TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Tomat Tomat termasuk tanaman perdu semusim, berbatang lemah, daun berbentuk segi tiga, bunga berwarna kuning atau hijau di waktu muda dan kuning atau merah di waktu tua, serta berbiji banyak. Tanaman tomat dapat tumbuh baik di dataran tinggi sampai dataran rendah pada ketinggian tempat 0 sampai dengan 1250 m di atas permukaan laut (Purwati 2008). Tomat dapat tumbuh di lahan basah/sawah maupun lahan kering/tegalan bergantung pada varietas yang ditanam (Purwati 2008). Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman tomat adalah sekitar 23 oC pada siang hari dan 17 oC pada malam hari (Duriat et al. 1997). Tomat merupakan komoditas hortikultura yang penting di Indonesia dan banyak digunakan sebagai sayuran, bumbu masak, bahan kosmetik, dan obatobatan (Duriat et al. 1997). Khusus bagi tubuh, tomat sangat bermanfaat karena memiliki kandungan vitamin C (Wang & Lin 2005), mineral (Cahyono 2008), likopen, β-karoten (Wang & Lin 2005) yang diperlukan untuk pertumbuhan dan kesehatan (Cahyono 2008). Budidaya tanaman tomat di Indonesia terus berkembang dengan luas penanaman setiap tahun mencapai ± 50.000 ha (Purwati 2008). Menurut BPS (2010), produksi tomat dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan dari 594.022 ton pada tahun 2002 menjadi 891.616 ton pada tahun 2010. Daerah sentra produksi tomat di Indonesia meliputi Jawa Barat dengan luas penanaman ± 11234 ha, Sumatera Utara ± 4215 ha, dan Bengkulu ± 6285 ha (Purwati 2008).
Layu Bakteri pada Tomat Penyebab penyakit layu bakteri pada tomat yaitu R. solanacearum yang sebelumnya dikenal dengan nama Pseudomonas solanacearum (Smith et al. 1995). Bakteri ini merupakan patogen tular tanah (Denny & Hayward 2000; Alvarez et al. 2010) dan air (Alvarez et al. 2010) yang bersifat nonfluoresens dari famili Pseudomonadaceae (Denny & Hayward 2000).
Bakteri ini mampu
bertahan dalam tanah selama periode waktu yang lama (Wang & Lin 2005) dan
3
4 merupakan salah satu penyebab penyakit layu yang penting di wilayah tropis, subtropis, dan daerah beriklim hangat (Jeung et al. 2007). R. solanacearum merupakan patogen yang memiliki kisaran inang luas lebih dari 200 spesies dari 53 famili yang berbeda. R. solanacearum memiliki efek mematikan pada sejumlah tanaman yang bernilai ekonomi tinggi (Alvarez et al. 2010). Tanaman inang R. solanacerum yang paling penting diantaranya pisang (Musa paradisiaca), terung (Solanum melongena), kacang tanah (Arachis hypogaea), kentang (S. tuberosum), tembakau (Nicotiana tabacum),
tomat
(L. esculentum) (Alvarez et al. 2010), dan nilam (Pogostemon cablin) (Nasrun et al. 2007). Gejala permulaan yang ditimbulakan oleh serangan bakteri ini adalah layunya beberapa daun muda, menguningnya daun-daun tua, dan batang tanaman sakit cenderung lebih banyak membentuk akar adventif sampai setinggi bunga (Semangun 2007).
Gejala serangan R. solanacearum secara umum adalah
tanaman seperti kekurangan air, daun muda pada pucuk tanaman menjadi layu, dan daun-daun tua atau daun-daun di bagian bawah menguning (Duriat et al. 1997). Hal ini karena bakteri menyerang pembuluh xilem (Agrios 2005). R. solanacearum masuk dan menginfeksi pada luka-luka di bagian akar, termasuk luka yang disebabkan nematoda atau organisme lain. Selanjutnya bakteri masuk ke jaringan tanaman bersama-sama unsur hara dan air secara difusi, dan menetap di pembuluh xilem dalam ruang antarsel (Duriat et al. 1997).
