SAATNYA MENGHADAPI MASA LALU
KEADILAN ATAS KEJAHATAN MASA LALU DI PROVINSI ACEH INDONESIA
Amnesty International adalah gerakan global dengan lebih dari 3 juta pendukung, anggota dan aktivis di lebih dari 150 negara dan wilayah yang mengkampanyekan diakhirinya pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Visi kami adalah agar semua orang dapat menikmati semua hak yang diabadikan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM) dan standar HAM internasional lainnya. Kami bersifat mandiri atau independen dari pemerintah, ideologi politis, kepentingan ekonomi dan agama mana pun – dan didanai sebagian besar oleh dana keanggotaan dan sumbangan publik.
Pertama diterbitkan tahun 2013 oleh Amnesty International Ltd Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW United Kingdom © Amnesty International 2013 Indeks: ASA 21/001/2013 Bahasa Indonesia Bahasa Asli: Inggris Dicetak oleh Amnesty International, Sekretariat Internasional, Britania Raya Pemegang hak cipta meminta agar penggunaan semacam itu didaftarkan kepada Amnesty International untuk tujuan penilaian dampak. Jika menyalin untuk tujuan lain, atau penggunaan kembali dalam penerbitan lainnya, atau untuk penerjemahan atau saduran, izin tertulis harus diminta terlebih dahulu dari penerbit, dan bisa ada biaya yang harus dibayar. Untuk meminta izin, atau pertanyaan lain, silahkan hubungi
[email protected] Foto sampul depan: Orang-orang yang selamat dari konflik Aceh berdemonstrasi di luar gedung parlemen, menuntut pembentukan komisi kebenaran, Banda Aceh, Aceh, Indonesia, Desember 2010 © Koalisi NGO HAM Aceh
amnesty.org
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
3
DAFTAR ISI Peta Aceh ....................................................................................................................5 Glosarium ....................................................................................................................6 Dalam bahasa Inggris .................................................................................................6 Dalam bahasa Indonesia.............................................................................................7 1. Pendahuluan ............................................................................................................9 1.1 Metodologi dan ucapan terima kasih ....................................................................13 2. Gambaran umum ....................................................................................................15 2.1 Kejahatan menurut hukum internasional selama berlangsungnya konflik Aceh .........15 2.2 Perjanjian Damai Helsinki dan sesudahnya...........................................................20 3. Langkah lemah dalam mengungkapkan kebenaran .....................................................23 3.1 Nasib orang-orang yang dihilangkan dan yang menghilang .....................................24 3.2 Investigasi pelanggaran HAM di Aceh tidak diumumkan ........................................25 3.3 Upaya yang macet untuk membentuk Komisi Kebenaran .......................................27 3.4 Pentingnya untuk segera mengungkapkan kebenaran tentang pelanggaran yang dilakukan selama konflik ..........................................................................................29 4. Keadilan untuk pelanggaran HAM masa lalu ..............................................................31 4.1 Kerangka kerja hukum yang cacat untuk penuntutan kejahatan ..............................32 4.2 Investigasi dan penuntutan pelanggaran masa lalu yang terbatas dan tidak memadai36 4.3 Konsekuensi bagi perdamaian di Aceh dan supremasi hukum di seluruh Indonesia...42 5. Reparasi: Kerangka kerja yang setengah hati dan tidak memadai .................................44 5.1 Hambatan terhadap reparasi di pengadilan Indonesia dan luar negeri......................45 5.2 Batasan program untuk para “korban konflik”.......................................................47 5.3 Hambatan yang dihadapi perempuan penyintas tindak kekerasan dalam mendapatkan
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
4
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
reparasi dan bantuan ............................................................................................... 49 5.4 Prakarsa yang bermula dari masyarakat dengan tujuan mengakui dan mengenang para korban ................................................................................................................... 53 6. Kesimpulan dan rekomendasi .................................................................................. 54 6.1 Menuju pengungkapan kebenaran ....................................................................... 56 6.2 Keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu........................................................... 57 6.3 Hak atas reparasi penuh dan efektif .................................................................... 59 6.4 Supremasi hukum dan reformasi sektop keamanan ............................................... 60 Catatan kaki............................................................................................................... 62
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
5
PETA ACEH
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
6
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
GLOSARIUM DALAM BAHASA INGGRIS AMM: Aceh Monitoring Mission (Misi Pemantau Aceh) CEDAW: Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (Konvensi tentang Penghapusan Semua bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan) CMI: Crisis Management Initiative CoHA: Cessation of Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) ICC: International Criminal Court (Pengadilan Kriminal Internasional) ICCPR: International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.) LoGA: Law on Governing Aceh (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) MOU: Merujuk ke Memorandum of Understanding (Nota Kesepahaman) Helsinki yang ditandatangani oleh Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka pada tahun 2005.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
7
DALAM BAHASA INDONESIA
ABRI: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia BRA: Badan Reintegrasi Aceh yang kini dikenal sebagai Badan Penguatan Perdamaian Aceh (BP2A) Brimob: Brigade Mobil BRR: Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi DOM: Daerah Operasi Militer DPR: Dewan Perwakilan Rakyat DPRA: Dewan Perwakilan Rakyat Aceh GAM: Gerakan Aceh Merdeka KKR: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komnas HAM: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Komnas Perempua: Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan Kopassus: Komando Pasukan Khusus Koramil: Komando Rayon Militer KPTKA: Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh NAD: Nanggroe Aceh Darussalam Nama resmi provinsi Aceh antara tahun 2001 dan 2009 Pos Sattis: Pos Satuan Taktis dan Strategis Qanun: Peraturan daerah Provinsi Aceh SGI: Satuan Gabungan Intelijen TNI: Tentara Nasional Indonesia
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
8
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
9
1. PENDAHULUAN “[Kami] ingin tahu, mencari tahu kenapa sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mengakui ada pelanggaran HAM [hak asasi manusia] yang kami alami. Kami sebagai korban… tidak merasa dendam, tetapi mereka harus menyelesaikan apa yang kami rasakan. [Pemerintah] tidak bisa mengatakan perdamaian sudah ada. Tetapi perdamaian adalah keadilan bagi kami … Saya tahu persis 15 Agustus tahun 2005 antara pemerintah [Indonesia] dan Gerakan Aceh Merdeka telah membuat kesepahaman untuk sebuah perdamaian di Aceh. Dalam persoalan MOU Helsinki disebut tentang hak asasi manusia di mana Pengadilan HAM dan KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi] akan dibentuk di Aceh. Mimpi [saya] belum terwujud. Masih kami melakukan gerakan gerakan, bukan melawan pemerintah, tapi mengingatkan pemerintah kasus kasus yang sedang dan telah kami alami. Mereka tidak [boleh] untuk melupakan kami.” Mantan ketua asosiasi para korban di Aceh, 8 Mei 2012.
Pada 15 Agustus 2005, pemerintah Indonesia dan gerakan pro-kemerdekaan bersenjata, Gerakan Aceh Merdeka (selanjutnya di sini disebut sebagai GAM), menandatangani Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding, MOU) di bawah payung Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari yang menandakan berakhirnya tahun-tahun penuh kekerasan. Konflik Aceh memiliki dampak yang merusak bagi penduduk sipil, terutama antara tahun 1989 dan 2004 ketika operasi militer dilangsungkan oleh pemerintah Indonesia untuk menindas separatisme.1 Antara 10.000 sampai 30.000 orang dibunuh selama berlangsungnya konflik, dan banyak di antaranya adalah warga sipil.2 Organisasi-organisasi pencari fakta nasional dan internasional, termasuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (yang selanjutnya di sini disebut sebagai Komnas HAM), dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah memunculkan kesaksian secara ekstensif mengenai sejumlah pelanggaran HAM serius yang dilakukan terhadap penduduk sipil Aceh selama berlangsungnya konflik. Akan tetapi, banyak dari kesaksian resmi ini, termasuk laporan-laporan Komnas HAM, yang mengindikasikan bahwa sebagian besar pelanggaran di masa lalu dilakukan oleh para anggota pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka, belum dipublikasikan kepada publik.3 Amnesty International dan badan-badan lain yang mendokumentasikan serangkaian pelanggaran yang dilakukan pasukan keamanan dan para pembantu mereka, termasuk pembunuhan di luar hukum penghilangan secara paksa, penyiksaan, pemaksaan terhadap warga sipil untuk berpindah tempat, penangkapan dan penahanan secara semena-mena terhadap mereka yang dicurigai mendukung GAM. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM, termasuk penyanderaan dan pembunuhan yang menargetkan mereka yang dicurigai menjadi informan, pejabat pemerintah, dan pegawai negeri, juga dilaporkan.4 Amnesty International bersama badan-badan lainnya juga menyoroti sejauh mana tingkat kekerasan terhadap perempuan terjadi selama konflik dan ditegaskan dalam laporan tahun 2004
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
10 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Indonesia: New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh (Operasi militer baru, pola lama pelanggaran HAM di Aceh) bahwa ada “pola yang sudah lama terbangun untuk melakukan perkosaan serta kejahatan seksual lain terhadap perempuan” di provinsi tersebut.5 Banyak dari pelanggaran HAM6 yang dilakukan selama konflik Aceh7 ini merupakan kejahatan menurut hukum internasional, walaupun jarang disebut demikian. Banyak dari pelanggaran yang dilakukan oleh kedua pihak dalam konteks konflik bersenjata noninternasional yang terjadi antara tahun 1989 dan 2005 bisa merupakan kejahatan perang. Banyak dari pelanggaran yang dilakukan pasukan Indonesia serta tenaga pembantu mereka terhadap masyarakat sipil sebagai bagian dari kebijakan untuk menindas gerakan kemerdekaan kelihatannya merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematis dan bisa masuk ke kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal-hal ini serta kejahatan lainnya menurut hukum internasional, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa harus diinvestigasi dan, bilamana ada bukti-bukti yang bisa diterima, mereka yang diduga memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di pengadilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional dan tanpa menggunakan hukuman mati. Para korban juga memiliki hak atas pemulihan (remedy) yang efektif, termasuk kebenaran, keadilan, serta hak reparasi secara penuh dan efektif. Namun, sebagaimana digambarkan dalam kutipan di atas, kebanyakan korban serta sanaksaudara mereka masih tidak mendapatkan kebenaran, keadilan, dan hak reparasi yang berarti merupakan pelanggaran atas kewajiban Indonesia di bawah hukum internasional. Mereka masih menantikan pemerintah nasional dan daerah Indonesia untuk mengakui dan memberikan pemulihan hak (remedy) atas apa yang terjadi terhadap mereka dan orang-orang yang mereka kasihi selama konflik. Selama kunjungan ke Aceh pada Mei 2012, Amnesty International berbicara dengan berbagai grup dan banyak orang, termasuk organisasi non-pemerintah (ornop), organisasi komunitas masyarakat, pengacara, anggota parlemen, pejabat pemerintah daerah, jurnalis, dan lebih dari tiga puluh korban serta perwakilan mereka mengenai keadaan sekarang ini di Aceh dan tidak adanya langkah-langkah untuk memberikan kebenaran, keadilan dan reparasi terhadap kejahatan yang dilakukan selama konflik. Para korban serta sanak-saudara mereka mengatakan kepada Amnesty International bahwa mereka menyambut baik proses perdamaian saat ini dan situasi keamanan yang membaik di Aceh;8 tetapi mereka tidak mengerti mengapa komitmen yang terkandung dalam MOU 2005 untuk mendirikan Pengadilan HAM bagi Aceh dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh masih juga belum dilaksanakan.9 Mereka menjelaskan pula, bahwa meskipun sejumlah program yang dilakukan setelah ditandatanganinya MOU memang memberikan beberapa bentuk dukungan finansial kepada banyak korban, langkah-langkah ini tidak dilakukan dengan konsisten dan tidak secara khusus dikaitkan dengan pengakuan atas pelanggaran HAM di masa lalu. Pada saat kesepakatan damai tahun 2005, topik tentang menangani kejahatan yang dilakukan selama berlangsungnya konflik dipandang oleh beberapa pihak sebagai ancaman terhadap proses perdamaian.10 Namun, setelah tujuh tahun berlalu, kini sudah saatnya bagi pemerintah pusat dan daerah Indonesia untuk menghadapi masa lalu dan mengambil
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
11
langkah-langkah yang seharusnya dilakukan sejak lama untuk mengimplementasikan hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan reparasi. Hal ini bukan hanya akan membantu dalam mengobati luka-luka yang diderita para warga sipil, tapi juga membantu memperkuat supremasi hukum atau rule of law di negeri ini dan mengamankan proses perdamaian dalam jangka panjang. 11 Seperti yang dinyatakan oleh Sekretaris Jenderal PBB Kofi Annan pada Agustus 2004: “[i]nisiatif keadilan transisional mempromosikan akuntabilitas, memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan bersikap kritis untuk mendorong rasa percaya tinggi masyarakat yang diperlukan untuk mendukung reformasi hukum, pembangunan ekonomi, dan tata kelola pemerintahan yang demokratis.”12 Menangani kejahatan di masa lalu dan mengakui bahwa pelanggaran HAM serius dilakukan selama konflik Aceh juga akan memberikan sinyal yang kuat kepada para korban pelanggaran HAM lainnya dan keluarga mereka di Indonesia, yang tengah menunggu langkah-langkah kebenaran, keadilan, dan reparasi untuk menangani kejahatan yang dilakukan dalam situasi lainnya.13 Untuk memperkuat supremasi hukum di Indonesia dan memastikan bahwa para korban serta sanak-saudara mereka memiliki akses ke kebenaran, keadilan, dan reparasi untuk kejahatan yang dilakukan selama konflik Aceh, Amnesty International merekomendasikan agar pihak berwenang di daerah dan pusat mengambil langkah-langkah berikut sebagai prioritas: Mengakui bahwa pelanggaran HAM serius, termasuk kejahatan menurut hukum internasional, dilakukan selama konflik Aceh;
Segera membentuk komisi kebenaran sejalan dengan standar internasional untuk memastikan bahwa korban, keluarga mereka, dan komunitas masyarakat yang terkena dampak mendapatkan keterangan yang lengkap tentang apa yang terjadi selama konflik Aceh dan memastikan agar tindakan-tindakan khusus diambil untuk mengungkapkan nasib dan keberadaan para korban penghilangan secara paksa;
Mengambil tindakan-tindakan efektif (termasuk reformasi hukum) untuk menginvestigasi, dan bilamana ada bukti-bukti yang memadai yang dapat diterima, menuntut mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan berdasarkan hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa yang dilakukan selama konflik; dan
Membentuk program untuk memberikan hak reparasi lengkap dan efektif termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan adanya pengulangan terhadap semua korban pelanggaran HAM di Aceh. Program tersebut harus dirancang dengan berkonsultasi dengan para korban dan harus mempertimbangkan pengalaman dan kebutuhan yang berbeda dari kaum perempuan dan lelaki, anak perempuan dan anak lelaki, yang mengalami konflik secara berbeda, dan juga semua kelompok yang relevan lainnya.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
12 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Seorang tentara Indonesia menjaga para penduduk desa selama melakukan pencarian di desa Pusong di provinsi Aceh pada 18 Juli 2003. ©REUTERS/Stringer
KEBENARAN, KEADILAN, DAN REPARASI Kapan pun ketika pelanggaran HAM serius dilakukan – termasuk genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa yang merupakan kejahatan berdasarkan hukum internasional dan pelanggaran terhadap komunitas internasional secara keseluruhan – Amnesty International menyerukan kepada pihak berwenang nasional untuk memenuhi kewajiban mereka untuk memastikan adanya kebenaran, keadilan, dan reparasi penuh kepada para korban. Tindakan-tindakan ini bukan merupakan diskresi atau pilihan. Tindakan-tindakan ini merupakan bagian dari kewajiban semua negara untuk memberikan pemulihan (remedy) yang efektif kepada para korban sebagaimana diakui dalam Pasal 8 Deklarasi Universal HAM; Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan mengenai Hak atas Pemulihan (Remedy ) dan Reparasi untuk para Korban Pelanggaran HAM Berat dan Pelanggaran Serius Hukum Humaniter Internasional; dan Pasal 2 (3) Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang sudah diterima Indonesia pada 23 Februari 2006. Indonesia juga memiliki kewajiban khusus untuk melakukan tindakan-tindakan ini sehubungan dengan kejahatan perang seperti yang dijamin dalam Konvensi Jenewa yang diratifikasi Indonesia pada 30 September 1958; sehubungan dengan penyiksaan seperti yang dijamin dalam Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan, yang diratifikasi Indonesia pada 28 Oktober 1998; dan sehubungan dengan penghilangan paksa seperti yang dijamin dalam Konvensi Internasional bagi Perlindungan terhadap Semua Orang dari Penghilangan Paksa, yang ditandatangani Indonesia pada 27 September 2010 tapi belum diratifikasi.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
13
Menyadari bahwa impunitas pada pokoknya ada ketika pihak berwenang nasional di negara tempat kejahatan menurut hukum internasional dilakukan atau di negara yang warga negaranya diduga melakukan kejahatan tidak melakukan tindakan apa pun, maka penting bahwa sistem peradilan pidana dan perdata nasional di semua negara bertindak, bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, untuk mengadili mereka yang diduga bertanggung jawab atas kejahatan-kejahatan, untuk mewakili komunitas internasional, dan memberikan reparasi kepada para korban dengan memberlakukan yurisdiksi universal. Kebenaran Para korban pelanggaran HAM serius, termasuk kejahatan menurut hukum internasional memiliki hak atas kebenaran.14 Negara harus mengambil langkah-langkah untuk menghadirkan kebenaran mengenai suatu kejahatan, termasuk alasannya, keadaannya, dan kondisi pelanggaran HAM; kemajuan dan hasil semua investigasi; identitas pelaku (baik bawahan maupun atasan mereka); dan dalam kasus adanya kematian atau penghilangan paksa, nasib serta keberadaan korban. Kebenaran dapat membantu para korban dan keluarga mereka memahami apa yang terjadi kepada mereka, menyangkal informasi yang salah, dan menyoroti faktor-faktor –seperti diskriminasi – yang menyebabkan adanya pelanggaran. Hal ini memungkinkan masyarakat mengetahui mengapa pelanggaran dilakukan agar tidak terulang lagi. Keadilan Hukum internasional mewajibkan negara untuk memberlakukan yurisdiksi pidana pada kejahatan-kejahatan yang ada di bawah hukum internasional. 15 Negara harus memastikan bahwa kejahatan itu diinvestigasi dan, jika ada bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di pengadilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional tanpa menggunakan hukuman mati. Investigasi dan penuntutan yang benar memastikan bahwa tidak boleh ada impunitas. Reparasi Para korban pelanggaran HAM, termasuk kejahatan menurut hukum internasional, memiliki hak mendapatkan reparasi penuh dan efektif. Para korban harus memiliki akses ke tindakan efektif untuk menangani penderitaan yang telah mereka alami dan untuk membantu mereka membangun kembali kehidupan mereka, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak adanya pengulangan. 16 Hak reparasi harus diupayakan untuk “sejauh mungkin, menghapus semua konsekuensi tindakan ilegal dan membangun kembali situasi yang mungkin terjadi jika saja kejahatan itu tidak pernah dilakukan.17
1.1 METODOLOGI DAN UCAPAN TERIMA KASIH Laporan ini disusun atas pekerjaan yang sudah dilakukan Amnesty International untuk mendokumentasikan pelanggaran HAM selama konflik Aceh dan sesudahnya. Laporan ini merupakan bagian pekerjaan yang lebih luas lagi untuk memonitor langkah-langkah yang diambil pemerintah Indonesia dalam memerangi impunitas untuk pelanggaran HAM di masa lalu.18 Terbitan Amnesty International baru-baru ini, misalnya laporan mengenai Indonesia kepada Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (Komite CEDAW) pada Juni 2012,19 telah menggarisbawahi sejumlah kekurangan Indonesia dalam memenuhi kewajiban HAM internasionalnya untuk memberikan pemulihan hak yang efektif. Temuan laporan ini terutama berdasarkan pada kunjungan Amnesty International ke Aceh pada Mei 2012. Delegasi Amnesty International mengunjungi ibu kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie Jaya, Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Langsa. Selama kunjungan tersebut, delegasi bertemu dengan kelompok komunitas para korban, ornop-ornop,
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
14 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
pengacara, anggota parlemen, ketua Komnas HAM cabang Aceh, perwakilan dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA),20 dan Gubernur interim Aceh. Para pejabat pemerintah pusat juga mengetahui mengenai kunjungan terencana Amnesty International ini. Sebuah lokakarya satu hari diadakan dalam kunjungan bulan Mei tersebut untuk berdiskusi dengan para korban dan perwakilan mereka mengenai situasi saat ini di Aceh dan seberapa jauh para korban pelanggaran HAM di masa lalu dapat mengakses langkah-langkah komprehensif untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi sejak konflik berakhir pada tahun 2005. Tujuh belas perwakilan dari Pidie Jaya, Bireuen, Bener Meriah, Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Aceh Tengah, Aceh Jaya, dan Aceh Selatan menghadiri lokakarya tersebut dan berbagi pengalaman mereka. Delegasi Amnesty International juga bertemu secara perorangan, atau dalam kelompok kecil, dengan para korban lain dan perwakilan mereka, baik kaum perempuan maupun lelaki, dan anak-anak, ketika melakukan perjalanan di sepanjang pesisir Timur Aceh. Para korban ini berasal dari Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Langsa. Meskipun delegasi Amnesty International berupaya untuk bertemu dengan para korban pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh kedua pihak dalam konflik, mereka hanya dapat bertemu dengan para korban pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota pasukan keamanan. Dalam sejarahnya, memang masih merupakan tantangan untuk dapat bertemu dengan para korban pelanggaran yang dilakukan GAM karena rasa takut akan adanya pembalasan. Laporan ini juga mengandalkan kunjungan ke Jakarta pada September 2011, dan April dan Oktober 2012. Dalam kunjungan-kunjungan itu delegasi Amnesty International bertemu dengan perwakilan Komnas HAM, ornop-ornop setempat dan internasional, serta para pakar lainnya. Berita harian yang memonitor isu-isu yang berkaitan dengan keadilan, kebenaran, dan reparasi di Indonesia; bahan bacaan ekstensif yang terdiri atas penerbitan akademis dan profesional lainnya; serta informasi dari para pengacara, ornop-ornop, dan kontak lainnya yang relevan di Indonesia digunakan pula untuk membuat laporan ini. Amnesty International mengucapkan terima kasih kepada para staf di Koalisi NGO HAM Aceh, yaitu sebuah organisasi HAM Aceh, atas kebaikan mereka untuk menyetujui diselenggarakannya lokakarya satu hari dengan para korban dan perwakilan mereka pada Mei 2012. Amnesty International juga mengulurkan rasa hormatnya yang mendalam kepada semua korban dan perwakilan mereka, yang dengan berani menceritakan kisah mereka, dengan murah hati membuka pintu rumah mereka dan mempercayai Amnesty International untuk mengangkat keprihatinan mereka. Jika korban sudah menyetujui, maka nama asli merekalah yang dipakai di sini. Jika tidak, maka nama asli mereka disimpan demi keamanan dan kerahasiaan.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
15
2. GAMBARAN UMUM Provinsi Aceh,21 yang juga dikenal sebagai Serambi Mekah, terletak di ujung utara pulau Sumatra, dan hanya dengan menyeberangi Selat Malaka sedikit dapat mencapai Malaysia (lihat Peta Aceh, h.5). Walaupun kaya dengan sumber kekayaan alam, termasuk minyak dan gas, Aceh tetap merupakan salah satu kawasan termiskin di Indonesia. Menurut Badan Pusat Statistik dua puluh persen dari 4,5 juta penduduknya merupakan rakyat miskin pada tahun 2010,22 atau dua kali lebih besar dari rata-rata nasional.23 Dalam tahun-tahun belakangan ini, Aceh sering menjadi berita utama internasional karena penerapan hukum Syariah-nya yang ketat yang ketetapan-ketetapannya sering kali melanggar standar HAM internasional24 atau dalam konteks bencana alam Asia pada Desember 2004 yang menyebabkan 260.000 orang meninggal atau menghilang. 25 Yang tidak banyak diketahui adalah konflik berdarah berkepanjangan antara gerakan pro-kemerdekaan bersenjata, GAM, dan pasukan keamanan Indonesia. Selama konflik itu kejahatan menurut hukum internasional dilakukan, termasuk kemungkinan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan secara paksa.
2.1 KEJAHATAN MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SELAMA BERLANGSUNGNYA KONFLIK ACEH Konflik Aceh antara GAM dan pasukan keamanan Indonesia bermula dari pertengahan tahun 1970-an ketika pada tanggal 4 Desember 1976 Gerakan Aceh Merdeka secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaan.26 Dukungan terhadap kemerdekaan Aceh berakar pada tradisi perlawanan lama untuk menolak dominasi dari pihak luar, termasuk terhadap kekuatan bekas penjajah Belanda.27 Keuntungan yang tidak setara yang didapat dari pembangunan ekonomi, yang dipandang sebagai tidak adanya penghormatan terhadap tradisi budaya dan agama, serta catatan buruk pelanggaran HAM yang dilakukan pasukan keamanan Indonesia semuanya menyumbang pada makin menyulutnya kebencian banyak orang Aceh kepada pemerintah Indonesia. 28 Pemberontakan tahun 1976 dengan cepat ditumpas oleh pasukan keamanan Indonesia. Para pemimpin GAM yang tidak dibunuh atau dipenjarakan, melarikan diri ke luar negeri. Dr Tengku Hasan di Tiro, seorang pengusaha terkenal Aceh dan pendiri GAM,29 merupakan salah satu yang berhasil melarikan diri.30 Ia menemukan tempat berlindung di Swedia dan dari sana ia membentuk pemerintahan dalam pengasingan. Tahun 1989, sayap militer GAM muncul kembali di Aceh. Menyusul serangkaian serangan terhadap instalasi polisi dan militer, pasukan keamanan Indonesia melancarkan operasi penumpasan pemberontakan. Aceh menjadi Daerah Operasi Militer (DOM).
