TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tebu Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk tanaman C4 yang sudah mengalami adaptasi dari tanaman liar (Saccharrum robustum L.). Dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya dapat dibagi menjadi dua bagian penting, yaitu secara vegetatif dan reproduktif.
Penggolongan ini sangat penting diketahui
mengingat tujuan akhir pengusahaan tanaman tebu adalah hasil gula (sukrosa) yang merupakan resultan dari hasil batang tebu dan kandungan gula yang dikandungnya. Faktor yang mempengaruhi hasil tanaman tebu adalah varietas, lingkungan termasuk tanah, iklim, suplai air, teknik budidaya, dan umur tanaman. Secara umum tanaman tebu dikembangbiakkan secara vegetatif menggunakan stek tanaman. Pertumbuhan tebu dibagi menjadi 4 fase, yaitu (1) perkecambahan sampai dengan tunas muncul di permukan tanah, (2) pembentukan anakan sampai dengan pembentukan kanopi secara penuh, (3) pembentukan dan pemanjangan batang, dan (4) pematangan (Wiedenfeld, 2000). Fase petumbuhan tanaman tebu dan umurnya disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Pembagian umur dan fase pertumbuhan tanaman tebu Umur tanaman (Bulan) 0–1 1–2 2–3 2,5 – 4 4 – 10 10 – 11 11 – 12
Fase pertumbuhan Perkecambahan – pertumbuhan tunas Pembentukan anakan Pembentukan anakan Pertumbuhan anakan - kanopi penuh Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang) Pematangan - awal senesen Matang
Daun tumbuh pada buku tanaman dengan susunan filotaksis 180 (daun gasal akan sebidang dengan daun gasal dan begitu juga daun genap). Daun tanaman tebu terdiri atas helai daun dan pelepah (sebagai seludang) daun yang membungkus batang. Pada ujung batang tanaman terdapat titik tumbuh dan ruas yang mampat, pertumbuhan vegetatif akan berakhir pada saat awal berbunga. Tanaman tebu adalah
11
12 tanaman berbunga musim, artinya saat berbunga ditentukan oleh musim dan untuk Indonesia saat berbunga sekitar bulan Maret. Jika kondisi sesuai untuk pertumbuhan, batang akan memanjang sampai fase generatif. Namun jika suhu turun terlalu rendah dan hujan atau irigasi kurang, pertumbuhan terganggu dan akhirnya berhenti. Tanaman akan segera beralih ke fase reproduktif dengan membentuk sukrosa. Akibat pertumbuhan yang singkat, maka biomasa yang dihasilkan kurang baik. Hasil fotosintesis yang berlangsung selama pertumbuhan akan diekspresikan pada bagian tanaman yang terdapat di atas tanah (tajuk) dan di bawah tanah (perakaran). Komposisi bagian vegetatif tebu yang matang dengan memisahkan daun dan pelepah tua (trash) telah banyak diukur. Proporsi dari bagian-bagian tanaman bervariasi menurut varietas, umur, dan keadaan tempat tumbuh tanaman. Pada Tabel 2 disajikan proporsi secara umum tiap bagian tanaman (Barnes, 1974). Tabel 2 Persentase tiap bagian vegetatif tanaman tebu Bagian Tanaman Bagian bawah tanah Bongkol (stubble) Akar Bagian atas tanah Trash (daun dan pelepah kering) Batang Pucuk
Bobot kering (%) 4,5 12,7 24,6 49,2 9,0
Dari data pada Tabel 2 tampak bahwa biomasa yang berupa batang dan dipanen sebagai hasil ekonomi ± 50% dari total biomasa yang dihasilkan seluruh tanaman.
Beberapa penelitian yang dilakukan di lapangan menunjukkan bahwa
nitrogen memiliki pengaruh terhadap persentase batang yang dapat digiling, karena proporsi pucuk meningkat. Hasil batang yang layak digiling sebagian berada di bawah tanah, oleh sebab itu pemanenan yang baik harus mampu mengambil batang yang ada di bawah permukaan tanah. Bagian-bagian batang tebu ternyata memiliki komposisi kandungan gula yang tidak seragam. Batang bagian bawah mengandung gula paling tinggi dan semakin ke atas semakin rendah (Tabel 2). Skema bagian batang tebu dewasa yang disajikan pada Gambar 2.
13 Tabel 3 Komposisi batang tebu (Staub, 1955 dalam Barnes, 1974) Komposisi
Bagian batang 2
1
a
7,54 2,24
10,00 5,02
11,69 7,08
13,64 9,94
15,87 12,93
17,77 15,50
20,75 19,50
Kemurnian nira (HK)
29,70
50,20
60,60
72,90
81,50
87,20
94,00
Bobot (% total)
12,69
1,27
1,48
1,74
1,99
2,25
78,58
Brix nira (%) Sukrosa (% tebu)
No. d
3
No. c
No. b
No. a
b
c
1
2
d
3
Titik batas (patah)
Daun + 1
Gambar 2 Bagian batang tebu dewasa Pertumbuhan tanaman tebu berhubungan dengan status hara yang dikandung dalam tanaman. Kekurangan hara (kahat) yang terjadi akan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan pembentukan gula. Pada Tabel 4 disajikan status hara tanaman dalam status kecukupan (Sanchez dalam Jacob, 2001). Tabel 4 Kecukupan hara berdasarkan analisis tanaman No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 11
Unsur hara N P K Ca Mg S Cu Fe Mn Zn
Satuan % % % % % % ppm ppm ppm ppm
Nilai 1,5 0,05 2,25 0,15 0,1 0,01 1 5 10 10
14
Proses Pembentukan Gula dan Perimbangan Sink-Source Bahan penting dari tanaman tebu yang merupakan hasil utama adalah sukrosa yang merupakan gula disakarida hasil penggabungan antara glukosa dan fruktosa (Gambar 3). Sukrosa termasuk bukan gula pereduksi berbeda dengan glukosa yang dapat mereduksi Cu2O4 dalam larutan basa menjadi CuO2 (Lehninger, 1982). Sifat molekul sukrosa yang khas adalah sangat mudah untuk dikristalkan, sehingga dipilih sebagai pemanis komersial yang menyuplai 13% dari total energi yang dibutuhkan oleh manusia. Sukrosa dikenal secara umum sebagai gula tebu meskipun terdapat juga dalam tanaman sumber pemanis lain yang dikenal, terutama beet gula (http://encarta.msn.com/encyclopedia_761573894/Sugar).
