BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pentingnya Sejarah Sebuah Kota Wujud sebuah kota terkait dengan masa lampau, sehingga perencanaan serta pengarahan pertumbuhan kota sekarang dan di masa mendatang harus dengan perspektif sejarah. Warisan sejarah mencakup bangunan, kawasan, struktur berupa patung, air mancur, taman, pepohonan dan lansekap. Daya tarik terhadap warisan sejarah ini dapat bersumber dari signifikannya dalam hal arsitektur, estetis, historis, ilmiah, kultural dan sosial. Dalam pertumbuhan kota terkait tiga aspek yaitu : (1) Aspek sejarah dalam hal ini yang perlu di analisa adalah tatanan arsitektur yang berperan pada masa lampau, masa kini dan masa mendatang. (2) Faktor pertumbuhan dan perkembangan kota sebagai akibat pertambahan penduduk secara alami maupun migrasi-urbanisasi, faktor ekonomi, faktor sosial budaya termasuk kecenderungan masyarakat (public interst), faktor kedudukan kota dalam lingkup wilayah. (3) Aspek legal yang menyangkut peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penataan ruang dan fisik kota yang berlaku secara umum maupun berlaku khusus untuk kota yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Kaitan suatu tempat dan sejarah sangat erat karena suatu tempat adalah sumber memori individu dan memori kolektif. Dengan demikian suatu tempat juga memberi kontribusi pada identitas individu dan kolektif karena karakter dan kepribadian tempat itu sendiri yang membedakannya dari tempat lain dan masyarakat yang tinggal di suatu tempat mempunyai rasa memiliki dan keterikatan dengan tempat tersebut. Para perencana kota harus mempertahankan kelayakan inti kota dengan memastikan bahwa bangunan-bangunan baru dan pembangunan berskala besar tidak menghilangkan ciri khas kota yang mudah dikenali. Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menyelamatkan dan merehabilitasi sebanyak mungkin bangunan lama, membangun yang baru hanya jika yang diperlukan dan kemudian dengan mengintegrasikan yang baru dengan yang lama (Lotmann, 1976). Selain itu, karakter suatu tempat juga ditentukan oleh faktor-faktor lain yaitu lingkungan binaan. Menurut K. Lynch (1960) dalam bukunya “The Image of the city” bahwa kualitas lingkungan binaan yakni citra (imageability) dan kejelasan (legibility) bangunan-bangunan memberi kontribusi pada munculnya identitas yang menonjol pada suatu tempat. Citra suatu tempat merupakan kombinasi beberapa faktor lansekap yang saling terkait yaitu bentuk, tampak dan warna bangunan, ritme kumpulan orang, kemeriahan serta acara-acara yang diadakan di tempat tersebut. Faktor lain yang menentukan identitas suatu tempat adalah kombinasi berbagai elemen kultur nonmaterial seperti karakteristik masyarakat (etnis, agama, bahasa) serta apa yang di
Universitas Sumatera Utara
sebut sebagai genius loci. Istilah genius loci dikemukakan oleh Dubos yang dikutip dalam buku Place and placeness (1976) yang artinya adalah roh suatu tempat, mencakup keunikan lingkungan binaan, kekayaan dan momen-momen historis. Hal yang sama juga dikemukakan dalam Guidelines for preparing conservation plan (1994) bahwa penentuan apakah suatu bangunan atau tempat tertentu layak dilindungi sebagai warisan sejarah ditentukan juga oleh aspek-aspek non-fisik yaitu : 1. Mempunyai nilai estetik yaitu menunjukkan aspek desain dan arsitektur suatu tempat. 2. Mempunyai nilai edukatif yaitu menunjukkan gambaran kegiatan manusia di masa lalu di tempat itu dan menyisakan bukti-bukti yang asli. Bisa mencakup teknologi, arkeologi, filosofi, adat istiadat, selera dan kegunaan sebagaimana halnya juga teknik atau bahan-bahan tertentu. 3. Nilai sosial atau spiritual yaitu keterikatan emosional kelompok masyarakat tertentu terhadap aspek spiritual, tradisional, politis atau suatu peristiwa. 