KETAHANAN ENAM GENOTIPE CABAI (Capsicum spp.) TERHADAP BEGOMOVIRUS DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN VEKTOR KUTUKEBUL Bemisia tabaci GENN. (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)
NISSA FAWWAZ ADILAH
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
ABSTRAK NISSA FAWWAZ ADILAH. Ketahanan Enam Genotipe Cabai (Capsicum spp.) terhadap Begomovirus dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Vektor Kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae). Dibimbing oleh SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Sejak musim tanam 2003 telah dilaporkan peningkatan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai di sebagian besar sentra penanaman cabai di Indonesia, terutama di Jawa Tengah. Penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus tersebut ditularkan oleh serangga vektor yaitu kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae). Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan evaluasi ketahanan enam genotipe tanaman cabai [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] terhadap infeksi Begomovirus. Evaluasi juga dilakukan untuk mempelajari perkembangan serangga vektor kutukebul pada keenam genotipe tersebut. Evaluasi ketahanan dilakukan melalui penularan Begomovirus menggunakan serangga vektor kutukebul Bemisia tabaci. Pengamatan meliputi jenis gejala, periode inkubasi, kejadian penyakit, dan keparahan penyakit. Deteksi virus pada tanaman yang diinokulasi dilakukan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR). Pengujian perkembangan kutukebul pada enam genotipe cabai dilakukan dengan pemeliharaan kutukebul pada masing-masing tanaman uji. Analisis dilakukan terhadap jumlah telur, nimfa, pupa, dan imago, serta menghitung persentase keberhasilan perkembangan kutukebul pada tiap stadia. Hasil evaluasi ketahanan enam genotipe cabai terhadap infeksi Begomovirus menunjukkan bahwa genotipe IPBC12 dapat dikelompokkan menjadi genotipe tahan dengan keparahan berkisar antara 0 – 9,17 %, dan gejala yang ringan. Lima genotipe lainnya yaitu Rimbun, Meteor, Tornado, F1(12X14), dan 35C2 dikelompokkan menjadi genotipe rentan dengan keparahan penyakit lebih dari 20%, dan gejala yang berat. Respon ketahanan genotipe IPBC12 dapat dihubungkan dengan perkembangan kutukebul pada genotipe tersebut. Jumlah telur kutukebul dan persentase keberhasilannya menjadi imago pada IPBC12 relatif lebih rendah dibandingkan lima genotipe lainnya. Kata kunci: Begomovirus, cabai, evaluasi ketahanan, kutukebul
KETAHANAN ENAM GENOTIPE CABAI (Capsicum spp.) TERHADAP BEGOMOVIRUS DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERKEMBANGAN VEKTOR KUTUKEBUL Bemisia tabaci GENN. (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE)
NISSA FAWWAZ ADILAH
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Ketahanan Enam Genotipe Tanaman Cabai (Capsicum spp.) terhadap Begomovirus dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Vektor Kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae)
Nama NRP
: Nissa Fawwaz Adilah : A34061005
Disetujui Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. NIP : 19610708 19860 3 2001
Diketahui Ketua Departemen
Dr. Ir. Dadang, M.Sc. NIP: 19640204 19900 2 1002
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta, pada tanggal 4 Maret 1989 dari Ayah Muhammad Najib Subroto dan Ibu Atikah Wahab. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara. Tahun 2006 penulis menamatkan Sekolah Menengah Umum Negeri 26 Jakarta. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis selanjutnya memilih program Studi Hama dan Penyakit Tanaman, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama kuliah penulis memiliki pengalaman organisasi sebagai pengurus Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA) periode 2008-2009 dan 2009-2010. Penulis juga menjadi asisten praktikum mata kuliah Hama dan Penyakit Benih dan Pascapanen pada tahun 2009, Pemanfaatan dan Pengelolaan Pestisida, dan Pengendalian Hayati dan Pengelolaan Habitat pada tahun 2010.
PRAKATA Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Skripsi yang berjudul Ketahanan Enam Genotipe Cabai (Capsicum spp.) terhadap Begomovirus dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Vektor Kutukebul Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. sebagai dosen pembimbing atas kesabaran, arahan, dan bimbingan yang diberikan dalam merencanakan dan melaksanakan penelitian serta menyusun laporan akhir ini. Kepada Dr. Ir. Hermanu Triwidodo, M.Sc. sebagai dosen penguji tamu, penulis mengucapkan terimakasih atas kritik, saran, masukan dan nasehatnya demi perbaikan laporan tugas akhir ini. Terimakasih juga diucapkan kepada Dr. Ir. Abjad Asih Nawangsih, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik yang senantiasa memberikan perhatian dan semangat selama ini. Terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar di Departemen Proteksi Tanaman atas bimbingan yang diberikan selama melaksanakan pendidikan. Penulis juga mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada orang tua penulis, Abi Najib dan Ummi Atikah tercinta yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang, semangat, dan dukungan serta doa dan harapan yang diberikan selama ini. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada kakakku Hudzaifah dan adik-adikku tersayang Maziya, Miqdad, Ayub, Ya’qub, dan Hisyam atas semangat dan doa yang diberikan selama ini. Terima kasih kepada sahabat-sahabat yang selalu memberi semangat dan bantuan serta menjadi tempat berbagi untuk penulis terutama untuk Ina, Ita Sulis, Lara, Zumi, Yuni, Elis, Indri, Yeyen, Ita Casillas, Amel, Andri, Herlie serta rekan-rekan lainnya yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu. Terimakasih kepada Mbak Tuti atas segala bantuannya, terimakasih juga disampaikan kepada anggota Laboratorium Virologi Tumbuhan; Pak Edi, Ibu Latifah, Pak Irwan, Ibu Asni, Mbak Pipit dan Ibu Rita atas saran, masukkan serta bantuan yang diberikan serta Pak Saefudin atas bantuannya di Rumah kaca Cikabayan. Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam skripsi ini, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan laporan tugas akhir ini. Akhirnya semoga laporan ini dapat memberikan manfaat. Bogor, Januari 2011 Nissa Fawwaz Adilah
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ......................................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN. .............................................................................
xi
PENDAHULUAN.......................................................................................
1
Latar Belakang .................................................................................
1
Tujuan Penelitian .............................................................................
4
Manfaat Penelitian ...........................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................
5
Taksonomi Begomovirus .................................................................
5
Kisaran inang Begomovirus .............................................................
5
Gejala penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus ......................
6
Penularan Begomovirus ...................................................................
7
Serangga vektor Begomovirus: Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) ...........................................................
7
Pengendalian penyakit oleh Begomovirus .......................................
8
Varietas Tahan Begomovirus ...........................................................
10
BAHAN DAN METODE ...........................................................................
12
Tempat dan Waktu Penelitian.........................................................
12
Metode Penelitian ........................................................................... Perbanyakan Serangga Vektor............................................... Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi Serangga Vektor. ................................................................................ Perbanyakan Inokulum Begomovirus. .................................. Penanaman Tanaman Uji. ...................................................... Penularan Virus melalui Serangga Vektor. ........................... Rancangan Percobaan. ........................................................... Pengujian Pertumbuhan Populasi Serangga Vektor pada Enam Genotipe Cabai. ....................................................... Deteksi Virus ......................................................................... Ekstraksi DNA Total Tanaman ......................................... Amplifikasi DNA .............................................................. Visualisasi Hasil PCR .......................................................
12 12
14 15 15 16 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................
17
Respon Genotipe Cabai terhadap Infeksi Begomovirus ..................
17
12 13 13 13 13
viii Deteksi Begomovirus pada Enam Genotipe Cabai. .........................
21
Perkembangan Kutukebul pada Beberapa Genotipe Cabai .............
22
KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................
26
LAMPIRAN . ..............................................................................................
29
DAFTAR TABEL
Nomor 1. Kriteria gejala
Halaman infeksi Begomovirus untuk menentukan skor
keparahan penyakit .........................................................................
14
2. Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus ..........
14
3. Kejadian penyakit dan masa inkubasi Begomovirus pada enam genotipe cabai .................................................................................
18
4. Kisaran keparahan penyakit akibat infeksi Begomovirus pada enam genotipe cabai dan pengelompokkan respon ketahanan. ......
20
5. Pengamatan perkembangan populasi kutukebul B. tabaci pada enam genotipe cabai ......................................................................
22
6. Keberhasilan perkembangan serangga vektor kutukebul pada tiap stadia........................................................................................
24
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman 1. Gejala infeksi Begomovirus pada beberapa genotipe cabai (1) Meteor, (2) Rimbun, (3) Tornado, (4) F1(12X14), (5) IPBC12, (6) 35C2 ........................................................................................
19
2. Keparahan penyakit akibat infeksi Begomovirus pada enam genotipe cabai.............................................................................