Bakteri
memperbanyak diri melalui pembuluh xilem (Agrios 2005), dan merusak sel-sel tanaman yang ditempatinya tersebut sehingga pengangkutan air dan zat-zat makanan terganggu oleh massa bakteri dan sel-sel pembuluh xilem yang hancur (Duriat et al. 1997). Menurut Duriat et al. (1997), hancurnya sel-sel tanaman tersebut karena bakteri mengeluarkan enzim penghancur dinding sel tanaman yang mengandung selulosa dan pektin yang dikenal dengan nama enzim selulase dan pektinase. Akibat serangan ini, proses translokasi air dan nutrisi menjadi terganggu, sehingga tanaman menjadi layu dan mati (Agrios 2005).
5 Pengendalian Penyakit Layu Bakteri Usaha pengendalian penyakit layu bakteri yang pernah dilakukan adalah rotasi tanaman, sanitasi, dan penggunaan pestisida. Pengendalian dengan rotasi tanaman dan sanitasi sering tidak efektif (Wang & Lin 2005), sedangkan penggunaan pestisida selain harganya mahal juga dapat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem. Pengembangan varietas tahan juga pernah dilakukan, akan tetapi keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh kepadatan populasi patogen, strain patogen, suhu, kelembapan tanah, dan keberadaan nematoda akar (Wang & Lin 2005). Menurut Wiryanta (2002), varietas Ratna merupakan contoh varietas tomat yang tahan terhadap layu bakteri dan Arthaloka merupakan contoh varietas tomat yang toleran terhadap penyakit layu bakteri. Menurut Wang & Lin (2005), penerapan stategi pengendalian terpadu untuk mengendalikan penyakit layu bakteri pada tomat bisa dilakukan dengan cara memilih dan menggunakan lahan bebas patogen, menekan kemungkinan terjadinya infeksi pada tanaman, menggunakan varietas yang resisten dan benih yang bebas patogen, dan pencegahan penyebaran penyakit di lapangan. Beberapa tanaman yang dapat digunakan untuk rotasi dengan tanaman tomat diantaranya jagung, kacang hijau, sorgum, wortel, seledri, selada, dan sawi (Wang & Lin 2005). Teknik pengendalian penyakit layu bakteri yang banyak dikembangkan saat ini adalah dengan agens hayati.
Menurut Sigee (1993) pengendalian secara
biologi sangat berpotensi karena memiliki sasaran yang spesifik, tidak merusak lingkungan, dan tidak menimbulkan efek fitotoksisitas. Pengendalian hayati pada dasarnya adalah usaha untuk memanfaatkan dan menggunakan musuh alami sebagai pengendali populasi patogen.
Mekanisme yang menguntungkan dari
penggunaan agens hayati adalah dengan cara memanfaatkan hubungan antagonis antara patogen dan inang secara langsung (antibiosis, kompetisi, danparasitisme) maupun secara tidak langsung (induksi ketahanan) (Janse 2005). Bakteri yang banyak dikembangkan dalam pengendalian penyakit tanaman diantaranya B. subtilis (Nawangsih 2006; Chrisnawati et al. 2009) dan P. fluorescens (Chrisnawati et al. 2009).
6 Beberapa contoh pengendalian dengan agen antagonis adalah menggunakan agens antagonis yang difermentasi dalam pupuk kandang sapi (Chrisnawati et al. 2009), pengendalian hayati menggunakan B. subtilis (Nawangsih 2006; Chrisnawati et al. 2009), P. fluorescens (Chrisnawati et al. 2009), serta bakteri endofit (Damayanti 2010).
