Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
BOROBUDUR SEBAGAI MANDALA : MASA LALU DAN MASA KINI Oleh : Daud Aris Tanudirjo Jurusan Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada
S
Sejak dimunculkan kembali pada tahun 1814,
Masalahnya, apakah perbedaan tafsir itu
rasanya Candi Borobudur tidak pernah lepas
harus dibiarkan ataukah harus dicari mana yang
dari kontroversi. Walaupun begitu banyak ahli
lebih dapat diterima? Yang seringkali terjadi,
telah mencoba mengungkap makna yang ada di
orang akan selalu mencari mana yang paling
balik candi Buddhis terbesar di belahan bumi
benar dan ia akan cenderung merasa bahwa
selatan ini, masih cukup banyak hal yang belum terpecahkan. Candi Borobudur adalah layaknya teks yang tidak ada henti untuk ditafsirkan. Pemahaman terhadap teks tentu saja tidak dapat lepas dari bagaimana teks itu dimengerti dalam konteks tertentu, baik itu konteks waktu, ruang, dan suasana pikiran orang yang mencoba memahaminya. Sifat inilah yang memungkinkan tidak hanya satu pemahaman yang dapat diperoleh tentang suatu teks, tetapi bisa jadi ada beragam pemahaman yang dapat dihasilkan (lebih jauh baca Buchli, 1995). Karena itu, keragaman tafsir tentang makna dan fungsi Candi Borobudur menjadi suatu hal yang wajar.
Candi Borobudur setelah pemugaran van Erp
123
124
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
apa yang menurutnya benar adalah jawaban
tahun yang lalu memang bukan pekerjaan
yang paling benar. Akibatnya, ada saja orang
mudah. Namun, yang lebih sulit lagi adalah
yang merasa harus ada kebenaran tunggal, atau
'pemugaran' makna Candi Borobudur di masa
harus ada yang salah dan yang benar. Padahal,
lampau. Bahkan, banyak pakar yang meyakini
dalam kaitan dengan pemaknaan di 'masa
bahwa menemukan kembali kenyataan
lampau' tentu kebenaran tunggal itu sulit
pemaknaan masa lampau hampir pasti tidak
dicapai. Masa lampau sudah lewat dan
mungkin. Yang sesungguhnya terjadi adalah
sebagian data yang terkait dengan masa
upaya memahami pemaknaan di masa lampau
lampau tidak lagi lengkap sampai kepada kita.
dari perspektif masa kini (Shank and Hodder,
Karena itu, menemukan makna sesungguhnya
1995; Koerner and Price, 2008). Pemahaman
di masa lalu bukan pekerjaan mudah.
tentang masa lampau tidak dapat hanya
Pemugaran Candi Borobudur secara fisik
digantungkan pada satu pendekatan atau
sebagaimana dilakukan oleh van Erp seratus
pendapat. Sebaliknya, pemahaman yang lebih baik akan dapat dicapai dengan saling mengisi antar beragam pendapat yang berbeda. Untuk mengetahui apakah pemahaman itu bersifat relatif atau obyektif tentu harus ditimbang pula dengan keseluruhan pengetahuan yang digunakan dalam proses memahami masalah itu sendiri (Wylie, 2002). Kerangka pikir inilah yang hendak digunakan dalam tulisan tentang Candi Borobudur sebagai mandala ini. Pertanyaan tentang apakah Candi Borobudur adalah suatu mandala sebenarnya sudah lama menjadi topik diskusi para pakar. Setidaknya pada tahun 1933, pertanyaan itu telah dijadikan judul artikel oleh W.F. Stutterheim yang menulis di majalah Djawa. Sejak itu, diskusi tentang fungsi Candi Borobudur sebagai
Candi Borobudur dilihat dari atas
mandala terus berkembang, sehingga akhirnya
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
lebih banyak pakar yang meyakini bahwa Candi
memakai diagram ini untuk membantu
Borobudur memang mandala (a.l. Stutterheim,
konsentrasi. Dalam konteks ini, mandala
1956; Bernet-Kempers, 1976; Miksic, 1990).
dianggap sebagai pusat kekuatan psikis. Dalam
Namun, keraguan tentang fungsi Candi
konteks yang lain, secara lebih luas mandala
Borobudur dimunculkan kembali oleh sarjana
juga diartikan sebagai suatu medan yang
Belanda Marijke Klokke antara lain dalam
disucikan. Medan ini dipisahkan dari wilayah
presentasinya di Pertemuan Ilmiah Arkeologi di
profan dengan jajaran tokoh-tokoh magis di
Cipanas tahun 1996. Meskipun telah ditanggapi
tempat-tempat tertentu dan 'penjaga' pintu
dengan baik oleh Miksic (2010), keraguan itu
masuknya. Bagian-bagian yang ditandai khusus
memancing gagasan untuk mencoba
pada mandala itu dipercayai ditempati oleh
meluaskan pembahasan konsep Candi
dewa tertentu atau sebagai tempat kedudukan
Borobudur sebagai mandala yang tidak hanya
para dewa (surga, istana, altar). Karena itu, di
terbatas pada penafsirannya untuk masa
bagian yang ditandai itu sering terdapat gambar
lampau tetapi juga penafsirannya di masa kini.
dewa, tokoh, atau lambangnya. Pengertian yang tidak jauh berbeda
PENGERTIAN MANDALA
dikemukakan oleh Grover (1980), ketika ia membahas arsitektur Hindu dan Budhis.
