus luteum oleh aplikasi hormon PGF2α. Lebih lanjut dinyatakan bahwa mekanisme alami stimulasi aktivitas PGF2α endogen diawali oleh sekresi oxytocin oleh korpus luteum dengan reseptor yang sudah terbentuk pada dinding uterus.
Respon selanjutnya uterus mensekresi PGF2α ke dalam
pembuluh darah sampai mencapai reseptornya di sel luteal besar dari korpus luteum. Mekanisme kerja dari PGF2α ada dua cara yaitu: melalui mekanisme apoptosis dari sel luteal dan mekanisme aktivasi protein kinase (PKC) yang menghambat konversi kolesterol menjadi progesteron. Estrogen merupakan hormon steroid yang terdapat dalam cairan folikel. Kegagalan ovulasi menimbulkan tingginya kadar estrogen dalam darah, keberadaannya pada saat pertumbuhan embrio akan berefek menurunkan kualitas embrio (Saito 1997). Gelombang Perkembangan Folikel Perkembangan folikel di dalam ovarium merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang folikel (Bo et al. 1995: Senger 1999).
Gelombang folikel didefinisikan sebagai perkembangan
folikel dengan diameter 4 sampai 5 mm dalam jumlah besar secara serentak, diikuti dengan mekanisme seleksi, perkembangan menjadi folikel dominan dan penekanan/supresi terhadap perkembangan folikel subordinat. Dalam satu siklus estrus yang normal pada sapi terdapat 2 atau 3 gelombang pertumbuhan folikel (Lucy et al. 1992; Rajamahendran 2002).
Menurut Ooe et
al. (1997) pada tipe dua gelombang, gelombang terjadi umumnya pada satu hari setelah estrus ( D1) dan hari ke-10 (D10), sedangkan pada tipe 3 gelombang , gelombang terjadi pada hari ke-1(D1), hari ke-8 (D8) dan hari ke-15 (D15). Sedangkan menurut Ginther et al. (1989) gelombang folikel terdeteksi pada hari estrus (Do) dan hari ke-10 (D10) pada tipe dua gelombang dan pada hari estrus (Do), hari ke-9 (D9), serta ke-16 (D16) pada tipe tiga gelombang. Lucy et al. (1992) menyatakan bahwa dari semua awal gelombang folikel tersebut, gelombang folikel kedua merupakan gelombang yang lebih sensitif terhadap hormon gonadotropin (Gambar 1). Gelombang folikel ini sangat penting artinya
Gelombang Perkembangan Folikel Luteolisis
Progesteron
ovulation ovulation
A
D
D A D
A
D
A
D
S S S
S
S
S
R
R
A
S
S
R
R
S S
S
A
A
R
R R A
A
A
1
R R
R
A
R
R
A
A
R
Proestrus Estrus 18 20
Diestrus
10
R
A
A
A
D
S
A
R
R
S
S
A
R
0
R
S
S
10
Gelombang Perkembangan Folikel ovulation A
D
A
D
A
A
D
A
D
S S S
S
S R R
S R
A
S
S
R
A
A A
S
S A R RA
R
A
R R
Diestrus
10
1
8
S
S
S
R
B 0
R
S
S
9
A A
D
S
R
A
R R R
R
A
R R
Proestrus 15 16
A
A
Estrus
20
22
Gambar 1 Gelombang perkembangan folikel pada sapi. A.Tipe 2 gelombang; B. Tipe 3 gelombang (modifikasi dari Lucy et al. 1992; Ginther et al. 1989). dalam penentuan waktu yang tepat untuk memulai superovulasi sapi donor. Apabila superovulasi dimulai pada awal gelombang folikel, maka keberhasilan akan lebih tinggi. Disisi lain pada hari
keenam siklus estrus, dari kedua tipe
gelombang folikel tersebut hampir selalu mempunyai sebuah folikel dominan
yang berdiameter lebih dari 8 mm (Sato et al. 2005). Keberadaan folikel dominan menurunkan respon superovulasi karena inhibin dan estradiol yang dihasilkan menghambat perkembangan folikel lain (subordinat) melalui mekanisme umpan balik negatif terhadap FSH di hipofise anterior (Rajamahendran 2002). Juga keberadaan sebuah folikel dominan tersebut menghalangi munculnya gelombang folikel berikutnya (Adam et al. 1994). Sinkronisasi Gelombang Folikel Sinkronisasi gelombang folikel merupakan upaya penyerentakan terjadinya awal gelombang gelombang folikel, yang dapat terjadi setelah penghilangan folikel dominan baik secara hormonal maupun secara mekanis/aspirasi. Pada prinsipnya merupakan penghilangan efek penekanan dari folikel dominan sehingga dapat memunculkan gelombang folikel baru (Bo et al. 1995). Pemberian GnRH atau aspirasi folikel 2 hari sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan respon ovulasi (Kohram et al. 1998).
