PENGARUH APLIKASI BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI
SRI MARIA A34051919
PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
PENGARUH APLIKASI BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI
Sri Maria
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
HALAMAN PENGESAHAN Judul
: Pengaruh Aplikasi Bakteri Perakaran Pemacu Pertumbuhan Tanaman Pada Tiga Genotipe Cabai (Capsicum annum L.) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Serta Kejadian Penyakit Penting Cabai Nama Mahasiswa : Sri Maria NIM : A34051919
Menyetujui
Pembimbing I
Pembimbing II
(Dr.Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSc) NIP : 19610708 198603 2 001
(Dr.Ir. Widodo, MS) NIP
Mengetahui, Ketua Departemen,
( Dr. Ir. Dadang, M.Sc) NIP 19640204 199002 1 002
Tanggal lulus:
ABSTRAK SRI MARIA. The effect of Plant Growth Promoting Rhizobacteria Application on Three genotypes of Chilli (Capsicum annum L.) against Plant Growth and Chilli Important Disease Incidence. Supervised by SRI HENDRASTUTI HIDAYAT and WIDODO. In Indonesia, chilli was an important vegetable commodity refer to production area as well as it’s value, but production of chilli in Indonesia still very low. The low production was caused by a lack of proper cultivation techniques, seed quality, and pest and plant disease. Important disease that can decrease the production of chilli includes antrachnose disease, bacterial wilt, mosaic and mottle virus in chilli. The disease controlling effort that were recently developed and relatively safe for the environment, using Plant Growth-promoting Rhizobacteria (PGPR). The objective of this study was to determine the effect of PGPR usage, that were P. fluorescens PG01 isolates, B. polymixa BG25 and a mixture of both isolates (PG01 + BG25) against agronomic characters and incidence of important diseases in the three genotypes of chilli (IPB C5, C10 IPB, and Kopay) on the field. The experiment was performed from February until November, 2009 on farmer land were located on Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. The experiment was arranged in split plot design, were randomly treated with bacterial group as main plots and genotypes as subplots. Four levels main plots were PGPR treatments isolates PG01, BG25, PG01 + BG25, and without PGPR treatment as a comparison. The three subplots were C10 IPB, C5 IPB, and Kopay. In the experiment there were 12 treatment combinations, each treatment consisted of three replications, so there are 36 experimental units. Each experimental unit consisted of 20 plants, with a total 720 plants were tested. PGPR treatments significantly influenced the plant height and number of branches, but gave no significant effect on leaves number. The highest growth improvement on vegetative phase was occurred by the mixed bacterial treatment (PG01 + BG25). IPB C10, C5 genotypes and varieties of IPB Kopay have different agronomic characteristics measured on plant height, number of branches and number of leaves. PGPR treatment did not affect significantly to crop production and disease incidence (antraknosa, bacterial wilt, TMV, CMV, and ChiVMV). Antrachnose infections most commonly found in Kopay varieties, while the bacterial wilt infection occurs more frequently in genotypes IPB C5. Keyword: PGPR, promoted the plant growth,Cabai (Capsicum annum L.), penyakit penting.
RIWAYAT HIDUP Penulis merupakan anak terakhir dari delapan bersaudara, lahir pada tanggal 31 Maret 1987 di Sukabumi, Jawa Barat. Orang tua bernama Endang Suhendi dan Nani Sutiana. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA YPI 45 Bekasi, pada tahun 2005. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur undangan seleksi mahasiswa IPB (USMI) dan pada tahun berikutnya penulis diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama di IPB, penulis pernah aktif sebagai pengurus Departemen Budaya Olah raga dan Seni, Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa IPB (BEM KM IPB), dan pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA).
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala atas segala rahmat dan karuniaNya dan shalawat beriring salam semoga tetap tercurah bagi Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayah dan Ibunda tercinta atas do’a, perhatian dan dukungan yang dicurahkan semata-mata demi keberhasilan anak-anaknya. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr.Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing I dan Dr. Ir. Widodo, MS selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing, memberikan ilmu dan perhatian penuh kepada penulis selama penelitian dan proses penulisan skripsi ini. 2. Dr. Ir. Idham S Harahap, M.Si, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, bantuan, motivasi dan dorongan kepada penulis. 3. Dr. Rully Anwar selaku dosen penguji tamu yang memberikan masukan dan menambah wawasan kepada penulis. 4. Ayah, Mamah, Kakak dan keponakanku yang telah memberikan kasih sayang, dukungan, perhatian, bantuan dan doa kepada penulis. 5. Pak Edi, Pak Dadang, Pak Sodik, Pak Yusuf, Pak Wawan, dan semua laboran di Departemen Proteksi Tanaman yang telah membantu penulis dalam penelitian. 6. Pak Kusnadi dan keluarga yang telah membantu penulis selama di lapangan. 7. Mbak Ita, Mbak Tuti, Mbak Cici, Mbak Devi, Bunda Ifa, Bu Rika, Wiwin dan teman-teman di Laboratorium Virologi dan Mikologi atas segala bantuannya. 8. Teman-teman seperjuangan Proteksi Tanaman 42 atas kebersamaannya selama ini yang telah memberikan banyak kenangan. 9. Adil, Dewi, serta teman-teman seperjuangan 42 wisma Novia II Lina, Komalasari, Wina, Juning, Triani, dini, Fitri dan Lili atas dukungan dan bantuannya selama ini. Serta semua pihak yang telah membantu dalam mengerjakan penelitian ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga apa yang telah diberikan kepada penulis menjadi amal kebaikan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan skripsi ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi yang memerlukan.
Bogor, Maret 2010
Sri Maria
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ...............................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................
ix
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................
x
PENDAHULUAN ...............................................................................
1
Latar Belakang .......................................................................
1
Tujuan Penelitian ....................................................................
4
Manfaat Penelitian ..................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................
5
Ekologi dan Syarat Tumbuh Cabai .......................................................
5
Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai ................................
5
Antraknosa pada Cabai............................................................
6
Penyakit Layu Bakteri.. ..........................................................
6
Virus Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus) ..................
7
Virus Mosaik Ketimun (Cucumber Mosaic Virus) ...................
8
Virus Belang Cabai (Chilli Veinal Mottle Virus) .....................
8
Pemanfaatan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria untuk Pengendalian Penyakit ...........................................................
9
Pseudomonas fluorescens dan Bacillus sp. sebagai Agens Biokontrol ..
10
BAHAN DAN METODE ....................................................................
12
Waktu dan Tempat Penelitian..................................................
12
Bahan......................................................................................
12
Metode....................................................................................
12
Persiapan Lahan .............................................................
13
Perlakuan PGPR .............................................................
14
Pengamatan Pertumbuhan, Produksi Tanaman, dan Kejadian Penyakit ....................................................
14
Deteksi dan Isolasi Cendawan dan Bakteri .....................
15
Deteksi Virus dengan Metode Double Antibody Sandwich – Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS- ELISA) ....
15
Rancangan Percobaan .............................................................
16
Analisis Data...........................................................................
16
HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................
17
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Tinggi Tanaman ..............................................................
17
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Cabang ...............................................................
19
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Daun ...................................................................
21
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap jumlah dan Bobot Buah Cabai ........................................
23
Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa........................................................
25
Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri ....................................................
27
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Kejadian Infeksi Virus pada Tanaman Cabai .................
29
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................
34
Kesimpulan .............................................................................
34
Saran.......................................................................................
34
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................
35
LAMPIRAN . ......................................................................................
39
DAFTAR TABEL Halaman
1.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai………..
18
2.
Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman cabai ………….
18
3.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman cabai……………………………………………………………….
20
4.
Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang tanaman cabai…. 20
5.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai…………... 22
6.
Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah daun cabai……………..
7.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah
22
dan bobot buah cabai………………………………………………
24
8.
Pengaruh genotipe cabai terhadap bobot dan jumlah buah………..
25
9.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp………………………….
10.
Pengaruh genotipe cabai terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp………………………….
11.
29
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap infeksi virus di lapangan berdasarkan pengamatan gejala………………………
14.
28
Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri……………………………………………..
13.
27
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri……………………………………………..
12.
26
30
Pengaruh perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai terhadap infeksi CMV,ChiVMV dan TMV berdasarkan ELISA………………………………………………..
15.
Pengaruh PGPR terhadap nilai absorban ELISA pada tanaman cabai………………………………………………..
16.
31
32
Pengaruh genotipe terhadap nilai absorbansi ELISA pada tanaman cabai………………………………………………… 33
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................................... Halaman 1.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan tinggi tanaman cabai .....................................................................
2.
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah cabang tanaman cabai ........................................................
3.
19
21
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah daun tanaman cabai ...........................................................
23
4.
Gejala buah terinfeksi Colletotrichum spp .....................................
25
5.
Gejala tanaman terinfeksi layu bakteri...........................................
27
6
Gejala daun terinfeksi CMV, TMV, dan ChiVMV .......................
31
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Halaman
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 1 MST .....................................
39
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 2 MST .....................................
39
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 3 MST .....................................
39
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 4 MST .....................................
39
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 5 MST .....................................
40
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 6 MST .....................................
40
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 7 MST .....................................
40
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 8 MST .....................................
40
Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai
terhadap jumlah cabang saat 1 MST..............................................
41
10. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 2 MST..............................................
41
11. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 3 MST..............................................
41
12. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 4 MST..............................................
41
13. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 5 MST..............................................
42
14. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 6 MST..............................................
42
15. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 1 MST .................................................
42
16. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 2 MST .................................................
42
17. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 3 MST .................................................
43
18. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 4 MST .................................................
43
19. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 5 MST .................................................
43
20. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 6 MST .................................................
44
21. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah buah ...................................................................
44
22. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap bobot buah......................................................................
44
23. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi antraknosa ...........................................................
45
24. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi layu bakteri .........................................................
45
25. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi virus berdasarkan gejala di lapangan ...................
45
26. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV berdasarkan nilai absorban ELISA .......
45
27. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi CMV berdasarkan nilai asorban ELISA ..............
45
28. Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap TMV berdasarkan nilai absorban ELISA ........................
