Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
i
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 Undang-undang No. 7/1987 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 6/1982 Tentang Hak Cipta 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk [...] Dipidana dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun dan atau denda paling banyak 100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa dengan sengaja menyerahkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hal pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dengan ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
Katalog Dalam Terbitan (KDT): Ombudsman Indonesia : masa lalu, sekarang, dan masa mendatang : peringatan 2 tahun berdirinya Komisi Ombudsman Nasional / tim penyusun, Antonius Sujata ... ( et. al. ); editor, Antonius Sujata. Jakarta : Komisi Ombudsman Nasional, 2002. xii + 179 halaman : il. : 23 cm. ISBN 979-96802-2-0 1. Komisi Ombudsman Nasional. Antonius.
I. Sujata, 352.88
Penerbitan buku ini didukung :
The Asia Foundation Indonesia
ii
Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Tim Penyusun :
Antonius Sujata Budhi Masthuri Winarso Dominikus Dalu Fernandes Siska Widyawati
Komisi Ombudsman Nasional Jakarta 2002
iii
Ombudsman Indonesia Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang Tim Penyusun : Antonius Sujata Budhi Masthuri Winarso Dominikus Dalu Fernandes Siska Widyawati Editor : Antonius Sujata Disain Sampul : Patnuaji Agus Indrarto Diterbitkan oleh : Komisi Ombudsman Nasional Jl. Adityawarman 43 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12160 Tahun 2002 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak buku ini sebagian atau seluruhnya dalam bentuk dan cara apapun juga, baik secara mekanis maupun elektronis, termasuk fotokopi, rekaman dan lain-lain tanpa izin tertulis dari penerbit.
iv
Daftar Isi
Kata Pengantar
vii
Pendahuluan
ix
Langkah Awal Komisi Ombudsman Nasional
1
Persiapan dan Pembentukannya
1
Sambutan Masyarakat
8
Landasan Keberadaan
13
Prinsip Umum Pengaturan Ombudsman
13
Pengaturan Ombudsman di Indonesia
17
Dasar Hukum
18
Konsep Rancangan Undang-Undang
20
Harapan terwujudnya Ombudsman Indonesia
26
Kinerja Ombudsman Nasional
27
Tahun Pertama
28
Tahun Kedua
43
Peringatan 2 Tahun Ombudsman Nasional
50
Beberapa Kasus Menonjol
57
v
Ombudsman Sebagai Bagian Reformasi
69
Pengawasan atas Pelayanan Umum
69
Persiapan Masa Depan Ombudsman
76
Penutup
81
Lampiran
83
Data Statistik 2000, 2001
85
Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000
95
TAP MPR RI Nomor VIII/MPR/2001 Makalah :
vi
103 109
Antonius Sujata dan RM Surachman
111
Pichet Soontornpipit
119
Prof. Dr. Astrid S. Susanto - Sunario
131
Dr. A.B. Susanto
161
Ucapan Terimakasih
171
Kata Pengantar
B
uku sederhana ini disusun untuk memperingati dua tahun usia Komisi Ombudsman Nasional. Dalam dua tahun perjalanannya sejak berdiri pada tanggal 20 Maret 2000 Komisi Ombudsman Nasional telah mengalami perkembangan dalam aspek landasan hukum, prospek masa depan, pengenalan oleh masyarakat (recognition), kerjasama dengan pihak luar, serta kinerja intern institusi Ombudsman sendiri. Dua tahun bukanlah waktu yang lama, namun akan menjadi momen penting manakala dalam periode waktu tersebut kita dapat meletakkan landasanlandasan dasar yang kokoh bagi kelangsungan institusi pada masa mendatang. Waktu lampau adalah pengalaman, waktu sekarang adalah perjuangan dan waktu mendatang adalah harapan. Sesungguhnya misi apapun yang kita miliki melalui implementasi tugas-tugas yang dilakukan tentunya dilandasi oleh keinginan agar perjalanan waktu yang diberikan Tuhan kepada kita sekalian hendaknya jangan kita sia-siakan. Komisi Ombudsman Nasional dengan segala kekurangan dan keterbatasannya telah berupaya agar masa dua tahun ini dapat memberikan makna bagi perjalanan Ombudsman Indonesia selanjutnya.
vii
Salah satu kritik terhadap Ombudsman sebagaimana dilontarkan seorang penanya dari daerah dalam Dialog Interaktif Ombudsman Siaran Televisi Republik Indonesia (TVRI) beberapa waktu lalu bahwa Ombudsman seperti jalan ditempat, kurang terdengar aktivitasnya. Menurut hemat kami penilaian tersebut sangat wajar sebab ketika awal mula berdiri justru Ombudsman lebih sering muncul dalam pemberitaan, Ombudsman lebih high profile . Sekarang kurang terdengar dan bersikap low profile, pemberitaan dalam media juga berkurang. Dari aspek yang lebih mengetengahkan konsumsi pemberitaan memang demikian adanya. Namun dilihat dari konsumsi pelayanan umum serta efektifitas pengawasan Ombudsman masih tetap pada komitmennya. Ombudsman tetap dengan misinya untuk memberi dorongan agar aparat publik mampu menjalankan fungsinya secara baik. Bagaimanapun Ombudsman sebagai institusi pengawasan tetap berjalan ditempatnya agar penyelenggara negara yang memperoleh dorongan Ombudsman segera berjalan cepat menuju ke arah pemerintahan yang baik. Pada kesempatan ini kami ingin mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada The Asia Foundation yang telah memberi dukungan sehingga buku ini dapat terbit. Ketika awal mula Komisi Ombudsman Nasional berdiri adalah The Asia Foundation yang mendatangi kami dan langsung memberi bantuan bagi kelangsungan operasional institusi yang baru dibentuk tersebut. Bahkan dukungan dimaksud tetap berlangsung sampai sekarang, hal ini tentunya akan selalu menjadi catatan penting dalam sejarah perjalanan Komisi Ombudsman Nasional. Kepada para anggota Tim Penyusun dengan seluruh jerih payahnya mempersiapkan naskah penulisan kami ucapkan terimakasih pula. Demikianlah, semoga buku ini dapat turut memberi kontribusi upaya kita bersama untuk memperoleh pelayanan secara lebih baik.
Jakarta, 1 Oktober 2002 Ketua Komisi Ombudsman Nasional Antonius Sujata
viii
Pendahuluan
S
alah satu masalah krusial yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini adalah menguatnya gejala public distrust di tengah-tengah masyarakat sebagai akibat kesalahan berbagai instrumen birokrasi rezim masa lalu. Setidaknya ada beberapa indikator yang dapat dijadikan ukuran menguatnya gejala public distrust ditengahtengah masyarakat. Paling menonjol antara lain adalah mulai membudayanya perilaku main hakim sendiri ditengah-tengah masyarakat dalam menyikapi tindak kejahatan di lingkungan sekitarnya, perusakan fasilitas umum sebagai representasi kekecewaan masyarakat terhadap simbol-simbol kekuasaan, aksi menentang kebijakan pemerintah yang dilakukan secara massive, dan banyak lagi. Dalam konteks penegakan hukum, fenomena maraknya perilaku main hakim sendiri (eigenrichting) yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelaku-pelaku kejahatan dapat membuka peluang bagi terjadinya social disorder. Ini merupakan salah satu indikasi bahwa pada level tertentu, masyarakat sudah tidak mempercayai institusi penegak hukum yang berlaku resmi. Hal tersebut tidak dapat dianggap remeh, sebab biasanya merupakan
ix
refleksi yang secara simbolik diisyaratkan masyarakat untuk membahasakan persoalan-persoalan penegakan hukum yang lebih besar. Selama ini masyarakat semakin merasakan bahwa keadilan telah menjadi barang mewah yang sulit didapat. Mari kita coba melakukan napak tilas sebelum pecahnya gerakan reformasi tahun 1998. Secara gamblang masyarakat pada saat itu kerap menyaksikan praktek-prektek penyimpangan yang dilakukan para pejabat publik tanpa berdaya menghentikannya. Sepertinya semua hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Lembaga penegak hukum juga kurang menunjukkan fungsi idealnya sehingga menghancurkan bangunan kepercayaan publik. Dalam kondisi seperti itu, rasa keadilan masyarakat menjadi tercabik-cabik. Apalagi pada saat yang sama masyarakat dihadapkan pada kenyataan yang sangat paradoks dengan sulitnya menjalani kehidupan sehari-hari. Keadaan tersebut merupakan prakondisi bagi terbangunnya image negatif terhadap pemerintah (penguasa) dan institusi kenegaraan lainnya sehingga bermuara pada apatisme sosial. Penyakit kolusi, korupsi dan nepotisme juga sudah sangat kronis menggerogoti hampir setiap sendi birokrasi tanpa ada yang mampu mengatasinya. Seperti gurita besar dengan beribu tangan yang mencengkeram, saat itu kita semua hampir tidak memiliki peluang untuk menghancurkannya. Masyarakat semakin jauh dari harapan memperoleh pelayanan sesuai hak yang dimiliki sebagai warga negara. Pilar-pilar resmi penegakan hukum pada masa itu juga telah terjebak ke dalam sistem penegakan hukum yang koruptif dikarenakan lemahnya kontrol internal maupun eksternal. Akumulasi dari berbagai kecewaan tersebut kemudian menjadi pengikat bagi solidaritas bersama antara masyarakat, mahasiswa, kaum terpelajar dan profesional untuk melakukan gerakan reformasi total pada tahun 1998. Salah satu hal penting yang diharapkan adalah terjadinya perubahan mental dan kultur birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keinginan ini kemudian merangsang beberapa kalangan untuk mendesakkan perlunya pengawasan yang intensif terhadap lembaga birokrasi dan kenegaraan lainnya. Sebutlah misalnya kelahiran Government Watch Indonesia, Judicial Watch, Indonesia Corruption Watch, dan lembaga Watch Dog lainnya yang tersebar di
x
berbagai penjuru Nusantara. Namun demikian pengawasan eksternal yang lebih banyak dilakukan kalangan LSM, Mahasiswa, dan komponen demokrasi lainnya memiliki fungsi terbatas sebagai lembaga pressure yang secara langsung tidak berpengaruh terhadap struktur birokrasi dan kekuasaan. Padahal pada saat yang sama lembaga pengawasan internal yang ada tidak terlalu terlihat kinerjanya secara memadai, bahkan kadangkala bertindak tidak lebih sebagai alat justifikasi dan pelindung pejabat publik yang melakukan penyimpangan. Sebagaimana kita ketahui bersama, tujuan dan cita-cita didirikannya Negara Republik Indonesia tidak lain adalah untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, terwadahi dalam sebuah Negara Republik Indonesia yang membawa rakyatnya pada suasana berkemakmuran dalam keadilan dan berkeadilan dalam kemakmuran. Perjalanan bagi perwujudan keadilan dan kemakmuran tersebut senantiasa harus diawasi pelaksanaannya. Lembaga-lembaga pengawasan fungsional dan struktural seperti Kotak Pos 5000, Pengawasan Melekat, Kantor Inspektorat, BPKP, adalah badan-badan yang dibentuk pada masa lalu untuk melakukan kerja-kerja pengawasan sebagaimana diharapkan. Tetapi lembaga-lembaga pengawasan tersebut masih dipertanyakan independensinya dalam melakukan kerja pengawasan. Mengawasi sebuah sistem yang lembaga pengawasnya sendiri merupakan bagian tidak terpisahkan dari sistem yang sedang diawasi adalah menjadi sangat tidak efektif. Walaupun belakangan ada rencana untuk mengintegrasikan lembaga-lembaga pengawasan tersebut menjadi satu lembaga pengawasan tersentralistik. Kurang optimalnya fungsi pengawasan yang selama ini dilakukan oleh lembaga-lembaga pengawasan yang telah ada kemudian mengilhami pembentukan lembaga pengawas eksternal yang independen dan bebas dari campur tangan kepentingan pihak manapun, tetapi mempunyai akses serta berpengaruh terhadap struktur birokrasi pemerintahan juga lembaga kenegaraan. Lembaga hanya memiliki satu kepentingan yaitu mewujudkan Good Governance. Lembaga itu bernama Ombudsman. Ide pembentukan lembaga Ombudsman juga tidak terlepas dari pertanyaan publik tentang sejauh mana efektifitas dan independen-
xi
sinya seperti halnya juga dipersoalkan terhadap lembaga-lembaga pengawasan sebelumnya. Pertanyaan tersebut merupakan sesuatu yang wajar ditengah-tengah kondisi masyarakat yang sedang mengalami trauma politik dan sosial berkepanjangan. Jadilah pada tanggal 20 Maret 2000 Lembaga Ombudsman resmi dibentuk di Indonesia. Lembaga baru ini secara lengkap bernama Komisi Ombudsman Nasional, berfungsi sebagai lembaga pengawas eksternal yang secara independen akan melakukan kerja-kerja pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan umum yang menjadi tanggung jawab mereka. Hingga saat ini, telah dua tahun Ombudsman di Indonesia berkiprah. Eksistensi sebuah lembaga baru akan dapat teruji apabila ia mampu melewati hari-hari sulit pada masa dua tahun pertama. Demikian juga halnya Komisi Ombudsman Nasional. Selama dua tahun berkiprah, tentu banyak aral melintang yang dialami dan dilalui. Tidak sedikit juga prestasi yang sudah dicapai. Walaupun kalau kita bandingkan dengan begitu banyaknya keluhan tentang penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara, barangkali prestasi tersebut baru seperti setitik embun di padang pasir nan kering. Tetapi, keberadaannya tetaplah sebagai setitik embun yang tidak dapat dihapuskan begitu saja. Buku ini diharapkan dapat memberi gambaran kepada masyarakat tentang perjalanan Komisi Ombudsman Nasional selama dua tahun berkiprah di belantara birokrasi dan pemerintahan Indonesia.
xii
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Langkah Awal Komisi Ombudsman Nasional
Persiapan dan Pembentukannya
I
ndonesia saat ini sedang mengalami masa transisi, diawali dengan tumbangnya rezim Soeharto setelah selama tiga puluh dua tahun lebih berkuasa dan kemudian digantikan B.J. Habibie (1998-1999). Hingar bingar politik saat itu kerap menghiasi halaman depan surat kabar dan majalah setiap harinya. Pemilu yang konon katanya paling demokratis sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia akhirnya mengantarkan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada kursi RI 1 dan Megawati Soekarno Putri di kursi RI 2. Tampaknya duet kepemimpinan Gus Dur dan Megawati saat itu harus menanggung beban politik dan sejarah masa lalu yang cukup berat. Korupsi masih tetap merajalela dan bahkan cenderung tanpa kendali. Penegak hukum juga mengalami kesulitan mewujudkan cita-cita reformasi hukum yang menjadi salah satu agenda reformasi. Partai politik berebut jatah kekuasaan dan akses ekonomi. Masyarakat dan mahasiswa kembali melontarkan kritik atas ketidakmampuan pemerintah membe-
1
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
rantas korupsi dan berbagai penyimpangan yang dilakukan penyelenggara negara. Pemerintah juga semakin kehilangan kewibawaan karena terus menerus terlibat polemik kontroversial sehingga tidak sempat mengurusi kebutuhan dasar masyarakatnya. Dalam kondisi mendapat tekanan masyarakat yang menghendaki terjadinya perubahan menuju pemerintahan yang transparan, bersih dan bebas KKN, maka pemerintahan saat itu berusaha melakukan beberapa perubahan sesuai aspirasi yang berkembang di tengahtengah masyarakat. Salah satunya adalah dengan membentuk sebuah lembaga pengawasan terhadap Penyelenggara Negara, bernama Komisi Ombudsman Nasional. Pagi itu pada awal Nopember 1999, Presiden Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid berinisiatif memanggil Jaksa Agung Marzuki Darusman untuk mendiskusikan tentang konsep pengawasan baru terhadap penyelenggara negara. Diskusi tersebut juga melibatkan calon ketua yang diusulkan Presiden cq Antonius Sujata. Akhirnya pada tanggal 17 Nopember 1999 diadakan pertemuan antara Jaksa Agung Marzuki Darusman, Antonius Sujata dan Presiden RI guna membahas gagasan Presiden RI tentang konsep pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka memberantas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Secara lebih kongkrit konsep tersebut diujudkan dengan membentuk Lembaga Ombudsman di Indonesia. Satu hari kemudian, pada tanggal 18 Nopember 1999, Antonius Sujata diminta oleh Wakil Sekretariat Kabinet memberikan bahan pemikiran mengenai Lembaga Ombudsman tersebut guna persiapan penerbitan Keputusan Presiden. Selanjutnya pada tanggal 16 Desember 1999 Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Nomor 155 Tahun 1999 Tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman tertanggal 8 Desember 1999. Setelah dipelajari, ternyata Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tersebut tidak sesuai dengan hasil diskusi yang telah disepakati sebelumnya antara Presiden Republik Indonesia, Jaksa Agung Marzuki Darusman dan Antonius Sujata. Sebab, dalam diskusi terbatas tersebut, hasilnya merekomendasikan agar Presiden Republik Indonesia segera membentuk Ombudsman sebagai lembaga pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka memberantas
2
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
KKN, tetapi ternyata Kepres Nomor 155 Tahun 1999 hanya membentuk Tim Pengkajian Ombudsman. Jadi lembaganya sendiri belum dibentuk secara konkrit. Hal ini dirasakan Antonius Sujata sebagai sangat lamban sementara desakan masyarakat terhadap perbaikan pelayanan umum dan pemberantasan KKN sudah sedemikian kuat. Oleh karena itu pada tanggal 18 Desember 1999 Antonius Sujata bersama sama Jaksa Agung Marzuki Darusman kembali menghadap Presiden dan memperoleh klarifikasi tentang keberadaan Keppres Nomor 155 Tahun 1999, keduanya tetap pada rekomendasi dari hasil diskusi terbatas yang telah dilakukan sebelumnya. Setelah itu pada tanggal 22 Desember 1999 disusunlah konsep Keputusan Presiden yang baru tentang pembentukan lembaga Ombudsman di Indonesia. Secara maraton pada awal Januari 2000 Konsep Keputusan Presiden tersebut dibahas bersama-sama dengan Asisten Sekretaris Kabinet. Untuk memastikan tidak akan ada lagi perubahan substansi Keputusan Keppres sebagaimana terjadi sebelumnya, pada tanggal 18 Januari 2000, Antonius Sujata sebagai salah satu penggagas pembentukan Ombudsman menemui Sekretaris Kabinet Marsilam Simanjuntak. Saat itu terbersit keraguan di benak Marsilam Simanjuntak apakah nantinya dengan Kepres tersebut Ombudsman dapat dibentuk dan berfungsi secara efektif. Menurutnya yang saat itu diperlukan adalah pembentukan Tim Pengkajian Pembentukan Ombudsman terlebih dahulu. Tetapi mengingat desakan masyarakat dan mahasiswa yang semakin kuat menghendaki pemberantasan KKN dan perbaikan pelayanan umum, agar tidak terkesan bertele-tele Antonius Sujata tetap berpendapat bahwa sebaiknya Presiden langsung membentuk Ombudsman sebagaimana gagasan semula, bukan Tim Pengkajian sebagaimana diusulkan Marsilam Simanjuntak. Dengan catatan bahwa Kepres tersebut memberikan mandat kepada Anggota Ombudsman nantinya untuk menyusun draft RUU Ombudsman Nasional. Namun demikian, apabila Keppres Nomor 155 Tahun 1999 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Lembaga Ombudsman tetap ada maka tugas Tim Pengkajian Ombudsman hanya melakukan sosialisasi dan penyiapan konsep RUU, untuk itu menurut Antonius Sujata akan lebih baik apabila tugas tersebut diserahkan saja kepada Menteri Hukum dan Perundangundangan. Akhirnya konsep pembentukan Ombudsman dituangkan
3
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
melalui Keputusan Presiden. Presiden KH Abdurrahman Wahid saat itu juga mempersiapkan Antonius Sujata sebagai calon Ketuanya. Mengingat pentingnya keberadaan Ombudsman di Indonesia yang sedang mengalami krisis multi dimensi sampai krisis kepercayaan publik, Antonius Sujata mengambil inisiatif untuk menghubungi beberapa figur yang dikenal berdedikasi serta berintegritas, meminta kesediaan mereka menjadi calon Anggota Ombudsman nantinya. Untuk pertama kalinya setelah konsep Keputusan Presiden disepakati, pada tanggal 27 Januari 2000 diadakan pertemuan dengan para calon Anggota Ombudsman yaitu Prof. C.F.G. Sunaryati Hartono, Teten Masduki, Baihaki Hakim, Surachman, APU dan Pradjoto. Dalam pertemuan tersebut dibicarakan antara lain tentang apa dan bagaimana tugas serta wewenang Lembaga Ombudsman di Indonesia nantinya. Selain itu, Prof. Sunaryati Hartono juga sempat menyampaikan gagasan tentang bagaimana mempersiapkan penyusunan Draft RUU Ombudsman. Hasil diskusi dengan beberapa figur calon Anggota Ombudsman tersebut kemudian disampaikan kepada Presiden melalui Sekretaris Kabinet. Pada tanggal 10 Maret 2000 Presiden resmi menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, dengan mengangkat Antonius Sujata sebagai Ketua merangkap Anggota. Salinan Keppres tersebut diterima Antonius Sujata tiga hari kemudian tanggal 13 Maret 2000. Selain Antonius Sujata, Presiden juga mengangkat Prof. Sunaryati Hartono sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota, Teten Masduki sebagai Anggota, KH. Masdar F Masudi sebagai Anggota, RM Surahman, APU sebagai Anggota, Prof. Bagir Manan sebagai Anggota, Pradjoto sebagai Anggota, dan Sri Urip sebagai Anggota. Setelah keluar Keppres Nomor 44 Tahun 2000, pada tanggal 20 Maret 2000, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Ombudsman Nasional dilantik Presiden Abdurrahman Wahid di Istana Negara. Saat itu Indonesia memasuki babak baru dalam sistem pengawasan. Satu-satunya sistem pengawasan yang memiliki jaringan dan dukungan luas dari masyarakat internasional. Sebagai catatan, Baihaki Hakim yang semula menjadi kandidat Anggota Ombudsman akhirnya digantikan oleh seorang profesional, Sri Urip. Adapun Baihaki Hakim kemudian diangkat oleh Presiden sebagai Direktur Utama Pertamina.
4
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Semenjak Komisi Ombudsman Nasional resmi dibentuk, awalnya hanya menempati (menumpang) di sebuah kantor berukuran kecil pada kawasan Sudirman. Pemerintah saat itu semata-mata hanya membentuk Supra Strukturnya berupa Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, adapun Infra Strukturnya seperti gedung, peralatan kantor, dan sebagainya sama sekali belum tersedia. Dengan kondisi seperti itu, para Anggota Ombudsman telah bertekad untuk tetap memulai aktifitasnya. Saat itu Ombudsman hanya dibantu oleh seorang Sekretaris, tepat di hari pertama operasional Ombudsman telah menerima seorang pelapor. Dia adalah Dokter Rudi yang bagi Ombudsman telah ikut berjasa secara tidak langsung mempopulerkan Komisi Ombudsman Nasional. Kebetulan keluhan yang disampaikan juga termasuk signifikan, tidak tanggung-tanggung, ia mengeluhkan tentang dugaan adanya pemalsuan putusan di Mahkamah Agung RI. Setelah kedatangan Dokter Rudi, Ombudsman kerap diliput media masa sehingga masyarakatpun semakin banyak yang mengetahui keberadaannya. Kemudian, mulailah berdatangan berbagai laporan dan keluhan masyarakat terhadap penyelenggara negara, baik yang datang langsung, melalui pos atau juga lewat faksimili. Beberapa minggu kemudian, Komisi Ombudsman Nasional merekrut seorang Asisten Ombudsman. Dan semakin lama keberadaan Komisi Ombudsman Nasional semakin dikenal masyarakat. Dampaknya, laporan juga semakin menggunung, maklumlah saat itu bangsa dan rakyat Indonesia sedang mengalami angin kebebasan untuk berekspresi dan menyampaikan uneg-uneg setelah sekian puluh tahun mereka terbelenggu tanpa tahu harus ke mana mengeluhkan nasibnya. Karena volume kerja yang semakin meningkat, dirasakan perlu memindahkan Kantor Komisi Ombudsman Nasional ke lokasi dan tempat yang relatif lebih representatif. Sementara itu, pemerintah juga belum menyediakan tempat dan anggaran belanja karena memang segala persyaratan adminstratif penganggarannya sedang diurus. Pada sekitar awal April tahun 2000, Ibu Muryati Soedibyo berbaik hati meminjamkan beberapa ruangan di Gedung Mustika Ratu untuk digunakan sebagai Kantor Komisi Ombudsman Nasional. Ruangan di Graha Mustika Ratu relatif lebih memadai dibandingkan gedung sebelumnya. Lokasinya juga tidak terlalu sulit dijangkau
5
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
masyarakat yang ingin menyampaikan keluhannya. Peralatan seperti komputer dan meubeler juga masih meminjam sana sini. Kondisi tersebut sama sekali tidak menjadi penghalang bagi Anggota dan beberapa Staf serta Asisten Ombudsman untuk melakukan kerjanya sehari-hari. Bagi mereka tekad untuk membantu mewujudkan negara yang bersih dan berwibawa (good governance) adalah lebih penting dan tidak harus terhalang oleh minimnya perangkat pendukung. Kegiatan dan aktifitas Komisi Ombudsman Nasional juga tetap berjalan dan bahkan semakin banyak dikenal masyarakat. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Komisi Ombudsman Nasional juga terus secara maraton mengadakan persiapan-persiapan kegiatan guna lebih mensosialisasikan keberadaan Ombudsman Nasional kepada berbagai kalangan. Sampai akhirnya suatu hari datanglah seorang utusan dari The Asia Foundation bernama Zacky Z. Husein. The Asia Foundation melalui Zacky Z Husein menyampaikan keinginannya membantu memajukan Komisi Ombudsman Nasional dengan memberikan donasi. Tidak dipungkiri, kedatangan utusan The Asia Foundation saat itu menjadi sumbu penyulut sebab memang Komisi Ombudsman Nasional sangat membutuhkan dukungan dari berbagai pihak. Kemudian, The Asia Foundation tercatat sebagai lembaga donor pertama yang memberikan bantuannya kepada Komisi Ombudsman Nasional dalam bentuk grant. Setelah kedatangan utusan The Asia Foundation, Komisi Ombudsman Nasional banyak kedatangan tamu asing antara lain Duta Besar Swedia, OSI, AusAid, Dubes Perancis, Kedutaan New Zealand, Australia. Kedatangan mereka menunjukkan bahwa dunia Internasional mendukung keberadaaan Komisi Ombudsman Nasional sebagai bagian dari tatanan pengawasan terhadap penyelenggara negara dalam rangka mewujudkan good governance. Untuk menggali dan memperdalam pengetahuan tentang apa dan bagaimana Ombudsman seharusnya melakukan kerja-kerja pengawasan, dan apa saja prinsip-prinsip Ombudsman yang berlaku universal, para Anggota merasa perlu melakukan berapa kunjungan kerja atau studi banding di beberapa negara yang memiliki Ombudsman. Pertama kali dilakukan pada awal Mei tahun 2000, saat itu salah seorang Anggota Komisi Ombudsman Nasional Sri Urip berkunjung ke Ombudsman di Belanda. Beliau melakukan beberapa pembicaraan
6
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
dan diskusi penting dengan Ketua Ombudsman Belanda. Setelah Anggota Komisi Ombudsman Nasional menyusun serangkaian rencana sosialisasi, pada pertengahan tahun 2000, Komisi Ombudsman Nasional berkesempatan menyelenggarakan sosialisasinya secara terbuka untuk pertama kali dalam bentuk seminar dan lokakarya baik yang sifatnya nasional maupun internasional. Serangkaian seminar dan loka karya diselenggarakan di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Beberapa ahli Ombudsman Internasional terlibat dalam serangkaian seminar dan loka karya tersebut, antara lain Sir Brian Elwood (Ketua Ombudsman New Zealand dan Presiden International Ombudsman Institute), DR. Marten Osting (mantan Ketua Ombudsman Belanda), DR. Claes Eklundh (Ketua Ombudsman Swedia), dan John Ted Wood (Mantan Ombudsman Commonwelth). Pada saat yang sama, di sekitar pertengahan tahun 2000 salah seorang Anggota Komisi Ombudsman Nasional Pradjoto, mengundurkan diri karena kesibukan kerja yang dialaminya di luar Komisi Ombudsman Nasional. Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional semakin diakui di dunia Internasional, walaupun baru beberapa bulan berdiri, berbagai undangan untuk menghadiri even-even Ombudsman Internasional berdatangan, antara lain dalam Konferensi Ombudsman Asia. Menindaklanjuti hal tersebut, pada tanggal 17-20 Juli 2000 Ketua Komisi Ombudsman Nasional dan seorang Anggota menghadiri the 5th Conference of the Asian Ombudsman Association (AOA) di Manila, Filipina. Pada tanggal 10 Oktober ditahun 2000 kembali seorang Anggota Komisi Ombudsman Nasional Prof. Bagir Manan, mengundurkan diri dikarenakan beliau diangkat menjadi Hakim Agung kemudian terpilih sebagai Ketua Mahkamah Agung RI. Selanjutnya keberadaan Profesor Bagir Manan di Mahkamah Agung Republik Indonesia sangat membantu Komisi Ombudsman Nasional, setidaknya dalam rangka mengenalkan kepada para hakim dan pejabat peradilan tentang apa dan bagaimana Komisi Ombudsman Nasional. Semenjak Mahkamah Agung RI dipimpin Profesor Bagir Manan, respon Mahkamah Agung dan Peradilan pada umumnya meningkat, walaupun secara kualitatif setiap respon yang diberikan juga masih harus diuji kualitasnya.
7
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Meningkatnya respon yang diberikan kepada Ombudsman menunjukkan angin segar bagi cita-cita reformasi hukum dan dunia peradilan di Indonesia. Tinggal bagaimana lembaga-lembaga terkait berupaya meningkatkan mutu dan kualitas respon yang diberikan.
Sambutan Masyarakat Dua tahun sudah Komisi Ombudsman Nasional menjalankan tugas pengawasannya. Masyarakat Indonesia menaruh harapan yang begitu besar terhadap Ombudsman. Pada awal tahun pertama misalnya, Komisi Ombudsman Nasional sudah menerima 800 lebih laporan masyarakat hanya dalam masa empat bulan usia berdirinya. Namun demikian disamping banyak yang menaruh harapan ada juga sebagian masyarakat yang apriori terhadap efektifitas kerja pengawasannya. Barangkali ini merupakan imbas dari menipisnya kepercayaan publik terhadap kinerja lembaga penegak hukum dan lembaga pengawas bentukan masa lalu sebagai refleksi kekecewaan terhadap pemerintah. Sehingga masyarakat tetap mengidentikkan Komisi Ombudsman Nasional sebagai kepanjangan tangan pemerintah sebagaimana halnya dengan lembaga-lembaga pengawas yang selama ini telah dibentuk. Dasar pembentukan Komisi Ombudsman Nasional memang baru dengan Keputusan Presiden (Keppres Nomor 44 Tahun 2000). Namun demikian barangkali hanya sedikit masyarakat yang mengetahui bahwa Keppres tersebut memberi mandat kepada Anggota Komisi Ombudsman Nasional untuk menyusun draft RUU Ombudsman sehingga diharapkan ke depan tidak sekadar menjadi Komisi yang bersifat sementara, tetapi sebagai lembaga utuh dan permanen yang para anggotanya dipilih DPR (Parlemen). Saat ini, Draft RUU Ombudsman telah memasuki tahapan pembahasan dan penyempurnaan yang signifikan di Badan Legislasi DPR RI. Dari tanggapan yang beragam di masyarakat, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar masyarakat mendukung dan menghendaki agar Komisi Ombudsman Nasional menjadi semakin efektif dalam menjalankan fungsi pengawasannya. Walaupun tidak dapat dimungkiri pasti ada juga sebagian kecil masyarakat yang menganggap
8
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman belum diperlukan dan sebaiknya dibubarkan saja. Umumnya, tanggapan yang menghendaki Ombudsman dibubarkan datang dari pihak-pihak yang belum memiliki pemahaman menyeluruh tentang apa dan mengapa Ombudsman perlu ada di Indonesia. Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional di Indonesia bahkan telah diakui dan menjadi bagian dari komunitas Ombudsman Internasional. Saat ini, Indonesia telah terpilih dan dipercaya untuk menjadi anggota Asosiasi Ombudsman Internasional dan Ombudsman di negara-negara Asia. Respon masyarakat yang secara positif diberikan kepada Komisi Ombudsman Nasional antara lain juga datang dari seorang Hakim Agung Artidjo Alkostar dan Hakim Agung Laica Marzuki. Bahkan dalam pernyataannya yang dimuat Media Indonesia akhir Juni 2001 Hakim Agung Artidjo Alkostar berharap Komisi Ombudsman Nasional proaktif melakukan penelitian sehubungan dengan kekecewaannya terhadap putusan Mahkamah Agung RI yang membebaskan Terdakwa Skandal Bank Bali. Harapan Hakim Agung Artidjo Alkostar tersebut barangkali merupakan sinyal dari keputusasaan seorang aparat penegak hukum ketika ia merasa bekerja sendiri ditengah belantara hukum Indonesia. Dengan demikian sudah saatnya diperlukan keberadaan lembaga-lembaga eksternal yang dapat membantu melakukan pengawasan sehingga keadilan masyarakat benar-benar dapat wujudkan. Dukungan terhadap keberadaan Komisi Ombudsman Nasional juga disampaikan oleh Guru Besar Tata Negara UI Profesor Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Ia mendukung penegasan Ombudsman Nasional dalam Konstitusi dan dijabarkan lebih lanjut dengan Undang-Undang (UU), tidak sekadar Keppres seperti sekarang (Kompas, 3 September 2001). Dengan demikian kita dapat melihat bagaimana sambutan masyarakat terhadap keberadaan Komisi Ombudsman Nasional setidaknya berasal dari berbagai segmen sosial. Pertama dari segmen akademisi dan guru besar, sambutan positifnya dapat dirasakan bagaimana kampus-kampus selalu membuka diri bekerjasama dalam setiap even ilmiah yang diselenggarakan Komisi Ombudsman Nasional di daerahdaerah. Dari kalangan organisasi sosial dan lembaga swadaya masya-
9
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
rakat, selama ini dukungan dan respon positif diberikan dengan cara menyampaikan/meneruskan keluhan-keluhan masyarakat kepada Komisi Ombudsman Nasional. Untuk membangun lagitimasi sosial, Komisi Ombudsman Nasional terus bertekad melibatkan setiap elemen sosial masyarakat dalam melakukan kerja-kerja pengawasan terhadap penyelenggara negara. Sambutan dari masyarakat luas sendiri sudah jelas. Banyaknya laporan yang masuk kepada Komisi Ombudsman Nasional menunjukkan begitu antusiasnya masyarakat menyambut keberadaan Komisi Ombudsman Nasional. Belum genap dua tahun berdiri, Komisi Ombudsman Nasional telah menerima lebih dari seribu lima ratus laporan masyarakat. Tentu Komisi Ombudsman Nasional terus berusaha memberikan pelayanan kepada masyarakat yang menyampaikan laporannya, setidaknya dengan cara menindaklanjuti setiap laporan dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama. Harapan masyarakat begitu tinggi terhadap Komisi Ombudsman Nasional. Hal ini memerlukan kesabaran tersendiri bagi Anggota, Asisten dan Staf Komisi Ombudsman Nasional untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat tentang apa dan sebatas mana kewenangan pengawasan yang boleh dilakukan Komisi Ombudsman Nasional. Sebagian besar masyarakat selama ini menghendaki agar Komisi Ombudsman Nasional lebih memiliki power. Rekomendasinya harus mengikat secara hukum sehingga mau tidak mau pejabat publik mematuhinya, sebab akan ada sanksi bagi penolakannya. Pandangan masyarakat seperti itu tentu merupakan cermin dari kekecewaaan mereka yang begitu dalam terhadap kinerja penyelenggara negara dalam memberikan pelayanan kepada mereka selama ini. Padahal, hampir di seluruh negara yang memiliki lembaga Ombudsman, kekuatan rekomendasi Ombudsman hanyalah mengikat secara moral. Dalam hal ini masyarakat harus dapat diyakinkan bahwa ada kalanya daya ikat moral itu lebih kuat dari sekedar daya ikat hukum. Bukankah juga ada beberapa putusan Pengadilan yang konon katanya berkekuatan hukum tetapi mendapat resistensi ketika akan dilakukan eksekusi. Artinya, kekuatan hukum bukanlah satu satunya cara atau jaminan untuk melakukan satu perubahan ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, yang menjadi titik terpenting dari segalanya bukanlah daya ikat rekomendasi, tetapi sejauh mana para penyelenggara negara memiliki itikad untuk menindaklanjuti setiap rekomendasi Komisi
10
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman Nasional. Bahkan di beberapa negara, sebagian besar keluhan masyarakat dapat diselesaikan hanya dengan cara menelpon pejabat yang dilaporkan, karena begitu dihormati dan berwibawanya figur seorang Ombudsman di negara tersebut. Kalau di Indonesia rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional masih banyak yang tidak dipatuhi, itu bukan pula karena figur Ombudsman Indonesia, tetapi barangkali sebagai bagian dari dampak latar belakang sejarah masa lalu yang penuh dengan penyimpangan sehingga sudah mengurat mengakar dan sulit diberantas. Menilik hal tersebut rasanya Komisi Ombudsman Nasional masih akan banyak mengalami kendala dalam melakukan pengawasan apabila hanya bekerja sendiri. Oleh karena itu diperlukan dukungan masyarakat dan berbagai pihak yang memiliki kepedulian bersama-sama mewujudkan good governance di Indonesia.
11
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
12
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Landasan Keberadaan
Prinsip Umum Pengaturan Ombudsman
S
istem Ombudsman dewasa ini telah dipakai lebih dari 130 negara di seluruh dunia, sehingga ada pendapat yang menyatakan bahwa sistem ini merupakan kekuasaan baru di luar kekuasaan Yudikatif, Legislatif maupun Eksekutif. Dengan digunakannya sistem Ombudsman ini, secara internasional kemudian dikenal prinsip-prinsip universal sebagai ciri khas, termasuk dalam hal pengaturan perundangan maupun apa yang seharusnya diatur dalam peraturan tersebut. Dasar hukum yang digunakan dalam pemberlakuan Ombudsman disuatu negara bervariasi, mulai dari setingkat Keputusan Presiden sampai pengaturan dalam konstitusi1. Tentu saja semakin tinggi kedudukan peraturan tersebut semakin kuat pula posisi Ombudsman. Kadangkala pengaturan tersebut tidak serta merta dalam konstitusi, namun secara bertahap mulai dari peraturan pada tingkat di bawah konstitusi kemudian 1
Seperti halnya di Belanda , Thailand , Swedia, Finlandia, Denmark, diatur dalam konstitusi namun Indonesia, Nigeria atau Pakistan masih diatur dengan peraturan setingkat Keputusan Presiden dan lain-lain.