A. PERIODE DOM (1989-1998) Laporan Amnesty Internasional yang berjudul “Shock Therapy”: Restoring Order in Aceh ("Terapi Kejut: Memulihkan Ketertiban di Aceh), 1989-1993 31 memperkirakan bahwa dua ribu warga sipil, termasuk anak-anak dan orang lanjut usia, secara tidak sah dibunuh, beberapa dalam eksekusi secara publik dan lainnya saat berada dalam tahanan militer, selama operasi penumpasan pemberontakan antara tahun 1989 dan 1993. Seperti digambarkan pada saat itu:
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
16 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
“[d]alam upaya untuk melemahkan basis dukungan warga sipil terhadap perlawanan gerilya, pasukan Indonesia melakukan serangan bersenjata dan penggeledahan dari rumah ke rumah di area-area yang dicurigai sebagai area pemberontak. Rumah para penduduk yang dicurigai memberikan perlindungan atau dukungan kepada para pemberontak dibakar habis. Istri atau putri sejumlah orang yang dituduh sebagai pemberontak ditahan sebagai sandera dan sejumlah dari mereka diperkosa. Siapa pun yang dicurigai berhubungan dengan Aceh Merdeka dapat menjadi sasaran penangkapan dan penahanan semena-mena, penyiksaan, 'penghilangan', atau eksekusi mati yang ringkas. Kampanye penumpasan pemberontakan juga menyebabkan ratusan warga Aceh melarikan diri ke negara tetangga Malaysia dimulai pada Maret 1991. Komponen utama kampanye pemberantasan pemberontakan di Aceh adalah strategi kerja sama sipil-militer, yang secara resmi dikenal sebagai Sishankamrata (sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta). Keterlibatan warga sipil dalam kampanye militer tidak terelakkan lagi meningkatkan skala pelanggaran HAM. Contoh terburuk dari strategi kerja sama sipil-militer ini adalah operasi ‘Pagar betis’ - yang sebelumnya digunakan di Timor Timur - dalam operasi ini penduduk desa dipaksa untuk menyisir sebuah area sebelum pasukan bersenjata masuk, tujuannya adalah untuk membuat keluar para pemberontak dan menghalangi mereka membalas tembakan. Yang juga penting bagi keberhasilan operasi-operasi ini adalah kelompok-kelompok ‘vigilante’ lokal dan ronda malam yang terdiri atas penduduk sipil tapi didirikan di bawah pengawasan dan perintah militer. Antara 20 sampai 30 pemuda dimobilisasi dari tiap desa di wilayah yang dicurigai sebagai wilayah pemberontak... Menolak berpartisipasi dalam kelompok ini - atau ketidakmampuan menunjukkan komitmen yang memadai untuk memberantas musuh dengan mengidentifikasi, menangkap, atau membunuh mereka yang dituduh sebagai pemberontak - terkadang berakibat dijatuhkannya hukuman oleh pasukan pemerintah, termasuk penyiksaan publik, penangkapan, dan eksekusi.”32 Menurut sumber resmi Indonesia dan laporan-laporan media lokal, para anggota GAM juga bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di antara tahun 1989 dan 1993, termasuk pembunuhan yang menargetkan sejumlah pejabat pemerintah; pembakaran sekolah dan bangunan publik lainnya; perusakan kendaraan serta barang-barang milik perusahaanperusahaan komersial dan intimidasi, perlakuan buruk serta pembunuhan puluhan warga sipil, termasuk mereka yang dicurigai menjadi informan dan para penduduk “desa-desa transmigrasi” yang bukan orang Aceh.33 Pada saat status DOM dicabut tahun 1998, beratus-ratus dan mungkin ribuan warga sipil telah dibunuh. Para anggota pasukan keamanan secara sewenang-wenang menangkap beberapa ribu orang selama tahun-tahun ini karena mencurigai mereka mendukung GAM. Seperti digambarkan dalam pelanggaran HAM berat yang terjadi di Rumoh Geudong (Lihat di bawah ini “Rumah Penyiksaan”: Rumoh Geudong), pasukan keamanan Indonesia menjadikan para tahanan subjek dari penahanan incommunicado (tanpa hubungan dengan pihak luar) dan penyiksaan termasuk perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya selama periode waktu yang panjang. Polisi dan militer juga kelihatannya bertanggung jawab atas penghilangan ratusan orang selama periode ini.34 Banyak dari pelanggaran HAM yang dilakukan dalam konteks konflik bersenjata noninternasional ini bisa merupakan kejahatan perang. Banyak pelanggaran yang dilakukan
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
17
pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka yang kelihatannya merupakan bagian dari serangan sistematis dan meluas yang ditujukan kepada warga sipil dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Serangan-serangan ini tampaknya merupakan bagian dari sebuah kebijakan yang ditujukan untuk menumpas gerakan pro-kemerdekaan bersenjata.35 Menurut hukum internasional, hal-hal ini beserta kejahatan lain berdasarkan hukum internasional, termasuk penyiksaan, pembunuhan di luar hukum dan penghilangan paksa harus diinvestigasi, dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang diduga memiliki tanggung jawab pidana harus dituntut di peradilan yang adil sesuai dengan hukum dan standar internasional tanpa menggunakan hukuman mati (Lihatlah Bab 4). Para korban juga memiliki hak atas pemulihan (remedy) yang efektif, termasuk kebenaran, keadilan, serta hak reparasi secara penuh dan efektif (lihat Bab 3, 4 dan 5).
“RUMAH PENYIKSAAN”: RUMOH GEUDONG
Sisa-sisa Rumoh Geudong, sebuah pos militer yang digunakan Kopassus di kabupaten Pidie tempat mereka yang dituduh menjadi anggota atau mendukung GAM ditahan, disiksa dan dibunuh. Rumah itu dibakar habis setelah status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh dicabut pada Agustus 1998. © Amnesty International
Pelanggaran HAM serius telah didokumentasikan di pos militer Bille Aron (Pos Satuan Taktis dan Strategis atau Pos Sattis) yang banyak dikenal sebagai Rumoh Geudong, yaitu sebuah rumah besar di Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie yang dioperasikan oleh Kopassus sejak April 1990. Pihak militer kelihatannya secara sewenang-wenang telah menangkap atau menculik puluhan, dan mungkin ratusan orang yang dituduh menjadi anggota GAM atau mendukung atau membantu GAM termasuk para anggota keluarga mereka di antara tahun 1997 dan 1998 dan membawa mereka ke Rumoh Geudong untuk diinterogasi. Selama interogasi, diduga keras bahwa para tentara, dengan dibantu para informan pemerintah, menyiksa atau memperlakukan dengan buruk para tahanan, baik lelaki maupun perempuan. Penyiksaan ini termasuk ditinju, ditendangi, atau dipukuli dengan potongan kayu atau besi, dan untuk sejumlah orang hal ini dialami sambil digantung dengan kepala di bawah. Yang lainnya disundut dengan rokok atau disetrum dengan listrik di bagian-bagian tubuh mereka termasuk di alat kelamin. Para tahanan juga dilaporkan direndam dalam air got atau kepingan kayu besar ditusukkan ke tubuh mereka. Sejumlah tahanan perempuan yang ditahan di pos militer diduga keras diperkosa dan dikenai bentuk kekerasan seksual lainnya. Sejumlah tahanan diduga keras dibunuh atau ‘dihilangkan’.36 Para korban dan saksi mata melaporkan melihat mayat dimasukkan ke dalam kantong goni dan dibawa pergi.37
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
18 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Pada 21 Agustus 1998, beberapa minggu setelah berakhirnya masa berlaku DOM, sebuah tim pencari fakta dari Komnas HAM mengunjungi Rumoh Geudong. Mereka melihat kabel-kabel listrik di lantai di rumah itu dan noda darah di dinding. Mereka juga menemukan sisa-sisa tubuh manusia termasuk kepingan tulang dari jari, kaki, dan tangan dan juga helaian rambut. Para korban dan saksi mata melaporkan bahwa sebelum kehadiran tim pencari fakta, para tahanan dan penduduk desa setempat disuruh oleh militer untuk menggali sisa-sisa tubuh manusia yang dikubur di sekitar rumah dan kemudian dimasukkan ke kendaraan untuk dibawa ke tempat lain. Pada pukul 3 siang hari yang sama, setelah tim Komnas HAM meninggalkan lokasi, Rumoh Geudong dibakar habis, kabarnya oleh kerumunan massa yang marah.38 Kasus Rumoh Geudong merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk segera dituntut oleh Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA), sebuah badan resmi yang didirikan oleh pihak otoritas di Indonesia pada bulan Juli 1999. Pada November 1999 Jaksa Agung membentuk tim pengusutan atas kasus ini. Akan tetapi Amnesty International tidak mendengar adanya orang yang telah dihadapkan ke pengadilan karena melakukan kejahatan serius di Rumoh Geudong39 (lihat Bab 3.2.B: Komisi Independen tahun 1999 untuk pengusutan tindak kekerasan di Aceh, h.26).
B. “JEDA KEMANUSIAAN” (1999-2002) Setelah jatuhnya pemerintahan Presiden Suharto di tahun 1998, status DOM dicabut dan sejumlah pejabat tinggi militer dan pemerintah secara terbuka mengakui adanya perbuatan salah yang dilakukan selama periode DOM. 40 Pada Agustus 1998, Jenderal Wiranto, yang saat itu menjadi Panglima TNI saat itu meminta maaf “atas perilaku sekelompok oknum ABRI yang mengarah pada ekses-ekses yang telah membahayakan rakyat”.41 Namun, hal ini hanya memberikan adanya sedikit ketenangan. Pada Januari 1999, rangkaian pertama operasi militer baru diluncurkan setelah terjadinya serangan kepada pasukan keamanan, yang diduga keras dilancarkan oleh GAM. Pelanggaran HAM dan sulitnya kehidupan secara umum bagi para warga sipil yang menyertai operasi itu42 menyebabkan meningkatnya dukungan di antara masyarakat umum terhadap GAM, atau paling tidak terhadap deklarasi tujuannya untuk merdeka. Selama kurun waktu ini, GAM juga dituduh melakukan pelanggaran HAM, termasuk penculikan, pelecehan dan pembunuhan warga sipil, dan penahanan secara sewenang-wenang.43 Pada tahun 1999, kelompok-kelompok HAM setempat memperkirakan bahwa lebih dari 421 orang telah dibunuh secara tidak sah di Aceh. Pada tahun 2001, angka itu melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 1.014 dan tahun 2012 meningkat lagi menjadi 1.307.44 Meskipun penggunaan senjata masih terus menggambarkan respon militer dan sejumlah pemimpin militer kepada GAM, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999 – Juli 2001), memprakarsai upaya untuk menemukan solusi politik guna mencari jalan keluar bagi situasi itu.45 Pada 12 Mei 2000, “Kesepakatan Bersama tentang Jeda Kemanusiaan untuk Aceh” ditandatangani, merupakan yang pertama dari serangkaian kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan GAM. Mula-mula kesepakatan itu berhasil, tapi dalam beberapa bulan saja tingkat kekerasan mulai meningkat lagi. Pembicaraan terus dilakukan dari waktu ke waktu selama periode dua tahun berikutnya, yang kemudian berpuncak dengan penandatanganan Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) di Jenewa, Swiss pada 9 Desember 2002. CoHA ini bersifat ambisius, dengan melibatkan pengawasan internasional, pendirian “zona damai”, pelucutan senjata GAM, dan penarikan mundur terbatas pasukan Indonesia. Dalam
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
19
beberapa bulan saja kesepakatan ini sudah bubar karena kedua pihak mempermasalahkan interpretasi kesepakatan tersebut. Pada April 2003, pihak militer mulai mengerahkan pasukan tambahan ke Aceh sebagai persiapan untuk kampanye baru melawan GAM.46
C. POLA LAMA, PELANGGARAN HAM BARU (2003-2004) Pada 18 Mei 2003 dideklarasikan keadaan darurat militer enam bulan. Pada bulan November, keadaan darurat diperpanjang enam bulan lagi. Pada Mei 2004, keadaan darurat itu diturunkan statusnya menjadi darurat sipil dan kewenangan dikembalikan kepada pemerintah sipil provinsi di bawah pimpinan Gubernur Aceh. Laporan Amnesty Internasional yang berjudul Indonesia: Operasi militer baru, pola lama pelanggaran HAM di Aceh yang mendokumentasikan sebuah pola pelanggaran HAM berat selama operasi militer tahun 2003 yang sangat menyerupai baik pola maupun intensitas pelanggaran HAM yang dilakukan pada puncak masa DOM. Dan memang, banyak dari mereka yang diwawancarai Amnesty International menggambarkan operasi militer baru itu sebagai “DOM 2”.47
Seorang tentara Indonesia menonton saat ratusan tentara Indonesia dengan parasut masuk ke daerah di Aceh Tengah pada 20 Mei 2003. © REUTERS/Stringer
Seperti halnya dalam kampanye melawan GAM sebelumnya, keamanan warga sipil sangat tidak diperhatikan. Pasukan keamanan secara paksa membuat warga sipil harus mengungsi dari rumah dan desa mereka, melakukan serangan bersenjata dan penggeladahan dari rumah ke rumah, serta menghancurkan rumah dan barang milik lainnya. Militer Indonesia tidak mampu membedakan antara kombatan dan non-kombatan. Para pemuda sering kali dicurigai menjadi anggota GAM oleh pasukan keamanan dan yang terutama beresiko mengalami pelanggaran HAM, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan dan perlakuan buruk
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
20 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
lainnya, dan penahanan sewenang-wenang. Sejumlah anggota GAM juga dibunuh di luar hukum setelah dijadikan tahanan. Perempuan dan anak perempuan dijadikan sasaran perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya. Pengadilan terhadap ratusan orang yang diduga menjadi anggota atau mendukung GAM dilangsungkan tanpa mematuhi standar internasional bagi peradilan yang adil, termasuk karena para tersangka tidak diberikan akses ke perwakilan hukum dan dipaksa mengaku bersalah di bawah penyiksaan. Warga sipil, termasuk anak-anak, dipaksa untuk mendukung operasi militer.48 Selama operasi militer baru tahun 2003-2004, Amnesty International dan sumber-sumber resmi Indonesia juga mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM termasuk penyanderaan, pembunuhan, dan perekrutan tentara anak. Di antara mereka yang diculik GAM adalah orang-orang yang diduga berkolaborasi dengan pasukan keamanan Indonesia; politisi setempat; pegawai negeri; orang-orang yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah, sanak saudara petugas militer atau polisi, dan jurnalis. Selain melakukan penyanderaan, GAM juga secara berkala dituduh pihak berwenang Indonesia melakukan pembunuhan terhadap warga sipil di luar hukum, termasuk pembunuhan terhadap anakanak. Media juga melaporkan kasus-kasus pembunuhan di luar hukum oleh GAM. Tahun 2003-2004, anak-anak dilaporkan direkrut oleh GAM.49 Sebagian besar anak yang terlibat dalam GAM adalah anak lelaki. Menurut ornop-ornop setempat, anak-anak dilibatkan dalam berbagai macam tugas termasuk bertindak sebagai informan, mengumpulkan “pajak”, ikut serta dalam serangan pembakaran, menyediakan makanan dan pasokan lainnya, memasak, dan mengumpulkan kayu bakar. Tidak jelas sampai sejauh mana perekrutan itu bersifat sukarela dan ada laporan bahwa sejumlah anak dipaksa bergabung, atau dipaksa untuk tetap jadi anggota GAM jika mereka bergabung karena kemauan mereka sendiri. 50
2.2 PERJANJIAN DAMAI HELSINKI DAN SESUDAHNYA Dengan pemilihan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada September 2004, sebuah pendekatan baru terhadap situasi di Aceh mulai dibangun.51 Perundingan non-formal dilanjutkan di antara para perwakilan GAM dan Pemerintah Indonesia.52 Gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004 mempercepat negosiasi perdamaian. Gerakan Aceh Merdeka akhirnya setuju untuk tidak meneruskan tuntutannya untuk merdeka, sementara pemerintah Indonesia menerima program reintegrasi dan pemberian amnesti secara menyeluruh untuk mantan kombatan GAM, pembentukan partai-partai politik lokal, dan pengaturan keamanan baru di Aceh.53 Meskipun pertempuran bersenjata terus berlangsung pada paruh pertama tahun itu,54 status keadaan darurat sipil dicabut pada 19 Mei 2005, dan pembatasan akses ke provinsi itu secara bertahap dikurangi.55 Pada 15 Agustus 2005 perjanjian damai ditandatangani di Helsinki antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
21
Menteri Hukum dan HAM Indonesia Hamid Awaluddin (Kiri) berjabat tangan dengan Ketua GAM Malik Mahmud (kanan) di hadapan mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari (Tengah) setelah menandatangani perjanjian damai pada 15 Agustus 2005. © REUTERS/Ruben Sprich
Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005, yang juga dikenal sebagai “Nota Kesepahaman (MOU) antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka” menetapkan kerangka kerja yang luas bagi kedua pihak untuk mencapai “penyelesaian damai atas konflik”.56 Perjanjian itu menyertakan serangkaian kerangka luas yang berkaitan dengan masalah-masalah pemerintahan, ekonomi, supremasi hukum, amnesti, hak asasi manusia, reintegrasi para mantan kombatan, dan pengaturan keamanan. MOU itu merinci bahwa Undang-Undang baru tentang Pemerintahan Aceh akan berdasarkan pada prinsip bahwa “Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik ... kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hak ikhwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama” (Pasal 1.1.2), dan pemerintah Indonesia akan memfasilitasi “pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh” (Pasal 1.2.1) Bab 2 secara khusus mengurusi hak asasi manusia, komitmen untuk mendirikan Pengadilan HAM untuk Aceh (Pasal 2.2) dan pembentukan Komisi untuk Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (Pasal 2.3). Namun, dalam Bab 3, MOU membentuk halangan besar bagi keadilan untuk para korban kejahatan yang dilakukan oleh GAM dengan mengatur bahwa Pemerintah Indonesia akan “memberikan amnesti kepada semua orang yang telah terlibat dalam kegiatan GAM sesegera mungkin dan tidak lewat dari 15 hari setelah penandatanganan Nota Kesepahaman ini” tanpa membuat pengecualian bagi orang-orang yang diduga melakukan kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang (Pasal 3.1.1).57 Setelah perjanjian damai ini, kira-kira 2.000 narapidana yang dituduh “terlibat GAM” diberikan amnesti dan dibebaskan.58
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
22 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Alokasi dana untuk mendukung rehabilitasi para mantan kombatan dan tahanan politik, pengaturan keamanan, termasuk demobilisasi pasukan-pasukan non-organik,59 dan pelucutan semua senjata, amunisi, dan bahan peledak yang yang dimiliki GAM dibahas di Bab 4. MOU itu juga mengatur pendirian Aceh Monitoring Mission gabungan ASEAN dan EU,60 yang ditugaskan mengawasi kepatuhan kedua pihak terhadap perjanjian damai, dan menangani mekanisme penyelesaian perselisihan tingkat tinggi jika terjadi perselisihan. Walaupun sejumlah aspek perjanjian damai, seperti pendirian partai politik lokal Aceh, dikritik sejumlah tokoh politik dan militer nasional61 dan pada satu saat mengancam pembicaraan tentang perdamaian keluar jalur,62 sebagian besar implementasi perjanjian damai berjalan tanpa adanya pelanggaran besar.63 Pada 31 Desember 2005, gerakan kemerdekaan bersenjata itu telah menyelesaikan penyerahan senjata, dan Pemerintah Indonesia telah selesai menarik mundur pasukan dari Aceh, sebagaimana disepakati dalam MOU.64 Pada Juli 2006, UU tentang Pemerintahan Aceh (UU No. 11/2006) diloloskan oleh DPR,65 dan pemilihan umum lokal pertama yang melibatkan partai-partai lokal Aceh diselenggarakan pada Desember 2006.66 Walaupun adanya insiden kekerasan secara sporadis sejak Agustus 2005, khususnya dalam konteks pemilu lokal,67 Aceh secara relatif telah menikmati perdamaian dalam tujuh tahun terakhir ini.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
23
3. LANGKAH LEMAH DALAM MENGUNGKAPKAN KEBENARAN "Setelah ayah saya dibawa oleh TNI, kami tidak bisa buat apa-apa. Kami hanya bisa menangis. Kami melakukan pencarian ke mana-mana... saya dan adik-adik saya yang sekolah tidak bisa sekolah lagi karena tidak ada yang biayai, dan kami tidak bisa konsentrasi untuk sekolah... kami hanya fokus mencari ayah... sampai hari ini timbul persoalan kenapa orang tua saya dibunuh... kenapa orang tua saya disiksa? Apa kesalahan dia? Ini belum tau jelas... Kehidupan kami sangat menyedihkan... karena semua adik saya tidak sekolah lagi... Harapan saya pemerintah harus menjawab apa kesalahan orang tua saya. Ayah saya tidak terlibat GAM... mungkin dia membantu GAM [tapi] semua masyarakat pernah membantu GAM... [kenapa] dia dibunuh seperti itu... mana keadilannya? Kalau pun ayah saya salah kenapa tidak dihukum? Indonesia katanya negara hukum... kenapa harus dia dibunuh? ... Sampai hari ini saya pun rela mati untuk menuntut [diadilinya] semua pelaku" Ayah Zulkifli dibawa oleh militer tahun 2003. Zulkifli tidak pernah melihatnya lagi.68
Kelompok-kelompok korban dan ornop-ornop lokal Aceh telah menyerukan kepada pihak berwenang di Indonesia untuk membuktikan kebenaran mengenai kejahatan yang dilakukan selama konflik berlangsung, khususnya untuk mengetahui apa yang terjadi kepada orangorang yang menghilang. Selama kunjungan Amnesty International ke Aceh pada Mei 2012, banyak korban dan anggota keluarga seperti Zulkifli menjelaskan bahwa mereka masih tidak tahu apa yang terjadi kepada orang-orang yang mereka cintai. Dengan anggapan bahwa mereka sudah dibunuh, sanak keluarga mereka ingin tahu mengapa dan di mana mayat mereka. Sejumlah berharap bahwa, jika kebenaran bisa diketahui, maka mungkin hal ini bisa memerangi budaya impunitas yang ada dan membawa pada keadilan pidana dan reparasi. Banyak yang menjelaskan bahwa pentinglah bagi anak mereka dan warga secara keseluruhan untuk mengetahui dan memahami secara pasti apa yang terjadi di masa lalu agar sejarah tidak terulang kembali. Namun, meskipun adanya berbagai pengusutan mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan di Aceh antara tahun 1998 dan 2009 dan komitmen untuk mendirikan komisi kebenaran baik di tingkat nasional maupun lokal dalam tahun-tahun belakangan ini, pihak berwenang Indonesia saat ini masih belum mampu mengambil tindakan segera dan efektif untuk mengetahui kebenaran mengenai pelanggaran yang dilakukan saat konflik berlangsung, dan menolak hak korban untuk mendapatkan kebenaran. Amnesty International menyerukan komisi-komisi kebenaran untuk menegakkan hak semua korban pelanggaran HAM di masa lalu untuk mendapatkan kebenaran, keadilan, dan hak reparasi tanpa diskriminasi dan sesuai dengan hukum internasional. Untuk tujuan ini, komisi-komisi kebenaran tidak dimaksudkan untuk bertindak sebagai pengganti pengadilan perdata, administratif, atau pidana. Komisi-komisi ini tidak boleh menghalangi keadilan pidana atau hak reparasi dengan memberikan langkah-langkah, seperti kekebalan dari penuntutan untuk para peserta, untuk kejahatan menurut hukum internasional atau tindakan-tindakan lain untuk mempertahankan impunitas.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
24 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
3.1 NASIB ORANG-ORANG YANG DIHILANGKAN DAN YANG MENGHILANG Selama lokakarya satu hari Amnesty International dengan para perwakilan korban dari berbagi tempat di Provinsi Aceh bulan Mei 2012, banyak perwakilan menekankan tuntutan korban untuk mengetahui kebenaran mengenai nasib dan keberadaan orang yang dihilangkan atau yang menghilang69 seiring dengan keinginan untuk dapat memberikan penguburan yang layak. Hak keluarga mereka yang dihilangkan atau yang menghilang untuk mengetahui apa yang terjadi kepada para korban merupakan komponen penting dari hak untuk mengetahui kebenaran. Secara tersurat hukum humaniter internasional menjamin hak para sanak keluarga untuk mengetahui nasib keluarga mereka yang menghilang.70 Hak untuk mengetahui nasib serta keberadaan anggota keluarga yang hilang, baik dalam waktu damai dan dalam waktu konflik bersenjata, telah dikonfirmasikan dalam Pasal 24 (3) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (Indonesia sudah menandatangani tapi belum meratifikasinya),71 dan juga yurisprudensi badan-badan HAM internasional dan regional 72 dan pengadilan-pengadilan nasional.73 Prinsip 4 Kumpulan Prinsip yang sudah Diperbarui untuk Perlindungan dan Pemajuan HAM melalui tindakan untuk memberantas impunitas menyatakan: "Tanpa memandang proses hukum apa pun, para korban dan keluarga mereka memiliki hak yang tak dapat dipisahkan lagi untuk mengetahui kebenaran tentang situasi terjadinya pelanggaran, dan dalam kasus kematian atau penghilangan, untuk mengetahui nasib korban."74 Hanya ada sedikit saja langkah yang sudah diambil untuk memberlakukan hak-hak ini di Aceh, dan di tempat lain di Indonesia. Akibatnya, para keluarga dan masyarakat dibiarkan menderita.75 Seorang mantan kepala asosiasi para korban di Aceh memberi tahu Amnesty International tentang penghilangan paksa terhadap saudara laki-lakinya dan betapa susahnya ia rasakan tidak mengetahui di mana saudaranya dikuburkan: "...Salah satu abang saya menjadi korban penghilangan paksa... Sampai sekarang [kami] tak tau di mana kuburannya... Keponakan saya, anak abang saya yang saat ini sudah hilang... di kala dia pulang pada hari Lebaran, dia menyanyakan kepada saya 'ayo kita ke kuburan ayah saya'... [Tapi] bagaimana saya bisa menjawab sedangkan kuburan tidak ada... tidak ada kuburan..."76
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
25
PENGHILANGAN PARA PEGIAT HAM Di antara tahun 2000 dan 2004, diyakini bahwa 15 pembela HAM di Aceh telah dibunuh di luar hukum dan paling tidak ada empat orang yang menjadi korban penghilangan secara paksa.77 Mukhlis Ishak (lelaki, 27 tahun) adalah anggota ornop bernama Link for Community Development (LCD) yang membantu pengungsi internal, “menghilang” setelah ditahan para lelaki berpakaian sipil di Kabupaten Bireun di tahun 2003. Sepuluh tahun kemudian tetap tidak diketahui apa yang terjadi kepadanya. Keluarganya menuntut adanya pengungkapan secara lengkap tentang apa yang terjadi di tahun 2003. Mukhlis Ishak dan seorang pegiat lainnya ditangkap pada 25 Maret 2003 ketika sedang menemani para penduduk desa yang melakukan unjuk rasa di depan kantor Bupati Bireun, untuk secara damai memprotes rencana mendirikan pos Brimob di desa mereka, Foto-foto yang diambil oleh seorang saksi penangkapan mereka menunjukkan dua orang dibawa ke mobil mini-van hitam. Sumber-sumber setempat meyakini bahwa orang yang ada di foto bersama Mukhlis adalah para anggota Satuan Gabungan Intelijen (SGI). Ditakutkan bahwa Mukhlis menjadi target akibat kegiatannya dalam membela HAM. Mula-mula diduga bahwa Mukhlis ditahan di pos militer SGI di kabupaten Bireun. Namun, para anggota keluarga dan aktivis yang mencari Mukhlis ke pos militer diberi tahu bahwa Mukhlis tidak ditahan di situ. Sejak ditahan sepuluh tahun lalu, tidak ada seorang pun yang pernah melihat Mukhlis lagi. Juga tidak diketahui adanya investigasi untuk mencari tahu mengenai “hilangnya” Mukhlis. Keberadaannya sampai saat ini tetap tidak diketahui dan para pelakunya belum dihadapkan ke pengadilan.
3.2 INVESTIGASI PELANGGARAN HAM DI ACEH TIDAK DIUMUMKAN Memang ada sejumlah inisiatif dari pihak berwenang dan Komnas HAM untuk mengusut pelanggaran HAM yang dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda dalam konflik dan juga insiden-insiden khusus.78 Meskipun banyak dari investigasi tersebut penting dalam mendokumentasikan banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik berlangsung,, investigasi-investigasi itu hanya menggunakan pendekatan secara sepotongsepotong dalam mengungkapkan kebenaran dan tidak mampu memberikan rekaman yang komprehensif mengenai pelanggaran yang dilakukan kedua pihak antara tahun 1976 dan 2005. Selain dari ini, sejumlah investigasi hanya bersifat permulaan dan tidak mempelajari penyebab yang lebih mendalam terhadap pelanggaran ataupun tidak mengidentifikasi apa yang terjadi kepada para korban penghilangan paksa. Semua laporan akhir investigasiinvestigasi tersebut masih belum tersedia untuk umum, dan sebagaimana dijelaskan dalam Bab 4, banyak dari rekomendasinya untuk memastikan adanya penuntutan segera atas tindak kejahatan yang sudah teridentifikasi belum juga diterapkan.
