5
2 TINJAUAN PUSTAKA Interaksi Organisme Pengganggu Tanaman dan Tanaman Tomat Kendala utama pada budidaya tanaman hortikultura termasuk tanaman tomat adalah organisme pengganggu tanaman (OPT) yang terdiri dari hama, penyakit dan gulma. Pada dasarnya penyakit maupun hama hanya dapat terjadi jika adanya tiga faktor yang saling mendukung yaitu patogen, inang dan lingkungan yang berawal dari konsep Ilmu Penyakit Tumbuhan. Adanya perubahan dari salah satu komponen akan berpengaruh terhadap intensitas penyakit yang muncul. Inang dalam keadaan rentan, patogen bersifat virulen (daya infeksi tinggi) dan jumlah yang cukup, serta lingkungan yang mendukung. Lingkungan berupa komponen lingkungan fisik (suhu, kelembaban, cahaya) maupun biotik (musuh alami, organisme kompetitor). Penyakit penting tanaman tomat adalah penyakit rebah kecambah (Rhizoctonia solani Kuhn), penyakit bercak daun Septoria (Septoria lycopersici Speg), penyakit bercak daun (Alternaria solani Ell.), penyakit busuk daun (Phytophthora infestans (Mont) de Bary.), penyakit layu cendawan (Verticillium albo-atrum Reinke & Berth.), penyakit layu fusarium (Fusarium oxyporum Schlecht.), penyakit layu bakteri (Pseudomonas solanacearum Smith.), penyakit mosaik yang disebabkan oleh salah satu atau gabungan berbagai jenis virus seperti Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan Tomato chlorosis virus (ToCV), virus tomat mosaik (tomato mosaic virus: ToMV), virus mosaik tembakau (tobbaco mosaic virus: TMV), virus mosaik ketimun (cucumber mosaic virus: CMV), virus kentang Y (potato virus Y: PVY) dan virus X kentang (potato virus X: PVX), penyakit kuning dan daun menggulung (Tomato yellow leaf curl virus: TYLCV), dan penyakit bengkak akar (Meloidogyne incognita). Hama penting yang menyerang tanaman tomat adalah ulat buah (Helicoverpa armigera Hubn.), ulat tanah (Agrotis ipsilon Hufn.), kutukebul (Bemisia tabaci Genn. dan Trialeurodes vaporariorum), ulat grayak (Spodoptera litura F.), dan penggorok daun (Liriomyza sp.) (Setiawati 1990). Beberapa tahun terakhir ini penyakit yang menjadi kendala penting bagi pertanaman tomat di berbagai negara penghasil tomat di dunia adalah penyakit yang disebabkan oleh virus yaitu Crinivirus dan Begomovirus (Dalmon et al. 2008; Louro et al. 2000) dan juga menjadi ancaman penting karena ditransmisikan oleh serangga vektor. Adapun spesies virus yang termasuk ke dalam anggota kedua genus tersebut yang menginfeksi tomat adalah Tomato infectious chlorosis virus (TICV) dan Tomato chlorosis virus (ToCV) merupakan Crinivirus dan Tomato yellow leaf curl virus (TYLCV) merupakan Begomovirus. Crinivirus ditransmisikan kutukebul Trialeurodes vaporariorum dan Begomovirus ditransmisikan kutukebul Bemisia tabaci. Bioekologi Crinivirus (Tomato chlorosis virus/ToCV dan Tomato infectious chlorosis virus/TICV) Infeksi Crinivirus pada tanaman tomat menyebabkan daun-daun tomat klorosis, yaitu menguning di antara tulang daun (interveinal yellowing) yang berasosiasi dengan berkurangnya kemampuan fotosintesisnya (Gambar 2). Pada
6 perkembangan selanjutnya daun-daun menjadi rapuh (leaf brittleness), mengalami nekrotik pada beberapa bagian dan warna bagian yang nekrotik menjadi merah keunguan (bronzing), kebugaran (vigor) tanaman menjadi sangat berkurang, dan apabila menghasilkan buah maka ukurannya jauh lebih kecil dari normal dan proses pematangannya terganggu, serta mudah gugur (early senescence) sehingga sangat menurunkan bahkan meniadakan nilai ekonomi tanaman yang terinfeksi (Duffus et al. 1996; Dalmon et al. 2008). Gejala terbatas pada jaringan floem dengan konsentrasi virus rendah dimana hal tersebut salah satu kendala untuk diagnosis keberadaan virus.