Pada intinya, mandala berarti lingkaran.
Menurut pakar ini, mandala sesungguhnya
Namun, dalam penerapannya, konsep ini diberi
adalah bentuk geometris yang paling hakiki dan
makna kontekstual yang berbeda-beda. Dalam
dasar dari bentuk yang lain, yaitu bentuk persegi
Hindu World, an Encyclopedic Survey of
dan lingkaran. Untuk mendirikan bangunan suci
Hinduism (Walker, 1983), misalnya, disebutkan
para dewa, tidak ada bentuk dasar yang paling
bahwa mandala lebih banyak dipahami sebagai
sesuai selain kedua bentuk dasar ini. Karena itu,
diagram simbolis yang terdiri atas bentuk-
denah bangunan suci untuk para dewa selalu
bentuk persegi, segitiga, labirin, permata, atau
menggunakan konsep mandala. Dalam konteks
suluran yang ada dalam suatu lingkaran.
arsitektur, bentuk persegi lebih banyak
Diagram ini seringkali dilukiskan di atas kertas
digunakan pada bangunan hinduistik,
atau tanah, atau digoreskan dan dipahatkan
sedangkan bentuk lingkaran lebih banyak
pada lembaran logam, batu, kayu, tulang, atau
digunakan pada bangunan budhis. Namun,
media lain. Orang yang ingin bermeditasi dapat
pada dasarnya kedua bentuk itu akan menjadi
125
126
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
rujukan utama dalam setiap karya arsitektur,
tinggal di Gunung Meru dan sekaligus juga
hinduistik maupun budhis, sehingga menjadi
menganggap dirinya sebagai devaraja. Sebagai
dasar apa yang disebut sebagai Vastupurush-
pemimpin utama, maharaja akan dikelilingi
mandala, yang secara hurufiah dapat diartikan
sejumlah pejabat yang sebagian tentunya
'skema magi untuk arsitektur Manusia Utama'.
adalah para penguasa wilayah bawahan yang
Berbagai paduan bentuk dasar dalam
berada di sekitar pusat kerajaan. Struktur
Vastupurushmandala ini nantinya menjadi
hubungan inilah yang kemudian dipahami juga
pangkal pedoman bagi para arsitektur India
sebagai konsep mandala. Dalam konteks ini,
untuk menghasilkan desain bangunan yang
Wolter (1982) memahami
rumit dan beragam.
“lingkaran para raja” yang mendukung atau
mandala sebagai
Konsep mandala juga dapat diperluas
bersekutu dengan maharaja dalam suatu
menjadi tatanan hubungan kekuasaan dan
kerajaan tertentu. Karena setiap raja (bawahan)
kewilayahan. Dalam konteks ini, lingkaran
memiliki wilayah kekuasaannya sendiri-sendiri,
mandala menjadi bagian tak terpisahkan dari
meskipun dengan batasan yang tidak tegas,
kosmogoni Hindu dan Buddha, yang
maka mandala juga bermakna geografis (baca
membayangkan jagat raya terdiri atas tujuh
Kulke, 1986; Christie, 1986).
lingkaran lautan dan tujuh daratan yang
Namun, Christie (1986) secara kritis
berselang-seling. Di tengah lingkaran terdalam
menekankan perlunya membedakan antara
terdapat pusat dunia yang ditandai oleh
bhumi dan mandala. Bhumi adalah wilayah yang
keberadaan Gunung Meru, sedangkan di luar
benar-benar dikuasai secara politis dan
lautan terluar terdapat deretan pegunungan
administratif oleh raja yang sedang bertahta,
besar. Menurut Heine-Geldern (1982), konsep
sehingga menjadi inti atau pusat kerajaan
kosmologis ini telah menjadi dasar bagi tatanan
seperti dalam ungkapan i bhumi Mataram atau
kekuasaan maupun kewilayahan banyak
bhumi Kadiri. Pengertian ini tentu tidak sama
kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Asia
dengan mandala yang berarti 'seluruh wilayah
Tenggara. Ia membayangkan setiap kerajaan
yang didaku di bawah kekuasaan kerajaan itu.
akan memiliki maharaja yang menjadi pusat
Jadi, mandala mencakup daerah inti (bhumi)
kekuasaan dan berkedudukan di pusat wilayah.
dan daerah pinggiran yang tidak sepenuhnya
Maharaja mendudukkan diri sebagai
dikuasai
cakravartin, yaitu penguasa jagad raya yang
yawadwipamandala, misalnya, merujuk
oleh
raja.