Fruktosa ukosa
Glukosa Sukrosa
Gambar 3 Rumus kimia sukrosa Pada Gambar 4 disajikan lintasan ringkas pembentukan sukrosa pada tanaman. Sukrosa dibentuk oleh tanaman melalui jalur glukosa-6-fosfat yang berubah menjadi fruktosa-6-fostat. Dari bentuk ini tampak bahwa unsur P sangat dibutuhkan dalam reaksi awal pembentukan sukrosa. Pada tahap selanjutnya reaksi penggabungan akan terjadi dengan aktivator enzim Sukrosa Phosphat Sintetase (SPS). Kerja enzim SPS sangat dipengaruhi oleh radiasi dan suhu udara. Itulah sebabnya diperlukan bulan kering nyata pada fase kematangan tanaman tebu agar terbentuk sukrosa (Babb and Haigler, 2001). Namun kinerja enzim ini tidak sederhana sebab menyangkut proses pembentukan gula monosakarida, serapan unsur P dan kondisi jaringan tanaman (Tetlow et al., 2004). Sesuai dengan letak sukrosa dalam sel (dalam vacuola), maka penumpukan akan mulai terjadi pada bagian batang yang lebih tua, yaitu pangkal batang (No. d pada Gambar 2). Kemudian berturut-turut akan tertimbun pada bagian batang yang
15 lebih muda (Gambar 2). Hal ini berarti pada saat pembentukan gula monosakarida, batang berubah fungsi menjadi wadah (sink) sementara daun masih berperan sebagai sumber (source). Selanjutnya pada saat pembentukan sukrosa, energi yang dihasilkan melalui respirasi digunakan untuk menggabungkan dua gula monosakarida menjadi disakarida (Vickery and Vickery, 1981).
Itulah sebabnya tidak boleh terjadi
pertumbuhan baru pada saat proses tersebut berlangsung. Pada Gambar 5 disajikan grafik yang menunjukkan jumlah sukrosa, bobot bahan kering, dan gula pereduksi (monosakarida) pada posisi bagian batang tebu. Glukosa 6-fosfat
Glukosa 1-fosfat ATP
Pi Fruktosa 6-fosfat
+
UDP-glukosa SPS
Sukrosa 6-fosfat + UDP H2O Sukrosa + Pi
Gambar 4 Reaksi singkat pembentukan sukrosa pada tebu (Babb and Haigler, 2001) 35
Bahan kering
30
Persen
25
20
Sukrosa
15
10
5
Gula reduksi 0
0
50
Nitrogen 100
150
200
Posisi batang tebu (cm)
Gambar 5 Persentase bahan kering, gula dan nitrogen pada batang tebu (Sudiatso, 1999)
16 Pembentukan sukrosa terus meningkat sejalan dengan umur tanaman, tetapi setelah mencapai titik maksimum rendemen akan cenderung menurun karena terjadi pemecahan sukrosa menjadi monosakarida yang dikenal dengan inversi (Gilbert et al., 2001). Untuk daerah yang musim gilingnya dimulai pada bulan November, rendemen tertinggi dicapai pada awal Maret (Gambar 6). Sementara itu pengamatan langsung di lapangan terhadap kandungan gula yang dihitung dengan brix dan pol pada saat periode giling di Indonesia disajikan pada Gambar 7. Musim giling di Indonesia rata-rata dimulai pada bulan Mei dan berakhir pada awal September sehingga rendemen tertinggi dicapai pada bulan Agustus. Rendemen sangat dipengaruhi oleh kondisi hujan pada saat menjelang panen. Jika hujan turun pada saat tanaman tebu mulai membutuhkan masa kering yang nyata, proses pematangan akan terganggu dan rendemen berkurang (Ana, 1999; Wisnusubroto, 2000). Rendemen (%) 14,0 13,5
(12,66%)
13,0 12,5 12,0 11,5 11,0 10,5 10,0 9,5
LAMBAT
TENGAH
AWAL 9,0 1-Okt
1-Nov
2-Des
2-Jan
2-Feb
21-Feb 4-Mar
Waktu
Gambar 6
Perkembangan rendemen sejalan dengan umur tanaman varietas CP 80-1827 (Gilbert et al. 2001)
17 19
Brix
18 17
(%)
16 15 14
Pol
13 12 11 10 I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
Periode Analisis
Gambar 7
Persentase brix dan pol per periode analisis (2 minggu) di Indonesia (Sudiatso, 1999)
Di samping menghasilkan gula sukrosa dan gula monosakarida, hasil metabolisme tanaman tebu juga menghasilkan senyawa lain berupa jaringan penguat tanaman (selulosa), protein, mineral, lilin, dan senyawa berlemak. Senyawa selain gula inilah yang dalam proses pemisahan akan tercermin dalam ampas, meskipun sebagian lainnya akan terbawa dalam nira. Pada keadaan yang normal tanaman tebu di Indonesia mengandung 69-82% air, 8-16% bahan serat (sabut), 6-29% sukrosa, 0,5-2,5% gula reduksi, 0,5-1,0% bahan organik bukan gula, dan 0,5-2,0% abu (Sudiatso, 1999). Neraca bahan yang diperoleh rata-rata dari pabrik gula di Jawa pada saat ini menunjukkan bahwa kadar nira hanya sebesar 53,16% sementara ampasnya 32,79% dan sabutnya 14,05 persen. Hal ini menunjukkan bahwa kadar sabut relatif masih baik, tetapi ampasnya meningkat. Peningkatan ampas ini diduga disebabkan oleh mutu tebu yang kurang baik. Mutu tebu dipengaruhi oleh kadar kotoran tebu dan budidaya yang kurang sempurna, terutama pemupukan dan kecukupan air. Nilai normal kadar nira seharusnya lebih besar dari 60% dengan persentase gula total (pol) >12. Hasil evaluasi yang dilakukan terhadap pabrik gula di Jawa diketahui bahwa nilai pol5 nira rata-rata 9,93% dengan kisaran antara 8,3011,20 persen.