20
3. Pita DNA hasil amplifikasi PCR dengan menggunakan primer CPPROTEIN-V1 dan CPPROTEIN-C1. Sampel DNA berasal dari enam genotipe cabai yang diinokulasi Begomovirus: 35C2 (kolom 1-5), Meteor (kolom 6-10), Rimbun (kolom 11-15), Tornado (16-20), IPBC12 (21-25), F1(12X14) (kolom 26-30). Kolom M adalah DNA marker 1 Kb ladder. Visualisasi menggunakan 1% gel agarosa ....................................................
21
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor 1. 2.
Halaman Preparat puparium kutukebul Bemisia tabaci. .......................... 29 Analisis sidik ragam (ANOVA) rata-rata kejadian penyakit pada enam genotipe uji. ............................................................
3.
Analisis rata-rata kejadian penyakit dengan uji lanjut menggunakan uji Duncan pada taraf nyata 5%. .......................
4.
7.
29
Data pengamatan perkembangan kutukebul pada tiga kurungan pada masing-masing genotipe uji............................
6.
29
Data pengamatan kejadian penyakit pada enam genotipe cabai ..........................................................................................
5.
29
30
Data pengamatan keparahan penyakit (skoring) enam genotipe cabai ...........................................................................
31
Deskripsi enam genotipe cabai .................................................
37
PENDAHULUAN
Latar Belakang Cabai (Capsicum spp.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang cukup penting di Indonesia. Cabai memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, dan banyak digunakan sebagai bumbu masak, bahan baku industri makanan, minuman dan obat-obatan. Pada tahun 2008 produksi cabai mencapai 1,311 juta ton, terdiri dari jenis cabai merah besar 798,32 ribu ton dan cabai rawit 512,67 ribu ton. Daerah sentra produksi utama cabai besar dan cabai rawit tersebar di beberapa kota di wilayah Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Direktorat Jenderal Hortikultura 2008). Organisme pengganggu tanaman (OPT) menjadi salah satu masalah dalam pertanaman cabai. Beberapa hama yang biasa menyerang tanaman cabai diantaranya thrips (Thrips parvispinus, Thysanoptera: Thripidae), tungau merah (Tetranichus bimaculatus, Acarina: Tetranychidae), kutu daun (Myzus persicae, Hemiptera: Aphididae), dan kutukebul (Bemisia tabaci, Hemiptera: Aleyrodidae), sedangkan penyakit pada cabai dapat disebabkan oleh bakteri (layu bakteri oleh Ralstonia solanacearum), cendawan (antraknosa oleh Colletothricum capsici), dan juga virus (penyakit kuning oleh Begomovirus). Menurut Pandey et al. (2009), Tomato yellow leaf curl virus merupakan salah satu penyakit dari genus Begomovirus yang membahayakan pertanaman dari Famili Solanaceae di wilayah Tropis dan Subtropis di dunia termasuk diantaranya tanaman cabai. Sejak musim tanam 2003 telah dilaporkan peningkatan kejadian penyakit daun keriting kuning cabai di sebagian besar sentra penanaman cabai di Indonesia, terutama di Jawa Tengah. Hasil pengamatan di beberapa daerah tersebut menunjukkan bahwa luas serangan sudah mencapai 100% dengan intensitas serangan yang cukup tinggi (Hidayat dan Sujiprihati 2007). Penyakit yang disebabkan oleh Begomovirus ini ditularkan oleh serangga vektor yaitu kutukebul yang populasinya sangat melimpah saat musim kemarau yang sangat panjang (Sulandari et al. 2006). Sulandari et al. (2001) melaporkan terjadinya peningkatan intensitas serangan Begomovirus pada cabai rawit dan cabai besar di daerah Sleman, Bantul, Kulon Progo, dan Gunung Kidul, yaitu mencapai 50-100%.
2 Gejala utama yang ditimbulkan berupa pemucatan tulang daun yang kemudian berkembang menjadi warna kuning yang sangat jelas, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun. Infeksi lanjut dari Begomovirus menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, serta tanaman menjadi kerdil (Sulandari et al. 2006). Begomovirus merupakan salah satu genus dalam famili Geminiviridae yang mempunyai anggota paling banyak dan menginfeksi banyak tanaman dibandingkan 3 genus lainnya, yaitu Mastrevirus, Curtovirus, dan Topocuvirus (ICTV 2009). Begomovirus banyak menimbulkan kerusakan pada berbagai tanaman termasuk diantaranya adalah cabai. Penularan atau pemencaran Begomovirus dibantu oleh serangga vektor yaitu kutukebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae). Semakin tinggi populasi kutukebul menyebabkan semakin tinggi pula penyebaran Begomovirus. Kutukebul dapat menularkan virus secara persisten, yaitu sekali makan pada tanaman yang mengandung virus, maka virus akan selalu ada dalam tubuh serangga selama hidupnya, virus bahkan masih tetap dapat ditularkan setelah vektor ganti kulit (Akin 2006). Jumlah kutukebul pada saat penularan mempengaruhi tingginya kejadian penyakit dan masa inkubasi virus (Mehta et al. 1994). Kepadatan populasi kutukebul pada suatu pertanaman bergantung pada kemampuan imago dalam peletakan telur dan juga aktifitas makan. Peletakan telur dan aktifitas makan dipengaruhi oleh karakteristik dan morfologi daun seperti bentuk daun, warna daun, trikoma pada daun, dan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder (Schoonhoven et al. 2005). Selain itu, jumlah, panjang, dan tipe trikoma pada daun dapat mempengaruhi kepadatan populasi kutukebul pada tanaman (Hendrival 2010). Untuk menghindari terjadinya penurunan produksi akibat serangan Begomovirus, perlu dilakukan pengendalian terhadap penyakit keriting. Pengendalian penyakit ini bukan ditujukan untuk menyembuhkan tanaman yang terinfeksi, namun lebih mengutamakan kepada pengelolaan ekosistem yang dapat mencegah dan mengurangi terjadinya infeksi virus pada tanaman lainnya, atau dengan kata lain mencegah penyebaran penyakit ke tanaman yang belum terinfeksi. Selain itu, tindakan sebelum tanam (preventif) juga dapat dilakukan
3 untuk mencegah terjadinya serangan Begomovirus pada fase awal pertumbuhan tanaman. Upaya
pengendalian
secara
preventif
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan varietas tahan karena varietas tahan dapat menekan serangan virus. Sanitasi lingkungan dengan membersihkan lahan dari gulma yang merupakan inang alternatif kutukebul, dan juga membersihkan lahan dari tanaman yang menunjukkan gejala Begomovirus merupakan tindakan penting untuk mengurangi sumber inokulum (Swanson dan Harrison 1993). Pengendalian hama terpadu dengan upaya pemanfaatan musuh alami seperti Menochilus sexmaculatus (Coleoptera: Coccinelidae), atau cendawan entomopatogen Beauveria bassiana dapat menekan populasi serangga vektor (Duriat 2009). Rotasi atau pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili Solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, tembakau, dan famili Leguminosae seperti kacang hijau) dapat mengurangi sumber inokulum (Holt et al. 1999). Rotasi tanaman tersebut akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan,dan dilakukan serentak tiap satu musim tanam serta dilakukan pada lahan seluas mungkin (Setiadi 2008). Penggunaan varietas tahan merupakan salah satu strategi pengendalian yang disarankan. Pembentukan varietas cabai tahan Begomovirus memerlukan program pemuliaan tanaman yang antara lain diawali dengan pengujian ketahanan beberapa genotipe cabai. Ganefianti (2010) telah melakukan uji ketahanan beberapa galur cabai terhadap infeksi Begomovirus dan mendapatkan beberapa genotipe potensial tahan Begomovirus diantaranya IPBC12. Galur-galur potensial tersebut perlu dievaluasi lebih lanjut. Apabila hasil evaluasi ketahanan sesuai dengan uji ketahanan sebelumnya, maka galur tersebut dapat digunakan dalam perakitan varietas tahan. Varietas tahan yang berhasil dikembangkan selanjutnya dapat disebarluaskan ke petani.
4 Tujuan Penelitian Melakukan evaluasi ketahanan enam genotipe tanaman cabai [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] terhadap infeksi Begomovirus. Evaluasi juga dilakukan untuk mempelajari perkembangan serangga vektor kutukebul pada enam genotipe cabai tersebut.
Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini akan diketahui respon genotipe cabai terhadap infeksi Begomovirus dan kemampuannya dalam mendukung perkembangan serangga kutukebul. Genotipe yang memperlihatkan respon ketahanan dapat digunakan sebagai bahan tetua (plasma nutfah) dalam perakitan varietas tahan.