Ungkapan
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
keseluruhan Pulau Jawa, tetapi belum tentu raja
didirikan dengan konsep mandala tertentu.
benar-benar menguasai seluruh Pulau Jawa
Yang pasti, bentuk dasar candi ini adalah
secara politis dan administratif. Dengan
paduan lingkaran dan persegi yang merupakan
demikian, mandala lebih baik diartikan sebagai
bentuk-bentuk yang hakiki. Bernet-Kempers
kesatuan wilayah inti dan pinggiran yang saling
(1976) juga yakin bahwa dari denahnya yang
berinteraksi.
terdiri dari paduan bentuk lingkaran, persegi, dan tangga, Candi Borobudur pastilah
BOROBUDUR SEBAGAI MANDALA DI MASA LAMPAU Dengan berbagai pengertian yang telah diuraikan di atas, barangkali pertanyaan tentang apakah Candi Borobudur sebagai mandala dapat dijawab. Tentu jawabnya tidak harus tunggal, tergantung pada konsep mana yang akan dipakai. Apabila konsep yang digunakan mengikuti pengertian mandala sebagaimana dikemukakan oleh Grover di atas, sudah pasti Candi Borobudur adalah mandala karena hampir semua bangunan suci dianggap sebagai pengejawantahan konsep mandala. Dalam berbagai sumber sejarah Jawa Kuno memang dapat dibuktikan bahwa pendirian candi-candi di Jawa dan Bali juga didasarkan pada konsep mandala, di antaranya Candi Sewu yang disebut mandala dalam prasasti Kelurak (782 M) atau gugusan Candi Gunung Kawi di Bali yang disebut sebagai “sanghyang mandala ring Amaravati” (Soekmono, 1974). Candi Borobudur sudah pasti adalah bangunan suci yang
Denah Candi Borobudur
127
128
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
merupakan lambang dari suatu mandala.
Kala-makara pada pintu masuk Candi Borobudur
yang didirikan di atas tanah. Baginya, pola
Lalu, apakah Candi Borobudur juga
seperti itu sama persis dengan pola struktur
berfungsi sebagai mandala yang menjadi alat
lukisan-lukisan dari Tibet yang disebut mandala.
bantu dalam bermeditasi? Kemungkinan ini
Lukisan seperti ini biasanya dipakai sebagai alat
sebenarnya sudah lama dikemukakan oleh
bantu untuk merenung dan memuja. Di bagian
sejumlah peneliti Candi Borobudur. Stuterheim
tertentu candi digambarkan tokoh Budha atau
(1956), misalnya, berpendapat bahwa Candi
perlambangan lain yang terkait dengan
Borobudur di masa lalu bukan tempat yang
kenyataan yang tertinggi. Biasanya, tokoh
dapat dikunjungi oleh semua orang untuk
utama itu dilingkungi oleh sejumlah tokoh dalam
berziarah dan belajar tentang agama Buddha di
berbagai bentuk perwujudannya yang muncul
bawah bimbingan para paderi. Ia justru yakin
(emanasi) di sekelilingnya.
Candi Borobudur lebih diperuntukan bagi para
Pendapat bahwa Candi Borobudur adalah
paderi dari berbagai penjuru dunia yang ingin
mandala juga dikemukakan oleh Miksic (1990).
bersemadi. Mereka adalah para paderi yang
Bagian-bagian dari Candi Borobudur memiliki
ingin menjadi budha-budha di masa yang akan
kesamaan dengan unsur-unsur yang ada dalam
datang. Karena itu, Candi Borobudur mestinya
suatu mandala, terutama yang digambarkan
adalah alat bantu bermeditasi. Gagasan
dalam Dharmadhatu-mandala dan Vajradhatu-
Stutterheim ini juga disetujui oleh Bernet-
mandala. Lukisan kuno bentuk mandala yang
Kempers (1976) dan Zimmer. Bagi Zimmer
ada di Cina dan Jepang disebutkan mirip
(1955), desain bangun Candi Borobudur sangat
dengan bagian-bagian Candi Borobudur.
jelas menunjukkan fungsinya sebagai alat bantu
Bentuk dan posisi candi yang berada di atas
meditasi. Hasil kajian bangunan candi ini
bukit juga menyerupai gambaran pusat
memperlihatkan desain bangunan suci ini
mandala yang dibayangkan berada di puncak
berdenah persegi dengan empat pintu di arah
Gunung Sumeru. Sejumlah patung yang
empat mata angin utama dan masing-masing
menduduki relung-relung di empat penjuru
memiliki anak tangga naik menuju ke bagian
mataangin mirip dengan empat budha yang
yang paling sakral di atas. Di bagian atasnya
mengeliling Budha Tertinggi (Adibudha) dalam
terdapat tiga teras melingkar, sehingga secara
mandala Vajradhatu. Sementara itu, paduan
keseluruhan membentuk teras-teras melingkar
kala-makara pada pintu masuk candi beserta
yang didukung oleh sejumlah teras persegi
pagar langkan yang mengelilingi teras pertama
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
berbentuk persegi pada Candi Borobudur merupakan gambaran dari Dharmadhatumandala. Meskipun diakui ada kesulitan besar untuk menafsirkan secara khusus dan rinci konsep mandala yang diterapkan di candi ini, tetapi diyakini candi ini adalah mandala dalam arti ruang yang telah dibersihkan dari kekuatan jahat, sehingga para dewa dapat diundang datang ke tempat ini. Di tempat ini pula para rahib terbantu mendapatkan kesadaran yang
bhumisparsamudra
abhayamudra
varadamudra
dhyanamudra
vitarkamudra
dharmacakramudra
lebih tinggi. Secara lebih rinci, gambaran Candi Borobudur sebagai mandala juga diuraikan oleh Huntington (1997). Ia menghubungkan candi ini dengan konsep-konsep yang ada dalam Avatamsakasutra atau Buddhavatamsaka serta satu teks klasik dari Mahavairo-cana Tantra. Sarjana ini sependapat dengan Krom (1927. Lihat juga Miksic, 1990) bahwa patung-patung budha yang terdapat pada relung-relung di atas empat teras terbawah dari Candi Borobudur tidak lain adalah tokoh-tokoh Jina yang menempati empat penjuru dunia dalam mandala Vairocana : Aksobhya bersikap tangan bhumisparsamudra di timur, Ratnasambhawa bersikap varadamudra di selatan, Amitabha bersikap dhyanamudra di barat, serta Amoghasiddhi bersikap abhayamudra di utara. Namun, Huntington kurang setuju dengan tafsir Krom bahwa patung di relung teras kelima yang
129
130
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
bersikap tangan vitarkamudra sebagai
yang masih berada di dunia dan mengajarkan
Vairocana dan patung dalam stupa terawang
Mahavairocanasutra, terutama dalam konteks
yang bersikap dharmacakramudra sebagai
pancajina mandala.