Gambar 2 Gejala klorosis di lahan pertanaman tomat (koleksi pribadi) Partikel TICV dan ToCV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous). Partikel TICV memiliki panjang 850 – 900 nm (Duffus et al. 1996, Liu et al. 2000), sedikit lebih panjang dibandingkan ToCV yaitu 800-850 nm. Keduanya masing-masing memiliki dua jenis genom (bipartite) berupa RNA utas tunggal yaitu RNA 1 dan RNA 2 (Gambar 3a). RNA 1 dan RNA 2 TICV berukuran 7.8 dan 7.4 kb, dan ToCV berukuran 7.8 dan 8.2 kb (Wintermantel et al. 2005). RNA 1 pada TICV dan ToCV berfungsi dalam mengkode dua jenis protein yang terlibat dalam replikasi virus (Martelli et al. 2000). a)
b) Gambar 3 Organisasi genom TICV RNA 1 dan RNA 2 (a) dan ToCV sekuen RNA 2 (b) (Lozano et al. 2005) Selubung protein minor (CPm) pada TICV dan ToCV yang membentuk bagian ujung atau ekor virion memiliki peranan dalam penularan dengan kutukebul. CPm dari kedua virus tersebut memiliki kespesifikan dengan reseptor Trialeurodes vaporariorum dan Bemisia tabaci. Kespesifikan virus dengan
7 vektornya sangat ditentukan oleh reseptor yang ada pada stilet serangga dengan CP dari virus yang bersangkutan (Wintermantel 2006). Duffus et al. (1994) dan Wisler et al. (1996) melaporkan bahwa penularan virus TICV oleh kutukebul T.vaporariorum secara semi-persisten selama 4 hari, dengan periode retensi sampai 2 hari (Wisler et al. 1998a). Bioekologi Begomovirus (Tomato yellowing leaf curl virus/TYLCV) Gejala yang ditimbulkan oleh TYLCV adalah khlorosis yang muncul dari tunas daun kemudian menyebar ke daun-daun bagian bawah disertai gejala keriting atau berbentuk seperti mangkok (cupping), keras, daun berkerut (puckering), bunga rontok dan terdapat enasi pada permukaan bawah daun juga khlorotik (Butter dan Rataul 1977; Jones et al. 1991). Menurut Sugiarman dan Hidayat (2000), gejala dari infeksi TYLCV di Indonesia pada umumnya menimbulkan penebalan daun, lamina daun berkerut, daun menguning, tepi daun melengkung ke atas, daun keriting dan tanaman kerdil.
Gambar 4 Gejala penyakit pada tanaman tomat yang disebabkan oleh TYLCV (koleksi pribadi) Partikel TYLCV berbentuk isometrik ganda, yang dalam keadaan tunggal berdiameter 18-20 nm dan dalam keadaan berpasangan berdiameter 20-30 nm (Thsai et al. 2006). Virus ini memiliki genom bipartite dan memiliki asam nukleat single stranded DNA (ss-DNA). Genom berukuran 2.6-2.8 kb yang terselubung dalam virion ekosahedral kembar (gemini). Vektor yang menyebarkan penyakit kuning ini adalah B. tabaci yang mendapatkan virus dengan menghisap tanaman tomat yang terinfeksi selama 15 sampai 30 menit. Vektor menularkan secara persisten. Vektor dapat mentransmisi virus ke tanaman sehat memerlukan waktu 15 menit setelah 24 jam inkubasi (setelah periode makan akuisisi). Adapun hasil penelitian dari Uzcategui dan Lastra (1978) menunjukkan bahwa periode makan akuisisi minimum B. tabaci untuk menularkan Begomovirus adalah 2 jam dengan periode laten 20 jam. Vektor bisa menyimpan virus dalam tubuhnya sampai 20 hari, tetapi tidak menularkan kepada keturunannya.