A. INVESTIGASI 1998 Pada Juli 1998, sebuah Tim Gabungan Pencari Fakta - DPR didirikan di bawah kepemimpinan Letjen Hari Sabarno yang mengetuai fraksi militer di DPR. Tim tersebut mengunjungi Banda Aceh, Pidie, Aceh Utara dan Aceh Timur, serta menerima banyak laporan tentang pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan. Pada Oktober 1998, tim pencari fakta DPR tersebut melaporkan menerima lebih dari 1.700 laporan individual tentang pelanggaran HAM, termasuk 426 kasus “orang hilang” dan 320 pembunuhan di luar hukum
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
26 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
di Aceh.79 Sebuah laporan akhir dikabarkan telah diserahkan ke DPR, tetapi sepengetahuan Amnesty International laporan seperti itu tidak pernah diumumkan.80 Pada Juli dan Agustus 1998, Komnas HAM melakukan investigasi pertamanya mengenai pelanggaran masa lalu di Aceh selama periode DOM. Dalam temuan awalnya (diluncurkan pada 25 Agustus 1998)81 Komnas HAM menyimpulkan paling tidak ada 781 kasus kematian, 163 “orang hilang”, 368 kasus penyiksaan, dan 102 perkosaan yang dilakukan dalam konteks operasi militer antara tahun 1989 dan 1998. Komnas HAM juga dilaporkan mengindentifikasi lokasi sembilan kuburan massal di Aceh.82 Namun, pada saat penulisan laporan ini, Amnesty International masih belum mengetahui adanya laporan akhir Komnas HAM yang memperinci hasil temuan-temuan itu yang telah diumumkan kepada masyarakat umum.
B. KOMISI INDEPENDEN TAHUN 1999 UNTUK PENGUSUTAN TINDAK KEKERASAN DI ACEH. Tahun 1999, Presiden Habibie membentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA) untuk menginvestigasi pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh selama dan sesudah periode DOM.83 Komisi itu, yang bekerja selama enam bulan, terdiri atas perwakilan dari Komnas HAM, ornop-ornop, universitas, para tokoh masyarakat, dan anggota badan-badan pemerintah. Dilaporkan bahwa Komisi itu mengumpulkan sekitar 5.000 kasus pelanggaran HAM di Aceh yang dilakukan dalam sepuluh tahun terakhir termasuk kasuskasus pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, “penghilangan paksa”, penahanan secara sewenang-wenang, perkosaan, dan kekerasan seksual.84 Dalam laporan akhirnya, Komisi itu menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan militer merupakan bentuk “kekerasan oleh negara”.85 Komisi tersebut merekomendasikan agar pemerintah menginvestigasi lima kasus prioritas dan membawa para pelakunya ke pengadilan (lihat Bab 4: Keadilan bagi pelanggaran HAM masa lalu). Meskipun Keputusan Presiden telah memberikan Komisi itu kekuasaan untuk menerbitkan hasil investigasi,86 laporan akhirnya masih belum diumumkan kepada publik.
C. TIM AD HOC KOMISI NASIONAL HAM 2003 Komnas HAM pada awalnya mendirikan sebuah Tim Investigasi Ad Hoc Aceh Komnas HAM yang dipimpin M.M. Billah untuk mengawasi proses perdamaian di Aceh setelah ditandatanganinya Kesepakatan Penghentian Permusuhan (CoHA) pada 9 Desember 2002. Setelah gagalnya CoHA dan pemerintah Indonesia mengumumkan keadaan darurat militer pada Mei 2003, tim itu diperluas mandatnya dan memasukkan lebih banyak orang ke dalam tim, termasuk para aktivis HAM. Mandat utama tim tersebut adalah untuk mengawasi dipatuhinya hukum HAM dan humaniter selama masa darurat militer dan untuk membentuk mekanisme pengaduan di seluruh bagian provinsi tersebut. Tim tersebut menginvestigasi 70 kasus pelanggaran HAM selama masa darurat militer (Mei 2003-Mei 2004)87, termasuk kasus yang melibatkan pembunuhan di luar hukum, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan paksa, penyiksaan, perkosaan serta bentuk tindak kekerasan seksual lainnya, serangan tanpa padang bulu dan penjarahan, serta perusakan harta milik pribadi.88 Dalam kesimpulan laporan mereka, tim itu menemukan bahwa ada indikasi kuat bahwa pelanggaran HAM yang berat telah terjadi (Pasal 9 UU No.26/2000). Tim tersebut dilaporkan telah menyerahkan hasil temuan mereka kepada pemerintah, dan merekomendasikan agar Komnas HAM membentuk tim investigasi projusticia untuk memulai penyelidikan awal sebagaimana diatur dalam Pasal 18 UU
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
27
Pengadilan HAM.89 Sampai hari ini, laporan tersebut masih belum diumumkan dan tidak ada keputusan dari Komnas HAM untuk menindaklanjuti rekomendasi tim itu. Koalisi NGO HAM Aceh, sebuah organisasi HAM Aceh, baru-baru ini menggunakan UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik untuk mengajukan keberatan pada Oktober 2012 dan kemudian mengajukan penyelesaian sengketa ke Komisi Informasi Publik (KIP) untuk meminta Komnas HAM menerbitkan laporan ini. Dilaporkan bahwa sidang penyelesaian sengketa saat ini sedang diajudikasi, oleh Komisi Informasi Publik.90
D. TIM PENGKAJIAN ANTIKEKERASAN ACEH 2009 Tahun 2009, Komnas HAM membentuk sebuah tim dengan mandat meninjau kasus-kasus pelanggaran HAM dari periode DOM sampai dengan akhir 2003 dan untuk mengidentifikasi pola-pola pelanggaran HAM.91 Dari 1 Februari 2009 sampai 30 April 2009 Tim Pengkajian Antikekerasan yang dipimpin Ahmad Baso menginvestigasi 70 kasus kejahatan masa lalu. Tim ini akhirnya mengusulkan sebuah proses kombinasi keadilan dan kebenaran untuk menangani pelanggaran masa lalu di Aceh.92 Amnesty International belum mendengar adanya tindak lanjut atas rekomendasi tim tersebut. Laporan akhir mereka juga masih belum tersedia untuk umum.
3.3 UPAYA YANG MACET UNTUK MEMBENTUK KOMISI KEBENARAN Komisi-komisi kebenaran muncul beberapa tahun belakangan ini sebagai mekanisme yang sama pentingnya untuk mengungkapkan kebenaran di situasi pasca-konflik dan situasi lain tempat terjadinya pelanggaran HAM. Walaupun sudah banyak model yang berbeda, secara umum komisi-komisi kebenaran dijabarkan sebagai “badan pencari fakta non-judisial yang resmi dan bersifat temporer yang menginvestigasi pola pelanggaran terhadap hukum HAM atau humaniter, yang biasanya dilakukan selama beberapa tahun”.93 Tidak seperti pengusutan lainnya, seperti yang dirujuk di bagian atas, komisi-komisi kebenaran berfokus pada pemberian keterangan lengkap tentang pelanggaran di masa lalu dan mengidentifikasi alasan-alasannya. Sebuah laporan tahun 2004 oleh Sekjen PBB tentang Supremasi Hukum (Rule of Law) menyatakan bahwa komisi-komisi kebenaran: "memiliki potensi untuk memberi manfaat besar dalam membantu masyarakat pascakonflik mengungkapkan fakta tentang pelanggaran di masa lalu, mendorong adanya akuntabilitas, melindungi bukti-bukti, mengidentifikasi pelakunya, dan merekomendasikan reparasi dan reformasi institusional. Mereka juga dapat menyediakan sarana publik bagi para korban untuk menceritakan kepada negara dan bangsanya kisah pribadi mereka dan dapat memfasilitasi perdebatan umum tentang bagaimana menghadapi masa lalu.”94 Saat ini terdapat dua prakarsa untuk mendirikan komisi kebenaran yang akan mencakup kejahatan yang dilakukan dalam konflik Aceh. Namun prakarsa ini sudah macet selama beberapa tahun.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
28 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
A. KOMISI NASIONAL KEBENARAN DAN REKONSILIASI Tahun 2004, sebuah undang-undang untuk mendirikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi disahkan di Indonesia dengan kekuasaan untuk menerima pengaduan; menginvestigasi pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu; dan membuat rekomendasi bagi kompensasi dan/atau rehabilitasi untuk para korban. Namun, undang-undang ini secara serius cacat karena membolehkan Komisi untuk merekomendasikan pemberian pengampunan atau amnesti kepada para pelaku kejahatan, yang artinya merusak kemungkinan mendapatkan kebenaran dan keadilan. Undang-undang ini mengatur bahwa kasus-kasus yang ditangani Komisi akan dilarang untuk proses penuntutan dan mensyaratkan bahwa para korban hanya akan menerima kompensasi jika pelaku pelanggaran telah diberi amnesti.95 Tahun 2006 Mahkamah Konstitusi Indonesia membatalkan UU No. 27/2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, dengan dasar bahwa ketetapan yang mensyaratkan amnesti diberikan kepada para pelaku pelanggaran HAM berat sebelum para korban dapat menerima kompensasi dan rehabilitasi tidak konstitusional.96 Sebuah draf undang-undang kebenaran dan rekonsiliasi baru yang tidak mengatur tentang amnesti telah diserahkan ke DPR,97 dan dijadwalkan untuk dibahas antara 2011 dan 2014. Namun, pada saat penulisan laporan ini, draf itu masih belum dijadwalkan untuk didiskusikan, dan tidak jelas apakah ada cukup kemauan politik untuk meloloskan draf undang-undang tersebut.
B. KOMISI UNTUK KEBENARAN DAN REKONSILIASI DI ACEH “Tujuh tahun setelah [perjanjian] damai itu masih ada beberapa hal yang tertera dalam MOU dan UU Pemerintahan Aceh belum terealisasi, khususnya qanun KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi]. Harapan saya bahwa rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM masa lalu itu terpenuhi dengan terbentuknya qanun KKR di Aceh.” Seorang aktivis HAM di Aceh, 17 Mei 2012.
Baik perjanjian damai tahun 200598 maupun selanjutnya UU tentang Pemerintahan Aceh tahun 2006 (UU No. 11/2006) mengandung ketetapan yang mengatur pembentukan sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh. MOU itu menetapkan bahwa sebuah “Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi” (Pasal 2.3). Selanjutnya, UU Pemerintahan Aceh menetapkan bahwa Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh “merupakan bagian tidak terpisahkan dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi [nasional]” (Pasal 229), dan bahwa komisi itu akan berlaku efektif paling lambat satu tahun setelah disahkannya UU Pemerintahan Aceh (Pasal 260). Namun dengan adanya pembatalan UU Kebenaran dan Rekonsiliasi tahun 2004 dan penundaan selanjutnya dalam membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nasional, maka tidak jelas kapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh akan dimulai.99 Situasi ini menggambarkan kurangnya kemauan politik secara luas untuk menyikapi kejahatan masa lalu di Indonesia atau Timor-Leste (dulu disebut Timor Timur), dan keengganan pemerintah mengungkapkan kebenaran. Di tingkat nasional, militer dan para pejabat DPR Indonesia telah menekankan perlunya melupakan masa lalu guna melangkah maju. Sejumlah dari mereka juga berpendapat bahwa membuka luka lama akan mengganggu
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
29
proses perdamaian yang ada sekarang ini. Lalu, pada Agustus 2005, Panglima TNI saat itu, Jenderal Endriartono Sutarto, mengatakan: "Pada saat kita sedang mencoba menyelesaikan persoalan, kita tak bisa selalu berorientasi ke masa lalu, yang mengakibatkan kita tak dapat mencapai perdamaian yang kita harapkan."100 Pihak berwenang di Aceh juga sebelumnya sudah menunjukkan keengganan untuk mendorong pengungkapan kebenaran bagi para korban. Perubahan pemerintahan daerah terjadi di Aceh pada Juni tahun 2012. Dalam program kampanye mereka, calon gubernur dan calon wakil gubernur yang memenangkan pemilihan berjanji akan “mengimplementasikan UU Pemerintahan Aceh dengan serius dan cermat”.101 Namun, masih harus dilihat apakah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan menjadi salah satu prioritas mereka, karena posisi Gubernur Aceh yang sekarang ini mengenai hal ini masih tidak jelas.102 Sejumlah organisasi dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) beranggapan bahwa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh tidak perlu menunggu dibentuknya dulu komisi kebenaran nasional. 103 UU Pemerintahan Aceh mengatur bahwa perincian mengenai struktur, prosedur kerja, personel dan pendanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh akan “diatur oleh Qanun Aceh dengan berkonsultasi pada undang-undang dan peraturan yang sudah ada”.104 Ornop-ornop atau organisasi non-pemerintah sudah menyerahkan draf Qanun itu ke DPRA untuk dipertimbangkan.105 Namun, pada 11 September 2012, anggota Komisi A di DPRA, Abdullah Saleh, menyatakan bahwa DPRA harus menunggu diloloskannya dulu UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi nasional sebelum mendirikan komisi untuk Aceh.106 Pada Januari 2013, draf Qanun tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh dimasukkan ke dalam daftar qanun yang diprioritaskan untuk dibahas pada tahun 2013.107 Sejumlah kelompok para korban masih terus mengkampanyekan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh. Ratusan korban melakukan unjuk rasa di depan parlemen Aceh pada tahun 2010 menuntut dibentuknya Komisi itu.108 Mereka berpendapat bahwa "sebuah Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dibentuk berdasarkan Qanun paling tidak dapat terlibat dalam merekam kasus-kasus pelanggaran GAM, sehingga informasi yang penting tidak hilang dengan berjalannya waktu”.109
3.4 PENTINGNYA UNTUK SEGERA MENGUNGKAPKAN KEBENARAN TENTANG PELANGGARAN YANG DILAKUKAN SELAMA KONFLIK Lebih dari tujuh tahun setelah berakhirnya konflik, pihak berwenang nasional maupun daerah masih belum bisa mengambil langkah-langkah efektif untuk mengungkapkan kebenaran mengenai pelanggaran yang dilakukan selama berlangsungnya konflik. Para korban dan keluarga mereka tidak bisa mendapatkan informasi mengenai pelanggaran yang dilakukan terhadap mereka, termasuk mengenai nasib dan keberadaan orang-orang yang dihilangkan dan yang menghilang. Banyak dari mereka yang diwawancarai Amnesty International pada Mei 2012 menekankan pentingnya mengetahui kebenaran tentang apa yang terjadi di masa lalu sehingga generasi baru dapat mempelajarinya. Banyak korban menegaskan kembali
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
30 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
pentingnya memastikan bahwa apa yang telah terjadi selama konflik Aceh dimasukkan ke dalam kurikulum sehingga anak-anak muda di Aceh bisa mempelajarinya, agar kejadian masa lalu ini tidak terulang lagi.
Para korban/penyintas konflik Aceh melakukan unjuk rasa bagi pembentukan komisi kebenaran di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Desember 2010. ©Koalisi NGO HAM Aceh
Dengan berjalannya waktu, juga ada risiko yang bertambah bahwa informasi yang berharga akan hilang. Memang, banyak dari informasi itu yang sudah hancur, termasuk ketika terjadinya tsunami di tahun 2004. Mani Iraya,110 seorang perempuan berusia enam puluhan, yang diperkosa dan menjadi korban bentuk-bentuk lain penyiksaan di Rumoh Geudong selama empat bulan oleh pasukan Kopassus mengungkapkan rasa prihatinnya karena tidak ada lagi bukti tersisa dari apa yang terjadi di sana setelah gedung itu dilumat habis oleh api pada tahun 1998 (lihat di kotak “Rumah Penyiksaan”: Rumoh Geudong, h.17). Mani Iraya mengatakan kepada Amnesty International bahwa dia berulang kali dipukuli, dan disetrum ketika telanjang selama penahanannya di Rumah Geudong. Ia mengatakan pasukan menempelkan kabel listrik dari kaki sampai ke hidungnya, dan mereka juga menyuntikkan air raksa ke tubuhnya. Ia menceritakan bahwa pada malam hari ia diperkosa di hadapan orangorang yang menonton, dan memaksanya untuk memegangi penis seorang lelaki. Akibat pemukulan yang dideritanya, Mani Iraya masih terus menderita luka-luka di bagian tubuh atasnya. Ia masih berharap bahwa mereka yang menyiksanya akan dibawa ke pengadilan, tetapi ia merasa pesimis karena mungkin akan sulit menemukan para pelakunya. Ornopornop lokal kini tengah mengumpulkan kesaksian para saksi, tapi masih banyak lagi hal yang harus dilakukan pemerintah untuk mengungkapkan kebenaran.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
31
4. KEADILAN UNTUK PELANGGARAN HAM MASA LALU “Saya benci kepada militer… Saya katakan kepada keluarga saya, saya lebih suka kabur dan ditembak daripada dipukuli lagi… Saya ditahan oleh Kopassus … tahun 2004 dibawa aku ke pos mereka dan dikontak listrik [saya]… Saya sudah masuk rumah sakit paling tidak 16 kali karena darah keluar [dari tubuh saya]… karena efek yang dipukuli hari itu … dan saya masih sakit kepala… saya masih melihat orang yang tangkap saya itu berkeliaran … nama yang pertama adalah X… dan yang kedua Kapten Y… sampai sekarang masih hidup dia … dia bilang saya salah tangkap … ini tidak profesional karena karena aku bukan GAM… aku masyarakat biasa.” Para anggota pasukan keamanan secara sewenang-wenang menangkap dan menahan Faisal beberapa kali di antara tahun 2002 dan 2004. Mereka berulang kali memukulinya, dan menyetrumnya. Satu dasawarsa kemudian, Faisal masih terus menderita sakit kepala dan tidak bisa mendengar dengan baik.111
Kebanyakan pelaku kejahatan menurut hukum internasional tidak pernah dituntut di muka pengadilan sipil yang independen di Indonesia. Seperti Faisal, banyak korban dan keluarga mereka mengetahui nama orang-orang yang menjahati mereka. Namun, mereka ternyata tidak memiliki akses ke pengadilan. Bagi mereka yang tidak tahu keadaan sebenarnya mengenai apa yang terjadi kepada sanak keluarga mereka, ada tantangan nyata dalam mengakses informasi dan memverifikasi kesaksian-kesaksian. Banyak dari korban pelanggaran masa lalu juga mengatakan kepada Amnesty International pada Mei 2012 bahwa mereka merasa takut untuk mengungkit masa lalu. Sejumlah perwakilan korban malah sudah menerima ancaman karena pekerjaan mereka mengenai impunitas untuk kejahatan di masa lalu. Iklim penuh ketakutan, trauma, dan pembalasan dendam seperti itu mendukung impunitas yang ada dan mengancam upaya untuk menciptakan perdamaian jangka panjang yang bermakna. Keadilan pidana merupakan bagian pokok dari hak para korban untuk mendapatkan pemulihan hak (remedy) yang efektif. Bilamana kejahatan dilakukan di Aceh atau di tempat lain di mana pun di Indonesia, pihak berwenang nasional harus memastikan bahwa kejahatan itu diusut, dan jika ada bukti memadai yang bisa diterima, orang-orang yang diduga bertanggung jawab secara pidana harus dituntut dalam sidang pengadilan yang memenuhi standar internasional tentang pengadilan yang adil. Jika pihak berwenang nasional tidak mampu menginvestigasi dan menuntut kejahatan menurut hukum internasional, bilamana ada bukti memadai yang bisa diterima, sangatlah penting bahwa sistem peradilan pidana dan perdata nasional semua negara ikut campur tangan untuk mengadili mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab atas kejahatan-kejahatan itu mewakili komunitas internasional dengan memberlakukan yurisdiksi universal.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
32 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
4.1 KERANGKA KERJA HUKUM YANG CACAT UNTUK PENUNTUTAN KEJAHATAN Ada sejumlah mekanisme judisial yang dapat dipergunakan untuk menangani kejahatan biasa dan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan di Aceh oleh para anggota pasukan keamanan dan tenaga pembantu mereka, serta GAM. Namun, banyaknya cacat dan rintangan dalam kerangka kerja hukum serta tidak adanya kemauan politik untuk mengembangkan mekanisme yang efektif dan strategi untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan di Aceh - dan di mana pun di Indonesia - telah memperkokoh impunitas.
A. KUHP DAN KUHAP Kejahatan di bawah hukum internasional – yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa- saat ini masih belum dijabarkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga sulit bagi para korban untuk meminta keadilan di pengadilan pidana biasa di Indonesia. KUHP memuat sejumlah kejahatan biasa tertentu menurut hukum nasional yang memiliki kesamaan dengan sejumlah kejahatan menurut hukum internasional seperti “penganiayaan” (Pasal 351, 353, 354, dan 355), yang mencakup sejumlah unsur dari penyiksaan. Namun, sebagaimana sudah berulang kali ditegaskan oleh Komite Melawan Penyiksaan dalam konteks penyiksaan, kebanyakan kejahatan dalam kategori hukum internasional tidak bisa dicakup dengan mengadili kejahatan itu sebagai kejahatan biasa berdasarkan hukum nasional. Kejahatan menurut hukum internasional harus dituntut dengan sesuai - sebagai contoh, dalam bab-bab KUHP yang berjudul “Kejahatan menurut hukum internasional”, dengan memasukkan prinsip-prinsip hukum pidana internasional dan membuang pembelaan yang tidak cocok, misalnya pembelaan dengan alasan perintah dari atasan - bukan dengan menuntutnya sebagai pelanggaran biasa menurut KUHP yang mungkin tidak dapat mencerminkan keseriusan kejahatan itu atau mungkin tidak konsisten dengan definisi yang tercakup dalam hukum internasional. Amnesty International telah mengemukakan keprihatinannya mengenai definisi yang tidak memadai dari kejahatan biasa, tanpa memandang apakah kejahatan itu masuk atau tidak dalam kategori kejahatan menurut hukum internasional. Definisi perkosaan dalam KUHP misalnya tidaklah memenuhi standar internasional saat ini. Definisi itu membatasi perkosaan sebagai “persetubuhan” terhadap perempuan saja, dan tidak memasukkan perkosaan dalam perkawinan serta mensyaratkan harus adanya penggunaan atau ancaman kekerasan. Dengan demikian, ini juga tidak konsisten dengan pendekatan yang diambil dalam Unsur-Unsur Kejahatan dari Statuta Roma tentang Pengadilan Kriminal Internasional (ICC), 112 yang mencakup rentang perilaku yang lebih luas dalam perkosaan dan bersifat netral dalam hal jenis kelamin. Sesuai dengan hukum internasional, Unsur-Unsur Kejahatan mengambil sudut pendekatan bahwa penggunaan kekerasan bukan merupakan unsur yang diperlukan dalam kejahatan perkosaan. Pengujiannya adalah apakah seseorang setuju dengan bebas untuk melakukan aktivitas seksual atau tidak dan Unsur-Unsur itu menyatakan ada situasi di mana izin tidak akan pernah diberikan (misalnya “keadaan yang memaksa” seperti dalam keadaan konflik bersenjata). Definisi dalam KUHP masih belum memenuhi standar-standar mendasar ini dan harus diamendemen guna mencabut halangan-halangan terhadap keadilan ini. Persyaratan dalam KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) bahwa dua unsur bukti harus diberikan untuk membuktikan kejahatan perkosaan juga menjadi halangan besar bagi para penyintas dan harus diubah.113 Menurut Komnas Perempuan, ketetapan hukum seperti itu secara praktis membuat tidak mungkin bagi korban/penyintas perkosaan dan
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
33
bentuk kekerasan seksual lainnya untuk mendapatkan keadilan melalui pengadilan.114 Persyaratan bahwa ada unsur bukti tambahan selain daripada pernyataan korban untuk memberikan bukti menguatkan dapat menjadi sangat sulit untuk dipenuhi dalam kasus-kasus yang melibatkan kekerasan seksual, yang sebagian besar terjadi dalam keadaan privasi tanpa adanya saksi. Lebih jauh lagi, keharusan adanya bukti tambahan bahwa praktik pemeriksaan medis (visum e repertum) menunjukkan adanya sperma hampir tidak mungkin bisa diberikan oleh para korban perkosaan dan bentuk kekerasan seksual lainnya di area-area khusus konflik (lihatlah Bagian 5.3 Hambatan yang dihadapi para perempuan penyintas kekerasan dalam mengakses reparasi dan bantuan).115 Amnesty International dan organisasi-organisasi masyarakat sipil lokal sudah lama menyerukan direvisinya KUHP dan KUHAP, sebagian memang untuk memastikan agar para korban dapat mengakses keadilan dan reparasi secara efektif untuk kejahatan-kejahatan yang masuk dalam kategori hukum internasional sejalan dengan standar HAM internasional.116 Proses ini bida dilakukan sebagai persiapan Indonesia bagi ratifikasi Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional (yang sudah menjadi komitmen Indonesia akan diratifikasi tahun 2013 dalam Rencana Aksi Nasional HAM).117
B. UNDANG-UNDANG TENTANG PENGADILAN HAM UU tentang Pengadilan HAM (UU No. 26/2000) menetapkan adanya dua kesempatan untuk memastikan keadilan bagi para korban. Pertama-tama, UU itu membentuk Pengadilan HAM di Medan untuk beroperasi dari Pengadilan Negeri Medan,118 yang memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di Aceh sejak undang-undang itu diberlakukan tahun 2000. Dengan kata lain, yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan dalam lima tahun terakhir konflik. Namun, pengadilan itu belum menangani kasus apa pun.119 Kedua, UU tentang Pengadilan HAM mengatur kerangka kerja hukum untuk menangani kejahatan terhadap kemanusiaan yang terjadi sebelum tahun 2000. Pasal 43 menetapkan bahwa “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya undang-undang ini [UU tentang Pengadilan HAM], diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc”. Pengadilan HAM ad hoc “dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”. Sebuah pengadilan HAM ad hoc untuk Aceh dapat memiliki yurisdiksi atas kejahatan yang dilakukan di Aceh sebelum tahun 2000. Namun, pengadilan HAM ad hoc seperti itu masih juga belum dibentuk. Sekalipun jika Pengadilan HAM ad hoc dibentuk atau pengadilan Medan menangani kejahatan yang terjadi di Aceh selama konflik, undang-undang yang membentuk Pengadilan HAM saat ini membatasi yurisdiksi mereka hanya pada “pelanggaran hak asasi manusia yang berat”, yang didefinisikannya sebagai genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 7). Definisi itu tidak memasukkan kejahatan lain menurut hukum internasional tanpa dasar apa pun, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa. Meskipun dalam sejumlah keadaan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa bisa meningkat menjadi genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan-kejahatan ini juga masuk dalam kategori kejahatan menurut hukum internasional dan pengadilan nasional seharusnya memiliki yurisdiksi atas kejahatankejahatan itu.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
34 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Oleh karena kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa tidaklah secara memadai didefinisikan dalam KUHP (lihat Bagian A di atas), yuridiksi pengadilan HAM yang sangat terbatas ini membuat adanya kesenjangan besar dalam perundang-undangan nasional Indonesia serta membatasi kemampuan para korban di Aceh dan di mana pun di Indonesia - untuk mendapatkan keadilan, kebenaran, dan reparasi.120 Terlebih dari itu, definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 9 UU No. 26/2000 lebih lemah daripada definisi dalam hukum internasional.121 Amnesty International sudah lama mengemukakan kekhawatiran mengenai sejumlah kelemahan yang terkandung dalam UU Pengadilan HAM dalam hal prosedur-prosedurnya.122 Komnas HAM merupakan badan satu-satunya yang secara tersurat diberi wewenang untuk memulai dan melaksanakan pengusutan pro-justicia pendahuluan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM berat (Pasal 18 UU Pengadilan HAM). Tidaklah jelas apakah para jaksa penuntut dapat melakukan penyidikan pendahuluan atau tidak. Pembatasan apa pun terhadap kemampuan jaksa penuntut untuk melakukan penyidikan akan bersifat tidak konsisten dengan kemandirian mereka dan bertentangan dengan Pedoman PBB mengenai Peran Jaksa Penuntut,123 dalam artian hal ini membatasi kemampuan mereka untuk memilih kasus untuk diinvestigasi sesuai dengan Pasal 11. Terlebih dari itu, mesikipun UU No. 26/2000 memberi wewenang kepada Komnas HAM untuk memanggil saksi, pengadu, korban, atau mereka yang menjadi sasaran pengaduan (Pasal 9.1), dalam praktiknya Komnas HAM tidak bisa mendatangkan sejumlah pejabat militer dalam tahun-tahun belakangan ini. Pasal 21 dan 23 UU HAM menetapkan penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM berat akan dilakukan oleh Jaksa Agung, yang merupakan pejabat politik, bukan seorang jaksa penuntut profesional independen. Selain itu, UU Pengadilan HAM ini tidak menyebutkan apa pun bila Jaksa Agung memutuskan untuk tidak meneruskan dengan penyidikan. Tidak disebutkan apakah hal ini dapat dipertanyakan secara hukum atau tidak. Keputusan untuk membuka sebuah penyidikan dan melakukan penuntutan, dapat atau dapat dipersepsikan sebagai, bermotivasi politik jika tidak ada pengamanan yang memadai yang diterapkan untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan ini dibuat berdasarkan kriteria yang netral, seperti bukti-bukti yang bisa diterima yang memadai. Pandangan adanya bias politik pun bisa merusak keadilan. Memang benar bahwa, "Daftar kasus yang panjang menunjukkan bahwa bukan hanya penting tapi memang sangat fundamental pentingnya bahwa keadilan bukan saja dilakukan, tapi juga harus nyata dan tidak diragukan lagi terlihat dilakukan”.124 Jaksa Agung tidak boleh memiliki peran dalam menentukan apakah akan menuntut atau tidak menuntut. Keputusan semacam itu harus diambil oleh seorang jaksa penuntut profesional independen dalam semua perkara, sesuai dengan kriteria harus bersikap netral dan tanpa adanya tekanan politik atau tekanan lain apa pun yang tidak pantas. Secara khususnya sangatlah memprihatinkan bahwa satu-satunya mekanisme yang dapat dipakai Komnas HAM untuk menindaklanjuti kegagalan Jaksa Agung dalam memproses penyidikan mengenai laporan pelanggaran HAM yang telah diserahkannya, adalah dengan meminta pernyataan tertulis dari Jaksa Agung menyangkut kemajuan penyidikan dan penuntutan sebuah perkara.125 Dalam praktiknya, banyak kasus yang telah diserahkan Komnas HAM kepada Kantor Jaksa Agung tidak disidik dan tidak dituntut.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
35
C. PERJANJIAN DAMAI HELSINKI TAHUN 2005 DAN UU TENTANG PEMERINTAHAN ACEH Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005 mengandung pesan tentang keadilan yang bermacammacam. Di satu pihak, perjanjian itu mengatur “[sebuah] Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh”, tanpa memberikan pembatasan atau informasi lebih lanjut apa pun.126 Di pihak lain, perjanjian ini memberi mandat kepada pemerintah Indonesia untuk “memberikan amnesti kepada semua orang yang sudah ikut serta dalam aktivitas GAM [...]”, tanpa memberikan kekecualian terhadap mereka yang dituduh melakukan kejahatan menurut hukum internasional.127 Setahun sesudah Perjanjian Damai Helsinki, DPR mengesahkan UU tentang Pemerintahan Aceh yang juga mengatur tentang Pengadilan HAM untuk Aceh. Namun, UU itu menginterpretasikan ketetapan mengenai Pengadilan HAM yang ada dalam Perjanjian Damai secara terbatas dan mengatur bahwa Pengadilan itu hanya akan memiliki wewenang untuk "memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sesudah undang-undang ini [UU Pemerintahan Aceh] diundangkan” (Pasal 228). Meskipun jangkauan kejahatan yang bisa dituntut terlihat lebih luas daripada “pelanggaran HAM yang berat” dari UU No. 26/2000, dengan membatasi yurisdiksinya hanya pada kejahatan yang dilakukan setelah 2006, UU ini menutup kemungkinan pengadilan HAM untuk menuntut kejahatan yang dilakukan selama konflik terjadi. Enam tahun kemudian, Pengadilan HAM di Aceh yang cacat ini masih juga belum dibentuk. Laporan akhir dari Crisis Management Initiative tahun 2012 yang memberikan serangkaian rekomendasi kepada kedua belah pihak perjanjian damai mengenai bagaimana mempertahankan proses perdamaian, menyatakan bahwa diskusi baru-baru ini antara pemerintah Indonesia dan perwakilan dari mantan Gerakan Aceh Merdeka mengindikasikan bahwa para perwakilan Aceh "mengharapkan pengadilan HAM akan dibentuk sesuai dengan ketentuan UU”. Opini yang kabarnya banyak terdengar di antara pihak berwenang yang terkait (Kementerian Hukum dan HAM dan Mahkamah Agung) adalah bahwa UU mengenai Pengadilan HAM perlu direvisi, mengeluarkan Aceh dari yurisdiksi pengadilan Medan, sebelum sebuah undang-undang terpisah mengenai pembentukan Pengadilan HAM di Aceh dapat diberlakukan.128 Walau revisi terhadap UU Pengadilan HAM mungkin memberikan kesempatan untuk menangani sejumlah cacat yang sudah diidentifikasi dalam Bagian B di atas, proses semacam itu juga berisiko menghapus yurisdiksi dari satu-satunya pengadilan HAM yang memiliki yurisdiksi untuk menyidik dan menuntut kejahatan yang dilakukan selama konflik Aceh, sekalipun hanya untuk yang dilakukan sesudah tahun 2000.
D. KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA MILITER Amnesty International menentang penyidikan dan penuntutan terhadap aparat militer dalam perkara kejahatan menurut hukum internasional di pengadilan militer. Pemeriksaan di pengadilan militer seperti itu untuk kejahatan yang sangat serius tidaklah bersifat imparsial dan juga tidak mandiri dan sangat jarang bersifat transparan. Agar investigasi dan sidang pemeriksaannya efektif dan dipandang sebagai kredibel, orang-orang yang menjadi anggota pasukan keamanan yang dituduh melakukan kejahatan menurut hukum internasional harus dihadapkan ke pengadilan sipil dalam pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang keadilan dan tanpa diberlakukannya hukuman mati.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
36 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Pelanggaran pidana oleh personel militer dapat diadili di pengadilan militer menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM), 129 atau jika ada kombinasi pelaku militer dan sipil maka mereka dapat diadili di pengadilan koneksitas militer-sipil.130 Tahun 2004, UU baru tentang Tentara Nasional Indonesia (UU No. 34/2004) menyebutkan bahwa tentara menjadi subjek kewenangan pengadilan sipil untuk pelanggaran atas KUHP. Namun, hal ini masih harus diimplementasikan karena DPR gagal mengamendemen UU tentang Pengadilan Militer (UU No 31/1997) untuk memberikan yurisdiksi atas para anggota militer kepada pengadilan sipil untuk semua kejahatan yang dilakukan kepada warga sipil.131 MOU tahun 2005 merinci bahwa "semua kejahatan sipil yang dilakukan oleh aparat militer di Aceh akan diadili pada pengadilan sipil di Aceh” (Pasal 1.4.5). Namun, menurut UU Pemerintahan Aceh "tindak pidana yang dilakukan oleh prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh diadili sesuai dengan peraturan perundang-undangan” (Pasal 203.1). Fakta bahwa UU No. 31/1997 mengenai Pengadilan Militer masih perlu diamendemen kemungkinan bisa mengalami konflik dengan persyaratan untuk melakukan penuntutan di pengadilan sipil seperti dalam MOU. UU Pemerintahan Aceh juga merinci bahwa "peradilan terhadap prajurit Tentara Nasional Indonesia di Aceh... dilakukan secara terbuka dan dibuka untuk umum kecuali undang-undang menentukan lain” (Pasal 203.2). Namun, dalam praktiknya peradilan di pengadilan militer tidaklah transparan. Dalam Diskusi Kelompok Fokus yang dirancang CMI untuk menangani pengimplementasian MOU, para perwakilan dari mantan Gerakan Aceh Merdeka telah menyatakan kekhawatiran mengenai ketetapan-ketetapan ini. Secara khususnya, para anggota mantan Gerakan Aceh Merdeka mengatakan bahwa UU ini “tidak cukup jelas sehubungan dengan perlakukan terhadap kejahatan sipil yang dilakukan para prajuri`t”, dan “masih memungkinkan bahwa kejahatan semacam itu diadili di pengadilan militer”. Sebagai akibatnya, mereka meminta agar adanya “penyesuaian bagi masing-masing peraturan UU Pemerintahan Aceh”, atau untuk adanya ketetapan yang lebih jelas tentang hal ini untuk dimasukkan ke dalam UU No. 34/2004 tentang TNI dan UU No. 31/1997 tentang Pengadilan Militer jika UU itu direvisi.132
4.2 INVESTIGASI DAN PENUNTUTAN PELANGGARAN MASA LALU YANG TERBATAS DAN TIDAK MEMADAI Sejak tahun 1998 sudah ada berbagai macam investigasi pencari fakta. Namun, sangat sedikit dari investigasi itu yang membawa para pelaku kejahatan di masa lalu ke pengadilan. Peradilan yang sedikit jumlahnya atas pelanggaran pidana yang menjadi pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota pasukan keamanan itu dilakukan oleh pengadilan militer atau pengadilan koneksitas. Pengadilan-pengadilan ini tidak memiliki transparansi dan keputusan mereka tidak diungkapkan kepada publik, sehingga hampir tidak mungkin untuk memverifikasi apakah hukumannya sudah dijalankan. Sampai perjanjian damai dan amnesti sesudahnya, pengadilan atas pelanggaran pidana yang dilakukan oleh anggota GAM ditangani di pengadilan sipil, dan secara nyata bertentangan dengan standar internasional tentang peradilan yang adil.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
37
A. KOMISI INDEPENDEN ACEH TAHUN 1999: LIMA PERKARA DIPILIH UNTUK PENUNTUTAN Tahun 1999, Komisi Independen untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh yang didirikan oleh Presiden Habibie merekomendasikan lima perkara untuk diadili segera.133 Meskipun hal ini merupakan satu langkah maju dalam menyikapi impunitas yang masih terus ada, perkara-perkara yang direkomendasikan untuk dituntut hanya terdiri dari satu bagian kecil dari pelanggaran di masa lalu. Hanya dua insiden yang terjadi selama periode DOM dipilih: perkosaan terhadap seorang perempuan di Aceh Barat, dan kasus penculikan, penyiksaan, serta pembunuhan di luar hukum di Rumoh Geudong, Kabupaten Pidie antara tahun 1997 dan 1998 (lihat “Rumah Penyiksaan”: Rumoh Geudong, h17). Tidak ada kasus yang terjadi selama periode lebih awal DOM yang dipilih. Kasus-kasus sisanya (pembunuhan di luar hukum terhadap tujuh orang di Idi Cut , Kabupaten Aceh Timur Februari 1999 – lihat kotak, h38; pembunuhan Bantaqiah di Aceh Barat, Juli 1999; dan pembunuhan di luar hukum terhadap 39 orang di Simpang KKA, Kabupaten Aceh Utara Mei 1999, lihat kotak, h52) yang direkomendasikan untuk dituntut terjadi selama masa “jeda kemanusiaan” (lihat Bab 2.1 B, h18). Dari periode DOM, tidak ada dari kasus-kasus yang direkomendasikan untuk penuntutan pidana yang dibawa untuk diperiksa di pengadilan sipil.134 Dari kasus yang tersisa, hanya satu dari tiga kasus yang menyebabkan adanya penuntutan pidana, tapi tidak di pengadilan sipil. Pada bulan Juli 1999, dua puluh empat prajurit berpangkat rendah dan satu warga sipil didakwa dan dihukum oleh pengadilan koneksitas dengan hukuman penjara antara delapan setengah sampai 10 tahun karena keterlibatan mereka dalam pembunuhan di luar hukum terhadap seorang ulama, Teungku Bantaqiah, dan lebih dari 50 pengikutnya di Pesantren Teungku Bantaqiah, Desa Blang Meurandeh Beutong, Kabupaten Aceh Barat pada Juli 1999.135 Petugas yang menjadi komandan yang tadinya disebut oleh penuntut sebagai tertuduh utama dalam kasus itu melarikan diri dan tidak ditangkap.136 Tidak diketahui apakah mereka yang didakwa bersalah kemudian menjalani hukuman mereka atau apakah mereka mengajukan banding atas hukuman mereka, Pemeriksaan pidana terhadap kasuskasus sisanya yang diidentifikasi untuk penuntutan oleh komisi independen masih belum dilakukan.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
38 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
KASUS IDI CUT
Penduduk desa berkumpul di Jembatan Arakundo untuk mencari mayat orang-orang yang dibunuh pasukan keamanan Indonesia pada 3 Februari 1999 di Idi Cut, Aceh Timur. © Koalisi NGO HAM Aceh
Setelah tengah malam 3 Februari 1999, para prajurit dari batalyon Linud 100 melakukan tembakan ke arah ribuan orang yang pulang ke rumah mereka setelah mengikuti dakwah di desa Matang Ulim di Idi Cut, Aceh Timur. Tindakan ini tampaknya dilakukan sebagai pembalasan atas penculikan dan pembunuhan sepuluh anggota tentara di Lhok Nibong oleh orang-orang yang tidak teridentifikasi pada 29 Desember 1998. Menurut laporan, massa mula-mula dilempari batu dari arah markas Koramil di Idi Cut. Sekitar pukul 1 pagi, tembakan dilakukan tanpa pandang bulu ke arah massa, kembali dari arah markas militer. Mereka yang terbunuh dan sejumlah yang terluka dimasukkan ke truk dan diangkut oleh militer. Pada pukul 3 dini hari, para saksi mata menyaksikan truk-truk militer mengarah ke Jembatan Arakundo (lihat foto Jembatan Arakundo lama di atas). Di sana dilaporkan pasukan keamanan mengikat mayat-mayat dengan kawat berduri dan memasukkan mereka ke dalam kantong. Lalu batu diikatkan ke kantong-kantong itu yang kemudian dilemparkan ke Sungai Arakundo. Tanggal 4-5 Februari para penduduk desa melakukan pencarian di Sungai Arakundo dan menemukan kantong-kantong berisikan mayat enam orang. Korban ketujuh yang ditembak dan dibunuh ditemukan di kendaraannya. Puluhan warga sipil terluka dalam insiden itu. Lima puluh delapan orang juga ditangkap dan diduga keras disiksa atau diperlakukan dengan buruk selama berada dalam penahanan di kantor polisi sektor kecamatan Aceh Timur. Mereka semua dibebaskan pada 5 Februari.137 Setidaknya 13 orang dilaporkan hilang sesudah insiden tersebut. Kasus Idi Cut merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk diadili dengan segera oleh Komisi Independen untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh Juli 1999. Walaupun Jaksa Agung melakukan investigasi terhadap kasus itu pada November 1999, 138 tidak ada satu pun anggota pasukan keamanan yang sudah dihadapkan ke pengadilan karena kejahatan serius yang terjadi waktu itu.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
39
B. PENYELIDIKAN PENDAHULUAN OLEH KOMNAS HAM: TIDAK ADA TINDAK LANJUT Setelah dikeluarkannya UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, Komnas HAM diberikan kekuasaan untuk melaksanakan penyelidikan pro-justicia atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida.139 Jika Komnas HAM mempertimbangkan bahwa ada bukti-bukti yang cukup bahwa pelanggaran HAM berat memang telah dilakukan, ringkasan temuannya diserahkan kepada Kantor Jaksa Agung untuk disidik.140 Dalam konteks ini, Komisi HAM secara paripurna memutuskan untuk membentuk penyelidikan mengenai dua kasus pelanggaran masa lalu di Aceh: yang berkaitan dengan pembunuhan RATA pada Desember tahun 2000 dan sesudah pembunuhan Bumi Flora pada Agustus 2001. Namun penyelidikan yang sudah direncanakan ini tidak menyebabkan adanya penuntutan pidana. Proses yang macet sesudah penyelidikan pro-justicia sebagian disebabkan karena lemahnya mandat Komnas HAM (Lihat Bagian 4.1.B: UU tentang Pengadilan HAM, h.33), dan kurangnya tindak lanjut atau dukungan dari Kantor Jaksa Agung. Selain itu ada pula kekhawatiran mengenai kurangnya kemandirian Komnas HAM dari kekuasaan politik, yang terus-menerus mempengaruhi kemampuan dan kinerjanya. Tahun 2001, Komnas HAM mengumumkan bahwa mereka akan melakukan penyelidikan pro-justicia mengenai pembunuhan di luar hukum yang terjadi 6 Desember 2000 terhadap tiga pekerja badan kemanusiaan, Rehabilitation Action for Torture Victims in Aceh (RATA). Polisi telah memulai penyelidikan mengenai pembunuhan staf RATA ini dan pada Desember 2000 mereka menahan empat tersangka warga sipil dan empat anggota pasukan keamanan. Akan tetapi, karena kasus ini kelihatannya tidak bergerak maju, Komnas HAM mengumumkan pada 9 Januari 2001 bahwa mereka akan membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Aceh (KPP HAM Aceh). KPP HAM Aceh bermaksud untuk menyelidiki pembunuhan RATA dalam konteks pelanggaran HAM yang lebih luas lagi di Aceh karena komisi itu diberi kekuasaan melakukannya oleh UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM, dengan tujuan untuk membawa kasus itu ke salah satu pengadilan HAM yang permanen. Pada awal Januari 2001, Jaksa Penuntut Provinsi Aceh menolak rencana Komnas HAM141 dan mengumumkan niatnya untuk menuntut para tersangka di sebuah pengadilan koneksitas. Namun rencana-rencana ini tidak pernah terwujud karena pada Maret 2001 keempat tersangka yang berasal dari warga sipil melarikan diri dari tahanan di Medan. Empat anggota pasukan keamanan belakangan juga dibebaskan setelah perintah penahanan mereka berakhir. Satu dasawarsa kemudian Komnas HAM masih juga belum membentuk tim penyelidikan pro-justicia, dan tidak ada perkembangan baru dalam kasus ini.
Pada 8 Maret 2002, Komnas HAM membentuk sebuah tim penyelidik pro-justicia yang dipimpin oleh BN Marbun sesudah adanya pembunuhan Bumi Flora pada Agustus 2001 (untuk perincian mengenai pembantaian Bumi Flora, lihat kotak h44). Pada akhir masa kerja mereka tahun 2007, para anggota Komnas HAM belum menyelesaikan penyelidikan mereka dan merekomendasikan bahwa pekerjaan itu diteruskan oleh para anggota baru. Namun tidak ada laporan mengenai kemajuan penyelidikan ini.142
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
40 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
C. LANGKAH YANG TIDAK MEMADAI UNTUK MENANGANI KEJAHATAN YANG DILAKUKAN PARA ANGGOTA PASUKAN KEAMANAN
PARA LELAKI DITEMBAKI DAN DIBAKAR HIDUP-HIDUP PADA TAHUN 2003 DI ACEH SELATAN
Makam dan tugu peringatan untuk mereka yang ditembak mati atau dibakar sampai mati oleh anggota TNI di Jamboe Keupok, Aceh selatan tanggal 17 Mei 2003. © KontraS Aceh
Pagi hari pada 17 Mei 2003, puluhan prajurit termasuk anggota Kopassus dan unit Raider dengan menaiki tiga truk tiba di desa Jamboe Keupok di kabupaten Aceh Selatan. Mereka menangkapi semua orang di desa dan memisahkan para lelaki dari perempuan dan anak-anak. Militer lalu mulai memukuli para lelaki di hadapan perempuan dan anak-anak. Kaum perempuan dan anak-anak lalu dibawa ke sebuah sekolah di desa dan dikurung di sana. Tentara lalu menembak dan membunuh empat warga desa. Mereka membawa 12 lelaki yang tangannya semua diikat, ke sebuah rumah di dekat situ, di sana mereka dikurung. Para tentara lalu menyiramkan minyak ke sekeliling rumah dan membakarnya. Dari sekolah, perempuan dan anak-anak mendengar para lelaki berteriak dan kemudian disusul bunyi tembakan senjata api. Setelah militer pergi, para perempuan keluar dari gedung sekolah dan menemukan sisa-sisa kedua belas lelaki yang dibakar di dalam rumah itu.143 Amnesty International tidak sadar adanya investigasi apa pun terhadap kasus ini. Amnesty International tidak sadar adanya sidang pengadilan apa pun terhadap ribuan kasus pelanggaran HAM lainnya, termasuk penghilangan paksa, pembunuhan (massal), penyiksaan dan perlakuan buruk lain, perkosaan dan kekerasan seksual, penahanan sewenang-wenang, dan pengusiran paksa, yang dipercayai terjadi antara tahun 1989 dan 1998 ketika provinsi
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
41
Aceh masih menjadi daerah operasi militer. Amnesty International hanya mengetahui dua kasus di Aceh yaitu kasus-kasus yang terjadi selama masa “jeda kemanusiaan” (1999-2002) yang telah diinvestigasi dan berakhir di pengadilan militer, atau pengadilan koneksitas.144 Selama masa operasi militer berikutnya (Mei 2003- Mei 2005), sejumlah kasus pelanggaran HAM tampaknya telah ditangani di pengadilan militer. Pada Mei 2004, Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, mengakui bahwa “pelanggaran” telah dilakukan sejak dimulainya masa darurat pada Maret 2003. Ia menyatakan bahwa 511 pelanggaran telah tercatat sejak Mei 2003. Dari 511 pelanggaran ini, ia menyatakan bahwa para tersangka dalam 429 kasus yang melibatkan para tentara telah dihadapkan ke pengadilan militer dan bahwa 57 tentara sudah didakwa dan dijatuhi hukuman penjara, serta tiga orang lainnya sudah dipecat dari TNI.145 Selama periode ini, satu-satunya pengadilan yang diketahui mengadili kasus kekerasan seksual, memutus bersalah tiga prajurit berpangkat rendah karena memperkosa empat perempuan di Aceh Utara tahun 2003. Mereka diputus bersalah dan dihukum penjara oleh pengadilan militer antara dua setengah sampai tiga setengah tahun dari maksimum 12 tahun penjara yang bisa dijatuhkan untuk kejahatan perkosaan.146 Kasus-kasus yang sudah diinvestigasi oleh militer dan menuntun pada adanya pemeriksaan terhadap para anggota pasukan keamanan di pengadilan militer hanya mewakili sejumlah kecil tuduhan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan selama operasi militer tahun 20032004, dan konflik Aceh secara keseluruhan. Sepanjang pengetahuan Amnesty International tidak seorang pun sudah dimintai pertanggungjawaban untuk sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang masih tersisa, yang dilakukan terhadap para pembela HAM selama konflik bertahun-tahun. Amnesty International juga tidak mengetahui adanya investigasi dan penuntutan pidana apa pun terhadap kasus-kasus penghilangan paksa di masa lalu.
D. PERADILAN YANG TIDAK ADIL TERHADAP PARA ANGGOTA DAN PENDUKUNG GAM SERTA AMNESTI PERJANJIAN DAMAI Ribuan orang yang dituduh sebagai anggota dan pendukung GAM ditangkap, dibawa ke pengadilan sipil, dan dipenjarakan selama periode konflik. Banyak dari penahanan dan persidangan ini dipercayai secara nyata bertentangan dengan standar internasional tentang peradilan yang adil. Ini termasuk kegagalan menunjukkan surat perintah pada saat penangkapan, kegagalan memberi tahu kepada orang yang ditahan tentang alasan penahanan mereka dan memberi tahu mereka dengan segera tentang semua dakwaan terhadap mereka, penggunaan penyiksaan secara ekstensif, dan bentuk perlakuan lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat untuk mendapatkan pengakuan dan menolak akses terhadap penasihat hukum, terutama selama hari-hari pertama penahanan.147 Perjanjian damai tahun 2005 mengatur bahwa Pemerintah Indonesia akan memberikan amnesti atau pengampunan kepada orang-orang yang telah berpartisipasi dalam aktivitas GAM (lihat Bab 2.2). Sebagai akibatnya diperkirakan 2.000 orang yang berada dalam tahanan dibebaskan. Dalam laporannya kepada Aceh Monitoring Mission bulan September 2005,148 Amnesty International menyambut baik pembebasan mereka yang mungkin dipenjarakan karena semata-mata melakukan aktivitas dengan damai di Aceh, namun Amnesty International juga merekomendasikan agar mereka yang mungkin telah melakukan pelanggaran HAM serius tidak diberikan amnesti dan agar semua kasus pelanggaran masa lalu diinvestigasi dan pelakunya dihadapkan ke pengadilan. Akan tetapi pengampunan itu tidak mampu memberikan pengecualian kepada para tersangka pelaku kejahatan menurut
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
42 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
hukum internasional, dan menciptakan halangan bagi adanya investigasi dan penuntutan terhadap kejahatan semacam itu yang dilakukan oleh pasukan GAM. Pengampunan itu melanggar kewajiban Indonesia menurut hukum internasional untuk mengadili kejahatankejahatan tersebut dan juga menyangkal hak korban untuk mendapatkan keadilan.
E. MEKANISME SAKSI DAN KORBAN YANG TERBATAS Perlindungan terhadap para korban dan saksi secara efektif merupakan hal yang penting bagi investigasi dan penuntutan yang efektif terhadap kejahatan menurut hukum internasional. Tahun 2006, DPR mengesahkan Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.13/2006). UU ini membentuk Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang kini sudah beroperasi, untuk memberikan perlindungan dan dukungan kepada para korban dan saksi dalam perkara-perkara pidana.149 Namun, LPSK ini berbasis di Jakarta dan masih belum mendirikan kantor-kantor daerah sehingga membatasi akses ke korban dan saksi di bagian lain di Indonesia, termasuk Aceh.150 Ketetapan dalam UU tentang Perlindungan Saksi dan Korban menetapkan bahwa "Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa” (Pasal 9.1). UU tersebut juga menyatakan mereka dapat memberikan kesaksian secara tertulis atau melalui sarana elektronik (Pasal 9.2-3). Ini merupakan kemajuan positif dari KUHP yang ada sekarang ini yang mengharuskan korban atau saksi datang ke pengadilan untuk memberikan kesaksian. Namun, masih ada halangan dalam praktiknya untuk mengakses perlindungan yang sudah ditingkatkan ini.