13
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
berkembang menjadi bagian dalam konstitusi. Walaupun sudah diatur dalam Konstitusi, untuk pengaturan lebih detil dan teknis biasanya dibuat pengaturan pada peraturan perundangan yang kedudukannya lebih rendah dari Konstitusi (UndangUndang Organik). Pengaturan dalam Konstitusi biasanya hanya bersifat umum saja sebagaimana hasil penelitian 54 konstitusi yang pernah dilakukan seorang konsultan Ombudsman bernama Dean Gotherer2. Pada penelitian tersebut diantaranya menyebutkan pada Konstitusi biasanya pengaturan Ombudsman hanya terdapat dalam dua atau tiga pasal saja, bahkan ada yang hanya satu pasal. Lebih lanjut penelitian itu menemukan bahwa pengaturan dalam Konstitusi hanya meliputi hal-hal sebagai berikut : 1. 2. 3. 4.
Alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman. Perintah pengaturan dalam Undang-undang Syarat-syarat pemberhentian Ombudsman Independensi Ombudsman.
Ombudsman yang didirikan oleh beberapa negara (misalnya Ombudsman Eropa) diatur berdasarkan perjanjian multilateral. Ombudsman Eropa misalnya diatur dan didirikan berdasarkan The European Constitution pasal 195 dimana Konstitusi Eropa merupakan hasil dari perjanjian negara-negara yang tergabung dalam Uni Eropa3. Pasal 195 Konstitusi Eropa berbunyi sebagai berikut :
1.
The European Parliament shall appoint an Ombudsman empowered to receive complaints from any citizen of the Union or any natural or legal person residing or having its registered office in a Member State concerning instances of maladministration in the activities of the Community institutions or bodies, with the exception of the Court of Justice and the Court of First Instance acting in their judicial role. In accordance with his duties, the Ombudsman shall conduct inquiries for which he finds grounds, either on his own initiative
2 3
14
Antonius Sujata dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia ditengah Ombudsman Internasional Sebuah Antologi, Komisi Ombudsman Nasional, Jakarta, 2002 hal 78. Addink, GH, The Appointment of the National Ombudsman, the Internal Organisation of Dutch Ombudsman and Analyses of the European Ombudsman, makalah yang dipresentasikan pada Lokakarya Ombudsman yang diselenggarakan kerjasama antara Universitas Airlangga dan Komisi Ombudsman Nasional Tahun 2000.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
or on the basis of complaints submitted to him direct or through a Member of the European Parliament, except where the alleged facts are or have been the subject of legal proceedings. Where the Ombudsman establishes an instance of maladministration, he shall refer the matter to the institution concerned, which shall have a period of three months in which to inform him of its views. The Ombudsman shall then forward a report to the European Parliament and the institution concerned. The person lodging the complaint shall be informed of the outcome of such inquiries. The Ombudsman shall submit an annual report to the European Parliament on the outcome of his inquiries. 2.
The Ombudsman shall be appointed after each election of the European Parliament for the duration of its term of office. The Ombudsman shall be eligible for reappointment. The Ombudsman may be dismissed by the Court of Justice at the request of the European Parliament if he no longer fulfils the conditions required for the performance of his duties or if he is guilty of serious misconduct.
3.
The Ombudsman shall be completely independent in the performance of his duties. In the performance of those duties he shall neither seek nor take instructions from any body. The Ombudsman may not, during his term of office, engage in any other occupation, whether gainful or not.
4.
The European Parliament shall, after seeking an opinion from the Commission and with the approval of the Council acting by a qualified majority, lay down the regulations and general conditions governing the performance of the Ombudsman»s duties.
Dengan demikian aspek hukum pada Ombudsman sendiri bukan saja meliputi Hukum Nasional melainkan juga meliputi Hukum Regional dikawasan tertentu, bahkan Internasional. Sebenarnya dalam praktek kekuatan Ombudsman tidak saja ditentukan oleh tingkat peraturan saja namun sejauh mana prinsip universal, integritas Ombudsman dan kesadaran penyelenggara negara yang bersangkutan diaplikasikan. Apa saja yang seharusnya diatur dalam peraturan perundangan tentang Ombudsman? Paling tidak hal-hal umum yang perlu diatur
15
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
adalah sebagai berikut : 1.
Tujuan dasar dan urgensi didirikannya Ombudsman
2.
Azas dan nilai-nilai yang menjadi dasar keberadaan Ombudsman
3.
Cara pemilihan syarat-syarat untuk menjadi Ombudsman
4.
Periodisasi Ombudsman
5.
Pemberhentian sebagai Ombudsman
6.
Prevelegi/ hak-hak sebagai Ombudsman
7.
Kewenangan dan yurisdiksi Ombudsman
8.
Daluwarsa laporan
9.
Investigasi berdasarkan laporan maupun atas inisiatif
10. Tata cara pemeriksaan laporan 11. Hubungan Ombudsman dengan Pelapor dan Terlapor 12. Sekretariat 13. Sumber keuangan 14. Laporan Tahunan 15. Hubungan dengan Parlemen Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang Ombudsman harus didukung oleh peraturan-peraturan lain baik tertulis maupun tidak tertulis. Sebagaimana diketahui bahwa output dari Ombudsman berupa rekomendasi yang sifatnya non legally binding namun demikian tidak berarti bahwa rekomendasi tersebut sama sekali tidak mengikat . Tidak mengikat secara hukum dalam konteks ini lebih pada pengertian bahwa rekomendasi Ombudsman tidak dapat dieksekusi sebagaimana halnya putusan pengadilan. Inilah perbedaan substansial antara Ombudsman dengan lembaga peradilan atau lembaga sejenis. Agar rekomendasi Ombudsman kuat dan dapat dilaksanakan maka perlu dikaitkan dengan ketentuan atau peraturanperaturan yang mengatur tentang prinsip umum pemerintahan yang baik. Di Belanda misalnya, keberadaan Undang-undang Ombudsman Nasional tidak terlepas dalam konteks hukum administrasi negara sehingga peranan General Administrative Law (GALA) menjadi sangat penting. Sebagai salah satu syarat umum laporan kepada Ombudsman adalah telah dilakukan upaya oleh Pelapor pada institusi yang dianggap melakukan maladministrasi. Dalam GALA tersebut diatur
16
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
kewajiban penyelenggara pelayanan umum untuk menyediakan semacam unit internal yang akan mengurusi Pelapor untuk menyelesaikan keluhannya. Sanksi terhadap penyelengara «government services» tidak terdapat dalam undang-undang Ombudsman tetapi tersebar dalam peraturan-peraturan lain yang mempunyai relevansi dengan kewajiban-kewajiban untuk mengupayakan pemerintahan yang baik.
Pengaturan Ombudsman di Indonesia Ombudsman di Indonesia didirikan pada tanggal 20 Maret 2000 berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000. Keputusan Presiden tersebut memberi tugas kepada Ombudsman yang telah ditunjuk untuk mempersiapkan Rancangan Undang Ombudsman. Semenjak berdirinya Komisi Ombudsman Nasional para Anggota Ombudsman telah menyiapkan bahan-bahan untuk menyusun draft Rancangan UndangUndang Ombudsman Nasional. Tidak mudah mengumpulkan bahan karena sangat sedikit literatur Indonesia tentang Ombudsman. Para Anggota Ombudsman melakukan penelitian, studi banding ke berbagai negara dalam upaya mendapatkan bahan yang komprehensif. Bahanbahan yang ada juga didapatkan melalui website yang relevan dengan isu Ombudsman. Bahan-bahan tersebut kemudian dikumpulkan dan diformulasikan dalam draft pertama. Draft tersebut kemudian disosialisasikan dan dikaji melalui forum seminar dan lokakarya. Sambutan dan masukan dari masyarakat maupun para ahli membuat draft menjadi semakin baik dan lengkap. Tidak mudah menetapkan format institusi Ombudsman Indonesia yang betul-betul pas, karena Indonesia dapat dikatakan belum memiliki pengalaman mengenai lembaga ini. Hasil studi banding dan kajian dari bebagai negara tentu tidak begitu saja langsung dapat diterapkan di Indonesia. Perlu dipertimbangkan konteks yuridis, sosiologis dan politis di Indonesia sehingga Ombudsman Indonesia diharapkan sesuai dengan realitas di Indonesia. Pada tahun 2001 mulai dilakukan sosialisasi ke daerah-daerah dan hasilnya terjadi perubahan-perubahan signifikan terutama berkaitan pengaturan tentang Ombudsman Daerah. Pada draft awal RUU Ombudsman lebih banyak mengatur tentang Ombudsman Nasional namun akhirnya Ombuds-
17
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
man daerah diatur dalam satu bab tersendiri. Pada Lokakarya Nasional Tentang Ombudsman bulan Pebruari 2002, desakan dan masukan dari peserta yang berasal dari daerah semakin kuat apalagi kemudian DPR Republik Indonesia akan menjadikan Undang-undang ini menjadi hak inisiatif.
Dasar Hukum a . Ketetapan MPR No : VIII/MPR/2001 Pada Sidang Tahunan tahun 2001 Majelis Permusyawaratan Rakyat telah menetapkan Ketetapan MPR No: VIII/MPR/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme. Pasal 2 Ketetapan tersebut berbunyi sebagai berikut: Arah kebijakan pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme adalah :
18
1.
Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2.
Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguhsungguh terhadap semua kasus-kasus korupsi termasuk korupsi yang terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberatberatnya.
3.
Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4.
Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadi korupsi, kolusi dan nepotisme,
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
b.
5.
Merivisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6.
Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi : a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ; b. Perlindungan Saksi dan Korban; c. Kejahatan Terorganisasi; d. Kebebasan mendapatkan informasi ; e. Etika Pemerintahan ; f. Kejahatan Pencucian Uang ; g. Ombudsman
7.
Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan atau /nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Undang-Undang No.25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Pada lampiran Program Pembangunan Nasional Tahun 20002004, Pembangunan Hukum BAB III Pembangunan Hukum, terdapat beberapa argumentasi yang mendasar berkaitan dengan kebutuhan untuk mendirikan lembaga Ombudsman Nasional. Arah kebijakan pembangunan hukum dalam GBHN 1999-2004 yang relevan dengan eksistensi Ombudsman adalah : a.
Menegakkan hukum secara konsisten untuk lebih menjamin kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, supremasi hukum, serta menghargai Hak Asasi Manusia
b.
Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan aparat penegak hukum, termasuk Kepolisian Negara Republik Indonesia.
c.
Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas korupsi, kolusi dan nepotisme dengan tetap menjunjung tinggi asas keadilan dan kebenaran.
Pada matriks Program Nasional pembentukan peraturan perundangan secara eksplisit mencantumkan bahwa ditetapkannya Undang-undang tentang Ombudsman merupakan indikator kerja
19
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Kebijakan Program Pembangunan Hukum tahun 1999-2004. Dengan ditetapkannya penyusunan Undang-undang Ombudsman tersebut maka hal ini menjadi salah satu bagian untuk menilai keberhasilan kinerja Pemerintah.
c.
Keppres No.44 Tahun 2000 Keppres No. 44 Tahun 2000 Tentang Komisi Ombudsman Nasional merupakan dasar hukum bagi operasionalisasi Ombudsman di Indonesia. Pada Keppres ini banyak pengaturan yang masih bersifat umum . Pada Kepres ini kewenangan Ombudsman masih sangat terbatas sehingga ruang geraknya pun sangat sempit. Apalagi Komisi ini, hanya berada di Ibukota Jakarta padahal kewenangannya mencakup seluruh wilayah di Indonesia. Pada Keppres No. 44 Tahun 2000 Bab II pasal 4 disebutkan : Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, Ombudsman Nasional mempunyai tugas : a.
Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman
b.
Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain.
c.
Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d.
Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional.
Dengan dasar pasal ini Komisi Ombudsman menyiapkan sebuah konsep Rancangan Undang-undang Ombudsman Nasional.
Konsep Rancangan Undang-Undang Setelah melalui kajian dan diskusi panjang akhirnya Komisi Ombudsman Nasional memutuskan untuk memberi nama Konsep RUU ini dengan Undang-Undang Ombudsman Republik Indonesia yang meliputi Ombudsman Nasional, Perwakilan Ombudsman Nasional di Daerah dan Ombudsman Daerah. Ombudsman Republik Indo-
20
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
nesia juga disepakati sebagai salah satu lembaga negara. Berdasarkan cara pemilihannya maka Ombudsman Indonesia adalah Ombudsman Parlementer (Parliementary Ombudsman). Beberapa hal yang penting dalam Konsep RUU yang disusun oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah:
1.
Asas, Kedudukan dan Tujuan Ombudsman Republik Indonesia Asas Ombudsman Republik Indonesia adalah kebenaran, keadilan, non-diskriminasi, tidak memihak, akuntabilitas, keseimbangan dan transparansi. Ombudsman Indonesia bersifat mandiri tidak memiliki hubungan organik dengan lembaga negara/daerah serta bebas dari campur tangan kekuasaan lainnya. Tujuan Ombudsman Republik Indonesia adalah : mendorong penyelenggaraan pemerintahan yang bersih baik di pusat maupun di daerah, meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang, membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk pemberantasan dan pencegahan praktek KKN serta meningkatkan budaya hukum nasional.
2.
Tempat Kedudukan, Susunan dan Keanggotaan Ombudsman Nasional berkedudukan di ibukota negara dan bila perlu Ketua Ombudsman dapat membentuk Perwakilan Ombudsman Nasional di wilayah tertentu, sedangkan Ombudsman Daerah berkedudukan di kabupaten atau kota. Ombudsman Nasional terdiri dari Ketua , Wakil Ketua, Anggota Ombudsman. Ketua dan Wakil Ketua Ombudsman dipilih oleh DPR RI dengan masa periode enam tahun dan dapat dipilih satukali lagi, diresmikan (dilantik) oleh Presiden. Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman dibantu oleh Asisten Ombudsman yang diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Ombudsman. Struktur Organisasi dan administrasi di kantor Ombudsman Nasional dikoordinasikan oleh sekretariat yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal. Untuk dapat diangkat atau dipilih sebagai Ombudsman harus memenuhi syarat-syarat: Warga Negara Indonesia
21
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Minimum 40 tahun Sarjana hukum atau sarjana lain yang memahami masalah hukum, kemasyarakatan dan penyelenggaraan negara Profesional dan memegang teguh nilai-nilai kebenaran dan keadilan Mempunyai pengetahuan luas tentang falsafah hidup
3.
Fungsi, Tugas dan Wewenang Ombudsman Republik Indonesia berfungsi mengawasi tugas penyelenggaraan negara untuk melindungi masyarakat berkenaan dengan pelayanan kepada masyarakat. Tugas yang harus dilakukan oleh Ombudsman meliputi kegiatan melayani, menerima dan menindaklanjuti laporan dari masyarakat berkaitan dengan keluhan terhadap pelayanan umum oleh penyelenggara negara, melakukan koordinasi dan kerjasama dengan lembagalembaga negara, lembaga swadaya masyarakat dan badan kemasyarakatan dalam rangka memaksimalkan fungsi, tugas dan wewenang Ombudsman, sosialisasi Ombudsman, mempersiapkan jaringan, organisasi dan tenaga Ombudsman Daerah, melakukan tugas-tugas lain untuk mencapai tujuan Ombudsman Republik Indonesia maupun melakukan investigasi atas inisiatif sendiri. Ombudsman Republik Indonesia berwenang menerima laporan dan mempelajari laporan tersebut apakah termasuk dalam ruang lingkup kewenangan, meminta keterangan secara lisan atau tertulis kepada para pihak, memeriksa dan meminta dokumendokumen serta meminta fotocopy, membuat rekomendasi dan bila perlu mengumumkan kepada publik. Ombudsman juga dapat menyampaikan saran-saran kepada pihak-pihak terkait misalnya Presiden, Kepala Daerah atau DPR dalam rangka perbaikan peraturan atau perbaikan layanan umum. Selain kewenangan di atas Ombudsman menyampaikan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagai tindaklanjut apabila terdapat laporan yang merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.4
4
22
Kewenangan ini merupakan usulan dari Badan Legislasi DPR RI dan masih memerlukan pengaturan lebih lanjut.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
4.
Laporan Yang dapat mengajukan laporan kepada Ombudsman adalah seluruh penduduk dan Warga Negara Indonesia dengan syaratsyarat sebagai berikut: menyebutkan identitas lengkap, menguraikan peristiwa yang dilaporkan secara rinci dan telah mengajukan keberatan kepada instansi atau pejabat yang dikeluhkan.
5.
Mekanisme dan Tatakerja Ombudsman Nasional Mekanisme dan tata kerja meliputi pengaturan tentang keseluruhan proses yang dilakukan oleh Ombudsman dalam menindaklanjuti keluhan, kewajiban Pelapor untuk menyerahkan dokumen serta kerahasiaan pelapor. Ombudsman wajib menolak atau menghentikan laporan bila laporan tidak memenuhi syarat formal misalnya identitas Pelapor tidak lengkap, hanya berupa tembusan, keluhan tidak disertai alasan yang mendasar, perilaku yang dilaporkan tidak cukup beralasan untuk diperiksa, Pelapor tidak diberi kuasa oleh korban, substansi yang dilaporkan sedang dalam pemeriksaan di pengadilan atau instansi yang berwenang, masalah yang dilaporkan sudah diselesaikan oleh instansi yang berwenang, Pelapor tidak menggunakan proses administartif yang disediakan dan aparat yang dilaporkan tidak diberitahu secara patut oleh Pelapor tentang permasalahan yang dikeluhkan sehingga tidak dapat menjelaskan pendapatnya sendiri. Sedangkan Ombudsman dapat menghentikan pemeriksaan bila setelah melakukan pemeriksaan awal ternyata substansi yang dilaporkan merupakan kebijakan umum, perilaku yang dilaporkan sesuai dengan undang-undang yang berlaku, masalah yang dilaporkan masih dapat diselesaikan dengan prosedur administratif, tercapai penyelesaian dengan cara mediasi juga apabila Pelapor mencabut laporannya. Ketika pemeriksaan dilakukan, Ombudsman dapat memanggil para pihak untuk didengar pendapatnya dan melakukan pemeriksaan di bawah sumpah. Dalam pemanggilan tersebut dapat dilakukan upaya paksa dengan meminta bantuan aparat Kepolisian.
23
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
6.
Kewajiban Penyelenggara Negara Salah satu syarat agar laporan kepada Ombudsman dapat ditindaklanjuti, Pelapor harus menyampaikan keberatan terlebih dahulu melalui mekanisme yang disediakan oleh institusi pejabat yang dilaporkan. Masalahnya pada saat ini tidak semua institusi menyediakan mekanisme internal dalam menghadapi keluhan dari masyarakat yang tidak terlayani dengan baik. Pada konsep Rancangan Undang-undang Ombudsman penyelenggara negara diwajibkan memiliki standar prosedur pelayanan umum dan dalam konteks ini Ombudsman dapat memberikan masukanmasukan penyusunannya
7.
Kemandirian Ombudsman Secara eksplisit terdapat pasal yang melarang siapapun untuk mencampuri Ombudsman dalam menjalankan tugasnya. Ombudsman dan Asisten Ombudsman tidak dapat diinterograsi, ditangkap, ditahan atau digugat di muka Pengadilan. Untuk mengeliminir conflict of interest terdapat pengaturan yang menyatakan bahwa Ombudsman dan Asisten dilarang ikut serta memeriksa laporan yang patut diduga menimbulkan konflik kepentingan.
8.
Laporan Berkala dan Tahunan Salah satu ciri Parlianmentary Ombudsman adalah adanya kewajiban menyampaikan Laporan Tahunan kepada Parlemen namun demikian bukan berarti Ombudsman bertanggung jawab kepada Parlemen. Pada Konsep RUU Ombudsman RI diatur penyampaian laporan dimaksud yang meliputi Laporan Tahunan dan Berkala.
9.
Kantor Perwakilan Ombudsman Nasional di Daerah Mengingat kondisi geografis wilayah Indonesia maka Ombudsman Nasional dapat mendirikan Perwakilan Ombudsman Nasional di wilayah tertentu demi memperlancar tugas Ombudsman. Pertimbangan lainnya terkait dengan otonomi daerah itu sendiri, sebab ada kewenangan-kewenangan tertentu yang tidak dilimpahkan kepada daerah otonom. Dalam menghadapi hal ini
24
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
diperlukan kerjasama antara Ombudsman Nasional dan Ombudsman Daerah.
10. Ombudsman Daerah Gagasan diperlukannya Ombudsman Daerah didasari oleh pemberlakuan otonomi daerah. Ombudsman Daerah dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah tentu saja dengan mengacu pada standar umum pada Ombudsman Nasional (mutatis mutandis) begitu pula mekanisme tata kerjanya dan syarat-syarat untuk dapat diangkat sebagai Ombudsman Daerah.
11. Hubungan Antara Ombudsman Nasional dan Ombudsman Daerah Tidak ada hubungan hirarkis antara Ombudsman Nasional dan Ombudsman Daerah melainkan hubungan koordinatif dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya serta dalam menghadapi masalah-masalah lainnya.
12. Sanksi Sanksi dalam Konsep RUU Ombudsman Republik ini menyangkut sanksi pidana dalam hal ada pihak yang mengancam atau mengintimidasi saksi atau Pelapor, penyalahgunaan nama Ombudsman untuk hal-hal di luar yang diatur dalam Undang-Undang Ombudsman RI. Sanksi pidana yang diterapkan dapat berupa denda atau pidana kurungan.
13. Ketentuan Peralihan Komisi Ombudsman Nasional yang didirikan berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000 masih menjalankan fungsinya sebelum Ombudsman baru berdasarkan Undang-Undang dipilih oleh DPR. Dalam waktu dua tahun setelah Undang-Undang dinyatakan berlaku maka susunan organisasi dan mekanisme tata kerja harus menyesuaikan diri dengan Undang-Undang. Segala lembaga yang menggunakan nama Ombudsman dilarang jika lembaga tersebut bukan merupakan Ombudsman Nasional dan Daerah seperti yang diatur dalam undang-undang.
25
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Harapan terwujudnya Ombudsman Indonesia Amanat untuk membentuk Ombudsman di Indonesia sudah mendapat legitimasi dari Ketetapan MPR, PROPENAS dan Keputusan Presiden sehingga menjadi kewajiban semua pihak untuk mewujudkan amanah ini. Komisi Ombudsman Nasional telah berupaya secara optimal untuk memformulasikan gagasan Ombudsman di Indonesia melalui konsep Rancangan Undang-undang Ombudsman Republik Indonesia dan kemudian Dewan Perwakilan Rakyat berupaya mengajukan Rancangan Undang-Undang sebagai usul inisiatif. Partisipasi publik sangat diharapkan demi terwujudnya Ombudsman Republik Indonesia sebagaimana yang diharapkan masyarakat.
26
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Kinerja Ombudsman Nasional
S
ebagai Institusi Publik yang baru terbentuk, pada awal berdirinya Komisi Ombudsman Nasional langsung menerima pengaduan masyarakat. Dengan segala keterbatasan termasuk gedung Kantor yang belum permanen, Komisi Ombudsman Nasional berupaya maksimal untuk menerima dan menindaklanjuti keluhan masyarakat. Pengaduan pertama yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional secara kebetulan mendapatkan pemberitaan luas karena diliput media massa nasional. Hal ini merupakan momentum awal Komisi Ombudsman Nasional sehingga menjadi dikenal masyarakat.
Setelah Presiden RI melantik para anggota Komisi Ombudsman Nasional pada tanggal 20 Maret 2002, maka secara de jure susunan keanggotaan yang terdiri dari Ketua, 1 (satu) orang Wakil Ketua yang masing-masing merangkap sebagai anggota berikut 6 (enam) orang anggota mulai resmi bekerja. Mengingat landasan berdirinya adalah Keputusan Presiden RI, sesuai dengan model Ombudsman di berbagai negara maka Komisi Ombudsman Nasional merupakan Ombudsman Eksekutif.
27
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
TAHUN PERTAMA Sesuai amanat Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000, pembentukan Komisi Ombudsman Nasional adalah dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat. Pejabat Penyelenggara negara yang dimaksud adalah aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam aspek pemberian pelayanan kepada masyarakat. Dalam perkembangannya keluhan masyarakat kepada Komisi Ombudsman Nasional disebut ; Laporan. Sedangkan masyarakat yang melaporkan disebut Pelapor dan pejabat penyelenggara negara yang dilaporkan disebut ; Terlapor. Sebagaimana diuraikan di atas laporan pertama masyarakat yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional yaitu atas nama Kolonel (Purn) dr. R.H, MPH. Substansi yang dilaporkan menyangkut masalah peradilan. Hal yang dilaporkan yaitu putusan lembaga pengadilan pada tingkat Kasasi Mahkamah Agung RI dimana terdapat 2 (dua) putusan Kasasi yang diduga salah satunya palsu. Laporan pertama masyarakat tersebut diterima langsung oleh Ketua Komisi Ombudsman Nasional, berdasarkan laporan tersebut Komisi kemudian menindaklanjuti dengan mengirim surat kepada Mahkamah Agung RI, termasuk menyampaikan dugaan pemalsuan kepada Kepala Kepolisian RI guna dilakukan penyelidikan. Namun hingga saat ini belum diperoleh hasil tindaklanjut oleh Kepolisian. Sesuai informasi yang diperoleh Pelapor, perkaranya saat itu sedang dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung RI. Selanjutnya setelah itu Komisi Ombudsman Nasional menerima keluhan masyarakat dari seluruh Indonesia. Keluhan tersebut disampaikan melalui beberapa cara yaitu : 1.
Masyarakat datang langsung ke Kantor Komisi Ombudsman Nasional
2.
Keluhan disampaikan melalui surat pos/atau pengiriman melalui jasa ekspedisi
3.
Keluhan melalui faximile /telepon (sangat terbatas)
Pada awal berdirinya Komisi Ombudsman Nasional memiliki banyak keterbatasan antara lain staf pendukung yang tidak ada,
28
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
termasuk sarana dan prasarana. Namun dengan segala keterbatasan yang ada para Ombudsman tetap komitmen untuk membangun Institusi Ombudsman agar dikenal masyarakat melalui kinerja dan dedikasi tinggi. Terbukti dari laporan masyarakat pada tahun 2000 (sejak berdiri Maret sampai dengan Desember 2000) sebanyak (1723 atau 80 persen lebih telah tertangani dalam bentuk surat/Rekomendasi kepada instansi Terlapor.5 Menyadari keterbatasan tersebut diputuskan untuk merekrut staf Komisi Ombudsman Nasional guna menambah Sumber Daya Manusia khususnya membantu menangani laporan masyarakat dan staf kesekretariatan. Sebagai institusi publik, dalam menangani keluhan masyarakat Komisi tidak mengenakan biaya atas pelayanan yang diberikan. Semua urusan administrasi Pelapor dilakukan tanpa pungutan apapun. Bersamaan dengan itu Pemerintah Indonesia melalui Sekretariat Negara memberikan anggaran operasional untuk menyewa Gedung sebagai kantor di Jalan Adityawarman 43, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan selama 2 (dua) tahun. Gedung ini ditempati sejak tanggal 22 Nopember 2000. Sebelumnya Komisi Ombudsman Nasional menempati kantor sementara di Wisma Nugra Sentana Jl. Sudirman kemudian pindah ke Mustika Ratu Jl. Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Untuk mendukung kecepatan kerja atas bantuan The Asia Foundation dan Pemerintah Indonesia, Komisi Ombudsman Nasional memperoleh bantuan peralatan kantor berupa beberapa unit Komputer serta peralatan kantor lainnya. Hal ini sangat mendukung kinerja Komisi Ombudsman Nasional khususnya dalam menangani keluhan masyarakat. Mengikuti perkembangan teknologi informasi yang semakin meningkat, untuk menunjang kerja sebuah organisasi maka Komisi Ombudsman Nasional bekerjasama dengan pihak swasta dan atas dukungan dana dari Pemerintah Indonesia pada bulan Nopember 2000 resmi memiliki website sendiri. Masyarakat dapat mengetahui informasi tentang Komisi melalui website tersebut yaitu: www.ombudsman.or.id. Mobilitas Anggota Komisi Ombudsman Nasional dan staf semakin meningkat berkat keberadaan website. Laporan masyarakat dapat disampaikan melalui email dan masyarakat dapat mengetahui 5
Statistik Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional tahun 2000
29
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
perkembangan laporannya hanya dengan membuka email (namun untuk sementara fasilitas ini belum dapat diakses secara penuh karena masih dalam penyempurnaan sistemnya).
Mekanisme dan Landasan Sebagai institusi publik yang bersifat mandiri, Komisi Ombudsman Nasional bersikap independen dalam melaksanakan tugas serta fungsinya. Untuk menunjang kerja secara optimal Komisi Ombudsman Nasional dibutuhkan sistem dan mekanisme yang efisien dan efektif agar sasaran (goal) yang hendak dicapai dapat terwujud. Komisi Ombudsman Nasional memerlukan suatu Visi dan Misi dalam membangun institusi Ombudsman agar menjadi pedoman dasar dalam mencapai tujuan. Tujuan pembentukan Komisi Ombudsman Nasional sebagaimana diuraikan sebelumnya adalah untuk mencegah para penguasa menyalahgunakan wewenangnya atau menyalahgunakan diskresinya ; dan membantu penguasa agar menjalankan kinerjanya secara efektif dan efisien, serta mendorong penyelenggara negara selalu mempertahankan akuntabilitas dan kejujuran.6 Pada bulan September 2000, diadakan rapat kerja Komisi Ombudsman Nasional di Karawaci, Tangerang. Rapat yang diikuti oleh seluruh staf Komisi Ombudsman Nasional dan dihadiri oleh Wakil Ketua Komisi Ombudsman Nasional Ibu Prof. Dr. Sunaryati Hartono, SH dan Anggota Komisi Ombudsman Nasional Ibu Ir. Sri Urip berhasil merumuskan Visi dan Misi dari Komisi Ombudsman Nasional serta Kode Etik Komisi Ombudsman Nasional.
Visi Komisi Ombudsman Nasional 1.
6
30
Menjadi institusi publik mandiri dan terpercaya berasaskan Pancasila yang mengupayakan keadilan, kelancaran dan akuntabilitas pelayanan pemerintah, penyelenggara pemerintahan sesuai asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean governance) serta peradilan yang tidak memihak berdasarkan asas-asas supremasi hukum dan berintikan keadilan.
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional 2000.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
2.
Ombudsman Nasional sebagai Institusi Publik dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat, diangkat oleh Kepala Negara dan diatur dalam Undang-undang Dasar Republik Indonesia sehingga memperoleh kepercayaan masyarakat, dilaksanakan oleh orang-orang dengan integritas serta akuntabilitas yang tinggi.
Misi Komisi Ombudsman Nasional 1.
Mengupayakan secara berkesinambungan kemudahan pelayanan yang efektif dan berkualitas oleh institusi Pemerintah kepada masyarakat.
2.
Membantu menciptakan serta mengembangkan situasi dan kondisi yang kondusif demi terselenggaranya pemerintahan yang baik dan bersih, serta bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
3.
Memprioritaskan pelayanan yang lebih peka terhadap tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dengan memberi pelayanan yang optimal serta membina koordinasi dan kerjasama yang baik dengan semua pihak (Institusi Pemerintahan, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Pakar, Praktisi, Organisasi Profesi, dll).
4.
Menciptakan lingkungan dan suasana kerja dengan komitmen penuh, standar integritas dan akuntabilitas tinggi, yang memberi dukungan bagi keberhasilan Visi dan Misi Ombudsman berdasarkan Pedoman Dasar dan Etika Ombudsman.
5.
Melaksanakan manajemen secara terbuka, serta memberikan kesempatan yang terus menerus kepada seluruh staf untuk meningkatkan pengetahuan serta profesionalisme dalam menangani keluhan masyarakat.
6.
Menyebarluaskan keberadaan serta kinerja Ombudsman kepada masyarakat dalam rangka turut meningkatkan kesadaran hukum Aparatur Pemerintah, Peradilan dan Lembaga Perwakilan Masyarakat, sehingga seluruh Daerah Otonomi Republik Indonesia merasa perlu membentuk Ombudsman di daerah dengan Visi dan Misi yang sama.
31
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Pedoman Dasar Dan Etika 1.
Integritas Bersifat mandiri, tidak memihak, adil, tulus dan penuh komitmen, menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan budi pekerti, serta melaksanakan kewajiban agama dengan baik.
2.
Pelayanan Kepada Masyarakat Memberikan pelayanan kepada masyarakat secara tepat dan efektif, agar mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai institusi publik yang benar-benar membantu peningkatan penyelenggaraan kepentingan masyarakat sehari-hari.
3.
Saling Menghargai Kesejajaran penghargaan dalam perlakuan, baik kepada masyarakat maupun antara sesama anggota/staf Ombudsman Nasional
4. Kepemimpinan Menjadi teladan dan panutan dalam keadilan, persamaan hak, transparansi, inovasi dan konsistensi.
32
5.
Persamaan Hak Memberikan perlakuan yang sama dalam pelayanan kepada masyarakat dengan tidak membedakan unsur, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik ataupun mental, suku, etnik, agama, bahasa maupun status sosial keluarga.
6.
Sosialisasi Tugas Komisi Ombudsman Nasional Menganjurkan dan membantu masyarakat memanfaatkan pelayanan publik secara optimal untuk menyelesaikan persoalan.
7.
Pendidikan yang Berkesinambungan Melaksanakan pelatihan serta pendidikan terus menerus untuk meningkatkan ketrampilan
8.
Kerjasama Melaksanakan kerjasama yang baik dengan semua pihak, memiliki ketegasan dan saling menghargai dalam bertindak untuk mendapatkan hasil yang efektif dalam menangani keluhan masyarakat.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
9.
Bekerja Secara Kelompok Penggabungan kemampuan serta pengalaman yang berbeda-beda dari anggota dan Tim yang mempunyai tujuan yang sama serta komitmen demi keberhasilan Ombudsman Nasional secara keseluruhan.
10. Peningkatan Kesadaran Hukum Masyarakat Menyebarluaskan informasi hukum yang diterima dan diolah oleh Ombudsman kepada lembaga negara, lembaga non pemerintah, masyarakat maupun perseorangan. 11. Profesional Memiliki tingkat kemampuan intelektual yang baik dalam melaksanakan tugas kewajibannya sehingga kinerjanya dapat dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun secara ilmiah. 12. Disiplin Memiliki loyalitas dan komitmen tinggi terhadap tugas kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya. Seluruh unit kerja di Komisi Ombudsman Nasional diharapkan memiliki persamaan persepsi sehingga Visi, Misi serta Kode Etik sebagai landasan pijak tersebut di atas dapat terimplementasi dengan baik dalam menunjang tugas-tugas keseharian. Dalam mewujudkan Visi dan Misinya serta berlandaskan kepada Keputusan Presiden RI, Komisi Ombudsman Nasional perlu memprioritaskan tujuan yang hendak dicapai yaitu tujuan jangka pendek dan tujuan jangka panjang. Adapun tujuan jangka pendek antara lain mengusahakan terwujudnya pemerintahan yang efektif dan bersih dalam memberi pelayanan kepada publik, dilandasi oleh supremasi hukum serta terwujudnya penegak hukum yang profesional dan terpercaya termasuk institusi peradilan yang mandiri, bertanggungjawab, menghormati hak asasi serta mempertahankan persamaan kesempatan dan keadilan bagi semua orang7. Mengupayakan agar Komisi Ombudsman Nasional diakui keberadaannya dan menjadi mitra instansi pemerintah dan peradilan dalam memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat.
7
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional 2000.
33
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Tujuan jangka panjang Komisi Ombudsman Nasional antara lain mewujudkan suatu pemerintahan yang bersih dalam pengertian demokrasi sipil yang didasari oleh asas negara hukum yang dalam pelaksanaannya didukung oleh sistem peradilan yang baik, yang menghormati persamaan di depan hukum, praduga tak bersalah serta menghormati hak diperiksa secara terbuka di depan mahkamah yang bebas dan tidak memihak. Mekanisme kerja yang dilandasi profesionalisme dengan menerapkan manajemen yang baik (transparan dan terpercaya) menjadi pilihan Komisi Ombudsman Nasional dalam operasional kegiatannya.
Proses Penanganan Laporan Masyarakat dan Kategorisasi Sejak awal berdiri, proses penanganan laporan langsung diterima oleh para anggota Ombudsman. Untuk itu dijadwalkan sistem piket para anggota pada setiap hari kerja. Masyarakat yang mengadukan laporannya dengan datang langsung ke Kantor Ombudsman dan memerlukan konsultasi dapat langsung bertemu dengan anggota Ombudsman yang piket pada hari tersebut. Jadwal piket para anggota tidak berlangsung lama sejalan dengan meningkatnya jumlah laporan masyarakat dan kesibukan para anggota. Akhirnya diputuskan penerimaan laporan diserahkan kepada para Asisten Ombudsman termasuk konsultasi masyarakat, walaupun untuk tindaklanjutnya tetap dengan persetujuan para anggota dan Ketua Komisi Ombudsman Nasional. Laporan masyarakat tertentu misalnya yang menjadi sorotan publik termasuk media massa ditangani secara langsung oleh para Ombudsman karena menyangkut kebijaksanaan (policy) Komisi Ombudsman Nasional yang akan diambil dalam kasus tersebut. Tidak semua laporan masyarakat ditindaklanjuti oleh Komisi Ombudsman Nasional. Hal ini tentunya menjadi pertanyaan masyarakat, laporan manakah yang dapat ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional. Laporan yang ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah: 1. 2.
34
Laporan yang jelas identitas Pelapornya. Substansi laporan menyangkut maladministrasi oleh pejabat pemerintahan atau pejabat peradilan.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
3.
Laporan disertai dengan data dan bukti-bukti pendukung.