Manfaat Besi (Fe) untuk Tanaman Besi (Fe) merupakan unsur keempat yang paling melimpah di bagian litosfer (Datnoff et al. 2007). Perkiraan konsentrasi unsur Fe dalam tanah adalah kurang dari 0,1 ppm (Sutanto 2005), tetapi pada pH 5,0 atau 5,5 besi menjadi larut dalam jumlah cukup banyak dan dapat menyebabkan tanaman menjadi keracunan (Soepardi 1983). Besi termasuk unsur hara mikro (Soepardi 1999) dan sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup organisme (Glick & Pasternak 2003). Walaupun demikian, besi dalam tanah tidak bisa langsung digunakan oleh tanaman dan mikroorganisme. Besi dimanfaatkan tanaman dalam bentuk Fe2+ dan Fe3+ (Soepardi 1999). Menurut (Datnoff et al. 2007) unsur ini memiliki fungsi penting dalam respirasi, sintesis DNA, fotosintesis, dan fiksasi nitrogen. Gejala kekurangan Fe pada tumbuhan hijau yaitu klorosis intervenal pada daun muda. Menurut Soepardi (1983) serapan hara oleh tanaman menyaratkan adanya asosiasi yang erat antara akar dan tanah. Akar tanaman menghasilkan CO2 dan asam organik yang dapat mempercepat pertukaran hara. Selain itu ekskresi akar merupakan sumber makanan dan energi bagi mikroorganisme. Adanya aktivitas mikroorganisme di sekitar akar maupun tanah dapat memperlancar serapan unsur hara oleh tanaman.
Bakteri Penghasil Siderofor Menurut Neilands (1995), siderofor berasal dari bahasa Yunani yang artinya pembawa besi.
Siderofor merupakan molekul yang memiliki bobot molekul
relatif rendah, sebagai agens spesifik pengelat ion Fe yang diuraikan oleh bakteri, cendawan, dan tumbuhan kelompok rumput-rumputan yang tumbuh pada keadaan cekaman lingkungan akibat Fe rendah. Siderofor memiliki afinitas tinggi untuk Fe3+ dan dapat memfasilitasi transportasi besi seluler (Yasmin 2009). Menurut
7 Glick dan Pasternak (2003) kelompok utama siderofor adalah hidroksamat, katekolat, karboksilat, dan etilendiamina. Umumnya siderofor tipe hidroksamat merupakan ciri khas untuk cendawan, katekolat untuk bakteri, dan karboksilat untuk tumbuhan.
kelompok hidroksamat
kelompok katekolat
kelompok karboksilat
kelompok etilendiamina
Gambar 1 Kelompok pengikat besi dari mikroba penghasil siderofor (Glick & Pasternak 2003). Siderofor merupakan salah satu zat kimia yang dihasilkan oleh plant growth promoting rhizobacteria (Glick & Pasternak 2003). Siderofor diproduksi di luar sel, dapat mengikat Fe3+, dan mentransfernya melalui membran sel dalam ruang periplasmatik (Budzikiewicz 2001). Siderofor dapat digunakan dalam pengendalian penyakit tumbuhan dengan memanfaatkan
peranannya
untuk
menyerap
besi
dari
lingkungan
dan
menyediakan mineral yang penting bagi sel mikroba (Neilands 1995). Kemampuan bakteri penghasil siderofor dalam mengikat Fe3+ merupakan pesaing terhadap mikroorganisme lain.
Mekanisme kerja siderofor terjadi melalui
perkembangan yang cepat dari bakteri yang mengolonisasi akar tanaman dan memindahkan besi di daerah permukaan serta terciptanya kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan akar dan tidak sesuai untuk pertumbuhan mikroba rhizoplant (Budzikiewicz 2001). ketahanan tanaman.
Bakteri penghasil siderofor juga dapat menginduksi Mekanisme ketahanan tanaman terjadi karena adanya
perbaikan lingkungan tumbuh dari adanya interaksi mikroba tanaman (Dey et al. 2004).