4.3 KONSEKUENSI BAGI PERDAMAIAN DI ACEH DAN SUPREMASI HUKUM DI SELURUH INDONESIA Keharusan mengajukan para pelaku kejahatan menurut hukum internasional ke pengadilan masih belum menjadi prioritas pemerintah dalam menangani konflik di Aceh. Masih tidak ada kemauan politik dari semua partai untuk menerapkan mekanisme yang diperlukan untuk memastikan keadilan bagi para korban. Tidak ada kasus baru yang berkaitan dengan kejahatan menurut hukum internasional yang terjadi selama konflik Aceh yang telah dituntut sejak perjanjian damai 2005. Dalam banyak kasus, Komnas HAM dan Jaksa Agung tidak mampu menindaklanjuti investigasi dan rekomendasi-rekomendasi penyelidikan. Situasi yang hampir secara penuh mendukung impunitas ini membangkitkan rasa tidak percaya orang Aceh secara umum terhadap pengelolaan keadilan. Situasi yang mirip juga terjadi di banyak bagian lain Indonesia di mana pelanggaran HAM serius telah terjadi. Sejauh ini, pemerintah Indonesia belum mampu menangani pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terjadi pada kejadian-kejadian tahun 1965-66, kerusuhan Mei 1998, dan konflik di Aceh , Papua dan Timor-Leste (dulu disebut Timor Timur). Tidak adanya kemajuan sejak lama dalam memberikan keadilan bagi pelanggaran HAM dan kegagalan untuk melakukan reformasi yang menyeluruh terhadap pasukan keamanan hanya mengabadikan budaya impunitas dan merusak kemajuan dalam membentuk supremasi hukum di seluruh Indonesia. Mereka yang diduga melakukan kejahatan menurut hukum internasional tetap berada dalam posisi yang berkuasa di mana mereka dapat mengulangi lagi pelanggaran itu, dan sejumlah di antaranya malah kini berada di puncak sistem politik. Sementara itu,
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
43
Amnesty International masih terus mendokumentasikan pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota pasukan keamanan.151 Catatan yang buruk sejauh ini merusak rasa percaya masyarakat terhadap lembaga-lembaga publik yang memegang peran penting dalam proses transisi demokratis yang dimulai tahun 1998 dan juga merusak prospek untuk mencapai perbaikan HAM yang sejati dan berkelanjutan untuk semua orang di Indonesia. Insiden kekerasan oleh massa dan kelompok yang main hakim sendiri yang masih terus berlanjut sering kali dibenarkan sebagai upaya untuk mencari keadilan dalam keadaan tidak adanya, atau dipandang tidak ada, atau penegakan hukum yang efektif, dan supremasi hukum.152 Selama kunjungan mereka ke Aceh, delegasi Amnesty International diberi tahu mengenai sentimen membalas dendam yang dimiliki oleh bagian-bagian tertentu dalam masyarakat di antara para pemuda yang menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi,153 kemiskinan, dan peluang pendidikan yang terbatas. Sejumlah orang mengungkapkan kemungkinan adanya konflik “horizontal” (kekerasan sosial atau masyarakat) di bagian-bagian tertentu di kawasan itu, yang mungkin menjadi semakin membara sebagian karena program redistribusi yang tidak merata terhadap masyarakat (lihat Bab 5.2: Batasan program untuk para “korban konflik”, h.47) dan/atau luka lama antara para anggota kelompok milisi pro-Indonesia selama konflik, seperti PETA (Pembela Tanah Air) dan Komite Peralihan Aceh (KPA) yang merupakan organisasi para mantan kombatan GAM. Para pemimpin yang diasosiasikan dengan PETA, yang berasal dari kabupaten dataran tinggi di Aceh (Aceh Tengah, Aceh Tenggara, dan Bener Meriah) telah mengadvokasi agar provinsi Aceh dibagi dua karena mereka sakit hati tidak adanya pembangunan di wilayah mereka dan juga alokasi pemberian tunjangan kepada para mantan kombatan GAM, yang tidak mereka dapatkan.154 Kematian beberapa orang pada saat pemilu daerah Aceh tahun 2012 yang dipercayai berkaitan dengan persaingan antara faksi-faksi Gerakan Aceh Merdeka yang berlawanan,155 juga menunjukkan bahwa sejumlah taktik kekerasan lama yang dipakai selama konflik Aceh masih tetap berlaku dengan mengorbankan supremasi hukum dan dengan segera muncul lagi ke permukaan.156 Juga ada keprihatinan di antara para warga tentang masih adanya senjata-senjata ilegal di Aceh.157 Selama kunjungan Amnesty International ke Aceh Mei 2012, sejumlah penyintas dan perwakilan mereka menekankan bahwa pada akhirnya keadilan harus dilakukan, dan dipandang dilakukan untuk mereka yang menderita pelanggaran. Sejumlah dari mereka juga menyatakan kekhawatiran kemungkinan konflik Aceh mulai lagi.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
44 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
5. REPARASI: KERANGKA KERJA YANG SETENGAH HATI DAN TIDAK MEMADAI PEMBANTAIAN BUMI FLORA Pada 9 Agustus 2001, para lelaki bersenjata menembaki dan membunuh 31 orang di perkebunan karet dan sawit PT Bumi Flora di Aceh Timur. Puluhan lelaki bersenjata yang mengenakan seragam loreng militer dan helm bundar tiba di salah satu area perumahan di perkebunan itu pada pagi hari dan mengumpulkan semua lelaki di sana. Para lelaki warga sipil diminta membuka baju mereka dan diperintah berjongkok dengan tangan di atas paha mereka. Kelompok para lelaki bersenjata itu lalu melakukan tembakan ke arah warga sipil dan membunuh 31 lelaki warga sipil dan melukai paling tidak tujuh orang. Dikabarkan bahwa investigasi dilakukan oleh pihak berwenang di kabupaten dan polisi setelah pembantaian tersebut. Komnas HAM juga melakukan penyelidikan terhadap pembunuhan pada 23-24 Agustus 2001 dan merekomendasikan agar penyelidikan awal pro-justicia resmi dibentuk untuk menginvestigasi tuduhan pelanggaran HAM berat. Pada Mei 2002, Komnas HAM membentuk sebuah tim ad hoc untuk melaksanakan penyelidikan pro-justicia selama tiga bulan tapi menghentikan aktivitasnya hanya dengan memberikan rekomendasi untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.158 Dari investigasi-investigasi itu tidak ada yang berujung pada suatu penuntutan pidana apa pun dan tidak ada seorang pun yang sudah dimintai pertanggungjawaban. Roni, seorang penyadap getah karet, adalah salah satu dari 31 orang yang ditembak mati di perkebunan karet dan sawit PT Bumi Flora. Pada Mei 2012, Amnesty International bertemu dengan istrinya Ennie dan putri mereka yang berusia 22 bulan pada saat insiden terjadi.159 Sepuluh tahun kemudian, baik istri maupun putrinya masih mengalami kesulitan ekonomi dan trauma psikologis. Meskipun Ennie menerima sejumlah uang dari Badan Reintegrasi Aceh (BRA), sebuah program kompensasi dan reintegrasi yang disponsori pemerintah yang didirikan setelah perjanjian damai, Ennie masih tetap merasa tidak puas. Malah ia merasa sedih harus menerima uang itu, tetapi ia tidak punya pilihan lain karena ia tidak punya apaapa. Putri Ennie mendapat beasiswa untuk bersekolah. Namun, ia tidak pernah menerima konseling dalam bentuk apa pun. Ibunya menjelaskan bahwa putrinya sangat sering sakit kepala dan menangis terus. Tapi ia tidak mempunyai uang untuk membawa putrinya ke rumah sakit dan untuk membayar pertolongan khusus seperti konseling. Ennie menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan apa pun [untuk keadilan prosedural]. Baginya, "terserah kepada [pemerintah] apakah [pelaku] diadili atau tidak”. Cerita ini melambangkan jenis situasi yang dihadapi para korban/penyintas konflik Aceh sekarang ini. Meskipun sejumlah langkah untuk memberikan kompensasi atas penderitaan mereka, atau untuk membantu anak-anak yang orang tuanya dibunuh pada saat konflik dilakukan pada saat dan segera sesudah konflik Aceh,160 kebanyakan penyintas tidak mempercayai sistem peradilan sebagai jalan untuk mendapatkan reparasi, dan masih belum ada program reparasi yang komprehensif yang secara khusus ditujukan kepada para korban
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
45
kejahatan menurut hukum internasional di Aceh dan keluarga mereka. Pemerintah Indonesia tampaknya menyukai pemberian reparasi secara gabungan,161 dan berbagai langkah yang telah diambil kebanyakan merupakan langkah keuangan, dengan menargetkan penduduk Aceh pada umumnya, bukannya para korban pelanggaran HAM secara perorangan. Kelompok-kelompok yang tersisihkan seperti para korban/penyintas kekerasan seksual tidak bisa mengakses program-program tersebut. Pada saat penulisan, inisiatif untuk mengenang dan memberikan penghormatan kepada para korban sebagian besar dilakukan masyarakat dengan sedikit saja keterlibatan pihak berwenang pemerintah.
5.1 HAMBATAN TERHADAP REPARASI DI PENGADILAN INDONESIA DAN LUAR NEGERI Undang-undang dan peraturan di Indonesia yang berkaitan dengan hak reparasi untuk para korban pelanggaran HAM masih tidak memadai dan tidak konsisten dengan hukum dan standar internasional. Para korban menghadapi rintangan serius dalam upaya mereka mendapatkan hak reparasi di pengadilan nasional baik dalam hal undang-undang maupun praktiknya. Dalam KUHP tidak ada ketetapan yang mengizinkan korban dan sanak keluarga mereka untuk mendapatkan reparasi bagi sejumlah kejahatan menurut hukum internasional yang terjadi selama konflik Aceh. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bagi kompensasi untuk “tindakan ilegal yang menyebabkan kerugian bagi pihak lainnya” (Pasal 1365), hanya ada sedikit preseden yang memenangkan klaim.162 UU No. 26/2000 tentang pengadilan HAM mengatur bahwa "[s]etiap korban dalam pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan/atau ahli warisnya dapat memperoleh kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi” (Pasal 35.1) dan Pengadilan HAM mungkin memberikan hal-hal itu dalam keputusan mereka. Namun, kebanyakan korban pelanggaran HAM di Indonesia tidak dapat mengakses pengadilan HAM ini karena yurisdiksi mereka dibatasi hanya pada kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida. Bahkan jika sekalipun pelanggaran itu memenuhi ambang batas tersebut, sampai hari ini tidak ada Pengadilan HAM (permanen ataupun ad hoc) yang telah menangani kejahatan yang dilakukan selama konflik Aceh (Lihat Bab 4.2: Investigasi dan penuntutan pelanggaran masa lalu yang terbatas dan tidak memadai, h.36).163 Selain itu, Peraturan Pemerintah No. 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM yang berat yang mengimplementasikan Pasal 35.1 dan 35.2 UU tentang Pengadilan HAM menyatakan bahwa para korban harus menunggu keputusan dikukuhkan dahulu di semua pengadilan banding yang ada, sebelum mereka berhak mendapat langkah-langkah reparasi.164 Akan tetapi, pengalaman masa lalu tentang keputusan pengadilan HAM di Indonesia telah mengecewakan para korban dan sanak keluarga mereka karena saat ini semua pemeriksaan di pengadilan HAM di Indonesia menghasilkan keputusan bersalah yang kemudian dibatalkan setelah pengajuan banding.165 UU tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan bahwa para korban pelanggaran HAM berat berhak untuk mendapatkan layanan medis, rehabilitasi psiko-sosial, untuk meminta kompensasi atau restitusi,166 dan perlindungan serta bantuan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.167 Meskipun sejumlah langkah ini dapat diberikan sebelum
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
46 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
putusan akhir bersalah atau tidak bersalah ditetapkan,168 dalam praktiknya tetaplah sangat sulit untuk diakses (lihat Bagian 4.2E mengenai mekanisme saksi dan korban yang terbatas). Selanjutnya, menurut Peraturan Pemerintah No. 44/2008 mengenai Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban, seorang korban pelanggaran HAM berat hanya dapat mengajukan permintaan kompensasi bila ada penyelidikan pro-justicia Komnas HAM yang tengah berlangsung mengenai pelanggaran HAM berat atau sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan dakwaan. Agar bisa melakukannya, korban juga memerlukan surat rujukan dari Komnas HAM yang menunjukkan bahwa korban memang telah mengalami pelanggaran HAM berat. Para korban di Aceh saat ini tidak dapat mengakses tindakantindakan kompensasi ini karena tidak ada penyelidikan Komnas HAM, kecuali kasus Bumi Flora (lihat Bagian 4.2 B Penyelidikan pendahuluan oleh Komnas HAM: Tidak ada tindak lanjut) yang telah berujung pada penyelidikan pro-justicia aktual atas pelanggaran HAM serius di Aceh.169 Hambatan dalam upaya mendapatkan reparasi dari pengadilan nasional di Indonesia menyebabkan sejumlah korban berusaha mendapatkan pemulihan hak melalui gugatan perdata di luar negeri. Namun, menggugat kasus semacam itu bisa sangat rumit dan ada banyak rintangan dalam mengakses pengadilan asing serta menegakkan perintah pemberian reparasi.
KASUS EXXON MOBIL Tahun 2001 dan 2007, sekelompok warga desa dari Aceh mengajukan gugatan pidana terhadap Exxon Mobil Corporation, sebuah perusahaan Amerika Serikat yang mengoperasikan penggalian besar gas alam dan fasilitas pemerosesannya di provinsi Aceh tahun 2000-2001. Para warga desa menyatakan Exxon Mobil harus bertanggung jawab karena keterlibatannya dalam pelanggaran HAM yang dilakukan para tentara Indonesia yang diberi mandat untuk melindungi properti dan operasi perusahaan itu. Pada 8 Juli 2011, dalam keputusan 2-1, Pengadilan Banding di Distrik Columbia, AS (District of Columbia US Circuit Court of Appeals) menyatakan bahwa Exxon Mobil tidak memiliki kekebalan korporasi dari tuntutan yang diajukan 15 penduduk desa Indonesia di bawah US Alien Tort Statute (ATS), dan bisa dihadapkan pada tuntutan-tuntutan yang berkaitan dengan pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penahanan sewenang-wenang yang lama oleh tentara Indonesia di provinsi Aceh berdasarkan ATS. Keputusan ini disambut baik para korban dan ornop-ornop (NGO), karena hal ini membuka jalan bagi para korban agar tuduhan mereka bisa diperiksa dengan benar di sebuah pengadilan. Namun, dalam keputusan lain oleh Pengadilan Banding AS (US Second Circuit Court of Appeals) di bulan September 2010 dalam kasus Klobel v. Royal Dutch Petroleum, Pengadilan memutuskan bahwa hukum kebiasaan HAM internasional tidak mengakui adanya kewajiban perusahaan dan sebagai konsekuensinya perusahaan-perusahaan multinasional tidak bisa dimintai pertanggungjawaban berdasarkan ATS. Pertanyaan ini, dan juga pertanyaan apakah ATS bisa berlaku di luar AS, kini sedang dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung AS.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
47
5.2 BATASAN PROGRAM UNTUK PARA “KORBAN KONFLIK” “Yang kita harapkan itu bukan BRA [Badan Reintegrasi Aceh]. Yang kami harapkan KKR [Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi] dulu mengungkapkan kebenaran sehingga jelas apa yang dibayar... BRA semacam gantirugi terhadap korban konflik... Malah BRA sudah menambahkan konflik baru... dulu korban lebih bersatu, sekarang ada perpecahan di antara korban... program [kompensasi] ini memecah belahkan persatuan korban... ada masyarakat korban mendapatkan bantuan tapi ada korban tidak dapat apa-apa... saya sendiri tidak mendapat apa-apa.” Seorang perwakilan dari kelompok korban Aceh yang ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang tahun 2003 oleh Kostrad dan dipukuli.170
Program pemberian bantuan yang paling komprehensif sejauh ini yang diimplementasikan setelah adanya Perjanjian Damai Helsinki tahun 2005. Sebagai bagian dari program bantuan BRA, beberapa bentuk bantuan diberikan kepada sekitar 62.000 warga sipil yang mengalami penderitaan selama konflik Aceh, 171 dan juga kepada lebih dari 8.000 mantan pendukung GAM atau kombatan dan kepada lebih dari 6.000 mantan milisia anti-separatis/proIndonesia.172 Program bantuan ini menargetkan mereka yang kehilangan anggota keluarga mereka; anak-anak; orang-orang yang menjadi cacat akibat konflik; dan mereka yang kehilangan rumah mereka.173 Bantuan yang diberikan berbeda-beda, termasuk bantuan dalam pemberdayaan ekonomi, kompensasi finansial (diyat);174 pembangunan rumah; bantuan medis; beasiswa untuk anak-anak yang menjadi yatim piatu selama konflik; dan bantuan lainnya (sayam).175 Selama kunjungan mereka ke Aceh pada Mei 2012, delegasi Amnesty International diberi tahu mengenai kekurangan-kekurangan dari program-program yang disponsori pemerintah ini.
A. TIDAK ADANYA TRANSPARANSI DAN KONSISTENSI
Kantor Badan Reintegrasi Aceh (BRA) di Banda Aceh yang mengimplementasikan program reintegrasi dan bantuan ekstensif setelah adanya perjanjian damai tahun 2005. © Amnesty International
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
48 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Amnesty International mengakui bahwa pemerintah Indonesia telah mengambil langkahlangkah untuk memberikan bantuan keuangan dan bantuan penting lainnya kepada para korban konflik Aceh. Akan tetapi, dalam wawancara di bulan Mei 2012, para pekerja ornopornop, perwakilan para korban, dan yang lainnya mengungkapkan keprihatinan tentang proses yang tidak jelas dan sulit bagi para “korban konflik” untuk mengakses skema bantuan tersebut. Definisi “korban konflik” itu sendiri menjadi masalah karena tidak secara baik dijabarkan. Selain itu keharusan untuk mengakses skema BRA merupakan hal yang sulit untuk diterapkan dalam praktiknya karena sejumlah alasan. Pertama, sejumlah korban/penyintas menjelaskan bahwa mereka tidak merasa cukup berani untuk melapor kepada pihak berwenang daerah tentang apa yang terjadi kepada mereka dan mengklaim akses ke skema itu. Yang lainnya mengatakan bahwa sangat sulit untuk membuktikan tentang apa yang telah terjadi kepada mereka. Khususnya, sulit bagi para korban penyiksaan (termasuk korban/penyintas kekerasan seksual, lihat Bab 5.3 di bawah ini) untuk diakui sebagai korban jika luka-luka mereka tidak terlihat secara fisik. Yang terakhir, sejumlah korban menekankan sulitnya bagi mereka yang tidak tinggal di dekat pihak berwenang tertentu dan bagi mereka yang hidup di komunitas yang terasing untuk mengakses skema tersebut. Lebih jauh lagi, para korban, organisasi-organisasi berbasis masyarakat dan ornop-ornop lokal menegaskan bahwa tidak selalu jelas siapa mendapat apa dan mengapa dari program bantuan BRA itu. Banyak yang mengemukakan fakta bahwa sejumlah orang mendapat rumah baru, tapi yang lainnya tidak,176 atau mempertanyakan mengapa sejumlah orang mendapat bantuan keuangan selama satu tahun, dan yang lainnya dua atau tiga tahun. Sejumlah perwakilan lokal untuk para korban menyatakan keprihatinan mereka bahwa sejumlah korban belum menerima bantuan apa pun dari pemerintah.177 Dalam sebuah kasus, seorang anggota keluarga mengatakan kepada Amnesty International bahwa ia masih belum menerima uang ganti rugi karena kehilangan ayahnya di tahun 1990 padahal saudara kandungnya sudah bisa mengakses skema bantuan itu. Dalam kasus lainnya, seorang istri yang kehilangan suaminya di tahun 1999, dan yang sudah dijanjikan akan mendapat bantuan keuangan, masih belum juga mendapat bantuan apa pun.178 Menurut sejumlah orang yang diwawancarai, tidak adanya konsistensi dalam memberikan bantuan kepada rakyat di Aceh menyusul perjanjian damai 2005 telah menyulut konflik di antara mereka yang dapat mengakses skema BRA serta mendapatkan manfaatnya dan mereka yang tidak bisa.179 Perasaan adanya ketidakadilan yang dirasakan sejumlah korban konflik Aceh dan sanak keluarga mereka, yang mungkin tidak mendapatkan bantuan sebanyak yang lainnya, kelihatannya juga diperburuk oleh kenyataan bahwa sejumlah orang di Aceh memiliki akses ke skema kompensasi dari Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) karena mereka juga terkena dampak gempa bumi dan tsunami pada Desember 2004. Dana yang dialokasikan untuk pembangunan kembali untuk para korban tsunami jauh lebih besar daripada dana yang dialokasikan untuk bantuan pasca-konflik, yang menyebabkan adanya kualitas bantuan yang lebih buruk di daerah-daerah yang terkena konflik, misalnya dalam kaitannya dengan pembangunan kembali rumah-rumah. Ketidaksetaraan ini mengundang adanya ketegangan besar di dalam dan di antara komunitas.180
B. BANTUAN, BUKANNYA HAK REPARASI Sejumlah korban yang menerima bantuan BRA mengeluh bahwa program itu tidak secara langsung menghubungkan bantuan yang diberikan dengan pengakuan adanya pelanggaran
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
49
HAM yang telah mereka derita. Sejumlah orang yang mengakses program bantuan menjelaskan bahwa mereka tidak puas menerima uang ganti rugi itu, tapi tidak punya pilihan lain kecuali menerimanya karena terbatasnya keadaan keuangan mereka (lihat kasus Ennie, di atas). Beberapa korban juga menjelaskan mereka merasa tidak nyaman menandatangani surat-surat untuk mendapatkan bantuan karena mereka tidak tahu pasti apa yang mereka tanda tangani.181 Banyak yang mengatakan kepada Amnesty International bahwa pemerintah pusat harus meminta maaf kepada rakyat serta mengakui apa yang sudah terjadi. Mereka juga menekankan bahwa khusus untuk perempuan sama sekali tidak ada pengakuan apa pun tentang kekerasan yang mereka derita selama berlangsungnya konflik Aceh. Seperti dijelaskan sebelumnya (lihat Bab 2.1 B: Jeda Kemanusiaan, h.18), sejumlah pejabat senior militer dan pemerintah meminta maaf pada tahun 1990-1999 atas perbuatan salah yang terjadi selama bertahun-tahun dilakukannya operasi militer (dalam periode DOM) di tahun 1990-an. Namun, masih belum ada permintaan maaf secara formal oleh pemerintah atau DPR atas pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik.
5.3 HAMBATAN YANG DIHADAPI PEREMPUAN PENYINTAS TINDAK KEKERASAN DALAM MENDAPATKAN REPARASI DAN BANTUAN “Saya pikir sebagian dari mereka [korban kekerasan seksual] yang sampai sekarang masih sakit. Ada organ reproduksi itu bermasalah sampai sekarang, luka tidak sembuh dan segala macam masalah lainnya ... tentunya itu harus dipulihkan... mereka tidak bisa disuruh mengakses program JKA [asuransi kesehatan]. Harus ada jalur khusus untuk mempermudah mereka mendapatkan layanan kesehatan dan itu tanpa harus diketahui oleh publik apa yang dialami. Itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah. Mereka juga rata-rata miskin. Bagaimana mereka bisa lanjutkan kehidupan mereka? Mereka juga perlu dilindungi karena mereka masih mendapat stigma dari masyarakat sampai sekarang ini.” Seorang pegiat hak perempuan di Aceh, 8 Mei 2012.