5
Pol = total gula terlarut dalam nira
18 Komponen hasil tanaman tebu selain rendemen adalah bobot batang. Oleh sebab itu selain rendemen tinggi, pengusahaan tanaman harus mampu menghasilkan bobot batang yang baik juga. Tingginya dosis pupuk N yang digunakan saat ini menyebabkan tanaman hanya mampu menghasilkan bagian biomasa yang pada saat panen akan menjadi ampas. Itulah sebabnya mutu tebu saat ini memiliki persentase nira yang rendah. Dalam menghitung rendemen tebu, angka yang dicari adalah besarnya persentase gula yang mampu dikristalkan (hanya sukrosa). Perhitungan rendemen tebu dilakukan dengan rumus sebagai berikut: R { pol - 0, 4 (brix - pol )}
Bobot nira ×100 Bobot tebu
Dari rumus ini terlihat bahwa rendemen tebu sangat dipengaruhi oleh nilai pol (total gula), nilai brix (total padatan terlarut), dan kadar nira dalam tebu. Semakin tinggi kandungan pol dalam brix, kemurnian nira semakin tinggi. Hubungan antara brix dengan pol berdasarkan analisis yang telah dilakukan memiliki korelasi yang erat dengan persamaan R = -0,0254 + 0,4746 B6.
Namun karena rendemen
dipengaruhi oleh kandungan nira tebu, maka tebu dengan pol tinggi belum tentu rendemennya juga tinggi.
Oleh sebab itu untuk mendapatkan rendemen tinggi,
tanaman tebu harus memiliki brix tinggi dengan kemurnian yang baik dan kandungan nira yang tinggi juga.
Karakteristik Lahan Kering Lahan kering merupakan hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun. Lahan kering merupakan salah satu ekosistem sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar untuk pengembangan berbagai komoditi. Pengembangan lahan kering terutama di dataran rendah merupakan pilihan strategis dalam menghadapi tantangan peningkatan produksi pertanian, termasuk produksi gula. Selain masalah air, lahan kering di Indonesia umumnya memiliki kendala kesuburan tanah rendah, lahan dengan solum dangkal, dan lahan dengan topografi 6
Dilakukan perhitungan langsung di Gula Putih Mataram, pada tahun giling 2000
19 berbukit.
Total lahan pertanian
di Indonesia ± 70,20 juta hektar yang terdiri
18,5 juta ha lahan perkebunan, 14,6 juta ha tegalan, 7,9 juta ha lahan sawah, dan 11,3 juta ha lahan tidur. Dari luasan yang dapat digunakan untuk pengembangan tanaman semusim, luas lahan yang tersedia hanya ± 12,6 juta hektar sesuai untuk tebu dan kapas (Mulyani dan Las, 2008).
Data luas lahan kering ini belum
mempertimbangkan status kawasan yang berhubungan dengan kawasan hutan. Dalam memanfaatkan lahan tersebut selain diperlukan persiapan teknologi yang tepat, baik dari aspek agronomi maupun aspek sumberdaya lahan, juga penyelesaian masalah sosial yang berbeda di tiap lokasi. Gupta (1995) memberikan batasan tentang budidaya lahan kering sebagai suatu sistem produksi tanaman tanpa tambahan irigasi pada daerah semi arid. Sistem budidaya tanaman lahan kering ditekankan pada konservasi dan pemakaian air yang tersimpan dalam tanah. Konservasi air difokuskan pada penggunaan secara efisien air hujan yang tersimpan dalam tanah.
Untuk menyikapi kondisi lahan kering
dengan keterbatasan air, dapat ditempuh dua cara, yaitu (1) mengusahakan tanaman yang mampu berproduksi dengan baik meskipun dalam kondisi mendekati kering (tanpa tambahan air), atau (2) mengusahakan tanaman yang memiliki efisiensi tinggi dalam menggunakan air, dengan tambahan air yang tepat. Tanaman tebu dengan sifat pertumbuhannya merupakan tanaman yang tergolong sangat efisien dalam penggunaan air. Secara normal untuk membentuk 1 satuan bahan kering tanaman menurut Barnes (1974) dibutuhkan total air sebanyak 366 satuan dan 219 satuan air efektif, sedangkan untuk membentuk 1 bagian atas tanaman (batang dan daun) dibutuhkan total 466 satuan air atau 291 satuan air efektif. Untuk tebu yang tahan kekeringan untuk membentuk batang diketahui bahwa untuk tiap satuan bahan kering dibutuhkan 89 satuan air (Shih and Gascho, 1980). Cekaman air yang dialami oleh tanaman akan berpengaruh terhadap hasil tanaman.