Model atau sistem penanganan keluhan masyarakat oleh Komisi Ombudsman Nasional diupayakan tidak birokratik dan bertele-tele namun praktis dan bersifat memudahkan masyarakat. Komisi Ombudsman Nasional selalu memberi kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk menyampaikan permasalahannya. Namun Komisi Ombudsman Nasional tidak jarang mendapatkan laporan yang tidak jelas identitasnya atau anonim. Mengingat salah satu asas Ombudsman yang berlaku universal adalah asas kehati-hatian maka terhadap laporan seperti ini (Surat Kaleng) Komisi Ombudsman Nasional tidak dapat menindaklanjutinya. Jika laporan tersebut dianggap penting atau krusial maka akan tetap diperhatikan sebagai informasi. Terhadap Pelapor yang ingin dilindungi identitasnya, atas pertimbangan tertentu Komisi Ombudsman Nasional dapat menjaga kerahasiaan identitas Pelapor. Komisi Ombudsman Nasional juga selalu memberitahukan kepada Pelapor baik melalui surat maupun via telepon untuk melengkapi laporannya manakala berkas laporan yang disampaikan masih kurang jelas, tidak lengkap atau jika laporan yang disampaikan bukan menjadi wewenang Komisi Ombudsman Nasional. Kepada Pelapor akan dilakukan pemberitahuan disertai saran atau penjelasan agar masyarakat memiliki pengetahuan memadai tentang cara-cara menyampaikan laporannya kepada Komisi Ombudsman Nasional. Tidak jarang pula Komisi Ombudsman Nasional menerima tembusan laporan dari masyarakat yang ditujukan kepada institusi tertentu, terhadap tembusan laporan ini Komisi Ombudsman Nasional akan tetap memperhatikan sebagai informasi. Menelaah laporan masyarakat yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat diklasifikasi jenis-jenis penyimpangan dan atau maladministrasi oleh Pejabat Pemerintahan maupun Pejabat Peradilan (Target Group) sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemalsuan/Persekongkolan/Forgery/Conspiracy Intervensi/Intervention Penanganan berlarut/Tidak Menangani/Undue Delay Inkompetensi/Incompetence Penyalahgunaan Wewenang/Berlebihan/Abuse of Power Nyata-nyata Berpihak/Impartiality
35
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Menerima Imbalan (uang, hadiah, fasilitas)/Praktek KKN/Bribery/Corruption, Collution, Nepotism Practices 8. Penggelapan Barang Bukti/Penguasaan Tanpa Hak/ Illegal Possesion and Ownnership 9. Bertindak Tidak Layak/Mislieading Practices 10. Melalaikan Kewajiban/Unfulfill Obligation 11. Lain - lain. 7.
Berdasarkan kategori di atas, sepanjang tahun 2000 penyimpangan yang paling besar prosentasenya adalah menerima imbalan serta praktek KKN yaitu sebanyak 326 laporan dari total 1723 laporan masyarakat8. Dari data ini para anggota Ombudsman berkomitmen untuk secara lebih sungguh-sungguh dan tulus mengemban amanat masyarakat agar praktek KKN dapat dihapuskan dalam tubuh birokrat/penguasa pemerintahan dan pejabat peradilan di Indonesia. Laporan masyarakat (Pelapor) yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional dapat diklasifikasikan asal pelapornya sebagai berikut ; 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Perorangan/Individual Kuasa Hukum/Lawyers Badan Hukum/Legal Persons Kelompok/Organisasi Masyarakat/Non Government Organisation Instansi Pemerintah/Government Institution Lain-lain
Dari kategori Pelapor di atas, dapat diketahui bahwa Pelapor berasal dari berbagai komponen masyarakat. Komisi Ombudsman Nasional akan lebih senang jika anggota masyarakat sebagai korban langsung maladministrasi pejabat publik/penguasa melaporkan permasalahannya sendiri. Namun jika anggota masyarakat tersebut memiliki keterbatasan misalnya karena usia lanjut atau karena alasan lain maka dapat diwakilkan dan atau diwakili oleh Kuasa Hukumnya. Selama kurun waktu tahun 2000 , kategori Pelapor dengan prosentase terbesar adalah Perseorangan/Individual sebesar 1066 orang dari 1723 jumlah Pelapor. Jelas bahwa karena merasakan ketidakadilan masyarakat tidak segan-segan langsung melaporkan permasalahannya kepada Komisi Ombudsman Nasional. 8
36
Laporan tahunan Komisi Ombudsman Nasional 2000
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Instansi publik (pejabat penyelenggara negara) yang dilaporkan sepanjang tahun 2000 dapat diklasifikasi sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Pengadilan/Judiciary Kejaksaan/Public Prosecution Service Kepolisian/Indonesian Police BPN/Agraria/National Land Agency Pemerintah Daerah/Local Government Institution Instansi Pemerintah/Government Institution TNI/Indonesian National Army BPPN/Perbankan/National Banking Restructuring Agency Badan Usaha Swasta, Badan Hukum, Kuasa Hukum/Private Corporation, Legal Persons, Lawyers DPR/DPRD/Indonesia Legislature/Local Representative Council Perorangan/Kelompok Masyarakat/Individual/Non -Government Organisation BUMN/State Corporation Lain-lain
Terlapor (Target Group) yang dikeluhkan masyarakat sepanjang tahun 2000 prosentase terbesar adalah dari lembaga pengadilan yaitu sebanyak 35 % atau 735 laporan dari 1723 laporan yang masuk.9 Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa institusi hukum di negara ini khususnya lembaga Peradilan seharusnya mendapat tempat pertama untuk dibenahi. Selain itu, lembaga penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Kepolisian menempati urutan teratas berikutnya yang banyak dikeluhkan masyarakat. Reformasi di bidang hukum seharusnya segera memperoleh perhatian pemerintah dan terobosan-terobosan untuk pembenahan selayaknya segera dilakukan. Sudah menjadi hal biasa bagaimana masyarakat secara gamblang dapat menjelaskan secara panjang lebar tentang apa yang disebut dengan mafia peradilan ketika mengadukan laporannya. Bukti-bukti berupa rekaman pembicaraan tentang suatu perkara dimana terjadi tawar menawar harga suatu putusan pengadilan dengan pejabat pengadilan bukan merupakan rahasia lagi. Terhadap laporan ini, tindaklanjut Komisi Ombudsman Nasional jarang mendapat tanggapan instasi Terlapor. Ibarat Anjing menggonggong Khafilah berlalu. 9
Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional tahun 2000.
37
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Dalam sistem dan praktek hukum di Indonesia ada kecenderungan bahwa Hakim tidak bisa disalahkan dan dihukum mengenai perkara yang ditangani, sistem ini dilandasi oleh prinsip-prinsip yang mendahulukan independensi dan kepastian hukum dari pada keadilan. Keadilan seharusnya didahulukan, karena itu nilai-nilai kepatutan ataupun kebenaran substansial harus didahulukan dari pada normanorma yang bersifat formal10 Optimisme selalu tetap ada bahwa suara Komisi Ombudsman Nasional melalui Rekomendasi kepada pihak terkait secara pelan tapi pasti akan semakin didengar dan dengan dukungan masyarakat akan lebih memperoleh hasil. Komisi Ombudsman Nasional sependapat bahwa perubahan suatu budaya KKN tidak langsung terjadi tetapi melalui tahapan-tahapan yang pada waktunya akan membuahkan hasil baik.
Kualitas Rekomendasi, Tanggapan Terlapor dan Investigasi Salah satu tolok ukur keberhasilan Komisi Ombudsman Nasional adalah bagaimana Rekomendasi yang diberikan kepada instansi terkait memperoleh tanggapan dan tanggapan tersebut dapat menjawab keluhan Pelapor. Berdasarkan data sepanjang tahun 2000, Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional yang memperoleh tanggapan dari instansi Terlapor sebanyak 494 tanggapan dari total laporan sebanyak 1723 dengan prosentase tanggapan terbesar dari lembaga Pengadilan yaitu sebanyak 50 %.11 Institusi Pengadilan yang paling banyak memberikan tanggapannya adalah Mahkamah Agung RI. Walaupun tanggapan instansi Terlapor belum maksimal sesuai harapan namun secara pasti grafik tanggapan terus meningkat dari waktu ke waktu. Harus diakui pula bahwa dari tanggapan tersebut di atas belum semua menjawab keluhan Pelapor, namun ada beberapa yang memuaskan Pelapor, hal ini dapat dibuktikan dari adanya beberapa ucapan terimakasih yang disampaikan Pelapor kepada Komisi Ombudsman Nasional.
10 Antonius Sujata,SH Prospek Efektifitas Komisi Ombudsman Nasional, makalah Seminar tentang Peranan Komisi Ombudsman Nasional dalam Meningkatkan Pemerintahan yang Baik , Jakarta - Surabaya, 3 , 4 , 6 Juli 2000. 11 Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional 2000
38
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Beberapa faktor yang menentukan keberhasilan suatu Rekomendasi antara lain ; kualitas atau bobot Rekomendasi. Suatu Rekomendasi yang baik tentunya menguraikan secara jelas dan konkrit permasalahan yang dikeluhkan, keluhan didukung dengan bukti dan fakta, Rekomendasi harus tertuju kepada instansi atau pejabat yang berkompeten dengan laporan sehingga Rekomendasi mencapai tujuannya. Isi Rekomendasi selalu menggunakan bahasa yang santun dan jauh dari kesan memvonis instansi Terlapor. Faktor lain yang menentukan adalah bagaimana sikap instansi Terlapor, untuk mau secara sungguh-sungguh mengambil langkah-langkah atas Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional dan mengabarkan hasilnya sebagai bentuk kerjasama dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Tidak jarang Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional ditindaklanjuti oleh instansi Terlapor namun tidak secara resmi dikabarkan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Hal ini diketahui dari informasi Pelapor sendiri. Salah satu hal yang belum dilaksanakan pada tahun pertama keberadaan Komisi Ombudsman Nasional adalah melakukan investigasi. Hal ini sangat penting dilakukan terutama terhadap kasus yang tidak jelas baik bentuk pelanggaran/maladministrasi maupun siapa pelakunya dan penjelasan lain yang diperlukan agar laporan menjadi jelas. Namun demikian investigasi yang dilakukan Komisi Ombudsman Nasional tidak seperti yang dilakukan instansi penegak hukum misalnya Kepolisian dan Kejaksaan. Sifat investigasi Komisi Ombudsman Nasional adalah informal, tidak kaku namun semaksimal mungkin menggali data dari pihak-pihak yang berhubungan dengan laporan. Dari hasil investigasi tersebut Komisi Ombudsman Nasional dapat menentukan tindaklanjutnya atau langkah yang diperlukan. Sebagai contoh awal, investigasi pertama kali dilakukan oleh Ketua Komisi Ombudsman Nasional mengenai kasus yang menyangkut seorang anak mantan petinggi TNI yang terlibat dalam tindak pidana phsikotropika dengan mendatangi teman Tersangka di tahanan pihak berwajib. Hasil investigasi tersebut dijadikan data awal pendukung Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional kepada instansi terkait dengan keterlibatan Tersangka. Investigasi Komisi Ombudsman Nasional dilakukan berdasarkan 2 (dua) hal yaitu investigasi terhadap laporan masyarakat dan inves-
39
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tigasi atas prakarsa sendiri. Investigasi atas prakarsa sendiri dilakukan terhadap kasus-kasus penyimpangan atau maladministrasi yang merugikan masyarakat luas dan kasus-kasus tertentu yang menjadi sorotan publik atau terhadap kasus yang menimbulkan kerugian besar bagi negara.
Kerjasama Kelembagaan dan Sosialisasi Sebagai institusi yang baru berdiri, Komisi Ombudsman Nasional perlu menjalin kerjasama kelembagaan dengan berbagai institusi, baik di dalam maupun di luar negeri agar keberadaannya lebih dikenal dan memperoleh pengakuan institusi lain. Pada bulan Mei 2000, Komisi Ombudsman Nasional telah mengundang beberapa pejabat dari 4 (empat) instansi, yaitu Menteri Dalam Negeri RI, Ketua Mahkamah Agung RI, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI untuk membahas kerjasama menindaklanjuti keluhan-keluhan yang diajukan masyarakat terhadap instansi-instansi tersebut. Hasil dari pertemuan yang dihadiri oleh Jaksa Agung dan Pejabat setingkat Eselon I dari instansi lainnya (Inspektur Jenderal dan Sekretaris Jenderal) disetujui suatu mekanisme ataupun tata cara yang tidak birokratik dan berbelitbelit dalam menangani surat keluhan dengan menunjuk seorang pejabat Eselon II dari masing-masing instansi sebagai pejabat penghubung (Liaisons Officer). Ketua Komisi Ombudsman Nasional dan beberapa anggota juga mengadakan kunjungan ke Mahkamah Agung RI untuk membahas kesepahaman dan meminta klarifikasi secara lisan tentang berbagai hal menyangkut hubungan kerjasama kelembagaan yang lebih baik pada masa-masa mendatang. Kunjungan yang sama juga dilakukan oleh anggota Komisi Ombudsman Nasional kepada Kapolri. Pada kunjungan tersebut, Anggota Ombudsman Drs. Teten Masduki menyarankan agar terhadap laporan-laporan masyarakat yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional menyangkut tindakan maladministrasi oleh Kepolisian. Jika benar adanya maka harus diambil tindakan yang nyata dengan memberikan sanksi. Agar dikenal luas oleh masyarakat Komisi Ombudsman Nasional melakukan sosialisasi dalam bentuk seminar di beberapa daerah di Jakarta, Surabaya, Makassar, Banjarmasin dan Medan. Seminar ini
40
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
juga diadakan dalam rangka persiapan pembentukan Ombudsman Daerah sejalan dengan semangat otonomi daerah yang dicanangkan melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Walaupun keberadaan Komisi Ombudsman Nasional masih diragukan efektifitasnya oleh sebagian kalangan namun tetap berkomitmen dengan meningkatkan kinerja secara sungguh-sungguh. Hal yang dipertanyakan oleh peserta seminar antara lain menyangkut apakah keberadaan Komisi Ombudsman Nasional tidak tumpang tindih dengan fungsi dan tugas lembaga pengawasan yang sudah ada. Kalangan tertentu mengkhawatirkan tugas pengawasan aparatur negara yang selama ini sudah ada akan diambil alih sepenuhnya oleh Komisi Ombudsman Nasional. Salah satu amanat Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 yang menjadi tugas pokok Komisi Ombudsman Nasional adalah mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang Ombudsman Nasional. Bersamaan dengan itu Komisi Ombudsman Nasional mempersiapkan draft RUU dan telah menyampaikan kepada pemerintah dan DPR RI. Kesempatan seminar di beberapa daerah tersebut, dipergunakan juga untuk membahas draft RUU guna mencari masukan penyempurnaan dari berbagai kalangan yang terlibat sebagai peserta atau nara sumber dalam seminar. Masukan berupa kritik dan saran penyempurnaan draft RUU dari berbagai seminar semakin memperkaya khasanah dan wawasan demi perbaikan serta penyempurnaan. Pada bulan Juli 2000, Komisi Ombudsman Nasional menyelenggarakan even yang bersifat internasional yaitu seminar dengan topik Komisi Ombudsman Nasional dan Pemerintahan yang Baik dengan mengundang beberapa nara sumber dari luar negeri yaitu Presiden International Ombudsman Institute (IOI) yang berasal dari New Zealand Sr Brian Elwood, Dr. Claes Eklundh dari Swedia dan 2 (dua) mantan Ombudsman dari Belanda dan Australia. Masing-masing mereka menyampaikan presentasi yang komprehensif tentang konsep Ombudsman. Demikian pula respon yang diberikan oleh para peserta dalam seminar tersebut sangatlah positif. Untuk menjalin kerjasama internasional atas undangan negara sahabat dan biaya dari beberapa Lembaga Donor luar negeri, Ketua, Wakil Ketua Komisi Ombudsman bersama beberapa anggota dan staf
41
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
berkesempatan mengadakan studi perbandingan, seminar dan konferensi ke negara-negara sahabat dalam rangka memperkenalkan Ombudsman Nasional dan mencari masukan tentang institusi Ombudsman dari negara-negara sahabat. Kunjungan ini membawa manfaat nyata berupa diterimanya Komisi Ombudsman Nasional sebagai salah satu anggota asosiasi Ombudsman internasional dan semakin dikenal luas oleh masyarakat Internasional. Negara-negara sahabat bersedia menjalin kerjasama kelembagaan mendukung pengembangan Komisi Ombudsman Nasional melalui sumbangansumbangan dana, pelatihan staf dan bentuk kerjasama konkrit lainnya. Secara umum harus diakui bahwa hasil kerja Komisi Ombudsman Nasional pada tahun pertama dengan sumber daya yang terbatas dapat menjadi landasan dalam beraktifitas lebih lanjut. Dari segi kuantitas banyak laporan masyarakat yang ditindaklanjuti namun secara kualitatif masih perlu ditingkatkan karena hasil yang diperoleh dari tindaklanjut laporan tersebut relatif masih sedikit. Atas kerja keras dan dibawah koordinasi Wakil Ketua Komisi Ombudsman Nasional Prof. Dr. Sunaryati Hartono,SH berhasil merampungkan draft RUU Ombudsman Nasional.
42
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
TAHUN KEDUA Memasuki tahun kedua Komisi Ombudsman Nasional mengalami perkembangan yang sangat berarti. Secara keseluruhan jumlah staf bertambah menjadi 23 orang terdiri dari 7 orang Assisten Ombudsman, 11 orang Staf Kesekretariatan serta 5 orang skuriti. Anggota Komisi Ombudsman Nasional juga ada yang mengundurkan diri karena mendapat tugas baru serta kesibukan lain sebanyak 3 (tiga) orang yaitu Prof. Dr. Bagir Manan, Pradjoto,SH,MA dan Ir. Sri Urip. Dibandingkan dengan negara lain jumlah staf Komisi Ombudsman Nasional memang masih jauh dari ideal. Ombudsman Thailand misalnya, didukung oleh 75 orang personil. Namun dengan jumlah Staf yang terbatas diharapkan seluruhnya akan memberikan yang terbaik kepada Komisi Ombudsman Nasional sesuai keahliannya. Justru karena jumlahnya yang kecil tersebut akan semakin mempermudah koordinasi dan kerjasama team. Perkembangan Komisi pada tahun kedua juga ditandai dengan beberapa hal penting sebagai berikut ; Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tanggal 9 Nopember 2001 mengeluarkan Ketetapan MPR Nomor : VIII/MPR/2001 yang pada intinya berisi mandat kepada Eksekutif dan Legislatif untuk membentuk Undang-Undang Ombudsman sebagai bagian dari upaya pemberantasan KKN menuju kepada Pemerintahan Yang Baik dan Bersih (Good Governance dan Clean Goverment). Rancangan Undang-Undang Ombudsman Nasional telah memasuki proses pembahasan oleh Badan Legislasi DPR. Secara konsultatif tetap memperoleh masukan dari Komisi Ombudsman Nasional. Selama tahun 2001, Komisi Ombudsman Nasional beberapa kali diundang Badan Legislasi DPR guna membahas RUU Ombudsman. Draf RUU Ombudsman diserahkan oleh Komisi Ombudsman Nasional melalui surat tanggal 8 Mei 2002 kepada Pemerintah cq Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia dengan tembusan kepada DPR RI dan Presiden. Pada tahun kedua jumlah keluhan masyarakat mengalami penurunan. Laporan yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional, selama periode tahun 2001 sebanyak 511 dengan kualifikasi Pelapor tertinggi berasal dari perorangan/individual sebanyak 364
43
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
orang atau 71 % dari total laporan12. Hal ini menunjukkan adanya penurunan yang signifikan dibandingkan dengan periode tahun 2000 sebanyak 1723 laporan. Beberapa alasan penurunan laporan tersebut antara lain adalah dikarenakan pada awal berdirinya, masyarakat belum memahami sepenuhnya tugas dan wewenang Komisi Ombudsman Nasional, sehingga dianggap dapat menyelesaikan semua persoalan yang dikeluhkan atau dialami. Eforia terhadap era keterbukaan mendorong masyarakat secara bebas dan leluasa menyampaikan uneg-uneg menyangkut ketidakadilan yang dirasakan selama puluhan tahun. Bahkan ada beberapa laporan masyarakat yang disampaikan menyangkut peristiwa sebelum kemerdekaan dan peristiwa berdarah G30 S PKI, seperti misalnya tentang rehabilitasi nama baik, status kepegawaian sebagai Pegawai Negeri Sipil. Setelah mengetahui keterbatasan wewenang dan tugas Komisi Ombudsman Nasional masyarakat menjadi memahami secara jelas sehingga laporan yang disampaikan lebih selektif. Penurunan jumlah laporan secara internal justru membawa dampak positif, sebab Komisi Ombudsman Nasional dapat semakin mendalami setiap laporan masyarakat untuk kemudian disiapkan tindaklanjutnya. Demikian juga laporan-laporan terdahulu yang belum memperoleh tanggapan instansi Terlapor lebih memperoleh perhatian dengan cara menyurati lagi kepada instansi Terlapor agar memberikan tanggapan. Tidak jarang pula Pelapor menyampaikan laporan lanjutan baik berupa informasi perkembangan masalahnya maupun tanggapan atas tindaklanjut instasi Terlapor. Terhadap laporan ini Komisi Ombudsman Nasional selalu menjadikannya sebagai prioritas penanganan. Kegiatan lain yang dilakukan Komisi Ombudsman Nasional dengan dukungan The Asia Foundation adalah investigasi lapangan terhadap laporan masyarakat. Investigasi dilakukan terhadap beberapa laporan yang dianggap penting baik menyangkut jumlah korban maupun jenis maladministrasi atau jenis penyimpangannya. Mengingat keterbatasan jumlah Investigator dan anggaran yang tersedia, maka untuk pertama kali investigasi dilakukan terbatas di Pulau Jawa, yaitu dalam kasus yang menyangkut masalah pertanahan 12 Laporan Tahunan 2001 halaman 37
44
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
di Yogyakarta, masalah penyelewengan perpajakan/tindak pidana korupsi di Kudus, Jawa Tengah dan masalah ketenagakerjaan di Cilegon, Jawa Barat. Pengalaman investigasi tersebut sangat berguna bagi Investigator dalam melaksanakan investigasi lapangan. Beberapa kegiatan lain yang dilakukan sepanjang tahun 2001 adalah pembahasan program yang belum terlaksana seperti penelitian, peningkatan kerjasama dan hubungan baik dengan berbagai instansi pemerintah/peradilan. Pembahasan penyempurnaan draft RUU Ombudsman Nasional dengan memprioritaskan masukan pada seminar-seminar Ombudsman, baik di Jakarta maupun di daerah-daerah. Pengembangan dan kerjasama institusional dilakukan dalam bentuk seminar/lokakarya sebagai sarana sosialisasi, mengikuti dan menghadiri undangan berbagai even ilmiah, kunjungan dan studi perbandingan, dan menghadiri konferensi internasional. Secara rutin Komisi Ombudsman Nasional juga menyebarluaskan pemahaman tentang Ombudsman melalui leaflet, selebaran (pamphlet), brosur, penerbitan Newsletter bernama Suara Ombudsman, Laporan Bulanan, Laporan Triwulan, Laporan Tahunan dan sebagainya.
Penyelesaian Laporan Masyarakat Berdasarkan Klasifikasi dan Jumlah Laporan Sebagaimana diuraikan sebelumnya, terjadi penurunan jumlah pengaduan masyarakat yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional sepanjang tahun 2001. Namun demikian jika dilihat dari kinerja penanganan laporan, maka ada kenaikan signifikan penanganan laporan. Seratus persen laporan berhasil diproses atau diselesaikan, dengan rincian sebagai berikut ; dari total laporan sebanyak 511 laporan, jumlah terbesar laporan kurang lebih 45 persen yaitu 261 laporan menyangkut pengadilan (dalam semua tingkatan kecuali Pengadilan Militer). Instansi Terlapor yang menempati urutan teratas setelah Pengadilan adalah Kepolisian (66 laporan), Instansi Pemerintah (42 laporan), Pemerintah Daerah (41 laporan), Kejaksaan (39 laporan), Badan Usaha Swasta/Badan Hukum/Kuasa Hukum (28 laporan), BPN/Agraria (26 laporan), BPPN (21 laporan), TNI (14 laporan) dan BUMN (9 laporan).13 13 Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional 2001 halaman 37 - 44.
45
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Klasifikasi laporan serta jenis laporan yang disampaikan sepanjang tahun 2001 yaitu terdiri dari penyimpangan prosedur menempati urutan tertinggi (130 laporan), penundaan berlarut/tidak melakukan pelayanan (98 laporan), penyalahgunaan wewenang (91 laporan), imbalan uang/praktek KKN (78 laporan), dan pemalsuan serta persekongkolan (31 laporan).
Tanggapan Instansi Terlapor sebagai Respon atas Rekomendasi Surat atau Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional kepada instansi/pejabat Terlapor sepanjang tahun 2001 secara umum belum memperoleh tanggapan yang memuaskan. Dari 381 Rekomendasi/permintaan klarifikasi yang disampaikan, hanya 201 laporan memperoleh tanggapan. Mengatasi hal tersebut Komisi Ombudsman Nasional melakukan langkah-langkah jangka pendek dan jangka panjang sebagai berikut:
a . Tujuan Jangka Pendek Agar instansi Terlapor (target group) dapat menerima keberadaan Komisi Ombudsman Nasional dan menyadari, bahwa disaat ini kinerja mereka diawasi dan dipantau terus oleh sebuah lembaga masyarakat, yakni Komisi Ombudsman Nasional. Guna mendukung hal ini dilakukan hal-hal berikut :
46
1.
Kunjungan berkala kepada instansi-instansi Terlapor yang telah menerima Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional guna memantau dan mencari solusi bersama, sehingga tingkat penyelesaian (clearence rate) laporan menjadi lebih maksimal, baik secara kualitas maupun kuantitas. Disamping itu agar instansi-instansi yang bersangkutan menyadari, bahwa sebenarnya kesungguhan mematuhi Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional justeru akan mengangkat citra dan kredibilitas serta wibawa mereka di mata masyarakat.
2.
Penyusunan Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding) dengan lembaga pemerintahan atau kenegaraan serta instansi penegak hukum termasuk peradilan, dan instansi publik lainnya untuk meningkatkan komitmen
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
mereka dalam menindaklanjuti Rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional.
b.
Tujuan Jangka Panjang Agar pemerintahan yang baik (good govenrnance) dapat terwujud di Indonesia disertai peradilan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia dan asas pemeriksaan yang adil dan terbuka oleh suatu peradilan yang bebas dan tidak memihak.14 Diharapkan dengan tujuan tersebut, Komisi Ombudsman Nasional akan lebih fokus dalam meningkatkan kinerjanya sehingga masyarakat memperoleh pelayanan sebaik-baiknya dari pejabat pemerintahan dan peradilan dapat terwujud.
Kerjasama Internasional Salah satu ciri negara demokrasi adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat warga negaranya. Manakala hak-hak warga tidak memperoleh tempat sebagaimana mestinya, maka negara perlu memberikan jaminan perlindungan. Salah satu institusi publik yang diharapkan dapat menjamin serta memperjuangkan hak warga negara, khususnya dalam memperoleh pelayanan umum adalah Ombudsman. Oleh karena itulah oleh beberapa pakar Ombudsman digolongkan sebagai salah satu pilar demokrasi. Dewasa ini institusi Ombudsman telah berkembang di seluruh dunia lebih dari 130 negara. Negara asal mula Ombudsman adalah Swedia yaitu telah membentuk Ombudsman sejak 1809. Ada beberapa jenis Ombudsman yang berkembang, tetapi sebagian besar berbentuk Ombudsman Parlementer (Ombudsman yang dipilih oleh Parlemen). Beberapa negara bahkan telah memasukkan pengaturan Ombudsman dalam Konstitusi negaranya (Belanda, Thailand). Komisi Ombudsman Nasional telah pula mengirim surat kepada Ketua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR untuk mengusulkan dimasukkannya ketentuan Ombudsman dalam Undang-Undang Dasar. Eksistensi Ombudsman akan lebih terjamin, serta kemandirian dan independensinya pun akan lebih terpercaya apabila diatur melalui 14 Laporan Tahunan Komisi Ombudsman Nasional Tahun 2001 halaman 8 - 12.
47
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Konstitusi dan UU. Seperti diuraikan sebelumnya Rancangan UndangUndang Ombudsman Nasional diproyeksikan akan menjadi usul inisiatif DPR RI melalui pintu Badan Legislasi. Namun demikian agar cepat diundangkan, secara intensif Komisi Ombudsman Nasional terus mengikuti perkembangannya termasuk memberikan saran serta pendapat yang komprehensif sehingga makna filosofis dan tujuan pokok yang terkandung di dalam Undang-Undang Ombudsman Nasional nantinya tidak menyimpang dari harapan dan asas-asas umum Ombudsman diseluruh dunia. Pada tahun kedua perjalanannya, Komisi Ombudsman Nasional telah memperoleh dukungan luas dari dunia Internasional. Hal ini terbukti dari kunjungan beberapa Duta Besar Negara sahabat, Organisasi Internasional, termasuk undangan untuk menghadiri beberapa kegiatan yang bersifat internasional antara lain ; Konferensi Perhimpunan Ombudsman Asia (AOA) di Tokyo serta mengikuti Program Pengkajian Khusus tentang institusi dan Peranan Ombudsman di London, Inggris. Sebagai institusi publik yang dibutuhkan perannya di dalam masyarakat yang sedang mengalami degradasi kepercayaan terhadap institusi pemerintahan dan penegak hukum, Komisi Ombudsman Nasional dituntut memberikan hasil nyata dan kinerjanya yang optimal. Untuk mendukung hal tersebut salah satu hal mendasar yang dibutuhkan adalah anggaran operasional kegiatan yang memadai. Anggaran seharusnya berasal dari negara, namun mengingat keterbatasan pemerintah Komisi Ombudsman Nasional menjalin kerjasama dengan beberapa Lembaga Donor antara lain The Asia Foundation yang telah memberi kontribusi nyata dalam program-program Komisi Ombudsman Nasional. Pada tahun kedua keberadaan Komisi Ombudsman Nasional, The Asia Foundation tetap melanjutkan komitmennya dalam memberikan bantuan. Komisi Ombudsman Nasional juga menjadi pemrakarsa persiapan pembentukan Ombudsman Daerah berbagai wilayah di Indonesia. Kegiatan ini merupakan salah satu program yang didukung oleh UNDP (United Nation Development Program) sebuah lembaga yang menyalurkan bantuan dari beberapa Negara Donor yang menjadi anggota Patnerships for Good Governance Reform in Indonesia.
48
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Pemerintah Australia melalui AusAid juga memberikan komitmennya. Pada tahun 2002 AusAid membiayai program pelatihan investigasi bagi para Ombudsman dan Asisten Ombudsman. Diharapkan dengan anggaran yang memadai dapat mendukung kegiatan Komisi Ombudsman Nasional, baik yang bersifat rutinitas yaitu menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat, kerjasama kelembagaan, peningkatan kemampuan Sumber Daya Manusia maupun kegiatan kegiatan lain yang bersifat insidentil dalam rangka pengembangan Komisi Ombudsman Nasional.
49
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
PERINGATAN DUA TAHUN OMBUDSMAN NASIONAL Peringatan dua tahun berdirinya Komisi Ombudsman Nasional diselenggarakan dengan suatu Seminar Sehari tepat pada hari ulang tahun tanggal 20 Maret 2002 dengan tema: Peranan Ombudsman dalam Reformasi Birokrasi. Bersamaan itu juga dilakukan kegiatan Peluncuran Buku berjudul Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional, sebuah Antologi. Dua kegiatan tersebut terkait satu sama lain karena Ombudsman Indonesia yang lahir pada Era Reformasi pada hakekatnya merupakan bagian sekaligus menjadi tujuan sentral terselenggaranya Reformasi Birokrasi. Seberapa jauh peran yang diberikan oleh Ombudsman serta asas-asas apa yang melandasi dan ataupun mempedomani Reformasi Birokrasi, secara garis besar diuraikan dalam buku Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional. Justru karena itu dalam seminar tersebut Komisi Ombudsman Nasional telah menghadirkan 3 (tiga) pakar yang kompeten serta mengundang berbagai komponen masyarakat. Ketiga pembicara tersebut adalah: 1. 2.
3.
Pichet Soontornpipit, Ketua Ombudsman Thailand dengan makalah: Ombudsman under the Constitutions of Thailand. Prof. Dr. Astrid Susanto, Pakar Komunikasi dengan makalah: Memperkuat Sistem Pengawasan Masyarakat melalui Kebebasan Informasi. Dr. A.B. Susanto, Pakar Manajemen dengan makalah: Reformasi Menajemen Birokrasi dikaitkan dengan Peran Ombudsman.
Kehadiran Ombudsman Thailand dalam acara tersebut sangat penting bagi kita untuk memberikan berbagai pengalamannya oleh karena Ombudsman Thailand sebenarnya lebih muda dari Ombudsman Indonesia. Secara resmi Ombudsman Thailand didirikan pada tanggal 1 April 2000, jadi sepuluh hari setelah Ombudsman Indonesia berdiri. Namun mereka telah mempersiapkannya lebih dari tiga tahun dan yang pasti lebih kokoh dari kita, Ombudsman Thailand telah masuk dalam Undang-Undang Dasar.
50
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1.
Section 196 Constitution of Thailand 1997:
The Ombudsmen shall not be more than three in number, who shall be appointed, by the King with the advice of the Senate, from the persons recognized and respected by the public, with knowledge and experiences in the administration of the State affairs, enterprises or activities of common interest of the public and with apparent integrity. The President of the Senate shall countersign the Royal Command appointing the Ombudsmen. The qualifications, prohibition, selection and election of the Ombudsmen shall be in accordance with the organic law on Ombudsman. The Ombudsmen shall hold office for a term of six years as from the date of their appointment by the king and shall serve for only one term. (Pasal 196 Konstitusi Thailand 1997: Ombudsman tidak lebih dari 3 orang dan diangkat oleh Raja atas saran Senat. Mereka adalah orang-orang yang dikenal masyarakat dan memperoleh kepercayaan publik, karena pengetahuan dan pengalamannya dalam pemerintahan, perusahaan ataupun kegiatan kemasyarakatan serta memiliki integritas. Ketua Senat dan Raja menunjuk Ombudsman. Kualifikasi, kewajiban, larangan, serta tata cara pemilihan Ombudsman Thailand juga didasarkan atas Undang-Undang tentang Ombudsman. Ombudsman melaksanakan tugasnya selama 6 tahun sejak diangkat oleh Raja dan hanya diangkat oleh Raja dan hanya untuk sekali masa jabatan). 2.
Section 197 The Constitution of Thailand 1997: The Ombudsmen have the power and duties as follow:
1)
To Consider and inquire into the complaint for fact-finding in the following cases: a Failure to perform in compliance with the law or performance beyond powers and duties as provided by the law of a Government official, an official or employee of a state agency, state enterprise or local government organisation; b Performance for or mission to perform duties of a Government official, an official or employee of a state agency,
51
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
c 2)
state enterprise complainant or the public whether such act is lawful or not; Other cases as provided by law.
To prepare reports and submit opinions and suggestions to the National assembly.
(Pasal 197 Konstitusi Thailand 1997: Ombudsman memiliki wewenang dan kewajiban sebagai berikut: 1)
Mempertimbangkan serta menyelidiki keluhan guna menemukan fakta mengenai hal-hal sebagai berikut : a. Pegawai pemerintah atau pejabat Negara, pejabat perusahaan Negara, atau Pejabat Pemerintah Daerah tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diwajibkan ataupun ditentukan oleh Undang-Undang. b. Pegawai Pemerintah atau Pejabat Negara, Pejabat Perusahaan Negara, atau Pejabat Pemerintah Daerah melakukan perbuatan atau kelalaian sehingga mengakibatkan/menyebabkan cedera pada pelapor/masyarakat tanpa mempertimbangkan apakah perbuatan/kelalaiannya itu berdasarkan Undang-Undang atau tidak. c. Kasus-kasus lain yang ditentukan oleh Undang-Undang.
2)
Menyiapkan laporan serta memberi pertimbangan dan saran kepada Dewan Nasional).
Pengalaman Thailand sangat berarti bagi Indonesia karena saat ini di seluruh dunia sudah lebih dari 50 negara mencantumkan institusi Ombudsman dalam Konstitusi. Justru karena itu Komisi Ombudsman Nasional pada tanggal 12 September 2001 telah mengirim surat kepada Ketua Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR untuk memasukkan Ombudsman dalam Undang-Undang Dasar. Beberapa pertimbangan yang melandasi usulan tersebut adalah: Pertama, dengan mengutip pendapat seorang Sarjana Hukum Belgia, André Molitor, yang menyatakan bahwa oleh karena rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, lembaga ini merupakan Magistrature of Influence (Mahkamah Pemberi Pengaruh) bukan Magistrature of Sanctions. (Mahkamah Pemberi Sanksi). Efesiensinya sangat tergantung pada
52
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
kemampuannya melakukan persuasi, kewenangannya yang diberikan kepadanya, serta bobot dan kualitas rekomendasinya. Oleh sebab itu, suatu Ombudsman Nasional harus diberi landasan konstitusional, yaitu dengan dicantumkannya di dalam UUD. Adapun alasannya menyangkut dua hal, yaitu agar: (1) hak para warga dalam memperoleh perlindungan dari lembaga semacam Ombudsman mendapat pengakuan konstitusi (constitutional recognition); (2) Lembaga Ombudsman sendiri memperoleh landasan konstitusi (constitutional basis). Kedua, dalam sistem demokrasi yang menjunjung asas negara hukum (rule of law), yang salah satu elemennya adalah supremasi hukum, yang dilengkapi dengan sistem pengawasan/kontrol dan keseimbangan (checks and balances), sehingga dengan sendirinya Lembaga Ombudsman perlu diberi landasan konstitutional, yaitu dengan dicantumkannya dalam UUD. Dalam hubungan ini, menurut Montesquieu, bukan sekedar UU, melainkan harus UUD yang digunakan, dalam melakukan pengawasan/kontrol (check) terhadap pemerintahan berdasarkan pemisahan kekuasaan (separation of powers). Ombudsman Nasional Indonesia tidak dapat diragukan lagi merupakan salah satu pengawas/pengontrol (checks) yang dimaksud, sehingga dicantumkannya dalam UUD akan memperkokoh stabilitasnya. Ketiga, seorang Pakar Ombudsman dari California Amerika Serikat, Dean Gottehrer telah meneliti sebanyak 50 konstitusi yang mencantumkan lembaga Ombudsman dalam dua atau tiga pasal, bahkan tidak sedikit hanya dalam satu pasal saja, menandaskan bahwa pengaturan konstitusi itu hanya meliputi empat hal, yaitu: (1) (2) (3) (4)
Alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman, Perintah pengaturan lebih lanjut dalam Undang-Undang Syarat-syarat pemberhentian Ombudsman, dan Independensi Ombudsman.