Perkosaan dan kekerasan seksual lain yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia selama konflik di Aceh telah didokumentasikan dengan baik oleh Amnesty International dan organisasi lainnya.182 Kejahatan kekerasan seksual termasuk perkosaan dan bentuk lain kekerasan seksual, dimasukkan sebagai penyiksaan. Sebagai contoh, pasukan keamanan Indonesia menjadikan sejumlah perempuan sanak-keluarga orang-orang yang dicurigai sebagai “pemberontak” sebagai sasaran, dengan menahan mereka secara sewenang-wenang dan menjadikan mereka subjek perkosaan dan penyiksaan dalam bentuk lain. Akan tetapi, oleh karena adanya budaya bisu yang menutupi kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender, yang berakar dari penstereotipan jender, perasaan malu, rasa takut akan stigma sosial, status rendah perempuan dalam masyarakat, serta juga sensitivitas dalam membicarakan pelanggaran-pelanggaran ini, berarti banyak kasus tetap tidak dilaporkan.183 Riset yang dilakukan tentang perkosaan dan bentuk kejahatan kekerasan seksual lain yang dilakukan selama konflik berlangsung cenderung berfokus pada perempuan dan anak perempuan, dan tidak jelas sampai sejauh mana lelaki dan anak lelaki juga mengalami kejahatan semacam itu.184 Perempuan dan anak perempuan juga menjadi subjek bermacam-
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
50 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
macam pelanggaran HAM selama konflik, termasuk pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan perlakuan buruk lain serta penahanan sewenang-wenang.185 Mereka bukan saja menderita sebagai korban pelanggaran HAM secara langsung, tapi juga secara tidak langsung sebagai anggota keluarga dari orang-orang yang dibunuh dan dihilangkan secara paksa. Banyak dari mereka terpaksa harus meneruskan peran sebagai pencari nafkah dan pengurus utama keluarga, dan hal ini memiliki konsekuensi yang berlangsung lama bagi para perempuan dan keluarga mereka, misalnya dalam membatasi dan menghalangi mereka untuk mendapatkan pendidikan dan perawatan kesehatan. Skema BRA bersifat terbatas dan tidak secara khusus memasukkan perempuan penyintas kekerasan seksual.186 Namun, sejumlah ornop telah berupaya memperluas kategori “korban cacat akibat konflik” dengan memasukkan para korban/penyintas kekerasan seksual. Walaupun adanya upaya ini, banyak penyintas kekerasan seksual tidak bisa menerima bantuan keuangan atau medis apa pun yang menjadi bagian dari skema tersebut.187 Salah satu tantangan yang mereka hadapi adalah membuktikan bahwa tindak kekerasan seksual dilakukan kepada mereka selama konflik. Seorang pakar kekerasan terhadap perempuan di Aceh mengatakan kepada Amnesty International bahwa tingkat pembuktian yang diminta para petugas lokal untuk memungkinkan para penyintas kekerasan seksual mengakses skema bantuan sama dengan yang diminta dalam KUHAP. Seperti dijelaskan dalam Bab 4.1.C, berdasarkan KUHAP ada dua unsur pembuktian yang diminta yang mungkin dalam praktiknya akan sangat sulit untuk didapatkan untuk kejahatan jenis ini. Meskipun sudah ada skema asuransi kesehatan gratis di Aceh sejak Juni 2000,188para perempuan penyintas kekerasan seksual masih terus menghadapi sejumlah hambatan untuk mengakses jenis layanan yang mereka butuhkan. Oleh karena tidak ada program yang menargetkan kebutuhan khusus mereka, mereka harus pertama-tama pergi ke puskesmas dulu untuk meminta bantuan, sebelum kemudian dirujuk ke rumah sakit. Ornop-ornop lokal memberi tahu Amnesty International bahwa, sebagai akibatnya, bisa diperlukan berbulanbulan bagi para korban untuk mendapatkan perawatan medis yang sangat diperlukan, atau bahkan bersifat mendesak. Selain itu, hal ini membuat mereka harus menceritakan kisah mereka berkali-kali yang dapat mempertajam rasa malu mereka atau membuat mereka mendapat stigma di wilayah di mana perempuan dan anak perempuan mendapat tekanan untuk berperilaku yang sesuai dengan stereotipe sempit terhadap seksualitas perempuan.189 Sebuah laporan Amnesty International tahun 2010, yang memasukkan pula riset di Aceh, menemukan bahwa perempuan dan anak perempuan menghadapi berbagai macam hambatan dalam hukum, kebijakan dan praktik dalam mengakses layanan kesehatan, dan khususnya, informasi serta layanan kesehatan reproduksi.190 Hambatan ini dapat berupa sikap diskriminatif terhadap perempuan, dan khususnya seksualitas perempuan; keyakinan budaya masyarakat; dan sikap diskriminatif dalam profesi medis. Perempuan dan anak perempuan dari kelompok masyarakat terpencil, dan miskin serta tersingkirkan sering kali dibiarkan pada posisi yang lebih merugikan lagi. Riset Amnesty International tahun 2010 191 dan wawancara baru-baru ini dengan perwakilan ornop-ornop telah mengkonfirmasikan bahwa memang sangat sulit bagi para penyintas kekerasan seksual untuk membicarakan situasi mereka dan untuk mengakses informasi serta layanan kesehatan reproduksi di Aceh. Untuk perempuan yang sudah menikah, meminta informasi dan layanan semacam itu dapat menciptakan masalah dengan suami mereka,
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
51
khususnya jika mereka memang sudah hidup dalam situasi adanya kekerasan dalam rumah tangga (misalnya mereka bisa dituduh melakukan perselingkuhan),192 sedangkan untuk perempuan yang tidak menikah, mereka bisa ditolak dan dicap oleh masyarakat setempat sebagai akibat membuat malu kampung.193 Mereka yang berani membicarakan tentang pelanggaran semacam itu dipandang sebagai membuat malu keluarga dan desa mereka.194 Dengan penerapan hukum Syariah di Aceh, situasi ini makin terasa dengan ditingkatkannya pembatasan dalam hukum dan praktik terhadap kebebasan perempuan.195 Dalam Kesimpulan Pengamatan tahun 2012-nya, Komite Penghapusan Diskriminasi Terhadap Perempuan (Komite CEDAW) menyatakan “keprihatinan yang mendalam” bahwa kekerasan seksual, khususnya pemerkosaan, telah menjadi “bentuk kekerasan terhadap perempuan yang berulang kali muncul dalam konflik”, termasuk selama konflik Aceh berlangsung. Komite itu merekomendasikan agar pemerintah Indonesia menginvestigasi, menuntut dan menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan, termasuk tindak kekerasan seksual, dan memberikan reparasi penuh dan efektif kepada para penyintas. komite itu merekomendasikan disertakannya juga langkah-langkah komprehensif untuk menyediakan dukungan medis dan psikologis kepada para perempuan penyintas tindak kekerasan dan mendirikan pusat-pusat konseling untuk mereka.196 Dalam tanggapannya, pemerintah Indonesia mengatakan reparasi adalah: "urusan yang sangat rumit karena pengidentifikasian para korban sulit dilakukan setelah begitu lama... pengakuan secara kolektif, permintaan maaf dan peringatan, sejalan dengan tindakan-tindakan pendidikan, juga menanggapi reparasi ini... Akan tetapi, karena begitu rumit masalah ini berarti Pemerintah harus bersikap realistis”.197
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
52 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
TRAGEDI SIMPANG KKA
Monumen yang dibangun di lokasi Simpang KKA di Aceh Utara untuk memperingati orang-orang yang dibunuh ketika tentara melancarkan tembakan 3 Mei 1999. © Amnesty International
Pada 3 Mei 1999, puluhan orang dibunuh ketika para petugas militer melepaskan tembakan di simpang jalan di dekat pabrik pulp dan kertas Kertas Kraft Aceh (KKA), yang dikenal banyak orang sebagai Simpang KKA, di desa Cot Morong di kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Seorang tentara dari Den Rudal 001/Lilawangsa dilaporkan menghilang beberapa hari sebelumnya di dekat desa itu dan para tentara dari resimen itu menggeledah rumah-rumah di desa dan juga mengintimidasi warga desa. Pada pagi hari 3 Mei, empat truk militer memasuki desa sehingga membuat takut para warga di sana. Camat daerah itu mencoba melakukan perundingan dengan militer agar mereka meninggalkan area tersebut pada saat orang-orang mulai berkumpul. Sekitar pukul 12.30 siang, dilaporkan militer melancarkan tembakan saat ribuan orang yang tidak bersenjata mulai melarikan diri dari daerah itu. Dua orang wartawan yang kebetulan berada di lokasi itu memfilmkan insiden tersebut dan film itu kini sudah tersebar luas.198 Menurut Komunitas Korban Pelanggaran HAM Aceh Utara (K2HAU), 21 orang terbunuh sementara 156 orang lainnya terluka dalam serangan tersebut. Banyak korban dilaporkan ditembak di punggung atau bagian samping tubuh.199 Insiden ini merupakan salah satu dari lima kasus yang direkomendasikan untuk dituntut oleh Komisi Independen tahun 1999 untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh. Pada November 1999 Jaksa Agung membentuk tim pengusutan atas kasus ini.200 Walaupun ada langkah-langkah ini tidak ada seorang pun yang didakwa sehubungan dengan kejahatan tersebut.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
53
5.4 PRAKARSA YANG BERMULA DARI MASYARAKAT DENGAN TUJUAN MENGAKUI DAN MENGENANG PARA KORBAN Ada sejumlah prakarsa yang disponsori oleh masyarakat sendiri untuk menangani penderitaan di masa lalu. Meskipun peristiwa dan struktur ini memang merupakan tindakan yang positif bagi kelompok para korban dan ornop-ornop untuk mengenang masa lalu, sangat terbatasnya dukungan dari pihak berwenang sejauh ini terhadap prakarsa-prakarsa tersebut menimbulkan kekecewaan. Hal ini sangat berbeda dengan dukungan yang diberikan untuk mengenang tsunami dan gempa bumi tahun 2004,201 dan dalam sejumlah kasus menandai adanya penentangan, termasuk dari militer.202 Kelompok para korban telah mengatur upacara peringatan tahunan untuk menandai tanggaltanggal ketika kejahatan menurut hukum internasional dan pelanggaran HAM lainnya terjadi selama konflik. Tugu-tugu peringatan juga didirikan di sejumlah lokasi untuk mengenang kejadian di masa lalu. Sebagai contoh, sebuah tugu didirikan tahun 2011 untuk mengenang orang-orang yang dibunuh di Simpang KKA (lihat perincian mengenai Simpang KKA dalam kotak di atas).203 Di Aceh Selatan juga ada sebuah tugu dan peristiwa peringatan setiap tanggal 17 Mei untuk mengenang 12 orang lelaki yang dibakar hidup-hidup pada 17 Mei 2003 oleh anggota pasukan keamanan di desa Jamboe Keupok di kabupaten Aceh Selatan (lihat para lelaki ditembaki dan dibakar hidup-hidup di Aceh selatan, h.40). 204 Kelompok para korban dan ornop-ornop juga mengorganisasikan acara-acara untuk umum bagi para korban untuk bersaksi di depan umum tentang apa yang terjadi kepada mereka. Pada Mei 2012, sebuah acara “persidangan publik” yang menggunakan model untuk draf undang-undang untuk komisi kebenaran setempat, diadakan di Aceh Utara untuk membicarakan tragedi Simpang KKA. Lebih dari seribu orang menghadiri acara itu, yang dipimpin oleh lima “komisaris” yang diangkat dari para perwakilan masyarakat sipil Aceh.205 Pada saat penulisan laporan ini, juga ada rencana untuk mengembangkan lebih jauh Museum HAM Aceh, yang saat ini terletak di Banda Aceh sebagai tempat bagi orang-orang untuk mempelajari tentang masa lalu. Kelompok para korban dan ornop-ornop masih terus menuntut agar pemerintah daerah mendukung pembangunan struktur peringatan seperti itu untuk memperingati dan mengenang kejadian di masa lalu yang terjadi selama konflik Aceh berlangsung, dan terutama ketika pembunuhan serta tindakan kekerasan terjadi.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
54 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI “[Harapan saya adalah] pihak berwenang di Aceh atau di tingkat pusat menyelesaikan [pelanggaran] masa lalu dan menjamin apa yang sudah terjadi di Aceh tidak akan terjadi lagi sekarang ini dan tidak terjadi di daerah lain di Indonesia. Jadikan konflik dan pelanggaran HAM di Aceh ini sebagai pelajaran bagi pemerintah.” Seorang aktivis dari Aceh Utara berbicara kepada Amnesty International.206
Kemauan dari kedua pihak, baik pemerintah Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka untuk mengesampingkan perbedaan di antara mereka melalui perjanjian damai tahun 2005 telah menuntun pada akhir yang berhasil bagi konflik bersenjata di Aceh. Namun, tujuh tahun kemudian, kedua pihak konflik telah memutuskan untuk mengabaikan sejumlah ketetapan fundamental dari perjanjian damai dan kewajiban Indonesia untuk memastikan adanya kebenaran, keadilan dan reparasi bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Yang ada malah masa lalu dikubur dengan penundaan terus menerus dalam membentuk komisi kebenaran, menginvestigasi dan menuntut kejahatan, dan penyediaan reparasi bagi para korban dan keluarga mereka. Kini sudah tiba saatnya bagi pemerintah nasional dan daerah untuk memenuhi kewajiban hukum internasional mereka dan membangun kembali supremasi hukum di negeri ini untuk mengakhiri impunitas serta melindungi, menjamin, dan memperkuat proses perdamaian. Dalam Bab ini, Amnesty International memberikan serangkaian rekomendasi pokok kepada pemerintah pusat, dan khususnya kepada Presiden serta Dewan Penasihatnya, kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Urusan dalam Negeri, Menteri Pertahanan, Menteri untuk Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Sejumlah rekomendasi juga ditujukan kepada pihak berwenang daerah di Aceh dan perwakilan mantan Gerakan Aceh Merdeka, termasuk Kantor Gubernur Aceh, para pemimpin partai politik lokal seperti Partai Aceh, 207dan para anggota DPRA. Sejumlah rekomendasi diarahkan pula kepada DPR di tingkat nasional, Komnas HAM, dan kantor Jaksa Agung. Oleh karena banyak dari kejahatan ini masuk dalam kategori kejahatan menurut hukum internasional, maka ada pula rekomendasi yang khusus digelindingkan ke arah negara lain, termasuk negara-negara Uni Eropa dan ASEAN yang memonitor perjanjian damai, serta negara donor lainnya. Untuk memastikan bahwa hak para korban pelanggaran HAM di masa lalu dan keluarga mereka atas kebenaran, keadilan, dan reparasi diimplementasikan pada kesempatan sedini
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
55
mungkin, Amnesty International merekomendasikan bahwa pihak yang berwenang di Indonesia, dan khususnya Presiden, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, dan Dewan Perwakilan Rakyat Nasional: Mengakui di depan umum bahwa pelanggaran HAM, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, memang dilakukan pada saat konflik Aceh berlangsung dan memberikan komitmen di depan umum bahwa tidak akan ada impunitas bagi kejahatan menurut hukum internasional;
Secara resmi meminta maaf di depan umum kepada semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia dan tenaga pembantu mereka selama konflik Aceh;
Memastikan bahwa hasil temuan semua investigasi/penyidikan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh tersedia bagi publik, dan mengimplementasikan semua rekomendasi yang diberikan dalam laporan di masa lalu yang bertujuan memastikan adanya kebenaran, keadilan dan reparasi dan yang sesuai dengan dengan hukum dan standar HAM internasional; dan
Mendukung investigasi dan penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh, dan memastikan bahwa mereka yang mungkin telah melakukan kejahatan menurut hukum internasional tidak mendapat pengampunan atau amnesti.
Selanjutnya, Amnesty International merekomendasikan bahwa para perwakilan mantan Gerakan Aceh Merdeka, termasuk Gubernur Aceh, dan perwakilan Partai Aceh untuk: Mengakui di depan umum bahwa pelanggaran HAM, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, memang dilakukan pada saat konflik Aceh berlangsung dan memberikan komitmen di depan umum bahwa tidak akan ada impunitas bagi kejahatan menurut hukum internasional;
Secara resmi meminta maaf di depan umum kepada semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan GAM selama konflik Aceh;
Menyerukan agar hasil temuan dari semua investigasi/penyidikan terhadap pelanggaran HAM selama konflik Aceh berlangsung tersedia untuk publik, dan agar semua rekomendasi yang diberikan dalam laporan di masa lalu yang bertujuan memastikan adanya kebenaran, keadilan, dan reparasi dan yang sesuai dengan dengan hukum dan standar HAM internasional diimplementasikan.
Mendukung investigasi dan penuntutan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi selama konflik Aceh, dan memastikan bahwa mereka yang mungkin telah melakukan kejahatan menurut hukum internasional tidak mendapat pengampunan atau amnesti.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
56 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
6.1 MENUJU PENGUNGKAPAN KEBENARAN Untuk memastikan hak atas kebenaran bagi para korban, keluarga mereka, dan komunitas yang terkena dampaknya serta memastikan mereka mendapatkan akses ke pengungkapan penuh tentang apa yang terjadi selama konflik, termasuk nasib dan keberadaan mereka yang hilang, Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR dan khususnya Komisi III yang khusus mengurusi masalah Hukum, HAM, dan Keamanan, perwakilan Hukum dan HAM di Dewan Penasihat Presiden, tim multi-lembaga yang disponsori pemerintah untuk menyelesaikan pelanggaran HAM, dan Anggota DPR Aceh: Membentuk tanpa penundaan lebih lanjut sebuah komisi kebenaran yang independen dan imparsial sesuai dengan Daftar Periksa Amnesty International bagi pembentukan komisi kebenaran yang efektif,208 untuk mengungkapkan fakta tentang pelanggaran HAM yang dilakukan kedua pihak selama konflik, termasuk mengamankan bukti-bukti dan mengidentifikasi para pelaku, merekomendasikan langkah-langkah reparasi guna menyikapi penderitaan para korban dan juga reformasi kelembagaan untuk memastikan bahwa pelanggaran semacam itu tidak akan terulang lagi;
Membentuk mekanisme yang efektif, termasuk kemungkinan sebagai bagian dari komisi kebenaran, untuk menginvestigasi dan mencatat perincian semua orang yang hilang dan lenyap dan mencari, menemukan lokasi dan membebaskan orang yang hilang, atau, dalam kasus kematian, untuk menghormati dan mengembalikan jenazah mereka kepada keluarga dan masyarakat;
Dengan segera menerima dan memfasilitasi permintaan dari Kelompok Kerja untuk Penghilangan Paksa (WGEID), yang sudah menanti sejak tahun 2006 untuk mengunjungi Indonesia. Memastikan bahwa WGEID diberi akses tanpa dihalang-halangi ke Aceh dan semua lokasi yang relevan lainnya serta dapat bertemu dengan bebas dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk korban dan keluarga mereka, organisasi masyarakat sipil, pejabat pemerintah, dan anggota pasukan keamanan; dan
Mengundang Pelapor Khusus untuk mendorong kebenaran, keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan untuk mengunjungi Aceh dan lokasi yang relevan lainnya di Indonesia pada kesempatan sedini mungkin. Memastikan agar Pelapor Khusus itu mendapat akses yang tidak dihalang-halangi ke semua lokasi yang relevan dan serta dapat bertemu dengan bebas dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk korban dan keluarga mereka, organisasi masyarakat sipil, dan anggota pasukan keamanan.
Amnesty International juga merekomendasikan bahwa Komnas HAM: Memastikan bahwa hasil temuan semua penyelidikan terhadap pelanggan HAM masa lalu di Aceh tersedia untuk umum. Jika laporan-laporan itu memuat nama serta pengidentifikasi pribadi lain dari korban, saksi, dan tersangka, maka hal-hal ini harus dihapus sebelum diterbitkan untuk melindungi semua korban/keluarganya dan para saksi serta juga untuk menjamin bahwa orang-orang yang dituntut karena kejahatan di masa depan dijamin mendapatkan peradilan yang adil sesuai dengan standar internasional.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
57
Amnesty International merekomendasikan bahwa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan: Memastikan bahwa kurikulum nasional di sekolah-sekolah di Aceh, dan di tempat lain di mana pun di Indonesia memuat bagian mengenai sejarah konflik Aceh dan pelanggaran HAM yang terjadi pada saat itu untuk memastikan agar generasi di masa depan mengetahui apa yang terjadi di masa lalu.
6.2 KEADILAN BAGI PELANGGARAN HAM MASA LALU Untuk memastikan bahwa Indonesia memenuhi kewajibannya untuk menginvestigasi dan menuntut kejahatan menurut hukum internasional - termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa - serta memastikan adanya keadilan bagi para korban, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Menteri Hukum dan HAM: Mengambil langkah-langkah segera untuk memastikan agar semua kejahatan termasuk yang di bawah hukum internasional yang diduga dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, tenaga pembantu mereka, dan GAM selama konflik diinvestigasi. Memastikan, kapan pun jika ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, bahwa mereka yang diduga melakukan kejahatan dituntut di pengadilan nasional dalam pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati;
Memastikan bahwa semua pengampunan atau amnesti yang diberikan sesuai dengan perjanjian damai tidak menghalangi investigasi dan penuntutan kejahatan menurut hukum internasional;
Memastikan bahwa para penyintas kekerasan seksual mendapatkan akses ke keadilan dan bahwa sistem keadilan memiliki kapasitas dan sumber daya penuh untuk dengan tepat waktu, secara mandiri, imparsial, dan efektif menginvestigasi dan menuntut semua kasus kekerasan seksual; dan
Membentuk cabang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban di Aceh dengan sumber daya yang memadai untuk memberikan perlindungan serta dukungan yang efektif kepada para korban kejahatan menurut hukum internasional.
Amnesty International merekomendasikan bahwa Komnas HAM: Melakukan penyidikan lebih lanjut terhadap kemungkinan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan selama konflik Aceh.
Amnesty International merekomendasikan bahwa Kantor Jaksa Agung: Meninjau lagi semua informasi yang telah diterimanya yang berkaitan dengan kejahatan menurut hukum internasional yang dilakukan di Aceh, termasuk informasi dari Komisi Independen tahun 1999 untuk Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KPTKA), Komnas
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
58 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
HAM, dan semua investigasi lain terhadap pelanggaran HAM selama konflik Aceh dan menyelesaikan investigasi secara lengkap. Kapan pun jika ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, mereka yang diduga melakukan kejahatan harus dituntut di pengadilan nasional dalam pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati; Selanjutnya Amnesty International merekomendasikan bahwa para Anggota DPR: Merevisi KUHP dan KUHAP sesuai dengan kewajiban Indonesia di bawah hukum dan standar HAM internasional, dan sebagai prioritas mendefinisikan semua kejahatan menurut hukum internasional dan prinsip-prinsip tanggung jawab pidana yang sesuai dengan hukum dan standar internasional, sebagaimana direkomendasikan dalam Amnesty International, Pengadilan Kriminal Internasional: Daftar Periksa yang telah diperbarui untuk pengimplementasian yang efektif (International Criminal Court: Updated checklist for effective implementation).209 KUHP yang direvisi harus memasukkan definisi penyiksaan yang konsisten dengan Pasal 1.1 Konvensi PBB Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau yang Merendahkan Martabat dan definisi perkosaan yang konsisten dengan Unsur-Unsur Kejahatan dari Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional;
Lakukan amendemen terhadap UU tentang Pengadilan HAM (No.26/2000) untuk:
1. Memperluas yurisdiksinya atas kejahatan lain menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa. 2. Memastikan agar Komnas HAM dapat melaksanakan penyidikan pro-justicia dengan efektif, termasuk bahwa Komisi itu harus memiliki kekuasaan untuk memanggil (subpoena) para saksi, dan Komisi itu menyerahkan semua pengusutan yang berkaitan dengan kejahatan menurut hukum internasional ke jaksa penuntut yang independen untuk diinvestigasi, tanpa adanya kemungkinan campur tangan politik dalam prosesnya oleh Jaksa Agung atau pejabat politik lainnya; dan 3. Memastikan bahwa Komnas HAM dan para korban terus diinformasikan mengenai status investigasi dan bahwa mereka dapat meminta peninjauan hukum untuk keputusan tidak menginvestigasi atau tidak menuntut kejahatan menurut hukum internasional. Merevisi UU tentang Pengadilan Militer (UU No. 31/1997) agar para personel militer yang diduga melakukan kejahatan menurut hukum internasional dituntut hanya di pengadilan sipil yang independen.
Mempertimbangkan sejumlah kejahatan yang terjadi selama konflik Aceh sebagai kejahatan menurut hukum internasional, negara-negara lain termasuk dalam Uni Eropa dan ASEAN harus: Memberlakukan yurisdiksi, termasuk, bilamana diperlukan dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang dapat diterima, yurisdiksi universal, atas orang-orang yang dicurigai melakukan kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kemungkinan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan selama konflik Aceh.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
59
6.3 HAK ATAS REPARASI PENUH DAN EFEKTIF Untuk memastikan bahwa para korban pelanggaran HAM mendapatkan hak reparasi penuh dan efektif, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Komnas HAM, dan Gubernur Aceh: Membentuk program untuk memberikan reparasi penuh dan efektif termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan, dan jaminan tidak akan adanya keberulangan terhadap semua korban pelanggaran HAM di Aceh. Program itu harus dibuat dengan berkonsultasi dengan para korban, baik perempuan dan anak perempuan maupun lelaki dan anak lelaki, untuk memastikan bahwa program reparasi itu efektif serta merefleksikan kebutuhan yang berbeda dan pengalaman korban/penyintas konflik, termasuk perempuan dan lelaki berdasarkan jender mereka atau status lain apa pun, dan juga mempertimbangkan sifat pelanggaran dan akses sebelumnya terhadap langkah-langkah reparasi, agar dapat secara benar menangani penderitaan yang dialami. Untuk menghindari penundaan lebih lanjut dalam menangani penderitaan para korban, program itu harus segera dibangun untuk mulai memberikan reparasi kepada para korban sesegera mungkin. Jika rekomendasi-rekomendasi yang dibuat oleh sebuah komisi kebenaran berkaitan dengan reparasi, maka rekomendasi itu harus dipertimbangkan dan dibahas saat itu sebagai bagian dari tinjauan terhadap program; dan
Program reparasi apa pun harus memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan penyintas kekerasan seksual dalam konflik dapat mengakses reparasi dan bahwa langkahlangkah khusus diambil untuk mengidentifikasi dan menanggapi kebutuhan mereka. Program harus dikembangkan dengan melibatkan para penyintas dan ornop-ornop (organisasi nonpemerintah) yang mewakili dan/atau bekerja dengan mereka. Program itu harus memasukkan ketentuan yang menjamin, bagi mereka yang memerlukannya, akses ke perawatan kesehatan, bantuan psikologis dan dukungan lain, termasuk cara-cara yang dirancang untuk menghapus stigma dan diskriminasi yang dialami para penyintas kekerasan seksual dan stereotipe jender yang mendasari kekerasan terhadap perempuan. Semua informasi yang diberikan oleh para penyintas harus diperlakukan dengan penuh kerahasiaan untuk menghormati privasi dan menghindari timbulnya kembali trauma atau penderitaan lain.
Amnesty International merekomendasikan bahwa Gubernur Aceh, DPR Aceh, dan Badan Reintegrasi Aceh (yang kini disebut Badan Penguatan Perdamaian Aceh/ BP2A): Meninjau dan secara independen mengevaluasi mekanisme kompensasi masa lalu untuk memastikan agar semua korban dan sanak-saudara mereka menerima kompensasi secara setara, dan bebas dari ancaman, pelecehan dan diskriminasi. Perhatian khusus harus diberikan kepada para korban dan sanak-saudara mereka yang hidup jauh dari kota-kota besar, atau yang mungkin menderita akibat stigma untuk kejahatan yang dilakukan kepada mereka, seperti yang terjadi bagi para penyintas kekerasan seksual; dan
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
60 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Membangun monumen atau tanda lain untuk mengakui apa yang telah terjadi di tempattempat tertentu di Aceh dengan berkonsultasi dengan organisasi masyarakat sipil dan kelompok para korban.
Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR: Melakukan amendemen terhadap UU mengenai Perlindungan Saksi dan Korban (UU No.13/2006) untuk memastikan bahwa Lembaga Perlindungan dapat memfasilitasi akses ke layanan medis dan layanan rehabilitasi psiko-sosial untuk para korban dan saksi semua kejahatan menurut hukum internasional, termasuk kejahatan perang, penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa.
6.4 SUPREMASI HUKUM DAN REFORMASI SEKTOR KEAMANAN Untuk memperkuat proses perdamaian, dan memastikan bahwa HAM di Aceh merasuk ke dalam struktur yang menghormati supremasi hukum dan bersama pasukan keamanan yang profesional, Amnesty International merekomendasikan bahwa pemerintah Indonesia, dan khususnya Presiden Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Pertahanan, dan Menteri Hukum dan HAM: Memperkuat mekanisme akuntabilitas internal dan eksternal untuk menghadapi dugaan pelanggaran HAM oleh para anggota pasukan keamanan; dan
Membangun sebuah sistem pemeriksaan untuk memastikan bahwa, sambil menunggu investigasi, aparat penegak hukum atau keamanan yang ada bukti-buktinya telah melakukan pelanggaran HAM berat tidak tetap berada, atau tidak ditempatkan, pada posisi di mana mereka dapat mengulangi pelanggaran semacam itu.
Amnesty International merekomendasikan bahwa DPR: Meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa pada kesempatan sedini mungkin, menyatakan sesuai dengan Pasal 31 dan 32 mengakui kompetensi Komite Penghilangan Paksa untuk menerima dan mempertimbangkan komunikasi dari atau yang mewakili perorangan yang mengklaim menjadi korban penghilangan paksa atau penculikan, memasukkan ketetapan-ketetapannya ke dalam undang-undang dalam negeri dan mengimplementasikannya ke dalam kebijakan dan praktik; dan
Meratifikasi Statuta Roma dari Pengadilan Kriminal Internasional dan Persetujuan tentang Keistimewaan dan Kekebalan dari Pengadilan Kriminal Internasional, memasukkan ketetapan-ketetapannya ke dalam undang-undang dalam negeri dan mengimplementasikannya ke dalam kebijakan dan praktik.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
61
Amnesty International menyerukan kepada semua negara, khususnya Uni Eropa dan ASEAN untuk: Menyerukan implementasi penuh atas MOU antara pemerintah Indonesia dan mantan Gerakan Aceh Merdeka tanpa penundaan lebih lanjut, termasuk komitmennya untuk membentuk sebuah komisi kebenaran;
Mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk menginvestigasi kejahatan menurut hukum internasional dan kejahatan lain yang dilakukan kedua pihak selama konflik Aceh, dan bilamana ada bukti-bukti memadai yang bisa diterima, mereka yang dicurigai melakukan kejahatan harus dituntut di pengadilan nasional dalam sidang pemeriksaan yang memenuhi standar internasional tentang peradilan yang adil dan yang tidak memberlakukan hukuman mati; dan
Mendesak pihak berwenang di Indonesia untuk membentuk sebuah program reparasi untuk memastikan reparasi penuh dan efektif bagi semua korban pelanggaran HAM yang dilakukan selama konflik Aceh, termasuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan tidak akan adanya pengulangan.
Amnesty International juga merekomendasikan bahwa negara-negara donor: Menyediakan pendanaan yang diperlukan dan mendukung ornop-ornop, termasuk kelompok-kelompok perempuan dan para aktor masyarakat sipil lain yang bekerja untuk kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi para korban konflik Aceh; dan
Menyediakan bantuan teknis untuk mendukung reformasi sektor keamanan dan sistem peradilan pidana di Indonesia.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
62 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
CATATAN KAKI 1
Aceh dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM) dua kali oleh pemerintah Indonesia selama konflik yang berlangsung 29 tahun. Periode DOM pertama adalah dari tahun 1989 sampai 1998 dan periode kedua "DOM 2" tahun 2003-2004 Informasi lebih lanjut mengenai periode-periode ini dapat ditemukan di Bagian 2.1 laporan ini. Juga lihat Rizal Sukma, Security Operations in Aceh: Goals, Consequences, and Lessons, East-West Center Washington, 2004, h8; dan Edward Aspinall dan Harold Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed, East-West Center Washington, 2003, (Aspinall and Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed), h3, h40, dan h43. 2 Perkiraan jumlah korban jiwa selama konflik Aceh bervariasi antara 10.000 sampai 30.000 orang. Perkiraan yang konservatif menyebutkan jumlah korban jiwa adalah antara 12.000 dan 20.000 orang. Dalam Edward Aspinall, “Islam and Nation – Separatist rebellion in Aceh, Indonesia”, NUS Press, 2009, (Aspinall, Islam and Nation), h2 dan catatan kaki 1. Sebuah laporan terakhir dari Crisis Management Initiative (CMI), sebuah ornop yang membantu menengahi kesepakatan damai tahun 2005, memperkirakan sekitar 10.000 orang tewas dalam konflik Aceh. Lihat CMI, Aceh Peace process followup project, Final Report, 2012, (CMI, Final Report), h9, tautan web: http://www.cmi.fi/images/stories/publications/reports /2012/aceh_report5_web.pdf, diakses 4 Maret 2013. Badan Reintegrasi Aceh (BRA) memperkirakan hampir 30.000 orang dibunuh selama konflik berlangsung. Lihat Multi-Stakeholder Review of PostConflict Programming in Aceh: Identifying the Foundations for Sustainable Peace and Development in Aceh, Desember 2009, h4, tautan web: http://www.internaldisplacement.org/8025708F004CE90B/%28httpDocuments%29/B445B05292F05A4DC1257767002 97362/$file/MSR+Aceh+July+2010.pdf, diakses 4 Maret 2013. 3
Lihat misalnya KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan), Aceh, Damai dengan Keadilan? Mengungkap Kekerasan Masa Lalu, Jakarta. Februari 2006; Komnas Perempuan, Pengalaman Perempuan Aceh Mencari dan Meniti Keadilan Dari Masa ke Masa Januari 2007; dan Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara: Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 19892005, Koalisi NGO HAM Aceh, 2011. 4
Lihat Indonesia: “Shock therapy”: Restoring order in Aceh ("Terapi Kejut: Memulihkan Ketertiban di Aceh") 1989-1993 (Indeks: ASA 21/007/1993), (Amnesty International, “Shock therapy”); Indonesia: A cycle of violence for Aceh's children (Indeks: ASA 21/059/2000); Indonesia: The impact of impunity on women in Aceh (Indeks: ASA 21/060/2000), (Amnesty International, The impact of impunity on women in Aceh); Indonesia: Activists at risk in Aceh (Indeks: ASA 21/061/2000), (Amnesty International Indonesia: Activists at risk in Aceh); dan Indonesia: New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh (Nanggroe Aceh Darussalam, NAD) (Indeks: ASA 21/033/2004), (Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh). 5
Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h37-40.