46
PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang cukup penting di Indonesia, baik untuk konsumsi di dalam negeri maupun untuk ekspor. Komoditas cabai dapat tumbuh dan berproduksi di dataran rendah sampai dataran tinggi, pada lahan sawah ataupun tegalan. Selain memiliki kandungan gizi yang tinggi, cabai juga sangat potensial secara ekonomis. Thompson dan Kelly (1957) menyatakan bahwa C. annum merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, selain dimanfaatkan sebagai bumbu masak cabai juga digunakan sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan; dapat dipasarkan dalam bentuk segar dan olahan sehingga menambah pentingnya komoditas tersebut. Secara nasional rata-rata hasil panen cabai di Indonesia baru mencapai 6,392 ton/ha pada tahun 2005 (Deptan 2006). Hasil tersebut masih jauh dari potensi hasilnya yang berkisar antara 12 hingga 20 ton/ha (Duriat 2003). Hal tersebut antara lain disebabkan karena berkurangnya luas panen, cara bertani yang masih tradisional dan adanya gangguan hama dan penyakit (Ditlintan 2005). Kebutuhan akan cabai terus meningkat setiap tahunnya sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya
industri
yang
membutuhkan
bahan
baku
cabai,
sehingga
mengakibatkan konsumsi cabai per kapita terus mengalami peningkatan. Dalam upaya meningkatkan produksi cabai dalam negeri, tidak sedikit permasalahan yang dihadapai oleh petani Indonesia. Kendala yang paling penting dalam proses produksi dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah kualitas benih, kesuburan tanah, teknik budidaya, penanganan pasca panen, serta gangguan hama dan penyakit (Siregar 1999). Penyakit yang umumnya terjadi pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Penyakit penting yang dapat menurunkan produksi cabai diantaranya adalah penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotrichum spp, layu bakteri yang disebabkan
2
oleh Ralstonia solanacearum dan penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus. Tobacco mosaic virus (TMV), Cucumber mosaic virus (CMV), dan Chilli veinal mottle virus (ChiVMV) merupakan virus utama yang menyerang tanaman cabai di Indonesia (Sastrosumarjo 2003). Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai mulai 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984), sedangkan infeksi oleh TMV dapat menyebabkan kehilangan hasil mulai 20,5 % sampai 100% (Sutic et al. 1999). Kehilangan hasil panen yang disebabkan oleh infeksi ChiVMV berkisar antara 9 sampai 57% (Santika 2001). Infeksi yang ditimbulkan oleh TMV menunjukkan gejala mosaik sistemik baik ringan maupun berat pada daun tanaman. Serangan TMV yang sangat berat dapat menyebabkan mosaik parah disertai dengan deformasi daun hingga tanaman kerdil. Infeksi CMV pada daun cabai dapat menimbulkan gejala berupa mosaik hijau tua dan hijau muda, sedangkan pada buah menyebabkan buah tidak normal (CPC global Modul 2 nd 1996-2000). Infeksi yang ditimbulkan oleh ChiVMV menunjukkan adanya gejala bercak hijau, penebalan tulang daun, daun menjadi lebih kecil dan kadang diikuti dengan malformasi daun (Siriwong et al. 1995). Antraknosa adalah penyakit terpenting yang menyerang di semua daerah pertanaman cabai diseluruh dunia termasuk Indonesia. Di Indonesia, penyakit ini banyak dilaporkan di Sumatera Barat, Irian Jaya, dan Lampung serta di daerah Jawa, sedangkan di Asia dilaporkan terjadi di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina (Semangun 2000). Antraknosa dapat menyerang biji, batang, daun, dan buah cabai. Serangan penyakit ini ditandai dengan adanya bercak dipermukaan kulit buah atau pada bagian daun yang membentuk lingkaran konsentris berwarna hitam. Menurut Than
(2008) antraknosa adalah salah satu penyakit yang paling penting dalam
produksi cabai di dunia. Hal ini dikarenakan antraknosa dapat menyebabkan kerusakan sejak dari penyemaian sampai tanaman berbuah, dan merupakan masalah utama pada buah masak sehingga dapat menyebabkan penurunan mutu dan hasil produksi. Penyakit layu bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kematian tanaman dan kegagalan panen (Semangun 1994) . Menurut
3
Agrios (2005) layu bakteri pada tanaman Solanaceae terjadi sebagai layu yang tibatiba. Jika menginfeksi tanaman muda, bakteri akan menyebabkan kematian. Pada tanaman yang lebih tua, pertama akan menunjukkan layu pada daun yang paling muda, atau pada satu sisi layu dan pertumbuhan terhambat, dan akhirnya tanaman akan layu secara permanen kemudian mati. Jaringan vaskuler pada batang, akar dan umbi berubah menjadi coklat dan akan mengeluarkan ooze yang merupakan eksudat bakteri. Beberapa cara pengendalian terhadap penyakit yang disebabkan oleh virus, cendawan dan bakteri diantaranya dengan melakukan eradikasi gulma, proteksi silang, penanaman bibit sehat, pembongkaran tanaman sakit, pengendalian vektor, dan penggunaan kultivar tahan (Walkey 1991). Penggunaan kultivar tahan dapat mengurangi kejadian penyakit di lapangan secara efektif, tetapi pengembangan varietas tanaman ini relatif lama dan dinilai tidak ekonomis (Hadidi et al. 1998). Usaha pengendalian penyakit yang mulai dikembangkan dan relatif aman terhadap lingkungan yaitu penggunaan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan (Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR)) (Kokalis et al. 2002). Kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Kloepper dan
Schroth. 1978; Thomashow dan Weller 1988;
Weller 1988). Hasil penelitian Widodo (1993) menunjukkan keefektifan bakteri Pseudomonas spp. kelompok fluoresens yang diaplikasikan pada benih dan tanah dalam menekan luas dan intensitas serangan penyakit akar gada pada caisin yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Dilaporkan pula bahwa P. fluorescens B29 dan B39 diketahui dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen penyebab penyakit bisul pada tanaman kedelai di lapangan (Nawangsih 1997). Perlakuan perendaman benih cabai dengan campuran bakteri Bacillus polymixa BG25 dan P. fluorescens PG01 efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan hasil panen, serta dapat menurunkan tingkat kejadian penyakit antraknosa (Sutariati 2006).
4
Kajian dan evaluasi untuk mengetahui efektivitas PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman dan menekan infeksi penyakit di lapangan perlu dilakukan.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penggunaan P. fluorescens isolat PG01, B. polymixa isolat BG25 dan campuran keduanya (PG01+BG25) terhadap karakter agronomis dan kejadian penyakit-penyakit penting pada 3 genotipe cabai (IPB C5, IPB C10, dan Kopay) di lapangan.
Manfaat
Penelitian ini bermanfaat untuk memperoleh informasi tentang potensi bakteri pemacu pertumbuhan yang dapat digunakan sebagai alternatif pengendalian penyakit antraknosa, layu bakteri, mosaik dan belang virus pada cabai.
TINJAUAN PUSTAKA
Ekologi dan Syarat Tumbuh Cabai Cabai (Capsicum annum L.) merupakan tanaman herba tegak dari famili terung-terungan (Solanaceae). Cabai dapat tumbuh pada daerah yang memiliki ketinggian antara 10-200 m di atas permukaan laut (dpl), sehingga cabai termasuk tanaman yang dapat ditanam di dataran tinggi maupun dataran rendah. Cabai dapat ditanam pada tanah yang gembur dan banyak mengandung unsur hara. Cabai tumbuh optimal di tanah regosol dan andosol. Namun, untuk pertumbuhan dan produksi terbaik, dianjurkan menanam cabai pada tanah berstruktur remah atau gembur dan kaya bahan organik, dengan pH tanah yang dikehendaki antara 5,0-6,0. Curah hujan yang ideal untuk bertanam cabai adalah 1.000 mm/tahun, sebab curah hujan yang rendah menyebabkan tanaman mengalami kekeringan dan membutuhkan air untuk penyiraman. Sebaliknya, curah hujan yang tinggi dapat merusak tanaman cabai serta membuat lahan penanaman tergenang air dan kelembabannya tinggi. Oleh sebab itu, cabai biasanya ditanam pada lahan yang agak miring untuk menghindari genangan air, namun tingkat kemiringan lahan tidak lebih dari 25%. Lahan yang terlalu miring menyebabkan erosi dan hilangnya pupuk karena tercuci oleh air hujan. Tanah yang terlalu datar harus dibuatkan saluran pembuangan air (Topan 2008). Suhu optimum untuk pertumbuhan cabai adalah 21 °C-29.5 °C dengan suhu minimum 18°C dan maksimum 35 °C (Setiadi 2005). Pemeliharaan tanaman cabai meliputi penyiraman, penyiangan gulma dan pengendalian hama penyakit. Hama dan Penyakit pada Tanaman Cabai Salah satu kendala utama dalam budidaya cabai adalah gangguan hama dan penyakit tanaman. Studi yang dilakukan oleh Asian Vegetable Research and Develovment Center (AVRDC) di Asia mengungkapkan bahwa CMV, ChiVMV, layu bakteri, busuk Phytophthora dan antraknosa adalah penyakit utama pada cabai (AVRDC 2000), sedangkan serangga hama yang menyerang cabai adalah kutu daun persik (Myzus persicae), tungau (Polyphagotarsonemus latus), dan thrips (Thysanoptera: Thripidae). Dua faktor biotik tersebut, penyakit dan
6
serangga hama, telah dikenali sebagai kendala utama untuk produksi cabai (Berke 2002). Antraknosa pada Cabai Antraknosa atau sering disebut sebagai penyakit patek pada cabai adalah penyakit yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Penyakit antraknosa ini menyebabkan kerugian yang sangat besar baik di daerah tropis maupun subtropis (Agrios 1997). Patogen antraknosa dapat menyerang cabai muda, cabai matang, atau cabai yang sudah dipasarkan sehingga menyebabkan buah membusuk, dan kering (Martoredjo 1984). Penyakit ini bisa menyerang biji, batang, daun, dan buah cabai. Serangan penyakit ini ditandai dengan adanya gejala seperti biji gagal berkecambah, batang kecambah rapuh, sehingga mudah rebah, pucuk mati dan infeksinya menjalar ke bagian bawah. Bercak dipermukaan kulit buah melesak kedalam daging buah dan membentuk lingkaran seperti terkena sengatan terik matahari. Serangan penyakit ini terjadi menjelang buah masak (Roberts et al. 2009). Keberadaan penyakit busuk buah terutama dipicu oleh iklim mikro di pertanaman yang lembab, dan berembun, suhu tinggi, cuaca berkabut. Patogen mampu bertahan dalam biji, sehingga penyebaran melalui biji sangat mudah terjadi (seed borne diseases). Antraknosa adalah penyakit yang sangat berbahaya dan memiliki daya merusak berat terhadap produksi. Selain itu, penyakit ini bersifat laten, yakni mampu bertahan lama dalam jaringan tanaman dalam bentuk aservulus yang kemudian dapat ditumbuhi miselium. Spora Colletotrichum memiliki zat perekat, sehingga dengan mudah dapat melekat dan berpindah melalui peralatan pertanian, udara, dan angin. Selain kemampuan menyebar yang cepat, patogen mampu bertahan dalam tanah. Spora pada tanaman inang akan cepat berkecambah dan melakukan infeksi dalam waktu yang singkat, yakni sekitar lima hari (Mulyaman 2009). Penyakit Layu Bakteri Salah satu penyakit penting pada cabai ialah layu bakteri. Penyakit tersebut disebabkan oleh R. solanacearum yang dahulu dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum (Yabuuchi et al. 1995). Penyakit layu bakteri cukup berbahaya, karena pada tingkat serangan berat dapat menyebabkan kematian
7
tanaman dan kegagalan panen (Semangun 1994). Penyakit layu bakteri sulit dikendalikan karena R. solanacearum memiliki kisaran inang yang luas, termasuk patogen soil-borne, dan dapat menimbulkan infeksi laten (Abdullah dan Rahman 1998). Pada tanaman muda, serangan ditandai dengan layunya daun dari atas kanopi tanaman. Sementara itu, pada tanaman tua serangan ditunjukan dengan layunya daun tanaman dari bawah ke atas secara berangsur-angsur. Jika batang dibelah, terlihat jaringan pembuluh, pangkal batang, dan akar berwarna kecoklatan. Bila dipotong melintang dan dicelupkan ke air bersih, akan terlihat cairan keruh yang keluar dari potongan batang atau akar tersebut. Infeksi yang disebabkan oleh layu bakteri ini terjadi melalui luka-luka yang berada dibatang atau akar, lalu masuk ke jaringan pembuluh. Upaya pengendalian penyakit layu bakteri dengan rotasi tanaman dan tumpangsari hanya mengurangi keparahan penyakit (Hartman dan Elphinstone 1994). Pengendalian dengan bakterisida secara terus menerus akan menimbulkan dampak yang tidak diinginkan seperti matinya musuh-musuh alami dan timbulnya resistensi pada patogen. Penggunaan varietas cabai tahan penyakit merupakan upaya pengendalian yang efektif dan ekonomis serta ramah lingkungan. Virus Mosaik Tembakau (Tobacco Mosaic Virus/ TMV) TMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Tobamovirus. Kisaran inang virus ini sangat luas, beberapa tanaman inang yang penting termasuk dalam famili Solanaceae, Scrophulariaceae, Labiatae, Leguminoceae, Chenopodiaceae, Cucurbitaceae, dan Alliaceae. Namun tidak semua spesies yang terinfeksi TMV menunjukan gejala sistemik. Beberapa diantaranya hanya menunjukkan lesio nekrotik lokal pada titik infeksi (reaksi hipersensitif). Beberapa varietas yang menunjukkan reaksi hipersensitif yaitu tembakau, tomat, dan cabai (Sutic et al. 1999, CABI 2003). TMV merupakan virus yang sangat stabil. Titik inaktivasi panasnya yaitu 90°C, sedangkan titik batas pengencerannya adalah 1 x 10ˉ 6. Partikelnya berbentuk batang berukuran 300 x 18 nm (Sutic et al. 1999). TMV merupakan parasit obligat hanya dapat hidup pada tanaman atau jaringan sel yang hidup. Virus ini menginfeksi tanaman melalui luka. Bagian tanaman yang rentan jika kontak dengan TMV akan segera terinfeksi.