Sato et al. (2005)
menyatakan bahwa penyuntikan GnRH dapat menginduksi ovulasi dan kemudian menstimulasi peningkatan FSH endogen selanjutnya gelombang folikel terjadi dalam waktu yang tepat tanpa variasi waktu pada semua sapi.
Lebih lanjut
dinyatakan bahwa penyuntikan 25 μg GnRH pada hari ke-6 siklus estrus, (2.5 hari sebelum superovulasi) menghasilkan embrio layak transfer yang lebih tinggi dibanding perlakuan 50 dan 100 μg GnRH. Ablasi (penghilangan) folikel dominan sebelum superovulasi terbukti dapat meningkatkan perolehan total embrio dan embrio yang layak transfer pada sapi perah produksi susu tinggi (Amiridis et al. 2006). Bo et al. (1995) melakukan aspirasi semua folikel yang berdiameter lebih atau sama dengan 5 mm, sebagai sebuah metode ablasi folikel untuk menginduksi sinkronisasi gelombang folikel dan sinkronisasi ovulasi. Hasilnya adalah sebuah gelombang folikel baru muncul pada 1.5 hari kemudian, dan setelah pemberian PGF2α terdeteksi ovulasi yang serentak.
Ablasi folikel transvaginal dengan
bantuan USG merupakan suatu metode yang sangat bermanfaat dalam sinkronisasi gelombang folikel dalam kegiatan superovulasi. sinkronisasi gelombang folikel,
Untuk tujuan
Kanitz et al. (2006) melaporkan pemberian
GnRH pada hari 14 atau 16 atau 18 siklus estrus, dari 27 ekor sapi perah dara ,
22 ekor diantaranya (81.5 %) mengalami ovulasi antara 27 sampai 33 jam setelah pemberian GnRH. Mengenai kapan munculnya gelombang folikel setelah mendapat perlakuan, ada beberapa pendapat yaitu 3-4 hari setelah pemberian GnRH (Twaqiramungu et al. 1995); 2-4 hari setelah pemberian GnRH (Pursley et al. 1995); 1.5 hari setelah aspirasi folikel dan 3-6 hari setelah pemberian Progesteron implant-Estradiol 17β (Bo et al.1995). Sebuah folikel dominan akan terbentuk dalam 2 hari setelah munculnya gelombang folikel (Ginther et al. 1996) atau dalam 3-4 hari setelah aplikasi GnRH (Bo et al. 1995). Folikel dominan baru tersebut berkembang menjadi folikel ovulatory setelah proses luteolisis yang diinduksi dengan PGF2α.
