TINJAUAN PUSTAKA Bakteri Rizosfer Pemacu Pertumbuhan Tanaman Mikroorganisme yang berada di dalam tanah atau rizosfer tanaman telah diketahui memegang peranan penting dalam berbagai proses di dalam tanah yang secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan tanaman (Tilak et al. 2005). Interaksi mikroba dengan tanaman di rizosfer dapat berupa hubungan yang menguntungkan, netral, atau menggangu pertumbuhan tanaman (Husen 2003). Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) atau Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (RPPT) berpotensi meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan tanaman. Terdapat berbagai mekanisme PGPR dalam menstimulasi pertumbuhan tanaman. Mekanisme ini dikelompokkan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Secara tidak langsung rizobakteri terkait dengan produksi metabolit seperti antibiotik dan siderofor, yang dapat berfungsi menurunkan
pertumbuhan fitopatogen. Secara
langsung PGPR
mampu
memproduksi zat pengatur tumbuh dan meningkatkan pengambilan nutrisi oleh tumbuhan (Kloepper 1993). Mekanisme RPPT dalam meningkatkan kesehatan/kebugaran tanaman dapat terjadi melalui 3 cara, yaitu: menekan perkembangan hama/penyakit (bioprotectant): mempunyai pengaruh langsung pada tanaman dalam menghadapi hama dan penyakit; memproduksi fitohormon (biostimulant): IAA (Indole Acetic Acid), sitokinin, giberellin dan penghambat produksi etilen, dapat menambah luas permukaan akar-akar halus; meningkatkan ketersediaan nutrisi bagi tanaman (biofertilizer) (Widodo 2006). Rhizobakteri yang baik memiliki sifat : a) Mampu mendominasi dalam pemanfaatan eksudat yang dikeluarkan, b) Cepat berkembang biak, c) Mampu mengkolonisasi perakaran (Widodo 1993). Adanya PGPR dapat memberikan keuntungan melalui berbagai mekanisme antara lain produksi metabolit sekunder seperti antibiotik, kitinase, β-1,3 glukanase, sianida, substansi hormon, sebagai agens pengendali biologi melalui kompetisi, induksi sistem partahanan terhadap patogen, produksi siderofor, pelarut fosfat dan fiksasi N2 (Glick 1995; Husen 2003).
4
Menurut Kusumadewi (1999) rizobakteri memungkinkan penyediaan unsur hara tertentu dari lingkungannya yaitu menambat N2 dan mensuplai ketanaman. Rizobakteri juga mampu menghasilkan siderofor yang dapat melarutkan dan memisahkan besi dari tanah serta menyediakannya untuk tanaman. Genus yang banyak diketahui sebagai pemacu pertumbuhan antara lain Pseudomonas sp., Bacillus sp., dan Rhizobium sp.
Rizobakteri Pseudomonas sp. Genus Pseudomonas adalah bakteri yang dapat ditemukan pada hampir semua media alami dan tahan terhadap senyawa yang bersifat menghambat pertumbuhan bakteri lain sehingga mudah diisolasi. Bakteri ini mampu mendominasi daerah rizosfer dan berkembang secara cepat, bersifat gram negatif, motil, aerob/ anaerob fakultatif (Pelczar & Chan 1986). Salah satu bakteri yang ditemukan secara luas di dalam ekosistem tanah rizosfer adalah Pseudomonas sp., yang mampu mendegradasi dan menggunakan sejumlah besar senyawa organik dan anorganik, berinteraksi dengan tanaman dan berasosiasi dalam rizosfer yang menguntungkan bidang pertanian (Palleroni & Moore 2004).
Bakteri
Pseudomonas sp. kelompok fluoresen dapat memproduksi IAA, sitokinin, isopentenyl adenosine, dan zeatin ribose (Salamone et al. 2001). Pseudomonas sp. banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Watanabe et al. 1987.). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Auksin berguna untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, serta merangsang pertumbuhan kambium, dan menghambat pertumbuhan tunas ketiak (Tjondronegoro et al. 1989). Pseudomonas sp. juga diketahui memproduksi asam silikat yang mampu mengendalikan tobacco necrosis virus pada tembakau (Maurhofer et al.1994).