5 TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Begomovirus Famili Geminiviridae dapat dibedakan menjadi empat genus berdasarkan struktur genom, jenis serangga vektor dan jenis tanaman inang yaitu Mastrevirus, Curtovirus, Topocuvirus, dan Begomovirus (Valverde et al. 2003). Genus Mastrevirus memiliki genom berukuran 2,6-2,8 kb, ditularkan oleh wereng hijau (leafhopper) ke tanaman monokotil, salah satu anggota dari genus itu adalah Maize streak virus. Genus Curtovirus merupakan virus dengan genom berukuran 2,9-3,0 kb, ditularkan juga oleh wereng hijau (leafhopper) ke tanaman dikotil, dengan contoh spesies Beet curly top virus. Genus Topocuvirus mempunyai ukuran genom yang sama dengan Curtovirus, namun virus ini ditularkan oleh wereng pohon (treehopper) ke tanaman dikotil, anggota genus ini hanya satu yaitu Tomato pseudo-curly top virus. Genus Begomovirus mempunyai genom berukuran 2,5-2,9 kb, menyerang tanaman dikotil dan ditularkan oleh kutukebul (whitefly, Bemisia tabaci Genn.), dengan contoh spesies yaitu Bean golden yellow mosaic virus (pada awalnya Bean golden mosaic virus – Puerto Rico) (Fauquet et al. 2003). Begomovirus mempunyai spesies yang paling banyak dibandingkan 3 genus yang lainnya. Berdasarkan data ICTV tahun 2009 anggota Begomovirus, Curtovirus, Mastrevirus, dan Topocuvirus berturut-turut adalah 196, 7, 14 dan 1 spesies. Kisaran Inang Begomovirus Begomovirus banyak menimbulkan kerusakan dan kehilangan hasil pada berbagai tanaman yang dibudidayakan termasuk diantaranya cabai, tomat, singkong, dan kapas di daerah tropik maupun subtropik di dunia (Rusli et al. 1999; Xie et al. 2010). Selain itu, Begomovirus juga ditemukan pada tanaman gulma spesies Ageratum conyzoides (Swanson dan Harrison 1993). Mansour dan AL-Musa (1992) melaporkan beberapa tanaman yang menjadi inang Begomovirus diantaranya tomat (Lycopersicon esculentum), Datura stramonium, Nicotiana glutinosa, dan N. tabacum. Sulandari et al. (2006) melaporkan bahwa tanaman dari famili Solanaceae, Compositae, dan beberapa dari famili Leguminosae merupakan inang Begomovirus.
6 Berbagai Begomovirus telah dilaporkan di beberapa wilayah di berbagai negara. Diantaranya yaitu Sweet potato leaf curl virus (SPLCV) menginfeksi tanaman ubi di Mexico (Valverde et al. 2003), Bean golden yellow mosaic virus (pada awalnya Bean golden mosaic virus) meninfeksi tanaman buncis di Puerto Rico (Fauquet et al. 2003), Tomato golden mosaic virus (TGMV) menginfeksi tanaman tomat di Brazil (Green dan Kalloo 2004). Gejala Penyakit yang Disebabkan oleh Begomovirus Gejala yang timbul karena infeksi Begomovirus sangat bervariasi, tergantung pada strain virus dan spesies tanaman inangnya. Gejala umum yang ditimbulkan berhubungan dengan kerusakan daun seperti mengeriting, berkerutkerut, menguning, dan pola mosaik serta kerdil. Infeksi Begomovirus pada tanaman yang masih muda pada umumnya menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat, daun menjadi melengkung dan berkerut-kerut dengan ukuran yang lebih kecil dari ukuran normal (Pacheco et al. 1996). Infeksi Begomovirus pada tanaman cabai umumnya menimbulkan gejala berupa pemucatan tulang daun yang kemudian berkembang menjadi warna kuning yang sangat jelas, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun. Infeksi lanjut dari Begomovirus menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, serta tanaman menjadi kerdil. Di lapangan, gejala yang ditimbulkan pada pertanaman cabai menunjukkan gejala yang beragam. Keragaman gejala tersebut dapat dibedakan atas: a) keseluruhan daun berwarna kuning, b) daun mengalami belang berwarna kuning dan hijau, c) daun berwarna kuning dengan tepi daun melengkung ke atas (cupping) atau keriting, d) tanaman mengalami kekerdilan dengan daun belang berwarna kuning dan hijau. Penyebaran gejala tersebut di lapangan dapat bersifat sporadis atau merata (Sulandari et al. 2006; Rusli et al. 1999).
7 Penularan Begomovirus Penularan dan pemencaran virus di lapangan sangat ditentukan oleh serangga vektor. Menurut Rusli et al. (1999) Begomovirus asal cabai tidak dapat ditularkan secara mekanis melalui cairan perasan daun tanaman sakit, tetapi dapat dilakukan penularan dengan serangga vektor B. tabaci dan penyambungan samping. Efisiensi penularan dengan serangga vektor lebih tinggi dibanding penyambungan, sehingga pada penelitian yang berkaitan dengan infeksi Begomovirus, metode penularan dengan menggunakan serangga vektor yang sering digunakan (Ganefianti 2010). Dalam hubungan antar tumbuhan, virus, dengan vektor terutama dari golongan serangga dikenal beberapa istilah umum yaitu periode makan akuisisi, periode makan inokulasi, periode laten, dan persistensi. Periode makan akuisisi adalah periode yang diperlukan serangga untuk memperoleh cairan sel tumbuhan. Periode makan inokulasi adalah periode yang diperlukan serangga untuk mengisap cairan sel dan memindahkan virus ke tanaman sehat. Periode laten yaitu periode setelah makan akuisisi selesai sampai serangga mampu menularkan virus ke tumbuhan sehat. Persistensi yaitu periode yang diperlukan serangga untuk tetap infektif menularkan virus setelah meninggalkan sumber virus, yang dibagi menjadi tiga kategori yaitu non persisten, semi persisten, dan persisten (Wahyuni 2005). Begomovirus merupakan virus yang ditularkan secara persisten atau sirkulatif.
Virus tetap bertahan dalam tubuh vektor sedikitnya selama satu
minggu, bahkan dapat menularkan virus selama hidup vektor (Akin 2006). Menurut penelitian Mehta et al. (1994) periode makan akuisisi (pma) dan periode makan inokulasi (pmi) minimal bagi B. tabaci masing-masing adalah 15 menit. Serangga Vektor Begomovirus: Bemisia tabaci Genn. (Hemiptera: Aleyrodidae) Kutukebul atau B. tabaci digolongkan ke dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, family Aleyrodidae (Borror 1996). Umumnya serangga tersebar di daerah tropik dan subtropik, bersifat polifag, dan diketahui sebagai vektor virus yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Kalshoven 1981).
8 Siklus hidup B. tabaci terdiri dari telur, nimfa, pupa dan imago. Telur berbentuk bulat panjang dengan tangkai yang pendek pada salah satu ujungnya, berwarna kekuningan dan biasanya tertutup lilin, serta menjadi berwarna coklat setelah 24 jam. Masa inkubasi telur bergantung pada keadaan lingkungan, yaitu sekitar 4-5 hari. Nimfa instar satu berbentuk bulat panjang, berwarna hijau cerah, dan aktif bergerak. Nimfa instar dua berwarna hijau gelap dengan antena sangat pendek dan tungkai yang tereduksi. Nimfa instar tiga mirip dengan instar 2 hanya dengan ukuran yang sedikit lebih besar, nimfa instar 2 dan instar 3 tidak aktif bergerak. Stadia nimfa secara keseluruhan berlangsung selama 12-15 hari. Pupanya berbentuk bulat panjang, di bagian toraks agak melebar, cembung, dan abdomen tampak jelas. Lama stadium pupa adalah 2-4 hari. Imago berwarna kuning dengan sayap tertutup oleh tepung berwarna putih, ukuran serangga betina bisanya berukuran lebih besar dari pada serangga jantan. Lama hidup imago berkisar 6 hari (Kalshoven 1981; Gameel 1977). B. tabaci merupakan serangga hama yang dapat secara langsung menyebabkan kerusakan pada tanaman dan secara tidak langsung merupakan vektor tanaman (Brown 1994). Menurut Berlinger (1986) ada tiga bentuk kerusakan yang disebabkan oleh B. tabaci. Pertama adalah kerusakan langsung, yaitu kerusakan yang disebabkan oleh bekas tusukan stiletnya. Akibatnya tanaman akan menjadi lemah dan layu, menurunkan pertumbuhan tanaman, dan hasil. Kedua adalah kerusakan tidak langsung, yaitu disebabkan akumulasi embun madu yang dihasilkan oleh kutukebul. Embun madu merupakan substrat untuk pertumbuhan cendawan embun jelaga pada daun dan buah. Akibatnya dapat menurunkan efisiensi fotosintesis dan menurunkan mutu buah yang akan dijual. Ketiga adalah kerusakan karena kutukebul dapat menularkan virus tanaman, sehingga populasi kutukebul yang sedikit sudah dapat menimbulkan kerusakan pada tanaman. Pengendalian Penyakit oleh Begomovirus Duriat (2009) menyatakan bahwa inti pengendalian penyakit kuning keriting pada tanaman cabai adalah upaya terpadu untuk menghalangi terjadinya infeksi terutama pada waktu tanaman masih muda atau yang dikenal dengan istilah pengendalian secara preventif.