8
Virus Mosaik Ketimun (Cucumber Mosaic Virus /CMV)
CMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Cucumovirus. Partikel virus ini adalah isometrik dengan diameter kira-kira 29 nm. Titik panas inaktifasi antara 50-55°C, titik batas pengenceran antara 1 : 2000 dan 1 : 3000. Ketahanan cairan perasannya antara 2 sampai 3 hari, tetapi jika disimpan pada suhu 5°C kemampuan infeksinya bertahan antara 5 sampai 6 hari (Sugiura, Bandaranayake, dan Hemachandra 1975). CMV mempunyai kisaran inang yang sangat luas, dapat ditularkan secara mekanik, beberapa spesies inang dapat ditularkan melalui benih (Matthews 2002), serta vektor serangga (Francki et al. 1979). Virus ini menyebabkan infeksi sistemik pada kebanyakan tanaman yang diinfeksinya. Bagian jaringan dan organ tanaman yang terbentuk pada awal infeksi biasanya tidak terpengaruh oleh infeksi CMV. Pengaruh infeksi CMV terutama terjadi pada sel-sel dan jaringan tanaman yang terbentuk setelah infeksi tersebut terjadi. Konsentrasi virus meningkat setelah terjadi inokulasi, kemudian menurun pada tingkat tertentu atau tanaman menjadi mati (Agrios 1998). Virus Belang Cabai (Chilli Veinal Mottle Virus /ChiVMV) ChiVMV merupakan virus yang termasuk ke dalam genus Potyvirus. Partikel virus ini berbentuk batang lentur dengan panjang 720-740 nm. Titik panas inaktivasi dari virus ini berkisar antara suhu 55-60 C, sedangkan titik batas pengencerannya berkisar antara 10 -3- 10-4. Virus ini dapat bertahan secara in-vitro selama 7 hari pada suhu 20°C (Murayama 1998). Pada percobaan menggunakan inokulasi mekanis pada tanaman cabai Siriwong et al. (1995) melaporkan bahwa gejala pada umumnya terlihat antara 5 sampai 10 hari setelah inokulasi. ChiVMV menginduksi terjadinya vein-clearing 5 hari setelah inokulasi pada pucuk daun beberapa kultivar cabai uji C. annuum dan C. frutescens. Gejala serangan ChiVMV antara lain adanya pola belang pada daun. Gejala ini lebih jelas terlihat pada daun yang masih muda dan berukuran kecil. Bila tanaman terinfeksi virus ini pada umur yang masih muda, tanaman akan terhambat pertumbuhannya dan pada batang serta percabangannya akan terlihat pola garis berwarna hijau. Bunga yang terbentuk biasanya akan gugur
9
sebelum pembentukan buah. Daun dan buah tanaman yang terinfeksi ChiVMV akan mengalami distorsi dan berukuran lebih kecil (Cerkauskas 2004). ChiVMV dapat ditularkan melalui inokulasi mekanis, penyambungan, dan serangga vektor secara non persisten, tetapi tidak terjadi melalui benih. Beberapa spesies serangga yang dilaporkan menjadi vektor ChiVMV adalah Aphis craccivora, A. gossypii, A. spiraecola, dan M. persicae. Diantara serangga vektor tersebut yang paling penting dan sering dijumpai menjadi vektor ChiVMV pada pertanaman cabai adalah M. persicae (CABI 2000). Virus ini hanya bertahan pada kutu daun selama tidak lebih dari 1 jam. ChiVMV dapat menginfeksi berbagai jenis cabai, diantaranya cabai merah, cabai keriting dan cabai rawit (Murayama 1998). Pemanfaatan Plant Growth-Promoting Rhizobacteria (PGPR) untuk Pengendalian Penyakit PGPR adalah agens (mikroba) yang bersifat menguntungkan bagi tanaman, dan termasuk sebagai agens penginduksi ketahanan. PGPR, yaitu kelompok bakteri yang dapat mengkoloni perakaran tanaman dan memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nelson 2004). Kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya untuk bersaing mendapatkan zat makanan atau karena hasil-hasil metabolit seperti siderofor, hidrogen sianida, antibiotik, atau enzim ekstraseluler yang bersifat antagonis melawan patogen (Liu et al. 1995). Agens ini hidup didaerah sekitar perakaran (rizosfer), dimana terdapat eksudat yang dikeluarkan akar sebagai nutrisi bagi mikroba. Beberapa diantaranya ditemukan mengkoloni bagian dalam akar tanaman (endofit), mulai dari korteks sampai melewati lapisan endodermis dan jaringan pembuluh, juga dapat ditemukan sebagai endofit pada batang, daun, dan organ lainnya (Gray dan Smith 2005). Kemampuan lain dari mikroba ini adalah mampu memproduksi osmoprotektan dalam kondisi cekaman osmotik maupun cekaman kekeringan. PGPR merupakan agens pengendalian hayati yang menjanjikan dan dapat menekan organisme pengganggu tanaman di lapangan dan dapat meningkatkan kualitas pertumbuhan tanaman melalui mekanisme : 1) produksi hormon pertumbuhan, 2) kemampuan fiksasi nitrogen dari udara untuk meningkatkan ketersediaan nitrogen tanah, 3) penghasil
10
osmoprotektan pada kondisi cekaman kekeringan dan penghasil osmolit tertentu yang dapat membunuh patogen tanaman di tanah (Hasannudin 2003). Penggunaan PGPR
juga terbukti dapat
mengendalikan serangan
antraknosa pada cabai yang disebabkan oleh cendawan C. capsici sehingga mampu menekan kejadian penyakit pada buah cabai (Amalia 2007). Hal ini dikarenakan PGPR sebagai biokontrol berperan dengan mekanisme induced systemic resistance (ISR). Mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap serangan patogen (Ramamoorthy et al. 2001). Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sistemik oleh bakteri yaitu: 1) adanya sumbangan lipopolisakarida oleh bakteri; 2) produksi siderofor oleh bakteri; dan 3) produksi asam salisilat yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (van Loon et al. 1998) Perlakuan benih dengan menggunakan suspensi PGPR juga terbukti meningkatkan daya berkecambah dan indeks vigor. Penelitian Listiani (2006) menyatakan bahwa tanaman yang diberi perlakuan rizobakteri berpengaruh baik terhadap tinggi tanaman, panjang daun dan lebar daun bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Selain itu keberadaan PGPR ini dalam tanaman juga dapat menekan kejadian penyakit seperti bercak daun bakteri pada ketimun (bacterial angular leaf spot) (Liu et al. 1995), penyakit nekrosis tembakau (Maurhofer et al. 1994), dan penyakit akar gada Plasmodiophora brassicae (Widodo 1993). P. fluorescens dan Bacillus sp. Sebagai Agens Biokontrol Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman (Compant et al. 2005). Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman. Genus Pseudomonas adalah bakteri yang dapat ditemukan pada hampir semua media alami dan tahan terhadap senyawa yang bersifat menghambat
11
pertumbuhan bakteri lain sehingga mudah diisolasi. Bakteri ini mampu mendominasi daerah rizosfer dan berkembang sangat cepat, bersifat gram negatif, motil, aerob/fakultatif anaerob (Pelczar dan Chan 1986). Pseudomonas sp. banyak dilaporkan sebagai penghasil fitohormon dalam jumlah besar khususnya Indole Acetic Acid (IAA). IAA merupakan hormon pertumbuhan kelompok auksin yang berguna untuk merangsang pertumbuhan tanaman. Auksin berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan sel batang, menghambat proses pengguguran daun, merangsang pembentukan buah, serta merangsang pertumbuhan kambium dan menghambat
pertumbuhan
tunas
ketiak
(Tjondronegoro
et
al.
1989).
Pseudomonas sp. juga diketahui dapat memproduksi asam salisilat yang mampu mengendalikan virus nekrotik tembakau (Tobacco Necrotic Virus/TNV) pada tembakau (Maurhofer et al. 1994). Genus Bacillus merupakan kelompok bakteri yang sering diteliti untuk pengembangan secara komersial karena dapat menghasilkan endospora yang mampu bertahan dalam waktu lama dan toleran terhadap suhu dan pH ekstrim (Blackman et al. 1997 dalam Zehnder et al. 2000). Bakteri ini dimasukkan kedalam divisi Bakteria, klas Shizomycetes, ordo Eurobakteria dan famili Bacilliaceae (Hadioetomo 1985). Sifat bakteri ini adalah berbentuk batang, bersifat gram positif, motil, mampu membentuk endospora, menghidrolisa karbohidrat, mampu tumbuh pada suhu 5°C-55°C dan pH 5.6. Keunggulan Bacillus jika dibandingkan dengan bakteri antagonis lain adalah bakteri ini mampu menghasilkan endospora yang tahan terhadap suhu yang tinggi dan rendah, pH yang ekstrim, dan waktu penyimpanan yang lama. Menurut (Zehnder et al 2000) B. pumilis strain INR-7 dapat mengurangi gejala layu bakteri pada tanaman mentimun. Timmusk et al. ( 1999) melaporkan bahwa Bacillus sp. dapat menghasilkan hormon kelompok sitokinin. Sitokinin dapat memacu pembelahan sel, mendorong diferensiasi tajuk pada kultur jaringan, mendorong pertumbuhan tunas samping dan perluasan daun, perkembangan kloroplas, menunda penuaan daun, dan bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat (Tjondronegoro et al. 1989). Banyak dilaporkan juga bahwa Bacillus sp. dapat memfiksasi nitrogen dan melarutkan fosfat serta memproduksi antibiotik (Kloeper et al. 2004).