Respon Hipersensitif Respon hipersensitif merupakan reaksi pertahanan yang cepat dari tanaman dalam menghadapi patogen yang disertai dengan kematian sel yang cepat atau nekrosis jaringan di daerah yang diinjeksi dengan bakteri. Respon
5
hipersensitif dibagi menjadi tiga tahap yaitu tahap terinduksi, periode laten dan kematian sel atau jaringan. Tahap induksi terjadi 1,5-3 jam setelah daun diinjeksi dengan suspensi bakteri. Pada tahap ini bakteri mengalami multiplikasi yang dilanjutkan dengan kontak sel dan pengenalan sel bakteri dengan sel tanaman. Tahap laten 7-10 jam setelah injeksi. Pada tahap ini terjadi peningkatan laju respirasi, peningkatan permeabilitas membran sel tanaman dan kerusakan organel-organel sel. Pada kedua tahap ini daun belum menunjukan gejala nekrotik. Kematian sel merupakan tahap akhir yang terjadi 8-12 jam setelah injeksi. Pada tahap ini terjadi reaksi antara senyawa fenol yang terdapat dalam vakuola dengan substansi yang ada di dalam sitoplasma dan terbentuk senyawa sitolitik. Pada tahap ini mulai terjadi gejala nekrosis (Klement et al. 1990). Garis pertahanan tumbuhan terhadap infeksi patogen berupa epidermis tubuh tumbuhan primer, periderm tubuh tumbuhan sekunder dan zat kimia yang akan meningkat oleh kemampuan tumbuhan yang diwariskan untuk mengenali patogen tertentu. Patogen dikatakan virulen jika suatu tumbuhan memiliki hanya sedikit pertahanan spesifik terhadapnya. Pertahanan spesifik terhadap penyakit didasarkan pada pengenalan gen dengan gen, karena memerlukan suatu kesesuaian yang tepat antara suatu alel dalam tumbuhan dengan suatu alel pada patogen. Tumbuhan memiliki banyak gen R (resistensi), dan setiap patogen memiliki sekumpulan gen Avr (avirulen). Tumbuhan resisten terhadap suatu patogen jika salah satu dari gen R tumbuhan merupakan alel dominan yang berhubungan dengan alel dominan Avr pada patogen, dimana yang berinteraksi merupakan produk dari gen-gen tersebut. Tumbuhan yang terinfeksi dapat mengeluarkan serangan kimia terlokalisir sebagai tanggapan terhadap sinyal molekuler yang dibebaskan dari sel yang rusak akibat infeksi tersebut. Jika patogen bersifat avirulen yang didasarkan pada kesesuaian R-Avr, respon pertahanan terlokalisir akan lebih hebat dan disebut respon hipersensitif (Campbell & Reece. 2002). Bentuk pertahanan nekrotik dan hipersensitif merupakan suatu bentuk pertahanan yang umum terjadi pada interaksi inangnematoda. Kelihatannya jaringan yang mengalami nekrotik akan mengisolasi parasit obligat dari substansi hidup disekitarnya karena patogen sangat tergantung pada bahan makanan dari jaringan tersebut, karena kematian sel menyebabkan
6
nematoda juga mati. Lebih cepat sel-sel inang mati setelah infeksi nematoda, maka tanaman terlihat lebih tahan (Agrios 1997). Pseudomonas sp. yang berasal dari daerah perakaran mempunyai sifat yang beragam, dimana terdapat bakteri yang menguntungkan maupun yang merugikan tanaman itu sendiri. Pseudomonas sp. bersifat menguntungkan karena mampu menghasilkan zat yang dibutuhkan tanaman dan mampu menekan kejadian penyakit, bersifat merugikan karena merusak sel-sel tanaman dan mengeluarkan zat yang bersifat toksik bagi tanaman. Oleh karena itu untuk mengetahui rizobakteria Pseudomonas sp. bersifat patogen atau nonpatogen perlu dilakukan uji hipersensitifitas.