Vajrasattva. Huntington sendiri menafsirkan
Sementara itu, patung yang ada di stupa
patung di teras kelima sebagai perwujudan dari
kerawang tidak lain adalah Vairocana yang
Akanistha, yaitu tokoh Vairocana atau Sakyamuni
dalam teks Avatamsakasutra disebut sebagai 'yang tak-terlihat dan tak-diketahui' (the Unseeable and Unknowable). Vairocana ini dapat dilihat dan diketahui hanya jika melalui wujud nyata Sakyamuni. Sifat Vairocana yang 'tak terlihat dan tak-diketahui kecuali lewat pengalaman langsung' inilah yang diwujudkan oleh arsitek Candi Borobudur dengan meletakkan patung Vairocana dalam stupa terawang, sehingga patung Vairocana yang ada di dalamnya 'kadang terlihat, kadang takterlihat'. Karena itu, Huntington harus mengakui bahwa Candi Borobudur adalah karya arsitektur yang luar biasa jenius. Pesan simbolik yang mendalam mampu dihadirkan secara bendawi dalam bentuk candi dan unsur-unsurnya. Berdasarkan bacaannya itu, Huntington yakin bahwa Candi Borobudur adalah perwujudan dari mandala yang dikonsepsikan dalam dua teks Buddhis, yaitu Avatamsakasutra, khususnya dari bagian Gandavyuha, dan satu teks lain yang belum jelas dari kelompok Mahavairocanasutra. Eksperimentasi yang dilakukan oleh Gammon et als (2009) makin mempertegas
Tiga tingkat stupa yang masing-masing berjumlah 32, 24, dan 26
makna Candi Borobudur sebagai mandala.
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
Sarjana ini bersama-sama dengan sejumlah
menyimpulkan mandala yang paling dekat
rahib dan pendeta Geshe Yeshe Wangchuck
dengan candi Borobudur adalah sarvavid
dari Tibet mencoba mengukur geometri Candi
mahavairocana mandala, yaitu salah satu bentuk
Borobudur dengan alat-alat yang biasa
mandala yang paling awal dalam aliran
digunakan untuk membuat mandala di Tibet,
yogatantra.
yaitu segulungan tali, patok kayu, dan kapur.
Berbagai pendapat di atas setidaknya
Mereka mendapati geometri candi ini
menegaskan bahwa Candi Borobudur adalah
mempunyai kesamaan proporsi dengan
mandala. Namun, candi ini barangkali memang
Vajrabhairava-mandala. Gammon sendiri yakin
tidak dapat ditafsirkan hanya bermakna tunggal.
bahwa dalam banyak unsurnya Candi
Miksic (2010) menyatakan setidaknya ada tiga
Borobudur adalah suatu mandala yang tidak
makna simbolis yang secara bersamaan dapat
biasa. Candi ini awalnya didirikan mengikuti
ditafsirkan dari Candi Borobudur ini : sebagai
konsep ajaran Mahayana, tetapi dalam
gunung yang melambangkan sepuluh tingkatan
mengalami modifikasi menjadi yogantara
menuju ke-budha-an, lambang legitimasi
mandala pada tahap pembangunannya yang
kekuasaan politik dinasti Syailendra, dan stupa
kedua oleh Raja Samaratungga. Perubahan itu
yang melambangkan kematian dan kelahiran
juga dikaitkan dengan penutupan bagian
kembali. Bahkan, amat mungkin masih ada
Kamadhatu. Berdasarkan konsep Mahayana,
makna-makna lain pula yang ada di balik
candi ini dibangun 10 tingkat dengan ukuran
pendirian candi ini.