Menurut Gottehrer, alasan atau tujuan pembentukan Ombudsman dimaksudkan untuk mencegah terjadinya ketidakadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan terhadap perorangan. Sedangkan, perintah pengaturan lebih lanjut dalam suatu Undang-Undang (lebih
53
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
baik lagi suatu UU Organik tentang Ombudsman) adalah untuk merinci tugas, kekuasaan, dan pertanggungjawaban Ombudsman menurut undang-undang. Mengenai pemberhentian Ombudsman diperlukan suara mayoritas yang besar pula dan hanya atas dasar yang sangat terbatas, yaitu manakala Ombudsman tidak mampu lagi menjalankan jabatannya, baik karena kesehatan jasmani maupun rohani atau sebab lain yang diperinci, biasanya karena berperilaku yang sangat tercela. Akhirnya, di dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, Ombudsman harus independent. Artinya, tidak ada seorang pun atau satu institusi apapun yang boleh mempengaruhi, mengintervensi, apalagi mendikte Ombudsman di dalam menjalankan tugasnya. Keempat, lembaga Ombudsman yang berasal dari Swedia (1809) melalui Finlandia (1911) dan Denmark (1954) memang didirikan guna memberantas maladministrasi (maladministration) dan praktekpraktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), baik di kalangan aparatur Pemerintah (Public Administration), Birokrasi (Bureaucracy) maupun Peradilan (Judiciary), agar aparat Pemerintah, Birokrasi, dan Peradilan tadi (termasuk Polisi, Jaksa, Panitera, Hakim, dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan) senantiasa memperhatikan asasasas pemerintahan yang baik (good governance), supremasi hukum, keadilan (fairness) dan sikap santun, karena tindak-tanduknya selalu dipantau dan diawasi Ombudsman. Kelima, Komisi Ombudsman Nasional yang sudah berdiri dua tahun, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000, nampaknya seperti institusi-institusi baru lain di Indonesia (Komnas HAM, KPU, dan lain-lain), baru dianggap sebagai institusi bantuan (auxiliary agency), bukan institusi utama (principal agency) yang sangat vital terutama di abad ke 21 ini yang merupakan abad globalisasi dan terutama bagi sebuah negara seperti Indonesia, di mana maladministrasi dan KKN sedang merajalela. Komisi ini tidaklah terlalu jauh berbeda dari Lembaga Ombudsman lain di 106 negara, yaitu merupakan salah satu pilar utama ataupun simbol pemerintahan yang demokratis serta menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia. Adapun tugas pokok Komisi Ombudsman Nasional berdasarkan Keppres No. 44 Tahun 2000 adalah:
54
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
(1) Melayani keluhan masyarakat atas keputusan atau tindakan penyelenggara negara dan pemerintah yang dirasakan tidak adil, tidak patut, merugikan atau melawan hukum. (2) Meningkatkan pengawasan terhadap institusi dan instansi pemerintahan, termasuk peradilan, dengan memberikan klarifikasi, informasi dan rekomendasi kepada instansi terlapor yang diikuti dengan pengawasan terhadap pelaksanaan rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional. Keenam, sesuai dengan pengaturan di lebih 50 UUD di dunia seperti antara lain dalam Konstitusi-konstitusi Swedia, Finlandia, Denmark, Norwegia, Spanyol, Belanda, Yunani, Afrika Selatan, Filipina, Taiwan dan Thailand, Komisi Ombudsman Nasional menganggap perlu agar dalam Konstitusi Indonesia pun dicantumkan dan diatur tentang Ombudsman Nasional. Sementara itu, dalam Seminar Tentang Pengaturan Ombudsman Nasional dalam UUD yang diadakan oleh Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi dan Supremasi Hukum pada tanggal 31 Agustus 2001 lalu, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH berpendapat dan menyarankan kiranya Ombudsman Nasional dapat dicantumkan dan diatur dalam BAB (baru) UUD 1945 mengenai Lembaga-lembaga Pengawasan. Sementara itu hubungan antara Ombudsman dengan kebebasan informasi dapat disimak dari praktek yang berlaku di negara-negara tertentu di mana Ombudsman berperan dalam menyelesaikan keluhan mengenai informasi. Pada tanggal 1 Juli 1983 Selandia Baru memberlakukan UndangUndang tentang Informasi Resmi 1982 (The Official Information Act 1982). Rancangan Undang-Undang ini disiapkan oleh suatu panitia yang dipimpin oleh Sir Alan Dank. Karena itu, kepanitiaan tersebut dinamakan Danks Committee. Menurut Sir Allan Danks, setiap informasi semestinya dapat diberikan atas permintaan masyarakat, kecuali kalau tidak masuk akal. Berdasarkan Undang-Undang tersebut, lembaga yang memiliki prioritas untuk memperoleh informasi adalah Ombudsman karena institusi ini menangani kasuskasus yang berkaitan dengan informasi.15 Di Australia, keluhan-keluh15 Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, halaman 258, Penerbit Djambatan, Jakarta 2000.
55
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
an masyarakat terkait dengan upaya untuk memperoleh informasi juga dapat disampaikan kepada Ombudsman. Justru karena itu Prof. Dr. Astrid Susanto mengatakan bahwa semestinya Ombudsman dapat berperan ataupun memperoleh kewenangan dalam menghadapi permasalahan-permasalahan mengenai kebebasan untuk memperoleh informasi. Peran Ombudsman menghadapi informasi sebagaimana tersebut di atas sebenarnya tidak terlepas dari fungsi informasi itu sendiri sebagai sarana dalam mewujudkan transparansi. Sedangkan transparansi merupakan salah satu landasan dasar bagi keberhasilan manajemen birokrasi. Negara-negara maju yang tergabung dalam Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 1998 telah memformulasikan 4 (empat) prinsip Good Corporate Governance yaitu Fairness, Transparancy, Accountability dan Responsibility. Keempat prinsip tersebut merupakan landasan bagi Ombudsman yang bersifat Universal, termasuk tentunya Ombudsman Indonesia.
56
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Beberapa Kasus Menonjol
S
alah satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan Komisi Ombudsman Nasional adalah peran serta masyarakat yang menyampaikan laporan atau informasi tentang penyimpangan atau maladministrasi oleh pejabat pemerintahan maupun Peradilan. Selama kurun waktu 2 (dua) tahun Komisi Ombudsman Nasional telah memperoleh sambutan positif dari masyarakat. Hal ini secara sepintas dapat dilihat dari banyaknya jumlah laporan masyarakat yang disampaikan kepada Komisi Ombudsman Nasional sehingga mencapai dua ribuan lebih. Jumlah tersebut yang berasal dari perseorangan/individual yang dalam hal ini menempati prosentase terbesar yaitu sebanyak 1430 laporan. Dari data jumlah laporan diketahui bahwa persentase terbesar dari substansi yang dilaporkan adalah menyangkut ketidakadilan sehingga masyarakat merasa tidak puas atas pelayanan pejabat pemerintahan atau peradilan. Dengan demikian, perhatian dan titik berat Komisi Ombudsman Nasional adalah bagaimana mendorong Penyelenggara Negara agar memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan
57
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
pelayanan dan keadilan yang semestinya diperoleh. Ada sebuah ilustrasi yang mungkin menjadi dambaan masyarakat. Pada jaman dahulu kala nun jauh di sebuah negara yang bernama Entah Berentah hidup seorang raja nan adil dan bijaksana. Seluruh rakyat negeri tersebut sangat mencintai Rajanya, semua warga diperlakukan sama dihadapan raja, (karena titah raja adalah peraturan yang harus ditaati serta dijunjung tinggi). Pada suatu ketika anak sang Raja yakni putra mahkota, yang dipersiapkan akan menggantikan jabatan sang Raja apabila meninggal atau mengundurkan diri melakukan perbuatan tercela yakni mencuri. Peraturan negara kerajaan tersebut mengharuskan setiap warga yang ketahuan melakukan perbuatan mencuri akan dicungkil kedua biji matanya. Ketika Raja mendengar hal tersebut menjadi risaulah hatinya namun peraturan harus tetap ditegakkan karena siapapun dia dihadapan hukum adalah sama. Pada saat hari penghakiman bagi sang putra mahkota, raja membuat keputusan yang sangat mengejutkan yakni tetap mencungkil biji mata sang putra mahkota namun hanya sebelahnya sedangkan untuk melengkapi biji mata tersebut sang raja mencungkil salah satu biji matanya sendiri sebagai gantinya sehingga anaknya masih dapat melihat dengan sebelah matanya. Ada dua hal yang dapat dipetik dari ceritera atau ilustrasi di atas yaitu keadilan tetap ditegakkan walau apapun resikonya dan tanda cinta seorang ayah kepada anaknya. Konteks ceritera tersebut memang belum tentu pas atau sesuai jika diterapkan pada saat sekarang di negara manapun, namun makna yang dapat diambil dari ceritera di atas adalah peraturan berlaku bagi siapa saja atau hukum diperlakukan sama dihadapan semua orang. Negara kita adalah negara yang berdasarkan hukum oleh karenanya ilustrasi di atas masih relevan maknanya bagi negara kita. Namun menjadi pertanyaan masyarakat pencari keadilan di negara ini apakah keadilan masih tetap berpihak kepada kebenaran? Tidak terhitung protes/keluhan warga masyarakat atas ketidakadilan yang diperolehnya baik itu ketika berurusan dengan pejabat pemerintahan maupun peradilan termasuk putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Kita juga tidak menutup mata terhadap sebagian lagi pejabat pemerintahan maupun pengadilan yang relatif bersih
58
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
dan jujur serta masih mempergunakan hati nuraninya dalam mengemban jabatan yang diamanatkan negara namun jumlahnya masih sangat terbatas. Kasus-kasus penggusuran secara paksa terhadap masyarakat yang menempati lahan/tanah tanpa ganti rugi yang layak sudah umum terjadi. Hanya dengan dalih pembangunan sarana umum yang jauh dari kepentingan rakyat banyak, pemerintah tidak segan-segan menggunakan cara-cara yang tidak terpuji untuk menggusur warga. Bagaimana seorang petani kecil di pedalaman pulau Sumatera yang untuk membiayai kehidupan sehari-haripun masih mengalami kesulitan, dihadapkan kepada perkara hak milik satu-satunya warisan leluhurnya berupa tanah yang diambil secara paksa oleh perusahaan perkebunan milik negara. Telah bertahun-tahun lamanya petani kecil tersebut menunggu sang malaikat keadilan namun apa daya karena tidak memiliki sejumlah uang, upaya hukum lanjutan yang semestinya dapat ditempuh tidak dapat dilakukan, bahkan lebih tragis lagi ketika perkaranya masih di pengadilan tingkat pertama ternyata kalah oleh ulah sang Pengacara yang tidak memenuhi kewajiban beracara di Pengadilan tanpa alasan yang kuat. Tidak jarang pula karena tingkat kepercayaan masyarakat yang begitu rendah terhadap pejabat publik kita mendengar ataupun menyaksikan sendiri masyarakat melakukan tindakan main hakim sendiri. Sepertinya tidak akan habis-habisnya ceritera tentang ketidakadilan yang dirasakan masyarakat. Contoh cerita suram di atas adalah sebagian kecil dari kisah nyata yang dirasakan masyarakat dan dilaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Berbagai macam persoalan atau perkara yang diadukan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Sepanjang 2 (dua) tahun perjalanannya, Komisi Ombudsman Nasional banyak menerima ceritera yang pilu dan kegetiran. Secara tidak langsung kadangkala juga sempat larut dalam kepedihan dan perjuangan masyarakat memperoleh keadilan. Namun demikian, asas impartiality Ombudsman tetap harus dipegang teguh, sehingga semua laporan tersebut terlebih dahulu harus dimintakan klarifikasinya kepada instansi Terlapor. Mengingat terbatasnya wewenang Komisi Ombudsman Nasional maka langkah tindaklanjut yang dilakukanpun tergantung
59
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
kepada bagaimana komitmen instansi Terlapor untuk secara serius menanggapi Rekomendasi yang disampaikan. Harapan Komisi Ombudsman Nasional adalah adanya komitmen pemerintah menindaklanjuti rekomendasi Komisi sejalan dengan semangat reformasi menuju kepada Pemerintahan yang Baik dan Bersih. Contoh beberapa kasus yang ditangani oleh Komisi Ombudsman Nasional
1.
Conflict of Interest pada Hakim Agung Pelapor bernama S.Padma melalui kuasanya dari Kantor Pengacara xx, melaporkan permasalahannya yang pada intinya sebagai berikut : a.
Telah terjadi eksekusi perkara perdata Nomor : 186/1982.G Pengadilan Negeri Jakarta Barat sesuai dengan Berita Acara Eksekusi Nomor : 186/1982.G tanggal 13 Februari 1983
b.
Terhadap eksekusi tersebut PT Green Ville Real Estate mengajukan perlawanan di Pengadilan Negeri Jakarta Barat tercatat dalam register perkara Nomor : 106/1983.G jo Nomor: 584/PDT/1982/PT DKI jo. Nomor : 1323 K/PDT/19888 jo. Nomor : 344 PK/PDT/1998 dimana permohonan Peninjauan Kembali Pelapor kepada Mahkamah Agung RI ditolak.
c.
Ketua Majelis Hakim dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali adalah Hakim Agung yang pada tahun 1985 dalam kapasitas sebagai Ketua Tim Gabungan Opstibpus telah terlibat dalam perkara dimaksud. Pada waktu itu Tim Gabungan Opstibpus dengan surat Nomor : K-92/Opstibpus/XII/1984 telah menemukan adanya penyimpangan-penyimpangan.
Komisi Ombudsman Nasional telah mengirim surat kepada Mahkamah Agung RI berkenaan dengan dugaan adanya konflik kepentingan dalam pemeriksaan perkara yang dilaporkan, namun tidak ada tanggapan ataupun pemeriksan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung RI.
2.
Penyalahgunaan Kekuasaan oleh Jaksa Agung Komisi Ombudsman Nasional telah menerima laporan dari Keluarga SB yang melaporkan Jaksa Agung RI yang diduga
60
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
menyalahgunakan kekuasaannya dengan melakukan persuasi, pemaksaan dan intimidasi agar Gubernur BI mengundurkan diri. Selain itu penahanan SB melanggar prosedur yakni tidak memberitahukan kepada keluarganya. Komisi memberikan Rekomendasi kepada Jaksa Agung RI guna memberikan klarifikasi seputar masalah tersebut , Jaksa Agung RI melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus memberikan klarifikasi melalui surat Nomor : B-782/F/08/2000 tertanggal 11 Agustus 2000 yang intinya menolak dugaan tersebut. Komisi menyarankan kepada Pelapor untuk melakukan tindakan hukum demi menguji kebenaran dugaan tersebut.
3.
Penyegelan Hotel oleh Pemerintah Daerah DKI Jakarta Komisi Ombudsman Nasional menerima laporan pengaduan dari RS. Pelapor menyampaikan bahwa Hotel yang dimilikinya dikuasai tanpa bukti jelas oleh PT. Ayu Kumala Lestari. Pihak Pemda DKI mengetahui hal tersebut namun tidak berusaha berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah tersebut. Pada tanggal 14 September 1955, Mahkamah Agung RI mengeluarkan surat putusan Nomor : 86 K/TUN/1994 yang memenangkan Pelapor dan meminta pihak Pemda DKI untuk melaksanakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap, yaitu memerintahkan pihak PT. Ayu Kumala Lestari menghentikan kegiatan operasionalnya. Namun pihak Pemda DKI tidak melaksanakannya secara konsisten. Komisi mengirimkan surat Rekomendasi Nomor : 0262/KON-Lapor/VII/2000 tanggal 11 Juli 2000, kepada Gubernur DKI Jakarta, untuk mengadakan klarifikasi atas laporan tersebut, Pihak Pemda DKI memberikan tanggapannya dengan surat Nomor : 224/078.1, tanggal 31 Juli 2000, yang menyatakan bahwa pihaknya telah mengosongkan Hotel Chitra tersebut. Namun tidak mengeluarkan izin pendirian hotel yang baru.
4.
Komersialisasi perkara oleh oknum-oknum Kejaksaan Sebuah Organisasi Non Pemerintah yang bernama GEBUK di Jawa Tengah menemukan adanya sinyalemen praktek-praktek komersialisasi perkara. Berdasarkan sinyalemen tersebut kemudian dilakukan investigasi dengan menanyakan beberapa orang
61
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
responden yang sekaligus juga korban yaitu para nara pidana serta keluarganya dan beberapa saksi terkait. Dari investigasi yang dilakukan, GEBUK sampai pada suatu kesimpulan, diduga kuat telah terjadi praktek-praktek komersialisasi perkara yang dilakukan oleh oknum-oknum pejabat Kejaksaan. Praktek komersialisasi tersebut dilakukan dengan cara bujuk rayu bahkan dengan cara berupa ancaman-ancaman tertentu. Biasanya oknum Kejaksaan menawarkan jasa untuk mengurus kasus Terdakwa agar hukumannya ringan. Tawaran tersebut disertai dengan ancaman apabila tidak diurus maka oknum Kejaksaan tersebut tidak bertanggung jawab bila terjadi apa-apa. Kalimat yang sering dikeluarkan adalah jangan kecewa kalau putusannya berat. Tawaran tersebut tentunya tidak CumaCuma karena disertai permintaan sejumlah uang. Alasannya, uang tersebut digunakan sebagai jaminan penangguhan penahanan, tetapi kenyataannya, yang kerap terjadi justru penahanan tak kunjung memperoleh penangguhan demikian juga uang para korban tidak dikembalikan. Temuan tersebut kemudian oleh GEBUK dilaporkan kepada Komisi Ombudsman Nasional. Menindaklanjuti temuan tersebut, pada tanggal 30 April 2001, Komisi Ombudsman Nasional mengirim surat kepada Jaksa Agung RI Nomor : 1197/KON-Lapor.1658/ IV/2001-DM berisi Rekomendasi agar Jaksa Agung melakukan penelitian dan mengambil tindakan sesuai ketentuan yang berlaku. Empat bulan kemudian, Jaksa Agung Muda Pengawasan memberikan penjelasan melalui surat nomor : R-1011/H/H.3/08/ 2001 tertanggal 29 Agustus 2001, bahwa setelah dilakukan pemeriksaan, terbukti Jaksa telah melakukan penyimpangan dalam menangani perkara dimaksud dan untuk itu jajaran Kejaksaan Negeri terkait, terdiri dari Kepala Kejaksaan Negeri, Pejabat Kasi Pidum, Pejabat Kasi Intelijen dan seorang Jaksa fungsional pada Kejaksaan Negeri tersebut telah dijatuhi hukuman disiplin tingkat berat dan sedang. Untuk hal tersebut, pada tanggal 27 September 2001 Komisi Ombudsman Nasional segera menyampaikan hasil tindaklanjut yang sudah dilakukan Kejaksaan terhadap rekomendasi Komisi Om-
62
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
budsman Nasional dimaksud kepada Koordinator Bersama GEBUK melalui surat nomor 0320/Kon-Srt.1658/IX/2001-DM.
5.
Penculikan yang tak kunjung terungkap Seorang pengusaha penambangan pasir di Sukabumi, Jawa Barat bernama JK Direktur PT. Cimangkok Pasirmas Mandiri menjadi korban penculikan dan penganiayaan mengarah pada percobaan pembunuhan. Diduga tindakan tersebut dilakukan sekelompok orang suruhan lawan bisnisnya yang melibatkan oknum pejabat tertentu. Ada indikasi Kepolisian melakukan penundaan berlarut pengusutannya sehingga setidaknya sudah setahun lebih perkara belum dapat dilimpahkan ke Kejaksaan apalagi diperiksa di Pengadilan. Atas penundaan tersebut, JK melaporkannya kepada Komisi Ombudsman Nasional. Lebih kurang tiga kali Komisi melayangkan surat untuk meminta klarifikasi Kepolisian atas hasil dari tindaklanjut pengusutan yang dilakukan. Tetapi tidak pernah ada penjelasan, baik dari Mabes Polri maupun dari Kapolda Jawa Barat. Sebelum Kepolisian Republik Indonesia memberikan penjelasannya, Komisi Ombudsman Nasional kembali menerima laporan dari JK tertanggal 8 Mei 2001 tentang indikasi kuat bahwa pihak kepolisian setempat diduga menunda-nunda pengusutan kasus penculikan dan penganiayaan dimaksud. Indikasi penundaan dimaksud antara lain sebagai berikut ; 1.
Pada dasarnya sudah dapat teridentifikasi sebuah barang bukti berupa Mobil Panther berwarna hijau Nomor Polisi B 7326 P sebagaimana diduga telah digunakan dalam aksi penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor. Semestinya mobil tersebut dapat dilacak kepemilikannya dan/atau setidak-tidaknya siapa yang terakhir mempergunakannya. Tetapi Kepolisian terkesan tidak menunjukkan secara sungguh-sungguh temuan tersebut.
2.
Kepolisian tidak menunjukkan profesionalitas mengungkap perihal mobil Panther dimaksud. Oleh karena itu, Pelapor mengambil inisiatif melakukan pelacakan sendiri dan diperoleh data dari Polda Metro Jaya bahwa mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P adalah milik PT. FS sebagaimana
63
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
diduga selama ini Direkturnya menjadi dalang dari kasus penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor. 3.
Kesaksian yang diberikan antara lain oleh seorang Saksi Kunci yang telah diajukan ke Mabes Polri ternyata belum ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. Menurut kesaksian tersebut pada tanggal kejadian perkara ia melihat mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P berada di sekitar lokasi penambangan pasir. Mobil tersebut berpenumpang kurang lebih enam orang, kebanyakan berpostur tubuh tegap kekar dan berambut cepak, seorang berpenampilan seperti «preman» dan seorang lagi bertubuh kecil, berkulit putih dan bermata sipit, diduga WNI Keturunan Tionghoa, belakangan diketahui berinisial DL direktur PT FS. Mereka berkumpul di Kantor PT ABC terlibat pembicaraan serius dengan Bos PT ABC berinisial Sts. Diduga kuat pembicaraan tersebut menyangkut perencanaan penculikan dan penganiayaan atas diri Pelapor.
Dengan indikasi tersebut sudah lebih kurang satu tahun lamanya, kepolisian setempat belum juga mampu mengungkap siapa dalang dan pelaku penculikannya walaupun barang bukti materiil berupa mobil Panther warna hijau Nopol B 7326 P sudah dapat diidentifikasi. Diduga Kepolisian setempat sengaja menutupi aktor intelektual yang mendalangi penculikan dan penganiayaan tersebut, sehingga proses tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Menindaklanjuti temuan Pelapor tersebut, pada tangggal 12 Juni 2001 Komisi mengirimkan surat yang ke empat, Nomor : 1406/ KON-Lapor.0806/VI/2001-bm, berisi Rekomendasi kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk meneliti indikasi kesengajaan aparat Kepolisian di Jawa Barat melakukan penundaan berlarut (undue delay) guna melindungi aktor intelektual (dalang) penculikan/penganiayaan, sekaligus melakukan pengusutan kasus penculikan dimaksud apabila Kepolisian Daerah Jawa Barat dinilai tidak mampu menjalankan proses pengusutan sebagaimana mestinya (atas dugaan telah terjadi konspirasi yang melibatkan oknum tertentu). Walaupun sampai saat ini Kepolisian belum pernah memberikan penjelasan secara resmi, baik klarifikasi yang diminta maupun
64
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
penjelasan tentang hasil dari tindaklanjut yang telah dilakukan atas rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional, menurut informasi dari Pelapor telah terjadi perubahan yang mendasar dalam penanganan kasusnya di lapangan. Pada tanggal 15 Oktober 2001, Pelapor memberikan informasi bahwa Mabes Polri telah mengambil alih penanganan kasus penculikan dan penganiayaan tersebut. Selain itu, pada jajaran Kepolisian di Propinsi Jawa Barat juga terjadi mutasi jabatan terhadap Kapolda Jawa Barat, Kapolres Sukabumi dan Kasat Serse Polres Sukabumi. Setelah terjadi pergantian para pejabat Kepolisian tersebut secara perlahanlahan peristiwa penculikan yang telah (hampir) dipetieskan lebih dari 1 (satu) tahun akhirnya dibuka dan digelar kembali. Hasilnya pada tanggal 15 Oktober 2001, Mobil Izuzu Panther warna hijau yang dahulu bernomor polisi B 7326 P diketahui telah dimutasikan ke Malang dengan nomor polisi N 2929. Kemudian Kepolisian Resor Sukabumi menyitanya sebagai barang bukti atas kasus penculikan dan penganiayaan terhadap Pelapor. Saat ini Pelapor masih menunggu datangnya keadilan atas peristiwa yang telah menjadikan hidupnya terancam. Komisi Ombudsman Nasional juga tetap memonitor sejauh mana tindaklanjut yang telah dilakukan Kepolisian, walaupun secara resmi sampai saat ini Kepolisian belum pernah memberikan penjelasannya. Setidaknya, dari informasi yang diberikan Pelapor atas perkembangan terbaru tersebut, Komisi memberikan kesempatan kepada Kepolisian bahwa mereka masih mampu berperan sebagai benteng keadilan masyarakat.
6.
Walikota yang tidak melaksanakan putusan pengadilan Pendapat bahwa semua orang sama didepan hukum masih sebatas retorika saja, hal ini terbukti dari contoh laporan ini, namun kesadaran muncul manakala masyarakat secara terus menerus tanpa putus asa memperjuangkan haknya, apa yang menjadi haknya akan diperoleh. Seorang Pelapor yang beralamat di Bintaro Jaya, Jakarta Selatan, sebagai ahliwaris dari H. Katili Bin Lasimpala bernama Diana Katili merasa dirugikan atas tindakan Pemerintah Daerah Kota-
65
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
madya Jakarta Selatan dalam pelaksanaan Proyek Outer Ring Road berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No.1708 tertanggal 27 Agustus 1988. Seyogyanya, tanah Diana Katili seluas lebih kurang 1000 M2 yang terkena proyek tersebut mendapat ganti rugi senilai Rp. 25.653.600, - (dua puluh lima juta enam ratus lima puluh tiga ribu enam ratus rupiah). Tetapi sampai saat menyampaikan laporannya kepada Komisi Ombudsman Nasional, ganti rugi tersebut belum direalisasikan. Diana Katili pernah dua kali menanyakan perihal ganti rugi yang belum terealisasi tersebut kepada Walikota Jakarta Selatan. Pertanyaan tersebut tidak mendapat jawaban yang memuaskan. Melalui suratnya tertanggal 7 April 1989 Nomor : 44/1.711.9 tanggal 7 April 1989, Walikota Jakarta Selatan mengatakan bahwa permohonan ganti rugi sudah tidak relevan karena permasalahannya telah diselesaikan melalui Pengadilan dan putusannyapun telah berkekuatan hukum tetap. Dalam surat tersebut Walikota Jakarta Selatan tidak menjelaskan lebih lanjut bentuk penyelesaian apa yang telah dilakukan dengan mendasarkan putusan Pengadilan dimaksud. Pada hal jelas dalam amar putusan pengadilan antara lain berbunyi menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi sebesar Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) kepada para Penggugat. Posisi Diana Katili adalah sebagai orang yang semestinya menerima ganti rugi dimaksud. Tetapi, Pemerintah Kotamadya Jakarta Selatan tidak pernah merealisasikan ganti rugi sebagaimana diamanatkan dalam amar putusan Pengadilan Nomor : 025/Pdt.G/1992/PN.Jkt.Sel jo putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta Nomor : 231/PDT/1993/ PT DKI jo putusan Kasasi Mahkamah Agung RI Nomor : 465 K/ Pdt/1995. Atas hal tersebut, Diana Katili menyampaikan keluhannya kepada Komisi Ombudsman Nasional. Menindaklanjuti keluhan tersebut, pada tanggal 7 Maret 2001 Komisi mengirimkan surat nomor : 1004/KON-Lapor.1455/III/2001-ER kepada Walikota Jakarta Selatan berisi permintaan klarifikasi sekaligus memberikan rekomendasi untuk secara sungguh-sungguh mengambil langkah penyelesaian guna mengembalikan hak-hak Diana Katili. Pada tanggal 16 Juli 2001, Diana Katili menulis surat kepada
66
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Komisi Ombudsman Nasional, mengucapkan terimakasih, karena dengan Rekomendasi Komisi, akhirnya ganti ruginya terealisir. Hal yang menarik dalam ucapan terimaksih tersebut, terdapat keanehan dalam penjelasan dan data yang dilampirkan. Tanpa penjelasan lebih lanjut, Diana Katili melampirkan foto copy Berita Acara Serah Terima Uang sejumlah dua puluh lima juta rupiah dan dua buah kuitansi terkait dengan pembayaran tersebut. Keanehannya terletak pada waktu pemberian ganti rugi. Dalam Berita Acara jelas disebutkan bahwa pemberian ganti rugi diserahterimakan pada tanggal 24 Nopember 2000, pada hal Rekomendasi Komisi dikirim pada tanggal 7 Maret 2001. Semestinya, kalau sebagai tidaklanjut Rekomendasi, tanggal serah terimanya setelah tanggal Rekomedasi. Dalam foto copy Berita Acara tersebut juga tidak dibubuhi tandatangan Walikota Jakarta Selatan, walaupun jelas atas namanya Walikota Jakarta Selatan lengkap dengan NIP-nya.
7.
Dugaan adanya putusan ganda atas perkara Kasasi di Mahkamah Agung RI Pada awal Juni 2001, Komisi Ombudsman Nasional menerima surat dari Mahkamah Agung RI Nomor : MA/PAN/133/V/2000 tertanggal 22 Mei 2001. Surat tersebut sebagai tindaklanjut dari Rekomendasi Nomor : 0370.KON-Lapor/VIII/2000-wn tentang dugaan adanya putusan ganda atas perkara Kasasi Mahkamah Agung RI nomor : 1275 K/PID/1998. Rekomendasi tersebut disusun berdasarkan keluhan seorang pelapor yang mengaku mendapat keterangan dari Panitera Pengganti dalam perkara Kasasi Nomor : 1275 K/Pid/1998 bahwa terhadap perkara dimaksud telah terjadi perubahan putusan. Semula Majelis Hakim Agung menolak permohonan kasasi dan putusannya telah disiapkan oleh Panitera Pengganti. Beberapa waktu kemudian ada putusan baru yang amarnya menerima permohonan kasasi. Menindaklanjuti rekomendasi Komisi Ombudsman Nasional, Mahkamah Agung RI telah memberikan penjelasan bahwa benar adanya putusan Kasasi Register Nomor : 1257 K/Pid/1998 yang dilaksanakan ucapannya pada tanggal 7 Desember 1998. Adapun putusan yang diterima oleh Pelapor dari salah seorang Pegawai
67
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Mahkamah Agung RI bukanlah produk resmi Mahkamah Agung RI yang diucapkan pada tanggal 7 Desember 1988, melainkan baru merupakan konsep hasil musyawarah pada tanggal 9 Nopember 1998. Oleh karena itu Mahkamah Agung RI menyatakan tidak ada putusan ganda. Atas berbagai hal tersebut, Mahkamah Agung RI melakukan pemeriksaan terhadap jajaran pegawai struktural. Hasilnya adalah bahwa seorang pegawai diberi sanksi dalam bentuk teguran tertulis karena tidak memonitor putusan yang telah dibuat dan lamban mengirimkan putusan disebabkan terdapat kekeliruan penulisan nama tetapi tidak segera dilaporkan kepada pimpinan. Tiga orang pegawai diberi sanksi penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah untuk paling lama satu tahun. Mereka telah terbukti memberikan salinan putusan yang masih dalam tahap musyawarah dan sifatnya rahasia kepada pihak berperkara sehingga menimbulkan kesan tidak baik pada instansi penegak hukum. Selain itu, dua orang pegawai lainnya juga diberikan sanksi berbentuk teguran tertulis karena mereka tidak segera melaporkan adanya perubahan isi amar putusan kepada panitera pengganti, lagi pula tanpa konsultasi kepada Panitera Pengganti mereka telah melaksanakan pekerjaan yang bukan tugasnya sehingga terjadi kesalahan tersebut. Beberapa contoh kasus di atas, mewakili 2274 laporan masyarakat kepada Komisi Ombudsman Nasional sepanjang 2 (dua) tahun perjalanannya. Tentunya setiap laporan memiliki dimensi persoalan serta harapannya masing-masing, yang pasti tidak semua harapan memperoleh hasil namun Komisi Ombudsman Nasional telah berbuat sesuatu yang terbaik dengan segala keterbatasan sesuai amanat yang diembannya. Kiranya beberapa contoh ucapan terimakasih yang disampaikan masyarakat Pelapor kepada Komisi Ombudsman Nasional sebagai tanda terimakasih nya dapat menjadi bukti. Jika terkandung niatan yang tulus dalam pengabdian kepada bangsa dan negara disitu akan muncul seberkas sinar harapan akan perubahan wajah negeri ini kearah yang lebih baik.
68
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman Sebagai Bagian Reformasi
Pengawasan atas Pelayanan Umum
T
entu kita telah memahami bahwa hakikat Reformasi adalah to make major changes atau to improve, melakukan perubahanperubahan besar dalam upaya perbaikan. Perubahan yang dicanangkan tersebut mencakup nilainilai serta aplikasi nilai dasar keadilan, kesejahteraan, ketertiban, demokrasi, transparansi, penegakan Hak Asasi Manusia dan lain-lain. Reformasi semestinya bersifat transisional, oleh karena itu perubahan yang dilakukannya harus pula bersifat cepat dengan lebih banyak melihat ke depan. Apabila pada masa transisi kita lebih banyak melihat ke belakang maka kita pasti lebih banyak menghadapi permasalahan-permasalahan yang ada. Oleh karena itu Reformasi Tahap Diskusi harus sudah dilanjutkan menjadi Reformasi Tahap Aksi (Reformation in action). Konsep, pranata serta gagasan untuk melakukan perbaikan harus segera dilaksanakan secara konkrit.16 16 Sujata, Antonius., Reformasi dalam Penegakan Hukum, terdapat pada Kata Pengantar Penulis, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2000
69
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Dari aspek sasaran reformasi telah menjadi keinginan bersama bahwa dimensi reformasi tersebut mencakup Bidang Politik dan Hak Asasi Manusia, Bidang Hukum serta Bidang Ekonomi. Reformasi hukum pada intinya adalah meluruskan kesadaran bahwa ketika orang berbicara tentang hukum berarti secara implisit berbicara tentang keadilan, yang terjadi saat ini hukum tidak berarti keadilan, penegakan hukum bukan berarti penegakan keadilan.17 Sebelum Era Reformasi Indonesia tidak memiliki Lembaga Ombudsman atau lembaga semacam Ombudsman, justru karena itu dapat dikatakan bahwa Ombudsman Nasional yang sampai saat ini masih eksis merupakan produk reformasi. Selama ini kita memang telah memiliki lembaga pengawas baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Bahkan terdapat lembaga pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam Undang-Undang Dasar yaitu Dewan Perwakilan Rakyat, Badan Pemeriksa Keuangan dan ataupun Bank Indonesia. Selain itu juga terdapat Organisasi Non Pemerintah ataupun Lembaga Swadaya Masyarakat yang sekarang ini banyak tumbuh serta turut beraktifitas melakukan pengawasan atas pelaksanaan penyelenggaraan negara. Berbagai lembaga negara, Aparatur Pengawas Struktural, Pengawas Fungsional serta Organisasi Non Pemerintah tersebut dapat kita berikan beberapa catatan sebagai berikut: 1.
Lembaga Pengawas Struktural sebagaimana selama ini dilakukan oleh Inspektorat Jenderal jelas tidak mandiri karena secara organisatoris merupakan bagian dari kelembagaan/departemen terkait. Dalam menghadapi dan ataupun menindaklanjuti laporan sangat ditentukan oleh atasan. Lagi pula pengawasan yang dilakukan bersifat intern artinya kewenangan yang dimiliki dalam melakukan pengawasan hanya mencakup urusan institusi itu sendiri.
2.
Lembaga Pengawas Fungsional meskipun tidak bersifat intern namun substansi/sasaran pengawasan terbatas pada aspek
17 Pokok-pokok Pemikiran Diskusi Crucial Reform for the development of a More Human Civil Society in Indonesia in 2001. Diselenggarakan oleh The Jakarta Post di Jakarta tanggal 5-6 Desember 2001, terdapat dalam buku Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional oleh Antonius Sujata dan Surachman, diterbitkan oleh Komisi Ombudsman Nasional, 2002.
70
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tertentu terutama masalah keuangan. Lagi pula aparat pengawas fungsional pada umumnya tidak menangani keluhan-keluhan yang bersifat individual, mereka melakukan pengawasan terhadap pengelolaan keuangan secara rutin baik yang merupakan anggaran rutin maupun pembangunan. Dengan kata lain Aparat Pengawas Fungsional selain cakupannya sangat sempit juga kurang memperhatikan penyimpangan-penyimpangan yang sering menjadi keluhan langsung masyarakat kerena pengawasan yang dilakukan merupakan kegiatan rutin. 3.
Lembaga Pengawas yang secara eksplisit dicantumkan dalam konstitusi memang melakukan pengawasan namun pada satu sisi substansi yang diawasi terlalu luas dan bersifat politis karena memang secara kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat merupakan Lembaga Politik serta mewakili kelompok-kelompok politik sehingga pengawasannya juga tidak terlepas dari kepentingankepentingan kelompok yang mereka wakili. Sedangkan Badan Pemeriksa Keuangan pada satu sisi substansi yang diawasi cukup luas yaitu mengenai Keuangan Negara yang mencakup kebijakan ataupun pengelolaannya, namun dari sisi lain juga dapat dikatakan terlalu sempit karena hanya mengenai segi keuangannya saja, sementara aspek-aspek lain dalam penyelenggaraan negara belum disentuh, apalagi kepentingan-kepentingan warga yang bersifat individual dan bukan merupakan penyimpangan sistem ataupun kebijakan jelas belum terakomodasikan.
4.