6 Dalam laporan ini, pelanggaran (violation) HAM merujuk ke pelanggaran yang dilakukan oleh agen-agen negara dan pelanggaran (abuse) yang dilakukan para aktor non-negara. Istilah “human rights abuses” juga digunakan secara umum untuk mengacu baik pada pelanggaran (violation) HAM maupun pelanggaran (abuse) yang dilakukan oleh aktor-aktor negara dan non-negara.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
63
7 Konflik antara pihak berwenang di Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka berpangkal pada tahun 1976 ketika GAM secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaan. Namun, sebagian besar pelanggaran dilakukan antara tahun 1989 dan 2004 selama operasi militer dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia. 8
Sejak berakhirnya konflik ada sejumlah insiden sporadis di Aceh terutama di sekitar masa pemilu di tahun 2006, 2009 dan 2012. Insiden itu termasuk penembakan (banyak yang berakibat fatal), serangan granat, dan pembakaran. Dalam kebanyakan kasus polisi tidak dapat membawa para pelakunya ke pengadilan. 9 Pasal 2.2 MOU Helsinki menyatakan bahwa "Pengadilan HAM akan didirikan di Aceh" dan Pasal 2.3 menyatakan "Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi akan didirikan untuk Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan langkah-langkah rekonsiliasi". Lihat Memorandum of Understanding antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (Helsinki MOU), 15 Agustus 2005, tautan web: http://www.acehmm.org/download/english/Helsinki%20MoU.pdf, diakses 4 Maret 2013. 10
Lihat misalnya Edward Aspinall, Peace Without Justice ?: The Helsinki Peace Process in Aceh, Centre for Humanitarian Dialogue, 2007, (Aspinall, Peace Without Justice?), h27, tautan web: http://www.hdcentre.org/fileadmin/user_upload/Resources/Publications/pdf/56JusticeAceh finalrevJUNE08.pdf, diakses 13 Maret 2013. 11 Lihat International Crisis Group (ICG), Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Asia Briefing N°135, 29 Februari 2012, (ICG, Indonesia: Averting Election Violence in Aceh), tautan web: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-east-asia/indonesia/b135-indonesia-averting-electionviolence-in-aceh.pdf, diakses 4 Maret 2013. 12
The rule of law and transitional justice in conflict and post-conflict societies: Laporan Sekjen PBB (UN Doc: S/2004/616), 24 Agustus 2004, (The rule of law and transitional justice in conflict and postconflict societies), para 17.
13 Termasuk di dalamnya, tapi tidak secara eksklusif, para korban pelanggaran HAM berat yang terjadi setelah kudeta yang gagal di tahun 1965 dan konflik-konflik di Aceh, Papua dan Timor-Leste (yang sebelumnya dikenal sebagai Timor Timur), penghilangan secara paksa 13 pegiat politik di tahun 199798 ,dan para korban kekerasan seksual yang tersebar luas yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998. 14
Lihat misalnya: Pasal 32, Protokol Tambahan I untuk Konvensi Jenewa 1949; Pasal 24 (2) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa; Prinsip 2 dan 4 dari Kumpulan prinsip yang sudah diperbarui untuk perlindungan dan pemajuan HAM melalui pemberantasan impunitas, tambahan atas Laporan para pakar independen (UN Doc: E/CN.4/2005/102/Add.1), 8 Februari 2005; Prinsip 24 dari Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan PBB mengenai Hak untuk Pemulihan Hak (Remedy) dan Reparasi untuk Para Korban Pelanggaran Berat Undang-Undang HAM dan Pelanggaran Serius atas Hukum Kemanusiaan Internasional, yang sudah diterima oleh Resolusi Majelis Umum 60/147, 21 Maret 2006; dan Studi mengenai hak untuk mendapat kebenaran, Laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk HAM, (UN Doc: E/CN.4/2006/91), 8 Februari 2006, para38 dan Kesimpulan.
15 Lihat misalnya: Pasal IV Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida; Pasal 49, 50, 129 dan 146 Konvensi Jenewa; Pasal 85 Protokol Tambahan untuk Konvensi Jenewa 12 Agustus 1949, dan berkaitan dengan Perlindungan Para Korban Konflik Bersenjata Internasional
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
64 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
(Protokol I); Prinsip-Prinsip Hukum Internasional yang Diakui dalam Piagam Pengadilan Nüremberg dan Keputusan Pengadilan, 1950, Prinsip I; Pasal 7 dan 12 Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau yang Merendahkan Martabat; Pasal 3, 4 dan 5 Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa; Mukadimah Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional, para 6; Prinsip-Prinsip kerja sama internasional dalam pendeteksian, penangkapan, ekstradisi dan penghukuman orang-orang yang bersalah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan, disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 3074 (XXVIII) tertanggal 3 Desember 1973; Prinsip-Prinsip tentang Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Pembunuhan di Luar Hukum, Sewenang-sewenang dan Ringkas disahkan oleh Resolusi Majelis Umum 44/162 tanggal 15 Desember 1989; Prinsip 4 dari Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan PBB mengenai Hak untuk Pemulihan Hak (Remedy) dan Reparasi untuk Para Korban Pelanggaran Berat Undang-Undang HAM dan Pelanggaran Serius atas Hukum Humaniter Internasional; dan Peraturan 158 dari Peraturan Hukum Kebiasaan Humaniter Internasional Komite Palang Merah Internasional (ICRC). 16
Lihat misalnya: Pasal 3 Konvensi Hague IV tahun 1907; Pasal 91 dari Protokol I, Pasal 14 Konvensi Melawan Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat; Pasal 24 (4) Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa; Pasal 75 Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional; Prinsip-Prinsip Dasar dan Panduan PBB mengenai Hak untuk Pemulihan Hak (Remedy) dan Reparasi untuk Para Korban Pelanggaran Berat Undang-Undang HAM dan Pelanggaran Serius atas Hukum Humaniter Internasional; dan Peraturan 150 Peraturan Hukum Kebiasaan Humaniter Internasional Komite Palang Merah Internasional. 17 The Factory at Chorzów case (Germany v. Poland), Keputusan, Pengadilan Permanen Keadilan Internasional, 13 September 1928, h47. 18
Lihat misalnya Indonesia: Briefing to the UN Committee Against Torture (Indeks: ASA 21/003/2008), (Amnesty International, Indonesia: Briefing to UNCAT), khususnya Bagian 7.3: Ongoing impunity; Indonesia: Briefing to the UN committee on the elimination of discrimination against women (Indeks: ASA 21/022/2012), (Amnesty International, Indonesia: Briefing to the CEDAW Committee); Timor-Leste: “We cry for justice”: Impunity persists 10 years on in Timor-Leste (Indeks: ASA 57/001/2009); Indonesia and Timor-Leste: Amnesty International & Judicial System Monitoring Programme (JSMP), Justice for Timor-Leste: The Way Forward (Indeks: ASA 21/006/2004).
19
Lihat Amnesty International, Indonesia: Briefing to the CEDAW Committee, Supra No18.
20
Pada Januari 2013, Badan Reintegrasi Aceh mengubah namanya menjadi Badan Penguatan Perdamaian Aceh, BP2A. Lihat Serambi Indonesia, “BRA Ganti Nama Jadi BP2A” , 12 Februari 2013, tautan web: http://aceh.tribunnews.com/2013/02/12/bra-ganti-nama-jadi-bp2a, diakses 11 Maret 2013.
21 Aceh kemudian dikenal sebagai Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2001 setelah disahkannya UU No. 18/2001 mengenai Otonomi Khusus untuk Aceh. Namun Pasal 251 (1) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh menetapkan kembali penggunaan nama Aceh. Pada tahun 2009, Gubernur Aceh mengeluarkan peraturan No. 46/2009 untuk memberlakukan perubahan nama tersebut. 22
Survei kependudukan menurut provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000 dan 2010, Badan Pusat Statistik, tautan web: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek= 12¬ab=1, diakses 5 Maret 2013.
23
Sebagai perbandingan, 3,48 persen dari penduduk dianggap miskin di Jakarta, 6,77 persen di
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
65
Kalimantan Tengah dan 4,88 persen di Bali. Provinsi Papua memiliki tingkat kemiskinan tertinggi dengan perkiraan 36,80 persen penduduknya miskin. Rata-rata nasional adalah 13,33 persen. Jumlah dan Persentase penduduk miskin, Indeks Kemiskinan per provinsi [Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1), dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)}, 2010, Badan Pusat Statistik, tautan web: http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=1&tabel=1&daftar=1&id_subyek=23¬ab=1, diakses 5 Maret 2013. 24
Lihat misalnya siaran pers Amnesty International, Indonesian government must repeal caning bylaws in Aceh, 22 Mei 2011, tautan web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesiangovernment-must-repeal-caning-bylaws-aceh-2011-05-20, diakses 5 Maret 2013; dan Indonesia must repeal "cruel" new stoning and caning law, 17 September 2009, tautan web: http://www.amnesty.org/en/ news-and-updates/news/indonesia-must-repeal-cruel-new-stoning-caning-law-20090917, diakses 5 Maret 2013.
25 Lihat Program Lingkungan PBB, After the Tsunami: Rapid Environmental Assessment, February 2005, h18, tautan web: http://www.unep.org/tsunami/reports/TSUNAMI_report_complete.pdf, diakses 12 Maret 2013.
26
Saat itu Gerakan Aceh Merdeka dikenal dengan Nama Front Pembebasan Nasional Aceh/Sumatra (ASNLF).
27
Lihat Tim Kell, The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992 (Kell, The Roots of Acehnese Rebellion), Equinox Publishing, 2010. Lihat juga Anthony Reid, Verandah of Violence: The Background to the Aceh Problem, University of Washington Press, 2006, khususnya Bab 6 “Colonial transformation: A bitter legacy”. 28
Lihat Kell, The Roots of Acehnese Rebellion, 1989-1992, Supra No27.
29
Kakek Hasan di Tiro adalah Teungku Cik di Tiro, salah satu pemimpin perjuangan melawan Belanda di tahun 1890-an. Hasan Tiro pergi ke Amerika Serikat sebagai mahasiswa tahun 1950-an dan menetap di sana sebagai pengusaha sampai tahun 1976 ketika ia kembali untuk mendirikan Front Pembebasan Nasional Aceh-Sumatra (ASNLF). Tiga tahun kemudian ia melarikan diri ke Swedia tapi kemudian kembali ke Indonesia tahun 2008 dan meninggal tahun 2010 sehari setelah ia diakui sebagai warganegara Indonesia lagi. Lihat Harold Crouch, “Resolving the Separatist Challenge in Aceh” Political Reform in Indonesia after Soeharto, 2010; dan BBC News, “Free Aceh rebel group founder Hasan di Tiro dies”, 3 Juni 2010, tautan web: http://www.bbc.co.uk/news/10225928, diakses 29 Maret 2013.
30 Orang lainnya yang juga melarikan diri ke Swedia termasuk Dr. Zaini Abdullah, mantan "menteri luar negeri" GAM yang terpilih sebagai Gubernur Aceh di tahun 2012. Dalam Visi dan Misi, Dr H. Zaini Abdullah – Muzakir Manaf, Periode 2012-2017. 31
Amnesty International, “Shock therapy”, Supra No4.
32
Amnesty International, “Shock therapy”, Supra No4, h2 dan h12-13.
33
Lihat Bagian 2.3 “Human rights abuses by Aceh Merdeka”, dalam “Shock therapy”, Supra No4, h10 dan Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3. 34 Lihat misalnya Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h6.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
66 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
35
Di awal tahun 1990-an, militer menggambarkan kekerasan yang dilakukan Gerakan Aceh Merdeka sebagai "tindakan terorisme". Klaim ini kemudian dipakai untuk membenarkan pengerahan pasukan tambahan dan dimulainya kampanye pemberantasan pemberontakan secara intensif. Pada November 1990, Pangdam setempat, Mayor Jenderal H.R. Pramono, mengatakan: “Saya katakan kepada masyarakat , jika kalian menemukan teroris, bunuh saja. Tidak perlu diinvestigasi. Jangan jadikan warga sebagai korban. Jika mereka tidak melakukan seperti yang diperintahkan, tembak di tempat, atau potong saja. Saya memberi tahu warga masyarakat untuk membawa senjata tajam, golok atau apa saja. Jika kalian bertemu teroris, bunuh saja". Kutipan dari laporan Amnesty International “Shock Therapy”, Supra No4, dikutip dari wawancara dengan Mayor Jenderal H.R. Pramono, Tempo, 17 November 1990; terjemahan sebagaimana dikutip dalam JPRS-SEA-90-034, 26 Desember 1990. Secara umum lihat, Michelle Ann Miller, Rebellion and Reform in Indonesia: Jakarta’s security and autonomy policies in Aceh, Routledge, 2010, (Miller, Rebellion and Reform in Indonesia) ; Elizabeth F. Drexler, Aceh, Indonesia: Securing the Insecure State, University of Pennsylvania Press, 2009; Edward Aspinall, Islam and Nation: Separatist Rebellion in Aceh, Indonesia, NUS Press, 2009. Juga lihat laporan Amnesty International sebelumnya tentang konflik di Aceh, Supra No4. 36
Juga lihat Dyah Rahmany P., Rumoh Geudong: Tanda luka orang Aceh [Rumoh Geudong: The Scar of the Acehnese], Cordova Institute for Social Empowerment, 2001, (Dyah Rahmany P., Rumoh Geudong), h41-42; Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h120-136; dan KontraS, Aceh, damai dengan keadilan?: Mengungkap Kekerasan Masa lalu , KontraS 2006, h63-64.
37
Dyah Rahmany P., Rumoh Geudong, Supra No36, h104.
38
Juga lihat Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h120-136; Dyah Rahmany P., Rumoh Geudong, Supra No36, h160.
39
Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11-12.
40
Pada Maret 1999, Presiden B. J. Habibie, mengunjungi Aceh dan meminta maaf “atas apa yang telah dilakukan oleh pasukan keamanan, baik secara tidak sengaja maupun sengaja”. Lihat Aspinall and Crouch, The Aceh Peace Process: Why it Failed, Supra No1, h6.
41
Serambi Indonesia, “ABRI Minta Maaf kepada Rakyat Aceh”, 8 Agustus 1998. Jenderal Wiranto adalah Panglima TNI mulai dari Februari 1998 sampai Oktober 1999. Ia juga menjadi Menteri Pertahanan Indonesia dari Maret 1998 sampai Oktober 1999. Pada Februari 2003, Jenderal Wiranto didakwa oleh Unit Kejahatan Berat (SCU) PBB atas kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan dalam konteks referendum kemerdekaan di Timor-Leste (sebelumnya Timor Timur) dan sesudahnya. Namun Jenderal Wiranto masih belum dihadapkan ke pengadilan untuk kejahatan ini oleh pengadilan mana pun di Indonesia, Timor-Leste atau tempat lainnya.
42
Lihat juga Amnesty International, Indonesia: Recent Violence in Aceh: An internal briefing for governments (Indeks: ASA 21/01/99); Amnesty International, Indonesia: renewed violence plunges Aceh province back into terror (Indeks: ASA 21/02/99); Amnesty International, Indonesia: A cycle of violence for Aceh's children (Indeks: ASA 21/059/2000); Amnesty International, Indonesia: The impact of impunity on women in Aceh, Supra No4, Amnesty International, Indonesia: Activists at risk in Aceh, Supra No4. 43
Lihat Schulze The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist Organization, h26-28 dan
h39 dan Human Rights Watch, The War in Aceh, Agustus 2001, Vol. 13, No. 4 (HRW, The War in Aceh), h 22-25, tautan web: http://www.hrw.org/reports/2001/aceh/indacheh0801.pdf, diakses 20
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
67
Maret 2013. 44
Lihat Pernyataan Pers KontraS Aceh, “4.908 orang menjadi korban kekerasan di Aceh”, 3 Desember 2002 (dalam berkas Amnesty International); dan shadow report NGO yang diserahkan ke Komite Melawan Penyiksaan, The practice of torture in Aceh and Papua 1998-2007 with an annex on the situation of human rights in Timor Leste, 2007, h56, (NGO Shadow report to the Committee against torture), tautan web: http://www2.ohchr.org/english/bodies/cat/docs/ngos/ShadowReportIndonesia40.pdf, diakses 5 Maret 2013. 45 Presiden Abdurrahman Wahid (Oktober 1999 - Juli 2001) memulai dialog antara kedua pihak dalam konflik yang dimediasi oleh Humanitarian Dialogue yang berbasis di Swiss. Pusat ini kemudian dinamai Henry Dunant Centre. Pada waktu yang sama, sebuah undang-undang disusun dengan tujuan menawarkan kepada Aceh tingkat otonomi yang lebih besar dalam pemerintahan dan pengadministrasian provinsi tersebut serta pengontrolan lebih besar atas pendapatan dari sumber daya alam. Undang-undang mengenai otonomi khusus itu dipandang para pengamat sebagai usaha memberikan alternatif dari kemerdekaan dan karenanya melemahkan dukungan untuk perjuangan bersenjata GAM. Lihat Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h4. 46
Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h5.
47
Lihat Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h6.
48
Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h2.
49
Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h19.
50
Lihat Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h6 dan h44-46.
51 Sebelum terpilih sebagai Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono adalah Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (2001-2004) di bawah pimpinan Presiden Megawati Sukarnoputri. Ia dikabarkan mencoba agar negosiasi tetap berlanjut antara pemerintah Indonesia dan GAM setelah perundingan terhenti pada 24 April 2003 dan mencari alternatif bagi perang. Pada 18 Mei 2003 Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan keputusan presiden untuk memberlakukan keadaan darurat di Provinsi Aceh dan ia dijadikan ketua Badan Pelaksana Harian Penguasa Darurat Militer Pusat. Lihat ICG, Aceh: Why The Military Option Still Won’t Work, Asia Briefing N°26, 9 Mei 2003, h2-3; BBC, “Martial law declared in Aceh”, 18 Mei 2003, tautan web: http://news.bbc.co.uk/2/hi/asiapacific/3038605.stm, diakses 5 Maret 2013; dan Liputan6.com, “Aceh Darurat Militer”, 19 Mei 2003, tautan web: http://news.liputan6.com/read/54846/aceh-darurat-militer, diakses 5 Maret 2013. 52
Lihat misalnya Accord Issue 20, “Delivering Peace For Aceh: An interview with President Martti Ahtisaari”in Conciliation Resources, Reconfiguring politics: the Indonesia - Aceh peace process, 2008, tautan web: http://www.c-r.org/sites/c-r.org/files/Accord%2020_5Delivering%20peace%20for%20Aceh_ 2008_ENG.pdf, diakses 29 Maret 2013. 53 Lihat Damien Kingsbury, Peace in Aceh: a personal account of the Aceh peace process, Equinox Publishing, Jakarta, Indonesia 2006 dan Edward Aspinall, “Aceh’s no win election” Inside Indonesia,
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
68 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
106: Okt-Des 2011, tautan web: http://www.insideindonesia.org/weekly-articles/aceh-s-no-win-election, diakses 29 Maret 2013. 54
Lihat Agence France Presse (AFP), “Three Aceh rebels die in clash with military despite apparent ceasefire”, 2 Januari 2005; AFP, “Indonesian troops kill 120 Aceh rebels in past two weeks”, 20 Januari 2005; Reuters, “Indonesia soldier killed in clash with Aceh rebels” 21 Februari 2005; dan Associated Press (AP), “Aceh Rebels Accuse Jakarta of Stepping Up Campaign Ahead of Peace Talks”, 10 April 2005. 55 Pemonitor internasional dan staf internasional badan-badan kemanusiaan menjadi sasaran akses terbatas ke Aceh selama tahun 2003-2004 dan diharuskan mendapatkan izin terlebih dulu untuk bisa masuk ke ibu kota provinsi, Banda Aceh, serta diharuskan mendapatkan izin lagi untuk bisa bepergian ke luar dari ibu kota. Izin semacam itu jarang diberikan, dan bahkan jika diberikan, sering kali dengan batasan waktu dan lokasi. Pada Februari 2005, delegasi Amnesty Internasional dilarang masuk untuk melakukan riset di Aceh. 56
Lihat paragraf tiga mukadimah memorandum of understanding antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 agustus 2005 (atau Supra No9).
57
Dalam dokumen yang diterbitkan September 2005, Amnesty International menyambut baik
pembebasan mereka yang telah dipenjarakan semata-mata karena melakukan aktivitas dengan damai di Aceh, namun Amnesty juga merekomendasikan bahwa mereka yang telah melakukan pelanggaran HAM serius tidak diberikan pengampunan dan agar semua kasus pelanggaran diusut serta para pelakunya di hadapan ke muka pengadilan. Lihat Amnesty International, Indonesia: A briefing for EU and ASEAN countries concerning the deployment of the Aceh Monitoring Mission to Nanggroe Aceh Darussalam Province (Indeks: ASA 21/017/2005), (Amnesty International, A briefing for EU and ASEAN). 58
Kebanyakan narapidana dibebaskan 31 Agustus 2005 setelah dikeluarkannya Keputusan Presiden No.22/2005 sehari sebelumnya. "Setelah pembebasan awal pada bulan Agustus 2005, GAM memberi tahu Pemerintah Indonesia dan [Aceh Monitoring Mission] bahwa masih ada orang-orang yang dipenjara di seluruh Indonesia, yang menurut GAM, harus diberi pengampunan dan dibebaskan sesuai dengan MOU. Untuk menyelesaikan kasus-kasus ini, sebuah kelompok kerja tripartit dibentuk. Kelompok ini berhasil dalam memfasilitasi kesepakatan di antara para pihak dalam sejumlah kasus. Namun, dalam usaha memfasilitasi kemajuan lebih lanjut, [Aceh Monitoring Mission] merekrut seorang mantan hakim Swedia yang berpengalaman internasional dalam mengurusi masalah pengampunan atau amnesti. Oleh karena pihak-pihak yang terlibat semuanya menyetujui kasus-kasus yang ada, maka orang-orang mendapatkan amnesti dan dibebaskan. Dengan cara usaha fasilitasi ini, para pihak akhirnya mencapai kesepakatan konsensus tentang semua kasus amnesti yang masih ditunda dan mengumumkan tidak ada lagi kasus amnesti yang memerlukan keputusan dari kepala Mission." Ekstrak dari situs web Aceh Monitoring Mission, tautan web: http://www.aceh-mm.org/english/headquarter_menu/amnesty.htm, diakses 5 Maret 2013. Juga lihat Keppres No: 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka, tautan web: http://dapp.bappenas.go.id/website/peraturan/ file/pdf/KEPPRES_2005_022.pdf, diakses 5 Maret 2013. 59 Di Indonesia pasukan non-organik adalah pasukan yang tidak dikerahkan secara teratur di sebuah wilayah tertentu, tapi dikerahkan jika situasi konflik meningkat ke level yang tidak bisa ditangani unit teritorial yang "organik". 60
Pada 15 September 2005, Aceh Monitoring Mission diluncurkan. Misi ini menyertakan para
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
69
perwakilan dari Uni Eropa, Norwegia, Swiss, Thailand, Filipina, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Lihat situs web CMI, http://www.cmi.fi/activities/past-projects/aceh-1, diakses 12 Maret 2013. 61
Megawati Sukarnoputri, ketua PDI-P mengklaim bahwa MOU itu “mengancam keutuhan NKRI” sementara Sekjen partainya, Pramono Anung mengatakan MOU itu “jelas-jelas mengandung unsur memberikan kemerdekaan kepada”. Akbar Tanjung mantan ketua partai Golkar juga memprotes MOU itu dengan menyatakan MOU itu "bertentangan dengan semangat NKRI". Mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Lt. Jen (Purn) Kiki Syahnakri mengatakan "MOU itu mengamputasi kedaulatan Indonesia ". Lihat Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, ISEAS Publishing, 2010, h305.
62 Masalah partai politik lokal di Aceh menjadi batu penghalang selama perundingan Helsinki, dan hampir membubarkan perundingan itu. Penentangan adanya partai politik lokal muncul dari para pejabat pemerintah, anggota DPR dan militer. Lihat Edward Aspinall, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis for Peace in Aceh?, East-West Center, Washington, 2005, h39; dan Crouch, Political Reform in Indonesia after Soeharto, Supra No61, h302. 63
Lihat EU Secretariat “EU monitoring mission in Aceh (Indonesia) Factsheet”, 22 Mei 2006, tautan web: http://www.consilium.europa.eu/uedocs/cmsUpload/060522-Aceh_Council_Factsheet-REV5.pdf, diakses 12 Maret 2013. Juga lihat AP, “Former Aceh rebels disband military wing, more Indonesian troops pull out”, 27 Desember 2005; AP, “Indonesian Rebels End 30-Year Insurgency”, 27 Desember 2005; AFP, “EU welcomes troop pullout from Aceh”, 30 Desember 2005; dan Tempo Interactive, “TNI Completes Withdrawal of Troops from Aceh”, 30 Desember 2005. 64
Lihat situs web CMI, Supra No2.
65
UU No. 44/1999 mengenai penerapan Kekhususan Provinsi Khusus Aceh, yang disahkan tanggal 4 Oktober 1999 menjabarkan ciri-ciri khusus Aceh dan tidak dibatalkan oleh LoGA. Namun, UU No.18/2001 mengenai Otonomi Khusus untuk Provinsi Khusus Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) dibatalkan oleh LoGA. Dalam CMI, Final Report, Supra No2.
66 Partai-partai politik Aceh telah memperdebatkan kedua pemilihan umum yang diadakan di provinsi itu sejak MOU ditandatangani. Akan tetapi, pembentukan partai-partai politik Aceh menyebabkan adanya keretakan di antara faksi-faksi GAM, dengan adanya mereka yang tadinya bersekutu kini saling bersaing ketat dalam kampanye pemilu. Untuk informasi lebih lanjut, lihat ICG, Indonesia: Gam vs Gam in the Aceh Elections, Asia Briefing N°123, 15 Juni 2011, (ICG, Indonesia: Gam vs Gam in the Aceh Elections), tautan web: http://www.crisisgroup.org/~/media/Files/asia/south-eastasia/indonesia/B123%20Indonesia%20--%20Gam%20vs%20Gam%20in%20the%20Aceh%20Elections.pdf, diakses 12 Maret 2013. 67
Lihat misalnya ICG, Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Supra No11; ICG, Indonesia: Gam vs Gam in the Aceh Elections, Supra No66; dan ICG, Indonesia: Deep Distrust in Aceh as Elections Approach, Asia Briefing N°90, 23 Maret 2009. 68
Wawancara dengan Zulkifli, Banda Aceh, 8 Mei 2012. Bukan nama asli.
69
Dalam kunjungannya ke Aceh di bulan Mei 2012, Amnesty International bertemu sanak saudara para korban penghilangan paksa oleh anggota pasukan keamanan. Namun delegasi Amnesty tidak bertemu dengan sanak saudara korban penculikan yang dilakukan GAM atau orang-orang yang tidak diketahui. 70
Pasal 32 Protokol Tambahan I untuk Konvensi Jenewa 1949; Peraturan 117 Peraturan Kebiasaan
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
70 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Hukum Kemanusiaan Internasional Komite Palang Merah Internasional (ICRC) 71
Menyatakan: “Setiap negara pihak akan melakukan semua langkah yang sesuai untuk mencari, menemukan lokasi dan membebaskan orang yang hilang, dan dalam kasus adanya kematian, untuk menemukan tempat, menghormati dan mengembalikan sisa-sisa jenazah.”
72
Komisi HAM PBB, Elena Quinteros Almeida and Maria del Carmen Almeida de Quinteros v. Uruguay, (Komunikasi No. 107/1981), (UN Doc: CCPR/C/19/D/107/1981), 21 Juli 1983, para 14; Pengadilan HAM Eropa, Siprus v. Turki (pendaftaran no. 25781/94), keputusan 10 Mei 2001, Laporan Penilaian dan Keputusan, 2001-IV, para 157; Pengadilan HAM Antar-Amerika, Ernest Rafael Castillo Páez v. Peru (petisi no. 10.733), Putusan, 3 November 1997, para. 90; Pengadilan HAM Antar-Amerika, Efraín Bámaca Velásquez v. Guatemala (petisi no. 11.129), Keputusan, 25 November 2000, para 200-201.