100 m x 100 m, untuk melambangkan 5 jalan
Memang karya arsitektur yang
Mahayana dan 10 bodhisattva-bhumi,
monumental, seperti Candi Borobudur, pada
sedangkan tiga tingkat stupa (masing-masing
umumnya adalah suatu metafora yang telah
berjumlah 32, 24, dan 16) merupakan
dibendakan (baca Tilley, 1999). Karya itu tidak
perwujudan dari sutra teratai (Lotus-sutra)
saja merupakan lambang metaforis yang
sebagaimana ditafsirkan oleh Paul Mus. Pada
diperoleh dari ranah lain, seperti dari kosmologi,
tahap perubahan, kaki candi ini ditambah lebar
tetapi juga memberi peluang untuk
agar memenuhi ukuran 108 bagian (unit)
kontekstualisasi kembali. Proses seperti ini tentu
sebagaimana yang disyaratkan dalam
saja memberikan kesempatan pada
yogatantra mandala, sehingga menjadi
penggandaan makna. Artinya, satu ungkapan
berukuran 123 m x 123 m. Akhirnya, Gammon
dapat saja mewakili beberapa konsep yang
131
132
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
sejajar. Hal ini rupanya terjadi dalam kasus
Artinya, seorang raja bawahan (daerah) dapat
Candi Borobudur. Kesejajaran antara makna
saja memperoleh mobilitas ke atas sehingga
religius dan politis menjadi bagian yang penting
menjadi maharaja (pusat). Hal ini dibuktikan
dari konsep rancangan candi ini. Di satu sisi,
pula dari bacaan berbagai prasasti yang
Candi Borobudur dapat dilihat sebagai bagian
menunjukkan bahwa seorang rakai (bawahan)
dari laku religius untuk mencapai ke-budha-an,
dapat menjadi maharaja (pusat). Dengan
tetapi pada ranah yang lain candi ini juga dimuati
demikian, ketika ia naik menjadi maharaja maka
laku politis sebagai mandala kekuasaan dan
kedudukan pusat kekuasaan pun akan ikut
kewilayahan baru, khususnya bagi dinasti
mengalami perubahan. Jika pusat kekuasaan
Syailendra. Tafsiran ini menjadi bermakna ketika
berpindah, dibutuhkan suatu mandala baru
pemahaman struktur hubungan antara
(Boechari, 1976).
maharaja/pusat dan raja bawahan/daerah
Pendirian Candi Borobudur barangkali
dibayangkan juga sebagai hubungan unsur-
dapat dilihat dalam konteks perubahan
unsur dalam suatu mandala. Sebagaimana
konstelasi kekuasaan kerajaan Hindu-Budha di
dikemukakan oleh beberapa peneliti (lihat
Jawa Tengah ketika itu. Menurut sejarah,
Kulke, 1986; Christie, 1986), hubungan
suksesi dari Raja Sanjaya kepada Rakai
kekuasaan maharaja dan raja bersifat dinamis.
Panangkaran merupakan peristiwa yang sangat penting, karena tidak saja terjadi alih kekuasaan secara politis, tetapi juga secara religius. Raja Sanjaya yang Hindu digantikan oleh Rakai Panangkaran yang Buddhis. Meskipun pada masa itu suksesi dari penguasa berbeda agama mungkin bukan merupakan hal yang amat istimewa, tetapi bagaimana pun perbedaan agama akan berdampak pula pada perbedaan mandala yang dianut oleh raja. Dalam situasi seperti ini, tentu saja wajar apabila Rakai Panangkaran perlu menetapkan mandalanya sendiri. Barangkali kebutuhan ini menjadi faktor
Candi Borobudur yang berada di cekungan Kedu
pendorong didirikannya Candi Borobudur
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
sebagai pusat mandala baru di Cekungan Kedu.
dan pada saat yang sama adalah mandala
Menurut perhitungan Dumarcay (1978),
politis, dapat dijelaskan pula dengan konsep
Candi Borobudur dibangun dalam lima tahap
kesamaan antara rahib dan raja pada aliran
dan mengalami perubahan dari rancangan
Budhisme tertentu, terutama yang bersifat
semula. Setidaknya dibutuhkan waktu lebih dari
tantris. Dalam paham ini rahib dan raja menjalani
50 tahun untuk mewujudkan gagasan besar itu
tahapan kehidupan yang sejajar dengan
menjadi kenyataan. Pendirian tahap awal candi
menggunakan metafora yang hampir sama,
ini dilaksanakan sekitar tahun 780 M. Artinya,
sebagaimana tergambar dalam perbandingan
pembangunan dimulai saat Rakai Panangkaran
berikut ini (Davidson, 2002).
berkuasa, mungkin bersamaan atau tidak lama setelah ia meresmikan Candi Kalasan pada tahun 778 M. Hal ini memperkuat dugaan bahwa Candi Borobudur adalah mandala baru bagi kerajaan Mataram Kuno. Pemilihan Cekungan Kedu sebagai lokasinya tentu juga telah diperhitungkan sesuai dengan situasi kewilayahan yang ada ketika itu. Ada petunjuk yang cukup kuat bahwa daerah ini merupakan wilayah yang lebih banyak dikuasai oleh dinasti Syailendra yang buddhis. Sebagai pusat
Uraian-uraian
di
atas
telah
mandala baru, tidak mengherankan jika candi ini
menggambarkan bagaimana Candi Borobudur
disebut pula sebagai kamulan, yaitu tempat asal
jelas memenuhi kriteria sebagai mandala dalam
mula (keluarga) oleh generasi sesudahnya
berbagai pengertiannya. Sebagai bangunan
sebagaimana terbukti pada prasasti yang
suci, Candi Borobudur dapat dipastikan
diterbitkan Sri Kahulunan (842 M). Lagipula,
dibangun dengan merujuk pada Vastupurush-
bentuk candinya yang berteras-teras
mandala yang menjadi pedoman dasar bagi
mengingatkan pada bangunan prasejarah untuk
pendirian karya arsitektur bercorak India.
penghormatan terhadap jasa para leluhur.