Pengawasan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat sekarang ini telah menjadi trend dan berkembang pesat. Namun karena sifatnya swasta dan kurang terfokus maka lebih banyak ditanggapi dengan sikap acuh tak acuh. Terlebih lagi pengawasan yang dilakukan sering kurang data dan lebih mengarah pada publikasi sehingga faktor akurasi dan keseimbangan fakta perlu lebih memperoleh perhatian. Terdapat jarak ataupun jurang yang cukup jauh/dalam antara aparat negara/pemerintah dengan organisasi non pemerintah yang disebabkan perbedaan landasan keberadaan mereka masing-masing. Lembaga Swadaya Masyarakat eksistensinya berasal dari masyarakat itu sendiri sementara lembaga negara/pemerintah secara formal dilandasi oleh perundang-undangan yang berlaku sehingga dengan bertitik tolak dari
71
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
landasan yang berbeda tersebut muncul sikap resistensi satu sama lain. Resistensi tersebut makin dalam manakala menghadapi suatu permasalahan konkrit di mana Lembaga Pemerintah menggunakan parameter pranata yang bersifat formil serta prosedur yang struktural hierarkis sementara Organisasi Non Pemerintah mendekati permasalahan berdasarkan kenyataankenyataan yang dihadapi dengan prosedur yang tidak hierarkis karena LSM memang bukan merupakan institusi struktural. Memperhatikan kenyataan-kenyataan di atas kiranya dapat dikemukakan bahwa ternyata masih terdapat celah-celah yang secara mendasar tidak/belum merupakan sasaran pengawasan. Dari aspek kelembagaan juga belum ada lembaga yang secara optimal memperoleh pengakuan dan diterima sebagai pengawas. Bahkan juga belum ada prosedur yang dapat menjembatani antara mekanisme yang bersifat kaku sebagai akibat sistem struktural hierarkis di satu pihak dengan mekanisme lentur/pendek dari suatu organisasi yang tidak struktural hierarkis. Dengan demikian diperlukan suatu jalan keluar yang diharapkan pada satu sisi merupakan jalan tengah bagi kepentingan pengemban sistem struktural hierarkis serta kepentingan pengemban sistem non struktural, namun pada sisi lain mampu menampung seluruh aspirasi warga masyarakat tanpa harus melewati sistem prosedur atau mekanisme yang berliku-liku. Dilandasi oleh kondisi baik yang mencakup substansi pengawasan, prosedur maupun kelembagaan maka Ombudsman merupakan salah satu alternatif. Tentu di dunia ini tidak ada satu lembagapun yang dapat merupakan obat ajaib dalam arti menyembuhkan segala macam penyakit dengan seketika. Tetapi setidak-tidaknya sekarang ini sudah kurang lebih 130 negara memiliki Ombudsman (dengan sebutan bermacam-macam) baik Ombudsman Nasional maupun Ombudsman Daerah dan lebih dari 50 negara telah mencantumkannya dalam konstitusi. Apabila banyak negara telah memiliki Ombudsman tentunya mereka merasakan perlunya institusi ini dalam penyelenggaraan negara demi kesejahteraan masyarakat. Sekarang ini Ombudsman telah menjadi salah satu ciri dari suatu negara yang ingin menegakkan demokrasi, menghormati Hak Asasi Manusia serta memberantas praktek-praktek korupsi.
72
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Beberapa alasan mendasar mengapa negara-negara tersebut membentuk Ombudsman. 1.
Secara institusional bersifat independen baik struktural, fungsional maupun personal. Sifat independen ini akan sangat mempengaruhi efektifitasnya karena dalam bertindaknya akan bersikap secara objektif, adil, tidak berpihak.
2.
Sasaran pengawasan adalah pemberian pelayanan artinya dalam bertindak hendaknya aparat menjadi pelayan sehingga warga masyarakat diperlakukan sebagai subjek pelayanan dan bukan objek/korban pelayanan. Selama ini belum/tidak ada lembaga yang memfokuskan diri pada pengawasan, atas pemberian pelayanan umum padahal jika dicermati sebenarnya pelayanan inilah yang merupakan inti dari seluruh proses berpemerintahan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai kepatutan, penghormatan hakhak dasar, keadilan dan lain-lain.
3.
Keberhasilan suatu pengawasan sangat ditentukan oleh prosedur ataupun mekanisme yang digunakan, apabila proses pengawasan berbelit-belit melalui liku-liku yang panjang maka pelaksanaan pengawasan akan beralih dari masalah substansional ke masalah prosedural. Padahal inti persoalan pokok adalah penyimpangan dalam pelayanan umum. Jika pada akhirnya terjebak pada prosedur yang panjang maka akan menghabiskan waktu penyelesaian yang lama sehingga penyimpangan akan terus berlangsung tanpa ada perbaikan dan jalan keluar. Bahkan mungkin sekali akan muncul problem baru yaitu tentang mekanisme itu sendiri. Sesungguhnya suatu prosedur penyelesaian yang singkat dan sederhana di manapun akan lebih efisien. Termasuk dalam aspek ini adalah cara penyelesaian melalui mediasi di mana masing-masing pihak langsung bertemu dan membahas permasalahan sekaligus menentukan jalan keluar terbaik melalui prinsip saling memberi dan saling menerima (win-win solution)
4.
Masalah pelayanan yang menjadi sasaran pengawasan Ombudsman dalam praktek lebih banyak menimpa masyarakat secara individual, meskipun juga tidak jarang berkaitan dengan suatu sistem atas kebijakan sehingga melibatkan (mengorbankan) kepentingan individu-individu dalam jumlah yang lebih banyak.
73
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Biasanya anggota masyarakat kurang peka terhadap pemberlakuan sistem/kebijakan yang merugikan karena merasa lemah berhadapan dengan kekuasaan. Dengan demikian ia membutuhkan bantuan, membutuhkan dukungan dan membutuhkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah tanpa harus menanggung resiko munculnya masalah baru.
74
5.
Berkenaan dengan substansi pengawasan yaitu pelayanan umum oleh penyelenggara negara meskipun nampaknya sederhana namun memiliki dampak yang amat mendasar. Pemberian pelayanan yang baik kepada masyarakat akan memberi nilai positif dalam menciptakan dukungan terhadap kinerja pemerintah. Apabila aparat pemerintah melalui bentuk-bentuk pelayanannya mampu menciptakan suasana yang kondusif dengan masyarakat maka kondisi semacam itu dapat dikatagorikan sebagai keadaan yang mengarah pada terselenggaranya asas-asas pemerintahan yang baik (Good Governance). Asas pemerintahan yang baik dalam implementasinya diwujudkan melalui ketaatan hukum, tidak memihak, bersikap adil, keseimbangan bertindak, cermat, saling percaya dan lain-lain. Dengan demikian sesungguhnya pelayanan umum sebagai hakekat dasar dari asas pemerintahan yang baik menjadi harapan utama keberadaan lembaga Ombudsman.
6.
Masyarakat kecil ataupun korban pelayanan mayoritas adalah kelompok ekonomi lemah karena itu mereka menjadi ragu untuk memperjuangkan keluhannya mengingat keterbatasan masalah keuangan. Institusi Ombudsman dengan tegas dan terbuka mengatakan bahwa pengawasan yang dilakukan ataupun laporan yang disampaikan kepada Ombudsman tidak dipungut biaya. Ketentuan bebas biaya ini merupakan salah satu prinsip Ombudsman yang bersifat universal yang sekaligus sebagai implementasi integritasnya. Ombudsman sangat menjunjung tinggi asas ini sehingga diharapkan sekali agar warga masyarakat tidak memberikan imbalan sekecil apapun kepada Ombudsman sebelum, pada waktu dan ataupun sesudah berurusan dengan Ombudsman. Berurusan dengan Ombudsman tanpa memberi imbalan kepadanya merupakan salah satu bentuk dukungan terhadap eksistensi Ombudsman.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Dengan melihat perkembangan Ombudsman Nasional selama dua tahun serta memperhatikan prinsip-prinsip dasar Ombudsman di seluruh dunia, menjadi pertanyaan sekarang: Apa sebenarnya kontribusi Ombudsman Nasional pada Era Reformasi? Telah dikemukakan bahwa Ombudsman Indonesia diciptakan pada Era Reformasi. Sebagai suatu produk Reformasi apalagi menyandang sebutan Komisi tentu pada awal mula menimbulkan kecurigaan, terlebih lagi istilah Ombudsman pada dua tahun yang lalu sungguh amat asing. Iklim serta suasana saat ini juga kurang mendukung karena beberapa komisi diciptakan dan kemudian dibubarkan. Dengan berjalannya waktu ternyata Eksistensi Ombudsman tetap memperoleh pengakuan bahkan sekarang secara formal telah dilandasi oleh Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VIII/MPR/2001. Lebih dari itu keinginan untuk membentuk Ombudsman Daerah sekaligus pengakuan akan eksistensi Ombudsman makin lama semakin kuat. Secara konkrit dapat dikatakan dari sisi masyarakat sekurangkurangnya lebih dari 3000 (tiga ribu) orang telah menyampaikan keluhan kepada Ombudsman atau setidak-tidaknya berhubungan dengan Ombudsman, artinya mereka masih memiliki harapan untuk memperoleh perlakuan secara patut dan adil. Memang banyak yang tidak mendapat tanggapan dari institusi terkait, banyak pula yang tidak berhasil dan tidak puas. Namun ada pula yang sungguh-sungguh berhasil meskipun jumlahnya tidak banyak. Dari sisi aparatur penyelenggara negara/aparat pemerintah termasuk lembaga peradilan saat ini masih pada tahap memperoleh pengakuan awal bahwa setidak-tidaknya ada lembaga yang senantiasa dapat memata-matai mereka. Adanya perasaan tersebut tentu pada akhirnya memberi dampak sikap kehati-hatian. Dengan sikap semacam itu sadar atau tidak sadar sebenarnya institusi terkait telah mulai melakukan koreksi diri serta pembenahan demi perbaikan caracara dalam memberi pelayanan. Di sini ternyata bahwa proses pembenahan tersebut dilakukan atau dimulai dengan adanya pengawasan oleh Lembaga Independen Ombudsman. Setiap proses apapun substansinya selalu membutuhkan waktu serta niat baik para pelakunya sendiri untuk mencapai tujuan yang
75
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
diinginkan. Dengan kata lain keberhasilan Ombudsman sangat ditentukan oleh institusi itu sendiri, Ombudsman sekedar memberi dorongan melakukan kinerja pengawasan yang dilaksanakannya. Birokrasi itu sendiri yang akan menentukan berhasil tidaknya menjadi pelayan masyarakat. Secara khusus para pemimpin Birokrasi serta pimpinan sangat berperan dalam usaha mencapai keberhasilan sebab sebenarnya mereka itu juga yang melakukan pengawasan secara melekat (built in control) sekaligus melaksanakan tugas serta fungsi yang diembannya.
Persiapan Masa Depan Ombudsman Masa depan adalah angan-angan yang kita inginkan, keinginan adalah cita-cita yang hendak kita tuju. Suatu gambaran masa depan Ombudsman pada hakekatnya merupakan visi tentang eksistensi di mana dapat membayangkan apa yang seharusnya menjadi kenyataan pada periode tertentu di waktu mendatang, bisa tiga tahun, lima tahun atau bahkan lebih dari itu. Jika kita berbicara mengenai masa depan Ombudsman tentu tidak dapat melepaskan diri dari masa lampau dan juga masa sekarang. Segala sesuatu tentu mengalami perkembangan dan pasang surut namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri yaitu harus ada harapan akan suatu kemajuan ataupun keberhasilan sebab tanpa harapan itu sama artinya tidak memiliki visi ataupun tidak memiliki keinginan untuk lebih maju. Mengenai masa depan yang menjadi harapan tersebut jelas dirumuskan secara konkrit dalam Visi Ombudsman Nasional yaitu:
76
1.
Pertama, Ombudsman menjadi lembaga publik yang independen dan terpercaya berasaskan ideologi negara dengan mengupayakan keadilan, kelancaran dan akuntabilitas pelayanan administrasi negara sesuai asas-asas pemerintahan yang baik dan bersih serta peradilan yang jujur dan tidak memihak berdasarkan asas-asas negara hukum yang mengedepankan supremasi hukum.
2.
Kedua, menjadi Ombudsman Parlementer yang diatur baik dalam Undang-Undang Dasar maupun diatur lebih lanjut dalam ketentuan perundang-undangan, dan dilaksanakan oleh individuindividu yang berintegritas tinggi disertai sikap penuh tanggungjawab demi memperoleh kepercayaan masyarakat.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Masa depan Ombudsman Nasional sebagaimana diterangkan dalam Visi pertama tersebut sesungguhnya merupakan tujuan jangka panjang sebab lebih sebagai cita-cita dalam arti Das Sollen (apa yang seharusnya) sehingga tidak bisa ditentukan dalam hitungan tahun kapan hal itu menjadi kenyataan. Apabila kita mencita-citakan tentang terpenuhinya keadilan, akuntabilitas pelayanan, penyelenggaraan pemerintahan negara yang baik dan lain-lain bukan berarti sedang berkhayal untuk mencapai sesuatu yang mustahil. Apa yang seharusnya (das Sollen) adalah arah ke mana kita harus menuju, tanpa arah tersebut kita akan sesat sebab tidak memiliki pedoman dalam perjalanan mencapai tujuan. Dengan demikian das Sollen itu sendiri mutlak perlu. Meskipun demikian dalam Visi pertama ini terdapat pula rumusan cita-cita yang amat realistis yaitu kehendak untuk mengupayakan Ombudsman Nasional menjadi Ombudsman yang independen. Visi tersebut sangat realistis karena independensi merupakan asas yang paling mendasar dan universal bagi Ombudsman. Permasalahannya bukan pada tercapai atau tidaknya independensi tersebut tetapi lebih pada kapan kita memiliki kemampuan untuk mencapainya, jadi lebih merupakan soal waktu. Pasal 2 Keputusan Presiden RI Nomor 44 Tahun 2000 dengan tegas mengatakan: Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berdasarkan Pancasila dan bersifat mandiri. Istilah mandiri sering pula disebut independen. Apabila kita mengatakan bahwa suatu institusi independen pada umumnya mencakup baik yang bersifat struktural maupun fungsional. Secara struktural mengandung makna yang berkaitan dengan struktur kelembagaan di mana institusi Ombudsman seharusnya tidak berada di bawah atau menjadi bagian dari institusi lain. Sebagai suatu lembaga berdiri sejajar dengan lembaga lain, hal inilah yang sering disebut sebagai independensi struktural. Kemandirian struktural pada tahap awal dapat dicapai melalui ketentuan formal sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000. Namun hukum formil tersebut memerlukan tindak lanjut, tidak sekedar dicantumkan dalam peraturan. Karena struktur kelembagaan yang independen mencakup status sehingga status kelembagaan yang mandiri harus benar-benar dapat meniadakan campur tangan struktural.
77
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Usaha mencapai independensi yang memerlukan waktu lebih lama adalah yang berkaitan dengan pelaksanaan substansi pengawasan. Aspek yang bersifat substansial tidak terkait dengan keadaan struktural, karena meskipun secara struktural kelembagaan bersifat independen namun pada kenyataannya dapat tidak independen secara substansial. Kebiasaan yang banyak terjadi di Indonesia untuk mempengaruhi kewenangan institusi lain dilakukan dengan nota, surat resmi, telepon tekanan dan lain-lain. Padahal secara institusi tidak ada keterkaitan satu dengan yang lain, pengaruh mempengaruhi ini terjadi saat pelaksanaan fungsi, karena itu agar dalam menjalankan fungsi tersebut maksimal seharusnya terdapat pula independensi fungsional. Aspek Independensi lain yang tidak kalah penting adalah mengenai individu ataupun orang yang mengemban tugas sebagai Ombudsman. Apapun struktur, kelembagaan serta fungsi yang diemban, keberhasilannya amat tergantung dari orang yang mengemban fungsi dalam lembaga yang bersangkutan. Di sini orang sebagai pelaksana tugas menjadi titik sentral sekaligus penanggungjawab atas keberhasilan misi yang diembannya. Pengemban tugas ini diharapkan tidak berpihak, bersikap adil, memiliki integritas, profesional dan lainlain. Sifat-sifat baik dari orang tersebut hanya dapat diwujudkan apabila ia dapat bersikap serta bertindak secara independen. Dengan kata lain seorang Ombudsman disyaratkan memiliki independensi personal. Pada masa-masa mendatang mewujudkan independensi sebagai salah satu visi Ombudsman sungguh merupakan sesuatu yang realistis karena independensi merupakan das Sein jika dibandingkan dengan visi untuk mewujudkan keadilan, akuntabilitas, pemerintahan yang bersih dan lain-lain. Tolok ukur independensi lebih mudah ditentukan. Selanjutnya Visi Ombudsman kedua yaitu mewujudkan Ombudsman Parlementer merupakan cita-cita yang konkrit, realistis, terukur dan jangka pendek. Ada 3 (tiga) ciri penting model Ombudsman Parlementer yaitu:
78
1.
Para Ombudsman dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
2.
Ombudsman menyampaikan laporan kepada parlemen meskipun tidak bertanggung jawab kepada parlemen.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
3.
Sasaran pengawasan adalah maladministrasi yang dilakukan oleh aparat pemerintah dan ataupun aparat peradilan
Cita-cita mewujudkan Ombudsman Parlementer akan tercapai pada saat Undang-Undang yang mengatur hal itu telah ditetapkan. Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang tersebut Parlemen memilih anggota Ombudsman. Diperkirakan tidak sampai kurun waktu lima tahun, apabila tidak terjadi perubahan pemahaman di antara penentu kebijakan/elit kekuasaan maka Ombudsman Parlemen akan terwujud. Salah satu kendala yang dapat menghadang ataupun memperlambat terwujudnya Ombudsman Parlemen adalah terlalu banyaknya masalah mendesak yang saat ini dihadapi bangsa Indonesia, baik ekonomi, politik, keamanan maupun sosial kemasyarakatan. Dalam kondisi yang penuh masalah tersebut Dewan Perwakilan Rakyat sebagai institusi yang seharusnya menggodog Undang-Undang tentunya juga memiliki prioritas. Komisi Ombudsman Nasional telah berusaha mewujudkan visi kedua ini melalui penyusunan dan pengajuan konsep Rancangan Undang-Undang Ombudsman kepada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat. Sebagai tindak lanjut atas tanggapan yang sangat positif dari Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Ombudsman Nasional juga melakukan berbagai pertemuan dengan DPR cq Badan Legislasi sehingga dapat diharapkan Rancangan Undang-Undang tersebut akan menjadi usul inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat. Keberadaan Ombudsman Nasional pada masa mendatang yang dilandasi oleh Undang-Undang akan sangat memperkuat posisinya sebagai lembaga pengawas. Institusi pengawas dimanapun selalu tidak disukai karena dirasa sering membatasi pelaksanaan kerja. Pelaksana merasa terganggu oleh pengawasan karenanya aparat pelaksana lebih banyak bersikap resisten daripada bersikap kooperatif. Melalui suatu landasan yang bersifat hukum formil maka tidak boleh tidak pengemban fungsi administrasi harus menerima keberadaan pengawas karena sudah menjadi perintah Undang-Undang. Sebagai visi yang tidak terpisahkan dari Ombudsman Nasional adalah keberadaan Ombudsman Daerah keinginan untuk membentuk Ombudsman Daerah sangat besar, hal mana dapat disimpulkan dari pertemuan, diskusi, lokakarya, training serta aktivitas lain yang dilaksanakan oleh Komisi Ombudsman Nasional dengan lembaga terkait di daerah.
79
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman Daerah yang semula dikonsepkan dalam Rancangan Undang-Undang hanya untuk wilayah propinsi ternyata cukup banyak yang menghendaki agar Daerah Kabupaten/Kota juga dibentuk Ombudsman karena pelaksanaan serta hakekat otonomi pada kenyataannya lebih pada wilayah Kabupaten/Kotamadya sehingga kecenderungan penyimpangan nantinya akan lebih banyak terjadi di wilayah Kabupaten dan Kotamadya. Pengawasan oleh Ombudsman Propinsi terhadap penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat wilayah Kabupaten/Kota akan kurang efektif karena prinsip otonomi tersebut. Pembentukan Ombudsman Daerah baik pada tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota akan mengeliminir kecenderungan penyimpangan/maladministrasi yang terjadi pada wilayah-wilayah yang bersangkutan. Namun demikian kiranya patut memperoleh perhatian bahwa konsep yang diajukan oleh Komisi Ombudsman Nasional adalah sifat independensi dari Ombudsman Daerah. Artinya Ombudsman Daerah nantinya bukan menjadi bagian dari Ombudsman Nasional, tidak ada subordinasi secara struktural karena masingmasing berdiri secara independen. Ombudsman Daerah bukan berada dalam sub ordinasi struktural dari Ombudsman Nasional. Hubungan yang ada lebih terkait dengan kerjasama, koordinasi serta tukar menukar informasi/program untuk kepentingan bersama. Ombudsman Daerah sangat diperlukan guna lebih mendorong proses penyelenggaraan pemerintahan yang baik di daerah.
80
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Penutup
1.
Keberadaan Komisi Ombudsman Nasional meskipun hanya dilandasi oleh Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 2000 namun dalam perjalanannya selama 2 (dua) tahun ini secara nyata memperoleh pengakuan (recognition) baik dari institusi terkait maupun dari masyarakat. Institusi terkait memberikan pengakuan keberadaan melalui langkah tindak lanjut serta korespondensi dengan Komisi Ombudsman Nasional, sedangkan masyarakat memberikan pengakuan melalui laporan-laporan yang mereka sampaikan di mana beberapa di antaranya mereka merasa memperoleh manfaat/keberhasilan sehingga mereka kemudian menyampaikan apresiasi kepada Ombudsman.
2.
Keberhasilan Ombudsman selain ditentukan oleh kinerjanya sendiri juga lebih banyak ditentukan oleh tekad dan kemauan para penyelenggara negara, aparat pemerintah serta peradilan untuk menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman. Tanpa langkah konkrit untuk perbaikan maka upaya memperbaiki serta mencegah penyimpangan/maladministrasi akan sia-sia. Kunci keberhasilan seharusnya dilakukan oleh institusi itu sendiri yang secara
81
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
internal mengambil tindakan, memperbaiki diri serta mencegah dilakukannya penyimpangan.
82
3.
Rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat lebih sebagai kontrol moral. Karena itu rekomendasi yang tidak mengikat tersebut semestinya bukan menjadi kelemahan bagi Ombudsman. Tetapi justru menjadi kekuatan Ombudsman. Apabila melalui suatu pertimbangan, saran atau rekomendasi Ombudsman yang tidak mengikat, namun diakui serta ditindaklanjuti berarti terdapat nilai-nilai kewibawaan ataupun penghormatan setidaktidaknya pengaruh terhadap institusi terkait. Sehingga memang mengandung kebenaran bahwa Ombudsman bukanlah Mahkamah Pemberi Sanksi (Magistrature of Sanction) melainkan Mahkamah Pemberi Pengaruh (Magistrature of Influence).
4.
Landasan hukum dalam bentuk Undang-Undang amat diperlukan demi memperkuat kedudukan serta efektivitas Ombudsman pada masa depan. Bahkan upaya untuk memasukkan lembaga Ombudsman dalam Undang-Undang Dasar harus terus diperjuangkan. Perkembangan Ombudsman secara internasional begitu cepat dalam arti semakin banyak negara yang mendirikan Ombudsman sekaligus juga banyak yang memperkuat statusnya melalui Undang-Undang dan ataupun Undang-Undang Dasar.
5.
Kerjasama dengan instansi Pemerintah/Peradilan, Akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Tokoh-tokoh Masyarakat, Perseorangan dan lain-lain demi lebih memperkenalkan sekaligus memperkuat eksistensi Ombudsman merupakan kegiatan yang amat penting untuk terus dilaksanakan. Keberhasilan kinerja Ombudsman tidak hanya ditentukan oleh Ombudsman sendiri melainkan oleh banyak pihak. Dengan kata lain terdapat tiga pilar yang menentukan keberhasilan Ombudsman yaitu Ombudsman, Penyelenggara Negara dan Masyarakat.
Lampiran
10 12 5 5
-
-
3
3
-
2
1
-
-
1
11
Kepolisian
BPN/Agraria
Pemerintah Daerah
Instansi Pemerintah/ TNI
BPPN/Perbankan
Badan Usaha Swasta/Badan Hukum/ Kuasa Hukum
DPR/DPRD
Perorangan/Kelompok Masyarakat
BUMN
Lain-lain
Jumlah 163
2
10
17
3
13
23
6
-
57
1
D.I. Aceh
Kejaksaan
Sumatera Utara
Pengadilan
KATEGORI TERLAPOR Riau 30
2
2
-
-
2
1
2
4
1
3
1
12 6
Sumatera Barat 27
2
1
3
-
1
-
1
3
2
5
3
Bengkulu 10
-
1
-
1
1
-
1
-
1
-
-
5
Jambi 13
3
-
-
-
-
-
1
-
-
3
3
3
Sumatera Selatan 46
2
3
7
3
3
1
4
2
2
3
3
13
Lampung 33
-
-
8
-
5
1
5
5
2
2
-
5
Jawa Barat
D.K.I. Jakarta 737
28
19
64
11
48
21
107
30
33
54
32
313
7
9
27
3
18
10
28
27
12
33
31
290 108
Jawa Tengah 120
3
5
3
4
3
-
17
8
10
12
7
48
D.I. Yogyakarta 48
3
3
2
1
1
-
6
3
3
7
3
16
Jawa Timur 274
4
7
26
5
21
13
26
11
7
28
31
95
Bali 29
2
-
2
-
2
2
1
4
-
3
3
10
22
-
-
1
-
1
2
6
3
2
-
3
4
Nusa Tenggara Barat
PROPINSI Nusa Tenggara Timur 17
2
2
-
-
1
-
1
2
-
1
1
7
Kalimantan Barat 17
-
2
-
-
3
1
2
1
2
2
1
3
32
-
1
4
-
3
-
4
4
4
1
1
10
Kalimantan Timur
TABEL JUMLAH TERLAPOR BERDASARKAN PROPINSI (Maret s.d. Desember 2000)
Kalimantan Tengah 15
3
-
1
2
1
-
-
1
3
2
1
1
Kalimantan Selatan 16
-
1
-
-
3
-
1
3
-
1
1
6
Sulawesi Selatan 59
1
7
5
1
4
-
6
5
6
5
-
19
Sulawesi Utara 25
2
2
1
-
2
-
2
1
-
1
1
13
Sulawesi Tenggara 3
-
-
-
-
-
-
-
1
1
1
-
-
Sulawesi Tengah 7
1
2
1
-
-
-
1
1
-
-
-
1
Maluku 5
-
-
-
-
1
-
-
2
-
-
-
2
Irian Jaya 2
-
-
-
-
-
-
1
-
-
1
-
-
2074
68
77
172
35
139
57
231
136
101
191
132
735 Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
85
86
4
127
D.I. Aceh Sumatera Selatan Jawa Timur Kalimantan Tengah Maluku
0
100
200
300
400
500
600
700
26 7
7
39
Sumatera Utara Lampung Bali Kalimantan Selatan Irian Jaya
20
32
252
39 23 18
14
14
23
Sumatera Barat Jawa Barat Nusa Tenggara Timur Sulawesi Utara
P R O P I N S I
95
234
Riau DKI Jakarta Nusa Tenggara Barat Sulawesi Selatan *Anonim*
629
Maret s.d Desember 2000
10
41
23
4
Bengkulu Jawa Tengah Kalimantan Barat Sulawesi Tenggara
14
DIAGRAM JUMLAH PELAPOR BERDASARKAN PROPINSI
3
2
13
Jambi DI Yogyakarta Kalimantan Timur Sulawesi Tengah
4
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
JUMLAH PELAPOR
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
DIAGRAM JUMLAH PENGADUAN (Maret s.d. Desember 2000) 298
1425
Laporan yang belum diproses
Laporan yang sudah diproses
DIAGRAM JUMLAH PENGADUAN (Maret s.d. Desember 2000)
400
836 189
Laporan sudah dibuatkan Rekomendasinya Laporan dalam proses pembuatan Rekomendasi Laporan bukan wewenang Komisi Ombudsman Nasional
DIAGRAM TANGGAPAN TERLAPOR TERHADAP REKOMENDASI (Maret s.d. Desember 2000)
342
494
Laporan yang sudah ditanggapi
Laporan yang belum ditanggapi
87
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Tabel Tanggapan Terlapor terhadap Rekomendasi Ombudsman Nasional (Maret s.d. Desember 2000) Klasifikasi Terlapor
Σ
Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec
Pengadilan
0
0
3
19
19
45
43
45
48
24
246
Kejaksaan
0
0
2
8
3
4
8
13
3
6
47
Kepolisian
0
0
1
0
5
12
4
2
3
6
33
BPN/Agraria
0
0
0
1
1
2
3
6
2
2
17
Pemerintah Daerah
0
0
0
0
2
8
2
10
4
5
31
Instansi Pemerintah/TNI
0
0
4
4
12
10
11
16
7
5
69
Perseorangan/Kelompok Masyarakat
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
BPPN/Perbankan
0
0
0
1
1
4
1
2
1
2
12
Badan Usaha Swasta/ Badan Hukum/Kuasa Hukum
0
0
3
4
3
5
7
1
0
0
23
DPR/DPRD
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
BUMN
0
0
0
0
0
2
1
2
4
5
14
Lain-lain
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
Jumlah
0
0
13
37
46
93
80
97
73
55
494
DIAGRAM TANGGAPAN TERLAPOR (Maret s.d. Desember 2000) 50% 10%
7%
3% 6% 0%
3%
0%
Pengadilan Kejaksaan Kepolisian BPN/Agraria Pemerintah Daerah Instansi Pemerintah/TNI
88
5%
2% 0%
14%
Perseorangan/Kelompok Masyarakat BPPN/Perbankan Badan Usaha Swasta/Badan Hukum/Kuasa Hukum DPR/DPRD BUMN Lain-lain
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
TABEL KLASIFIKASI PELAPOR (Maret s.d. Desember 2000) Jumlah Pelapor Berdasarkan Kategori* BULAN
1
2
3
4
5
6
-
Maret
79
22
8
1
11
0
121
April
122
43
17
0
18
3
203
Mei
188
67
21
1
34
9
320
Juni
186
47
29
2
23
1
288
Juli
159
59
24
10
32
0
284
Agustus
109
28
7
0
22
0
166
September
70
21
9
1
10
0
111
Oktober
70
9
4
0
9
0
92
November
57
16
3
0
15
0
91
Desember TOTAL
26
14
3
0
4
0
47
1066
326
125
15
178
13
1723
DIAGRAM KLASIFIKASI PELAPOR (Maret s.d. Desember 2000)
62%
19%
7% 1% 10%
1%
1 Keterangan:
2 1. 2. 3. 4. 5. 6.
3
4
5
6
Perorangan Kuasa Hukum Badan Hukum Instansi Pemerintah Kelompok/Organisasi Masyarakat Lain-lain
89
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
TABEL KATEGORI TERLAPOR (Maret s.d. Desember 2000)
-
Kategori Terlapor
Mar Apr Mei Jun Jul
Agt Sep Okt Nov Des
Pengadilan
41
90
136 103 100
75
61
56
53
20
735
Kejaksaan
11
20
29
24
13
12
6
1
12
4
132
Kepolisian
16
27
30
20
41
25
10
9
11
2
191
BPN/Agraria
7
12
24
9
16
11
11
4
4
2
100
Pemerintah Daerah
7
17
27
24
13
13
9
9
13
4
136
Instansi Pemerintah/TNI
33
28
52
33
29
22
12
14
7
1
231
BPPN/Perbankan
2
10
15
10
3
4
2
4
6
2
58
Badan Usaha Swasta/Badan Hukum/Kuasa Hukum
8
14
16
32
18
10
8
20
11
2
139
DPR/DPRD
3
2
9
15
1
2
0
2
0
1
35
Perorangan/Kelompok Masyarakat
2
10
28
28
26
21
17
27
12
2
173
BUMN
9
7
16
24
3
6
3
2
5
1
76
Lain-lain
0
7
10
11
24
8
4
1
3
0
68
41
2074
Jumlah
139 244 392
333 287 209 143
149 137
DIAGRAM KATEGORI TERLAPOR (Maret s.d. Desember 2000) 4%
3%
8% 2% 7% 35% 3%
11%
7%
6% 5%
Pengadilan Kejaksaan Kepolisian BPN/Agraria Pemerintah Daerah Instansi Pemerintah/TNI
90
9% BPPN/Perbankan Perseorangan/Kelompok Masyarakat Badan Usaha Swasta/Badan Hukum/Kuasa Hukum DPR/DPRD BUMN Lain-lain
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
TABEL SUBSTANSI LAPORAN (Maret s.d. Desember 2000) Substansi Laporan
Mar Apr May Jun Jul
Aug Sep Oct Nov Des
Σ
Pemalsuan/Persekongkolan
11
15
20
29
18
26
8
19
20
12
178
Intervensi
2
4
17
7
16
1
0
1
1
1
50
Penanganan Berlarut/ Tidak Menangani
36
54
52
51
52
19
8
21
14
11
318
Inkompetensi
5
1
17
4
9
0
0
0
1
1
38
Penyalahgunaan Wewenang/Berlebihan
23
17
23
32
54
48
28
32
41
20
318
Nyata-nyata Berpihak
11
17
32
15
26
16
1
11
15
8
152
Imbalan (uang, hadiah, fasilitas, dll.)/Praktek KKN
14
42
57
41
48
50
24
9
26
15
326
Penyimpangan Prosedur
24
31
30
28
24
22
31
26
44
29
289
Penggelapan Barang Bukti/ Penguasaan Tanpa Hak
2
13
24
28
40
11
8
12
17
3
158
Bertindak Tidak Layak
1
5
7
8
21
1
1
0
4
0
48
Melalaikan Kewajiban
2
0
39
19
18
20
15
19
21
10
163
Lain-lain
11
31
64
17
41
27
17
3
5
11
227
Jumlah
142
230
382
279
367
241
141
153
209
121 2265
DIAGRAM SUBSTANSI LAPORAN (Maret s.d. Desember 2000) 16%
4% 25%
8%
10%
1% 8%
17% 8%
Pemalsuan/Persekongkolan Intervensi Penanganan Berlarut/Tidak Menangani Inkompetensi Penyalahgunaan Wewenang/Berlebihan Nyata-nyata Berpihak
1%
1%
1%
Imbalan (uang, hadiah, fasilitas, dll.)/Praktek KKN Penyimpangan Prosedur Penggelapan Barang Bukti/Penguasaan Tanpa Hak Bertindak Tidak Layak Melalaikan Kewajiban Lain-lain
91
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Prof. Dr. Bagir Manan SH, MCL dan Ibu Sri Urip saat menghadiri Diskusi Sehari RUU tentang Ombudsman di Makassar, 26 Oktober 2000. (Keduanya mantan anggota Ombudsman Nasional tahun 2000)
Pakar Ombudsman Internasional, Mr. Dean Gottehrer saat memberikan ceramahanya pada Lokakarya Ombudsman Daerah di Bali, 21 - 22 Februari 2002. Didampingi oleh Mrs. Gottehrer, Dr. Friets R. Tambunan dan Ketua Komisi Ombudsman Nasional.
92
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Mr. Kim Mc Quay dari The Asia Foundation saat menerima buku Ombudsman Indonesia di Tengah Ombudsman Internasional dari Ketua Ombudsman Indoensia. (The Asia Foundation selama ini sangat membantu kegiatan Ombudsman Nasional)
Ketua Ombudsman Thailand, Mr. Pichet Soontorn Pipit saat memberikan ceramahnya pada Diskusi Sehari RUU tentang Ombudsman di Jakarta, 20 Maret 2002 didampingi oleh Wakil Ketua Ombudsman Nasional, Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH.
93
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Kehadiran Ketua Badan Legislasi DPR RI, Bapak Zein Badjeber saat berbincang dengan Wakil Ketua Ombudsman Nasional, Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH dan anggota Ombudsman, Bapak R.M. Surachman, APU disampingnya adalah Ketua Ombudsman Thailand diapit oleh Bapak Ir. Rio Tambunan dan Bapak Jeffry Dompas pada saat menghadiran Peringatan 2 Tahun Komisi Ombudsman Nasional di Jakarta, 20 Maret 2002.
Doa dan pemotongan tumpeng dipimpin oleh Bapak Bisman Siregar didampingi Ketua Ombudsman Nasional pada Perayaan 2 Tahun Komisi Ombudsman Nasional di Jakarta tanggal 20 Maret 2002.
94
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2000 TENTANG KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a.
b.
c.
d.
bahwa pemberdayaan masyarakat melalui peran serta mereka untuk melakukan pengawasan akan lebih menjamin penyelenggaraan negara yang jujur, bersih, transparan, bebas korupsi, kolusi dan nepotisme; bahwa pemberdayaan pengawasan oleh masyarakat terhadap penyelenggaraan negara merupakan implementasi demokratisasi yang perlu dikembangkan serta diaplikasikan agar penyalahgunaan kekuasaan, wewenang ataupun jabatan oleh aparatur dapat diminimalisasi; bahwa dalam penyelenggaraan negara khususnya penyelenggaraan pemerintahan memberikan pelayanan dan perlindungan terhadap hak-hak anggota masyarakat oleh aparatur pemerintah termasuk lembaga peradilan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya untuk menciptakan keadilan dan kesejahteraan; bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas dan memperhatikan dengan seksama aspirasi yang berkembang dalam masyarakat, maka sam-
95
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
bil menyiapkan Rancangan Undang-Undang yang mengatur mengenai lembaga Ombudsman secara lengkap dipandang perlu membentuk suatu komisi pengawasan oleh masyarakat yang bersifat mandiri dan disebut Komisi Ombudsman Nasional; Mengingat
: Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945; MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN PRESIDEN TENTANG KOMISI OMBUDSMAN NASIONAL.
BAB I NAMA, ASAS, SIFAT DAN TUJUAN Pasal 1 Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap penyelenggaraan negara serta untuk menjamin perlindungan hak-hak masyarakat, dibentuk suatu komisi pengawasan masyarakat yang bersifat nasional yang bernama Komisi Ombudsman Nasional, selanjutnya dalam Keputusan Presiden ini disebut Ombudsman Nasional. Pasal 2 Ombudsman Nasional adalah lembaga pengawasan masyarakat yang berasaskan Pancasila dan bersifat mandiri, serta berwenang melakukan klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan atas laporan masyarakat mengenai penyelenggaraan negara khususnya pelaksanaan oleh aparatur pemerintahan termasuk lembaga peradilan terutama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
a.
96
Pasal 3 Ombudsman Nasional bertujuan Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksanakan
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. b.
Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan, dan kesejahteraan secara lebih baik. BAB II TUGAS POKOK
Pasal 4 Untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Ombudsman Nasional mempunyai tugas a.
Menyebarluaskan pemahaman mengenai lembaga Ombudsman.
b.
Melakukan koordinasi dan atau kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dan lain-lain.
c.
Melakukan langkah untuk menindaklanjuti laporan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam memberikan pelayanan umum.
d.
Mempersiapkan konsep Rancangan Undang-undang tentang Ombudsman Nasional. BAB III SUSUNAN ORGANISASI DAN WEWENANG
a. b. c. d.