4. Nilai historis yaitu asosiasi suatu bangunan bersejarah dengan pelaku sejarah, gagasan atau peristiwa tertentu. Mencakup analisis tentang aspek-aspek yang tidak kasat mata (intangible aspects) dari masa lalu bangunan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Apabila suatu bangunan atau kawasan mempunyai semua persyaratan untuk dilindungi sebagai warisan sejarah, maka selanjutnya perlu dirumuskan suatu kebijakan umum sebagai perangkat pelestarian warisan sejarah. Tujuan dari kebijakan umum dalam bidang preservasi landmark dan kawasan bersejarah adalah untuk : 1. Mempengaruhi dan memberi perlindungan, peningkatan dan pelestarian bangunan, kawasan dan daerah-daerah yang mewakili atau merefleksikan elemen kultural, sosial, ekonomi, politisi dan sejarah arsitektural kota. 2. Melindungi warisan historis, estetis dan kultural kota, sebagaimana terangkum dan terefleksikan dalam bangunan, kawasan dan daerah tersebut. 3. Memantapkan dan meningkatkan nilai properti di kawasan tersebut. 4. Mendorong kebanggaan masyarakat terhadap keindahan dan prestasi agung di masa lalu. 5. Melindungi dan meningkatkan daya tarik kota untuk para wisatawan dan pengunjung sekaligus mendukung serta merangsang iklim usaha dan industri yang terkait. 6. Memperkuat perekonomian kota. Kekayaan ini sebenarnya merupakan kebanggaan yang tak ternilai harganya. Namun tidak banyak disadari, oleh masyarakat maupun penentu kebijakan bahwa bangunan-bangunan kuno dan bahkan antik banyak di anggap ketinggalan jaman yang sewaktu-waktu dapat terancam kehadirannya. Semestinya tidak hanya bangunan
Universitas Sumatera Utara
kuno saja yang perlu untuk dilestarikan, tetapi juga wilayah kota yang dipertahankan sebagai cagar budaya, karena peninggalan-peninggalan arkeologi yang tersisa masih cukup banyak. 2.2. Melestarikan Bangunan Bersejarah Pelestarian bangunan bersejarah merupakan suatu pendekatan yang strategis dalam pembangunan kota, karena pelestarian menjamin kesinambungan nilai-nilai kehidupan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh aktor pembangunan (stakeholder). Istilah yang digunakan untuk bangunan lama yang memiliki nilai-nilai berharga adalah historical building, atau dapat kita samakan artinya dengan bangunan bersejarah. Pada pusat kota terjadi perkembangan dan perubahan yang dinamis ditandai dengan munculnya berbagai aktivitas, terutama perekonomian dan mengakibatkan perubahan secara fisik. Menurut seorang ahli hukum dari Denmark yang bernama JJA Worsaae pada abad ke 19 mengatakan bahwa : “bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak hanya melihat masa kini dan masa mendatang, tetapi mau berpaling ke masa lampau untuk menyimak perjalanan yang dilaluinya”. Senada dengan ucapan di atas ungkapan lain muncul yang ditegaskan oleh filsuf Aguste Comte mengatakan bahwa : “mempelajari masa lalu, melihat masa kini, untuk menentukan masa depan. Melihat masa lalu yang diungkapkan dengan keberadaan fisik bangunan kuno tentunya tidak dilihat dari sosok bangunannya saja, tetapi nilai sejarah besar apa yang melekat dan membungkusnya sebagai makna kultural. Karena tampilan pembungkus makna ini dapat diikutkan dalam menentukan dan memberikan
Universitas Sumatera Utara
identitas bagi kawasan perkotaan di masa mendatang (Antariksa: 20 Juni 2009, Jurnal Architecture Articles)”. Pelestarian dalam bangunan maupun arsitektur perkotaan merupakan salah satu daya tarik bagi sebuah kawasan. Dengan terpeliharanya satu bangunan kunobersejarah pada suatu kawasan akan memberikan ikatan kesinambungan yang erat, antara masa kini dan masa lalu. Pelestarian merupakan terjemahan dari conservation atau konservasi. Pelestarian atau konservasi dalam bidang arsitektur dan lingkungan binaan berawal dari konsep konservasi yang bersifat dinamis dengan cakupan yang lebih luas. Sasaran konservasi tidak hanya pada peninggalan arkeologi saja, melainkan meliputi juga karya arsitektur lingkungan atau kawasan bahkan kota bersejarah. Konservasi lantas merupakan istilah yang menjadi payung dari segenap kegiatan pelestarian kawasan atau bangunan bersejarah (Jurnal Architecture Articles ). Sebenarnya, istilah bangunan kuno telah digunakan dalam arti yang luas untuk menunjukkan bangunan-bangunan baik objek tidak bergerak, pemukiman, area bersejarah, artistik, arsitektur, sosial, budaya maupun simbol ilmu pengetahuan. Istilah perlindungan bangunan kuno, menunjukkan adanya variasi dari aktifitas yang terlibat didalamnya, sebagai contoh restorasi, renovasi, rekonstruksi, rehabilitasi dan konservasi dalam lingkup bangunan dan perkotaan, adalah semua proses untuk memelihara bangunan atau kawasan sedemikian rupa, sehingga makna kultural yang berupa nilai keindahan, sejarah, keilmuan, atau nilai sosial untuk generasi lampau, masa kini, dan masa mendatang akan dapat terpelihara.