Biokontrol Fitopatogen Biokontrol merupakan kemampuan suatu mikroba untuk menekan kejadian suatu penyakit tanaman. Interaksi mikroorganisme yang antagonis terhadap berbagai macam patogen tanaman memiliki peranan penting dalam keseimbangan mikroorganisme di dalam tanah, serta memberikan kontribusi sebagai agens biokontrol penyakit tanaman. Biokontrol tanaman bermanfaat dalam menurunkan dampak buruk pada tanaman akibat penggunaan bahan kimiawi seperti pestisida. Penggunaan fungisida dapat menyebabkan polusi lingkungan dan menginduksi resistensi pada patogen. Bahan kimia ini juga dapat menyebabkan klorosis dan kelayuan pada semaian muda ( Jones 1985). Ahli patologi tanaman mendefinisikan pengendalian hayati sebagai: ”mengurangi inokulum atau segala aktivitas dari patogen yang dapat menyebabkan penyakit, sebagai akibat dari satu atau lebih dari suatu organisme baik secara alami atau dengan memanipulasi lingkungan, inang atau antagonis atau dengan induksi massa dari satu atau lebih antagonis” (Baker & Cook 1974). Dalam pengendalian terhadap patogen, efektivitas agens biokontrol sangat dipengaruhi oleh aplikasi agens, dosis inokulasi dan kontrol mikroba lain. Dosis inokulasi perbenih harus ditentukan untuk memperoleh kontrol yang cukup terhadap patogen. Dosis inokulasi yang efektif bervariasi antar jenis agens biokontrol, namun kisaran yang umum digunakan adalah 107-109 sel bakteri /benih (Bai et al. 2002). Hal lain yang dapat meningkatkan efektifitas perlakuan benih dengan agens biokontrol adalah nutrisi bagi mikroba dan kecepatan
7
mikroba menyesuaikan diri. Tidak kalah penting adalah sterilisasi permukaan benih dengan natrium hipoklorit sebelum aplikasi dengan agens biokontrol. Hal ini untuk menghindari patogen lain yang dapat berkompetisi dengan agens biokontrol (Copeland & McDonald 1995). Pada umumnya pengendalian hayati melibatkan penggunaan cendawan atau bakteri sebagai agens antagonis untuk mengendalikan patogen tular benih (seedborne), tular tanah (soilborne), atau tular udara (airborne). Perlakuan ini semakin populer dengan semakin meningkatnya kepedulian akan keamanan lingkungan dan kesehatan serta masalah fitotoksisitas sehubungan dengan penggunaan pestisida yang berlebihan. Pengendalian hayati dapat memberikan perlindungan selama siklus hidup tanaman (Silva et al. 2004). Pengendalian hayati juga dilaporkan dapat memacu peningkatan pertumbuhan tanaman yang pada akhirnya meningkatkan hasil tanaman sebagai akibat dari pengendalian penyakit jangka panjang (Zhang et al. 2002). Agens biokontrol yang memiliki kemampuan menghasilkan senyawa antibiotik dapat menghambat pertumbuhan patogen melalui kontak langsung antara agens dan patogen. Senyawa antibiotik zwitermisin A yang dikeluarkan oleh B.cereus dilaporkan efektif menghambat pertumbuhan koloni Phytophthora madicaginis (Silo-Suh et al. 1998). Mekanisme kompetisi antara agens biokontrol dan patogen umumnya terjadi karena keterbatasan salah satu faktor yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan agens atau patogen, seperti nutrisi atau unsur hara tertentu. Kemampuan P. fluorescens memproduksi senyawa siderofor yang mampu mengkelat besi dalam kondisi lingkungan yang kekurangan Fe mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan patogen karena Fe menjadi tidak tersedia bagi patogen (Dwivedi & Jori 2003). Agens biokontrol juga mampu memparasit patogen secara langsung dengan cara mensekresikan enzim