Pasal 5 Susunan Organisasi Ombudsman Nasional, terdiri atas Rapat Paripurna Sub Komisi. Sekretariat. Tim Asistensi dan Staf Administrasi. Pasal 6
(1) Ombudsman Nasional dipimpin oleh seorang Ketua dan dibantu oleh seorang Wakil Ketua, serta anggota sebanyak-banyaknya 9 (sembilan) orang, yang terdiri dari tokoh-tokoh yang memiliki
97
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
kemampuan untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud Pasal 4 guna mencapai tujuan sebagaimana dimaksud Pasal 3; (2) Untuk pertama kali Susunan keanggotaan Ombudsman Nasional ditetapkan dengan Keputusan Presiden dengan Susunan sebagaimana terdapat dalam Lampiran Keputusan Presiden ini. Pasal 7 (1) Rapat Paripurna adalah pemegang kekuasaan tertinggi Ombudsman Nasional. (2) Rapat Paripurna terdiri dari seluruh anggota Ombudsman Nasional. Pasal 8 (1) Pelaksanaan kegiatan Ombudsman Nasional sehari-hari dilakukan oleh Sub Komisi yang terdiri dari : Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan, Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan, Sub Komisi Pencegahan dan Sub Komisi Khusus. (2) Sub Komisi dipimpin oleh seorang Ketua yang ditentukan berdasarkan keputusan Rapat Paripurna. Pasal 9 Sub Komisi Klarifikasi, Monitoring dan Pemeriksaan mempunyai wewenang
98
a.
Melakukan klarifikasi atau monitoring terhadap aparatur pemerintahan serta lembaga peradilan berdasarkan laporan serta informasi mengenai dugaan adanya penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan umum, tingkah laku serta perbuatan yang menyimpang dari kewajiban hukumnya.
b.
Meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat terkait dalam melaksanakan klarifikasi atau monitoring.
c.
Melakukan pemeriksaan terhadap petugas atau pejabat yang dilaporkan oleh masyarakat serta pihak lain yang terkait guna memperoleh keterangan dengan memperhatikan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
d.
Menyampaikan hasil klarifikasi, monitoring atau pemeriksaan disertai pendapat dan saran kepada instansi terkait dan atau aparat penegak hukum yang berwenang untuk ditindaklanjuti.
e.
Melakukan tindakan-tindakan lain guna mengungkap terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh penyelenggara negara.
Pasal 10 Sub Komisi Penyuluhan dan Pendidikan mempunyai wewenang a.
Melakukan penyuluhan guna mengefektifkan pengawasan oleh masyarakat.
b.
Mengajak masyarakat melakukan kampanye dan tindakan konkrit anti Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
c.
Mendorong anggota masyarakat untuk lebih menyadari akan hakhaknya dalam memperoleh pelayanan.
d.
Menyebarluaskan pemahaman mengenai Ombudsman Nasional.
e.
Meningkatkan kemampuan dan keterampilan para petugas Ombudsman Nasional.
f.
Menyelesaikan penyusunan konsep Rancangan Undang-Undang tentang Ombudsman Nasional dalam waktu paling lambat enam bulan sejak ditetapkannya Keputusan Presiden ini.
Pasal 11 Sub Komisi Pencegahan mempunyai wewenang a.
Melakukan kerjasama dengan perseorangan, Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam penyelenggaraan negara.
b.
Memonitor dan mengawasi tindak lanjut rekomendasi Ombudsman Nasional kepada lembaga terkait.
Pasal 12 Sub Komisi Khusus mempunyai wewenang a.
Menyusun dan mempersiapkan laporan rutin dan insidentil.
b.
Melakukan tugas-tugas yang ditentukan secara khusus oleh Rapat Paripurna.
99
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Pasal 13 (1) Dalam melaksanakan tugas pokok dan wewenangnya, Ombudsman Nasional dilengkapi dengan Tim Asistensi dan Staf Administrasi. (2) Tim Asistensi terdiri dari tenaga yang memiliki kemampuan, pengalaman ataupun keahlian untuk melaksanakan tugas berdasarkan mandat dari Sub Komisi. (3) Staf Administrasi melaksanakan tugas yang bersifat administratif. Pasal 14 Sekretariat dipimpin oleh seorang Sekretaris dan bertugas memberi pelayanan administratif yang meliputi kepegawaian, keuangan, perlengkapan, kerumahtanggaan serta sarana penunjang lainnya yang diperlukan bagi kelancaran tugas Ombudsman Nasional. BAB IV BIDANG PENDUKUNG DAN PEMBIAYAAN Pasal 15 Rapat Paripurna dapat membentuk Pengawas untuk melakukan pengawasan serta memberikan saran dan pertimbangan bagi keberhasilan pelaksanaan tugas Ombudsman Nasional. Pasal 17 Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Ombudsman Nasional dibebankan kepada Anggaran Belanja Sekretariat Negara. BAB V PENUTUP Pasal 18 Hal-hal yang belum diatur serta prosedur kerja sebagai pelaksanaan Keputusan Presiden ini ditentukan lebih lanjut dalam Tata Kerja yang diputuskan oleh Rapat Paripurna.
100
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Pasal 19 Dengan berlakunya Keputusan Presiden ini maka Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 155 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Pembentukan Lembaga Ombudsman dinyatakan tidak berlaku. Pasal 20 Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 10 Maret 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd
ABDURRAHMAN WAHID
101
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
LAMPIRAN KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2000 TANGGAL 10 MARET 2000
SUSUNAN KEANGGOTAAN OMBUDSMAN NASIONAL Ketua merangkap Anggota
: Antonius Sujata, SH;
Wakil Ketua merangkap Anggota : Prof. Dr. C.F.G. Sunaryati Hartono, SH; Anggota
: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Prof. Dr. Bagir Manan, SH, MCL; Drs. Teten Masduki; Ir. Sri Urip; R.M. Surachman, SH, APU; Pradjoto, SH, MA; K.H. Masdar Farid Masudi, MA.
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
ABDURRAHMAN WAHID
102
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA NOMOR VIII/MPR/2001 TENTANG REKOMENDASI ARAH KEBIJAKAN PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Menimbang
: a.
b.
c.
bahwa permasalahan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang melanda bangsa Indonesia sudah sangat serius, dan merupakan kejahatan yang luar biasa dan menggoyahkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara; bahwa sejak tahun 1998, masalah pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme telah ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia sebagai salah satu agenda reformasi, tetapi belum menunjukkan arah perubahan dan hasil sebagaimana diharapkan; bahwa terdapat desakan kuat masyarakat yang menginginkan terwujudnya berbagai langkah nyata oleh pemerintah dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya dalam hal pemberantasan dan pencegahan korupsi, kolusi, dan nepotisme;
103
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
d.
e.
Mengingat
: 1.
2.
3.
4.
Memperhatikan : 1.
104
bahwa pembaruan komitmen dan kemauan politik untuk memberantas dan mencegah korupsi, kolusi, dan nepotisme memerlukan langkah-langkah percepatan; bahwa sehubungan dengan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a.b.c. dan 4/d perlu adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pasal 1 ayat (2), Pasal 2, Pasal 3, Pasal 23, Pasal 28IV/d ayat (1) dan Pasal 33 Undang Undang Dasar 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1999 tentang Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat Repubiik Indonesia sebagaimana telah diubah terakhir dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2001; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Naluan Negara Tahun 1999 - 2004. Keputusan Majelis Permusyawatan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/2001 tentang Jadwal Acara Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
2.
3.
4.
Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2001 tentang Perubahan Jadwal Acara Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001; Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VII/MPR/2001 tentang Pembentukan dan Tugas Komisi Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001; Permusyawaratan dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tanggal 1 sampai dengan 9 Nopember 2001 yang membahas Rancangan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme; Putusan Rapat Paripurna ke-7 (lanjutan) tanggal 9 Nopember 2001 Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. MEMUTUSKAN
Menetapkan
: KETETAPAN MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA TENTANG REKOMENDASI ARAH KEBIJAKAN PEMBERANTASAN DAN PENCEGAHAN KORUPSI, KOLUSI, DAN NEPOTISME,
Pasal 1 Rekomendasi Arah Kebijakan ini dimaksudkan untuk mempercepat dan lebih menjamin efektivitas pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme sebagaimana diamanatkan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
105
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, serta berbagai peraturan perundang-undangan yang terkait. Pasal 2 Arah kebijakan pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme adalah: 1.
Mempercepat proses hukum terhadap aparatur pemerintah terutama aparat penegak hukum dan penyelenggara negara yang diduga melakukan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta dapat dilakukan tindakan administratif untuk memperlancar proses hukum.
2.
Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi dimasa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya.
3.
Mendorong partisipasi masyarakat luas dalam mengawasi dan melaporkan kepada pihak yang berwenang berbagai dugaan praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pegawai negeri, penyelenggara negara dan anggota masyarakat.
4.
Mencabut, mengubah, atau mengganti semua peraturan perundang-undangan serta keputusan-keputusan penyelenggara negara yang berindikasi melindungi atau memungkinkan terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
5.
Merevisi semua peraturan perundang-undangan yang berkenaan dengan korupsi sehingga sinkron dan konsisten satu dengan yang lainnya.
6.
Membentuk Undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya untuk pencegahan korupsi yang muatannya meliputi: a. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b. Perlindungan Saksi dan Korban; c. Kejahatan Terorganisasi; d. Kebebasan Mendapatkan Informasi; e. Etika Pemerintahan; f. Kejahatan Pencucian Uang; g. Ombudsman.
106
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
7.
Perlu segera membentuk Undang-undang guna mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan kolusi dan/atau nepotisme yang dapat mengakibatkan terjadinya tindak pidana korupsi.
Pasal 3 Rekomendasi arah kebijakan ini ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia dan lembaga-lembaga tinggi negara lainnya untuk dilaksanakan sesuai dengan peran, tugas, dan fungsi masing-masing, dan dilaporkan pelaksanaannya pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. Pasal 4 Ketetapan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal 9 Nopember 2001 MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA, Ketua, Ttd: Prof. Dr. H. M. Amien Rais
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
ttd.
ttd
Prof.Dr.Ir.Ginandjar Kartasasmita
Ir.Sutjipto
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
ttd.
ttd.
Prof.Dr.Yusuf Amir Feisal, S.Pd.
Drs.H.M.Husnie Thamrin
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
ttd.
ttd.
Drs. H.A. Nazri Adlani
Agus Widjojo
107
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
108
Makalah
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Pengantar Peluncuran
Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (sebuah Antologi oleh Antonius Sujata dan RM Surachman)
U
ntuk memperingati Ulang Tahun Kedua Komisi Ombudsman Nasional, pada hari ini tanggal 20 Maret 2002, kami, para penulis Buku juga sebagai Ombudsman, meluncurkan sebuah Antologi Tentang Kelembagaan Ombudsman berjudul Ombudsman lndonesia di tengah Ombudsman Internasional. Sampai saat ini Antologi mengenai Ombudsman semacam ini merupakan yang pertama di Indonesia. Dalam waktu yang sangat singkat, keputusan kami ambil untuk mengumpulkan esei-esei menjadi berbentuk buku. Kami ingin mengucapkan terima kasih, dalam kesempatan ini, kepada The Asia Foundation yang telah mendukung penerbitan buku kami.
Dua ratus tahun yang lalu, tepatnya dalam tahun 1809, Ombudsman Parlementer pertama didirikan di Stockholm, Swedia. Institusi tersebut berwenang untuk mengawasi agar para pejabat publik dan para hakim memperhatikan hukum
111
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
atau perundang-undangan dan untuk melakukan penuntutan terhadap para pejabat publik termasuk para hakim yang melakukan tindak pidana, sewaktu menjalankan tugasnya.1 Di tahun berikutnya, Herman Willem Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda, memerintahkan para pejabat pembantunya untuk membuat jalan utama dari Anyer, Banten sampai ke Banyuwangi, Jawa Timur; sehingga perjalanan yang memakan waktu 40 hari bisa dipersingkat menjadi 7 hari saja.2 Hampir dua abad kemudian, ketika jalan-jalan bebas hambatan telah banyak dibuat di Pulau Jawa, dan perjalanan dari Jawa Bagian Barat ke Bagian Timur dapat ditempuh dalam hitungan jam, Ombudsman Nasional didirikan di lbukota, Jakarta. Sesungguhnya, laju penyebaran kelembagaan Ombudsman sangat lamban, bahkan hingga tahun 70-an baru ada sekitar sepuluh buah Ombudsman Nasional di planet Bumi ini. Sejarah kelembagaan Ombudsman mencatat, negara berbahasa Inggris pertama di luar Eropa yang mendirikan sebuah Ombudsman Parlementer adalah New Zealand (1962). Institusi tersebut berorientasi pada Ombudsman Parlementer Denmark, sebuah varian Ombudsman Klasik yang didirikan di Kopenhagen dalam tahun 1955.3 Dewasa ini ada sekitar 110 Ombudsman Nasional dan 25 lebih Ombudsman Daerah (Ombudsman Sub-Nasional). Sebagian besar dari padanya diatur oleh undang-undang, bahkan lebih dari 50 Ombudsman Nasional diatur dalam Konstitusi (UUD).4 Merupakan kenyataan, Komisi Ombudsman belum diatur oleh undang-undang, tetapi masih berdasarkan Keputusan Presiden, yaitu Keppres No. 44 Th. 2000. Dalam pada itu, Ombudsman Nasional sudah merampungkan penyusunan Konsep RUU tentang Ombudsman Nasional. Badan Legislasi DPR sedang meninjau kembali Konsep RUU tersebut dalam persiapan
1. Cf. Bengt Wieslander, The Parliamentary Ombudsman in Sweden (The Bank of Sweden Tercentenary Foundation & Gidlunds Bokforlag, 1999), hal. 14-hal. 16 dan hal. 17. 2. Lihat Winkler Prins Ensiklopedie. 3. Lihat Sir John Robertson, The Danish Ombudsman: New Zealand Precedent dalam Hans Gammeltoft-Hansen dan Flemming Axmark, eds., The Danish Ombudsman (Copenhagen: Department of Information, Ministry of Foreign Affairs, 1955), hal. 33-hal. 38; dirujuk juga dalam Bryan tilling, The Ombudsman in New Zealand (Palmerstone North: Dunmore Press Limited, 1998), hal. 16-hal. 17. 4. Dean M. Gottehrer, Ombudsman Legislative Resource Document, Occasional Paper #65 (International Ombudsman Institute).
112
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
untuk menyerahkannya kepada Sidang Paripurna DPR guna dibahas dan dijadikan undang-undang. Singkatnya, Komisi Ombudsman yang sekarang akan menjadi Ombudsman yang dilandasi undang-undang. Dalam mengemban fungsi serta misinya, Institusi Ombudsman dengan nama atau sebutan apapun harus dilandasi oleh prinsip yang bersifat universal yang mencakup independensi, integritas, tidak berpihak, proporsional, professional, tanpa pungutan biaya, dan lainlain.5 Implementasi dari fungsi serta misi tersebut antara lain adalah untuk:6 a.
lebih menjamin keterbukaan;
b.
agar pemberian pelayanan lebih mudah dijangkau oleh masyarakat;
c.
untuk menjamin agar setiap keputusan pejabat pemerintah memiliki landasan hukum dan rasional;
d.
menghormati rasa keadilan;
e.
melayani publik secara lebih baik;
f.
memberi pemahaman kepada masyarakat agar mereka lebih mudah berhubungan dengan Pemerintah dalam kehidupan sehari-hari;
g.
menghargai martabat pribadi;
h.
meningkatkan rasa tanggung jawab masyarakat maupun pejabat pemerintah.
Tidak perlu diragukan lagi, Sistem Ombudsman merupakan salah satu simbol demokrasi yang menjunjung dan memajukan asas negara hukum. Kendatipun begitu, kebanyakan negara di dunia, dalam mengusahakan pencapaian dan pemajuan pemerintahan yang baik, bukan menerapkan Model Swedia secara murni, melainkan varian lain, yaitu Ombudsman Klasik Denmark yang disebut Folketingets Ombudsmand. Tidak seperti Ombudsman di Swedia dan Finlandia,
5. Lihat Code of Good Administrative Behaviour [of all European Institutions and Bodies] dalam Antonius Sujata dan RM Surachman, Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional (Jakarta: Komisi Ombudsman Nasional, 2002), hal. 233. 6. Lihat The Quebec Ombudsman»s Social Contract
113
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman di Denmark mengawasi birokrasi dan administrasi negara tanpa memiliki kewenangan penuntutan. Maka, esei pertama dalam Antologi kami menguraikan peranan Ombudsman dalam memajukan pemerintahan yang baik (good governance). Sementara itu, tidak lama setelah pembentukan Komisi Ombudsman, banyak yang berkonsultasi serta menghubungi kami dengan maksud ingin mendirikan Ombudsman Daerah di wilayahnya. Kebetulan keinginan tersebut sesuai dengan kegiatan-kegiatan Komisi untuk memajukan kelembagaan Ombudsman di daerah. Kegiatan tersebut memperoleh dukungan The Partnership for Good Governance Reform in Indonesia melalui The United Nations Development Program (UNDP). Maka, esei kedua dan ketiga berturut-turut berkenaan dengan perkembangan kelembagaan Ombudsman di dunia dan prospek pembentukan Ombudsman-Ombudsman Daerah di Indonesia. Esei ketiga pun mempersoalkan apakah perlu mencantumkan ketentuan-ketentuan dasar mengenai kelembagaan Ombudsman di dalam UUD 1945. Dalam Sistem demokrasi yang menjunjung asasasas negara hukum atau rule of law yang salah satu elemennya adalah supremasi hukum- serta ditopang oleh sistem pengawasan dan keseimbangan (checks and balances), dengan sendirinya Institusi Ombudsman perlu diberi landasan konstitusional, yaitu dengan mencantumkannya dalam UUD. Dalam hubungan itu, menurut Montesquieu, bukan hanya UU, melainkan juga UUD harus digunakan dalam melakukan pengawasan (check) terhadap pemerintahan dengan dibantu oleh pemisahan kekuasaan (separation of powers).7 Ombudsman Nasional Indonesia adalah pengawas (checker) yang tepat. Demi memperkokoh kedudukannya, maka pengaturan konstitusional dalam UUD mengenai kelembagaan Ombudsman sangat perlu. Salah satu ciri Komisi Ombudsman Nasional adalah kewenangan mengawasi sistem pengadilan. Ini mengingatkan kita pada Institusi Ombudsman di Swedia, Finlandia, dan Negara Bagian Alaska, AS Dalam hubungan ini, kami merujuk Seminar Ombudsman di Ljublana, Slovenia (12-13 November 2000). Para Utusan Komisi Ombudsman
7. Office of Federal Ombudsman [Kingdom of Belgium], Annual Report 1997, hal 14.
114
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
HAM maupun Institusi Ombudsman saling bertukar pendapat dan pengalaman guna mengetahui bagaimana seharusnya Ombudsman bersikap dalam hubungannya dengan Peradilan, seperti yang tersurat dalam cuplikan berikut dari yang mereka namakan Kesimpulan:kesimpulan Ljublana:8 Dalam negara-negara demokrasi dengan adanya sistem pembagian kekuasaan, bahkan lebih-lebih lagi di negara-negara dengan tradisi demokrasi dan asas negara hukum yang lebih baru lagi, kebebasan peradilan sangat penting karena dibandingkan dengan cabang kekuasaan yang lain, pengadilan lebih peka terhadap penyusupan oleh badan kenegaraan lain. Akan tetapi dalam hal fungsi pengadilan yang tidak bersifat mengadili, mungkin saja diperlukan usaha memperbaiki efesiensi, dengan tetap menjunjung kebebasan pengadilan. Usaha tersebut tidak lain merupakan sumbangan guna meningkatkan kepercayaan publik pada peradilan. Dalam hal ini, bantuan dari badan-badan seperti Ombudsman, yang berada di luar kekuasaan yudisial, dapat memainkan peran yang berarti. (Butir 2.) Kekuasaan Ombudsman dalam hubungannya dengan cabang kekuasaan yudisial hanya sebatas yang tidak dapat mebahayakan kebebasan dan ketidakberpihakan Para hakim sewaktu memutus perkara. Jika diperkenankan oleh peraturan perundang-undangan, dalam perkara-perkara tertentu yang sedang ditangani pengadilan, sepanjang mengenai fungsi mengadili peran Ombudsman harus sepenuhnya menjunjung kebebasan pengadilan dari segala pengaruh dari luar, sedangkan sepanjang yang bukan bersifat mengadili, Ombudsman boleh mencampuri aspek-aspek prosedural administrasi perkara secara kasus demi kasus. Kami menghargai bahwa di beberapa negara, Ombudsman memiliki kesempatan hadir di pengadilan untuk memberikan pendapat dalam kapasitasnya sebagai penyeimbang bagi pengadilan. (Butir 4). Dalam hal peraturan perundang-undangan tidak memberi kekuasaan khusus apapun kepada Ombudsman dalam hubung8. Informasi diperoleh dari Dean M. Gottehrer yang dikirimkan melalui e-mail. Di antara yang hadir dalam Seminar adalah Ombudsman atau wakilnya dari Ombudsman HAM dan Institusiinstitusi Ombudsman Swedia, Belgia, Yunani, Albania, Bulgaria, Rumania, Republik Cheko, Polandia, Kroasia dan Slovenia (Tuan Rumah).
115
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
annya dengan pengadilan, namun berdasarkan kekuasaannya yang umum Ombudsman boleh memberikan pandangannya mengenai fungsi sistem yudisial. (Butir 5) Sebelum membaca pernyataan kesimpulan tersebut, kami sudah menulis esei keempat (yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris), sebagai makalah bagi Konferensi Ombudsman Asia V di Manila, Filipina (17-20 Juli 2000). Demikianlah, Ombudsman dan Sistem Peradilan membahas keadaan peradilan kita dewasa ini. Kami menyesal sekali, karena baru saja menemukan kritik tajam atas korupsi di peradilan Indonesia setelah buku ini dicetak. Seperti diungkapkan oleh Profesor Susan Rose-Ackerman, di Jakarta, keadilan itu milik Penawar yang tinggi (in Jakarta, Indonesia, justice belongs to the high bidder).»» 9 Kiranya patut diketahui, Komisi Ombudsman Nasional adalah sebuah Ombudsman Eksekutif. Ini berarti, Ketua Ombudsman harus mengirimkan laporan insidental, maupun laporan tahunan kepada Presiden (sebagai Kepala Negara) yang memilihnya. Sebaliknya, nanti Ombudsman Nasional Indonesia menjadi sebuah Ombudsman Parlementer. Ini berarti, Ketua Ombudsman harus menyampaikan segala laporannya kepada DPR, karena DPR-lah yang memilih Ketua Ombudsman. Namun tidak berarti, bahwa Ombudsman Nasional Indonesia menjadi partisan politik. Pilihan menjadi Ombudsman Parlementer itu demi memperoleh dukungan DPR. Dalam kondisi demikian, Ombudsman Nasional akan memiliki kedudukan yang lebih kuat dan lebih independen serta tidak berpihak. Hal-hal demikian itu kami ungkapkan dalam Konferensi Ombudsman Asia VI di Tokyo, Jepang (18-21 Juni 2001). Oleh karena itu, esei kami tentang Pengalaman Indonesia di dalam mempersiapkan sebuah Ombudsman Parlementer (aslinya ditulis dalam bahasa Inggris) memaparkan kegiatan-kegiatan Komisi Ombudsman dalam mempersiapkan Konsep RUU dimaksud. Tidak dapat disangkal, bahwa Komisi Ombudsman telah banyak memperoleh pengakuan internasional. Hanya soal waktu saja, Komisi 9. Corruption and Government, Causes, Consequences and Reform (London: Cambridge University Press, 1999), hal. 151 cat.7 dengan merujuk kepada MacLean.
116
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
akan menjadi salah satu anggota International Ombudsman Association (IOI). Sekarang pun sudah menjadi anggota Asian Ombudsman Association (AOA). Banyak negara maupun instansi memiliki komitmen kerjasama bilateral dengan Komisi Omnbudsman. Dalam Konferensi Ombudsman Internasional Durban (28 Oktober-2 November 2000), Dr Marten Oosting, Mantan Ombudsman Belanda dan Mantan Presiden IOI, memuji Pemerintah Indonesia, karena berhasil mendirikan Ombudsman Nasional. Sesudah mengikuti Konferensi Durban, atas dukungan UNDP dan negara-negara yang dikunjungi, Penulis berdua membuat kajian komparatif di beberapa negara Eropa. Kami mengunjungi InstitusiInstitusi Ombudsman di Madrid, Kopenhagen, Oslo, Helsinki, Stockholm, London, Belfast, Dublin, dan Den Haag. Juga kami mengunjungi Komisi Petisi Permanen Bundestag (Parlemen Jerman) di Berlin serta Institusi Ombudsman Supranasional yang pertama di dunia, yaitu Ombudsman Eropa, di Strasbourg. Esei tentang Kajian Komparatif atas Sistem Ombudsman di Afrika dan Eropa (yang aslinya ditulis dalam bahasa Inggris), merupakan hasil study tour di dua Benua tadi. Akhirnya, patut diketahui, bahwa sekalipun diberi wewenang yang sangat luas, hampir semua Ombudsman menggunakan daya persuasif (power of persuasion).10 Cara yang demikian itu disebabkan kenyataan bahwa rekomendasi-rekomendasi Ombudsman tidak mengikat secara hukum. Oleh sebab itu pula Institusi Ombudsman dijuluki Mahkamah Pemberi Pengaruh (Magistrature of Influence)11 atau seperti dikemukakan oleh Donald C. Rowat Ombudsman tidak lebih dari anjing penjaga pihak Legislatif. Ia boleh menggonggong, tetapi tidak boleh menggigit.12 Apalagi Komisi Ombudsman Nasional sekarang ini, masih sangat terbatas kewenangan yang dimilikinya. Demikianlah, dalam esei penutup tentang Rekomendasi Ombudsman: Akhir Suatu Investigasi, kami ingin memaparkan mengapa kebanyakan institusi publik atau target groups lainnya dengan
10. Penjelasan Sheila Gottehrer pada sesi informal Lokakarya Dua Hari tentang Ombudsman Daerah (Denpasar, Bali, 21-22 February 2002). 11. Office of Federal Ombudsman [Kingdom of Belgium], Annual Report 1997, hal. 15 dan Annual Report 1988, hal. 18. 12. Office of Federal Ombudsman [Kingdom of Belgium], Annual Report 1997, hal. 15.
117
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
sukarela mematuhi rekomendasi-rekomendasi Ombudsman. Dalam konteks budaya Indonesia upaya-upaya dan rumus-rumus apa saja harus diadakan dan ditambahkan, sehingga asas-asas di banyak negara tadi dapat juga berhasil di sini. Terimakasih. Semoga Tuhan Sarwa Sekalian Alam memberkahi kita semua. Auditorium Binakarna, Menara Bidakara Jakarta, 20 Maret 2002
118
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Ombudsman under the Constitution of Thailand Mr. Pichet Soontornpipit
Thai Ombudsman
T
hai administration since the earliest times has been complex. The administration has often been controlled by interest groups, which in turn have dominated the political, social and economic systems of the country. This has led to a one-way communication, top down, from those that represent the ruling class and the remainder of Thai society, and a lack of transparency. In the past in Thailand, the King governed the country through absolute monarchy. During the Sukhothai era, under King Ramkhamheang, people could petition the King by ringing a bell near the town hall to announce that they were in troubles with the officials, and required adjudication. When the King heard the ringing bell, he came out and discussed the problems with the complainants. Later as the relationship between the ruler and people became increasingly complicated, and the manner of government became more sophisticated, there was an attempt to transfer the ruling power from the administrative branch to people by deploy-
119
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
ing special legislative institute to investigate complaints of people»s grievances and complaints. In 1975 the Constitutional Drafting Assembly described the legal mandate of the Ombudsman in the draft Constitution. However, the Legislative Branch decided to delete this section from the Constitution, with the explanation that the Ombudsman is yet another institution within the legislative system and ought not to be given a mandate to interfere with the administration, as this might undermine the performance of government. Ombudsman recruitment process is difficult and complicated. They considered that the main authority of the Ombudsman duplicated with other government organization. Moreover, within the context of Thai society, at that time, it was not appropriate to set up a new system to undertake the task. On 16 February 1990, the House Administration Committee and members of the Parliamentary Affairs Committee, together with the Social Policy Study Institute and the Thai Social Science Association launched a seminar on the Office of the Ombudsman. This seminar was attended by more than 80 scholars. This was the first time that the concept of the Ombudsman was inspired and discussed. The committee proposed the establishment of the institute to act as Public Protector. Since then, the idea has spread among the Members of Parliament, academics and the public. In 1995, there was a great movement toward the introduction of a revision on the position of the Office of the Ombudsman in the 1991 Constitution. The Fifth Amendment of the 1995 Constitution, Section 162 (second paragraph), states that:-
The Ombudsmen shall not be more than five in number. They shall be appointed by the king with advice from the senate. The Senate Speaker shall countersign the Royal Command appointing the Ombudsmen. However, due to the absence of a timeframe for this appointment, there was no recruitment or appointment of the Ombudsman during the period of the 1991Constitution. After the long continued hard attempts of the Thai political development through social movements, the success is made clear by
120
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
the change of provisions in the current 1997 Constitution. The idea of Ombudsman institute was originally from the Scandinavian countries and a lot of Western countries have been adopting this ideology into their political and administrative culture. However, the Thai political system has taken and applied this philosophy in our culture. Therefore, the current Constitution, which is considered very radical in terms of people participation, political transparency, and good governance, was ratified in 1997. The Constitution lays the emphasis on civil rights and also initiates of the establishment of 7 independent organizations, which are going to be the «check and balance» system with the administrative branch. These organizations are Constitutional Court, Administrative Court, National Counter Corruption Commission, National Election Commission, Human Rights Commission, State Auditor Commission, and Ombudsmen. With high expectation and faith from the majority of the Thais, these organizations are going to bring about fairness, justice, political transparency, and bring civil society to Thailand gradually. The main duty of the Thai Ombudsman is to investigate complaints on mal-administration within government organizations, state agency, state enterprise, or local governmental organization, provide recommendations for remedial actions, and report to the House of the Representatives, Senate and the public. The report will reflect public attitudes, which will generate discussion, leading towards movement for the correctness in society. The second duty is to study and analyze the cause of complaints in order to reduce or prevent the further complaints. Another important task is to provide and deliver knowledge to general public about procedures and methods of submitting complaints and about civil rights and related laws. According to the provisions of Article 330 of the Constitution, the Organic Law on Ombudsmen shall at least contain the following matters as its substance: 1) 2)
The performance of the duties of the Ombudsmen The co-operation to be given to the Ombudsmen by courts, public prosecutors, investigation officials, or other state agencies.
121
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
3) 4)
Qualifications of, and procedure for, the appointment of the Secretary General of the Office of the Ombudsman. Powers and duties of the Office of the Ombudsmen.
The Office of the Ombudsman was established within one year from the date of the promulgation of the law. Prior to the establishment of the Office of the Ombudsman on April 12, 2000, the Secretariat of the House of Representatives had performed the ad hoc duty in receiving the complaints. On the first of April 2000 His Majesty the King granted the Royal appointment of the Ombudsman. The whole process of development and establishment of the Ombudsman has been fulfilled after 25 years of political evolution.
Legal Mandate of the Ombudsman According to the 2000 Organic Law on Ombudsmen, the mandate of the Ombudsmen is as follows: 1)
Consider and investigate complaints when: 1.1 A civil servant, member or employee of a government body, state agency, state enterprise or local government violates the law or exceeds the jurisdiction of his or her authority; 1.2 When an action or inaction by civil servant, member or employee of a government agency, state enterprise or local government causes harm, damage or injustice to an individual or to the general public, whether or not this action or inaction is within his or her jurisdiction; or 1.3 The law warrants investigation.
2)
To submit reports, comments, and recommendations to the National Assembly.
3)
If, in the opinion of the Ombudsmen, a law, regulation, or action of an individual under Section 16(1) is in violation of the Constitution, the Ombudsmen shall refer the matter to either Constitutional Court or an Administrative Tribunal, as appropriate, for further review.
4)
Any complaint not within the jurisdiction of the Ombudsman or not accepted for consideration by the Ombudsmen under Section
122
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
25 may be referred by the Ombudsmen to the appropriate government body, 5)
Notify the authorities concerned in government departments, independent agencies, and state enterprises about the suggested procedures and provisions so that the agency concerned will be able to adjust and amend the related laws, regulations, orders, or Cabinet Resolution. If it is a Cabinet Resolution, the Ombudsman has to report to the Cabinet.
6)
If the evidence found indicates that an officer, who was the source of the complaint, is guilty of criminal, disciplinary, or corruption charges, notify the agency of the officer concerned in order for them to undertake further investigation. The chief of the agency has to report on progress of the investigation to the Ombudsman, every three months.
7)
Request government departments, independent agencies, and state enterprises to submit facts, evidence, witnesses, and related documents to the Office of the Ombudsman in order to support an investigation. Request the Attorney General»s Officer, investigating officer to fulfill examination by providing information.
8)
Issues related to the rules and regulations under the 2000 Organic Law on Ombudsmen.
Performance and Implementation of the Ombudsman The Ombudsman has the authority to consider and investigate, with neutrality and fairness, complaints concerning an action or inaction of state officials or employees. The aim is to remedy grievances of the people who receive unfair treatment from the state official or employee. The Ombudsman has to prepare and submit a report containing all relevant facts, opinions and recommendations for corrective action to relevant government or state agency. When the Ombudsman finds that the law, rule, regulation, or Cabinet decision results in injustice or inequality before the law, or is arbitrary, or outdates, he has to recommend the government or state agency in question to change or amend such law, rule, regulation, or Cabinet decision. In addition, the Ombudsman has to prepare and submit, once a year, a report of
123
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
the work performance together with opinions and recommendations to the Senate and the House of Representatives. Since the establishment of the office in the year 2000, the Ombudsman considered complaints concerning actions or inaction of state officials or employees by investigating and submitting the reports together with opinions and recommendations for corrective action to the relevant state agencies. The Ombudsman also accelerated the dissemination of knowledge about the rights of the people to lodge a complaint and other related matters. This was to build an understanding and lessen conflicts between the people and state officials. The results of work in can be summarized as follow: -
1.
The formulation of policy and work procedure of the Ombudsman The Ombudsman formulated the policy and work procedure to be used as a guideline of implementation for officials as follow:1.1 The Ombudsman will consider and investigate a complaint without delay and with fairness and neutrality. 1.2 When a complaint is declined or may be declined, the Ombudsman may submit the complaint to a relevant government body, state agency, state enterprise or local government for further appropriate action. 1.3 When a complaint is accepted, an appropriate action must be taken without delay and with adequate opportunity for both the complainant and the personnel or agency in question to explain and present relevant evidence. The Ombudsman has the power to request from the agency in question all facts, evidence and testimony relevant to the case, or to request the head of that agency to give statement or issue a letter of explanation or submit documents to the Ombudsman. The Ombudsman may request the Court to submit objects, documents, or other evidence relevant to the investigation. The Ombudsman also has the power to enter any premises where a complaint has occurred provided that the owner or person in charge has been given prior notice. 1.4 When a complaint is declined or ceased from consideration,
124
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
the Ombudsman must notify the complainant together with reasons. 1.5 When consideration and investigation is finalized, a report containing all relevant facts together with opinions and recommendation will be prepared and submitted to the relevant agency for corrective or further appropriate action. 1.6 When consideration is made on any complaint and it is found that an action taken by a civil servant, member or employee of a government body, state agency, state enterprise, or local government, while in compliance with the law, rule, regulation, or Cabinet decision, nevertheless results in injustice or inequality before the law, or is arbitrary, or outdates, the Ombudsman will recommend that agency to change or correct the law, rule, regulation, or Cabinet decision. In case of a Cabinet decision, the Ombudsman must also submit a report to the Cabinet. 1.7 When a complaint cannot be investigated further, the Ombudsman will cease an investigation and report to the Senate and the House of Representatives.
2.
The formulation of the Ombudsman»s regulation on submitting, receiving and investigating complaints For the work of the Ombudsman to be implemented without delay and to be able to facilitate the complainants, the Ombudsman has set out the regulation on submitting, receiving and investigating complaints. This regulation is for the officials whose duties are to receive the complaints to have a standard and accepted guideline for work, which will create confidence on the people. It is also used as a guideline for the people and officials in working towards the goal and mandate of the Ombudsman.
3.
The consideration and investigation of complaints Since the official establishment of the office from December 1999 to February 2002, the Ombudsman received 1,560 complaints in total. The implementation of the above 1,560 complaints can be summarized as follow:-
125
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
*
* *
638 complaints had already been undertaken, which could be divided as follow: 365 complaints were declined for consideration. 259 complaints were accepted for consideration and decisions had already been made. 14 complaints were withdrawn. 919 complaints had been undertaking for investigation. 3 complaints were submitted for information only.
The 365 complaints that were declined could be divided as follow:1. Complaints were cases because complainants did not identify name, address and reason, as well as relevant fact or action related to the complaints, or did not sign. Among these cases, one has been forwarded to relevant agency for appropriate actions. 2. Complaints were related to personnel administration or disciplinary punishment of civil servants, members or employees of the government body, state agency, state enterprise or local government. 3. Complaints were related to actions of civil servants, members or employees of the government body, state agency, state enterprise or local government, which were already consistent with the law. Among these cases, four have been forwarded to relevant agencies for appropriate actions. 4. Complaints were being considered in the Court or the Court had already issued the rulings. Among these cases, two have been forwarded to relevant agencies for appropriate actions. 5. Complaints were related to corruption in the bureaucracy and the Ombudsman has forwarded the cases to relevant agencies for appropriate actions. 6. Complaint was the case since the complainant neither gained nor lost, and consideration of the case would not benefit the people as a whole. 7. Complaints were cases because complainants» troubles or unfairness had already been solved or complainants had already received appropriate compensation for their loss.
126
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
8.
Complaints were cases that complainants did not come to present statements or relevant evidence, or did not take action according to the Ombudsman»s letter by deadline and without appropriate reason.
The 259 complaints that were accepted for consideration and decisions had already been made can be divided as follow: 1. 14 complaints were cases after the Ombudsman considered and investigated, and founded that there was no provision of law, rule, regulation, or action of the person in question against the constitution. Therefore, the complaints were not submitted to the Constitution Court and consideration was ceased accordingly. 2. 10 complaints were the case that the Ombudsman considered and investigated, and founded that there was a provision of law, rule, regulation, or action of the person in question against the constitution. Therefore, the complaint was submitted to the Constitution Court and Administrative Court for further consideration. 3. 129 complaints were cases that the Ombudsman considered and investigated, and founded that actions of civil servants, members or employees of the government body, state agency, state enterprise, or local government in question were consistent with the law. Therefore, the consideration was ceased accordingly. 4. 54 complaints were cases after the investigation and founded that the complainants» grievance or injustice had been solved, or the complainants had already received appropriate compensation for their loss. Therefore, the consideration was ceased accordingly. 5. 30 complaints were cases when the Ombudsman founded out that the cases were being considered in the Court or the Court had already issued the rulings. Therefore, the consideration was ceased accordingly. 6. 3 complaints were cases because the complainants submitted the cases after two years since he or she knew or should know of the causes of the complaints. Therefore, the consideration was ceased accordingly.