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Kurokawa (1988), mengatakan bahwa ada dua jalan pemikiran mengenai sejarah dan tradisi. Pertama, adalah sejarah yang dapat kita lihat seperti bentuk arsitektur, elemen dekorasi, dan simbol-simbol yang telah ada pada kita. Kemudian yang kedua, adalah sejarah yang tidak dapat kita lihat seperti sikap, ideide, filosofi, kepercayaan, keindahan dan pola kehidupan. Kehidupan merupakan bagian dari identitas yang dihasilkan dari konteks budaya dan sosial. Maka, identitas dapat dianggap sebagai individual dan diri sendiri, tetapi juga identitas dapat semata bertranformasi menjadi bentuk yang berbeda mengikuti transformasi yang terjadi pada lingkungan sekitar kita. Dapat disimpulkan, bahwa tanpa usaha pelestarian yang layak sebuah kota akan kehilangan sejarah dan identitas yang menghubungkan kita dengan masa lalu. Dengan demikian, menghancurkan bangunan kuno-bersejarah sama halnya dengan menghapuskan salah satu cermin untuk mengenali sejarah dan tradisi masa lalu. Dengan hilangnya bangunan kuno, lenyap pula bagian sejarah dari suatu tempat yang sebenarnya telah menciptakan suatu identitas tersendiri, sehingga menimbulkan erosi identitas budaya (Sidharta & Budhiardjo, 1989). Mengetahui sejarah harus mengalaminya lewat benda-benda atau dari tulisan-tulisan sejarah. Benda boleh hancur tetapi nilai harus tetap asli yakni photo-photo sebelum dihancurkan. Di Indonesia upaya pelestarian terhadap warisan budaya sebenarnya telah di mulai sejak masa kolonial. Untuk pertama kalinya dibentuk komite khusus pada tahun 1822 sebagai lembaga pemerintah. Dengan tujuan mengeksplorasi sumber daya budaya Indonesia untuk meningkatkan citra Belanda di luar negeri. Peran negara
Universitas Sumatera Utara
tersebut semakin kuat dengan ditetapkannya Monumenten Ordonantie, Staatsblad 238 tahun 1931 atau dengan MO 1931. Secara tegas gedung-gedung yang termasuk cagar budaya tidak boleh di bongkar atau di ubah bentuknya, baik living monument (keraton, rumah adat, bangunan bersejarah) maupun dead monument (candi-candi). Kemudian dalam perjalanannya MO tahun 1931 di atas, Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. Didalamnya dijelaskan, bahwa yang dimaksud dengan Cagar Budaya adalah benda buatan manusia, bergerak atau tidak bergerak yang berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya atau sisa-sisanya, yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, atau mewakili masa gaya yang khas dan mewakili masa sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, serta dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan (Tunggul, 1997). Undang-undang di atas dipertegas lagi dengan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003, yang bertekad untuk bersama-sama melaksanakan Agenda Tindakan dalam Dasa Warsa Pelestarian Pusaka Indonesia 2004-2013 meneguhkan upaya pelestarian sebagai berikut : 1. Pusaka Indonesia adalah pusaka alam, pusaka budaya, dan pusaka saujana. Pusaka alam adalah bentukan alam yang istimewa. Pusaka budaya adalah hasil cipta, rasa, karsa, dan karya yang istimewa dari lebih 500 suku bangsa di Tanah Air Indonesia, dan dalam interaksinya dengan budaya lain sepanjang sejarah
Universitas Sumatera Utara
keberadaannya. Pusaka saujana adalah gabungan pusaka alam dan budaya dalam kesatuan ruang dan waktu. 2. Pusaka budaya mencakup pusaka berwujud dan pusaka tidak berwujud. 3. Pusaka yang diterima dari generasi-generasi sebelumnya sangat penting sebagai landasan dan modal awal bagi pembangunan masyarakat Indonesia di masa depan, karena itu harus dilestarikan untuk diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan baik, tidak berkurang nilainya, bahkan perlu ditingkatkan untuk membentuk pusaka masa mendatang. 