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari hingga November 2009 di lahan petani yang terletak di Desa Cibatok I, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor. Deteksi dan diagnosis penyakit dilakukan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bahan Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah isolat bakteri P. fluorescens PG01 dan B. polymixa BG25 yang merupakan koleksi Klinik Tanaman Departemen Proteksi Tanaman. Bahan tanaman uji yang digunakan adalah cabai besar IPB C5, cabai rawit IPB C10 yang berasal dari Laboratorium Pemuliaan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura dan cabai keriting varietas Kopay yang didapat dari petani Payakumbuh, Sumatera Barat. Metode Pembuatan Suspensi Bakteri Biakan murni bakteri diambil sebanyak 1 sampai 3 loop dari stok awal dan digoreskan pada media untuk diremajakan. Bakteri kelompok Pseudomonas sp. dibiakkan pada media King’s B dan bakteri kelompok Bacillus sp. dibiakkan pada media Tryptic Soy Agar (TSA). Bakteri yang telah diremajakan diinkubasi pada suhu ruangan selama 48 jam. Sebanyak 15 loop biakan murni yang didapat diencerkan dalam 100 ml NaCl 0,85% sehingga didapat suspensi bakteri (stok) dengan kepadatan rata-rata masing-masing
1012 cfu/ml untuk Bacillus dan 1013 cfu/ml untuk
Pseudomonas (Jamaliah 2005). Setelah diperoleh suspensi stok bakteri, dilakukan pengenceran secara bertingkat sehingga didapat suspensi bakteri dengan kepadatan 109. Sebanyak 5 ml dari masing-masing suspensi bakteri dicampurkan sehingga
13
didapat suspensi kombinasi kedua bakteri tersebut (PG01 dan BG25) dengan kepadatan yang sama. Persiapan Lahan Percobaan dilakukan pada lahan seluas 500 m2 di lahan petani Desa Cibatok I. Lahan tersebut dibagi ke dalam tiga kelompok. Dari setiap kelompok dibagi lagi menjadi empat petak utama, sesuai dengan perlakuan bakteri yang digunakan yaitu bakteri P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), campuran PGPR (PG01+BG25), dan tanpa perlakuan PGPR. Pengacakan taraf pertama dilakukan untuk menempatkan taraf pemberian suspensi bakteri ke dalam petak utama. Setiap dua belas petak utama (empat petak utama dari tiga kelompok) dibagi kedalam tiga anak petak, sesuai dengan taraf genotipe yang digunakan yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Penempatan taraf faktor genotipe ke dalam setiap petak utama dilakukan secara acak. Tanaman uji yang ditanam pada tiap anak petak terdiri dari 20 tanaman, sehingga terdapat total 720 tanaman uji. Tahapan yang dilakukan dalam persiapan lahan ini dimulai dengan pengolahan tanah secara konvensional. Pengolahan tanah ini bertujuan untuk mendapatkan tanah yang gembur yang sesuai untuk perkembangan akar tanaman, serta menstabilkan peredaran air, udara, dan suhu di dalam tanah (Prajanta 2002). Selain pengolahan lahan secara konvensional dilakukan pula penyiapan bedengan dan pemasangan mulsa. Pembuatan bedengan dilakukan dengan cangkul, tali plastik, dan patok agar rapi. Setelah menentukan ukuran bedengan, dilakukan penggalian selokan disekeliling bedengan dan tanah galian tersebut dibuang ke atas bedengan. Tanah tersebut kemudian diratakan. Setelah bedengan rapi, dilakukan pemberian pupuk dasar. Pupuk dasar ini terdiri atas pupuk kandang dan pupuk buatan. Setelah pemupukan dasar dilakukan, bedengan siap ditutup dengan mulsa plastik. Lebar mulsa yang digunakan dalam percobaan sesuai dengan lebar bedengan yaitu 70 x 50 cm. Mulsa yang dipakai adalah mulsa plastik hitam perak. Pemasangan mulsa dimulai pada salah satu ujungnya dengan cara dijepit menggunakan pasak dari
14
bambu yang dilengkungkan (membentuk huruf U). Setelah pemasangan mulsa selesai maka dilanjutkan dengan pelubangan mulsa. Proses pelubangan dilakukan tiga hari menjelang bibit dipindah tanam. Cara untuk membuat lubang tanam yaitu dengan menggunakan kaleng bekas susu yang salah satu ujungnya telah digunting, kemudian diisi arang yang sudah membara ke dalam kaleng tersebut. Kaleng ditempelkan kepermukaan mulsa plastik yang sudah ditandai untuk lubang tanam. Perlakuan PGPR Benih cabai yang sebelumnya telah dicuci kemudian dimasukkan ke dalam suspensi bakteri dengan kepadatan 10 6 cfu/ml dan dibiarkan selama 10 jam pada suhu ruang. Sebagai perlakuan kontrol, benih cabai direndam dalam 10 ml NaCl 0,85% selama 10 jam. Benih yang telah direndam disebar pada baki semai yang berisi media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:2 (v/v). Empat minggu setelah sebar bibit dipindah tanam ke lahan. Satu minggu setelah tanam (MST), dilakukan penyiraman suspensi bakteri dengan kepadatan 10 9cfu sebanyak 100 ml per tanaman. Penyiraman dilakukan kembali pada 1,3, dan 6 minggu setelah tanam (MST). Pemupukan dilakukan pada saat tanaman berumur lima minggu dengan pupuk majemuk NPK (15-15-15) dengan dosis 5 g/tanaman. Pengamatan Pertumbuhan, Produksi Tanaman, dan Kejadian Penyakit Peubah pengamatan terkait pertumbuhan vegetatif, yaitu: tinggi tanaman, jumlah cabang, dan jumlah daun,
diukur mulai 1
hingga 8 MST. Peubah
pengamatan terkait produksi tanaman, yaitu bobot buah/tanaman dan jumlah buah/tanaman diukur pada 13 MST. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan setiap minggu, dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari kotiledon sampai pucuk tertinggi. Jumlah cabang diukur dengan menghitung cabang utama yang berada di atas batang utama dan cabang sekunder yang berada di atas cabang utama. Pengamatan tersebut dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman.
15
Laju pertambahan jumlah daun, jumlah cabang, dan tinggi tanaman dihitung dengan rumus : Laju pertambahan = P(n+1)-P(n) Keterangan : P = jumlah daun, jumlah cabang, tinggi tanaman N = waktu pengamatan minggu ke-1,2,… Pengamatan penyakit penting (layu bakteri, antraknosa, mosaik dan belang) dilakukan dengan menghitung kejadian penyakit. Kejadian penyakit dihitung berdasarkan proporsi tanaman yang terinfeksi patogen dalam suatu populasi tanaman, tanpa memperhitungkan berat atau ringannya tingkat serangan dengan rumus: KP = n/N x 100% Keterangan : KP = Kejadian penyakit (%) n = jumlah tanaman yang terinfeksi penyakit N = jumlah seluruh tanaman atau buah Deteksi dan Isolasi Cendawan dan Bakteri Isolasi penyebab penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan cendawan masing-masing menggunakan media yang berbeda. Isolasi cendawan menggunakan media potato dextrose agar (PDA) sedangkan isolasi bakteri menggunakan media TSA. Isolasi cendawan dari buah yang menunjukkan gejala dilakukan untuk memastikan adanya infeksi Colletotrichum. Buah cabai yang menunjukkan gejala antraknosa di bersihkan dengan alkohol 70% hingga merata, kemudian dipotong jaringannya. Potongan tersebut dicelupkan kedalam larutan sodium hipoklorit 75%, lalu dikeringkan diatas tissue atau kertas serap steril, selanjutnya potongan tersebut diletakkan ke dalam cawan petri yang telah berisi media PDA. Setelah kurang lebih 2 hari, diamati pertumbuhan miselia, selanjutnya miselia yang terdapat dalam media diambil koloninya untuk diamati dibawah mikroskop. Untuk mendeteksi penyebab penyakit layu bakteri tahapan kerja yang dilakukan dimulai dengan : mengambil bagian tanaman yang menunjukkan gejala
16
layu. Bagian yang diisolasi yaitu batang yang dekat dengan bagian akar tanaman. Setelah dibersihkan dengan alkohol 70% bagian jaringan tersebut dipotong kecilkecil. Selanjutnya potongan tersebut diletakkan kedalam cawan petri yang telah berisi media TSA. Setelah 28 jam media TSA yang telah ditumbuhui oleh koloni bakteri diamati bentuk dan warna koloninya. Deteksi Virus dengan Metode Double Antibody Sandwich - Enzyme Linked Immunosorbent Assay (DAS-ELISA) Deteksi virus pada tanaman cabai uji dilakukan dengan metode DAS- ELISA (Clark dan Adams 1997). Tahapan deteksi diawali dengan mengambil secara individual daun kedua, ketiga dan keenam dari tiap-tiap tanaman uji sebanyak 0,1 g. Selanjutnya, daun dimasukkan ke dalam plastik gerus dan disimpan dalam lemari pendingin (-80oC) sampai siap untuk pengujian. Antiserum dipersiapkan dan dicampur dengan coating buffer (pH 9,6). Antiserum yang digunakan adalah ChiVMV (1:1000), CMV (1:1000), dan TMV (1:100). Tiap sumuran diisi dengan antiserum 100 µl. Plat ELISA yang telah terisi diinkubasi selama satu malam pada suhu 4 oC. Setelah itu plat dicuci dengan menggunakan phosphate buffer saline tween (PBST) sebanyak 5 kali. Selanjutnya sumuran diisi dengan 100 µl sap tanaman terinfeksi dicampur dengan general extract buffer (pH 7,4) dengan perbandingan 1:5 (b/v). Plat ELISA diinkubasi selama satu malam, kemudian dicuci kembali dengan PBST sampai 5 kali. Setiap sumuran kemudian diisi dengan enzim konjugat (alkaline phosphate conjugate, sigma) sebanyak 100 µl dengan perbandingan 1:1000 (v/v) dan diinkubasi selama 2-4 jam pada suhu 37oC. Plat ELISA kembali dicuci seperti sebelumnya. Setiap sumuran selanjutnya diisi dengan 100 µl larutan PNP (para nitriphenil phosphate) dan diinkubasi pada suhu ruang selama 30-60 menit sambil diamati perubahan warna yang terjadi yaitu berubah warna menjadi kuning. Apabila larutan telah berwara kuning maka reaksi dihentikan dengan menambahkan 50 µl NaOH 3 M untuk tiap sumuran. Analisis hasil ELISA secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan ELISA reader dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 405 nm. Hasil analisis kuantitatif dengan ELISA reader, digunakan sebagai penentuan
17
reaksi positif dan negatif. Jika nilai absorbansi sampel yang diperoleh lebih besar atau sama dengan 2 kali kontrol negatif maka hasil uji tersebut dinyatakan positif. Rancangan Percobaan Percobaan disusun dalam rancangan petak terbagi (split plot design) secara acak kelompok dengan perlakuan bakteri sebagai petak utama dan genotipe sebagai anak petak. Empat taraf petak utama yaitu perlakuan PGPR isolat PG01, BG25, PG01+BG25, dan perlakuan tanpa PGPR sebagai pembanding. Tiga taraf anak petak yaitu IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Pada percobaan terdapat 12 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan terdiri dari tiga ulangan, sehingga terdapat 36 satuan percobaaan. Masing-masing satuan percobaan terdiri dari 20 tanaman, dengan jumlah keseluruhan adalah 720 tanaman uji. Analisis Data Data yang diperoleh dari pengamatan dianalisis dengan menggunakan program SAS for Windows v 9.1melalui Analisys of Variance (ANOVA). Apabila data menunjukkan pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5% (ά = 0,05).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Tinggi Tanaman Bakteri perakaran pemacu pertumbuhan (PGPR) yang diaplikasikan pada tanaman umumnya dapat memberikan pengaruh dalam menginduksi pertumbuhan dan ketahanan tanaman terhadap infeksi patogen. Pengaruh induksi ketahanan ini terlihat pada pengamatan persentase kejadian penyakit pada masing-masing perlakuan dan genotipe cabai. Karakter pertumbuhan tanaman yang mendapat perlakuan PGPR pun secara umum pertumbuhannya lebih baik bila dibandingkan dengan tanaman tanpa perlakuan PGPR. Hal ini dikarenakan PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman secara langsung melalui hormon-hormon pertumbuhan yang dihasilkan seperti Giberelin (GAs) dan indole 3-acetic acid (IAA). Disamping itu PGPR juga mampu mensintesis sitokonin dan beberapa fitohormon lain (Nelson 2004). Secara umum rata-rata tinggi tanaman yang
diberi perlakuan PGPR menunjukkan
perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 1).