127
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
7.
8 complaints were the case that the Ombudsman considered and, in pursuant to Section 30 of the Enabling Legislation: The Ombudsman Act, B.E.2542 (1999), submitted opinions and recommendations to the Senate for further consideration. 8. 6 complaints were the complaints that complainants failed to submit related document or information to the Ombudsman or failed to response to the Ombudsman within specified timeframe. 9. 2 complaints were ceased because the complainants were dead. 10. 1 complaint was proposed to agency concerned for their appropriate action. It should be noted that most complaints were related to request for fair treatments from actions of state officials or employees. The top three state agencies that complaints have been made against are Ministry of Interior Royal Police Bureau Local Administration Organizations (includes municipalities, provincial administration organization, sub-district administration organization).
Conclusion Thai Ombudsman is only one of parliamentary tools to perform the «check and balance» duty in order to try to guarantee the transparency and accountability of the administrative branch. However, having these 7 independent agencies operating under the current constitutional obligation does not guarantee the political stability, democratic development, or transparent government. The political reform and democratic development require and emphasize on the activity where people jointly act in order to tackle collective problems occurred in the society nowadays. The political awareness and people democratic participation include communities, clubs, interest groups, associations, local organizations, regional organizations as well as all government agencies, political parties, and the whole administrative, legislative, and judicial branches. Politics will not be activities that individuals or certain groups compete with each other to win political posts, budget, projects or plans, which is familiar to the Thai people. The benefit of society as a whole
128
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
is the main focus. Individuals or groups must jointly advocate or join hands in the activities that will be beneficial to all. People have to be encouraged to govern themselves. From my point of view, applying the Ombudsman system to the Thai society together with goodwill of people»s participation will lead to the political development and good governance of the nation in the future.
OFFICE OF THE OMBUDSMAN 1193 EXIM Bank Building 20th Floor Phaholyothin Road Phayathai BANGKOK 10400 THAILAND www.ombudsman.go.th e-mail
[email protected]
129
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
130
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Memperkuat Sistem Pengawasan Masyarakat Melalui Kebebasan Informasi1 Astrid S. Susanto-Sunario
PENDAHULUAN
S
ebelum membahas materi sebagaimana tercantum dalam judul di atas, pertamatama kami mengucapkan «Selamat Hari Ulang Tahun ke-2» kepada lembaga Komisi Ombudsman Nasional Nasional. Sebagai suatu lembaga yang baru dan modern dalam sistem penegakan keadilan di negara kita, semoga peran Komisi Ombudsman Nasional serta kepercayaan dan harapan masyarakat dan Pemerintah terhadap Komisi Ombudsman Nasional akan terus meningkat, sehingga proses mediasi dan rekonsiliasi bisa makin bertambah; sebaliknya semoga dengan itu, proses di pengadilan akan berkurang, karena bagaimana pun, pada umumnya justru memperuncing sengketa dan memperburuk hubungan antara pihak1
Astrid S. Susanto-Sunario, makalah untuk forum Seminar Sehari : Peranan Ombudsman dalam Reformasi Birokrasi, Jakarta, 20 Maret, 2002;
131
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
pihak yang memang telah bersengketa; selain itu, proses peradilan selalu memakan waktu panjang dan banyak biaya, sehingga memang perolehan peradilan semakin sukar dan semakin mahal. Semoga dalam tahun-tahun mendatang, Komisi Ombudsman Nasional dapat makin berperan dan menjembatani berbagai sengketa yang sangat banyak dan sangat mendalam - bukan saja antar warga - tetapi terutama antara warga dengan pemerintah serta berbagai lembaga pemerintahannya, tidak terkecualikan dengan lembaga-lembaga tinggi dan tertinggi negara. Selanjutnya pembahasan judul «Memperkuat Sistem Pengawasan Masyarakat Melalui Kebebasan Informasi» terpaksa dibahas dalam dua bagian - yang tampaknya agak terpisah satu sama lain, tetapi dilakukan demi relevansi pembahasan - dengan bagian pertama dari judul, yaitu «Memperkuat Sistem Pengawasan Masyarakat». Aspek pertama lebih membahas sejarah konflik dalam Falsafah Hukum tentang kedaulatan negara/raja/penguasa dan kedaulatan rakyat, dengan kedaulatan rakyat telah melahirkan sejumlah hak (sebagai «hukum subyektif») kepada warga negara melalui aliran Humanisme dalam hukum, yang mencoba membebaskan diri dari teori Hukum Alam yang dirasakan sangat mengekang kebebasan bergerak individu. Karena itulah dapat dikatakan bahwa sudah sejak zaman Yunani Kuno berlangsung sengketa dalam Falsafah Hukum tentang hak-hak asasi manusia, kewenangan dan kedaulatan negara sehingga masalah «pengawasan masyarakat» juga bukan merupakan suatu gejala baru/modern, tetapi suatu proses yang telah selalu tersirat sebagai masalah hakiki dalam konflik hak-hak asasi manusia versus kewenangan dan kedaulatan negara. Bagian kedua membahas keterkaitan antara informasi dan peran komunikasi sebagai kegiatan, dan terkait dengan itu membahas pula masalah pengendalian masyarakat (sebagai pengawasan pemerintah/penguasa terhadap masyarakat) dan pengawasan masyarakat (sebagai pengawasan rakyat terhadap penguasa).2
2
132
bandingkan pidato pengukuhan sebagai guru besar dalam bidang Sosiologi Politik dan Komunikasi Politik di FISIP/Universitas Indonesia Dr. Phil. Astrid S. Susanto-Sunario, 1 Oktober 1989;
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1.
Dari Hukum Alam menuju ke Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Pers
Kebebasan Informasi sebenarnya merupakan suatu proliferasi dari hak-hak yang semula dikenal sebagai hak-hak politik (Locke abad ke-18) dan hak-hak ekonomi (abad ke-19). Bersamaan dengan itu, sejak awal dalam dunia falsafah prinsip hak kebebasan telah selalu berhadapan dengan Hukum Alam (yang beranggapan bahwa kehidupan di dunia ditentukan secara sangat pasti dan teratur sebagaimana tampak dalam gejala-gejala alam). Sebagaimana diketahui, kepastian gejala-gejala alam ini kemudian diambil alih oleh Falsafah Hukum dari berbagai zaman, dengan mengalami banyak pasang surutnya. Salah satu kepastian - yang hingga sekarang sukar digoyahkan walaupun sering digugat - ialah mengenai Kedaulatan Negara Negara. Prinsip kedaulatan negara ini dalam berbagai abad mempunyai pejuang dan musuhnya, sehingga prinsip kedaulatan negara (yang dalam Hukum-Hukum Adat juga pada berbagai bangsa di Eropa seperti bangsa Anglia, Franc, Germania bahkan dalam zaman kekaisaran Romawi 3) diletakkan dalam tangan rakyat rakyat. Keruntuhan republik (dan kemudian kekaisaran) Romawi telah mengakibatkan bahwa berangsur-angsur terbentuk kerajaan-kerajaan kecil dan besar dengan lambat-laun menggeser kedaulatan negara tersebut dari tangan rakyat ke tangan raja/kaisar. Dalam abad ke-17 itulah terkenal kata-kata dari raja Louis XIV dari Perancis, yaitu l»etat c»est moi yang merupakan pencerminan dan kerajaan mutlak tersebut. Sejak itu pun perjuangan akan hak-hak politik berkembang (lagi). Kemudian perkembangan ekonomi lebih menekankan hak-hak ekonomi dan menjadikannya hak-hak individu, halmana terutama disebarluaskan oleh aliran Humanisme. Untuk waktu yang cukup panjang aliran Humanisme dan aliran Historisme saling berdebat, sehingga akhirnya pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 melalui pendekatan sosiologi dicapai tahap keseimbangan antara hak individu dan kewenangan komunitas/negara. Banyak - sedikit dan secara tersirat pikiran terakhir ini masih paling banyak dianut (terutama di Indonesia dalam pikiran Pancasila), sehingga hak-hak politik warga (dalam
3
terkenal prinsip politik : «vox populi, vox dei»;
133
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
pasal 28 UUD-1945 dan terutama dalam UU no. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia) menyebut bahwa hak-hak individu tersebut terbatas pada penghormatan hak-hak asasi orang lain4. Hak-hak politik, (sosial dan ekonomi) tersebut berkembang/mengalami proliferasi menjadi hakhak individu, hak-hak gender, dengan pengendapan dan proliferasi lebih lanjut dalam hak akan kebebasan memperoleh dan menerima informasi (singkat : kebebasan informasi5). Kebebasan Informasi memang makin dituntut oleh masyarakat, sebagai proses perkembangan lebih lanjut setelah berbagai jaminan hukum - mulai dari UUD-1945 dalam Pembukaannya6 - hingga ke Amendemen terhadap Pasal 28 dari UUD-1945 yang semula hanya berbunyi:
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang. Amendemen tahun 2000 akhirnya mengenal tambahan sub-sub pasal 28a sampai dengan 28j, yang praktis mencakup hak-hak individu yang diambil dari UN - Charter on Human Rights (1948) yang kemudian juga secara harfiah diketemukan dalam UUD-1950 (sebelum Amendemen, 2001). Amendemen ditunjang oleh UU no. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU no. 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Di samping itu, peran dari informasi sepanjang zaman - tetapi terutama setelah kehadiran Homo Sapiens - merupakan bagian dan inti dari setiap kegiatan komunikasi oleh manusia sebagai sarana sosial dan sarana sosialisasi (karena manusia adalah selalu suatu mahluk sosial/homo socialis). Oleh karena itu semua pembahasan 4
5 6
134
UU no. 39/1999, Pasal 69 ayat (1) : Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain, moral, etika, dan tata tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; ayat (2) Setiap hak asasi manusia seseorang menimbulkan kewajiban dasar dan tanggung jawab untuk menghormati hak asasi orang lain secara timbal balik serta menjadi tugas Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukannya ; Kebebasan informasi sebagai suatu prasarana dan sarana untuk mempermudah pengembangan (kehidupan diri) dengan memanfaatkan kemampuan mental dan intelektual seseorang; Pembukaan UUD 1945 Alinea I : Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan;
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tentang unsur informasi tidak dapat dilepaskan dari unsur kegiatan komunikasi maupun kemajuan yang dicapainya. Demikian pula halnya dengan tuntutan-tuntutan dan hak-hak yang sedang diperjuangkan sekarang melalui RUU Informasi yang baru diajukan dan diterima dalam sidang paripurna tanggal 11 Maret 2002 dan disetujui oleh DPR-RI untuk dibahas dalam Pansus-Informasi. Khusus mengenai makin pentingnya peran dari informasi walaupun «hanya merupakan bagian dari kegiatan komunikasi», tetapi dalam hakekatnya - oleh kemajuan 1) teknologi telekomunikasi dan 2) teknologi (perangkat) informasi itu sendiri, telah mengembangkan berbagai ciri khas yang sangat menentukan. Namun sejak semula haruslah disadari bahwa kemajuan-kemajuan dan pertambahan makna «informasi» dalam kehidupan manusia - selain diakibatkan oleh kemajuan teknologi itu sendiri - sangat didorong oleh unsur politik ekonomi7 yang dikenal dengan istilah «kapitalisme.» Theodore J. Lowi (1968) dalam bukunya berjudul «Private Life and Public Order»8 membahas bagaimana hak-hak individu tersebut justru oleh kepentingan-kepentingan ekonomi terus menerus berusaha untuk memperluas bidang individual (demi hak kebebasan ekonomi individual) dengan makin mempersempit ruang-gerak dari apa yang disebut bidang publik. Khusus dalam kaitan ini diusahakan agar supaya kewenangan-kewenangan negara makin berkurang, sedangkan kebebasan individu makin meningkat demi pemenuhan kepentingan individu, demi perjuangan dan perwujudan kepentingan-kepentingan ekonominya; dengan sendirinya falsafah ini sangat mendukung perkembangan kapitalisme.
7
8
Istilah «political economy» makin lama makin ditinggalkan dan orang lebih cenderung menggunakan istilah «economics» hal mana - apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia hanya sebagai «ekonomi - meniadakan seluruh proses politik yang selalu tersirat dalam»kebijaksanaan-kebijaksanaan» yang dibahas»sekedar sebagai penerapan dari sejumlah teori ekonomi»; padahal kesimpulan-kesimpulan dan penerapan «economics» selalu dilatar belakangi oleh serangkaian pemikiran politik pula, halmana tidak bisa diabaikan; bandingkan Lord Robbins, 1976, Political Economy : Past and Present (a review of leading theories of economic policy) ; dengan demikian «political economy» adalah «the analysis and description of economic phenomena and to regard....what is desirable in the way of policy as distinct though related speculative areas» (Lord Robbins, (1976 : 2); sebaliknya juga benar, bahwa keputusan-keputusan politik juga tidak dapat diambil tanpa pertimbangan-pertimbangan ekonomi; untuk ini bandingkan juga Charles A. Beard Beard, 1957, The economic basis of politics and related writings by CharlesA. Beard, New York- Vintage Books; Theodore J. Lowj, 1965, Private Life and Public Order, New York, W.W. Norton & Co. Inc.
135
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Theodore J. Lowi menjelaskan bagaimana perang tentang informasi dan komunikasi sebenarnya berintikan usaha penanganan eksistensi berlanjut dari setiap masyarakat. Hal ini terutama karena kehidupan pribadi dan kehidupan (dalam) masyarakat selalu merupakan kenyataan. Pernyataan kedua dari Lori adalah bahwa kedua pandangan berbeda (tekanan pada individu atau masyarakat dengan ketertibannya) selalu dalam konflik, sebab itu perlu ada komunikasi dan informasi. Hal yang ketiga adalah bahwa kedua kenyataan di atas telah mengakibatkan lahirnya partai-partai sebagai pengelompokan pendapat.
Bila peningkatan individu dimotifkan: 1)
pembangunan ekonomi
2)
berjangka pendek (bagi individu)
pihak yang menekankan ketertiban masyarakat demi eksistensinya berpendekatan: 1)
politik dan sosial
2)
berjangka panjang
Perbedaan inilah yang menyebabkan bahwa kedua pendekatan ini tidak dapat dikompromikan sehingga menjadi masalah (1968 : VII, VIII);
Proses ini terjadi melalui: a)
pembentukan pendapat umum
b)
perluasan pendapat umum
c)
pergeseran/perluasan bidang pribadi/swasta
d)
penyempitan legitimasi bidang publik/pengurangan kewenangan pemerintah, dan sebaliknya memperluas bidang hak individual/ kapitalisme
e)
untuk itu unsur-unsur dalam proses komunikasi, seperti terutama informasi yang menjadi peluru komunikasi, selalu diperebutkan/ dipermasalahkan (Lowi, 1968 : VIII)
Dalam konteks inilah RUU Informasi dan Kebebasan Pers maupun RUU Penyiaran perlu dilihat. Oleh karena itu pula, kiranya perlu adanya pengintegrasian dari RUU Rahasia Negara dan RUU
136
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Informasi itu sendiri. Sebagaimana disimpulkan, Informasi tidak pernah berdiri sendiri 1) 2)
informasi merupakan kunci/peluru dalam proses komunikasi informasi merupakan bahan mentah dari pendapat umum
Dalam suatu negara demokrasi, maka komunikasi diarahkan kepada perwujudan konsensus konsensus; lahirlah partai-partai dan lembaga perwakilan sebagai penyalur pendapat. Namun sejak tahun 90-an peran komunikasi khususnya informasi melalui berbagai tahapan menjadi alat pertanggungan jawab (accountability) informasi publik yang terbuka - relevan atau tidak relevan - praktis menjadi pertanggungan jawab harian; atau bahkan «plebisit» harian sebagaimana dahulu pers. Dari pernyataan ini jelaslah bahwa setiap pemerintah (autoriter atau demokratik) tidak akan menyukai suatu «plebisit liar» yang terjadi setiap hari. Sejak awal perlu disadari, bahwa pengawasan oleh pihak mana pun tidak berdiri sendiri, tetapi selalu menyatu dengan suatu sikap tentang setuju tidaknya dengan suatu wadah melalui «pendapat umum» dengan tindakan; demikian pula dengan sikap pemerintah mengenai suatu masalah pada suatu saat. Unsur «mengenai suatu masalah» dan «pada suatu saat» perlu memperhatikan bahwa hal ini berarti: 1)
pendapat masyarakat dapat berubah, apabila keadaan obyektif berubah;
2)
pendapat masyarakat dapat berubah, apabila kepentingannya pada suatu saat - sekali lagi diukur terhadap keadaan obyektif dirasakan akan merupakan dirinya; untuk itu unsur waktu dan keadaan obyektif perlu selalu diperhitungkan, apabila menganalisis suatu sikap atau pendapat «umum»;
Pendapat-pendapat yang bersifat «mengawasi» dapat berupa 1) mendukung atau 2) mengecam. Biasanya kalau suatu sikap atau tindakan pemerintah didukung, terlupakan bahwa pendukungan tersebut adalah juga hasil dari pengawasan sehingga pengawasan tidak selalu berkonotasi negatif Dalam kaitan ini, maka pertentangan yang telah berlangsung berabad-abad antara kebebasan individu dari aliran Humanisme dapat dikatakan masih berlanjut. Bila di masa lalu sengketa antara keter-
137
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tiban umum - yang berpangkal pada kedaulatan hukum9 - telah selalu bertentangan dengan kepentingan individual, maka sejak akhir abad ke-20 dan sejak awal pembukaan millenium ke-3, teknologi dan hukum sangat mendukung penerapan dan perkembangan hak-hak individual, sehingga pendulum politik terarah pada kepentingan individual. Dalam kesadaran akan kedaulatan hukum tersebut, maka semua pertentangan sosial, ekonomi dan politik kini diusahakan untuk dipecahkan dan diselesaikan melalui hukum atau legislasi, halmana telah mengangkat dan mengintensifkan peran dari lembaga legislatif dan lembaga yudisial. Kedua lembaga ini secara langsung atau tidak langsung kini menentukan ke arah mana pendulum kepentingan akan berpihak : kepada negara/personifikasi dari kehidupan publik, atau kepada kepentingan individu yang sangat diperjuangkan oleh prinsip demokrasi. Di Indonesia hal ini sangat jelas dalam pertentangan antara RUU Informasi yang telah diajukan ke DPR-RI untuk dibahas, dengan «nasib» RUU Rahasia Negara yang belum jelas. Khusus mengenai istilah «RUU Rahasia Negara» dapat dilihat, bagaimana kedaulatan negara mungkin dengan agak berlebih terlalu ditonjolkan. Apabila judulnya tetap diajukan sebagaimana di atas, maka kemungkinan besar RUU tersebut baru dapat dibahas setelah RUU Informasi menjadi Undang-Undang Undang-Undang. Lain halnya, apabila judul RUU Rahasia Negara dapat diubah menjadi «RUU - Informasi Rahasia Negara», maka kedua RUU tersebut dapat dibahas bersama-sama dengan kemungkinan: 1)
RUU (Informasi) Rahasia Negara dibahas paralel (sebagaimana juga telah dibahas di tahun lalu RUU-Pertahanan bersama-sama dengan RUU Kepolisian, dengan RUU Kepolisian tunduk kepada hasil pembahasan dan kesepakatan antara pemerintah dengan Pansus DPR);
2)
RUU (Informasi) Rahasia Negara menjadi bagian dari RUU Kebebasan Informasi dan karenanya dibahas bersama-sama;
9
138
Mengenai sejarah «kedaulatan hukum» yarg berhasil memenangkan kedudukan antara kedaulatan di tangan penguasa/raja atau kedaulatan di tangan rakyat/kedaulatan rakyat, lihat Logemann, 1927, «Over enkele vraagstukken eener Indische staatsrechtsbeoefening; mengenai sejarah falsafah konflik antara aliran Hukum Alam dan Humanisme (sebagai pejuang kebebasan) yang dimenangkan oleh falsafah bagi kedudukan kedaulatan hukum sebagai jalan tengah dan sebagai personifikasi dari negara dan sebagai jalan tengah, lihat Dooyeweerd, 1950, «De strijd om het Souvereiniteitsbegrip in de modeme Rechts-en Staatsleer;
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Kedua pendekatan ini dimungkinkan dan akan menjamin bahwa RUU Kebebasan Informasi dan RUU (Informasi) Rahasia Negara tidak bertentangan satu sama lain, karena membahas hal yang sama yaitu Informasi. Dalam hal ini, Informasi rahasia negara merupakan bagian dari Informasi pada umumnya, tetapi dengan memiliki sifat-sifat pengecualian (yang tentunya perlu dibatasi dan diperjelas) khususnya mengenai keselamatan bangsa dan negara.
2.
Hal-Ihwal Informasi dan Keterkaitannya dengan Komunikasi dan Pengendalian Masyarakat serta Pengawasan Masyarakat
Untuk mengaitkan apa yang telah dikatakan terlebih dahulu, dengan pembahasan berikut di bawah ini, makalah ini menggunakan pendapat dari Manuel Castells (1999)10 yang memulai tulisannya dengan kata-kata:
(a) «For the first time in history the entire planet is capitalist. Even the few remaining command economies are surviving or developing through their linkages to global, capitalist markets...... it is fundamentally new because it is tooled by new information and communication technologies that are at the root of new productivity sources. new organizational forms and the construction of a Global economy; (b) ..... the profile of this new world is centred around multinational corporations, global financial markets and a highly concentrated system of technological research and development....., the extreme flexibility of the system - which allows it to link up everything that is valuable according to dominant values and interests, while disconnecting everything that is not valuable, or becomes devalued. This simultaneous capacity to include and exclude people, territories and activities are based upon a capacity network, (c) A network is simply a set of interconnected nodes. It may have a hierarchy, but it has no centre. Relationships between nodes 10 Manuel Castells, September 1999, Information Technology, Globalization and Social Development, Jenewa/Swiss - UN-Research Institute for Social Development;
139
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
are asymmetrical, but they are all necessary for the functioning of the network - for the circulation of money, information, technology, images, goods, services or people throughout the network. The most critical distinction in this organizational logic is not stability, but inclusion or exclusion. Those who remain inside have the opportunity to share and over time, to increase their chances. Those who drop out, or become switched off, will see their chances vanish, (d) In other words, networks - all networks - ultimately come out ahead by restructuring, whether they change their composition, their membership, or even their tasks. The problem is that people, territories, whose livelihood and fate depend on their positioning in these networks, cannot adapt so easily. In a downgraded region, capital disinvests, software engineers migrate, tourists find another fashionable spot, and global media close down. Networks adapt, bypass human matter on which the network was living, cannot so easily mutate. It becomes trapped, or devalued, or wasted. And this leads to social underdevelopment, precisely at the threshold of the potentially most promising era of human fulfillment. (e) It is urgently necessary to reverse the downward spiral of exclusion and to use information and communication technologies to empower humankind. The reintegration of social development and economic growth in the Information Age will require massive technological upgrading of countries, Firms and households around the world - a strategy of highest interest for everyone, including business. It will take a dramatic investment in overhauling the educational system everywhere. It will require the establishment of a worldwide network of science and technology, in which the most advanced universities will be willing to share knowledge and expertise for the common good It must aim at reversing, slowly but surely, the marginalization of entire countries, or cities or neighbourhoods, so that the human potential that is currently being wasted, can be reinvested (Manuel Castells, 1999 : II-III).
140
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Penulis telah menyampaikan secara in extenso masalah informasi (yang terkait erat dengan politik ekonomi kapitalisme dalam jangkauan globalnya) dengan mengutip pendapat dari Manuel Castells, karena: 1)
jarang sekali dapat diketemukan suatu pendapat tentang informasi dan seluruh latar belakang tentang kemenangan kapitalisme melalui perkembangan teknologi informasi dan teknologi (tele) komunikasi;
2)
dampak dari dominasi kapitalisme tersebut telah menjangkau sedemikian luasnya sehingga meninggalkan pengaruh yang luar biasa terhadap hakekat dari setiap bangsa yang ikut atau tidak ikut dalam jaringan komunikasi dan jaringan informasinya;
Dengan demikian, untuk mempermudah dan mempersingkat pembahasan mengenai bagaimana «memperkuat sistem pengawasan masyarakat» maka bagi setiap pengendali masyarakat hanyalah tersisa kemungkinan untuk menghadapkan hal-hal yang disebut oleh Manuel Castells di atas (unsur [a] sampai dengan unsur [d]) - dan kini telah dirasakan sebagai kenyataan - dengan kepentingan publik khususnya kepentingan bangsa dan negara negara; dengan memperhatikan berbagai kemungkinan - juga dengan menggunakan bahan yang diperoleh melalui `kebebasan informasi» itu sendiri - untuk meng hindari «the downward spiral of exclusion ...., to empower menghindari mankind. Sikap demikian diperlukan untuk memungkinkan mankind terwujudnya proses `reintegration of social development and economic growth in the Information Age ...., that the human potential can be reinvested ; Dalam mewujudkan keberhasilan «memperkuat sistem pengawasan (baca «pengendalian» karena dilakukan oleh lembaga-lembaga kenegaraan), pendekatan pengendalian tersebut hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan apa yang telah dikatakan oleh Manuel Castells (1999). Selanjutnya instrumen dan teknik pengendalian itu sendiri dapat dilakukan dengan memilih antara unsur-unsur instrumental yang dibahas di bagian berikut di bawah ini.
141
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1.
Sejarah Singkat Perubahan Konsep : Dart Pengendalian Sosial Menuju ke Pengawasan Sosial
Masalah social control dapat dikatakan meluas setelah J.S. Roucek (1947, 1955) menerbitkan bukunya berjudul «Social Control»11. Perlu diperhatikan, bahwa justru pengalaman selama Perang Dunia II (1941 - 1945) telah memberi banyak bahan pemikiran kepada para ilmuwan sosial - khususnya ilmuwan politik, psikologi dan komunikasi sehingga tidak mengherankan bahwa setelah itu berkembanglah banyak teori baru dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Inti dari pengawasan ialah terbentuknya konformitas tindakan antar anggota dalam suatu kelompok yang mengutamakan/preferensi sesuatu, walaupun konformitas ini berbeda dengan kelompok lain (Roucek, 194, 1955 : 8). Mengenai hakekat dan pengawasan masyarakat, Roucek mengatakan
«One reason for the increasing importance of social control is that an individual acting alone has become almost powerless to cope with social problems. Consequently he must endeavour to influence others to join him in working for the goal that he desires. ... The effectiveness of social control whether democratic or authoritarian in nature, also largely decides the success or failure of social planning. One source in fact, of the interest in social control is the reaction against evolutionary determinism, a doctrine that represented society as the resultant of forces, often mechanistic, that operate almost automatically regardless of man»s effort ...... The disintegrating forces which frequently develop in complex modern cultures are likely to be accompanied by strenuous efforts to secure uniformity of conduct» (Roucek, 1955 : 12-13). Beberapa kesimpulan penting dapat diambil dari perumusan Roucek ini, yaitu bahwa: 1)
bukan saja suatu pemerintahan autoriter tetapi juga pemerintahan demokratik melaksanakan pengawasan masyarakat;
2)
pengawasan dilakukan melalui pengaruh untuk mencapai sasaran/tujuan;
11 Joseph S. Roucek, (1947, 1955), Social Control, Toronto-New York-London- Princeton-New Jersey/D. van Nostrand Co. Inc.;
142
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
3)
efektivitas pengawasan menjadi pra-syarat bagi suatu perencanaan sosial;
4)
pengawasan dilakukan untuk menghindari atau mengurangi arah dan kecepatan perubahan, sebagaimana dinyatakan oleh teori determinisme perubahan;
5)
perubahan ingin dikendalikan sebanyak mungkin untuk menghindari disintegrasi demi keseragaman (1955 : 12);
Dengan demikian, maka «pengawasan» di sini terutama dilihat sebagai «pengawasan dari atas» oleh pemerintah. Dalam tahun 70-an terbit buku dari T. Shibutani yang menggunakan istilah «pengawasan sosial» bukan saja dalam makna sebagaimana dibahas oleh Roucek sebagai pengawasan oleh atasan/pemerintah terhadap masyarakat, tetapi juga dalam hal pengawasan oleh masyarakat, atau pengawasan «dari bawah ke atas». Untuk menghindari kekacauan dalam penggunaan istilah yang sama - yaitu pengawasan sosial - maka, penulis dalam tahun 1989 dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar FISIP/UI justru membahas masalah «pengawasan sosial» dengan kedua arti tadi, sehingga - berkat kekayaan perbendaharaan kata dalam bahasa Indonesia telah dimungkinkan untuk melihat istilah Inggris «social control» dalam dua makna yang berbeda: 1)
pengawasan (terhadap) masyarakat oleh pemerintah (atau pengapengendalian sosial»; wasan dari atas) kami sebut «pengendalian
2)
pengawasan (oleh) masyarakat terhadap pemerintah (atau pengapengawasan sosial»; wasan dari bawah ke atas) kami sebut «pengawasan
Penajaman perubaaan makna antara kedua proses di atas itulah yang telah menjadi inti dari pidato pengukuhan kami sebagai guru besar (1 Oktober 1989), sehingga memang kami sendiri menghindari sebanyak mungkin istilah social control dan lebih menggunakan istilah «pengawasan sosial» atau «pengendalian masyarakat». Sebagaimana diketahui, dalam bahasa Inggris untuk kedua bentuk proses di atas hanya dipergunakan satu istilah, yaitu social control sehingga cepat muncul pertanyaan : «who controls whom». Dengan demikian terbuktikan bahwa bahasa Indonesia lebih jeli dan hati-hati dalam membahas
143
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
«pengawasan» tersebut dengan membedakan sekaligus (secara implisit) antara kedua pihak penyelenggara «pengawasan» tadi, yaitu: 1)
pengendalian oleh atasan/pemerintah yang biasanya mempunyai sanksi dan
2)
pengawasan oleh masyarakat yang tidak mempunyai suatu sanksi secara langsung dan lebih dikenal sebagai pendapat umum umum/public opinion yang hanya dapat mengadakan tekanan-tekanan politik terhadap penguasa; /pemerintah melalui penyampaian kritik dan ketidak-sefahaman, halmana dalam bentuk terkeras dapat disampaikan melalui demonstrasi.
Pengawasan masyarakat menggunakan pengaruh dan propaganda politik sebagai instrumennya. Pengaruh yang diperlukan dapat dilakukan secara terbuka maupun terselubung. Vance Packard (1957)12 - yang lebih banyak membahas periklanan sebagai suatu bentuk «lunak» dari propaganda - menjelaskan bagaimana dalam bidang politik pengendalian masyarakat dilakukan melalui image building/ pembentukan citra pada masyarakat yang dicapai terutama melalui manipulasi pendapat (konsumen) dengan menggunakan analysis motivasi/motivational analysis (1957, 1963 : 207). Bahkan Packard berpendapat bahwa `keabsahan moral» dalam hal mempengaruhi secara tidak langsung menjadi masalah. Khusus penggunaannya untuk pemasaran produk-produk ekonomi, Packard sangat meragukan `keabsahan moral» dari: 1)
kegiatan selling emotional security/menjual rasa aman (1963 : 66);
2)
kegiatan selling reassurance of worth/meningkatkan penjualan harga diri (1963 : 67);
3)
kegiatan selling ego-gratification/penjualan rasa puas diri (1963 : 69)
Inilah sejumlah teknik mempengaruhi demi perolehan suatu pendapat umum yang mendukung, halmana dilakukan oleh pengendalian masyarakat (kali ini tidak saja oleh suatu pemerintah, tetapi juga oleh swasta/para penjual produk melalui iklan di media massa). Pendekatan yang dipergunakan ialah terutama:
12 Vance Packard, (1957, 1962, 1963), The Hidden Persuaders, London-Reading/a Pelican Book;
144
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
«to associate ... with the basic source of life, strength, and wellbeing» (1963 : 89); Suatu tahap perkembangan - yang mendahului konsep «kebebasan informasi demi/dalam rangka pengawasan masyarakat terhadap pemerintah» ialah berkembangnya hak untuk berkomunikasi berkomunikasi/the right to communicate pada akhir dekade 70-an yang terutama dikembangkan oleh Jean d»Arcy, L.S. Harms dan Jim Richstad ketiga-tiganya guru besar pada University of Hawaii/East West-Center Communication institute.13 D»Arcy dalam tahun 70-an memperdalam dampak-dampak dari komunikasi melalui siaran langsung satelit/Direct Satellite Broadcasting dan sangat gelisah mengenai «instant world» yang diterima orang melalui siaran satelit (1977 : 3). D»Arcy sangat berkepentingan untuk menjamin:
1) 2) 3) 4) 5) 6)
participatory communications two-way interaction interchange message generation system purpose communication rights (1977 : 4);
Dalam menganalisis seberapa jauh demokrasi dinikmati oleh suatu masyarakat berdasarkan participatory communications, Bahkan tokoh Ilmu Politik dan Ilmu Komunikasi Harold D. Lasswell telah mengembangkan dua model, yaitu:
1)
the participatory model
2)
the oligarchical model (1977 : 5)
Lasswell menjelaskan bagaimana dalam model oligarki yang kekuasaan/power oriented komunikasi diperguberorientasi pada kekuasaan nakan untuk 1) mengindoktrinasi dan 2) mengalihkan perhatian dari masalah-masalah yang tidak diinginkan oleh penguasa (1977 : 5). Pada model partisipasi komunikasi kemudian diadakan langkah-langkah untuk:
13 L.S. Harms dan Jim Richstad, August 1977, Evolving Perspectives on the Right to Communicate, Honolulu/Hawaii - East West Communication Institute;
145
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1)
berusaha memperoleh perhatian untuk masalah yang dikemukakan;
2)
mengadakan «pemetaan kembali» masa lalu demi suatu pemecahan bagi masa kini dan masa depan;
3)
memperlihatkan adanya variasi dan pluralitas dalam kepentingan sehingga perlu dicari jalan tengah sebagai kepentingan bersama (1977 : 5);
Dapat disimpulkan, sangat disadari bahwa teknologi komunikasi akan sangat menghambat «komunikasi ke atas»/pengawasan sosial, sedangkan sebaliknya teknologi komunikasi sangat menguntungkan komunikasi dari atas ke bawah/pengendalian masyarakat halmana berimpit dengan model oligarki dari Lasswell. Bahkan suatu pertanyaan yang menghantui tahun-tahun 70-an ialah : Apakah hak berkomunikasi sekedar merupakan suatu hak moral, ataukah hak ini perlu di dukung oleh suatu hukum hak berkomunikasi? (1977 :5). Bersamaan dengan perkembangan teknologi komunikasi dan pemanfaatan yang makin banyak oleh negara-negara industri, maka tahun 70-an juga menunjukkan adanya suatu keresahan tentang ketidakseimbangan volume komunikasi/informasi oleh dunia industri terhadap negara-negara berkembang (1977 : 7). Walaupun kenyataan ini kini makin parah, namun tampaknya masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkannya lagi, atau telah bersikap «pasrah» terhadapnya, padahal integritas budaya bangsa sangat terganggu karenanya. Selanjutnya kegiatan «pengawasan oleh masyarakat« dilakukan melalui pendapat umum yang merupakan instrumen pengawasan bagi masyarakat. Pengawasan ini secara terbuka dilakukan oleh media masa dan sejak adanya Information Super Highway/ISH juga melalui Internet dan berbagai webs. Dalam hal inilah terjadi keterkaitan antara pendapat umum dan informasi, bahkan kebebasan (memperoleh) informasi, dengan asumsi bahwa informasi yang diterima mencerminkan kenyataan/kebenaran tentang apa yang dilaporkan. Tanpa informasi, media masa tidak dapat melaksanakan fungsi pengawasan. Juga informasi yang keliru/tidak benar dengan sendirinya dapat mengakibatkan kesimpulan yang keliru, sehingga pengawasan pun
146
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
terjadi secara keliru.
2.