ekstraseluler (kitinase, protease, dan selulose) yang dapat melisis atau mendegradasi dinding sel patogen sehingga perkembangan patogen menjadi terhambat (Singh et al. 1999). Disamping itu berbagai jenis biokontrol mampu menghasilkan HCN yang bersifat toksik terhadap sejumlah patogen tanaman (Munif 2001). Selain sebagai biokontrol untuk pengendalian berbagai patogen yang menginvasi tanaman. Peran rizobakteri sebagai pemacu pertumbuhan tanaman merupakan satu sumbangan bioteknologi dalam usaha peningkatan produktivitas
8
tanaman. Berbagai isolat Pseudomonas sp., Azospirillum sp., Azotobacter sp., Enterobacter sp., Bacillus sp., dan Serratia sp. diketahui sebagai RPPT. Peran RPPT dalam meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman berhubungan dengan kemampuannya memproduksi hormon tumbuh, memfiksasi nitrogen atau melarutkan fosfat (Thakuria et al. 2004). Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa senyawa siderofor yang diproduksi oleh P. aeruginosa mampu meningkatkan biomassa bibit Hydrangea sebesar 30% dibandingkan dengan kontrol (Ryder et al. 1994). Pengetahuan tentang pertahanan tanaman sangat cepat berkembang. Tanaman menggunakan berbagai sistem untuk menghambat, membatasi atau mencegah pertumbuhan parasit. Semua tanaman mempunyai potensi secara genetik untuk mekanisme resistensi terhadap cendawan, bakteri, virus, dan nematoda patogen. Mekanisme tersebut pada tanaman yang resisten cepat terjadi setelah
patogen
muncul,
sehingga
dapat menghambat atau
mencegah
perkembangan patogen, sebaliknya pada tanaman yang rentan, mekanisme tersebut lebih lambat terjadi sehingga patogen telah berkembang terlebih dahulu. Keberhasilan patogen berkembang di dalam inang sangat tergantung dari pengenalan inang terhadap patogen, suatu interaksi yang kompatibel antara inang dan patogen akan menyebabkan patogen mampu menekan kemampuan tanaman untuk menghambat inokulasi berikutnya dari patogen yang tidak kompatibel dan sebaliknya interaksi yang tidak kompatibel dapat melidungi tanaman dari infeksi patogen yang kompatibel (Andrew 1996). Pengendalian agens biokontrol secara tidak langsung terhadap berbagai patogen yang menginfeksi tanaman terjadi melalui mekanisme induksi resistensi pada tanaman. Agens biokontrol memiliki kemampuan untuk mengaktifkan berbagai enzim atau produksi senyawa metabolit sekunder pada tanaman yang berhubungan dengan pertahanan terhadap infeksi patogen. Resistensi terinduksi adalah suatu mekanisme yang secara normal berfungsi membatasi pertumbuhan dan penyebaran patogen dan efektifitas mekanisme ini ditingkatkan oleh infeksi primer dan agen penginduksi (biotik atau abiotik) berupa mikroorganisme patogen, non patogen, metabolit mikrob, ekstrak tumbuhan atau senyawa sintetik seperti asam salisilat (Agrios 1997). Mucharromah & Kuc (1991) melaporkan
9
senyawa kalium fosfat dapat mengiduksi resistensi sistemik tanaman melon terhadap infeksi cendawan, bakteri, dan virus patogen. Imunisasi atau induksi resistensi atau resistensi buatan adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang terhadap patogen tanaman tanpa introduksi gen-gen baru. Teknologi immunisasi atau proteksi silang merupakan salah satu cara pengendalian penyakit tanaman dengan menstimulasi aktivitas mekanisme resistensi melalui inokulasi mikroorganisme nonpatogenik atau patogen avirulen maupun strain hipovirulen serta perlakuan substrat dari mikroorganisme dan tumbuhan
pestisida
nabati.