4. Pelestarian adalah upaya pengelolaan pusaka melalui kegiatan penelitian, perencanaan, perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan, pengawasan atau pengembangan secara selektif untuk menjaga kesinambungan, keserasian dan daya dukungnya dalam menjawab dinamika jaman untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih berkualitas. Benda cagar budaya memiliki sifat unik (unique), langka, rapuh, tidak dapat diperbaharui (nonrenewable), tidak bisa digantikan oleh teknologi dan bahan yang sama, dan penting (significant) karena merupakan bukti-bukti aktivitas manusia masa lampau. Oleh karena itu dalam penanganannya harus hati-hati dan diusahakan tidak salah yang bisa mengakibatkan kerusakan dan perubahan pada benda. Perubahan yang terjadi sekecil apapun akan menyebabkan dampak yang mengurangi nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Karena tinggalan benda cagar budaya dapat
Universitas Sumatera Utara
memberikan gambaran tentang tingkat-tingkat kemajuan dalam kehidupan sosial ekonomi, pemukiman, penguasaan teknologi, kehidupan religi dan lain-lain. Pelestarian benda cagar budaya merupakan hal yang penting berdasarkan sifat-sifat yang dimiliki oleh benda cagar budaya dan sesuai dengan amanat dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 yang menyebutkan bahwa benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa yang penting artinya bagi pemahaman dan pengembangan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, sehingga perlu dilindungi dan dilestarikan demi pemupukan kesadaran jatidiri bangsa dan kepentingan nasional. Pada masa otonomi daerah saat ini, dimana Pemerintahan Daerah (Pemda) mempunyai kewenangan yang besar untuk mengatur daerahnya, telah juga ikut serta dalam hal pelestarian benda cagar budaya yang dahulunya dominan dilakukan oleh pemerintah pusat. Di satu sisi ada baiknya bahwa Pemda terlibat dalam pelestarian benda cagar budaya, karena tidak sedikit biaya yang diperlukan dan tidak cukup ditangani oleh pemerintah pusat. Namun di sisi lain pelestarian benda cagar budaya oleh pemda sering kali tidak sesuai yang diharapkan. Salah satu yang banyak dikeluhkan dalam perkembangan kota modern adalah hilangnya ciri khas wajah-wajah kota yang tergantikan oleh bangunan-bangunan bergaya internasional. Wajah-wajah tersebut menjadi anonimus dan tak berjiwa. Karena itulah warisan budaya menjadi gencarnya kegiatan modrenisasi dan globalisasi kota-kota di dunia yang bila tidak dikendalikan akan memberikan wajah kota yang sama di setiap kota.
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan secara keseluruhan merupakan kawasan pariwisata kota berbasis bangunan bersejarah. Kawasan-kawasan yang dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda diisi oleh bangunan-bangunan bersejarah yang berfungsi sebagai penanda kawasan. Namun, dewasa ini fungsi kawasan beserta bangunannya sudah banyak yang berubah. Spesifikasinya yang berbasis bangunan bersejarah justru mengalami pengabaian di balik gencarnya diskursus modernitas pembangunan. Proses modernisasi Kota Medan melalui pembangunan yang kapitalistik menyebabkan Kota Medan mengalami komodifikasi yang mengancam pusaka budaya dan pengembangan pariwisata. Sebagaimana dikatakan oleh Barker (2004: 408), komodifikasi adalah proses yang diasosiasikan dengan kapitalisme dimana objek, kualitas, dan tanda dijadikan sebagai komoditas dan komoditas adalah sesuatu yang tujuan utamanya untuk dijual di pasar. Kekuasaan pemerintah dan kekuatan modal (pengusaha) disebut sebagai penyebab penghancuran bangunan bersejarah di mana, di dalamnya, pemerintah sedang mempraktikkan politik ekonomi instan. Pengembangan pariwisata jauh lebih menguntungkan bila dikelola dengan baik dan benar. Realitas menunjukkan bahwa beberapa pusat perbelanjaan yang sudah ada akhirnya ditutup karena pusat perbelanjaan yang lebih modern didirikan. Menurut Richards (1996) menyebutkan bahwa : “kecenderungan pariwisata global ditandai dengan meningkatnya bentukbentuk pariwisata posmodern yang terkait dengan pusaka budaya tetapi sebelum dikembangkan menjadi sebuah city tour, misalnya, perlu dilakukan tindakan konservasi mengingat usia bangunan rata-rata di atas 100 tahun. Salah satu teknik konservasi adalah pengembangan pariwisata karena konservasi tidak akan berarti bila tidak menguntungkan secara ekonomi”.