Seberapa besar pengaruh
cekaman air terhadap penurunan hasil dipengaruhi oleh fase pertumbuhan dimana tanaman mengalami cekaman dan berapa lama tanaman mengalami cekaman. Cekaman yang terjadi pada awal pertumbuhan (fase 1) pengaruhnya tidak sebesar jika cekaman terjadi pada fase 2. Penurunan hasil tebu akibat cekaman dapat mencapai 8,3% jika terjadi pada fase 1 dan 15% jika terjadi pada fase 2. Hasil gula akan menurun 11,7% jika cekaman terjadi pada fase 1 dan 19,1% jika terjadi pada
20 fase 2 (Wiedenfeld, 2000). Fase 1 dan 2 berlangsung selama 3 bulan, sehingga selama masa inilah tanaman membutuhkan suplisi air. Jumlah air yang dibutuhkan untuk proses evapotranspirasi sebesar 100-125 mm per bulan (Lisson et al., 2005). Oleh sebab itu di Indonesia untuk lahan kering umumnya tebu ditanam di awal musim hujan sehingga tidak mengalami cekaman air di awal pertumbuhan (fase 1 dan 2). Setelah air, masalah penting di lahan kering adalah kandungan bahan organik dan ketersediaan unsur hara. Dari proses pembentukan gula dalam tanaman tebu, unsur hara yang sangat penting adalah P dan K. Dari analisis tanah yang telah dilakukan pada daerah sentra tebu (Jawa Timur) ternyata rata-rata kandungan P tanah di lahan kering termasuk rendah, yaitu berkisar antara 7-24 ppm (Tabel 4), padahal nilai minimum kandungan P2O5 tanah untuk tebu adalah 30 ppm (Depertemen Pertanian, 1999). Sementara untuk kandungan N termasuk tinggi, namun kenyataan di lapangan petani umumnya justru memupuk tanamannya dengan Urea dan sedikit SP-36.
Hal ini tentu saja menyebabkan mutu tebu mejadi kurang baik dan
kandungan gula dalam batang tebu (rendemen) rendah.
Untuk K2O nilainya
termasuk sedang, sehingga meskipun tanaman diberikan pupuk KCl sedikit bahkan tidak dipupuk, masih mampu menghasilkan sukrosa jika monosakaridanya terbentuk dengan baik. Kandungan bahan organik tanah yang dicerminkan oleh kandungan C organik menunjukkan nilai lebih rendah dari 3% terutama pada jenis tanah Regosol. Tampaknya untuk lahan kering tingkat kandungan bahan organik ini menjadi masalah yang serius karena berhubungan dengan kemampuan tanah dalam mengikat air. Untuk jenis tanah Regosol yang memiliki tekstur kasar dengan kandungan pasir dominan, fungsi bahan organik sangat penting karena secara langsung akan mempengaruhi daya ikat air. Percobaan penanaman tebu di lahan kering bekas hutan di daerah Lamongan yang diberi kompos memberikan keuntungan paling tinggi dibandingkan tanaman lainnya. Kesesuaian lahan yang semula klas S3 (faktor pembatas air dan kesuburan tanah) ternyata dapat ditingkatkan dengan perbaikan lahan dan pemupukan yang tepat (Siswanto, 1998). Perbaikan yang dilakukan adalah dengan menambahkan bahan organik dalam bentuk kompos pada saat pengolahan tanah. Bahan organik yang digunakan berupa kompos yang dibuat dari sisa tanaman dan kotoran ternak.
21 Tabel 5 Hasil analisis tanah di wilayah Jombang dan Kediri Hasil Analisis
No
Jenis Tanah
pH (H2O)
N (%)
C (%)
P2O5 (ppm)
K2O (ppm)
1 2 3 4 5 6
I II III IV V VI
4,30 6,14 6,12 5,71 5,04 5,20
0,16 0,10 0,10 0,09 0,15 0,08
2,29 1,90 2,34 1,87 1,44 2,10
7 11 24 12 20 15
152 207 172 151 252 395
Keterangan : I : Andosol coklat-Andosol Coklat Kekuningan II : Asosiasi Regosol dan Litosol III : Asosiasi Mediteran Coklat dan Grumosol Kelabu IV : Kompleks Mediteran Coklat dan Litosol V : Regosol Coklat Keabuan VI : Latosol Coklat Kemerahan
Tanggap Tanaman Tebu terhadap Kekeringan Cekaman lingkungan memicu berbagai tanggap tanaman, mulai dari perubahan metabolisme sampai dengan laju pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Cekaman lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman dapat berupa cekaman abiotik atau biotik, yaitu radiasi, kekeringan, salinitas, dan suhu tinggi. Di antara cekaman lingkungan, kekeringan adalah salah satu yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produktivitas tanaman. Tanggap tanaman terhadap kekeringan dapat terjadi secara fisiologi, biokimia, dan molekuler (Hong et al., 2008). Besarnya pengaruh cekaman kekeringan tergantung pada fase pertumbuhan dimana cekaman terjadi (Ramesh and Mahadevaswamy, 2000). Tanaman tebu termasuk tanaman yang tahan terhadap kekeringan, tetapi di awal pertumbuhan tetap memerlukan air untuk pertumbuhannya.
Di akhir
pertumbuhan, tebu memerlukan bulan kering untuk proses pembentukan sukrosa dan pematangan. Berdasarkan sifat tanaman tebu yang memerlukan bulan kering nyata pada saat pembentukan sukrosa tetapi juga harus memiliki hasil batang tebu yang tinggi, maka umur tanaman harus mencapai sekitar 10-12 bulan.