Hal ini
mengindikasikan bahwa PGPR mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman cabai. Namun demikian, tidak menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata terhadap interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Selanjutnya analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Pengaruh perlakuan PGPR mulai tampak pada 6 MST. Pada umur 6-8 MST semua perlakuan PGPR menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan perlakuan tanpa PGPR, walaupun perlakuan masing-masing PGPR baik P. fluorescens (PG01), B. polymixa (BG25), maupun campuran keduanya (PG01+BG25) tidak menunjukkan perbedaaan yang nyata terhadap tinggi tanaman cabai (Tabel 1).
19
Tabel 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan (MST)
Tinggi tanaman (cm) pada tiap perlakuan PGPR PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR
1
8,39ab
8,17ab
8,74a
7,96b
2
17,01ac
17,49ab
17,85a
16,58c
3
28,25ab
29,64a
30,88a
25,64b
4
38,95b
39,63b
44,25a
36,16b
5
49,69ab
50,42ab
55,95a
45,61b
6
60,14a
59,35a
65,48a
52,53b
7
69,45ab
67,88b
74,40a
58,84c
8
78,93ab
75,54b
84,05a
65,97c
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Masing-masing genotipe (IPB C5, IPB C10, dan Kopay) memiliki potensi yang berbeda untuk sifat tinggi tanaman. Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 1). Di akhir pengamatan genotipe Kopay dan IPB C5 cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan dua genotipe lainnya ,IPB C5 dan IPB C10 (Tabel 2). Tabel 2 Pengaruh genotipe cabai terhadap tinggi tanaman cabai Waktu pengamatan (MST)
Tinggi tanaman (cm) pada tiap genotipe* IPB C10 IPB C5 Kopay
1
8,69a
7,65b
8,60a
2
17,13a
16,90a
17,68a
3
27,24b
28,52ab
30,06a
4
36,74b
40,05a
42,45a
5
46,58c
50,60b
54,07a
6
54,59b
60,06a
63,48a
7
62,41b
68,56a
71,95a
8
70,82b
77,32a
80,22a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
20
Gambar 1 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan tinggi tanaman cabai Laju pertambahan tinggi tanaman menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR. Laju pertambahan tinggi tanaman meningkat hingga minggu terakhir pengamatan (8 MST). Berbeda dengan perlakuan PGPR, laju pertambahan tinggi tanaman tanpa PGPR meningkat hingga minggu ke 5 kemudian menurun pada minggu ke 6 dan meningkat lagi pada minggu ke 7. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan tinggi tanaman lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 1). Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Cabang Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada jumlah cabang ( Lampiran 2). Namun tidak ada pengaruh yang nyata untuk interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe terhadap jumlah cabang. Analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Perbedaan mulai tampak pada saat tanaman berumur 4 MST (Tabel 3). Jumlah cabang pada perlakuan PGPR baik tunggal maupun campuran, lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan tanpa PGPR. Pada akhir pengamatan, tanaman dengan perlakuan PGPR memiliki jumlah cabang mencapai 6.36 untuk PG01, 7.03 untuk BG25, dan 7.30 untuk campuran PGPR (PG01+BG25), sementara tanaman dengan perlakuan tanpa PGPR hanya mencapai 4,87 cabang.
21
Tabel 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan (MST)
Jumlah cabang pada tiap perlakuan PGPR* PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR
1
1,00a
1,00a
1,00a
1,00a
2
1,00a
1,00a
1,00a
1,00a
3
1,48a
1,48a
1,54a
1,34a
4
3,23b
3,40ab
3,83a
2,62c
5
4,43a
5,00a
5,23a
3,45b
6
6,36a
7,03a
7,30a
4,87b
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang terlihat berbeda nyata mulai 4 MST (Lampiran 9). Jumlah cabang yang dimiliki genotipe IPB C5 dan Kopay tidak berbeda nyata selama 6 minggu pengamatan, tetapi berbeda nyata dengan genotipe IPB C10 (Tabel 4). Diantara ketiga genotipe, IPB C10 memiliki jumlah cabang paling rendah yaitu sebesar 6,09. Tabel 4 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah cabang tanaman cabai Waktu pengamatan (MST)
Jumlah cabang pada tiap genotipe* IPB C10 IPB C5 Kopay
1
1,00a
1,00a
1,00a
2
1,00a
1,00a
1,00a
3
4,63a
5,01a
4,49a
4
2,98b
3,46a
3,32a
5
4,24b
4,65a
4,61a
6
6,09b
6,52a
6,44a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Laju pertambahan jumlah cabang menunjukkan pola yang sama untuk perlakuan PGPR maupun tanpa PGPR. Laju pertambahan jumlah cabang meningkat pesat hingga minggu ke-3 kemudian menurun pada minggu ke-4 dan meningkat lagi pada minggu ke-5. Perlakuan PGPR menyebabkan laju pertambahan jumlah cabang lebih tinggi dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Gambar 2).
22
Gambar 2 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah cabang tanaman cabai Penurunan laju pertambahan jumlah cabang pada minggu ke empat disebabkan oleh adanya gangguan lingkungan saat
di lapangan yang
menyebabkan cabang tanaman menjadi patah. Perlakuan campuran PGPR lebih berpengaruh terhadap laju pertambahan jumlah cabang karena adanya kombinasi kedua PGPR. Pseudomonas sp. merupakan penghasil fitohormon dalam jumlah yang besar khususnya IAA untuk merangsang pertumbuhan (Asghar et al. 2004), sedangkan B. polymixa menghasilkan hormon sitokinin (Timmusk et al. 1999), jika bersama IAA, sitokinin dapat merangsang pembelahan sel secara cepat.
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah Daun Pengamatan terhadap jumlah daun menunjukkan bahwa perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dibandingkan perlakuan tanpa PGPR (Lampiran 3). Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe. Walaupun demikian, jumlah daun cenderung lebih tinggi pada tanaman yang diberi perlakuan PGPR (Tabel 5).
23
Tabel 5 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan (MST)
Jumlah Daun pada tiap perlakuan PGPR* PG 01 BG 25 PG01+BG25 Tanpa PGPR
1
3,47b
5,30ab
4,12ab
6,04a
2
7,409a
7,80a
7,19a
8,34a
3
13,09a
14,76a
15,69a
16,06a
4
31,94a
34,80a
46,38a
31,29a
5
55,07a
49,41a
66,71a
47,47a
6
93,75a
81,15a
93,76a
70,57a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Masing-masing genotipe cabai memiliki potensi genetik yang bervariasi untuk sifat jumlah daun. Perbedaan jumlah daun yang nyata antar genotipe terjadi pada 4 MST (Tabel 6). Pada akhir pengamatan (6 MST) genotipe Kopay memiliki jumlah daun tertinggi (93 helai daun) diikuti berturut-turut oleh IPB C5 (85 helai daun) dan IPB C10 (74,81 helai daun). Tabel 6 Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah daun cabai Waktu pengamatan (MST)
Jumlah daun pada tiap genotipe* IPB C10 IPB C5 Kopay
1
4,63b
5,05a
4,52b
2
7,84ab
7,98a
7,22b
3
14,02a
15,28a
15,26a
4
30,45c
36,37b
41,05a
5
46,58b
56,50a
60,19a
6
74,81b
85,82a
93,48a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Pola laju pertambahan jumlah daun meningkat pesat pada 2 hingga 3 MST, kemudian pada 4 MST laju pertambahan jumlah daun menurun tetapi jumlah daun meningkat lagi pada 5 MST (Gambar 3). Perlakuan campuran PGPR (PG01+BG25) menyebabkan laju pertambahan jumlah daun yang tertinggi hingga 4 MST. Namun diakhir pengamatan perlakuan PGPR PG01 memiliki laju pertambahan jumlah daun tertinggi.
24
Gambar 3 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap laju pertambahan jumlah daun tanaman cabai
Pengaruh Perlakuan PGPR
dan Genotipe Cabai terhadap Jumlah
dan
Bobot Buah Cabai Umur 13 MST adalah pada saat dilakukan pemanenan. Dari hasil pemanenan dapat dilakukan pengukuran bobot buah dan penghitungan jumlah buah. Pengukuran bobot buah bertujuan untuk mengetahui pengaruh perlakuan pemberian bakteri terhadap buah cabai. Dengan adanya pemberian bakteri diharapkan dapat meningkatkan mutu buah cabai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Penghitungan jumlah buah dilakukan untuk mengetahui jumlah buah dalam bobot buah per tanaman sehingga bisa diketahui kualitas buah cabai. Perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah cabai. Hal tersebut menunjukkan tidak ada interaksi antara perlakuan PGPR dan genotipe, sehingga analisis statistik dilakukan secara terpisah untuk mengkaji pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai. Walaupun demikian, tanaman yang diberi perlakuan PGPR umumnya mampu memberikan hasil panen yang lebih tinggi dibanding tanaman tanpa perlakuan PGPR (Tabel 7). Bobot dan jumlah buah tertinggi terdapat pada perlakuan PGPR PG01 dengan bobot buah sebesar 129,57 g/tanaman dengan jumlah 25 buah pertanaman. Hal ini
25
dikarenakan P. fluorescens dapat menghasilkan hormon auksin yang dapat merangsang pembentukan buah (Timmusk et al. 1999). Demikian pula dengan perlakuan PGPR campuran (PG01 + BG25), mampu menghasilkan buah dengan bobot dan jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan tanpa PGPR. Dapat disimpulkan bahwa perlakuan PGPR mampu mempengaruhi produksi buah. Tabel 7 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah dan bobot buah cabai Perlakuan
Bobot Buah (g/tanaman)*
Jumlah Buah (buah/tanaman)*
PG01
129,57a
25,69a
BG25
95,28a
25,21a
PG01+BG25
119,69a
25,46a
Tanpa PGPR
103,19a
24,57a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Genotipe memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap bobot buah dan jumlah buah (Lampiran 21). Genotipe IPB C5 memiliki bobot buah terbesar yaitu 186,88 g/tanaman sedangkan genotipe IPB C10 memiliki bobot buah terkecil yaitu 39,00 g/tanaman. Sebaliknya, jumlah buah yang dihasilkan oleh genotipe IPB C10 memiliki nilai terbesar yaitu 25,90 buah/tanaman, sedangkan genotipe Kopay dan IPB C5 memiliki jumlah buah berturut-turut 25,76 dan 24,03 buah/tanaman (Tabel 8). Adanya perbedaan jumlah dan bobot buah yang dihasilkan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor genotipe dan jenis dari masingmasing genotipe tersebut. Genotipe yang memiliki nilai bobot tertinggi adalah genotipe IPB C5, yang merupakan jenis cabai besar, sedangkan genotipe IPB C10 menghasilkan jumlah buah terbanyak karena IPB C10 adalah genotipe yang termasuk dalam jenis cabai rawit.