8 Bioekologi Kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci Kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci termasuk ke dalam famili Aleyrodidae, superfamili Aleyrodoidea, ordo Hemiptera (Caerver et al. 1991). Kutukebul baik nimfa maupun imago memiliki lapisan lilin yang dapat digunakan sebagai dasar identifikasi karena penampilan dan pola lapisan lilin dapat membedakan antara satu spesies dengan spesies lainnya (Botha et al. 2000). Semua stadia kutukebul hidup dan makan di bawah permukaan daun hasil ekskresinya adalah embun madu yang dapat menjadi media untuk cendawan Capnodium sp. atau embun jelaga (Hoddle 2004). Siklus hidup serangga ini dimulai dari telur, nimfa, pupa, dan imago. Cara reproduksi dengan cara seksual atau partenogenesis. Telur diletakkan di permukaan daun dan menetas menjadi nimfa instar pertama, kemudian akan bergerak untuk mencari tempat menghisap makanan yang sesuai dan menetap disana selama fase nimfa. Kutukebul menghentikan aktivitas makan pada stadia akhir (puparium). Kulit pupa akan terbentuk dan menuju proses pembentukan menjadi imago (Kalshoven 1981). Stadia nimfa dan imago merupakan stadia yang menyebabkan kerusakan tanaman (Morales 2001).
A
B
Gambar 5 Imago B. tabaci (A) dan T. vaporariorum (B) (koleksi pribadi) Kutukebul ini memiliki bentuk alat mulut menusuk-menghisap yang berisi empat struktur tubular yang dinamakan stilet. Melalui stilet inilah penularan virus ke tanaman inang terjadi. Proses penempelan partikel virus dimulai adanya interaksi antara protein selubung virus dengan alat mulut kutukebul. Selanjutnya partikel virus akan menempel pada reseptornya yang terletak di stilet tersebut. Virus akan berada dalam tubuh vektor saat diakusisi kemudian menuju sel epitel saluran pencernaan dan berasosiasi dengan kelenjar saliva serangga vektor. Virus bersirkulasi dalam tubuh serangga sampai akhirnya virus mencapai stilet dan masuk ke dalam tanaman sehat saat vektor makan cairan nutrisi di floem. Virus memerlukan waktu akuisisi dan inokulasi satu jam hingga satu hari dan periode laten satu hari hingga beberapa minggu dalam tubuh serangga (Gray dan Banerjee 1999). Imago betina B. tabaci hidup sekitar 6 hari sampai 60 hari. Lama hidup imago jantan lebih pendek sekitar 9-17 hari. Imago bertahan hidup pada suhu 14-35°C, sedangkan pada tanaman tomat imago mampu bertahan sampai suhu 30°C selama sekitar 15 hari dan menyerang tanaman pada musim kemarau (Smith
9 2009). Cohen dan Berlinger (1986) menyatakan bahwa serendah apapun populasi B. tabaci cukup efektif menyebabkan kerusakan langsung maupun tidak langsung. Imago T. vaporariorum meletakkan telur dan hidup di daun muda dekat titik tumbuh tanaman. Imago betina mampu bertelur sampai 250 butir dengan siklus hidup 30 sampai 45 hari (Smith 2009). Durasi perkembangan berbagai stadia T. vaporariorum pada tanaman tomat adalah sebagai berikut: stadium telur adalah sekitar 8 hari, lama perkembangan nimfa instar 1 sekitar 6 hari, nimfa instar 2 sekitar 2 hari, nimfa instar 3 sekitar 3 hari, lama stadium pupa adalah 9 hari dan lama hidup imago rata-rata 7 sampai 8 hari (Roermund dan Lenteren 1992). Setiap fase perkembangan kutukebul T. vaporariorum dapat ditemukan pada lingkungan bersuhu dingin (Xie et al. 2006), dan Smith (2009) mengatakan fase imago dapat bertahan hidup pada suhu 22-25°C. Fase imago tidak mampu berkembang pada suhu 30°C dan akan mati pada suhu di atas 35°C (Smith 2009).