Informasi dan Daya Pengaruhnya
Informasi adalah data yang terolah, oleh karena itu tidak pernah akan ada informasi yang 100% obyektif dan suatu informasi selalu harus dilihat dari segi 1) siapa pengolah informasi dan 2) apa tujuannya? Dilihat dari segi ini, maka informasi merupakan peluru komunikasi nikasi. Sebagaimana diketahui, kini orang lebih berbicara tentang «informasi» dan kurang berbicara mengenai `komunikasi», padahal informasi hanyalah muatan/isi dari komunikasi dan karenanya kedua-duanya tidak dapat dibahas terpisah (dipisahkan) satu sama lain lain. Sejak semula telah selalu disadari bahwa para warga suatu masyarakat mempunyai sejumlah hak (yang kemudian dikaitkan hak-hak asasi dengan «hak-hak asasi»), tetapi hak-hak warga tidak terlepas dari keberadaannya dalam masyarakat dan karena itu hak-hak individu tidak boleh mengganggu hak masyarakat masyarakat. Inilah suatu inti pemikiran yang dirumuskan oleh suatu pertemuan di Koeln/ lnternational Broadcast Institute Jerman dalam tahun 1975/lnternational dengan memberi suatu descriptive statement:
«Everyone has the right to communicate. It is a basic human need and is the foundation of all social organizations It belongs to individuals and communities between and among each other. This right has been long recognised internationally and the exercise of it needs constantly to evolve and expand. Taking account of changes in society and developments in technology, adequate resources - human, economic, and technological - should be made available to all mankind for fulfilment of the need for interactive participatory communication and implementation of that right» (1977 : 90) . Selanjutnya suatu pendapat dari IBI-Koeln (1975) tersebut - yang masih relevan hingga sekarang - ialah kata-kata:
«The committee noticed that the right to communicate vested in the individual was sometimes contrasted with the rights vested in the community. The committee found there need be no important con-
147
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
flict between the two concepts, except that in countries holding the view that the rights vested in the community were exercised through governments as the repository of those rights. In such a view, the rights of the individuals to communicate may be exercised only to the extent that does not conflict with the established social and political order» (1977 : 91) . Desmond Fisher dalam analisisnya menyebut ada sejumlah hak yang terkait dengan hak komunikasi maupun hak informasi yang dilihatnya berada dalam tiga lingkaran, dengan lingkaran pertama terdapat titik pusat lingkaran bagi : 1) 2) 3) 4)
hak untuk berkomunikasi. Selanjutnya dalam lingkaran kedua terdapat hak memperoleh informasi hak kebebasan memiliki pendapat (yang berbeda) hak mengeluarkan pendapat;
Dalam lingkaran ketiga diketemukan hak untuk mempersuasi orang sikap oligarki melalui Undang-undang anti pers kebebasan jurnalistik/wartawan kebebasan mengkritik kebebasan menyatakan pendapat kebebasan pers kebebasan berpropaganda kebebasan siaran adanya siaran non-pemerintah dan siaran swasta serta siaran luar negeri 14) akses terhadap (informasi) yang dimiliki autoritas/pemerintah/informasi publik 15) sikap pemerintah yang transparan dalam hal informasi publik/open government14; 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13)
Namun bagaimana pun, secara sangat jelas dinyatakan oleh Desmond Fisher bahwa ada batas-batas terhadap kebebasankebebasan tersebut. yaitu apabila menyangkut 14 Setelah adanya kemajuan dalam bidang Ilmu Politik, maka sekarang dianggap bahwa open governance; government (seakan-akan) merupakan (satu-satunya) prasyarat bagi good governance
148
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1) 2) 3) 4) 5) 6)
ketertiban umum umum/public order keamanan keamanan/security moral publik publik/public morality penghinaan terhadap agama agama/ blasphemy fitnah fitnah/ libel/slander hak-hak orang lain (1977 : 97)
(lihat juga KUHP pasal 112, 113, 134, 136 bis, 137, 142, 143, 144, 154, 155, 156, 157, 156a, 160, 161, 207, 208, 282,310, 311, 315, 316, 317, 320, 321, 322, 519, 533, 535). Adapun berbagai jenis hak dari individu maupun komunitas dan terkait dengan itu adalah kebebasan memperoleh informasi (sebagai muatan/isi/komoditas komunikasi) - adalah sebagaimana dalam gambar15. Terhadap gambar tersebut - yang mempunyai sebagai intinya the right to communicate». Yang menarik dari pikiran Desmond Fisher ialah bahwa walaupun ia memberi pembatasan terhadap hak-hak tersebut berdasarkan sejumlah syarat, namun sekali ia mengingatkan bahwa masyarakat/ komunitas atau pemerintah/negara tidak menikmati hak-hak tersebut; negara hanya memiliki entitlements/hak pakai terhadap hak-hak tersebut, tetapi itu pun hanya sebagai salah satu pelaku/bukan pelaku utama, sebagaimana para individu sebagai pelaku-pelaku pelaku-pelaku. Secara sangat jelas is mengatakan:
« The idea here Is that society as such would have no basic right to freedom of information, expression, or opinion but to the entitlements embodied in legislation or regulations, through which these freedoms are exercised» (1977: 101); Sehubungan dengan itu, maka Desmond Fisher membuat bagan interaksi antara empat kebebasan yang penting (yaitu kebebasan berkomunikasi, kebebasan memperoleh informasi informasi, kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan memiliki pendapat sebagai berikut (1977 : 100)
15 Desmond Fisher, (1977 : 89-118) ), The right to communicate : a philosophical framework for the debate, dalam L.S. Harms & Jim Richstad, Evolving Perspectives on the Right to Communicate, Honolulu, Hawaii, East West Center Communication Institute;
149
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Right to seek to persuade Antipress oligopoly laws Open Government
FREEDOM OF INFORMATION Right of journalist
Right to critizise
RIGHT TO COMMUNICATE
Access to Authority
External broadcasting
FREEDOM OF EXPRESSION
FREEDOM OF OPINION Freedom of speech
Independent broadcasting
Freedom of press
Right to propagandize
LIMITATIONS Public order; Security; Purblik Morality; Blasphemy; Libel-slander; Right of Others
3.
PENDAPAT UMUM
Dalam tahun 1922 Walter Lippman menulis bukunya yang terkenal berjudul Public Opinion. la membahas informasi sebagai komoditas politik yang dapat mempengaruhi masyarakat (publik/ khalayak) secara positif dan negatif. Sebab itu aspek tanggung jawab moral harus diperhatikan para wartawan.
150
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
HAK UNTUK BERKOMUNIKASI
KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI
KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT
Akses terhadap informasi autoritas/ publik Open government Hak wartawan Hak berpropaganda
Kebebasan berbicara Kebebasan pers Kebebasan siaran Kebebasan siaran luar negeri
KEBEBASAN MEMILIKI PENDAPAT BERBEDA
Undang-undang anti oligopoli pers Hak mengkritik Hak berusaha berpersuasi
Apabila membahas pendapat umum (yang merupakan instrumen pengawasan pengawasan) harus diperhatikan, bahwa «pendapat umum»: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)
tidak bersifat baku atau beku tidak selalu konsisten, juga tidak antar intern-antar unsur-unsur atau permasalahan tidak selalu mempunyai atau berlandaskan logika tidak bersifat tunggal tidak bersifat mandiri tidak dapat dimintai pertangung jawabannya selalu dalam bentuk berubah dan «mengalir»16
Pertama-tama «pendapat umum» selalu terkait dengan suatu topik/ issue. Selain itu, «pendapat umum» hampir selalu «mengatas-namakan rakyat» sehingga dalam tahun 60-an abad ke-20 pernah terbit suatu buku yang mengajukan pertanyaan «who are the people?» yaitu penduduk yang diatas-namakan, oleh berbagai pihak, termasuk bahkan pemerintah sendiri. Sekurang-kurangnya «pendapat umum» membahas kepentingan dari suatu kelompok yang mengatasnamakan tadi, sehingga pendapatnya dapat dikatakan selalu terkait dengan pendapat kelompok-
16 Sebab itu terus «mengalir» informasi baru terus menerus memerlukan jumlah informasi untuk mengambil suatu situasi (politik) untuk mengubah masyarakat;
151
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Hak memperoleh informasi pribadi
Hak berkomunikasi
Hak menyatakan pendapat
Hak memperoleh informasi publik Ruang publik
nya. Jadi `pendapat umum» dalam kenyataan terdiri dari sejumlah pendapat (dari berbagai kelompok), sehingga orang dapat mengatakan adanya banyak pendapat umum karenanya terdapat «opinions of the publics» ataupun istilah «divided public opinion» yaitu apabila terdapat dua pendapat yang dominan yang bersifat pro dan Kontra. Bagi setiap pemerintah demokratik, keadaan demikian paling sukar untuk mengambil keputusan, karena tidak ada kejelasan mengenai langkah mana yang akan `disetujui oleh rakyat». Untuk hubungan internasional masalahnya adalah lebih mudah, karena dalam keadaan «divided public opinion» bisa saja suatu pemerintah mengambil jarak dan sangat berhati-hati dengan suatu issue atau masalah. Lain halnya dalam masalah dalam negeri yang akan cepat «melibatkan keberpihakan» (sengaja atau tidak sengaja) dari suatu pemerintah apabila membuat keputusan yang dinilai berpihak» padahal bisa-bisa saja bukan itu maksud pemerintah. Dengan demikian, makin luas suatu permasalahan karena kelompok, makin melibatkan kepentingan dari makin banyak kelompok tepatlah «pengidentikkan» pendapat umum dengan pendapat masyarakat. Hal itu terjadi umpamanya dalam menjelang dan terutama pada awal Reformasi, tatkala seakan-akan pendapat masyarakat «menyatu» sehingga pimpinan negara tatkala itu (tanggal 21 Mei 1990) terpaksa mengundurkan diri. Makin «terpecah» dan tidak jelasnya pendapat umum, makin terbuktikan bahwa topik yang dipermasalahkan atau tidak difahami oleh semua pihak, atau memang tidak relevan dengan kelompok yang tidak berpartisipasi». Contoh : dewasa
152
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
ini sedang dikembangkan «class opinion» yang cukup menjelaskan bahwa gagasan dari inisiator yang ingin mengajukan suatu gugatan hukum, belum difahami justru oleh kelompok yang diatas-namakannya! «Kebingungan masyarakat» karena menerima begitu banyak pesan melalui siaran radio dan TV - juga mengenai berbagai dialog di malam hari - menjelaskan, bahwa terlalu banyak informasi yang relevan dan tidak relevan; yang disebarluas oleh media massa - yaitu pesan-pesan yang seharusnya bersifat melayani kepentingan khalayak yang selektif - dijadikan masalah `umum». Untuk masalah-masalah yang `selektif» sebenarnya seminar-seminar lebih tepat, tetapi karena seminar-seminar dianggap «kurang» memberi publicity maka banyak public figures lebih tergiur untuk mengutamakan media massa. Namun pertanyaan yang selalu harus diajukan terhadap publisitas seperti itu ialah: 1)
apakah informasi-informasi yang terlalu bersifat «spesialisasi» ada manfaatnya apabila disampaikan melalui media massa;
2)
seberapa jauhkah efektivitas dari dialog-dialog tersebut, kecuali efektivitas bagi lembaga lembaga siaran yang mengadakannya
Tingkat kemampuan meyakinkan meyakinkan/Ueberzeugbarkeit kadangtingkat kemungkinan meyakinkan»17 kadang dinyatakan sebagai «tingkat identik dengan nilai harapan/Erwatungswert akan kecilnya usaha mengurangi perbedaan pendapat/Dissonanzreduzierung, karena pada pihak penerima keterangan terjadi perubahan atau dissonance reduction pergeseran (pendapat). Unsur-unsur yang dapat menggeser hak/memperkecil perbedaan pendapat adalah variabel sosio-ekonomi dan variabel psikologi (DroegeWeissenborn-Haft, 1969 : 65). Dalam kaitan ini ada hal yang menarik yang diketemukan oleh Droege-Weissenborn dan Haft, yaitu bahwa setiap manusia mempunyai kecenderungan untuk setuju, sehingga terbentuklah sikap toleransi, karena penerima keterangan cenderung mengurangi pendapat yang bertentangan dalam dirinya, sehingga keadaan tak terduga, yaitu bahwa manusia lambat laun makin tumpul 17 Abelson dan Lesser dalam Franz Droege, Rainer Weissenbom dan Henning Haft, 1969, Wirkungen der Massenkommunikation, Muenster-Regerisburg;
153
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
terhadap pengaruh (1969: 66). Selanjutnya ada beberapa penemuan yang perlu diperhatikan apabila menganalisis «pendapat umum» yaitu: 1)
tidak terdapat satu pendapat umum, tetapi sejumlah pendapat yang tersebar dalam kelompok-kelompok tertentu, dengan sifatsifat tertentu, bahkan menjelaskan sifat-sifat pribadi yang sangat mirip satu sama lain;
2)
kecenderungan untuk mudah - atau sukar - mengubah/menggeser pendapat diakibatkan oleh hal-hal seperti: a) jenis dan tingkat pendidikan dan b) hal-hal yang terjadi sebelum mengadakan komunikasi tentang topik yang dipermasalahkan;
3)
kemungkinan mempengaruhi individu/khalayak adalah paling besar, apabila seseorang/khalayak belum mempunyai pendapat tentang topik, terutama belum memiliki kepentingan dan motivasi tertentu terhadap masalah yang dihadapi (= keterlibatan ego);
4)
setiap pendapat - dalam proses persuasi - apabila bergeser terjadi berdasarkan a) arah, b) intensitas dan c) lama/waktu pendapat tertentu bertahan, halmana juga berlangsung menurut pergeseran pendapat (1969 : 66);
Berdasarkan proses kemungkinan dipengaruhi dari khalayak/ individu penerima, dikenal jenis-jenis khalayak sebagai berikut: 1)
khalayak imun/tidak berubah pendapat
2)
khalayak yang berubah-ubah pendapat/pengubah pendapat;
3)
khalayak yang berubah secara negatif/khalayak negatif (1969 : 66);
Variabel Primer Umur pengaruh besar kedalaman agama status pendidikan pengaruh besar
154
Sifat khalayak/individu Pengubah pendapat Mudah berubah Sukar berubah pengaruh kecil pengaruh besar perempuan laki-laki pengaruh kecil pengaruh besar pengaruh kecil pengaruh besar pengaruh kecil pengaruh besar pengaruh kecil pengaruh besar
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Berkaitan dengan itu pula, maka Droege-Weissenbom dan Haft menemukan adanya saling keterkaitan antara sejumlah variabel primer dengan sifat khalayak/individu sebagai berikut: Kesimpulan yang menarik yang dapat ditarik dari pengaruh variabel-variabel primer terhadap mudah berubah pendapat hampir tidak berpengaruh, tetapi sebaliknya terhadap sikap sukar berubah sikap justru sangat berpengaruh (1969 : 70). Penemuan ini menunjang penemuan dari Lane dan Sears18 mengenai sikap irasionalitas (tinggi) yang sekaligus menunjukkan kemungkinan mempengaruhinya sebagai berikut: 1)
pembentukan pendapat umum luar biasa sukarnya19, dengan salah satu kasus dan kriteria adalah proses pemilihan umum/ electoral process dan pemberian suara (1965 : 3);
2)
pengaruh politik terjadi lebih banyak secara tidak langsung (1965 : 3);
3)
pengaruh dari nilai-nilai luar terjadi pada awal masa remaja (1965 : 4);
4)
kelompok berpenghasilan rendah (diakibatkan oleh kemiskinan yang akut dan status sosial yang rendah);
5)
mobilitas sosial secara fisik (khususnya urbanisasi) yang mengadakan perubahan intrageneratif
6)
perubahan hubungan intern keluarga (karena pertambahan anak sehingga ruang hidup keluarga makin sempit);
7)
Isolasi individual (karena pengalaman bercerai/duda/janda atau lajang
Unsur-unsur keterkaitan variabel-variabel primer dengan kemungkinan dipengaruhi/mengubah pendapat dibahas dengan agak panjang dan lebar, untuk menjelaskan bahwa peningkatan volume atau akses memperoleh informasi saja tidak merupakan unsur yang utama dalam mengubah masyarakat maupun pemerintah; akhimya adalah situasi sosio-ekonomi dan psikologi masyarakat sendiri (dengan latar belakang apapun) yang akan menentukan: 18 Robert E. Lane dan David O Sears, 1965, Public Opinion, New Jersey - Engelwood Cliffs dan New Delhi Prentice Hall of India; 19 asli : The Process of»shaping»is an enormously complicated one(1965 : 3);
155
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
1)
informasi apa yang akan dicari oleh individu/khalayak;
2)
untuk tujuan apa informasi ingin a) dimiliki dan b) dipergunakan;
3)
dengan cara bagaimana informasi akan dipergunakan.
Dengan menggunakan analisis di atas ini akhirnya salah satu kesimpulan penting ialah bahwa pihak yang memerlukan banyak informasi - terutama informasi publik - ialah: 1)
kaum intelektual
2)
pihak yang berkecimpung dalam bidang publik, yaitu dengan jenis pekerjaan politikus/politisi dan/atau wartawan.
Dengan sendirinya seseorang yang aktif dalam bidang publik, tidak hanya menginginkan informasi demi perubahan pendapat saja, tetapi bahwa yang bersangkutan mengharapkan bahwa perolehan informasi publik dapat meningkatkan kemampuan politiknya melalui pengembangan atau peningkatan kemampuan untuk suatu mobilitas psikologik/capacity for psychic mobility20 (1966) oleh khalayak publik pula. Mengingat bahwa sikap pendapat umum memiliki 1) arah/tertuju pada sesuatu/seseorang dan 2) intensitas/kekuatan pendukung, maka inilah juga kriteria bagi seleksi informasi yang dilakukan oleh setiap pencari informasi.
KESIMPULAN 1.
Setiap pendapat yang berkaitan dengan masalah -masalah publik memiliki peran fungsi sosial;
2.
Setiap pendapat juga mempunyai suatu fungsi intra psikologik psikologik/ intra psychic function yang merupakan landasan pembenaran/ legitimasi bagi tindakan-tindakan agresif pemilik pendapat (contoh : demonstrasi dengan kekerasan);
3.
Setiap pendapat yang mempermasalahkan masalah publik sekaligus mempunyai fungsi ekonomi;
4.
Setiap pendapat menjelaskan rasionalisasi pemilik pendapat dan menjelaskan adanya tekanan-tekanan psikologik terhadapnya; cara penyampaian secara harus maupun dengan kekerasan
20 Lucien W. Pye, 1966, Aspects of Political Development, Boston-Little Brown & Co; MIT;
156
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
ditentukan oleh landasan etik pemilik pendapat, sehingga ikut menentukan derajat dan mutu peran sosial yang dimainkannya sesuai dengan sistem nilainya (Lane & Sears, 1965 : 54-56); 5.
Pengendalian pendapat mempunyai pendekatan dan kriteria keberhasilan komunikasi = pengawasan masyarakat;
6.
Unsur yang menentukan keberhasilan pengendalian masyarakat ditentukan oleh (a) pengalaman masyarakat dengan pemerintah, khususnya mengenai sinkron tidaknya kata-kata pemerintah dengan tindakan-tindakannya: * loyalitas kepada pemerintah ditentukan oleh perimpitan kata dan kenyataan (= nama baik pemerintah) * kesetiaan/loyalitas yang sangat berpihak/partisan sangat dibantu oleh kesamaan etnik, ras, dan wilayah sama/ bersama * kepercayaan berdasarkan etika terhadap tokoh pemerintah ditentukan oleh kepercayaan psikologik bahwa seorang tokoh pemerintah akan bertindak sesuai dengan norma-norma etika masyarakat * kepercayaan teknis berkembang berdasarkan pengalaman di masa lalu (contoh : kepercayaan terhadap dokter, pelayanan kesehatan dll.) (b) pengendali masyarakat selalu bersaing dengan pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat (dalam partai maupun di luar, termasuk mass media) (c) nilai-nilai yang dipergunakan oleh pengendali masyarakat harus sama atau sekurang-kurangnya dekat dengan nilai masyarakat (terutama nilai-nilai yang dimiliki oleh tokohtokoh intelektualnya) (d) keterlibatan masyarakat dalam kegiatan publik ialah karena ada kepentingan pribadi terlibat dalam masalah-masalah publik yang ditangani oleh pemerintah (contoh : kenaikan BBM, tarif telepon, tarif listrik dan transportasi);
7.
Pengaruh politik dan keberhasilan persuasi politik merupakan sumber kekuasaan yang dapat mengubah pendapat khalayak; atau dukungan terhadap suatu kebijaksanaan
157
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
pemerintah ditentukan oleh muatan komunikasi/informasi yang dipakai, yang tidak berdiri sendiri tetapi terkait erat dengan unsur-unsur pengalaman dan psikologik masa lalu yang telah disebut terdahulu (Lane & Sears, 1965 : 55-56); 8.
Dengan demikian perlu ditekankan bahwa banyak informasi yang tersedia serta disebarluaskan oleh media massa, hanya bermanfaat apabila terdapat suatu knowledgeable Press sehingga dicapai suatu knowledgeable public/khalayak, itupun hanya apabila tingkat pendidikan masyarakat memungkinkan khalayak ramai memahami dan mengolah dengan tepat informasi yang disebarluaskan oleh media massa maupun Internet. Hal terakhir ini adalah prasyarat utama bagi terbentuknya suatu civil society.
Jakarta, 14 Maret 2002
158
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
DAFTAR PUSTAKA 1.
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Castells, Manuel, 1999, Information Technology, Globalization and Social Development, Jenewa/Swiss - UN-Research Institute for Social Development; Droege, Franz, Raiser Weissenborn dan Henning Haft, 1969, Wirkungen der Massenkommunikation, Muenster-Regerisburg; Harms, L.S. dan Jim Richstad, 1977, Evolving Perspectives on the Right to Communicate, Honolulu, Hawaii, East West Communication Institute; Lane, Robert E. dan David O. Sears, 1965, Public Opinion, New Jersey Engelwood Cliffs dan New Delhi Prentice Hall of India; Lowi, Theodore J., 1968, Private Life and Public Order, New York, W.W. Norton & Co. Inc. Packard, Vance, (1957, 1962, 1963), The Hidden Persuaders, London-Reading, a Pelican Book; Pye, Lucien W., 196G, Aspects of Political Development, Boston-Little Brown & Co; MIT; Roucek, Joseph S., (1947, 1955), Social Control, Toronto-New York LondonPrinceton-New Jersey/D. van Nostrand Co. Inc.;
Pidato pengukuhan sebagai Guru Besar FISIP/UI 1. Sunario, Astrid S. Susanto, 1989, Pengendalian Masyarakat dan Pengawasan Masyarakat», Jakarta; Undang-undang: 1. UUD 1945; 2. UU no. 39/1999, tentang Hak Asasi Manusia; 3. UU no. 26/2000, tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
159
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
160
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Manajemen Reformasi Birokrasi A. B. Susanto*
Ombudsman merupakan Magistrature of lnfluence, bukan Magistrature of Sanctions. Efektifitasnya sangat tergantung kemampuannya untuk mempersuasi, kewenangannya, serta bobot kualitasnya. (Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman International, Sujata dan Surachman, 2002)
amun sebenarnya hasil akhirnya secara de facto tergantung «resultante» antara Ombudsman dan birokrasi yang diawasinya. Sehingga yang juga tak kalah penting lagi adalah bagaimana mekanisme internal birokrasi itu sendiri menyerap rekomendasi-rekomendasi yang dikeluarkan Ombudsman. Jika mekanisme internal birokrasinya belum tersentuh efek reformasi birokrasi dan «kedap» terhadap langkah korektif yang dilakukan Ombudsman, maka peran Ombudsman yang terlahir dari rahim cita-cita reformasi ini menjadi tumpul dan tidak menggigit. Ombudsman sebagai salah satu «alat» untuk membantu derak reformasi, hanya dapat berperan secara efektif jika secara simultan juga terdapat gerakan
N
161
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
reformasi dalam tubuh birokrasi. Organisasi birokrasi merupakan salah satu konsep organisasi yang cukup tua, dan bukanlah konsep yang buruk. Dengan dasar pemikiran bahwa organisasi yang efisien memiliki cara kerja seperti sebuah mesin, Weber menganjurkan aturan yang terinci, pembagian kerja, pengawasan, dan hirarki kekuasaan jelas. Maka organisasi birokrasi dipakai oleh pemerintah di seluruh dunia, dan selalu berkutat dengan berbagai peraturan. Sebenarnya organisasi birokrasi dibedakan menjadi dua kategori, yaitu organisasi birokrasi mesin dan organisasi birokrasi profesional. Reformasi birokrasi diharapkan dapat mentransformasi menjadi organisasi birokrasi profesional. Konsep dasar dari organisasi birokrasi mesin adalah standarisasi. Karakteristik struktur organisasi ini adalah memiliki rutinitas kerja yang tinggi dengan aturan yang formal, penugasan dibagi dalam kelompok-kelompok departemen fungsional, otoritas yang tersentralisasi, pengambilan keputusan berdasarkan rantai komando yang ada, dan struktur administrasi yang baik dengan adanya pembedaan yang nyata antara aktivitas yang dilakukan oleh lini dengan staf organisasi. Karena derajat formalitas tinggi, maka pengambilan keputusan dilakukan secara tersentralisasi. Ketidakmampuan dalam mengatasi masalah yang terjadi di luar aturan yang telah dibuat, dan kekakuan karena terobsesi mengikuti peraturan yang berlaku, menjadi kelemahannya. Struktur organisasi profesional ini merupakan kombinasi dari standarisasi dan desentralisasi dalam proses pengambilan keputusan. Kekuatan struktur ini adalah pada operating core yang memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan oleh organisasi. Struktur ini mempunyai otonomi untuk mengimplementasikan kemampuannya dalam desentralisasi pengambilan keputusan. Selain itu dalam struktur ini dikenal adanya staf pendukung yang mendukung kegiatan operating core.
Metodologi Manajemen Reformasi Birokrasi Pada hakekatnya reformasi birokrasi adalah proses pemindahan dari formasi lama ke formasi yang baru, dengan tatanan, sistem,
162
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
budaya dan struktur yang baru. Jika proses perpindahan ini belum tuntas, maka sulit diharapkan dapat terwujud manajemen birokrasi yang efektif. Memanajemeni reformasi birokrasi sedikitnya harus melalui tiga tahap. Tahap pertama adalah menentukan tujuan reformasi birokrasi, mengembangkan strategi dan kerangka kerja untuk melaksanakan aktivitas manajemen reformasi birokrasi tersebut, yang masih menyisakan ruang bagi fleksibilitas karena situasi mendatang yang dihadapi tidak sepenuhnya dapat diprediksi, dan menuangkan dalam contingency plan. Semua aktivitas ini harus didukung oleh visi yang jelas. Sang nakhoda harus dapat melihat jendela masa depan, dan mempunyai gambaran langkah-langkah apa yang hendak ditempuh untuk mewujudkannya. Tahap selanjutnya adalah mengimplementasikan manajemen reformasi birokrasi itu. Dalam tahapan ini, perlu adanya kemantapan dan kecepatan yang memadai untuk mendorong dimulainya aktivitas reformasi birokrasi. Salah satu hal yang perlu disadari adalah bahwa aktivitas reformasi birokrasi berlangsung dalam situasi dan kondisi yang juga berubah. Oleh karena itu, diperlukan dinamika dan fleksibilitas dalam derajat tertentu dalam implementasi aktivitas reformasi birokrasi. Aktivitas pemantauan dan pemberian umpan balik merupakan elemen-elemen utama dalam menghadapi dinamika implementasi reformasi birokrasi. Dengan demikian, aktivitas reformasi birokrasi yang memberikan hasil positif dapat dilanjutkan dan yang memberikan hasil negatif dapat ditelaah kembali dan dimodifikasi apabila diperlukan. Implementasi reformasi birokrasi memerlukan komitmen yang tinggi karena seringkali terdapat ketidakjelasan hasil dalam masamasa tertentu. Selain standard progress yang telah ditetapkan dalam tahap persiapan, perlu pula diperhatikan bahwa distribusi reformasi cukup jelas dan sampai ke pihak yang terkait, untuk mengurangi rasa ketidakpastian. Dalam implementasi reformasi birokrasi, perlu diseimbangkan antara fokus pada hal-hal yang bersifat teknis dengan masalah sosial, politik dan budaya, agar tidak menjadi ganjalan bagi proses reformasi
163
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
birokrasi. Perhatian utama perlu pula diarahkan pada pengelolaan berbagai permasalahan yang terkait dengan masalah psikologis dan politis bagi para pelaku reformasi manajemen birokrasi. Implementasi reformasi birokrasi perlu dilaksanakan dalam jangka waktu yang tepat. Apabila proses manajemen reformasi birokrasi berlangsung dalam jangka waktu yang terlalu lama, biasanya hasil yang disasarkan tidak tercapai. Apabila tercapai, kemungkinan hasil tersebut tidak sesuai lagi untuk situasi dan kondisi yang dihadapi. Proses reformasi birokrasi tidak berakhir setelah aktivitas reformasi birokrasi selesai dilaksanakan. Tahap terakhir adalah tahap pengelolaan hasil reformasi birokrasi. Justru tantangan yang lebih besar akan kita hadapi dalam masa lepas landas ini. Bagaimana mempersiapkan seluruh bangsa untuk memanfaatkan hasil reformasi birokrasi bukanlah suatu pertanyaan yang mudah untuk dijawab. Ketiga tahap dalam proses reformasi birokrasi terkait erat satu dengan lainnya dan keberhasilan proses reformasi birokrasi memerlukan hasil optimal dari ketiga tahap secara keseluruhan. Proses reformasi birokrasi tidak akan sukses dilaksanakan apabila tahap pertamanya sudah tidak jelas. Perlu disadari bahwa reformasi birokrasi yang terlalu besar dalam waktu yang terlalu singkat (revolusioner) akan dapat menimbulkan kekacauan arah bagi para pelaku aktivitas reformasi manajemen birokrasi, serta menurunkan peluang sukses. Pendekatan revolusioner ini merupakan pendekatan yang berbeda dan bukan merupakan subyek pembahasan tulisan ini.
Memanajemeni Konflik : Tantangan Demokrasi Proses manajemen reformasi birokrasi yang sedang kita hadapi tidak akan berjalan mulus, jika konflik yang menyertai manajemen reformasi birokrasi tidak dapat dikendalikan dengan baik. Dalam euphoria kebebasan, semua orang merasa berhak untuk berpendapat, dan seringkali diartikan juga berhak untuk berselisih pendapat. Dalam tubuh pemerintah saat ini menimbulkan persoalan tersendiri, karena tiadanya mayoritas mutlak. Reformasi birokrasi selalu melewati masa-
164
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
masa ketidakpastian (Law of Chaos), yang merupakan masa kritis yang harus dilewati. Reformasi birokrasi berwajah ganda, satu sisi menuju kebaikan, di sisi yang lain menunjukkan wajah yang mengerikan. Inilah yang harus disadari oleh para pemimpin kita. Jangan sampai fase ketidakpastian ini, menjadi berkepanjangan, apalagi jika sampai menggiring ke arah desintegrasi bangsa. Konflik memang tidak dapat dihindari, dan bukankah demokrasi sebenarnya juga memanfaatkan dinamika konflik. Konsep trias politika, adalah manifestasi dari pemanfaatan konflik untuk saling mengontrol. Legislatif dan eksekutif, memang «diharapkan» terlibat dalam konflik dalam konteks check and balance, dan bukan konteks permusuhan. Konflik yang diharapkan muncul berada dalam derajat tertentu dan terkendali, saling mengoreksi, sehingga menjadi fungsional. Jika tingkat konflik membesar dan tidak terkendali, konflik menjadi disfungsional dan bahkan menjadi destruktif.
Reformasi Birokrasi dan Otonomi Daerah Salah satu gaung reformasi adalah otonomi daerah, yang berusaha untuk melakukan «demokratisasi» melalui upaya-upaya desentralisasi. Proses perubahan birokrasi di tingkat daerah seiring dengan keleluasaan yang diperolehnya dapat dijadikan «cermin» keberhasilan reformasi birokrasi «mini» . Otonomi daerah memegang peranan penting dalam proses pengguliran roda reformasi birokrasi. Pelaksanaan otonomi daerah sendiri merupakan sebuah reformasi birokrasi, yang berlandaskan nafas desentralisasi. Dalam situasi terdesentralisasi, ketika sebagian kewenangan pemerintah pusat berada di pundak pemerintah daerah, kontribusi keberhasilan reformasi birokrasi di daerah menjadi sangat signifikan. Lepasnya belenggu sentralisasi diharapkan dapat memacu kreatifitas daerah, meningkatnya daya inovasi, mengasah kepekaan terhadap permasalahan lokal, meningkatnya transparansi dan demokratisasi, serta sederet harapan mulia lainnya yang menunjang kemandirian daerah. Di balik harapan yang serba indah tersirat berbagai kekhawa-
165
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
tiran, seperti kekhawatiran «desentralisasi» korupsi dan kekhawatiran munculnya «raja-raja» kecil di daerah yang tidak kalah hebatnya dalam ber-KKN, karena justru lepasnya pesan kontrol dari pusat. Pusat di sini bukan hanya berarti pemerintah pusat, tetapi juga pressure groups seperti media, LSM, dan kampus. Keberadaan kelompok penekan yang tidak merata di daerah dapat mengurangi fungsi kontrol dari pihak-pihak di luar pemerintahan. Sejumlah investor juga mengeluhkan birokrasi di daerah ternyata juga tidak kalah ruwetnya dengan birokrat pusat. Bahkan Presiden Megawati sudah menuding otonomi daerah sebagai ganjalan pemulihan ekonomi. Apa yang dapat dipetik dari berbagai kekhawatiran tersebut? Daerah tidak boleh terjebak pada eforia otonomi dan harus hati-hati dalam memanajemeni masa transisi yang sangat menentukan dalam meraih kesuksesan. Optimisme yang ada harus disalurkan dalam langkah-langkah yang tepat. Karena sebenarnya dibalik tantangan yang ada, tersimpan peluang sangat besar jika cermat dalam mengelola kesempatan yang ada. Otonomi daerah telah memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang luas bagi daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan pembangunan daerahnya. Sindroma «raja kecil» yang mungkin muncul harus dicegah sejak awal, jika tidak ingin cita-cita indah otonomi layu sebelum berkembang dan berakhir dengan kekecewaan masyarakat daerah yang sangat mendambakan kemajuan. Otonomi telah memberikan otoritas yang lebih luas kepada para pelaku di daerah dan dengan sendirinya juga memberikan tanggungjawab yang lebih besar. Di sini peran Ombudsman sebagai salah satu pengawal reformasi birokrasi di daerah sangat diperlukan. Ombudsman Daerah perlu segera dibentuk, dan dapat berperan sebagai «auditor» bagi kualitas layanan publik dan «pengacara» bagi masyarakat melawan «birokrat». Walaupun memiliki fungsi dan cara yang berbeda dengan pressure groups, tetapi tujuannya adalah untuk melakukan koreksi terhadap kinerja birokrat. Diperlukan perubahan sudut pandang (paradigm shift) para pejabat dan pegawai pemerintah daerah untuk meresapi makna dari layanan publik (public services). Artinya para pegawai adalah «alat
166
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
untuk melayani publik, dan bukan sebaliknya publik harus melayani mereka. Paradigma ini harus tercermin dalam kesadaran peran (role awareness) dan tertuang dalam budaya organisasi (organization culture) pemerintah daerah. Setiap orang yang menduduki setiap posisi dalam struktur organisasi, harus sadar tentang peran yang harus dijalankan dan mengacu kepada paradigma layanan masyarakat. Budaya organisasi harus diperkuat, sehingga setiap anggota organisasi yang bernama pemerintah daerah mempunyai referensi nilai yang sama, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan. Paradigma ini dapat menjadi landasan yang kuat bagi terciptanya good governance, untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan kemandirian daerah berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas (accountability), fairness, dan tanggung jawab. Prinsipprinsip ini berdiri sejajar dengan prinsip pembangunan ekonomi yang berkesinambungan (sustanaibility), terintegrasi, serta komprehensif. Dan Ombudsman Daerah menjadi mitra yang tepat untuk mewujudkan impian ini.
Layanan Publik sebagai Performance Indicator Birokrasi Salah satu harapan terhadap reformasi adalah menuntun kembali fungsi pemerintah dan aparatnya untuk menjadi public servant. Artinya tugas (pegawai) pemerintah adalah melayani masyarakat, dan bukan sebaliknya masyarakat yang melayani (pegawai) pemerintah. Tuntutan masyarakat terhadap kualitas layanan publik semakin keras gaungnya. Layanan publik yang biasanya menempel di tubuh lembaga pemerintah dinilai kurang dapat memenuhi tugasnya sesuai dengan harapan khalayak, sebagai «konsumen» mereka. Kualitas layanan publik dapat dipakai sebagai indikator seberapa jauh birokrasi telah berubah. Kinerja birokrasi dapat dipantau oleh Ombudsman terutama dari layanan publik. Ombudsman melalui pendekatan yang independen, obyektif, transparan, dan selalu melakukan investigasi secara fair, akan menampung keluhan dan pengaduan yang berkaitan dengan pemerintahan dan layanan publik. Ombudsman dapat berperan se-
167
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
bagai auditor layanan publik. Keberadaannya merupakan langkah untuk mewujudkan «budaya layanan publik» di kalangan pemerintahan. Dengan pendekatan self-healing (pengobatan diri sendiri), diharapkan keputusan-keputusan yang tidak mengikat ini dapat dipatuhi karena ada ikatan moral dan etika. Ombudsman sebagai salah satu alat reformasi birokrasi diharapkan setapak demi setapak ikut berkontribusi terhadap terbentuknya jajaran pegawai pemerintah yang berdedikasi, memiliki komitmen yang tinggi, mempunyai akuntabilitas, keterbukaan terhadap masukan masyarakat luas, dan profesionalisme yang tinggi. Garda terdepan hasil dari reformasi birokrasi adalah layanan publik, sehingga layanan publik adalah salah satu sasaran utama yang harus dibenahi. Walaupun terdapat beberapa perbedaan, tetapi layanan publik dapat meniru layanan konsumen dalam dunia bisnis. Para penerima jasa dianggap sebagai pelanggan dan para pegawai lembaga pemerintah menganggap dirinya sebagai penjual jasa. Tujuan akhir dari pegawai pemerintah adalah membuat «pelanggan» merasa puas, dengan memenuhi kebutuhan dan harapannya terhadap layanan publik. Para pegawai kelurahan merasa bahwa warga yang meminta perpanjangan KTP adalah pelanggannya, dan dengan demikian berusaha memberikan layanan sebaik-baiknya. Para penegak hukum merasa bahwa masyarakat adalah pelanggannya, dan dapat memberi layanan yang baik dan adil. Seperti halnya dalam dunia bisnis, layanan ini tidak hanya diberikan oleh pegawai garis depan saja yang berhadapan langsung dengan para «pelanggan», melainkan oleh seluruh jajaran. Sehingga layanan akan terbagi menjadi dua golongan, yaitu layanan internal dan layanan eksternal. Layanan internal diberikan oleh seluruh bagian untuk mendukung personil garis depan, agar secara berantai mereka dapat memberi layanan yang baik bagi yang membutuhkan jasanya. Layanan internal ini dapat terjadi secara horisontal antar bagian, maupun secara vertikal antara atasan dan bawahan. Seorang atasan dapat memberi «layanan» kepada bawahannya, misalnya keputusan yang cepat, agar bawahan yang berada di garis depan dapat memberi layanan eksternal kepada publik. Sehingga kualitas layanan publik merupakan «produksi» dari sebuah totalitas birokrasi : kepemimpinan-
168
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
nya, strateginya, sistemnya, dan strukturnya. Hasil akhir reformasi akan tampak dari kualitas layanan publik ini.
Penutup Melaksanakan reformasi birokrasi harus memperhatikan empat faktor utama, yaitu strategi yang akurat, langkah-langkah yang sistematis, manajemen yang tepat dan kepemimpinan yang handal. Dibutuhkan pemimpin yang memiliki sasaran dan agenda yang jelas, menghormati orang lain, berani menegur anak buahnya yang bersalah, dan berani mengambil tindakan tidak popular yang diyakini benar.
169
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
DAFTAR PUSTAKA Sujata, Antonius dan RM Surachman. Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman International Jakarta, Komisi Ombudsman Nasional, 2002 Susanto, AB. Manajemen Aktual: Topik-Topik Aktual Manajemen dalam Riak Perubahan. Jakarta: PT Grasindo, 1997. Manajemen dan Persaingan Bisnis 3: Dinamika Manajemen. Jakarta: PT Elexmedia Komputindo, 1997 Visi Global Para Pemimpin: Sinkretisme Peradaban. Jakarta: PT Elexmedia Komputindo, 1998. Visi Hidup : Renungan Anak Bangsa Tentang Tanah Air. Jakarta: Yayasan Aku Percaya, 2000.
Ombudsman. Artikel di Kompas, 11 Januari 2000 Manajemen Pemerintahan. Artikel di Kompas, 29 November 2000. Manajemen Kemandirian Daerah. Artikel di Kompas, 2 Januari 2001.
* DR. A. B. Susanto adalah Managing Partner The Jakarta Consulting Group * Makalah ini disampaikan dalam Orasi Peluncuran Buku Ombudsman Indonesia di tengah Ombudsman Internasional; Antonius Sujata dan RM Surachman, Jakarta, 20 Maret 2002.
170
Ucapan Terima kasih
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
173
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
174
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
175
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
176
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
177
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
178
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
Lampiran
179
Ombudsman Indonesia: Masa Lalu, Sekarang dan Masa Mendatang
180