9 Upaya
pengendalian
secara
preventif
dilakukan
dengan
sanitasi
lingkungan yaitu membersihkan lahan dari gulma yang merupakan inang alternatif kutukebul, dan juga membersihkan lahan dari tanaman yang menunjukkan gejala Begomovirus merupakan tindakan penting untuk mengurangi sumber inokulum (Swanson dan Harrison 1993). Pengendalian hama terpadu dengan upaya pemanfaatan musuh alami seperti Menochilus sexmaculatus dan Coccinella transfertalis
(Coleoptera:
Coccinelidae),
atau
cendawan
entomopatogen
Beauveria bassiana dapat menekan populasi serangga vektor. Menginduksi ketahanan tanaman cabai dengan Vir-001 (ekstrak bunga pukul empat konsentrasi 50%) atau Vir-002 (bayam duri konsentrasi 25%) pada semaian cabai berdaun sejati 3-4 lembar dapat meningkatkan ketahanan tanaman dari serangan virus (Duriat
2009). Rotasi atau pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang virus (terutama bukan dari famili solanaceae seperti tomat, cabai, kentang, dan tembakau) dapat mengurangi sumber inokulum (Holt et al. 1999). Rotasi tanaman tersebut akan lebih berhasil apabila dilakukan paling sedikit dalam satu hamparan, dan dilakukan serentak tiap satu musim tanam serta dilakukan pada lahan seluas mungkin (Setiadi 2008). Penggunaan varietas tahan digunakan sebagai salah satu bentuk pengendalian preventif karena varietas tahan dapat menekan serangan virus. Tanaman memiliki respon ketahanan yang berbeda terhadap serangan virus, salah satu penyebab pebedaan tersebut adalah adanya ketahanan dari dalam tubuh tumbuhan tersebut. Menurut Agrios (1996) secara umum terdapat dua jenis mekanisme ketahanan yang dimiliki oleh tumbuhan, yaitu ketahanan struktural dan ketahanan biokimia. Ketahanan struktural yaitu sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen mendapatkan peluang masuk dan menyebar di dalam tumbuhan. Struktur-struktur tersebut meliputi antara lain jumlah dan kualitas lilin serta kutikula yang menutupi sel epidermis, struktur dinding sel epidermis, ukuran, letak, dan bentuk stomata dan lentisel, kerapatan trikoma, dan jaringan dinding sel yang tebal yang menghambat gerak maju patogen. Ketebalan dan kekuatan dinding bagian luar sel-sel epidermis merupakan faktor penting dalam ketahanan beberapa jenis tanaman terhadap
10 beberapa patogen tertentu. Sel-sel epidermis yang berdinding kuat dan tebal akan membuat penetrasi secara langsung mengalami kesulitan (Agrios 1996). Ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut (Agrios 1996). Perubahan biokimia dapat terjadi antara lain melalui sintesis dan akumulasi asam salisilat (Wobbe dan Klessig 1996) atau fitoaleksin (Beynon 1997), yaitu senyawa hasil metabolit sekunder yang toksik bagi virus, bakteri, maupun cendawan yang menyerupai asam lemak (Lowton et al 1992), dan dikeluarkannya elisitor berupa oligosakarida oleh tanaman (Nothnagel et al 1983). Senyawa-senyawa ini dapat melindungi tanaman secara menyeluruh terhadap serangan patogen namun dapat juga menekan perkembangan patogen sehingga tidak menurunkan produksi. Mekanisme yang lain adalah tidak adanya faktor pengenal pada tanaman yang dapat digunakan patogen untuk menentukan inang yang sesuai. Tanaman ini juga dapat mempertahankan diri dengan tidak memproduksi senyawa metabolit yang diperlukan oleh patogen sehingga patogen tidak berkembang. Varietas Tahan Begomovirus Tanaman yang tahan terhadap virus adalah tanaman yang mampu menghambat replikasi dan penyebaran virus di dalam tanaman. Ketahanan ini dapat diwujudkan sebagai kemampuan tanaman untuk membatasi perkembangan virus tertentu sehingga virus tersebut tidak menyebar ke sel-sel lainnya (Greenleaf 1986). Varietas tahan Begomovirus telah ditemukan pada tanaman tomat dan buncis. Tomat varietas komersial pertama yang tahan adalah “TY20” (Rom et al. 1993). Saat ini tomat galur H24 telah dirilis sebagai varietas tahan yang komersial karena memperlihatkan ketahanan yang sangat baik terhadap strain TYLCV dari Taiwan dan India selatan (Hanson et al. 2000). Pada tanaman buncis, persilangan dilakukan terhadap Ras Mesoamerika dengan landraces Porillo Sintetico dan Turrialba I yang menghasilkan ketahanan terhadap infeksi BGYMV. Selain itu terdapat galur yang memiliki ketahanan tinggi yaitu A429 (Singh et al. 2000).
11 Galur ini mengekspresikan gejala yang lemah, tetapi karakter agronominya tidak komersial. Pada tanaman cabai belum banyak informasi mengenai galur yang tahan terhadap Begomovirus. Percobaan yang dilakukan Ganefianti (2010) dengan menggunakan 27 genotipe cabai menunjukkan bahwa IPBC12 tahan terhadap Begomovirus dengan keparahan penyakit kurang dari 5%.
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di rumah kaca Cikabayan dan Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan dari bulan Februari sampai Desember 2010. Metode Penelitian Perbanyakan Serangga Vektor Imago kutukebul (B. tabaci) yang digunakan sebagai vektor berasal dari tanaman kapas. Serangga vektor tersebut merupakan koleksi dari laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, yang sengaja dikembangbiakkan dan diperbanyak untuk kepentingan penelitian. Perbanyakan serangga vektor B. tabaci tersebut dilakukan di rumah kaca Departemen Proteksi Tanaman di Cikabayan. Serangga ini dipelihara pada tanaman kapas dalam sebuah kurungan kasa kedap serangga. Pembuatan Preparat Mikroskop dan Identifikasi Serangga Vektor Puparium yang dikoleksi dari tanaman kapas dipindahkan ke dalam alkohol 95% yang ditempatkan dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan selama 5-10 menit. Setelah itu cairan tubuh yang masih tersisa pada pupa dibersihkan dengan cara menusuk bagian tubuh pupa secara hati-hati dengan menggunakan jarum, kemudian dipindahkan secara hati-hati ke dalam tabung reaksi yang telah berisi larutan KOH 10%, lalu dipanaskan kembali selama 5-10 menit (hingga transparan). Pupa selanjutnya dicuci dengan akuades sebanyak dua kali, kemudian dimasukkan ke dalam cawan syracus yang telah diisi dengan alkohol 50% selama 10 menit. Tahap selanjutnya adalah menambahkan acid fuchsin dan glacial acetic acid masing-masing sebanyak satu tetes, kemudian didiamkan selama 20 menit. Setelah itu puparium dimasukkan ke dalam alkohol 80% selama 5-10 menit, lalu diganti dengan alkohol absolut selama 10 menit. Selanjutnya puparium dimasukkan ke dalam minyak cengkeh selama 10 menit, kemudian ditempatkan pada gelas objek dengan menggunakan canada balsam. Preparat mikroskop yang