8 Beberapa bakteri penghasil siderofor yang telah digunakan dalam bidang pertanian diantaranya P. aeruginosa (Budzikiewicz 2001, Wahyuni et al. 2010), P. flourescens, (Budzikiewicz 2001; Rachid & Ahmed 2005), P. putida (Budzikiewicz 2001; Wahyuni et al. 2003) dan Bacillus sp. (Wahyudi et al. 2011). Menurut Meyer (2000), Pseudomonas strain yang berbeda memiliki kemampuan untuk menghasilkan siderofor dalam jumlah yang tinggi. Siderofor ini diketahui efektif menekan pertumbuhan penyakit Fusarium oxysporum. Hal ini karena ion Fe yang dibutuhkan F. oxysporum untuk berkecambah tidak tersedia akibat dikelat oleh siderofor (Budzikiewicz 2001).
Menurut Wahyuni et al. (2010), P.
aeruginosa mampu menginduksi ketahanan tanaman terhadap Cucumber mosaic virus (CMV) dengan memproduksi siderofor pada kondisi Fe terbatas.
Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) Menurut Soesanto (2008), PGPR merupakan rizobakteria pemacu pertumbuhan tanaman dan mampu mengoloni perakaran tanaman. PGPR dapat meningkatkan
pertumbuhan
(Ashrafuzzaman et al. 2009).
tanaman
dengan
berbagai
mekanisme
Keaktifan pengolonisasian akar tersebut dapat
membantu akar dalam menyerap produk mikroba yang secara langsung memengaruhi pertumbuhan dan fisiologi akar serta invasi patogen. Menurut Yasmin et al. (2009), pengaruh penggunaan PGPR terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan mekanisme seperti produksi fitohormon, pelarut posfat, penekanan patogen dengan memproduksi antibiotik dan siderofor, atau bakteri dan cendawan yang memiliki aktivitas antagonisme. PGPR dapat mencegah perkembangan cendawan dan patogen lainnya dengan memproduksi siderofor yang mengikat sebagian besar Fe3+ di daerah sekitar akar tanaman (Siddiqui dan Shakeel 2009). Menurut Ramezanpour et al. (2011) P. fluorescens memiliki kemampuan melarutkan fosfat dan meproduksi siderofor. Selain itu, P. fluorescens juga dapat memacu pertumbuhan dan meningkatkan hasil panen tanaman padi. Menurut Widawati dan Suliasih (2006), isolat bakteri pelarut fosfat jenis B. pantotheticus, Klebsiella aerogenes, Chromobacterium lividum dan B. megaterium mampu memacu pertumbuhan tanaman caysin.
Menurut Wahyuni et al. (2010), P.
9 aeruginosa selain dapat berperan sebagai PGPR juga dapat membantu menginduksi ketahanan tanaman tembakau terhadap CMV karena kemampuannya yang dapat memproduksi siderofor. Bakteri Pelarut Fosfat (P) Fosfat merupakan unsur esensial kedua setelah N yang berperan penting dalam proses pertumbuhan tanaman, serta metabolisme dan proses mikrobiologi tanah (Widawati & Suliasih 2006). Kemampuan bakteri pelarut fosfat dalam melarutkan unsur P menjadi bentuk yang tersedia bagi tanaman memiliki peranan penting bagi pertanian berkelanjutan untuk meningkatkan hasil (Ekin 2010). Unsur Fe meningkat dalam jumlah berlebihan dalam tanah yang masam (pH rendah).
Keadaan yang berlebihan tersebut akan meracuni tanaman atau
menyebabkan tanaman mudah terserang penyakit. Pada tanah masam, fosfat tidak dapat diserap maksimal oleh tanaman karena terjerap oleh Al dan Fe, demikian pula peredaran fosfat dalam tubuh tanaman akan terhambat. Beberapa bakteri yang telah diketahui dapat melarutkan fosfat diantaranya B. pantotheticus, K. aerogenes, C. lividum, B. megaterium (Widawati & Suliasih 2006), fluorescens (Ramezanpour et al. 2011; Wulandari 2001).
dan P.