Faktor Penentu Kejadian Penyakit Virus Perkembangan organisme pengganggu tanaman dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Topografi dan faktor iklim sangat menentukan keberlangsungan siklus hidup baik dari hama serangga maupun penyakitnya. Faktor iklim baik secara langsung maupun tidak langsung di antaranya temperatur, kelembaban relatif udara dan curah hujan, memiliki pengaruh yang berbeda untuk tiap spesies serangga dan dampak secara langsung dapat terlihat pada siklus hidup, keperidian, lama hidup, serta kemampuan diapause serangga (Ganaha et al. 2007; Lastuvka 2009). Keragaman iklim dapat mempengaruhi pertumbuhan populasi dan penyebaran serangga sehingga dalam kurun waktu singkat dapat menimbulkan ledakan populasi serangga hama tertentu (Wiyono 2007; Dale 1994). Serangga-serangga hama yang kecil seperti kutu-kutuan umumnya menjadi masalah pada musim kemarau atau rumah kaca karena tidak ada terpaan air hujan. Seiring dengan timbulnya ledakan populasi serangga hama itupun dapat meningkatkan kejadian penyakit sebagai akibat dari serangga hama yang berperan sebagai vektor, terutama penyakit virus. Pengaruh faktor iklim terhadap patogen pun dapat berpengaruh terhadap siklus hidup patogen, virulensi (daya infeksi), penularan, dan reproduksi patogen. Pengaruh perubahan iklim akan sangat spesifik untuk masing masing penyakit. Perubahan iklim berpengaruh terhadap penyakit melalui pengaruhnya pada tingkat genom, seluler, proses fisiologi tanaman dan patogen (Garret et al. 2006). Suhu lingkungan dapat tercermin dari keadaan topografi daerahnya yaitu ketinggian tempat. Dalam hal ini, kelimpahan populasi serangga hama dapat terukur melalui keberadaannya di ketinggian tempat tertentu sebagai bagian dari kemampuannya untuk beradaptasi terhadap lingkungan. Sebagai contoh hama kutukebul (B. tabaci) mempunyai suhu optimum 32.5ºC untuk pertumbuhan populasinya (Bonaro et al. 2007). Hal tersebut juga menjelaskan bahwa karakteristik tempat suatu spesies untuk hidup sangat berhubungan erat dengan kisaran suhu yang sesuai bagi pertumbuhan serangga. Oleh karena itu, dalam hal adaptasi lingkungan pada tempat yang berbeda karakteristik tempatnya, suhu akan berpengaruh terhadap laju pertumbuhan suatu spesies (Gutierrez et al. 2008) dan akan pula terjadi respon berbeda untuk semua spesies serangga pada
10 keadaan suhu rendah maupun suhu tinggi (Leather dan Awmack 1998). Keterangan tersebut telah dibuktikan pada beberapa studi tentang adanya keterikatan antara suhu dengan perkembangan hidup serangga yang selama ini telah dikembangkan diantaranya adalah studi oleh Xie et al. (2006) dan Smith (2009) tentang perkembangan hidup kutukebul. Menurut Xie et al. (2006), perkembangan optimum dan kemampuan bertahan kutukebul berbeda-beda. Lebih lanjut Xie et al. (2006) melaporkan bahwa B. tabaci dan T. vaporariorum bisa beradaptasi pada suhu 2°C sampai dengan diatas 24°C. Selanjutnya, Xie