13 telah jadi, dikeringkan di atas pemanas dan diidentifikasi dengan menggunakan kunci identifikasi Dooley (2006). Perbanyakan Inokulum Begomovirus Sumber inokulum awal dari penelitian ini adalah isolat Begomovirus yang merupakan isolat koleksi Laboratorium Virologi Tumbuhan, yang dipelihara di rumah kaca di Cikabayan, Bogor. Perbanyakan inokulum Begomovirus tersebut dilakukan pada tanaman tomat melalui penularan dengan kutukebul. Kutukebul diberi periode makan akuisisi pada tanaman cabai sumber inokulum awal selama 24 jam (pma), kemudian dipindahkan ke tanaman tomat sehat yang berumur 6 MST sebanyak 10 ekor setiap tanaman dan dibiarkan selama 24 jam (pmi). Tanaman tomat dipelihara untuk digunakan sebagai sumber inokulum pada pengujian ketahanan varietas cabai. Penanaman Tanaman Uji Tanaman uji yang digunakan adalah tanaman cabai yang terdiri dari tiga galur yaitu F1(12X14), IPBC12, dan 35C2, serta tiga varietas komersial yaitu varietas Meteor, Rimbun, dan Tornado. Benih-benih cabai disemai pada media semai komersial berupa campuran pupuk kandang, kompos, dan sekam. Bibit yang tumbuh dipelihara hingga berdaun 3-4 helai atau berumur 3-5 minggu setelah semai (MSS). Bibit kemudian dipindah ke polybag berukuran 30 cm x 35 cm yang telah diisi campuran tanah steril dan pupuk kandang (perbandingan 2:1) sebanyak 5 kg. Pemeliharaan tanaman dilakukan dengan menyiram tanaman setiap hari dan mengendalikan serangga yang tidak diinginkan. Penularan Virus Melalui Serangga Vektor Penularan virus dengan serangga dilakukan seperti diuraikan sebelumnya dengan pma 24 jam, pmi 24 jam, dan jumlah serangga 15 ekor setiap tanaman. Semua serangga yang digunakan dimatikan setelah pmi. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) dengan enam genotipe [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] sebagai perlakuan. Jumlah tanaman pada setiap perlakuan masing-
14 masing 30 tanaman yang terdiri dari tiga ulangan, dan setiap ulangan terdiri dari 10 tanaman. Peubah yang diamati untuk evaluasi ketahanan varietas meliputi periode inkubasi, gejala, intensitas dan kejadian penyakit. Periode inkubasi diamati sejak munculnya gejala pertama sampai gejala yang terakhir muncul. Gejala diamati dengan mencatat deskripsi gejala yang muncul pada tiap tanaman uji. Kejadian penyakit dihitung pada minggu terakhir pengamatan, yaitu dengan menghitung jumlah tanaman yang sakit dibagi dengan jumlah seluruh tanaman, kemudian dikalikan dengan 100%. Intensitas penyakit dihitung dengan melakukan skoring terhadap gejala penyakit setiap minggunya berdasarkan kriteria tertentu (Tabel 1). Pengelompokkan genotipe cabai uji berdasarkan respon ketahanannya dilakukan mengikuti kriteria yang digunakan oleh Ganefianti (2010) dengan modifikasi (Tabel 2). Tabel 1 Kriteria gejala infeksi Begomovirus untuk menentukan skor keparahan penyakit Skor Gejala 0 Tidak bergejala 1 Tulang daun memucat, terlihat spot-spot kuning pada daun Seluruh tulang daun menguning, sebagian besar lamina daun 2 menguning, daun keriting (malformasi) Sebagian besar lamina daun menguning, daun keriting 3 (malformasi) dan kecil Seluruh atau sebagian besar daun pada tanaman menguning, daun 4 keriting (malformasi), kecil, dan tanaman kerdil. Tabel 2 Kriteria ketahanan tanaman terhadap infeksi Begomovirus Respon Keparahan Tahan Agak Rentan Rentan Sangat Rentan
Gejala Ringan Sedang Berat Sangat Berat
Keparahan Penyakit (IP) 1%
40%
Pengujian Pertumbuhan Populasi Serangga Vektor pada Enam Genotipe Cabai Pengujian populasi serangga vektor B. tabaci diawali dengan menyiapkan tanaman cabai berumur 3 bulan dari masing-masing genotipe uji [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2], kemudian imago kutukebul
15 dipindahkan ke tanaman cabai sebanyak 10 ekor setiap tanaman. Sebelumnya pada tanaman dipasang kurungan silinder yang terbuat dari plastik mika yang bagian atasnya ditutup dengan kain kasa. Di bagian tengah plastik mika terdapat lubang yang berfungsi untuk memasukkan imago serangga. Setelah 48 jam, imago tersebut dikeluarkan dari tabung, kemudian dilakukan pengamatan jumlah telur yang diletakkan oleh serangga. Pengamatan dilanjutkan setiap minggu setelah stadia telur selama empat minggu untuk menghitung jumlah serangga pada stadia berikutnya. Sampel yang digunakan pada masing-masing genotipe yaitu satu tanaman, dan tiap tanaman dipasangi tiga buah kurungan. Deteksi Virus Deteksi virus dilakukan dengan metode PCR melalui tahapan ekstraksi DNA, amplifikasi DNA, dan visualisasi hasil PCR dengan gel agarosa. Ekstraksi DNA Total Tanaman. Ekstraksi DNA total dilakukan menggunakan metode CTAB (Doyle & Doyle, 1990) dengan beberapa modifikasi. Bufer ekstraksi (2% CTAB, 100 mM Tris pH 8, 10 mM EDTA , 5 M NaCl, 1% 2-βmerkaptoetanol) dipanaskan sebanyak 10 ml dalam penangas air pada suhu 65 0C. Sampel daun sebanyak 0,1 gram digerus dalam 500 µl bufer, setelah itu dimasukkan dalam tabung mikro berukuran 1,5 ml. Selanjutnya hasil campuran diinkubasi dengan penangas air pada suhu 65 0C selama 60 menit. Setiap 10 menit tabung dibolak-balik untuk membantu proses lisis. Setelah 60 menit campuran tersebut diambil dari penangas air dan didiamkan sebentar (2 menit) pada suhu ruang, kemudian ditambahkan 500 µl campuran Kloroform:Isoamilalkohol (CI) dengan perbandingan 24:1 (volume:volume). Agar tercampur dengan baik tabung divorteks selama 5 menit kemudian disentrifugasi dengan kecepatan 11000 rpm selama 15 menit dan diambil supernatannya. Ke dalam supernatan yang telah diambil, ditambahkan 1 ml kloroform, kemudian divorteks selama 5 menit, dan disentrifugasi kembali dengan kecepatan 11000 rpm selama 15 menit. Supernatan yang diperoleh diambil secara hati-hati dan dipindahkan ke dalam tabung mikro baru, setelah itu ke dalam supernatan yang diperoleh ditambahkan 0,1 volume NaOAC (asam asetat) dan 2,5 volume etanol absolut dan diinkubasi pada suhu -20 0
C selama satu malam. Setelah diinkubasi, dilakukan sentrifugasi dengan
16 kecepatan 12000 rpm selama 10 menit. Pelet hasil sentrifugasi dicuci dengan menambahkan 200 µl etanol (70%), disentrifugasi kembali selama 5 menit kemudian dibuang supernatannya, sedangkan peletnya dikeringkan. Setelah kering, pelet atau endapan DNA yang diperoleh dilarutkan dengan 100 µl bufer TE 1x (10 mM Tris-HCl pH 8, 1 mM EDTA). Amplifikasi DNA. Metode PCR digunakan untuk mengamplifikasi sebagian dari genom Begomovirus dengan menggunakan primer spesifik untuk gen AV1 Begomovirus
yaitu:
CPPROTEIN-V1
dengan
sekuen
nukleotida
5’-
TAATTCTAGATGTCGAAGCGACCCGCCGA-3’ dan CPPROTEIN-C1 dengan sekuen nukleotida 5’-GGCCGAATTCTTAATTTTGAACAGAATCA-3’ yang akan mengamplifikasi bagian gen protein selubung (AVRDC, Taiwan). Metode amplifikasi dilakukan mengikuti metode yang dilakukan oleh Rojas et al. (1993). Reaksi PCR (volume total 25 µl) dilakukan dengan mencampurkan dH2O, 1x bufer PCR, 1x sucrose cresol, 10 mM dNTP, 10 µM masing-masing primer, 5 unit Taq DNA polymerase, dan 2 µl DNA template. PCR dilakukan pada reaksi sebagai berikut: satu siklus optimasi pada suhu 94 0C selama 1 menit, 30 siklus yang terdiri dari tahap denaturasi DNA pada suhu 94 0C selama 1 menit, tahap penempelan primer ke DNA target pada suhu 55 0C selama 2 menit, dan tahap pemanjangan DNA pada suhu 72 0C selama 10 menit yang diakhiri pada suhu 4 0
C untuk penyimpanan.