Penelitian sejumlah ahli juga menunjukkan
Tafsiran bahwa Candi Borobudur adalah
bahwa bentuk dan susunan relief, arca, dan
metafora ganda, sebagai tempat keagamaan
pembagian keruangan Candi Borobudur
133
134
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
memang sesuai benar dengan gambaran
dan merasuki pemikiran dalam ranah
mandala dalam agama Budha. Meskipun setiap
pengelolaan Candi Borobudur sebagai warisan
ahli berbeda dalam tafsir tentang aliran atau teks
budaya. Dalam konteks ini, makna Candi
agama Budha yang dirujuk sebagai acuan
Borobudur sebagai mandala menjadi rujukan
mandala Borobudur, tetapi setidaknya hasil
untuk menentukan kebijakan dan strategi
penelitian mereka sama-sama menegaskan
pengelolaan warisan budaya yang telah
candi ini sebagai mandala. Di samping itu, candi
dimasukkan dalam World Heritage List sejak
ini tidak hanya dimaknai sebagai mandala
tahun 1991 ini.
dalam ibadah keagamaan, tetapi juga
pandang dalam pengelolaan warisan budaya
dimaksudkan sebagai mandala baru dalam
Candi Borobudur berdasarkan konsep
sistem kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno.
mandala, yaitu akademis dan masyarakat.
Setidaknya ada dua cara
Candi Borobudur menjadi mandala baru yang
Cara pandang akademis muncul di
menandai perpindahan kekuasaan dari Rakai
kalangan para pemikir-pemerhati pelestarian
Sanjaya yang Hindu kepada Rakai Panangkaran
warisan budaya di tengah munculnya
yang Buddhis. Candi ini harus dilihat sebagai
kesadaran baru tentang saujana budaya
Sumeru, gunung yang menjadi pusat dunia dan
(cultural landscape) pada awal dasawarsa 1990-
kekuasaan tempat kedudukan raja sebagai
an. Ketika itu, wacana tentang hubungan antara
cakravartin. Karena itu, Candi Borobudur tidak
warisan budaya dan warisan alam menyita
saja menjadi mandala keagamaan tetapi juga
perhatian para pakar di bidang pengelolaan dan
mandala politik untuk legitimasi kekuasaan
pelestarian. Pemisahan dua kategori itu, warisan
Syailendra.
budaya dan alam, dianggap tidak lagi sesuai dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa
BOROBUDUR SEBAGAI MANDALA DI MASA
sesungguhnya karya budaya dan karya alam
KINI
seringkali tidak dapat dipisahkan. Keterkaitan antara budaya dan alam begitu erat sehingga
Tafsir makna Candi Borobudur sebagai
hampir tidak mungkin dipisahkan, apalagi
mandala rupanya tidak berhenti pada ranah
dalam pandangan yang tidak bersifat
akademis-arkeologis yang mencoba 'memugar
materialistik. Saujana atau lanskap adalah
makna' di masa lampau. Gagasan tentang
perpaduan antar unsur alam dan budaya yang
mandala Borobudur lalu berkembang meluas
sulit dipisahkan, di dalamnya tidak hanya ada
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
benda-benda, tetapi juga ada kehidupan itu
pelestarian monumen daripada kawasan secara
sendiri. Karena itu, saujana dapat berarti benda,
keseluruhan.
pengalaman, atau juga lambang-lambang yang
Dalam konsep saujana budaya, tidak
saling mengisi dan menyatu. Saujana tidak
selayaknya perhatian pelestarian diarahkan
hanya terdiri dari kehidupan nyata manusia,
hanya pada candi-candi yang ada. Sebaliknya,
tetapi dapat menjadi sesuatu yang metafisik,
pelestarian harus ditujukan untuk seluruh unsur
'dikhayalkan' (imagined), dan diidealisasikan
dalam kawasan Borobudur, baik itu lingkungan
(Thomas, 2001). Wacana itu akhirnya
alam, tinggalan arkeologis, manusia serta tradisi
menghasilkan konsep saujana budaya.
budaya yang ada. Pelestarian tidak hanya pada
Dalam pengelolaan warisan budaya,
aspek fisik semata, tetapi juga unsur-unsur yang
konsep saujana budaya telah diterima secara
tak-bendawi (intangible). Bahkan, pelestarian
luas dan diadopsi dalam kriteria World Heritage
harus juga meliputi ruang yang 'dikhayalkan'
sejak tahun 1993 (Taylor, 1994). Bahkan,
(imagined) ketika berada di puncak Candi
UNESCO World Heritage Centre (2005) telah
Borobudur dan memandang ke sekelilingnya.
merumuskan 3 jenis saujana budaya secara
Dari konsep itu muncul gagasan untuk
lebih terinci dalam Operational Guidelines for the
melestarikan kawasan Borobudur dengan
Implementation of the World Heritage
dimensi ruang yang sangat luas meliputi
Convention, yaitu saujana budaya yang sengaja
Cekungan Kedu yang dikelilingi oleh lingkaran
dirancang oleh manusia, saujana yang
(mandala) gunung-bukit, yaitu Gunung Merapi,
terbentuk secara lambat-laun oleh interaksi
Merbabu, Andong-Telomoyo, Tidar, Sindoro,
manusia dengan alam (baik yang sudah
Sumbing, dan Pegunungan Menoreh. Gagasan
menjadi relik maupun yang masih terus
ini dilegitimasikan dengan menerapkan konsep
berproses), dan saujana budaya asosiatif yang
mandala kewilayahan yang menggambarkan
dikaitkan dengan gagasan religius, tradisi, atau
dunia sebagai lingkaran laut dan daratan yang
pemahaman budaya tertentu (terkait unsur tak-
berselang-seling dengan Gunung Meru di
bendawi, intangible). Pemahaman tentang
pusatnya (Taylor, 1994). Dalam konteks inilah,
saujana budaya ini telah memicu para pemikir-
mandala Borobudur telah mengalami perluasan
pemerhati pelestarian mempertanyakan konsep
pemaknaan yang cukup berarti di masa kini.