Mekanisme
induksi
resistensi (immunisasi)
menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif atau menstimulasi mekanisme resisten yang dimiliki oleh tanaman. Imunisasi tidak menghambat pertumbuhan tanaman, bahkan dapat meningkatkan produksi pada beberapa tanaman meskipun tanpa adanya patogen dan memberikan suatu cara untuk bertahan terhadap stres lingkungan (Kloepper 1997). Sinyal penginduksi resisten dapat berupa agens penginduksinya atau sinyal yang disintetis tanaman akibat adanya agens penginduksi. Sinyal tersebut diproduksi pada suatu bagian tanaman, namun dapat berperanan pada bagian lainnya. Transinduksi sinyal dapat ditransfer secara intraseluler sehingga menimbulkan sistem ketahan tanaman secara sistemik (Mucharromah & Kuc 1991). Ketahanan sistemik terinduksi (induced systemic resistance [ISR]) pada dasarnya memiliki kesamaan dengan ketahanan sistemik yang diterima (systemic acquired resistence[SAR]). Mekanisme ini terjadi sebagai akibat adanya infeksi oleh patogen sehingga tanaman memberikan respon berupa reaksi-reaksi pertahanan seperti reaksi hipersensitif yang menyebabkan terjadinya lesio nekrotik pada daerah terserang. Berbeda dengan SAR, ISR tidak menyebabkan adanya gejala tampak seperti lesio nekrotik (Compant et al. 2005). Ramamoorthy et al. (2001) memaparkan bahwa mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri yaitu: 1) adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri; 2) produksi siderofor oleh bakteri; dan 3) produksi
10
asam silsilat, yang dapat terjadi secara langsung oleh bakteri ataupun secara tidak lansung (Van Loon et al. 1998). Menurut Ouchi (1983) induksi resistensi tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk melindungi diri dari patogen atau hama. Dasar pemikiran dari induksi resistensi adalah bahwa gen untuk ketahanan atau reaksi pertahanan ada pada semua tanaman. Gen tersebut tidak diekspresikan sebelum induksi resistensi diberikan, ekspresi ketahanan baru akan muncul setelah adanya inokulasi challenge ( infeksi susulan) pada waktu dan lokasi yang berbeda. Reuvani et al. (1997) melaporkan bahwa aktivasi gen untuk melindungi tanaman dapat diinduksi secara sistemik dengan signalling mollecules yang dihasilkan pada tempat agens Inducer Sistemic Resistance dan ditransportasi dengan difusi atau melalui sistem pembuluh tanaman inang. Respon ketahanan tanaman yang terinduksi dapat berupa pembentukan papilla dengan cepat, respon hipersensitif, sintesis fitoaleksin, pembentukan kalus,
lignifikasi,
pembentukan
PR-protein,
β-1,3
glukanase,
kitinase,
peroksidase, dan protein inhibitor. Respon ketahanan tanaman tersebut dibentuk apabila diinduksi oleh suatu molekul yang disebut elisitor (Koga et al. 1998). Mekanisme induksi resistensi sistemik pada tanaman belum diketahui secara pasti, namun beberapa indikator terjadinya induksi resistensi secara sistemik telah dilaporkan seperti akumulasi pembentukan pathogenesis related protein (PRprotein), akumulasi senyawa antimikrob dan pembentukan biopolimer seperti lignin, kalose dan glikoprotein yang berperan sebagai pembatas perkembangan patogen (Van Loon et al. 1998; Chen et al. 2000). Pathogenesis –Related Protein memegang peranan penting dalam meningkatkan resistensi tanaman terhadap invasi patogen. Beberapa fungsinya antara lain melisis dinding sel patogen, menginaktivasi enzim yang disekresikan patogen, menggangu struktur dan fungsi membran sel patogen dan pertahanan dinding sel tanaman. Kelompok PR-protein yang umum dikenal antara lain kitinase, β-1,3 glukanase (Heil & Bostock 2002), dan peroksidase (Chen et al. 2000; Ramamoorthy 2002). Kitinase dilaporkan memiliki aktivitas anti-mikrob, namun peran utamanya adalah sebagai pendegradasi kitin yang terdapat pada dinding sel patogen, dan terbukti dengan terjadinnya pengurangan intensitas kitin pada dinding sel patogen (Heil & Bostock 2002). Indikator terjadinya resistensi sitemik juga diamati pada tanaman mentimun dan kacang polong yang diinokulasi dengan P.fluorescens