26
Tabel 8 Pengaruh genotipe cabai terhadap bobot dan jumlah buah Genotipe
Bobot Buah (g/tanaman)*
Jumlah Buah (buah/tanaman)*
IPB C10
39,00c
25,90a
IPB C5
186,88a
24,03b
Kopay
109,92b
25,76a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Rendahnya produksi cabai selain disebabkan oleh adanya infeksi patogen, juga disebakan oleh kurang baiknya cara budidaya tanaman yaitu dalam proses pemupukan. Kurang baiknya pemupukan tersebut mengakibatkan tanaman uji tumbuh tidak optimal bahkan cenderung mati. Selain itu, hasil panen yang didapat dihitung berdasarkan pada buah yang layak untuk dipasarkan (tidak terkena infeksi patogen). Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa Gejala infeksi antraknosa pada tanaman cabai muncul pada saat tanaman mulai berbuah. Infeksi ini menyerang saat buah masih berwarna hijau hingga buah siap dipanen. Gejala yang muncul yaitu berupa bercak kecil berwarna hitam dan berlekuk, bercak tersebut lama kelamaan melebar dan dibagian tepi bercak berwarna kuning (Gambar 5).
Gambar 5 Gejala buah yang terinfeksi Colletotrichum spp.
27
Perlakuan PGPR tidak mampu menekan terjadinya infeksi Colletotrichum spp pada buah secara nyata dibanding tanpa perlakuan PGPR (Tabel 9). Buah terinfeksi Colletotrichum spp. pada tanaman tanpa perlakuan PGPR memilki nilai yang terendah yaitu 32.05%. Hal ini berbeda dengan pernyataan Sutariati (2005) yang menyatakan bahwa perendaman benih dengan PGPR dapat menekan kejadian penyakit antraknosa. Tingginya persentase jumlah buah terinfeksi pada perlakuan PGPR diakibatkan oleh keadaan lingkungan yang kurang mendukung. Lingkungan pertanaman yang kurang bersih dan banyaknya genangan air akibat hujan, serta kondisi kelembaban yang relatif tinggi menyebabkan proses penyebaran konidia menjadi cepat. Selain itu Colletotrichum spp. juga dapat bertahan dalam sisa-sisa tanaman sakit yang jatuh di tanah dan selanjutnya akan menjadi sumber infeksi (Mulyaman 2009). Tabel 9
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp. Perlakuan PGPR
Jumlah buah (%)*
PG01
36,05a
BG25
37,06a
PG01+BG25
40,58a
Tanpa perlakuan PGPR
32,05a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Tiap genotipe cabai memiliki respon yang berbeda terhadap infeksi Colletotrichum spp (Tabel 10). Genotipe IPB C10 memiliki persentase jumlah buah terinfeksi lebih rendah (31,38%), diikuti oleh genotipe IPB C5 (37,80%) dan Kopay
(40,12%).
Persentase jumlah buah terinfeksi Colletotrichum
spp.
tertinggi terdapat pada genotipe Kopay. Besarnya jumlah infeksi dikarenakan kondisi cabang tanaman yang merunduk sehingga bagian tanaman tersebut berdekatan langsung dengan permukaan tanah. Kondisi ini menyebabkan daun dan buah genotipe tersebut terinfeksi Colletotrichum spp. melalui percikan air dan adanya sisa tanaman sakit.
28
Tabel 10 Pengaruh genotipe cabai terhadap persentase jumlah buah cabai terinfeksi Colletotrichum spp. Perlakuan Genotipe
Jumlah buah (%)*
IPB C10
31,38b
IPB C5
37,80ab
Kopay
40,12ab
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Pengaruh Perlakuan PGPR terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Gejala layu bakteri ditandai dengan adanya gejala layu yang terjadi secara tiba-tiba. Jika menginfeksi tanaman muda akan segera mati, dan jika menginfeksi tanaman yang lebih tua akan menunjukkan layu pada daun yang paling muda, atau layu pada satu bagian tanaman dan pertumbuhan terhambat dan akhirnya tanaman akan layu secara permanen kemudian mati (Schaad 2001) (Gambar 6).
Gambar 6 Gejala tanaman cabai yang terinfeksi layu bakteri
Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap persentase jumlah tanaman yang terinfeksi layu bakteri(Lampiran 24). Persentase jumlah tanaman terinfeksi paling tinggi terjadi pada perlakuan PG01 dan BG25, sedangkan perlakuan campuran PGPR (PG01+BG25) menyebabkan persentase jumlah tanaman yang terinfeksi layu menjadi rendah (Tabel 11). Perlakuan campuran dapat menekan infeksi layu bakteri, dikarenakan adanya kombinasi kedua PGPR dimana Bacillus spp. dan P. fluorescens disamping menghasilkan antibiosis juga mempunyai kemampuan yang tinggi
29
dalam mengkolonisasi akar tanaman, sehingga kombinasi PGPR tersebut mampu berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen. Tabel 11 Pengaruh perlakuan PGPR terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri Perlakuan PGPR
Jumlah tanaman (%)*
PG01
15a
BG25
18a
PG01+BG25
10a
Tanpa perlakuan PGPR
18a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Gejala infeksi layu bakteri pada tanaman cabai mulai terlihat saat tanaman berumur 3MST (Lampiran 11). Layu bakteri banyak menyerang genotipe IPB C5, dibandingkan kedua genotipe yang lainnya (Tabel 12). Jika dilihat dari karakteristik genotipe, genotipe IPB C5 adalah genotipe yang tahan terhadap infeksi layu bakteri, tetapi pada hasil percobaan di lapangan genotipe ini paling banyak terkena infeksi layu bakteri. Hal ini diduga karena adanya luka pada tanaman saat pindah tanam (transplanting). Luka pada tanaman disebabkan oleh keadaan tanah yang kering dan keras pada saat pindah tanam. Meskipun tanah sebelumnya telah mengalami proses penggemburan dan pemberian bahan organik, tanah tersebut kembali mengeras karena faktor kondisi cuaca. Akibatnya, terjadi penghambatan pada pembentukan akar tanaman sehingga mengakibatkan adanya luka pada sistem perakaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Parker et al. (1983) yang menyatakan bahwa infeksi dari layu bakteri bisa memasuki akar melalui luka yang terbentuk saat pindah tanam, kegiatan budidaya, serangga, nematoda atau luka alami ketika akar sekunder terbentuk.
30
Tabel 12
Pengaruh genotipe cabai terhadap jumlah tanaman terinfeksi layu bakteri Perlakuan Genotipe
Jumlah tanaman (%)*
IPB C10
13a
IPB C5
19a
Kopay
12a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Pengaruh Perlakuan PGPR dan Genotipe Cabai terhadap Kejadian Infeksi Virus pada Tanaman Cabai Gejala infeksi yang disebabkan oleh virus mulai terlihat pada saat tanaman berumur 8 MST (Lampiran 30). Secara umum gejala yang ditunjukkan adalah gejala mosaik, vein banding dan adanya penebalan daun. Infeksi tidak hanya menyebabkan pengurangan dalam hasil panen, tetapi juga mengakibatkan kerusakan tanaman. Infeksi CMV dapat menyebabkan kerugian hasil panen pada tujuh kultivar cabai berkisar 32 sampai 75% (Sulyo et al. 1984), sedangkan infeksi oleh TMV dapat menyebabkan kehilangan hasil berkisar 20,5 % sampai 100% (Sutic et al. 1999). Kehilangan hasil panen yang disebabkan oleh infeksi ChiVMV berkisar antara 9 sampai 57% (Santika 2001). Persentase jumlah tanaman terinfeksi yang paling tinggi terjadi pada perlakuan tanpa PGPR jika dibandingkan dengan tanaman yang diberi perlakuan PGPR. Perlakuan
PG01 dan campuran PGPR memiliki persentase jumlah
tanaman terinfeksi yang rendah dibanding dengan perlakuan BG25 (Tabel 13).
31
Tabel 13
Pengaruh perlakuan PGPR terhadap infeksi virus di lapangan berdasarkan pengamatan gejala
Perlakuan PGPR
PG 01
BG 25
PG01+BG25
Tanpa PGPR
Genotipe
Kejadian penyakit (%)
IPB C10
10
IPB C5
16,67
Kopay
16,67
IPB C10
16,67
IPB C5
20
Kopay
16,67
IPB C10
13,33
IPB C5
16,67
Kopay
20
IPB C10
33,33
IPB C5
26,67
Kopay
20
Tabel 14 Pengaruh perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai terhadap infeksi virus CMV,ChiVMV dan TMV berdasarkan ELISA Perlakuan PGPR
PG 01
BG 25
PG01+BG25
Tanpa PGPR
Genotipe IPB C10
Kejadian penyakit (%) CMV ChiVMV TMV 66,67 0 0
IPB C5
66,67
0
33,33
Kopay
66,67
0
0
IPB C10
66,67
33,33
0
IPB C5
66,67
0
0
Kopay
66,67
0
66,67
IPB C10
33,33
0
0
IPB C5
66,67
0
0
Kopay
33,33
0
0
IPB C10
33,33
0
0
IPB C5
33,33
33,33
0
Kopay
33,33
0
0
32
Berdasarkan hasil ELISA dapat disimpulkan bahwa gejala yang diamati pada tanaman di lapangan berasosiasi dengan infeksi CMV, ChiVMV dan TMV. Umumnya semua perlakuan PGPR mampu menekan terjadinya infeksi ChiVMV dan TMV, tetapi tidak dengan infeksi CMV (Tabel 14). Infeksi ChiVMV hanya terjadi pada genotipe IPB C10 dan IPB C5 sedangkan infeksi TMV hanya terjadi pada genotipe IPB C5 dan Kopay.
(B)
(A)
(C)
Gambar 7 Gejala infeksi virus pada daun cabai: TMV (A); CMV; ChiVMV (C).