Superovulasi pada Sapi Donor Ovulasi adalah pecahnya folikel de Graaf dan keluarnya ovum bersama selsel yang menyelubunginya dan sedikit cairan folikel yang terjadi akibat rangsangan hormon LH (Hafez & Hafez 2000). Secara normal pada sapi, ovulasi terjadi pada akhir fase estrus yaitu sekitar 12-18 jam sesudah akhir estrus (Jemmeson 2006) atau 30 jam setelah onset estrus (Whittier & Geary 2007). Secara alami jumlah oosit yang diovulasikan pada satu kali ovulasi pada sapi adalah satu oosit (Toelihere 1985). Umumnya hanya folikel dominan yang akan ovulasi pada akhir siklus estrus meskipun rekruitmen pada gelombang folikel terjadi beberapa kali dalam satu siklus (Setiadi et al. 2005). Secara normal, ovulasi dapat terjadi pada setiap situs di permukaan ovarium kecuali pada hilus (Senger 1999). Superovulasi pada sapi bertujuan untuk mendapatkan sejumlah besar embrio yang dapat ditransfer dengan kemungkinan tinggi menghasilkan kebuntingan (Mapletoft & Pierson 1993). Unsur utama pada superovulasi adalah pemberian hormon gonadotropin yang dimulai pada hari ke-9 dari siklus birahi untuk sapi dengan panjang siklus birahi 21-23 hari dan pada hari ke-10 untuk sapi dengan panjang siklus birahi 18-20 hari (Dielleman & Bevers 1993). Sato et al. (2005) melaporkan superovulasi dapat dilakukan antara hari ke 8 dan hari ke 12 siklus estrus atau 2.5 hari setelah pemberian GnRH. Lebih lanjut dinyatakan bahwa respon donor dapat meningkat ketika
superovulasi dilakukan pada waktu
gelombang folikel terjadi atau tanpa keberadaan folikel dominan. Demikian juga Setiadi et al. (2005) menyatakan bahwa aplikasi hormon gonadotropin pada saat muncul gelombang folikel dapat meningkatkan respon superovulasi. Beragam variasi dari respon ovarium terhadap perlakuan superovulasi pada sapi berkaitan erat dengan beragamnya status perkembangan folikel
pada saat perlakuan
(Bo et al. 1995; Rajamahendran 2002; Sato et al. 2005). Respon ovarium lebih rendah apabila superovulasi dilakukan pada saat kehadiran sebuah folikel dominan karena adanya inhibin, sebaliknya respon lebih tinggi jika dilakukan saat keberadaan sejumlah besar folikel-folikel kecil (Romero et al. 1991; Sato et al. 2005). Respon untuk ovulasi terhadap pemberian gonadotropin pada satu hari sebelum atau pada hari munculnya gelombang folikel, lebih tinggi dari perlakuan pada satu atau dua hari setelah munculnya gelombang folikel (Bo et al. 1995). Colenbrander (2004) menyatakan bahwa secara umum periode superovulasi pada sapi terdiri dari 2 periode perkembangan oosit sampai embrio. Pertama, periode folikel yang berlangsung 5-6 hari, dimulai sejak pemberian gonadotropin pada fase luteal sampai dengan ovulasi. Kedua, periode intraoviduk dan intra uterin, berlangsung 6-7 hari, mulai saat fertilisasi, perkembangan embrio sampai embrio siap dikoleksi. Sebelum pelaksanaan superovulasi pada ternak donor, salah satu pertimbangan
yang
utama
adalah
pengenalan
siklus estrus, pemeriksaan
ovarium (deteksi awal gelombang folikel, deteksi dan penghilangan folikel dominan, deteksi korpus luteum). Menurut Hafez dan Hafez (2000) pemeriksaan kondisi ovarium secara klinis dapat dilakukan dengan cara palpasi rektal dan menggunakan ultrasonografi. Sinkronisasi Ovulasi pada Sapi Donor Sinkronisasi ovulasi merupakan upaya penyerentakan pelepasan oosit (ovulasi) dari folikel de Graaf.
Pada sapi donor sangat dibutuhkan ovulasi
serentak agar dari sekian banyak oosit yang diovulasikan, kesemuanya dapat terfertilisasi dalam waktu yang relatif bersamaan, sehingga dapat diperoleh embrio dalam tahap perkembangan yang sama. Melalui sinkronisasi ovulasi, perolehan embrio berkualitas baik/layak transfer kemungkinan meningkat, dan
embrio yang tidak layak transfer (degenerasi) serta oosit tidak terbuahi menurun (Saito, 1995). Sinkronisasi ovulasi telah demikian berkembang, dengan berbagai macam protokol dan metode yang dilakukan. Dejarnette dan Marshall (2003) menyatakan bahwa sinkronisasi ovulasi pada sapi perah laktasi menggunakan GnRH pada 48 jam setelah pemberian PGF2α atau 12 jam sebelum pelaksanaan inseminasi terbukti meningkatkan konsepsi.