pengelolaan kompleks Candi Borobudur
Pengelolaan warisan budaya dunia Candi
(Taylor, 1994), yang lebih terpusat pada
Borobudur berwawasan 'mandala' juga
135
136
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
dipikirkan oleh sejumlah tokoh masyarakat
dunia Candi Borobudur. Pengelolaan harus
setempat. Umumnya mereka adalah orang-
dirancang dengan sinergi antara candi
orang setempat yang bersemangat mencari
(monumen) dengan masyarakat yang ada di
pengetahuan tentang arti Candi Borobudur dan
desa-desa sekitarnya. Kompleks Candi
pengelolaannya yang dirasakan belum mampu
Borobudur yang meliputi juga Candi Pawon dan
memberikan manfaat bagi masyarakat
Candi Mendut sebagai pusat mandala harus
setempat. Dalam pencarian itu, mereka juga
menebarkan kekuatan sebagai daya tarik
bergaul dengan para akademisi yang peduli
kunjungan ke desa-desa sekitarnya, sehingga
pelestarian kawasan Borobudur. Akhirnya,
memberdayakan dan meningkatkan
mereka menemukan pula makna Borobudur
kesejahteraan penduduknya. Jika desa dan
sebagai mandala yang dianggap sesuai dengan
penduduk sekitar Kompleks Candi Borobudur
pemikiran mereka tentang bagaimana
lebih berdaya dan sejahtera, maka pelestarian
mengelola kawasan Borobudur yang akan
dan makna kompleks candi akan mendapat
memberikan manfaat bagi masyarakat
dukungan dan penguatan dari desa-desa di
setempat.
lingkungan candi tersebut. Dengan konsep
Dari perspektif masyarakat setempat,
mandala ini, pengelolaan harus lebih ditujukan
Candi Borobudur adalah pusat kekuatan daya
pada kawasan dan bukan terbatas pada candi-
tarik kunjungan yang sesungguhnya dikelilingi
candinya saja. Selain itu, pengelolaan juga tidak
oleh kekuatan-kekuatan lain di sekelilinginya.
terbatas pada unsur bendawinya (tangible) saja
Yang dimaksud kekuatan lain adalah desa-desa
tetapi juga yang tak-bendawi (intangible).
dan penduduknya yang berada di sekitar Candi
Dengan demikian, pengelolaan pelestarian
Borobudur dengan ciri khasnya masing-masing.
kawasan Borobudur bersifat komprehensif dan
Hubungan Candi Borobudur sebagai pusat
menyeluruh. Sebagai konsekuensi pengelolaan
daya tarik yang dikelilingi desa-desa pendukung
kawasan Candi Borobudur berdasar konsep
di sekitarnya, disadari atau tidak, merupakan
mandala ini, pemerintah seharusnya tidak lagi
adopsi
mandala yang melandasi struktur
memusatkan perhatian hanya pada bangunan
kekuasaan kerajaan Hinduistik di masa lampau.
candi, tetapi juga pembangunan masyarakat
Bagi para tokoh masyarakat Borobudur
yang ada di desa-desa di sekitar candi.
seharusnya pemerintah Indonesia menerapkan konsep ini dalam pengelolaan warisan budaya
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
EPILOG
menyelamatkan dan memugar sebagian dari warisan budaya umat manusia ini.
Tidak diragukan lagi, baik di masa lalu maupun di masa kini, Candi Borobudur dapat ditafsirkan sebagai mandala. Bentuk, struktur,
DAFTAR PUSTAKA
bacaan relief, serta letak Kompleks Candi Borobudur pada lingkungan alamnya memberikan petunjuk yang cukup jelas tentang fungsinya sebagai mandala di masa lalu. Mandala Candi Borobudur di masa lalu ternyata tidak saja mempunyai makna tunggal, tetapi jamak. Candi Borobudur tidak hanya merupakan mandala dalam bidang keagamaan,
Bernet-Kempers, A .J. 1976. Borobudur. Servire.
Ageless
Boechari, M. 1976. Some considerations of the problem of the shift of Mataram's Centre of Government from Central to East Java in the 10 Century AD, Bulletin of the Research Centre of Archaeology of Indonesia no. 10. P u s a t Pe n e l i t i a n P u r b a k a l a d a n Peninggalan Nasional.