Universitas Sumatera Utara
Makna pelestarian pusaka budaya terkait dengan tuntutan hak budaya (cultural rights), baik untuk pelestarian itu sendiri maupun dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata dan manfaatnya bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat. Pusaka budaya merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagai nilai dan makna antara lain nilai dan makna informasi atau ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika, dan asosiasi atau simbolik (Ardika ; 2007). Kegiatan pelestarian bukanlah hal yang mudah dan tanpa tantangan. Kinerja kegiatan pelestarian sering mengalami benturan dengan kepentingan pembangunan, sehingga pelestarian bangunan dan kawasan dianggap sebagai penghalang pembangunan yang mengakibatkan timbulnya pertentangan-pertentangan dalam pelestarian. Permasalahan pelestarian timbul akibat perbedaan kepentingan untuk melestarikan bangunan lingkungan kuno atau kawasan bersejarah dengan tuntutan kebutuhan jaman akan bangunan lingkungan atau kawasan modren. Di sisi lain masih banyak ditemukan adanya upaya pelestarian yang secara tidak disadari justru telah merusak situs benda cagar budaya itu sendiri. Pelestarian juga harus dapat mengakomodasi kemungkinan perubahan, karena pelestarian harus dianggap sebagai upaya untuk memberikan makna baru bagi warisan budaya itu sendiri. Selain itu, permasalahan pelestarian secara makro terdiri dari aspek ekonomi, sosial dan fisik, sedangkan permasalahan mikro pelestarian berkaitan dengan sistem pengelolaan warisan budaya yang terdiri dari aspek legal, sistem administrasi, piranti perencanaan, kuantitas dan kualitas tenaga pengelola, serta pendanaan.
Universitas Sumatera Utara
Upaya pelestarian yang telah dilakukan dahulu dan sekarang pada dasarnya mempunyai tujuan yang sama, yaitu pelestarian demi kepentingan penggalian nilainilai budaya dan proses-proses yang pernah terjadi pada masa lalu. Namun seiring dengan usaha pembangunan yang terus berlangsung di negara kita, maka memberi tantangan tersendiri terhadap upaya pelestarian. Pembangunan sering kali berdampak negatif terhadap kelestarian benda cagar budaya. Problem semacam ini muncul dimana-mana terutama di daerah perkotaan. Kegiatan pembangunan tanpa menghiraukan keberadaan benda cagar budaya hingga saat ini masih terus berlangsung. Hal ini tampak dari semakin menurunnya kualitas dan kuantitas benda cagar budaya. Upaya pelestarian benda cagar budaya membutuhkan keterlibatan banyak pihak dan yang terpenting adalah keterlibatan masyarakat, terutama pada benda cagar budaya yang masih dipakai (living monument). Pelestarian living monument terkadang lebih sulit, dikarenakan kurangnya pemahaman sang pemilik tentang pentingnya pelestarian benda cagar budaya miliknya. Menurut Mundarjito (UI 2002, dalam Jurnal FT UMJ 2005: 3) tentang upaya pelestarian benda cagar budaya secara garis besar sebagai berikut: 1. Perlindungan Perlindungan merupakan upaya melindungi benda cagar budaya dari kondisikondisi yang mengancam kelestariannya melalui tindakan pencegahan terhadap gangguan, baik yang bersumber dari perilaku manusia, fauna, flora maupun lingkungan alam. Upaya perlindungan yang dilakukan melalui :
Universitas Sumatera Utara
a. Penyelamatan Penyelamatan dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi benda cagar budaya dari kerusakan dengan kegiatan berupa ekskavasi penyelamatan, pemindahan, pemagaran, pencungkupan, penguasaan benda cagar budaya oleh negara melalui imbalan, dan pemasangan papan larangan. b. Pengamanan Pengamanan dilakukan untuk pencegahan terhadap gangguan perbuatan manusia yang dapat mengakibatkan kerugian fisik dan nilai benda. Kegiatannya berupa Penempatan Satuan Pengamanan Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SATPENJARLA), dan Penyuluhan Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya. c. Perizinan Perizinan dilakukan melalui pengawasan dan perizinan, baik dalam bentuk ketentuan atau ketetapan maupun tindakan penertiban terhadap lalu lintas benda cagar budaya. Kegiatannya berupa mengeluarkan ijin pemanfaatan untuk kepentingan pendidikan Siswa sekolah dan keagamaan.