Visualisasi Hasil PCR. Hasil PCR divisualisasi pada 1% gel agarosa dalam 0,5x bufer TBE (Tris-borate EDTA) dengan tegangan 50 volt selama 60 menit dan diamati dengan UV transilluminator setelah diwarnai dengan etidium bromida.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Respon Genotipe Cabai terhadap Infeksi Begomovirus Infeksi Begomovirus umumnya menimbulkan gejala berupa pemucatan tulang daun yang kemudian berkembang menjadi warna kuning yang sangat jelas, penebalan tulang daun, dan penggulungan daun. Infeksi lanjut dari Begomovirus menyebabkan daun-daun mengecil dan berwarna kuning terang, serta tanaman menjadi kerdil (Sulandari et al. 2006). Inokulasi Begomovirus pada enam genotipe cabai yang diuji menunjukkan gejala penyakit yang tidak terlalu berbeda. Gejala yang muncul hanya berupa penguningan tulang daun dan sebagian lamina daun, serta daun melengkung ke bawah. Infeksi Begomovirus dimulai dengan munculnya bintik kekuningan pada pucuk, selanjutnya tulang daun memucat kemudian menguning, bintik kekuningan melebar menjadi spot-spot kuning pada lamina daun, dan selanjutnya daun melengkung ke bawah (Gambar 1). Masa inkubasi Begomovirus pada genotipe Meteor, Rimbun, Tornado, dan F1(12X14) berkisar antara 7-15 hari dengan kejadian penyakit berkisar antara 8093,3 % dan rata-rata inkubasi antara 9,26-9,92 hari (Tabel 3). Kejadian penyakit tertinggi terjadi pada genotipe 35C2 (96,67%) tetapi tidak berbeda nyata dibandingkan keempat genotipe sebelumnya walaupun pada genotipe 35C2 masa inkubasi sedikit lebih singkat (6-15 hari) dan rata-rata inkubasi tercepat yaitu 7,38 hari. Selain memiliki kejadian penyakit yang tidak berbeda nyata, kelima genotipe ini juga memiliki modus atau hari terbanyak munculnya gejala pertama pada tanaman uji yang sama yaitu pada hari ketujuh setelah inokulasi. Kejadian penyakit berbeda nyata pada genotipe IPBC12 (30%) dengan masa inkubasi lebih panjang (9-15 hari), rata-rata inkubasi paling panjang (13 hari), dan modus paling besar (13 hari) (Tabel 3). Tingginya kejadian penyakit dan masa inkubasi virus dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu genotipe, keadaan tanaman, waktu infeksi, periode makan akuisisi (pma), periode makan inokulasi (pmi), dan jumlah serangga vektor (Singh 1973; Mehta et al. 1994). Faktor pembeda pada penelitian yang dilakukan adalah faktor genotipe tanaman karena waktu infeksi, pma, pmi, dan jumlah serangga vektor dalam metode penularan disamakan. Enam genotipe yang digunakan dalam
18 penelitian ini menunjukkan respon yang berbeda terhadap infeksi Begomovirus. Menurut kriteria ketahanan Ganefianti (2010) keenam genotipe cabai ini dapat dikelompokkan berdasarkan responnya menjadi genotipe rentan [Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), dan 35C2] dan genotipe tahan (IPBC12). Genotipe IPBC12 hanya terinfeksi sebanyak 30% dengan keparahan penyakit tertinggi 9,17 %, dan masa inkubasi yang relatif panjang (9-15 hari). Tabel 3 Kejadian penyakit dan masa inkubasi Begomovirus pada enam genotipe cabai Masa Inkubasi (hari) Rata-rata Kejadian Genotipe Penyakit (%) Kisaran Rata-rata Modus**) Meteor 90,00±10,00a*) 7 – 15 9,26 7 Rimbun 93,33±11,55a 7 – 15 9,57 7 Tornado 86,67±15,28a 7 – 15 9,40 7 F1(12X14) 80,00±20,00a 7 – 15 9,92 7 IPBC12 30,00±10,00b 9 – 15 13,00 13 35C2 96,67± 5,77a 6 – 15 7,38 7
*) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda nyata (uji selang berganda Duncan dengan taraf nyata 5 %) **) Modus menunjukkan hari terbanyak munculnya gejala pertama pada tanaman uji
Perbedaan respon ketahanan pada keenam genotipe uji tersebut membuktikan bahwa setiap genotipe memiliki perbedaan ketahanan terhadap serangan virus. Menurut Agrios (1996) secara umum terdapat dua jenis mekanisme ketahanan yang dimiliki oleh tumbuhan, yaitu ketahanan struktural dan ketahanan biokimia. Ketahanan struktural yaitu sifat-sifat struktural yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan menghambat patogen mendapatkan peluang masuk dan menyebar di dalam tumbuhan; sedangkan ketahanan biokimia merupakan reaksi-reaksi biokimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tumbuhan yang menghasilkan zat beracun bagi patogen atau menciptakan kondisi yang menghambat pertumbuhan patogen pada tumbuhan tersebut. Mekanisme ketahanan pada genotipe IPBC12 diduga berkaitan dengan struktur (morfologi) daun, dan kemampuan tanaman menghasilkan senyawa inhibitor (Ganefianti 2010).
19
1
2
3
4
5
6
Gambar 1 Gejala infeksi Begomovirus pada beberapa genotipe cabai. (1) Meteor, (2) Rimbun, (3) Tornado, (4) F1(12X14), (5) IPBC12, (6) 35C2. Perkembangan penyakit setiap minggu diamati dengan mengukur keparahan penyakit sejak satu minggu setelah inokulasi sampai 7 minggu setelah inokulasi (Gambar 3). Pada 5 genotipe yaitu Meteor, Rimbun, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2 keparahan penyakit meningkat setiap minggunya sampai dengan minggu keempat setelah inokulasi, kemudian keparahan menurun sampai minggu ketujuh. Berbeda dengan genotipe lainnya, keparahan penyakit pada
20 varietas Tornado selalu meningkat setiap minggunya sampai pada pengamatan minggu terakhir. Keparahan penyakit pada lima genotipe [Meteor, Rimbun, F1(12X14), IPBC12, dan 35C2] menurun pada minggu kelima setelah inokulasi diduga mulai berkaitan dengan peningkatan pertahanan tanaman. Seiring dengan meningkatnya ketahanan tanaman maka replikasi virus dalam jaringan tanaman akan tertekan. Pada genotipe Tornado hal tersebut diduga tidak terjadi karena keparahan penyakit terus meningkat sampai minggu ketujuh setelah inokulasi.
Rata‐rata tingkat keparahan (%)
35 30 25 IPBC12 20
METEOR
15
TORNADO
10
RIMBUN 35C2
5
F1(12X14)
0 1
2
3
4
5
6
7
Pengamatan minggu ke‐
Gambar 2 Keparahan penyakit akibat infeksi Begomovirus pada enam genotipe cabai Tabel
4 Kisaran keparahan penyakit akibat infeksi Begomovirus pada enam genotipe cabai dan Pengelompokkan respon ketahanan Genotipe Keparahan Penyakit (%) Respon Ketahanan Meteor 10,83 – 27,50 Rentan Rimbun 10,00 – 25,00 Rentan Tornado 8,33 – 29,67 Rentan F1(12x14) 9,17 – 24,17 Rentan IPBC12 0,00 – 9,17 Tahan 35C2 10,00 – 30,83 Rentan
21 D Deteksi Beggomovirus pada p Enam Genotipe Cabai C Sebaanyak lima sampel tannaman hasill inokulasi untuk masiing-masing g genotipe dippilih untuk digunakaann dalam detteksi Begom movirus menggunakan t teknik PCR dengan prim mer spesifik Begomoviru us. Deteksi vvirus dilakukkan dengan t tujuan untuk k memastikaan bahwa gejjala yang muuncul pada ttanaman uji merupakan m g gejala akibaat infeksi Begomovirus. Pita DNA A berukuran lebih kuranng 780 bp b berhasil teraamplifikasi pada semuua sampel tanaman waalaupun inteensitas pita b beragam mu ulai dari sanngat tebal daan jelas hin ngga sangat tipis dan saamar-samar ( (Gambar 3).. Hasil tersebbut membukktikan bahwa gejala kunning yang muuncul pada t tanaman haasil inokulaasi merupakkan gejala infeksi Beggomovirus. Perbedaan i intensitas pitta DNA dap pat disebabkaan oleh bebeerapa faktor diantaranyaa perbedaan k konsentrasi virus v dalam jaringan tannaman. M 1
2 3
4 5
6
7 8 9 110 11 12 13 1 14 15
780 bp M 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 2 30
780 bpp
G Gambar
3 Pita DNA A hasil ampplifikasi PC CR dengan menggunakkan primer CPPROT TEIN-V1 dann CPPROTE EIN-C1. Sam mpel DNA berasal b dari enam gennotipe cabai yang diinokkulasi Begom movirus: 35C2 (kolom 1-5), Metteor (kolom 6-10), Rim mbun (kolom m 11-15), Toornado (1620), IPBC C12 (21-25), F1(12X14)) (kolom 26-30). Kolom m M adalah DNA maarker 1 Kbb ladder. Visualisasi V m menggunakaan 1% gel agarosa.