Secara
konvensional tanaman tebu ditanam pada musim kering dengan tambahan air melalui irigasi. Namun sejalan dengan pergeseran areal tebu ke lahan kering dan terbatasnya air irigasi di lahan sawah, tambahan air pada awal tanam menjadi sangat terbatas dan
22 mustahil dilakukan. Untuk mengatasi masalah kekurangan air pada saat tanam, saat ini dikenal musim tanam B, yaitu awal musim hujan (musim tanam golongan A antara Mei-Juli). Tanaman yang ditanam pada awal musim hujan akan tumbuh dengan baik, tetapi karena tebu adalah tanaman berbunga musim maka pada bulan Maret (yaitu umur 6 bulan) petumbuhan vegetatif akan berhenti (Barnes, 1974). Tentu saja tebu yang ditanam pada golongan B hasil tebu dan kandungan gulanya rendah karena masa pertumbuhannya pendek. Untuk menyikapi pendeknya masa pertumbuhan diusahakan tebu ditanam pada akhir musim kemarau. Hal ini berarti pada saat tanam lingkungan berada dalam keadaan kering sehingga diperlukan ada tambahan air di awal pertumbuhan. Sebagai contoh, di Thailand hasil tebu dan gula tertinggi diperoleh jika tebu ditanam pada bulan November, yaitu akhir musim hujan. Hal ini karena pada saat panen, yaitu November tahun berikutnya tebu memiliki umur yang cukup (Jintrawet et al., 2000). Dari data yang ada menunjukkan bahwa kekeringan pada awal pertumbuhan ternyata berpengaruh nyata terhadap hasil tebu dibandingkan kekeringan pada akhir pertumbuhan (Gambar 7).
(%)
Hasil Tanaman Tebu
100 80
Kekeringan pada akhir pertumbuhan
60 40 20
Kekeringan pada awal pertumbuhan
20
40
60
80
100
(%)
Nisbah antara ET aktual dengan ET yang memberikan hasil maksimum
Gambar 7 Hubungan antara hasil relatif dengan ET relatif (Robertson et al., 1999)
23 Nilai ET tanaman dapat dihitung dengan berbagai metode dan salah satu metode yang banyak digunakan adalah dengan menggunakan nilai ET potensial (ETp) yang dihitung dari nilai Evaporasi panci (Epan), yaitu : ETp = kp . E pan dari nilai ETp dihitung nilai ET tan dengan menggunakan koefisen tanaman (kc), yaitu : ET tan = kc . ETo Nilai ET tanaman yang diperoleh adalah jumlah air untuk evapotranspirasi yang dibutuhkan oleh tanaman agar diperoleh hasil yang maksimum, artinya nilai ini adalah nilai kebutuhan air bagi tanaman (air konsumtif). Koefisen tanaman memiliki nilai yang beragam tergantung pada jenis tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, sehingga nilai ET tanaman juga akan berubah sejalan dengan hal tersebut. Pada Tabel 6 disajikan nilai kc pada tanaman tebu. Inman-Bamber and Smith (2005) dalam beberapa penelitiannya mendapatkan hubungan antara hasil tebu (Yc) dengan total air yang digunakan selama siklus pertumbuhan tanaman. Hubungan tersebut adalah Yc = -2,5 + ( 9,69 ETp.) Tabel 6 Nilai (kc) tebu berdasarkan fase pertumbuhan (Inman-Bamber and Smith, 2005) Umur tanaman (Bulan)
Fase pertumbuhan
Nilai kc
0–1
Perkecambahan – pertumbuhan tunas
0,55
1–2 2–3
Pembentukan anakan Pembentukan anakan
0,80 0,90
2,5 – 4
Pertumbuhan anakan - kanopi penuh
1,00
4 – 10
Pertumbuhan puncak (pemanjangan batang)
1,05
10 – 11
Pematangan - awal senesen
0,80
11 – 12
Matang
0,60
Dari kajian di wilayah pabrik gula di Indonesia, ternyata terdapat korelasi negatif antara jumlah hujan pada bulan November dan Desember musim tanam dengan rendemen tebu yang akan dicapai. Korelasi antara jumlah hujan November dan Desember dengan rendemen bernilai negatif, artinya semakin besar curah hujan rendemen akan berkurang. Keadaan ini sekarang digunakan oleh pabrik gula untuk
24 memprediksi rendemen yang akan dicapai (Wisnusubroto, 2000). Korelasi antara curah hujan dengan rendemen berkisar antara – (0,69-0,89). Tidak salah kiranya jika pemeliharaan saluran (got) sangat berpengaruh terhadap rendemen. Got yang buruk akan menyebabkan respirasi akar terganggu sehingga energi untuk penyerapan hara secara aktif lebih besar.
Pada bulan November-Desember adalah fase tanaman
membentuk gula monosakarida, sehingga kondisi respirasi yang buruk akan mengganggu proses sintesis gula. Di daerah Everglade (Florida) tebu diusahakan pada tanah organik yang ternyata keberhasilannya sangat ditentukan oleh drainase. Semakin dangkal muka air tanah semakin rendah produksi gula yang dihasilkan karena penurunan rendemen. Hasil tertinggi diperoleh pada muka air tanah 61 cm (Glaz et al., 1980). Efisiensi penggunaan air (water use efficiency) sering dihitung sebagai nisbah antara hasil yang diperoleh dengan jumlah air yang digunakan untuk memperoleh hasil tersebut (ET) (Hatfield et al., 2001). Berdasarkan metode hidrologi neraca air di tanah dapat dirumuskan dengan persamaan curah hujan + irigasi = perkolasi + run off + W + ET dimana W adalah perubahan volume air yang tersimpan di dalam tanah selama periode tertentu. Dari neraca air dapat diketahui bahwa dapat dilihat bahwa jika curah hujan berkurang, semua nilai akan berkurang termasuk nilai ET dan kadar air tanah. Hal ini akan perpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Agar tanaman tetap dapat melakukan kegiatan dengan baik, maka ET harus dkembalikan ke nilai yang normal. Nisbah relatif yang dihitung berdasarkan ET aktual dan ET yang mampu memberikan hasil maksimum berhubungan dengan fase pertumbuhan tanaman.
Pengurangan nilai nisbah relatif ini akan tergantung pada fase apa
terjadinya. Khusus untuk tanaman tebu hubungan antara defisit evapotranspirasi dengan rendemen gula relatif menurut Doorenbos and Kasam (1987) dalam Irianto et al. (2000) dapat disajikan sebagai berikut: 1
Ya Ym
Ky 1
ETa
, dengan Ya adalah hasil rendemen aktual, Ym adalah
ETc
hasil rendemen maksimal, Ky adalah koefisien rendemen, ETa evapotranspirasi
25 aktual dan ETc evapotranspirasi tanaman.