et al. (2006) menyatakan bahwa pada dasarnya semua stadium T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi di suhu dingin. T.vaporariorum mampu bertahan di suhu -8°C selama 10 jam, kelangsungan hidupnya 78% pada suhu 5°C selama 2 hari dan berkembang baik pada suhu 15°-18°C, sedangkan menurut Smith (2009), suhu optimum untuk perkembangan T. vaporariorum adalah 20°C 25°C. Imago masih dapat berkembang pada suhu di bawah 8°C dan akan berhenti meletakkan telur pada suhu di bawah 7°C (Smith 2009). Adapun suhu optimum untuk perkembangan B. tabaci adalah diatas 24°C (Xie et al. 2006). Menurut Smith (2009), B. tabaci cenderung lebih menyukai suhu yang lebih hangat dibandingkan dengan T. vaporariorum. Perkembangan B. tabaci terjadi di kisaran 14-35°C, tetapi optimum pada suhu 25-30°C. Pada lahan tomat yang bersuhu 30°C, waktu perkembangan dari mulai telur sampai dewasa ialah pendek yaitu selama 18 hari. Imago B. tabaci hidup selama 10-15 hari pada suhu 28-30°C. Pada suhu 25°C, B. tabaci betina memproduksi sekitar 195 telur dalam hidupnya. Pada suhu 16-19°C, perkembangan B. tabaci sangatlah lambat, dengan siklus hidup selama 140-70 hari berturut-turut, dan tingkat kematiannya sangat tinggi. Nimfa mati pada suhu 9°C dan kelembaban udara yang rendah. Selama musim dingin, imago B. tabaci dapat bertahan beberapa minggu tanpa tanaman inang atau di dalam sebuah rumah kaca yang kosong. Salah satu hubungan penyakit dengan keberadaan serangga vektornya yang terpenting adalah peningkatan kejadian penyakit Crinivirus dan Begomovirus atau virus gemini yang disebabkan oleh ledakan populasi kutukebul T. vaporariorum dan B. tabaci. Sekitar lima sampai 10 tahun yang lalu, virus gemini yang menyebabkan daun menjadi menguning (yellowing) serta gejala lebih jelas pada daun muda ini pada awalnya bukan merupakan penyakit yang penting, tetapi sekarang ini sudah menjadi penyakit cabai dan tomat yang paling penting hampir di semua daerah pertanaman di Pulau Jawa seperti Bogor, Cianjur, Brebes, Wonosobo, Magelang, Klaten, Boyolali, Kulonprogo, Blitar, dan Tulungagung (Wiyono 2007). Pergeseran status penyakit tersebut dan terjadinya epidemi penyakit ini salah satunya disebabkan oleh dinamika populasi serangga vektor yaitu kutukebul Bemisia tabaci. Selanjutnya Wiyono (2007) menjelaskan bahwa laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci dipengaruhi oleh suhu yang terlihat dari data biologi populasi B. tabaci. Adapun hal tersebut diperkuat dengan pengujian suhu yang dilakukan pada B. tabaci yang menunjukkan bahwa laju pertumbuhan intrinsik B. tabaci pada tomat meningkat dengan meningkatnya suhu uji yaitu 0.0450 (pada 17 °C) menjadi 0.123 ( 30 °C) (Bonaro et al. 2007). Boland et al. (2004) dalam studinya juga telah meramalkan bahwa peningkatan keparahan penyakit-penyakit tanaman oleh virus yang disebabkan oleh perubahan iklim di Kanada juga berkaitan dengan perkembangan serangga vektor.
