MARSFISH Ssst…
Sikap, Pagi yang mendung, bukan? Ehm, katanya, kalau kita ingin menjadi pemenang, harus membutuhkan pengorbanan. Tapi, apakah yang menjadi korban cukup untuk merelakan diri? Sebentar, saya membutuhkan kopi hangat untuk pagi ini. Hmm, tapi rasanya sejak pagi saya mampir menuju lemari ruang tengah, kopi itu sudah tinggal kurang dari satu sendok teh. Baiklah, kembali saya memulai. Masa lalu memang membuat masa kini tertawa. Iya, gak selamanya. Tapi, apa salah satu diantara kamu sadar bahwa apa yang terjadi hari ini adalah hasil dari apa yang kau lakukan di masa lalu? Saya menjatuhkan banyak korban di masa lalu. Teman saya, Felly dan Hellen menjadi saksi dalam hal itu. Para korban lah yang membuat saya berubah menjadi lebih baik seperti sekarang. Bila memang saya memikirkan para korban, tentunya saya masih tidak rela mereka dijadikan korban. Tapi bila saya melihat nasib saya sekarang? Saya rasa, saya sangat beruntung. Tapi, yang membuatku merasa beruntung seperti sekarang adalah para korban itu sendiri. Lalu? Apa korban yang membuat sebuah keputusan, atau keputusan yang menjatuhkan korban? Korban-korban itu yang membuat saya menjadi berubah drastis. Mulai dari tulang perasaan sampai kulit cara pandang. Yap, dan kamu tau siapa korban yang saya maksud Ada beberapa rahasia yang saya simpan dalam hati ini bertahun-tahun, saya akan tulis diatas kertas buram ini. Sebentar, Maaf, udah waktunya saya dipanggil untuk memulai wawancara. Maaf, bukanya saya so’ sibuk, tapi saya berbeda dengan saya yang dulu. Sekarang saya adalah…
Ya, kalian akan tau siapa saya.
-
D
1.
“Kamu itu tidak bodoh, kamu itu pintar. Hanya saja, masalahnya kamu itu pemalas.” Anak mana yang tidak pernah mendengar orang tua berbicara seperti itu? Beberapa orang tua selalu berkata seperti itu ketika anaknya melakukan kesalahan, atau mungkin mendapatkan nilai yang buruk. ∞∞ “Sepertinya, cukup sekian dari aku, aku undur diri dan terima kasih.” Ucapan rasa terima kasih yang aku ucapkan rasanya mampu menghipnotis ribuan orang untuk bertepuk tangan dan berteriak gembira atas kedatanganku.
Kini, aku membiarkan artis-artis filmku yang mulai berbicara di acara talkshow ini terhadap mereka yang semenjak tadi sibuk dengan catatan, kamera dan media lainya. Aku meninggalkan aula pers conference dan mulai berjalan menuju ruang peristirahatan yang berada diluar aula hotel berbintang 5 ini. Setelah sampai diruang peristirahatan, beberapa hidangan yang lezat sudah dipersiapkan dalam sebuah meja yang berbentuk persegi. Di dalam ruangan bernuansa eropa dan sejuk karena dilengkapi AC dan bersoffa ini, aku menikmati beberapa patung-patung kuno ala yunani yang pernah tampil dalam beberapa scene yang ada didalam filmku. Rasanya sungguh indah telah mengalami moment ini. Moment dimana semua orang sudah mulai melihat siapa aku yang sesungguhnya. pahit.
Lega rasanya bisa memberikan senyuman manis kepada orang yang dulu telah memberikan makian “Mbak, Debby, waktunya 10 menit lagi, ya.”
Tiba-tiba saja aku teringat setelah ini aku harus menemui beberapa wartawan untuk interview lagi, dengan segera aku menghabiskan potongan daging steakku yang sudah tinggal beberapa suap lagi. Setelah menghabiskan semua makananku, seorang pelayan yang ada di dekatku menghampiriku, “Mau nambah lagi makanannya, Mbak Debby?” Ucap pelayan wanita cantik dengan rambut diikat layaknya kucir kuda. “Gak usah, saya mau langsung ke ruangan lobby, kok.” Aku memberikan senyuman termanis sambil memberikan sepeser uang ke tangannya, kurasa cukup untuk makan beberapa hari bagi seorang pelayan wanita yang sangat ramah itu. Senyuman termanis adalah beberapa energi tambahan untuk orang yang diberikan senyuman itu dan memberikan sepeser uang bukannya apa-apa, tetapi aku sangat tau persis bagaimana rasanya menjadi seorang pelayan, dan seperti apa lelahnya. “Makasih, Mbak.” Kata pelayan itu, kata terima kasih yang tentunya sekaligus menjadi kata untuk berpamitan. Aku kembali memberi senyuman sambil mengangguk dan berjalan menuju ruang Lobby bersama Felly, sahabat sekaligus rekan karirku. Beberapa orang sudah terlihat rapi sambil memegang kamera dan catatannya masing-masing. Akupun duduk di sebuah kursi yang sudah disediakan sementara Felly duduk di soffa Lobby hotel ini untuk menungguku interview sambil menikmati kopi panasnya. Aku sangat senang menjawab pertanyaan-pertanyaan dari mereka, selain hanya sekedar menjawab, tetapi hal seperti ini juga bisa memberikan beberapa ilmu dan pengetahuan pengalaman kepada mereka. Hal seperti ini Sungguh bermanfaat daripada hanya interview sekedar gosip yang tidak penting. Banyaknya wartawan kini sudah semakin surut, aku mencoba beristirahat santai di sebuah soffa sambil menandatangani beberapa merchandise. Tak lama, datanglah seorang pelayan wanita yang sedang membawakan sebuah pitcher orange juice yang sebelumnya aku pesan melalui Felly untuk disampaikan kepada pelayan.