Besarnya Ky untuk fase inisiasi dan
vegetatif sebesar 0,75, fase pembentukan gula 0,5 dan fase pematangan sebesar 0,1. Secara grafik hubungan antara evapotranspirasi relatif terhadap penurunan rendemen disajikan pada Gambar 8. (Indeks Kecukupan Air)
1- (ETa/Etc) 1.0
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
0.1 0.2 ky=0.5
0.3 0.4
ky=0.75
0.5 0.6
(Indeks perubahan rendemen)
ky=0.1
0.7 0.8 0.9 1.0 1- (Ya/Ym)
Gambar 8
Hubungan antara defisit air dengan rendemen gula relatif (Dorenbos and Kasam, 1987 dalam Irianto et al., 2000)
Dari grafik terlihat bahwa cekaman air sebesar (1 – (ETa/ETc)) = 0,5 akan berpengaruh terhadap penurunan rendemen sebesar (1 – (Ya/Ym)) dengan nilai yang berbeda pada tiap fase pertumbuhan tanaman tebu. Kebutuhan air tanaman tebu sangat dipengaruhi oleh sifat tanah.
Dari
pengukuran yang dilakukan oleh Van Antwerpen (2000) didapatkan bahwa jumlah air yang dibutuhkan untuk menghasilkan 90 ton tebu adalah setara dengan 100 mm curah hujan perbulan. Pada tanah yang kurang subur dengan jumlah air yang sama hanya menghasilkan tebu sebanyak 50 ton tebu per ha. Dari perbandingan ini terlihat bahwa efisiensi penggunaan air sangat tergantung pada jenis dan kesuburan tanah. Data lain disajikan oleh Lisson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa tiap meter kubik air mampu menghasilkan 22 ton tebu atau setara dengan tambahan air 100-300 mm perbulan.
26 Kandungan air tanah sangat berhubungan dengan serapan unsur hara, terutama unsur nitrogen. Penurunan kadar air tanah dari 100% kapasitas lapang ke 70% kapasitas lapang menurunkan laju serapan nitrogen. Pada kelembaban tanah yang semakin rendah ternyata pemberian nitrogen dengan dosis tinggi tidak meningkatkan bahan kering tanaman (Santoso, 1998). Pada keadaan tanaman kekurangan air, serapan air secara nyata menurun. Serapan air sangat erat hubungannya dengan laju transpirasi tanaman.
Air
ditranspirasikan melalui stomata, sehingga pada saat stomata menutup dalam usaha tanaman untuk mengurangi transpirasi, secara langsung laju serapan air oleh akar juga menurun. Hubungan antara penurunan laju transpirasi dengan penurunan laju serapan air tidak linear. Hal ini disebabkan banyak faktor yang terlibat dalam proses yang terjadi (Steudle, 2000). Selanjutnya Steudle (2000) menemukan bahwa proses selanjutnya dari kondisi defisit air adalah terjadinya perubahan pada sel tanaman. Dalam kondisi kecukupan air, sel akar berkembang tanpa eksodermis, tetapi pada kondisi kekurangan air sel-sel akar mulai membentuk eksodermis sebagai usaha mengurangi kehilangan air dari dalam sel (plasmolisis). Tanaman yang mengalami kondisi kekurangan air akan mengalokasikan hasil fotosintesis ke akar daripada untuk membentuk tajuk. Smit and Singels (2006) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pertumbuhan tajuknya. Tajuk tanaman yang mengalami cekaman air akan berkurang pada saat indeks luas daun (LAI) lebih besar dari 2. Tanaman lebih menjaga kondisi akar dibandingkan tajuk jika kondisinya kekurangan air (Sharp et al., 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Smit and Singels (2006) menunjukkan bahwa jika kadar air diturunkan dari kadar air kapasitas lapang (26%) menjadi 15% selama 38 hari menyebabkan penurunan jumlah daun dari 10,8 menjadi 5,2.
Berkurangnya
perkembangan jaringan sangat dipengaruhi oleh perkembangan sel. Pembesaran sel hanya akan terjadi jika tekanan turgor lebih besar dari kekuatan dinding sel (Hong et al., 2008) Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa air merupakan faktor tumbuh yang sangat vital bagi tanaman tebu.
Pada awal pertumbuhan dibutuhkan air untuk
mendukung pembentukan bagian vegetatif tanaman, tetapi pada akhir pertumbuhan diinginkan
kondisi
kering
untuk
merangsang
pembentukan
gula.
27 Permasalahannya adalah hasil maksimum akan diperoleh jika umur tanaman saat panen cukup (antara 10-12 bulan) yang berarti waktu tanam jatuh pada musim kering. Konsekuensi waktu tanam musim kering adalah harus ada tambahan air. Dua faktor utama dalam pelaksanaan pemberian air, yaitu jumlah air yang tersedia dan manajemen pemberiannya. Di lapangan saat ini tambahan air diberikan dengan beberapa cara yaitu penyiraman dari lebung atau pemberian air dengan membuat sumur pantek. Mengingat jumlah air yang terbatas dan biaya yang dikeluarkan cukup besar, maka diperlukan perhitungan yang cermat agar air dapat dihemat tetapi produktivitas tetap tinggi. Efisiensi penggunaan air menjadi tindakan yang sangat menentukan dalam budidaya lahan kering.
Inman-Bamber (2004) dalam
penelitiannya mendapatkan bahwa tambahan air yang tepat dapat meningkatkan hasil sukrosa sebesar 3 ton/ha dibandingkan tanaman yang kondisi airnya tidak terkontrol.