2. Pemeliharaan Pemeliharaan merupakan upaya untuk melestarikan benda cagar budaya dari kerusakan yang diakibatkan oleh manusia dan alam. Upaya pemeliharaan dilakukan melalui :
Universitas Sumatera Utara
a. Konservasi Kegiatan pemeliharaan benda cagar budaya dari kemusnahan dengan cara menghambat proses pelapukan dan kerusakan benda sehingga umurnya dapat diperpanjang dengan cara kimiawi dan non kimiawi. Kegiatannya berupa pengangkatan
Juru
pelihara
(Jupel),
penataan
lingkungan,
pertamanan,
pembersihan menggunakan pihak ketiga, pembersihan dengan bahan kimia, dan pengujian bahan kimia untuk konservasi. b. Pemugaran Serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memperbaiki bangunan yang telah rusak dengan mempertahankan keasliannya, namun jika diperlukan dapat ditambah dengan perkuatan strukturnya. Keaslian yang harus diperhatikan dalam pemugaran mencakup keaslian bentuk, bahan, teknik pengerjaan, dan tata letak. 1) Keaslian Bentuk Keaslian bentuk bangunan harus dikembalikan berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan antara lain foto-foto lama, dokumen tertulis, saksi hidup, atau studi teknis. 2) Keaslian Bahan a. Dalam pemugaran bahan bangunan yang harus digunakan adalah bahan asli dan harus dikembalikan ke tempatnya semula b. Apabila bahan bangunan mengalami rusak ringan maka harus dilakukan perbaikan dan pengawetan sehingga dapat digunakan kembali.
Universitas Sumatera Utara
c. Apabila telah rusak berat atau hilang, maka dapat diganti dengan bahan baru. Namun bahan pengganti harus sama, baik jenis maupun kualitasnya. 3) Keaslian Tata Letak a. Tata letak bangunan harus dipertahankan dengan lebih dahulu melakukan pemetaan b. Keletakan komponen-komponen bangunan seperti hiasan, arca, dan lainlain harus dikembalikan ke tempat semula. 4) Keaslian Teknologi Keaslian teknologi pengejaan dengan bahan asli maupun baru harus tetap dipertahankan. keaslian teknologi ini antara : a. Teknologi Pembuatan b. Teknologi Konstruksi Berdasarkan prinsip-prinsip diatas, maka perlu dipahami bahwa pemugaran bukan merupakan pekerjaan pembangunan atau pembuatan bangunan, melainkan pekerjaan perbaikan dan pengawetan. 3. Dokumentasi atau Publikasi Dokumentasi atau publikasi merupakan upaya untuk mendokumentasikan benda cagar budaya dan menyebarluaskannya kepada masyarakat melalui media cetak atau media elektronik. Upaya dokumentasi atau publikasi dilakukan melalui :
Universitas Sumatera Utara
a. Perekaman Data Perekaman Data merupakan rangkaian kegiatan pembuatan dokumen tentang benda cagar budaya yang dapat memberikan informasi atau pembuktian tentang keberadaannya. Kegiatannya berupa pemotretan, pemetaan, penggambaran, dan survei. b. Publikasi Publikasi merupakan upaya menyebarluaskan informasi pelestarian benda cagar budaya agar dapat diketahui dan dipahami oleh masyarakat. Kegiatannya berupa pameran, penerbitan buletin dan buku, film dokumenter dan website. Bangunan-bangunan kuno bernilai sejarah dihancurkan dan ruang-ruang terbuka disulap menjadi bangunan. Banyak perencanaan arsitektur dan kota dikerjakan tidak atas dasar cinta dan pengertian sesuai etik profesional, melainkan berdasarkan eksploitasi yang bermotif komersial, sehingga menghasilkan karya berkualitas rendah. Dengan demikian, kehendak untuk membisniskan kota hendaknya mempertimbangkan secara matang, karena setiap kota mempunyai budaya dan sejarah yang berbeda-beda dengan kota-kota lainnya.
Universitas Sumatera Utara