dan
11
Serratia plymuthica. Terjadi peningkatan β-1,3 glukanase pada dinding sel kedua tanaman contoh yang diduga berperan dalam pertahanan dinding sel tanaman terhadap invasi patogen (Benhamaou et al. 2000). PR-protein yang juga berperan dalam meningkatkan resistensi tanaman terhadap infeksi patogen adalah peroksidase. Enzim peroksidase berperan mengkatalisis reaksi akhir dalam proses pembentukan lignin dan fenol oksidatif lain yang berhubungan dengan pembentukan pertahanan untuk penguatan struktur sel (Chen et al. 2000). Kontak antar hidrogen peroksida dan peroksidase dapat menghentikan infeksi patogen melaluli inaktivasi enzim pendegradasi dinding sel yang dikeluarkan oleh patogen (Silva et at. 2004). Inokulasi tanaman dengan P. fluorescens secara nyata meningkatkan aktivitas enzim peroksidase yang berhubungan dengan penyakit layu Fusarium axysporum (Ramamoorthy et at. 2002). Enzim peroksidase berperan sebagai katalisator oksidasi senyawa fenol menjadi quinon yang sangat toksik terhadap patogen (Srivastava 1987). Peroksidase mempunyai beberapa fungsi yang mempengaruhi resistensi tanaman. Salah satu fungsinya adalah berperan sebagai polimerisasi oksidatif dari hidroksisinamil alkohol untuk membentuk lignin. Proses ini merupakan salah satu mekanisme ketahanan tanaman. Fungsi lain dari peroksidase adalah memperkuat diding sel terhadap degradasi enzim yang dihasilkan oleh patogen melalui pembentukan protein struktural pada dinding sel (Vance et al. 1980). Hasil analisis biokimia menunjukan bahwa peroksidase, khitinase, dan 1,3 glukanase terlibat dalam mekanisme resistensi yang terinduksi pada tanaman dikotil terhadap cendawan biotrop. Khitinase dan 1,3 glukanase berperan aktif terhadap penekanan cendawan melalui hidrolisis polimer dinding sel, sedangkan peroksidase berperan dalam lignifikasi dan pembentukan senyawa metabolit sekunder
(Park &
Kloepper 2000). Xue et al. (1999) menyatakan bahwa Binucleate Rhizoctonia menginduksi resistensi tanaman dan ada korelasi positif yang nyata antara aktivitas 1,3-β-glucanase dan peroksidase dengan meningkatnya resistensi terinduksi. Sementara itu inokulasi P. fluorescens WCS417 dilaporkan dapat menginduksi senyawa fitoaleksin yang berhubungan dengan penekanan penyakit layu fusarium pada tanaman anyelir. Fitoaleksin menghambat perkembangan patogen dengan cara merusak membran patogen terutama membran plasma,
12
menghambat sintesis protein dan asam nukleat serta respirasi patogen (Van Loon et al. 1997). Fitoaleksin memiliki bobot molekul rendah dan merupakan senyawa antimikrob yang disintesis dan diakumulasikan di dalam tanaman sebagai respon terhadap invasi patogen (stres biotik), kondisi lingkungan suboptimum (stres abiotik) atau induksi oleh mikroorganisme (Agrawal et al. 1999). Fitoaleksin adalah zat toksin yang dihasilkan oleh tanaman dalam jumlah yang cukup hanya setelah dirangsang oleh berbagai mikroorganisme patogenik atau oleh kerusakan mekanis dan kimia. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik sebagai jawaban terhadap zat yang berdifusi dari sel yang rusak. Fitoaleksin terakumulasi mengelilingi jaringan nekrosis yang rentan dan resisten. Ketahanan terjadi apabila satu jenis fitoaleksin atau lebih mencapai konsentrasi yang cukup untuk mencegah patogen berkembang (Agrios 1997). Prainokulasi dengan agens penginduksi dapat mengaktifkan secara cepat berbagai mekanisme resistensi tanaman diantaranya akumulasi fitoaleksin dan peningkatan aktivitas beberapa jenis enzim penginduksi seperti ß-1,4-glukosidase, kitinase dan ß-1-3-glukanase. Senyawa fitoaleksin adalah substansi antibiotik yang diproduksi oleh tanaman inang apabila ada infeksi patogen atau pelukaan. Senyawa fitoaleksin dapat lebih banyak terbentuk dalam tanaman jika menggunakan mikroorganisme non patogenik dibanding hypovirulen (Fuchs et al. 1997).