Akupun mengangkat mukaku kepada pelayan wanita itu, karena sebelumnya aku tertunduk, sibuk untuk memberikan tanda tangan pada sebuah poster. Aku melihat wanita itu dengan alis tebal, rambut diikat, putih dan manis. Tetapi ada satu hal yang membuatku terkejut. Hal itu membuat kita saling menatap, tatapan saling menyelidiki, kami sama-sama memandang dan memastikan diri dengan pertanyaan ‘benarkah dia orangnya?’. Setelah kupastikan dia adalah orang yang ada dipikiranku, dia pun menyimpan pitcher itu diatas meja sebelahku lalu lari pergi meninggalkanku dengan langkah yang sedikit cepat. Aku mencoba mengejarnya perlahan. “Debby! Mau kemana kamu?” Teriak Felly dari ujung ruangan lobby hotel ini. ∞∞ 2 tahun sebelumnya. BRAAAKKK!! Tiba-tiba saja suara benturan tubuhku beserta buku diatas lantai keramik itu mengagetkan beberapa orang sekitar. Beberapa detik kemudian, disambut dengan suara tertawa dua orang wanita sambil meninggalkan sumber suara. Aku sudah terbiasa dengan kejailan beberapa orang kampus seperti tadi. Bukan hanya berpura-pura menyenggol dan membiarkan buku-buku yang aku bawa menjadi terjatuh, Tetapi, menyembunyikan tas dan membuatku kebingungan mencari-cari tas, sudah menjadi hal biasa yang selalu dilakukan oleh teman-teman kampusku. “Kamu gak apa-apa kan, Deb?” Tangan mulus Felly terlihat sedang membantuku mengambilkan buku-buku yang terjatuh. “Gak apa-apa kok, Fel. Udah biasa lagian, hehe.” Felly pun memberikan buku itu dengan senyuman terhangatnya, “Makasih ya, Fel.” Felly mengangguk untuk mengatakan ‘Sama-sama’ dalam bahasa tubuh. Lalu, dia meninggalkan lorong locker sambil menjinjing tali tas yang berwarna putih bagaikan susu dan aku memasukan buku kedalam locker. Aku dan Felly adalah teman sekelas di Universitas Merpati Nasional, Bandung, atau biasa disebut dengan UMN. Felly adalah sosok pendiam di kampusnya hanya saja kepintaran, kecantikan dan sifat ramahnya, bisa membuat teman-teman sekitarnya senang berteman baik dengannya. Kecantikan Felly terlihat sedikit ada turunan chinesse dan berambut pirang, membuat dirinya terlihat seperti artis korea. Felly adalah satu-satunya wanita yang bersifat netral di kelasku, dia jarang memiliki persaingan terhadap teman-teman yang lain. Dia orang yang pandai bergaul dengan siapapun. Sifat netral dia bisa aku lihat karena rasanya hanya dia satu-satunya orang yang memandangku layaknya memandang orang biasa. Jika berbicara dengan dia pun, rasanya dia berbicara tanpa ada rasa beban. Lain halnya dengan wanita-wanita lain di kampusku, meskipun mereka membicarakan hal yang biasa kepadaku, rasanya ada rasa canggung dalam wajah mereka. Entahlah, mungkin mereka takut dirinya disangka berteman baik denganku, dengan begitu, secara otomatis mereka takut terkena imbasnya dengan ejekan-ejekan yang lain karena berteman denganku.