tetapi juga politik. Mandala yang tidak saja bersifat pribadi bagi mereka yang ingin mencapai pencerahan secara individu (esoteric), tetapi juga mandala bagi seluruh keluarga Syailendra dan umat Budha ketika itu. Rupanya pemaknaan Candi Borobudur sebagai mandala tidak hanya relevan di masa lalu. Di masa kini pun, gagasan ini masih dianut dan ditransformasikan menjadi makna baru yang dikaitkan dengan pengelolaan warisan budaya dunia ini. Kompleks Candi Borobudur memang selalu inspirasional. Pewujudan budaya masa lalu ini tidak henti-hentinya memicu gagasan-gagasan baru yang tetap relevan di masa kini. Namun, barangkali nasib Candi Borobudur akan berbeda jika seratus tahun yang lalu Theodore van Erp tidak berhasil
Buchli, V.A. 1995. Interpreting Material Culture : the Trouble with Text, dalam I. Hodder et als. (eds.) Interpreting Archaeology, Finding Meanings in the Past. Routledge, hlm. 181 – 193. Christie, J.W. 1986. Negara, mandala, and Despotic State : Images of Early Java, dalam D.G. Marr and A.C. Milner (eds.), th th Southeast Asia in the 9 to 14 Centuries. Institute of Southeast Asian Studies and Research School of Pacific Studies, hlm. 65 – 94. Davidson, R.M. 2002. Indian Esoteric Buddhism : a Social History of the Tantric Movement. Columbia University Press. Gammon, C. 2009. A Short Exploration of T.Y.S. Lama Gangchen's Theories about the Meaning of the Sacred Geometry and Mandala Symbolism of Cand Borobudur in
137
138
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
the Light of Aacademic Scholarship on the Subject, dalam E.S. Hardiati et als (eds), Uncovering the Meaning of the Hidden Base of Candi Borobudur. The National Research and development Centre of Archaeology, hlm. 103- 126. Heine-Geldern, R von. 1982. Konsepsi tentang Negara dan Kedudukan Raja di Asia Tenggara (edisi alih bahasa oleh Deliar Noer). Rajawali Pers. Hesse, M. 1995. Past Realities, dalam I. Hodder et als. (eds.), Interpreting Archaeology, Finding Meanings in the Past. Routledge, hlm. 45 – 53. Huntington, J. C. 1997. The Iconography of Borobudur Revisited : the concepts of Śleșa and sarva[buddha]kāya, dalam Marijke J. Klokke and Pauline L. Scheurleer (eds), Ancient Indonesian Sculpture. KITLV Press, hlm. 133 – 153. Koerner, S. and Price, S. 2008. Philosophy in Archaeology, dalam R.A. Bentley, H.D.G. Maschner, and C. Chippindale (eds.), Handbooks of Archaeological Theories. Altamira Publisher, hlm. 351 – 371. Kulke, H. 1986. The Early and the Imperial Kingdom in Southeast Asian History, dalam D.G. Marr and A.C. Milner (eds.), th th Southeast Asia in the 9 to 14 Centuries. Institute of Southeast Asian Studies and Research School of Pacific Studies, hlm. 1 – 22. Lucas, G. 1995. Interpretation in Contemporary Archeology : some philosophical issues, dalam I. Hodder et als. (eds.) Interpreting
Archaeology, Finding Meanings in the Past. Routledge, hlm. 37 – 44. Miksic, J.N. 1990. Borobudur : Golden Tales of the Buddhas. Periplus. Miksic, J.N. 2010. Was Borobudur a Mandala ?, Jurnal Borobudur vol. IV, no. 4 Desember 2010, hlm. 10 – 14. Shank, M. and I. Hodder. 1995. Processual, Postprocessual and interpretive archaeologies, dalam I. Hodder et als. (eds.) Interpreting Archaeology, Finding Meanings in the Past. Routledge, hlm. 3 – 29. Soekmono. 1974. Candi : Fungsi dan Pengertiannya. Disertasi Fakultas Sastra UI Jakarta. Stutterheim, W.F. 1933. Is Tjandi Baraboedoer een Mandala ?, Djawa 13, hlm. 233 – 237. Stutterheim, W.F. 1956. Chandi Barabudur : Name, Form, and Meaning, dalam Studies in Indonesian Archaeology. KITLV translation series. Martinus Nijhoff, hlm. 3 – 62. Taylor, K. 1994. Historical Landscape Planning. Makalah disampaikan dalam the Fourth International Experts Meeting on Borobudur, 4 – 8 Juli 1994. Thomas, J. 2001. Archaeologies of Place and L a n d s c a p e , d a l a m I . H o d d e r, Archaeological Theory Today. Polity Press, hlm. 165 – 186. UNESCO World Heritage Centre. 2005. Operational Guidelines for the
Borobudur Sebagai Mandala : Masa Lalu dan Masa Kini
Implementation of the World Heritage Convention. Walker, B. 1983. Hindu World, an Encyclopedic Survey of Hinduism. Vol. II. Munshiram Manoharlal Pusblisher. Wylie, A. 2002. Thinking from Things : Essays in the Philosophy of Archaeology. University of California Press. Zimmer, H. 1955. The Art of Indian Asia : Its Mythology and Transformations. Princeton University Press.
BIODATA PENULIS Dr. Daud Aris Tanudirjo, MA, menamatkan kuliah S1 dari Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1985. Pada tahun 1991, mendapatkan gelar S2 dari The Australian National University, dan tahun 2002 mendapatkan gelar S3 dari universitas yang sama. Pernah menjabat sebagai Asisten Wakil Dekan I Bidang Pendidikan, Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Aktif mengajar di Jurusan Arkeologi, FIB, UGM sampai sekarang. Selain itu juga sering mempublikasikan tulisan di berbagai jurnal ilmiah terutama mengenai museum dan arkeologi prasejarah.
Candi Borobudur bagian Arupadhatu
139