Bahan Organik Bahan organik memiliki kemampuan untuk meningkatkan daya ikat air dan memperbaiki sifat fisik tanah lainnya yang membantu ketersediaan unsur hara, terutama pada tanah berpasir atau tanah dengan kadar liat tinggi. Dari pembahasan dan fakta bahwa kandungan air tanah sangat penting bagi pertumbuhan tanaman, maka untuk meningkatkan efisiensi air yang ada harus ditempuh berbagai cara. Selain cara pemberian dan pemanfaatannya yang baik, maka air dalam tanah harus dalam kondisi yang cukup dan mudah tersedia bagi tanaman. Jika hanya dibahas dari segi kadar air tanah, semakin tinggi liat kandungan air semakin tinggi, tetapi air yang tersedia kecil. Oleh sebab itu daya ikat (retensi) air harus ditingkatkan tetapi ketersediaan harus baik. Pada tanah dengan kandungan liat yang tinggi pemberian bahan organik akan memperbaiki aerasi dan kapasitas tukar kation tanah. Bahan organik adalah bahan yang berukuran sangat halus tetapi bukan koloid. Dalam hal ini bahan organik berperanan dalam konservasi air yang akan digunakan tanaman pada saat tanaman membutuhkan. Pemberian bahan organik telah dibuktikan oleh Inman-Bamber and Smith (2005) mampu mendukung pembentukan tajuk tanaman dan sukrosa dalam batang pada tanaman yang tumbuh pada jenis tanah yang padat. Akar tanaman keprasan akan berkembang lebih baik jika ditambahkan bahan organik
28 dengan jumlah yang cukup, yaitu sekitar 7,5 ton per ha (Shuka et al., 2008). Bahan organik yang digunakan oleh Sukha dalam penelitiannya adalah pupuk kandang. Banyak penelitian yang telah dilakukan sehubungan dengan peningkatan retensi air akibat pemberian bahan organik, bahkan terhadap variabel lain di tanah. Salah satu penelitian yang dilakukan oleh Hatfield et al. ( 2001) mendapatkan bahwa dengan penambahan bahan sisa tanaman gandum ternyata menurunkan laju evaporasi sebesar 34 – 50% dan meningkatkan hasil sebesar 393 kg hasil gandum. Penelitian lain yang dilakukan bahkan mendapatkan suatu hubungan yang nyata antara hasil (Y) dengan retensi air (WR) dan total C organik (TOC). Persamaan yang didapat bervariasi antara hasil tahun 1992 dengan tahun 1994, yaitu Tahun 1992 Y = 183,1 + 2,05 WR + 120,7 TOC
(r = 0,51)
Tahun 1994 Y = 362,0 + 4,8 WR + 49,5 TOC
(r = 0,59)
Tindakan perbaikan tanah atau penyehatan tanah telah diterapkan secara baik di areal tebu di Australia.
Disadari bahwa selama lebih dari 25 tahun tanah
digunakan untuk penanaman tebu secara monokultur sehingga terus merosot kesehatannya. Oleh sebab itu Australia mulai mengembangkan sistem pertanian tebu berkelanjutan dengan menerapkan keseimbangan tingkat kesuburan tanah yang dilihat secara komprehensif dari sisi fisik, kimia dan biologi (Bell et al., 2007). Program ini dikenal dengan Sustainable Sugarcane Farming System yang saat ini terus dikembangkan dengan berbagai penelitian (Garside, 2000). Beberapa percobaan yang dilakukan oleh Satuan Pengembangan Tebu Dinas Perkebunan Jawa Timur menunjukkan bahwa dengan pemberian blotong hasil tanaman tebu meningkat sampai dengan 10% pada lahan kering. Penelitian lainnya yang dilakukan di wilayah PG Madukismo (Yogyakarta) menunjukkan bahwa pemberian bahan organik mampu meningkatkan produktivitas hablur tanaman pertama (PC) tetapi tidak nyata terhadap tanaman keprasan (Arifin dan Prihardini, 2007). Keberhasilan pengusahaan tebu di Lampung yang diusahakan di tanah dengan kadar liat tinggi adalah perbaikan sifat tanah (soil building) dengan pemberian bahan organik, yaitu blotong dan abu boiler (hasil pembakaran bagase). Blotong adalah hasil samping proses pemurnian nira pada pengolahan tebu (Gambar 9). Produk
29 blotong pada proses pengolahan tebu sekitar 4 persen.
Kandungan utama blotong
adalah kalsium, karbohidrat, fosfor dan bahan padatan lainnya.
Ampas (32%) Tebu (100%)
Nira (68%)
Air (39%)
Brix (Padatan total) 18%)
Blotong (Filter cake) (4%)
Pol (Gula total) (12%)
Tetes (Molases) (4%)
Hablur (Gula kristal) (8%)
Gambar 9 Neraca bahan pada proses pengolahan gula tebu (PG Gunung Madu Plantation, 1999) Hasil penelitian pemberian blotong segar yang selama ini dilakukan ternyata baru mampu memperbaiki hasilnya pada musim kedua (tanaman keprasan). Oleh sebab itu saat dilakukan pengomposan blotong sebelum diaplikasikan ke tanah. Pemberian kompos blotong dan bagase ternyata mampu memperbaiki serapan hara dan pertumbuhan tanaman tebu di lahan kering, terutama unsur N dan S. Sementara untuk unsur P dan K pemberian kompos terlihat pengaruhnya pada akhir pertumbuhan tanaman (Guntoro et al., 2003). Pada penelitian di lapangan (PG Tjoekir) musim tanam 2003/2004 yang telah dilakukan dengan dosis kompos blotong 3 ton per hektar ternyata mampu meningkatkan produksi tebu 10- 20% dan rendemen 0,5- 0,7 persen. Hasil analisis kompos blotong disajikan pada Tabel 7. .