Sebegitu buruknya kah aku? Ada kesamaan antara aku dan Felly, yaitu dari sifat pendiamnya, hanya saja aku tidak seperti Felly yang bisa berteman baik dengan yang lain, teman di kampusku selalu menjadikan aku sebagai bahan ejekan, itu semua yang membuat aku merasa jauh dari teman kampus. Aku sering merasa terpojokan semenjak aku sempat beberapa kali tertidur di kelas dan sering dimarahi dosen karena tugasku yang selalu terlambat. Itu lah alasan yang menjadi bahan empuk untuk dijadikan sebuah ejekan oleh beberapa orang yang sangat senang membuat lelucon dengan sebuah ejekan. Itu sangat tidak menyenangkan, tepatnya mengganggu. Setelah membereskan buku-buku di dalam lemari, aku berjalan keluar kampus untuk pulang menuju rumah, karena sudah tidak ada lagi kegiatan di kampus, lagi pula jam tanganku sudah menunjukan pukul 5 sore. Sudah waktunya aku harus pulang menuju rumah. Ada sesuatu yang membuat risih pada saat aku baru saja sampai di halaman kampus. Salah seorang pria kukenal yang bernama Hekal, sedang bersama tiga temannya sedang duduk di kursi, tepat dibawah pohon yang berdiri sekitar tujuh meter dari tempatku berdiri dan mereka seperti menunjuk-nunjuk tepat kearahku, lalu mereka tertawa terbahak-bahak. Tentunya dalam hal seperti ini, aku merasa sedikit terganggu dan dengan segera aku melangkahkan kaki lebih cepat lagi untuk keluar dari gerbang kampus. Setelah berjalan cepat beberapa langkah, gerbang berwarna hijau tua pun sudah terbentang tepat dihadapan. Terlihat seorang satpam yang sedang mencoba melambaikan tangannya kepada mobil sang dosen sambil membuka gerbang yang masih tertutup, supaya bisa dilintasi oleh mobil dosen itu. “Loh, kok, Tumben neng Debby pulang sore?” Pak Andir yang terkenal sebagai satpam yang paling ramah di kampus ini, selalu menyapa semua mahasiswa yang dia kenal. “Iya, Pak. Tadi aku ada mata kuliah tambahan, jadi pulang sore.” Akupun sambil melambaikan tangan untuk berpamit kepada Pak Andir dengan kesan terburu-buru. “Hati-hati ya, Neng Debby.” “Ya, Pak! Makasih.” Aku menunjukan jari telunjukku kepada sebuah angkutan berwarna hijau yang beberapa meter lagi melintas dihadapanku. Angkutan Umum yang selalu setia mengantar jemputku setiap hari dan setiap menuju kampus atau pulang. Sampai jumpa neraka dunia (kampusku) ∞∞ Bangunan yang sudah tak asing lagi kini sudah berada dihadapanku, bangunan berlantai dua dengan cat berwarna abu-abu.
“Kiri, Mas!” Pak sopir angkutan umum ini kini menghentikan mobilnya tepat di depan rumahku. “Terima kasih, Pak.” Aku melangkahkan kakiku menuju trotoar dan membayar beberapa uang receh kepada sopir tua itu. Angkutan umum berwarna hijau tua yang sudah kusam itu, kini perlahan meninggalkanku sampai ujung mata. “Ibu!!!” teriakku untuk memastikan ada orang di rumah atau tidak. Tak ada jawaban sama sekali. Sudah menjadi hal yang biasa untuk ditinggalkan sendirian dirumah. Brak!! Aku membuka sepatu hijauku dan melemparnya ke pinggir pintu, lalu duduk soffa besar berwarna coklat yang ada di ruang tamu. Kuhabiskan waktu beberapa menit di ruang tamu hanya untuk memanfaatkan sinyal Wi-Fi. Kebetulan, Wi-fi disini jangkauannya tidak sampai menuju kamarku di lantai atas. Setelah puas browsing beberapa website online shop aku memutuskan untuk naik ke kamarku dan siap berbaring hingga malam. Aku melangkah menuju tangga dan mulai memasuki kamarku yang terhiasi rapih oleh aksesoris-aksesoris serba HelloKitty berwarna pink. Dingin dan sejuk. Itulah salah satu kenikmatan tersendiri untuk kasur yang beberapa jam ditinggalkan. Tiada yang lebih nikmat dari posisi kasur dalam keadaan dingin dan rapi. Dengan posisi belum mengganti pakaian, aku pun melempar seluruh tubuhku kepada kasur yang telah beberapa jam ditinggalku. Baru saja aku menyentuh kasur, tiba-tiba ada seseatu yang mengejutkanku. Bergetar. Gempa, kah? Bodohnya, ternyata saku celanaku bergetar, sebuah Handphone yang selalu setia membunyikan nada dering lagu Taylor Swift setiap ada SMS masuk. Headline tersebut menunjukan SMS dari Angelina teman sekelasku. Besok ada kuliah tambahan Statistik Dasar di ruang C jam 03.00 sore, harap datang! SMS yang sangat mengesalkan. Masa bodoh! Lebih baik detik ini aku tidur. Si Pinky Hello Kitty, alias selimutku itu sudah siap kutarik dan kumanjakan. Waktunya aku berkencan dengan kasur.