11 Deteksi Asam Nukleat dengan Polymerase chain reaction (PCR) Reverse transcriptase-polymerase chain reaction (RT-PCR) tidak dapat dilakukan dengan menggunakan RNA sebagai cetakan maka terlebih dahulu dilakukan proses transkripsi balik (reverse transcriptation) terhadap molekul mRNA sehingga diperoleh molekul cDNA (complemantery DNA). Molekul cDNA tersebut kemudian digunakan sebagai cetakan dalam proses PCR. RT-PCR memerlukan enzim reverse transkiptase. Enzim ini adalah enzim DNA polimerase yang menggunakan molekul RNA sebagai cetakan untuk menyintesis molekul DNA (cDNA) yang komplementer dengan molekul RNA tersebut. Beberapa enzim reverse transkiptase yang dapat digunakan adalah mesophilic viral reverse transcriptase (RTase) yang dikodekan oleh virus avian myoblastosis (AMV) maupun oleh moloney murine leukimia (M-MuL V), dan Tht DNA polimerase. Menurut Yuwono (2005) Reaksi trankripsi balik dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa macam primer yaitu Oligo dT (sepanjang 12 – 18 nukleotida yang akan melekat pada ekor poli-(A) pada ujung 3’ mRNA mamalia primer semacam ini pada umumnya menghasilkan cDNA yang lengkap; Heksanukleotida acak yang akan melekat pada cetakan mRNA yang komplementer pada bagian manapun. Primer semacam ini akan menghasilkan cDNA yang tidak lengkap (parsial); dan yang ketiga adalah urutan nukleotida spesifik yang dapat digunakan secara selektif untuk menyalin mRNA tertentu. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini merupakan teknik deteksi molekuler yang berbasis pada asam nukleat yang pertama kali dirintis oleh Kary Mullis pada tahun 1983. Penerapan PCR banyak dilakukan di bidang biokimia dan biologi molekular karena relatif murah dan hanya memerlukan jumlah sampel yang sangat kecil. Teknik ini berguna dalam membuat salinan DNA dan memungkinkan sejumlah kecil sekuens DNA tertentu disalin untuk diperbanyak (diamplifikasi sehingga dapat dianalisis). PCR dapat digunakan untuk menambahkan situs enzim restriksi, atau untuk mengubah basa tertentu pada DNA. Metode ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan sekuens DNA tertentu dalam suatu sampel. PCR memanfaatkan enzim DNA polymerase yang secara alami berperan dalam perbanyakan DNA pada proses replikasi. Namun demikian, tidak seperti pada organisme hidup, PCR hanya dapat menyalin fragmen pendek DNA, biasanya sampai dengan 10 kb (kb = kilo base pairs = 1000 pasang basa). Fragmen tersebut berupa suatu gen tunggal, atau hanya bagian dari suatu gen (Sambrook & Russell 2001). Proses PCR adalah (1) DNA cetakan yang merupakan fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, (2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, (3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP) yang terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP, (4) senyawa buffer PCR, dan (5) enzim DNA polymerase, yaitu enzim yang mengkatalis reaksi sintesis rantai DNA (Yuwono 2006). Hal tersebut terdapat di dalamnya adalah (1) Denaturation (degradasi atau proses pemisahan DNA) pada suhu 94°C. Pada saat denaturasi, rantai ganda DNA mengalami pemisahan sehingga media berisi rantai tunggal DNA sebagai DNA template; (2) Annealing (penempelan primer) pada suhu 54 – 62°C. Pada tahap ini molekul-molekul primer (rantai asam nukleat mengawali proses PCR) yang telah
12 ditambahkan pada media menempel pada rantai DNA. Primer dirancang secara khusus agar bisa berpasangan dengan DNA template. Primer dirancang pula untuk mengamplifikasi target DNA yang kita inginkan; (3) Extension (perpanjangan rantai) pada suhu 72°C. Pada tahap ini enzim taq-DNA polymerase yang telah ditambahkan pada media mulai bekerja untuk memanjangkan rantai sehingga terbentuk rantai ganda DNA yang diinginkan. Siklus ini berlangsung 30 sampai 40 kali pada mesin thermalcycler PCR. Reaksi PCR yang berulang-ulang membuat jumlah gen template (gen yang ingin kita ketahui) memadai untuk kita periksa pada analisis selanjutnya (Campbell et al. 2002; Yuwono 2006).