22 Perkembangan Kutukebul pada Enam Genotipe Cabai Hasil pengujian populasi kutukebul pada beberapa genotipe tanaman cabai, menunjukkan perbedaan jumlah individu serangga pada tiap stadia. Jumlah telur terbanyak diperoleh pada genotipe 35C2 yaitu 74 telur dan paling sedikit pada genotipe Meteor yaitu 51 telur. Pada genotipe Tornado, IPBC12, F1 (12X14), dan Rimbun jumlah telur yang diperoleh berturut-turut yaitu 55, 58, 60, dan 63 telur (Tabel 5). Keberhasilan telur menjadi nimfa instar awal cukup tinggi yaitu berkisar antara 74,54 % - 90,48 %, tetapi keberhasilan nimfa instar awal menjadi nimfa instar akhir mengalami penurunan (44,89 % - 71,43 %). Persentase keberhasilan pupa menjadi imago bervariasi antara 64 % sampai 80 % (Tabel 6). Aktifitas makan dan peletakan telur oleh serangga dipengaruhi antara lain oleh karakteristik dan morfologi daun seperti bentuk daun, warna daun, trikoma pada daun, dan senyawa-senyawa kimia yang dihasilkan dari proses metabolisme sekunder (Schoonhoven et al, 2005). Lebih lanjut Hendrival (2010) menjelaskan bahwa jumlah, panjang, dan tipe trikoma pada daun dapat mempengaruhi kepadatan populasi kutukebul pada tanaman. Tabel 5 Pengamatan perkembangan populasi kutukebul B. tabaci pada enam genotipe cabai Jumlah serangga pada tiap stadia Genotipe Nimfa Telur Pupa Imago Instar awal Instar akhir Meteor 51 44 24 15 12 Rimbun 63 57 36 25 16 Tornado 55 41 19 11 8 IPBC12 58 49 22 15 10 35C2 74 63 45 34 21 F1(12X14) 60 47 27 16 11 Trikoma merupakan salah satu bentuk morfologi yang paling berpengaruh terhadap peletakan telur oleh kutukebul pada tanaman. Jumlah telur yang diletakkan pada daun dengan trikoma yang padat dan rapat cenderung lebih sedikit daripada jumlah telur pada daun dengan jumlah trikoma sedikit dan tidak rapat (Suharsono 2006). Ganefianti (2010) melakukan pengamatan terhadap trikoma tanaman cabai genotipe IPBC12 dan 35C2, yang hasilnya menunjukkan bahwa trikoma genotipe IPBC12 lebih banyak dan rapat dibandingkan dengan
23 trikoma pada genotipe 35C2. Jumlah telur pada IPBC12 lebih sedikit dbandingkan jumlah telur pada genotipe 35C2 (Tabel 5). Berbagai faktor berpengaruh terhadap perkembangan serangga dari stadia telur sampai menjadi imago. Salah satu faktor yang paling berpengaruh adalah aktifitas makan, aktifitas makan dilakukan pada stadia nimfa dan setelah serangga menjadi imago. Pengamatan pada stadia nimfa dilakukan 2 kali, yaitu saat nimfa instar awal dan instar akhir. Aktifitas makan oleh instar awal akan menunjang perkembangannya menjadi instar akhir dan aktifitas makan pada instar akhir untuk berkembang menjadi pupa. Aktifitas makan oleh kutukebul dilakukan dengan menghisap cairan tanaman. Serangga kutukebul menghisap cairan tanaman dengan meletakkan dan menusukkan stiletnya. Cairan tanaman yang dihisap merupakan nutrisi bagi kutukebul dalam melangsungkan hidupnya sejak menetas dari telur. Sama halnya dengan pengaruh peletakan telur, trikoma juga diduga berpengaruh terhadap aktifitas makan serangga kutukebul khususnya pada stadia nimfa. Pada genotipe IPBC12, trikoma yang rapat dapat menyulitkan kutukebul untuk menusukkan stiletnya, sehingga sebagian besar instar awal kutukebul kekurangan nutrisi
untuk perkembangan hidupnya. Hal ini menyebabkan
terjadinya penurunan jumlah serangga pada stadia instar akhir. Keberhasilan perkembangan serangga instar awal menjadi instar akhir hanya sebesar 44,98%. Begitu pula yang terjadi pada perkembangan instar akhir menjadi pupa, hambatan aktifitas makan menyebabkan persentase keberhasilan nimfa instar akhir menjadi pupa hanya sebesar 68,18% (Tabel 6). Pada genotipe 35C2 keberhasilan perkembangan kutukebul dari instar awal menjadi instar akhir cukup besar yaitu 71,43%. Begitu pula dengan keberhasilan perkembangan instar akhir menjadi pupa yang nilainya sebesar 75,55% (Tabel 6). Aktifitas makan serangga tidak terhambat oleh trikoma karena jumlahnya yang sedikit dan jarang sehingga perkembangan serangga menjadi lebih baik. Jumlah serangga vektor merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingginya kejadian penyakit dan masa inkubasi virus. Jumlah serangga vektor yang tinggi menyebabkan kejadian penyakit semakin tinggi dan masa inkubasi virus semakin singkat, begitu pula sebaliknya (Mehta et al. 1994).
24
Tabel 6 Keberhasilan perkembangan serangga vektor kutukebul pada tiap stadia Nilai Keberhasilan Perkembangan (%) Genotipe TIa IaIb IbP PI Meteor 86,27 54,54 62,50 80,00 Rimbun 90,48 63,16 69,44 64,00 Tornado 74,54 46,34 57,89 72,72 IPBC12 84,48 44,89 68,18 66,67 35C2 85,14 71,43 75,55 75,00 F1(12X14) 78,33 57,44 59,26 68,75 Keterangan: TIa
= fase telur menjadi instar awal
IaIb
= fase Instar awal menjadi Instar akhir
IbP
= fase instar akhir menjadi pupa
PI
= fase pupa menjadi imago
Aktifitas dan perilaku makan serangga vektor sangat menentukan kemampuannya untuk menularkan virus. Ketahanan genotipe IPBC12 terhadap Begomovirus didukung oleh data perkembangan serangga. Jumlah telur yang diletakkan dan persentase keberhasilan perkembangannya hingga imago relatif lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya.
25 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil evaluasi ketahanan enam genotipe cabai terhadap infeksi Begomovirus menunjukkan bahwa genotipe IPBC12 dapat dikelompokkan menjadi genotipe tahan dengan keparahan penyakit berkisar antara 0 – 9,17 %, dan gejala yang ringan. Lima genotipe lainnya yaitu Meteor, Rimbun, Tornado, F1(12X14), dan 35C2 dikelompokkan menjadi genotipe rentan dengan keparahan penyakit lebih dari 20%, dan gejala yang berat. Respon
ketahanan
genotipe
IPBC12
dapat
dihubungkan
dengan
perkembangan kutukebul pada genotipe tersebut. Jumlah telur kutukebul dan persentase keberhasilannya menjadi imago pada IPBC12 relatif lebih rendah dibandingkan genotipe lainnya.
Saran Perlu dilakukan evaluasi ketahanan genotipe cabai terhadap penyakit daun keriting kuning di daerah endemik Begomovirus sehingga dapat diketahui kestabilan dari sifat ketahanan yang ada. Evaluasi perkembangan serangga vektor kutukebul pada genotipe cabai yang berbeda perlu dilakukan menggunakan metode pengujian neraca kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 1996. Plant Pathology. Ed. Ke-3. Florida: Academic Press. Akin HM. 2006. Virologi Tunbuhan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. [Dirjen Horti]. Direktorat Jenderal Hortikultura. 2008. Kunker dan Liputan Sentra Cabai Merah Ciamis. Jakarta: Direktorat Jenderal Hortikultura. Duriat AS. 2009. Pengendalian penyakit kuning keriting pada cabai. Iptek Hortikultura 5: 43-46. Dooley J. 2006. Identification Aleyrodidae Pupa. Aleyrodidae Pupa Workshop in South San Fransisco, 2006. Doyle JJ, Doyle JL. 1990. Isolation of Plant DNA from Fresh Tissue. Focus 12:13-15. Faizah R. 2010. Karakterisasi beberapa Genotipe Cabai (Capsicum spp.) dan Mekanisme Ketahanannya terhadap Begomovirus penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning [Tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Fauquet CM, Bisaro DM, Briddon RW, Brown JK, Harrison BD, Rybicki EP, Stenger DC, Stanley J. 2003. Revision of taxonomic criteria for species demarcation in the family Geminiviridae, and an updated list of Begomovirus species. Arch Virol 148: 405–421. Ganefianti DW. 2010. Genetik Ketahanan Cabai terhadap Begomovirus penyebab Penyakit Daun Keriting Kuning dan Arah Pemuliaannya [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Green SK, Kalloo G. 1994. Leaf curl and yellowing viruses of pepper and tomato: an overview. Asian Vegetable Research and Development Center. Technical Bulletin No. 21, 51 p. Hidayat SH, Sujiprihati S. 2007. Potensi dan Pengembangan Varietas Tahan untuk Pengendalian Penyakit Daun Keriting Kuning Cabai. Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) IPB. (Abstrak) Holt J, Colvin J, Muniyappa V. 1999. Identifying control strategies for tomato leaf curl virus disease using an epidemiological model. Journal of Applied Ecology 36: 625-633. [ICTV]. International Comitte on Taxonomy of Viruses. 2009. Geminiviridae. www.ictvonline.org/virusTaxonomy.asp.htm [10 Desember 2010].