Sedang Kanitz et al. (2006)
melaporkan pemberian PGF2α diikuti GnRH 48 jam kemudian, menyebabkan 81.5 % sapi dara mengalami ovulasi rata-rata 24.4 jam setelah perlakuan GnRH. Pemberian GnRH setelah gonadotropin
pada kegiatan superovulasi dapat
menghasilkan ovulasi yang serentak, kepastian waktu IB yang tepat
tanpa
menurunkan jumlah perolehan embrio yang berkualitas (Bo et al. 2006). Pentingnya GnRH untuk sinkronisasi ovulasi pada sapi dibuktikan dengan angka ovulasi yang tinggi yaitu 99 % (Bergfelt et al. 1997). Pembentukan Corpus Luteum Setelah terjadi ovulasi maka pada situs pelepasan oosit akan terbentuk Corpus Luteum (CL). Selama awal fase luteal (metestrus), CL dibentuk dari selsel luteal. Pada pertengahan fase luteal (diestrus) sel-sel luteal menghasilkan sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase luteal, CL dilisiskan oleh PGF2α yang dihasilkan oleh endometrium uterus. Lisis CL diikuti dengan penurunan kadar progesteron, sehingga mekanisme umpan balik negatif progesteron pada hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GnRH yang menandakan dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3 - 5 mulai meningkat ukurannya sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar maksimal sekitar hari ke-10 (Senger 1999). Lebih lanjut dinyatakan bahwa CL tersusun atas sel-sel luteal yang berperan menghasilkan progesteron. Konsitensi/ kekenyalan badan CL sangat ditentukan oleh jumlah sel-sel luteal dan vaskuralisasi darah kebagian tersebut.
Demikian juga kemampuan CL
memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi pada lapisan seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesa dan sekresi progesteron sedikit) diyakini akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi, ketidakmampuan uterus dalam mendukung perkembangan embrio dini (Amiridis et al. 2006).
Pada sapi CL dapat diperiksa secara palpasi rektal.
Namun status
fungsional CL sulit dikenali secara palpasi rektal sebab ukuran CL tidak selalu berkaitan dengan kemampuannya memproduksi progesteron.
Secara palpasi,
umumnya CL yang fungsional akan teraba karena menonjol pada permukaan ovarium. Namun tidak semua badan CL selalu muncul dengan jelas pada permukaan ovarium, kadangkala pada CL yang telah mencapai ukuran maksimal dan fungsional namun sedikit bagian yang muncul. Hal ini penting diperhatikan apabila akan menilai keberadaan dan status fungsional CL. Stabenfeld dan Edqvist (1984) dalam Yusuf (1990) menyatakan bahwa ukuran CL mencapai maksimum pada hari ke tujuh sampai ke sembilan dari siklus estrus. Dalam satu siklus estrus, CL harus mengalami lisis agar fase folikular dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi dimana kadar progesteron dominan (Senger 1999). Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari CL, yang terjadi 2-3 hari pada akhir fase luteal. Ada dua hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α yang dihasilkan endometrium uterus. Pada sinkronisasi gelombang folikel, terutama dengan menggunakan GnRH pada hari ke 6-7 siklus estrus, sebuah CL baru dapat terbentuk setelah terjadi ovulasi folikel dominan, sehingga terdapat dua CL pada saat bersamaan (Jemmeson 2006; Whittier & Geary 2007). Pada kegiatan superovulasi, dimana terjadi ovulasi sel telur dalam jumlah banyak, maka secara siklus pada bekas ovulasi akan terbentuk CL dalam jumlah yang sama. Secara morfologi, ovarium menjadi berukuran lebih besar dari normal dengan permukaan dipenuhi CL (Gambar 2), yang dapat terdeteksi dengan jelas secara palpasi atau dengan pemeriksaan menggunakan USG.
F JO
CL
Gambar 2 Respon ovarium yang setelah perlakuan superovulasi. Pembentukan CL yang cukup signifikan sebagai indikator respon. CL: corpus luteum, F: folikel, JO: jaringan ovarium (sumber foto: BET Cipelang)