30 Tabel 7 Hasil analisis kompos blotong No.
Hasil Analisis
1 2
pH (H2O) N (%)
3
Contoh Kompos I
Kompos II
7,56 0,93
6,74 0,81
C (%)
12,90
12,12
4
Nisbah C/N
14
15
5 6
P2O5 (%) K2O (%)
1,60 1,07
1,19 0,93
7
KA (%)
41,12
35,16
Sumber : Litbang PTPN X, 2005
Varietas Tebu untuk Lahan Kering Kontribusi varietas tebu terhadap peningkatan produktivitas gula cukup nyata, mengingat produksi tanaman merupakan hasil kerjasama antara sifat genetis (varietas) dengan faktor lingkungannya. Keunggulan suatu varietas tidak bersifat mutlak atau terus menerus, tetapi dalam kurun waktu tertentu akan mengalami penurunan (degradasi). Oleh karena itu penggantian varietas unggul baru merupakan langkah strategis dalam mengatasi permasalahan produktivitas. Tanaman tebu yang semula ditanam di lahan sawah kemudian bergeser ke lahan kering tentu saja memerlukan varietas baru yang sesuai. Perilaku yang berbeda antar varietas perlu diketahui dan difahami agar sifat unggul tebu dapat berkembang secara maksimal. Tejera et al. (2007) menjelaskan bahwa tidak mudah mendeskripsikan varietas unggul tanaman tebu sebab pengusahaan tanaman tebu bukan hanya untuk menghasilkan batang yang banyak tetapi juga kandungan gula yang tinggi. Dengan berkembangnya pengusahaan tanaman tebu ke lahan kering, maka variabel verietas unggul harus ditambah masih berproduksi dengan baik pada kondisi kekurangan air. Usaha mengatasi cekaman kekeringan terhadap varietas dalam perakitannya dilakukan dengan menghasilkan varietas tebu yang memiliki bentuk morfologi dan sifat fisiologi khusus agar mampu mengatasi ancaman kekeringan terhadap pertumbuhan.
Beberapa perubahan morfologi tanaman telah dilakukan dalam
merakit varietas baru yang diharapkan tahan terhadap kekeringan. Tanaman untuk lahan kering harus memiliki bentuk morfologi yang mampu menekan laju transpirasi, yaitu memiliki daun yang berukuran sempit tetapi dengan indeks luas daun tidak
31 berkurang, memiliki lapisan lilin pada batangnya dan bulu pada daunnya (Ishaq et al., 2000). Lembaga resmi yang diberi mandat untuk mengembangkan varietas tebu oleh pamerintah ialah P3GI bekerja sama dengan berbagai lembaga penelitian yang ada di Indonesia dan di negara lain. Plasma nutfah tebu diperoleh dari berbagai negara antara lain Formosa (kode F), Mauritius (M), Queensland (Q) dan beberapa negara lainnya yang potensial.
Varietas tebu yang unggul diperoleh melalui jalur
(1) introduksi galur dari luar negeri dan diseleksi dengan kondisi alam di suatu daerah, (2), menyilangkan berbagai galur, baik antar galur lokal ataupun dengan galur introduksi, (3) cara mutasi untuk mendapatkan keturunan yang diinginkan. Paradigma keunggulan suatu varietas, sekarang berbeda dengan di waktu lampau. Dahulu untuk seluruh daerah hanya dikenal satu atau dua varietas unggul (satu untuk semua daerah), tetapi sekarang varietas unggul yang ada adalah spesifik lokasi (hanya unggul untuk daerah tertentu). Sebagai contoh dulu dikenal varietas POJ 3016 yang unggul untuk semua daerah, tetapi sekali varietas ini terserang suatu penyakit akibatnya fatal bagi seluruh daerah. Selain sifat ketahanan terhadap kekeringan, mengingat tebu harus dipanen sesuai dengan masa giling yang berlangsung 5-6 bulan sementara masa tanam saat ini relatif serempak, yaitu awal musim hujan, maka diatur varietas dengan umur matang yang berbeda. Dengan pengaturan varietas ini diharapkan tanaman sudah memiliki kandungan gula cukup tinggi pada saat dipanen, terutama untuk awal musim giling yang jatuh pada bulan Mei-Juni. Umur varietas matang awal adalah 810 bulan, matang tengah 10 - 12 bulan, dan matang lambat >12 bulan. Penentuan varietas yang sesuai untuk suatu daerah dilakukan evaluasi varietas dan rating masing-masing. Parameter yang dijadikan kriteria adalah (1) keragaan tanaman dengan bobot 30%, (2) nilai pabrikasi dengan bobot 30% dan (3) produktivitas kebun dengan bobot 40%. Peubah yang diamati adalah: (1) Keragaan tanaman : a. Kemampuan umum (kanopi, bentuk daun, ketegaran batang, diameter, kerapatan tanaman, dan kemudahan diklentek) b. Jumlah batang per meter juringan (alur tanam) c. Bobot batang per meter
32 d. Lubang dan pada batang (gabus batang) e. Pertumbuhan sogolan (anakan yang muncul di akhir pertumbuhan) f. Pertumbuhan siwilan (tunas yang tumbuh dari mata batang) g. Pembungaan h. Serangan penggerek pucuk, penggerek batang dan penyakit (2) Nilai pabrikasi a. Brix tebu di lapangan, diukur dari contoh batang di kebun b. Hasil penggilingan dengan gilingan contoh untuk mengetahui (a) Brix, (b) Pol, dan (3) kadar nira tebu (3) Produktivitas kebun terdiri dari komponen (a) bobot batang tebu yang layak panen, (b) rendemen, dan hasil hablur. Tiap peubah diberikan skor dengan selang 1 – 3 dengan batasan 1 berarti jelek dan 3 berarti baik. Varietas tebu yang baik harus memiliki total skor tinggi dari semua nilai yang diamati.