27 Kurniawan HA. 2007. Neraca Kehidupan Kutukebul Bemisia tabaci (Hemiptera: Aleyrodidae) Biotipe-B dan Non-B pada tanaman Mentimun [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor, Fakultas Pertanian. Mehta P, Wyman JA, Nakhla MK, Maxwell DP. 1994. Transmission of Tomato Yellow Leaf Curl Begomovirus by Bemisia tabaci (Homoptera: Aleyrodidae). J Econ Entomol 87(5): 1291-1297. Mansour A, Al-Musa A. 1992. Tomato yellow leaf curl virus: host range and virus-vector relationship. Plant Pathology 41: 122-125. Pandey P, Choudhury NR, Mukherjee SK. 2009. A geminiviral amplicon (VA) derived from Tomato leaf curl virus (ToLCV) can replicate in a wide variety of plant species and also acts as a VIGS vector. Virology Journal 6: 152-165. http://www.virologyj.com/content/6/1/152. [12 Oktober 2010]. Rojas MR, Gilbertson RL, Russel DR, Maxwell DP. 1993. Use of Degenerate Primers in the Polymerase Chain Reaction to Detect Whitefly-Transmitted Geminiviruses. Plant Dis 77:340-347. Rusli ES, Hidayat SH, Suseno R, Tjahjono B. 1999. Virus Gemini pada cabai: Variasi gejala dan studi cara penularan. Buletin Hama dan Penyakit Tumbuhan 11(1): 26-31. Setiadi. 2008. Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya. Singh R. 1973. Effect of Soil Spray on the Control of Tomato Leaf Curl Virus in Field. Indian J Agric Sci 43: 669-672. Suharsono. 2006. Antixenosis morfologis salah satu faktor ketahanan kedelai terhadap hama pemakan polong. Buletin Palawija 11: 29-34. Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2001. Deteksi virus Gemini pada cabai di Daerah Istimewa Yogyakarta. Prosiding Kongres dan Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia XVI. Bogor. Sulandari S, Suseno R, Hidayat SH, Harjosudarmo J, Sosromarsono S. 2006. Deteksi dan kajian kisaran inang virus penyebab penyakit daun keriting kuning cabai. Hayati. 1(13): 1-6. Swanson MM, Harrison BD. 1993. A Begomovirus causing vein yellowing of Ageratum conyzoides in Singapore. Plant Pathology 42: 137-139. Wahyuni WS. 2005. Dasar-Dasar Virologi Tumbuhan. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Valverde RA, Clark CA, Fauquet CM. 2003. Properties of a Begomovirus isolated from sweet potato [Ipomoea batatas (L.) LAM.] infected with Sweet potato leaf curl virus. Mexical Journal of Phytopatology 2(21): 128-136.
28 Xie Y, Wu P, Liu P, Gong H, Zhou X. 2010. Characterization of alphasatellites associated with monopartite begomovirus/betasatellite complexes in Yunnan, China. Journal Virology 7-178.
29 LAMPIRAN Lampiran 1 Preparat puparium kutukebul Bemisia tabaci
Lampiran 2 Analisis sidik ragam (ANOVA) rata-rata kejadian penyakit pada enam genotipe uji ANOVA Source
DF
Model
5
Error Total
12 17
Squares
Mean Square
9294.44444 1858.88889
F Value
Pr > F
11.15
0.000 4
2000.00000 166.66667 11294.44444
Lampiran 3 Analisis rata-rata kejadian penyakit dengan uji lanjut menggunakan uji Duncan pada taraf nyata 5% Duncan Grouping A A A A A B
Mean 96.67 93.33 90.00 86.67 80.00 30.00
N 3 3 3 3 3 3
Perlakuan 35C2 RIMBUN METEOR TORNADO F1(12X14) IPBC12
Lampiran 4 Data pengamatan kejadian penyakit pada enam genotipe cabai Kejadian Penyakit Genotipe Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Meteor 90 80 100 Rimbun 100 80 100 Tornado 70 90 100 F1(12X14) 100 60 80 IPBC12 40 30 20 35C2 90 100 100
30
Lampiran 5 Data pengamatan perkembangan kutukebul pada tiga kurungan pada masing-masing genotipe uji Nimfa Telur Pupa Genotipe Instar awal Instar akhir 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3 Meteor 17 19 15 14 17 13 8 10 6 5 7 3 Rimbun 20 18 25 18 17 22 12 10 14 9 6 10 Tornado 16 22 17 13 16 12 6 8 5 3 4 4 IPBC12 18 16 19 17 14 18 8 9 5 5 7 3 35C2 25 28 24 20 24 19 14 20 11 10 16 8 F1(12X14) 21 19 20 19 17 11 13 10 4 8 6 2
Imago 1 4 5 3 4 5 6
2 6 4 3 5 11 4
3 2 7 2 1 5 1
31 Lampiran 6 Data pengamatan keparahan penyakit (skoring) enam genotipe cabai Meteor No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 Keterangan:
1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
1-10 = Ulangan 1 11-20= Ulangan 2 21-30= Ulangan 3 Lampiran 6 (lanjutan) Rimbun
2 1 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 2 1 0 2 1 1 1 1 1 1
SKOR Minggu ke4 5 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 2 2 0 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
6 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 2 2 0 3 3 3 3 3 3 3
7 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 1 2 2 0 3 3 3 3 3 3 3
32
No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 0 0 0 0 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 1 0 0 0 0 1 1 1 0 1 0 0 0 0 1
2 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 0 1
3 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
SKOR Minggu ke4 5 2 2 1 1 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0 0 0 0 0 1 1 1 1 1 1 1 0 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
6 2 0 1 1 2 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
7 2 0 1 1 2 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 1 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
33 Lampiran 6 (lanjutan) Tornado No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 1 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 1 0 0 1 1 0 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 1 1 0 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 0
3 1 1 0 0 1 1 1 1 0 1 1 1 0 1 2 1 0 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
SKOR Minggu ke4 5 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 0 2 2 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 0 0 1 1 2 1 0 0 2 2 2 2 0 0 0 0 1 1 1 1 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1
6 0 1 0 0 1 0 2 0 0 1 1 2 0 1 1 0 2 2 0 0 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2
7 0 1 0 0 1 0 2 0 0 1 1 2 0 1 1 0 2 2 0 0 2 2 2 1 3 3 2 2 2 2
34 Lampiran 6 (lanjutan) F1(12X14) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 0 0 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 1 1 0 1 0 0 0 0
2 0 0 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 0 1 0 0 1 1
3 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 1 2
SKOR Minggu ke4 5 1 1 1 2 1 0 1 0 1 1 1 1 1 0 1 0 1 0 1 0 1 0 1 1 1 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 1 2 2 1 2 2 2 2 2 2 2 0 0 0 0 1 0 2 2
6 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 0 0 0 2
7 0 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 2 2 2 2 0 0 0 2
35 Lampiran 6 (lanjutan) IPBC12 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2 0 0 0 0 1 0 1 1 1 0 0 0 0 1 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0
SKOR Minggu ke3 4 5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 0 0 0 1 1 1 0 0 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 2 2 1 2 2 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0
7 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 2 2 0 0 0 0
36 Lampiran 6 (lanjutan) 35C2 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
1 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 1 0 1 1 0 0 0 1 0 1 1 1 1 1 0 0 0 1 0 1
2 1 0 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
3 1 1 2 1 0 1 2 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1
SKOR Minggu ke4 5 1 2 1 1 2 2 1 1 0 0 1 1 2 2 1 0 1 0 2 2 0 0 1 0 1 1 1 1 1 1 1 0 1 1 1 1 1 0 1 1 2 2 2 2 2 2 2 2 1 1 2 2 1 2 1 2 1 1 2 2
6 2 0 2 1 0 1 1 0 0 2 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2
7 2 0 2 1 0 1 1 0 0 2 0 0 1 1 1 0 1 1 0 1 2 2 2 2 1 2 2 2 2 2
37
Lampiran 7 Deskripsi enam genotipe cabai uji Genotipe Meteor Rimbun
Warna batang
Warna daun
Hijau Hijau muda
Hijau
Warna mahkota bunga Putih
Hijau
Putih
Karakter Warna Warna buah buah muda masak Hijau Merah Merah Hijau jingga
Bentuk batang Silinder Silinder
Tornado Hijau F1(12X14) IPBC12 35C2
Hijau ungu Hijau ungu Hijau
Hijau
Putih
Hijau muda
Hijau
Putih
Hijau
Merah
Silinder
Hijau
Putih
Hijau
Merah
Silinder
Hijau
Putih
Hijau
Merah
Silinder
Merah
Silinder
Bentuk daun
Bentuk buah
Sumber Rujukan
Lonjong Ovale
Rawit Rawit
Pengamatan langsung Pengamatan langsung
Lonjong
Keriting
Lanceolate
Elongate
SK Menteri Pertanian No. 534/Kpts/SR.120/9/20 06 Pengamatan langsung
Lanceolate
Elongate
Faizah, 2010
Lonjong
Elongate
Pengamatan langsung