Perlakuan PGPR pada masing-masing genotipe cabai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap persentase jumlah tanaman yang terinfeksi CMV, ChiVMV dan TMV (Lampiran 25-27). Perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh terhadap nilai absorbansi ELISA. Berdasarkan hasil analisis statistik perlakuan BG25 menghasilkan nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa PGPR (Tabel 15) Tabel 15 Pengaruh PGPR terhadap nilai absorban ELISA pada tanaman cabai Jenis Virus PG 01
Perlakuan PGPR* BG 25 PG01+BG25
CMV
0,52a
0,59a
0,46a
0,38a
ChiVMV
0,16a
0,21a
0,14a
0,20a
TMV
0,36a
0,26a
0,23a
0,25a
Tanpa PGPR
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
33
Diantara ketiga jenis virus yang berasosiasi dengan tanaman di lapangan, akumulasi CMV lebih tinggi dibandingkan akumulasi ChiVMV dan TMV. Tingginya akumulasi tersebut dapat dilihat melalui nilai absorban dari masingmasing perlakuan. Infeksi virus dilapangan di pengaruhi oleh kondisi curah hujan yang lebih rendah dari biasanya, walaupun penanaman dilakukan pada musim penghujan yaitu bulan Februari. Curah hujan yang rendah tersebut menyebabkan kelembaban yang relatif rendah dan suhu menjadi lebih tinggi sehingga memungkinkan terjadinya transpirasi tanaman yang lebih tinggi sehingga translokasi virus lebih cepat. Hal ini sejalan dengan pendapat Matthews (1991) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya suhu, masa inkubasi virus mosaik lebih singkat, translokasi virus lebih cepat dan konsentrasi virus lebih tinggi. Hasil ELISA pada tanaman dengan perlakuan PGPR campuran (PG01+BG25) menunjukkan nilai absorban yang paling rendah, yaitu 0.14 dan 0.23 berturutturut untuk infeksi ChiVMV dan TMV. Rendahnya nilai absorban ini menunjukkan bahwa perlakuan PGPR dapat mempengaruhi induksi pertumbuhan dan ketahanan terhadap infeksi patogen. Tabel 16 Pengaruh genotipe terhadap nilai absorbansi ELISA pada tanaman cabai Jenis Virus IPB C10
Genotipe* IPB C5
Kopay
CMV
0,47a
0,49a
0,51a
ChiVMV
0,18a
0,18a
0,17a
TMV
0,30a
0,27a
0,26a
*nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada baris yang sama tidak menunjukkan perbedaan yang nyata menurut uji DMRT pada taraf 5%
Infeksi yang disebabkan oleh CMV, TMV, dan ChiVMV umumnya menyerang semua genotipe cabai. Genotipe IPB C5 lebih mudah terinfeksi CMV, sedangkan genotipe IPB C10 dan Kopay cenderung lebih mudah terinfeksi CMV , TMV, dan ChiVMV (Tabel 16).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Perlakuan PGPR (P. fluorescens, B. polymixa, dan campuran keduanya) dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman cabai genotipe IPB C10, IPB C5, dan Kopay. Walaupun demikian, perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi tanaman maupun kejadian penyakit (antraknosa, layu bakteri, TMV, CMV, dan ChiVMV). Genotipe cabai yang digunakan dalam penelitian ini memiliki karakter agronomis yang berbeda dan memiliki respons yang berbeda terhadap infeksi patogen. Infeksi antraknosa lebih banyak ditemukan pada varietas Kopay; sedangkan infeksi layu bakteri lebih banyak terjadi pada genotipe IPB C5.
Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai waktu aplikasi dan dosis yang tepat dalam aplikasi di lapangan serta pengamatan penyakit yang lebih detail. Waktu dan dosis aplikasi PGPR perlu dievaluasi agar PGPR dapat bekerja secara efektif untuk menekan kejadian dan keparahan penyakit. Pengamatan penyakit yang dilakukan setiap minggu akan memberikan gambaran mengenai laju perkembangan penyakit.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah H, Rahman MA. 1998. Multiplication of Ralstonia solanacearum in Capsicum annuum. p.309–315. In Bacterial Wilt Disease Molecular and Ecological Aspects. Edited by P.H. Prior, C. Allen, J. Elphinstone. Reports of The Second International Bacterial Wilt Symposium Held In Gosier, Guadeloupe, France 22-27 June 1997. Berlin Heidelberg New York: Springer-Verlag. Agrios GN. 1997. Plant Pathology. Edisi ke-4. New York: Academic Press. . 1998. Plant Pathology. New York: Academy Press. . 2005. Plant Pathology. London: Academy Press. Asghar HN, Zahir ZA, Arsyad M. 2004. Screening rhizobacteria for improving the growth, yield and oil content of canola (Brassica napus L.). Aust. J. of Agric. Res. 55: 187-194. Berke T. 2002. International pepper conference. Didalam : The Asian vegetable research and development center pepper project. Proceedings of the 16th International Pepper Cenference; Mexico, 10-12 November 2002. Mexico. Cerkauskas R. 2004. Chilli Veinal Mottle Virus. AVRDC. www.avrdc.org Clark MF, Adams AN. 1997. Characteristics of the microplate method of enzymelinked immunosorbent assay for detection of plant viruses. Journal of General Virology.34: 475-483. Compant S, Duffy B, Nowak J, Clément C, Barka AE. 2005. Use of plant growthpromoting bacteria for bioncontrol of plant diseases: principles, mechanisms of action, and future prospects. Appl. Env. Microbiol. 71 (9):4951-4959 Francki RIB, Mossop DW, Hatta T. 1979. Cucumber Mosaic Virus. CMI/AAB. Descriptions of Plant Viruses. No.213. [CABI] CAB International. 2003. Crop Protection Compendium [serial online]. CAB International. [DEPTAN] Departemen Pertanian .2006. Luas Panen, Rata-Rata Hasil Produksi Tanaman Hortikultura Di Indonesia. Jakarta: Departemen Pertanian RI. [DITLINTAN] Direktorat Perlindungan Tanaman. 2005. OPT Tanaman Pertanian: Jenis, Luas Serangan dan Luas Pengendalian OPT. Jakarta: Ditlintan.
36
Gray EJ, Smith DL. 2005. Intracellular and extracellular PGPR: communalities and distinctions in the plant-bacterium signaling processes. Soil. Biol. Biochem. 37:395-412. Hadidi A, Khetarpal RK, Koganezawa H. 1998. Plant Virus Disease Control. USA: APS Press. Hartman GL, Elphinstone JG. 1994. Advances in the Control of Pseudomonas solanacearum race 1 in Major Food Crops. pp157–177. In Bacterial Wilt: The Disease and its Causative Agent, Pseudomonas solanacearum. Edited by A.C. Haywad and G.L. Hartman. Wallingford: CAB International. Jamaliah W. 2005. Ketahanan hidup dan kemampuan antagonisme Bacillus subtilis ERB21, dan Pseudomonas fluorescens ES32 dalam berbagai formulasi. [skripsi] Bogor: IPB. Fakultas Pertanian Kloepper JW, Ryu CM, Zang S. 2004. Induced Systemic Resistance and Promoting Plant Growth by Bacillus spp. Phytopathology 94: 1259-1266. Kokalis B, Vavarina NCS, Rosskopf EN, Shelby RA. 2002. Field evaluation of plant growth promoting rhizobacteria amended transplant mixes and soil solarization for tomato and pepper production in Florida. Plant and Soil. 238: 257-166. Liu L, Kloepper JW, Tuzun S. 1995. Induction of systemic resistance in cucumber against bacterial angular leaf spot by plant growth promoting rhizobacteria. Phytopathology 85: 843-847. Matthews REF. 1991.Plant Virology.3rd Ed. NewYork. Academic Press. Maurhofer M, Hase C, Mewly P, Metraux JP, Defago G. 1994. Induction of systemic resistance of tobacco to Tobacco necrosis virus by the rootcolonizing Pseudomonas fluorescens strain CHA0: influence of the gacAgene and pyoverdine production. Phytopathology 84: 139-146. Mulyaman S. 2009. Bagaimana Menanggulangi Penyakit Patek ,Antraknose pada Komoditas Sayuran dan Buah-buahan. Sinar Tani.Ed 15-21 Juli. 3312: 1213. Murayama D, editor. 1998. Plant viruses in Asia. Yogyakarta : Gajah Mada University Press. Nelson LM. 2004. Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): prospects for new inoculants. Crop Manag 10:1094 [jurnal on-line]. http://www.cropmanagement.org/10.1094 [21 Des 2009]. Parker CA, Rovira AD, Moore KJ, editor. 1983. Ecology and Management of Soilborne Plant Pathogens. Proceedings of Section 5 of the Fourth International Congress of Plant Pathology. University of Melbourne, Melbourne, Australia, 17 – 24 August 1983.
37
Pelczar MJ Jr, Chan ECS. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UI Press. Ramamoorthy V, Viswanathan R, Raguchander T, Prakasam V, Samiyappan R. 2001. Induction of systemic resistance by plant growth promoting rhizobacteria crop plants against pests and diseases. Crop Prot. 20: 1-11. Roberts PD, Pernezny KL, Kucharek TA. 2009. Anthracnose Caused by Colletotrichum sp. on Pepper. Florida: University of Florida. Sastrosumarjo S. 2003. Pembentukan Varietas Cabai Tahan Penyakit Antraknosa dengan Pendekatan Metode Konvensional dan Bioteknologi. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu VIII Bidang Teknologi Hasil Pertanian. Kementrian Riset dan Teknologi RI: Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Schaad NW, Jones JB, Chun W, editor. 2001. Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke-3. Amerika: APS Press. Semangun H. 1994. Penyakit-Penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. Semangun H. 2000. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Setiadi. 2005. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya Siriwong P, Kittipakorn K, Ikegami M. 1995. Characterization of chilli veinbanding mottle virus isolated from pepper in Thailand. Plant Pathology 44:718-727 Santika A. 2001. Agribisnis cabai. Jakarta : Penebar Swadaya. Sugiura M, Bandaranayake CM, Hemachandra GH. 1975. Chilli Virus Diseases in Sri Lanka. Technic Bull.8. TARC.62P Sulyo Y, Hartono D, Sujanto D. 1984. Yield Losses of Some Pepper Cultivars Due to CMV Infection in Green house. Lembang: Balai Penelitian Hortikultura. Sutariati GAK. 2006. Perlakuan benih dengan agens biokontrol untuk pengendalian penyakit antraknosa dan peningkatan hasil serta mutu benih cabai [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sutic DD, Ford RE, Tosic MT. 1999. Handbook of Plant Virus Disease. New York: CRC Press. Than Po Po, Haryudian Prihastuti, Sitthisack Phoulving, Paul W.J. Taylor, Kevin D. Hyde. 2008. Chilli anthracnose disease caused by Colletotrichum species. Journal of Zhejiang University Science v. 9(10):764-778.
38 Thompson HC, Kelly WC. 1957. Vegetable crops. 5th ed. McGraw-Hill. NY.
Timmusk S, Tillberg E, Nicander B, Granhall U. 1999. Cytokinin Production by Paenibacillus polymixa. Soil Biol. & Biochem. 31: 1847-1852. van Lonn LC, Bakker PAHM, Pieterse CMJ. 1998. Systemic resistance induced by rhizobacteria. Ann Rev. Phytopathology 36 : 453-483 Walkey D. 1991. Applied Plant Virology. Edisi ke-2. London: Longman. Widodo. 1993. Penggunaan Pseudomonas spp. kelompok fluorescens untuk pengendalian penyakit akar gada (Pseudomonas brassicae Wor) pada Caisin (Brassica campestris L.) var Chinensis (Rupr) Olson [tesis]. Bogor: IPB. Program Pasca Sarjana. Yabuuchi E, Y Kosaka, I Yano, H Hotta, and Y Nishiuchi. 1995. Transfer of Two Burkholderia and an Alcaligenes Spesies to Ralstonia gen : Proposal of Ralstonia pickettii (Ralston, Palleroni, and Doudoroff. 1973) Comb.Nov. Ralstonia solanacearum (Smith, 1986). Com Nov. and Ralstonia eutropha (Davis.1996) Comb Nov. J. of Microbiol. Immunol. 39(11): 897-904. Zehnder GW, Yao C, Murphy, JF Sikora, Kloepper JW. 2000. Induction of resistance in tomato against cucumber mosaic cucumovirus by plant growthpromoting rhizobacteria. Bio. Control. 45:127-137.
LAMPIRAN
40
Lampiran 1 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 1 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 2.99877656 2.239572 7.89559706 4.28991561 0.80295139 11.06022067 28.48408189
KT 0.99959219 0.2799465 3.94779853 0.71498594 0.40147569 0.69126379
F value 1.45 0.4 5.71 1.03 0.58
pr>F 0.2666 0.9015 0.0134 0.4393 0.5708
Lampiran 2 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 2 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 8.39066733 1.61469483 3.84752772 20.42892317 10.74929339
KT 2.79688911 0.26911581 1.92376386 3.40482053 5.37464669
20.76954578 65.80065222
1.29809661
F value 2.15 0.21 1.48 2.62 4.14
pr>F 0.1334 0.9693 0.2568 0.0577 0.0356
Lampiran 3 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 3 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 136.4275831 56.5586661 47.7995973 41.1795175 49.8136832
KT 45.475861 9.4264443 23.8997986 6.8632529 24.9068416
60.6646102 392.4436572
3.7915381
F value 11.99 2.49 6.3 1.81 6.57
pr>F 0.0002 0.0681 0.0096 0.1604 0.0083
Lampiran 4 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 4 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 304.3587931 79.1128271 197.3925572 23.9092984 391.0652672 142.923659 1138.762402
KT 101.452931 13.1854712 98.6962786 3.9848831 195.5326336 8.932729
F value 11.36 1.48 11.05 0.45 21.89
pr>F 0.0003 0.2482 0.001 0.8373 <.0001
41
Lampiran 5 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 5 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 488.548999 183.7024549 337.2600352 65.2396453 532.4810962 203.668942 1810.901173
KT 162.8496663 30.6170758 168.6300176 10.8732742 266.2405481 12.729309
F value 12.79 2.41 13.25 0.85 20.92
pr>F 0.0002 0.0753 0.0004 0.5479 <.0001
Lampirean 6 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 6 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 761.6863845 162.5058481 482.8958682 62.1028689 706.8264044 283.95327 2459.970644
KT 253.8954615 27.084308 241.4479341 10.3504781 353.4132022 17.747079
F value 14.31 1.53 13.6 0.58 19.91
pr>F <.0001 0.2324 0.0004 0.7388 <.0001
Lampiran 7 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 7 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 1138.399311 114.046969 560.940243 110.009864 936.320037 423.722238 3283.438663
KT 379.466437 19.007828 280.470122 18.334977 468.160019 26.48264
F value 14.33 0.72 10.59 0.69 17.68
pr>F <.0001 0.6411 0.0012 0.6593 <.0001
Lampiran 8 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap tinggi tanaman saat 8 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 1566.193156 201.37886 556.609566 148.489287 870.209231 404.688439 3747.568539
KT 522.064385 33.563143 278.304783 24.748214 435.104615 25.293027
F value 20.64 1.33 11 0.98 17.2
pr>F <.0001 0.3016 0.001 0.471 0.0001
42
Lampira 9 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 1 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0 0 0 0 0 0 0
KT 0 0 0 0 0 0 0
F value 0 0 0 0 0 0 0
pr>F 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 10 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 2 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0 0 0 0 0 0 0
KT 0 0 0 0 0 0 0
F value 0 0 0 0 0 0 0
pr>F 0 0 0 0 0 0 0
Lampiran 11 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 3 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 1.06915495 2.26822579 1.11737986 1.04900288 25.74303021 54.63118949 85.53846154
KT 0.35638498 0.37803763 0.55868993 0.17483381 12.87151511 0.18709311
F value 1.9 2.02 2.99 0.93 68.8
pr>F 0.1289 0.0629 0.052 0.4705 <.0001
Lampiran 12 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 4 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 39.32601660 9.62153477 9.87993983 4.15429946 8.68142041 182.1502334 265.0109890
KT 13.10867220 1.60358913 4.93996991 0.69238324 4.34071021 0.7199614
F value 18.21 2.23 6.86 0.96 6.03
pr>F <.0001 0.0411 0.0013 0.4517 0.0028
43
Lampiran 13 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 5 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 102.3380038 24.6294125 8.8413747 22.0959776 7.1895907 164.752847 354.9850746
KT 34.1126679 4.1049021 4.4206873 3.6826629 3.5947953 0.664326
F value 51.35 6.18 6.65 5.54 5.41
pr>F <.0001 <.0001 0.0015 <.0001 0.005
Lampiran 14 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah cabang saat 6 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 185.6763909 37.8402788 9.9785342 12.048121 16.2650791 313.78767 627.6119403
KT 61.8921303 6.3067131 4.9892671 2.0080202 8.1325396 1.2652729
F value 48.92 4.98 3.94 1.59 6.43
pr>F <.0001 <.0001 0.0206 0.1514 0.0019
Lampiran 15 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe terhadap jumlah daun saat 1 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 349.6422239 118.6123403 19.0837835 63.018227 12.6903714 639.475192 1204.63662
KT 116.547408 19.7687234 9.5418918 10.5030378 6.3451857 1.908881
F value 61.06 10.36 5 5.5 3.32
pr>F <.0001 <.0001 0.0073 <.0001 0.0372
Lampiran 16 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 2 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 67.0848104 400.2375232 39.6196762 242.9320904 577.905213 2322.993966 3666.664789
KT 22.3616035 66.7062539 19.8098381 40.4886817 288.9526065 6.93431
F value 3.22 9.62 2.86 5.84 41.67
pr>F 0.0228 <.0001 0.0589 <.0001 <.0001
44
Lampiran 17 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 3 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 561.556656 2635.936034 116.925002 1067.674723 2682.77249 16698.21928 23584.83871
KT 187.185552 439.322672 58.462501 177.945787 1341.386245 57.58007
F value 3.25 7.63 1.02 3.09 23.3
pr>F 0.0222 <.0001 0.3636 0.006 <.0001
Lampiran 18 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 4 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 6464.99645 16463.00036 5322.38116 2060.88943 709.89912 61212.62726 95048.71898
KT 2154.99882 2743.83339 2661.19058 343.48157 354.94956 240.9946
F value 8.94 11.39 11.04 1.43 1.47
pr>F <.0001 <.0001 <.0001 0.2052 0.2312
Lampiran 19 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 5 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 9063.39745 23735.30962 8797.74436 3280.30553 211.27482 92806.8602 143306.406
KT 3021.13248 3955.88494 4398.87218 546.71759 105.63741 377.2637
F value 8.01 10.49 11.66 1.45 0.28
pr>F <.0001 <.0001 <.0001 0.1965 0.756
45
Lampiran 20 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah daun saat 6 MST Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 20265.13928 41542.3023 11250.4809 8936.06491 18457.30332 199551.5473 305057.0566
KT 6755.04643 6923.71705 5625.24045 1489.34415 9228.65166 814.4961
F value 8.29 8.5 6.91 1.83 11.33
pr>F <.0001 <.0001 0.0012 0.0941 <.0001
Lampiran 21 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap jumlah buah Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK
KT
F value
pr>F
6.28367764 17.09130828 25.83027572 7.19414694 2.78706439 19.23293733 78.41941030
2.09455921 2.84855138 12.91513786 1.19902449 1.39353219 1.20205858
1.74 2.37 10.74 1.00 0.16
0.1986 0.0787 0.0011 0.4601 0.3387
Lampiran 22 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe terhadap bobot buah
Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 6522.9301 8894.7486 131282.3372 12366.8207 16763.8497 25081.5529 200912.2392
KT 2174.3100 1482.4581 65641.1686 2061.1368 8381.9248 1567.5971
F value pr>F 1.39 0.2828 0.95 0.4905 41.87 <.0001 1.31 0.3064 5.35 0.0167
46
Lampiran 25 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe terhadap infeksi antraknosa
Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.09989511 0.16331419 0.26332447 0.18654438 0.27379186 4.77434361 5.74172800
KT 0.03329837 0.02721903 0.13166223 0.03109073 0.13689593 0.04046054
F value 0.82 0.67 3.25 0.77 3.38
pr>F 0.4837 0.6719 0.0421 0.5962 0.0373
Lampiran 26 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi layu bakteri
Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.03770252 0.02111111 0.00095238 0.02666667 0.00722222 0.00333333 0.08277778
KT 0.00942563 0.00422222 0.00047619 0.01333333 0.00361111 0.00166667
F value 5.66 2.53 0.29 8.00 2.17
pr>F 0.1559 0.3068 0.7778 0.1111 0.3158
Lampiran 27 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi virus berdasarkan gejala di lapangan Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.07042276 0.05693651 0.00009195 0.03882877 0.00646099 0.04600000 0.21878788
KT 0.02347425 0.00948942 0.00004598 0.00647146 0.00323050 0.00353846
F value 6.63 2.68 0.01 1.83 0.91
pr>F 0.0059 0.0642 0.9871 0.1701 0.4256
47
Lampiran 28 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi ChiVMV berdasarkan nilai absorban ELISA Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.02758407 0.04469859 0.00144822 0.00771436 0.01360577 0.02411107 0.11916209
KT 0.00919469 0.00744976 0.00072411 0.00128573 0.00680289 0.00150694
F value 6.10 4.94 0.48 0.85 4.51
pr>F 0.0057 0.0049 0.6271 0.5485 0.0279
Lampiran 29 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi CMV berdasarkan Nilai Absorban Elisa Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.20086073 0.71916048 0.01378377 0.06572861 2.33786381 0.32954423 3.66694164
KT 0.06695358 0.11986008 0.00689189 0.01095477 1.16893191 0.2059651
F value 3.25 5.82 0.33 0.53 56.75
pr>F 0.0495 0.0022 0.7205 0.7763 <0001
Lampiran 30 Hasil analisis ragam pengaruh perlakuan PGPR dan genotipe cabai terhadap infeksi TMV berdasarkan Nilai Absorban Elisa Sumber keragaman Bakteri Galat (bakteri) Genotipe Bakteri*Genotipe Kelompok Galat Total
DB 3 6 2 6 2 16 35
JK 0.09778273 0.08954398 0.00784220 0.08590633 0.07555677 0.27176738 0.62839939
KT 0.03259424 0.01492400 0.00392110 0.01431772 0.03777838 0.01698546
F value 1.92 0.88 0.23 0.84 2.22
pr>F 0.1672 0.5321 0.7965 0.5553 0.1405