73
Pengadilan HAM untuk Bosnia dan Herzegovina, The ‘Srebrenica Cases’ (49 pendaftaran) v. The Republika Srpska (perkara no. CH/01/8365 et al.), Decision on admissibility and merits, 7 Maret 2003, paras 174-178.
74
Tambahan untuk Laporan dari para pakar independen untuk memperbarui Kumpulan Prinsip untuk Memberantas Impunitas, Diane Orentlicher (UN Doc: E/CN.4/2005/102/Add.1), 8 Februari 2005.
75
Tahun 2006, Komnas HAM mengeluarkan laporan tentang penghilangan paksa terhadap 13 pegiat pro-demokrasi di Jakarta yang terjadi antara tahun 1997 dan 1998 dengan merekomendasikan dibentuknya Pengadilan HAM ad hoc dan melakukan pengusutan terhadap mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab pidana atas penculikan-penculikan ini. Sesudahnya, pada September 2009 DPR membuat sejumlah rekomendasi untuk Presiden Indonesia termasuk pendirian Pengadilan HAM ad hoc untuk mengadili mereka yang bertanggung jawab atas penghilangan paksa di tahun 1997-1998; melakukan pencarian segera atas 13 aktivis yang menghilang; memberikan "rehabilitasi dan kompensasi" kepada para keluarga korban; dan meratifikasi Konvensi Internasional untuk Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa. Tapi rekomendasi-rekomendasi ini masih belum diterapkan. 76
Wawancara Amnesty International, Banda Aceh, 8 Mei 2012.
77
Lihat Amnesty International, Indonesia: Protecting the protectors: human rights defenders and humanitarian workers in Nanggroe Aceh Darussalam, (Indeks: ASA 21/024/2003), (Amnesty International, Protecting the protectors).
78
Mandat Komnas HAM sebagaimana disebutkan dalam Keputusan Presiden No. 50: adalah untuk “memonitor dan menginvestigasi penerapan hak asasi manusia dan pandangan masa kini, pertimbangan serta saran kepada lembaga-lembaga negara tentang penerapan hak asasi manusia” (Pasal 5c). UU HAM (UU No 39/1999) memperjelas bahwa Komnas HAM “berfungsi untuk mempelajari, meriset, menyebarkan, memonitor dan menengahi masalah-masalah HAM” (Pasal 16). Secara khusus, Komnas HAM ditugaskan dan diberi wewenang untuk: menginvestigasi dan memeriksa insiden-insiden yang terjadi di masyarakat yang sifatnya atau jangkauannya dapat merupakan pelanggaran atas hak asasi manusia (Pasal 89.3b) dan memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan pelanggaran HAM kepada Pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti (Pasal 98.4 d & e). Berdasarkan Pasal 18 UU Pengadilan HAM (UU No.26/2000), Komnas HAM secara khusus mendapat mandat untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Untuk melakukannya, Komnas HAM dapat membentuk sebuah tim ad hoc yang terdiri atas Komnas HAM dan unsur-unsur dari masyarakat umum.
79
Lihat Nashrun Marzuki and Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h50; dan Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
80
71
Lihat Miller, Rebellion and Reform in Indonesia, Supra No35, h20.
81
Sydney Morning Herald, 25 Agustus 2008, “Rights watchdog says 781 people killed in Aceh”, tautan web: http://www.antenna.nl/indonesie/mn07020.html, diakses 27 Maret 2013. 82
Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11.
83
Lihat International Center for Transitional Justice (ICTJ) dan KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan), Derailed: Transitional Justice in Indonesia since the Fall of Soeharto, April 2011, h19 (ICTJ dan KontraS, Derailed); ICG, “Indonesia: Impunity versus Accountability”, 2 Februari 2001; Atjehpost, “Wiranto Cabut DOM di Aceh” 7 Agustus 1998, tautan web: http://atjehpost.com/read/2012/08/07/17078/0/39/7-Agustus-1998-Wiranto-Cabut-DOM-di-Aceh, diakses 25 Maret 2013; dan Berita Utama Waspada, “Ada 7000 Pelanggaran HAM Di Aceh:Lima Kasus Segera Dituntaskan” tautan web: http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1999/11/16/0000.html, diakses 31 Maret 2013. 84
Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4.
85
Lihat ICTJ and KontraS, Derailed, Supra No83, h19.
86
Pasal 3 (h) Keputusan Presiden No. 88/1999
87
Pada bulan Mei 2004, status Aceh (yang waktu itu disebut sebagai Nanggroe Aceh Darussalam/NAD) diturunkan dari keadaan darurat militer menjadi darurat sipil. 88 Lihatlah Jakarta Post, “Violations rampant during martial law: Rights body”, 24 Mei 2004, tautan web: http://www.thejakartapost.com/news/2004/05/24/violations-rampant-during-martial-law-rightsbody.html, diakses 12 Maret 2013; Inilah.com, “Komnas Didesak Tuntaskan 70 Pelanggaran HAM Aceh”, 8 Oktober 2011, tautan web: http://www.inilah.com/read/detail/1783000/komnas-didesaktuntaskan-70-pelanggaran-ham-aceh, diakses 12 Maret 2013; wawancara Amnesty International di Jakarta, April 2012. 89
Percakapan Amnesty International lewat email dengan para kontak yang dirahasiakan, 26 Maret 2013.
90 Koresponden email Amnesty International dengan Koalisi NGO HAM, 20 Maret 2013. Juga lihat Serambi Indonesia, “Koalisi HAM Gugat Komnas HAM”, 5 Maret 2013, tautan web: http://aceh.tribunnews.com/2013/03/05/koalisi-ham-gugat-komnas-ham, diakses 18 Maret 2013. 91
Lihat Kompas, “Komnas HAM Bentuk KPP HAM Aceh” , 19 Agustus 2008, tautan web: http://www1.kompas.com/read/xml/2008/08/19/1543104/komnas.ham, diakses 12 Maret 2013.
92
KontraS Aceh, Laporan Situasi HAM Aceh Tahun 2009, Februari 2010, h30-31, tautan web: http://www.kontrasaceh.org/wp-content/uploads/2011/07/Laporan-HAM-2009.pdf, diakses 12 Maret 2013.
93
Kumpulan prinsip yang sudah diperbarui untuk perlindungan untuk perlindungan dan pemajuan HAM melalui pemberantasan impunitas (UN Doc: E/CN.4/2005/102/Add.1), 8 Februari 2005.
94
The rule of law and transitional justice in conflict and post-conflict societies, Supra No12, para 50.
95
Lihat UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU No. 27/2004), dibatalkan tahun 2006.
96
Mahkamah Konstitusi Indonesia, Keputusan tentang Petisi untuk Judicial Review mengenai UU Republik Indonesia No 27 tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang menentang UUD 1945, Nomor 006/PUU-IV-2006, 8 Desember 2006. Pasal 27 UU Komisi Kebenaran dan
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
72 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Rekonsiliasi mengatur bahwa: "Kompensasi dan rehabilitasi ... dapat diberikan apabila permohonan amnesti dikabulkan." 97
April 2012 draf UU itu ada dalam berkas Amnesty International.
98 MOU antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005. 99
Lihat Pasal 229 (2) UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. UU ini tidak mengatur apa pun tentang apa yang akan terjadi bila Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi gagal dibentuk. 100
Kontroversi publik pertama mengenai arti MOU itu dimulai sehari setelah penandatanganannya, dan
menyangkut interpretasi tentang Pengadilan HAM. Perunding untuk GAM Nur Djuli mengatakan pengadilan itu akan memiliki wewenang yang berlaku surut dan akan bisa menjatuhkan keputusan tentang pelanggaran HAM masa lalu (dikutip dari Tempo Interactive, Agustus 16, 2005). Para pemimpin militer dan pemerintah nasional segera membantahnya dengan mengatakan hal itu tidak benar, dan bahwa 'mengorek-ngorek' luka lama akan "membahayakan perdamaian" (dikutip dari Analisa, 26 Agustus 2005). Dalam Aspinall, Peace Without Justice?, Supra No10, h27. Juga lihat komentar-komentar dari anggota DPR Sidharto Danusubroto, yang mengkritik MOU tersebut karena memuat ketetapan mengenai pendirian pengadilan HAM, yang menurutnya tidak perlu bagi Aceh. Dalam Gatra “Anggota DPR: SBY dan Kalla Layak Diberi Nobel” 31 Agustus 2005. Seorang anggota DPR lainnya, Effendy Choirie mengatakan tidak perlu ada klausa yang berlaku surut untuk meninjau pelanggaran masa lalu dan menekankan perlunya melihat ke masa depan, khususnya karena GAM juga melakukan pelanggaran selama dekade terakhir dan mereka diberi amnesti. Dalam Tempo, “Panglima TNI : Pelanggaran HAM di Aceh Jangan Berlaku Surut” , 18 Agustus 2005. Panglima TNI Endriartono Sutarto menekankan lebih jauh lagi perlunya bagi kedua pihak untuk melihat ke masa depan dan bukan ke masa lalu seperti pelanggaran HAm yang dilakukan di Aceh baik oleh militer maupun GAM. Dalam Tempo “Jenderal Sutarto: Jangan Melihat ke Belakang”, 17 Agustus 2005. 101
Lihat Visi dan Misi Dr. H Zaini Abdullah-Muzakir Manaf: Pasangan Perjuangan dan Perdamaian untuk Pemerintah Aceh 2012-2017, tautan web: http://zaini-muzakir.com/images/stories/visimisi.pdf, diakses 12 Maret 2013. Dr H. Zaini Abdullah, tadinya adalah perwakilan GAM yang berbasis di Swedia dan Muzakir Manaf, mantan komandan lapangan GAM dan ketua Partai Aceh (2007 -2012), sebuah partai politik lokal yang didirikan para pimpinan GAM, masing-masing terpilih sebagai gubernur dan wakil gubernur.
102
Amnesty International telah mengirimkan sepucuk surat kepada Gubernur Aceh (Ref: TG ASA 21/2013.001) tertanggal 31 Januari 2013 untuk meminta penjelasan mengenai posisi pemerintah daerah mengenai kebenaran, keadilan dan reparasi bagi para korban konflik Aceh. Namun, pada saat penulisan laporan organisasi ini masih belum menerima jawaban.
103
Wawancara dengan Amnesty International, Banda Aceh, 7 Mei 2012. Juga lihat CMI, Final Report, Supra No2, dan International Center for Transitional Justice (ICTJ), Considering victims, the Aceh Peace Process from a Transitional Justice Perspective, Januari 2008.
104
Pasal 230, UU Pemerintahan Aceh, UU No. 11/2006.
105
Korespondensi email Amnesty International, Mei 2012.
106
Lihat Amnesty International, Indonesia: Aceh parliament must not deny victims their rights, (Indeks: ASA 21/036/2012).
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
73
107 Lihat Atjehlink, “Qanun KKR Prioritas DPRA 2013” , tautan web: http://atjehlink.com/qanun-kkrprioritas-dpra-2013/, diakses 25 Februari 2013. 108
Lihat Suara Pembaruan, “Aksi Demontran Masih Duduki Gedung DPR Aceh”, 10 Desember 2010, tautan web: http://www.suarapembaruan.com/home/aksi-demontran-masih-duduki-gedung-dpraceh/1831, diakses 12 Maret 2013; dan VIVA News, “Korban Konflik Aceh Tuntut Pembentukan KKR”, 8 Desember 2010, tautan web: http://us.nasional.news.viva.co.id/news /read/192803-korban-konflik-aceh-tuntut-pembentukan-kkr, diakses 12 Maret 2013. 109
CMI, Final Report, Supra No2.
110
Bukan nama aslinya. Wawancara Amnesty International, 10 Mei 2012.
111
Bukan nama sebenarnya. Wawancara dengan Amnesty International, 8 Mei 2012.
112
Definisi perkosaan dalam Unsur-Unsur Kejahatan memuat aspek-aspek berikut: (1) “Pelaku melanggar tubuh seseorang dengan melakukan perbuatan yang menyebabkan adanya penetrasi, betapa pun sedikitnya, pada bagian tubuh mana pun dari korban, atau dari si pelaku dengan organ seksual, atau pembukaan anal atau alat kelamin korban dengan barang apa pun atau bagian tubuh yang mana pun”, dan (2) “Invasi dilakukan dengan kekuatan, atau dengan ancaman kekuatan atau pemaksaan, dan juga yang disebabkan oleh ketakutan akan adanya kekerasan, tekanan, penahanan, penindasan psikologis atau penyalahgunaan kekuasaan, terhadap seseorang atau orang lainnya, atau dengan mengambil keuntungan dari lingkungan yang memaksa, atau invasi itu dilakukan terhadap seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan dengan tulus”. Dalam Laporan Komisi Persiapan untuk Unsur-Unsur Kejahatan Pengadilan Kriminal Internasional Pasal 8 (2) (e) (vi)–1, UN Doc. PCNICC/2000/1/Add.2, 2 November 2000. 113
Bukti-bukti itu bisa berupa keterangan saksi (termasuk korban); terdakwa; seorang ahli; sebuah surat; atau sebuah petunjuk (Pasal 183-184). Dalam praktiknya kebanyakan kasus mensyaratkan bukti sperma dalam catatan medis (visum et repertum).
114
Menurut Pasal 185 (2) KUHAP sekarang ini "Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah " dan karenanya pengadilan memerlukan saksi yang menguatkan. Lihat juga Komnas Perempuan, “Pemenuhan Indonesia atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat: Isu untuk dibahas dengan Komite Menentang Penyiksaan”, April 2008, h2. 115
Lihat Amnesty International, Indonesia: Penjelasan kepada Komite CEDAW , Supra No18, Bagian 4.1 kekerasan dan undang-undang berbasis jender dan Bagian 4.3 prosedur yang peka terhadap jender untuk kejahatan kekerasan berbasis jender.
116
Lihat Amnesty International, Indonesia: Open letter to the House of People's Representatives on the reviewing and passing of a new Criminal Code (Indeks: ASA 21/022/2009), dan Amnesty International, Indonesia: Penjelasan kepada Komite CEDAW , Supra No18, h21-22. 117 Lihat Kegiatan RANHAM Indonesia Tahun 2011 – 2014), tautan web: http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/08/26/f/i/-1_1.pdf, diakses 5 Maret 2013. 118
Pengadilan HAM permanen yang berbasis di Medan mencakup provinsi Sumatra Utara, Daerah Istimewa Aceh, Riau, Jambi, dan Sumatra Barat (pasal 45). Pasal 45 juga menetapkan pembentukan tiga pengadilan HAM permanen lainnya di Jakarta Pusat (meliputi Daerah Khusus Ibu kota Jakarta dan provinsi Jawa Barat, Banten, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Kalimantan Barat, dan Kalimantan
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
74 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
Tengah), Surabaya (meliputi provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Bali, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur) dan Makassar (meliputi provinsi Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku, Maluku Utara, dan Papua. Sampai hari ini baru satu kasus saja yang sudah diajukan ke hadapan sebuah pengadilan HAM permanen. Kedua tertuduh dibebaskan. Lihat Amnesty International, Indonesia: Laporan kepada UNCAT, Supra No18, Bagian 7.3.2: Pengadilan HAM - kasus Abepura. 119
Keputusan Presiden tertanggal 31/2001 menyatakan bahwa pengadilan HAM permanen di Medan akan bermarkas di Pengadilan Negeri Medan. Menurut pemerintah Indonesia pengadilan HAM permanen telah didirikan dan para hakimnya sudah ditunjuk. Lihat Komite Pemberantasan Diskriminasi terhadap Perempuan, sesi kelima puluh dua, catatan ringkasan pertemuan ke -1043, 5 Desember 2012 (UN Doc: CEDAW/C/SR.1043), para 20. 120
Untuk komentar tambahan mengenai UU Pengadilan HAM oleh Amnesty International, lihatlah Amnesty International’s Comments on the Law on Human Rights Courts (Law No.26/2000) (Indeks: ASA 21/005/2001).
121
Definisi ini tidak konsisten dengan definisi kejahatan terhadap kemanusiaan yang terkandung dalam Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional. Secara khususnya, definisi itu tidak menyertakan: "tindakan-tindakan tidak manusiawi yang sifatnya mirip yang dengan sengaja menyebabkan penderitaan besar, atau luka berat terhadap tubuh atau kesehatan mental atau fisik".
122 Lihat misalnya Amnesty International, Indonesia: Laporan kepada UNCAT, Supra No18, bagian 7.2.1 dan 7.2.2. 123
Diloloskan oleh Kongres kedelapan PBB mengenai Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Pelanggaran, Havana, Kuba, 27 Agustus sampai 7 September 1990.
124
R v Sussex Justices, Ex parte McCarthy ([1924] 1 KB 256, [1923] All ER Rep 233
125
Pasal 25 UU No. 26/2000.
126
Pasal 2,2 menyatakan: "Sebuah Pengadilan HAM akan dibentuk untuk Aceh."
127
Pasal 3.1.1.
128
CMI, Final Report, h20-21, Supra No2.
129
Ada dua jenis pelanggaran pidana yang dicakup dalam KUHPM: pelanggaran yang ditetapkan dalam KUHP, dan pelanggaran yang khusus merupakan pelanggaran pidana militer seperti kejahatan terhadap keamanan nasional (Pasal 64-72 KUHPM), kejahatan terhadap atasan (Pasal 97-117), dan kejahatan yang berkaitan dengan kinerja keharusan tugas militer (pasal 118-139).
130 Kejahatan-kejahatan tersebut dapat diperiksa oleh sebuah panel campuran terdiri atas hakim sipil dan militer dengan kekuasaan Ketua Mahkamah Agung untuk merujuk perkara ke pengadilan militer. Hal ini sejalan dengan UU No .4/2004 yang mengamendemen UU No. 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman. 131
Lihatlah Human Rights Watch, Letter to Chairman Stamboel on Indonesia's Military Court System, 22 April 2010, tautan web: http://www.hrw.org/news/2010/04/21/letter-chairman-stamboel-indonesiasmilitary-court-system, diakses 5 Maret 2013. 132
CMI, Final Report, Supra No2, h18.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
133
75
Lihat Nashrun Marzuki and Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h56-57.
134
Mengenai perkara yang melibatkan perkosaan terhadap seorang perempuan di kabupaten Pidie tahun 1996, pengadilan militer di Medan dikabarkan memutuskan bahwa pelakunya harus memberi uang sebanyak Rp 50.000 per bulan setiap bulannya sebagai uang pemeliharaan bagi anak yang lahir akibat pemerkosaan. Lihatlah Laporan Pelapor Khusus tentang kekerasan terhadap perempuan, penyebab dan konsekuensinya, Ms. Radhika Coomaraswamy, yang diserahkan sesuai dengan resolusi Komisi HAM 2000/49, Komunikasi tambahan dari dan kepada Pemerintah, UN Doc: E/CN.4/2002/83/Add.1, 28 Januari 2002, para 41 dan Amnesty International, The impact of impunity on women in Aceh, Supra No4, h1-2. 135
Lihat Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11-12.
136
Lihat Human Rights Watch, Indonesia: Aceh Trial - Amnesty International and Human Rights Watch Call for Full Accountability, 17 Mei 2000, tautan web: http://www.hrw.org/news/2000/05/16/indonesiaaceh-trial-amnesty-international-and-human-rights-watch-call-full-accounta, diakses 18 Maret 2013. 137 Lihat Otto Syamsuddin Isyak, Peristiwa Idi Cut, Aceh: Dari tragedi ke impunitas, Cordova, 2001; Amnesty International, Urgent Action: Indonesia: Risk of torture or ill-treatment (Indeks: ASA 21/07/99), 9 Februari 1999; NGO Shadow report to the Committee against torture, Supra No44, h58. 138
Lihat Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11-12.
139
Menurut Pasal 18 UU tentang pengadilan HAM, penyelidikan pro-justicia atas kasus-kasus pelanggaran HAM berat, termasuk penyiksaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM, yang dapat membentuk sebuah tim ad hoc yang terdiri atas staf Komnas HAM dan unsur masyarakat untuk melakukan penyelidikan.
140
Pasal 20 (1), Law No. 26/2000.
141
"Kantor Jaksa Agung di Jakarta berpendapat bahwa untuk mengubah dakwaan dari pembunuhan menjadi pelanggaran HAM serius akan berarti bahwa penyelidikan harus dimulai dari awal lagi dan semua tersangka harus dibebaskan" dalam Human Rights Watch, The War in Aceh, Supra No43, h34.
142
Lihat Tempo Interactive, “Komnas HAM Teliti Kasus Pembantaian di Aceh Timur”, 25 Agustus 2001. Informasi lebih lanjut didapatkan dari wawancara-wawancara Amnesty International di Jakarta, April 2012.
143
Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h187-191; dan Laporan Investigasi KontraS/Koalisi NGO HAM (dalam berkas Amnesty International).
144
Amnesty International mengetahui adanya dua kasus yang terjadi selama masa jeda kemanusiaan yang kemudian dibawa ke pengadilan untuk dituntut, yaitu: (1) kasus Teungku Bantaqiah yang sudah disorot sebelumnya sebagai bagian proses KPTKA, dan (2) kasus KNPI. Bulan Januari 1999, tentara Indonesia memukuli puluhan orang di gedung Komite Nasional Pemuda Indonesia yang menyebabkan empat orang tewas. Seorang mayor dan empat prajurit kemudian dijatuhi hukuman penjara masingmasing enam dan tujuh tahun oleh pengadilan militer dan dipecat dari TNI. Namun, TNI tidak memberikan informasi mengenai lokasi penahanan atau tanggal pemecatan mereka. Lihat ICTJ dan KontraS, Derailed, Supra No83 h52. 145
Lihat The Jakarta Post, “TNI admits to wrongdoings in Aceh”, 6 Juni 2004, tautan web: http://www.thejakartapost.com/news/2004/05/06/tni-admits-wrongdoings-aceh.html, diakses 23 Maret
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
76 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
2013. 146
Lesley McCulloch, Aceh: Then and Now, Minority Rights Group International, 2005, h21, tautan web: www.minorityrights.org/download.php?id=136, diakses 5 Maret 2013. Juga lihat Jakarta Post, “Soldiers sentenced in Aceh rape cases”, 20 Juli 2003, tautan web: http://www.thejakartapost.com/news/2003 /07/20/soldiers-sentenced-aceh-rape-cases.html, diakses 5 Maret 2013. 147 Lihat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, “Resume hasil observasi proses peradilan kasus Aceh”, 1991 (dalam berkas Amnesty International) dan Amnesty International, New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4, h19-21. 148
Amnesty International, A briefing for EU and ASEAN, Supra No57.
149
Pasal 6.
150
Lihat misalnya SHNews.Co, “Penguatan LPSK Butuh Revisi Undang-undang” 17 September 2012, tautan web: http://www.shnews.co/detile-7992-penguatan-lpsk-butuh-revisi-undangundang.html, diakses 7 April 2013.
151
Lihat Amnesty International, Indonesia: Authorities must ensure accountability for police violence in South Sumatra (Indeks: ASA 21/003/2013); Amnesty International, Indonesia: Excessive use of force by police against demonstrators in Papua (Indeks: ASA 21/041/2012); Amnesty International, Indonesia: Investigate military attacks on villagers in Wamena, Papua (Indeks: ASA 21/020/2012 ); dan Amnesty International, Indonesia: Excessive force: Impunity for police violence in Indonesia (Indeks: ASA 21/010/2012). 152
Lihat contohnya, Jakarta Globe, “TVRI Journalists Victims of Mob Attack in Gorontalo”, 26 Maret 2013, tautan web: http://www.thejakartaglobe.com/home/tvri-journalists-victims-of-mob-attack-ingorontalo/582110, diakses 7 April 2013; Jakarta Globe, “Police Blame Victim for Aceh Mob Violence, Fail to Identify Attackers”, 19 November 2012, tautan web: http://www.thejakartaglobe.com/home/police-blame-victim-for-aceh-mob-violence-fail-to-identifyattackers/556902, diakses 7 April 2013; Antara, “Violence against Shiite muslims in Sampang condemned”, 27 Agustus 2012, tautan web: http://www.antaranews.com/en/news/84214/violenceagainst-shiite-muslims-in-sampang-condemned, diakses 7 April 2013; dan Jakarta Post “Irshad Manji injured in mob attack in Yogya”, 10 Mei 2012, tautan web: http://www.thejakartapost.com/news/2012/05/10/irshad-manji-injured-mob-attack-yogya.html, diakses 7 April 2013.
153 Menurut Badan Pusat Statistik angka pengangguran di Aceh mencapai 9,1 persen tahun 2012. Lihat Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh, “Indikator Ketenagakerjaan Provinsi Aceh Agustus 2012”, Agustus 2012, h11, tautan web: http://aceh.bps.go.id/index.php?r=publikasi/view&id=38, diakses 21 Maret 2013. 154
Lihat Aguswandi, The political process in Aceh: a new beginning?, dalam Conciliation Resources, Reconfiguring politics: the Indonesia - Aceh peace process, Accord Issue 20, 2008, (Conciliation Resources, Reconfiguring politics), h53; dan Serambinews.com, “Menggugat ‘Kedaulatan Aceh’”, oleh Munawar A. Djalil, 7 Februari 2013, tautan web: http://aceh.tribunnews.com/m/index.php/2013/02/07/ menggugat-kedaulatan-aceh, diakses 19 Maret 2013.
155 Pada April 2012, Dr H. Zaini Abdullah, seorang anggota GAM senior yang berbasis di Swedia dan Muzakir Manaf, mantan komandan lapangan GAM dan ketua Partai Aceh (2007 -2012) terpilih masing-
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
77
masing sebagai gubernur dan wakil gubernur. Mereka menggantikan Irwandi Yusuf. mantan juru bicara GAM, dan Muhammad Nazar, mantan pegiat pro-independen (2007-2012). Perpecahan di antara kedua faksi yang berbeda dari mantan Gerakan Aceh Merdeka dipercayai telah menyebabkan timbulnya kekerasan dalam pemilihan umum setempat tahun 2012. Lihat ICG, Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Supra No11. 156
Lihat ICG, Indonesia: Averting Election Violence in Aceh, Supra No11.
157
CMI Final report, 2012, Bab 5.4: The security situation in Aceh, h34-35.
158
Lihat Human Rights Watch, Indonesia: Accountability for Human Rights Violations in Aceh, Maret 2001, tautan web: http://www.hrw.org/reports/2002/aceh/Aceh0302.pdf, diakses 5 Maret 2013; NGO Shadow report to the Committee against torture, Supra No44; dan Tempo Interactive, “Pembunuhan Massal di Afdeling IV PT Bumi Flora Aceh Timur”, 17 Juni 2004, tautan web: http://www.tempo.co.id/hg/narasi/2004/06/17/nrs,20040617-08,id.html, diakses 29 Maret 2013 159
Nama-namanya sudah diganti.
160
Tahun 1998, Gubernur Aceh mengumumkan sebuah program, yang menyertakan pula beasiswa bagi pelajar dan bantuan medis, untuk membantu mereka yang menderita selama periode DOM. Korespondensi email dengan para pembela HAM, 20 Maret 2013. Juga lihat artikel tahun 1998 di Serambi Indonesia,” Gubernur Berjanji Serius Rehabilitasi Korban DOM”, tautan web: http://groups.yahoo.com/group/bhinneka/message/2619?var=1, diakses 4 April 2013. Sebuah artikel tahun 2002 mengindikasikan bahwa sampai dengan 280.000 anak Aceh menerima bantuan beasiswa tahun itu, dalam Liputan.com, “Anak Korban DOM Aceh Mendapat Beasiswa”, 10 Juni 2002, tautan web: http://news.liputan6.com/read/35724/anak-korban-dom-aceh-mendapat-beasiswa, diakses 4 April 2013.
161
Lihat misalnya tanggapan Indonesia kepada komite CEDAW, dikutip dalam laporan ini di Bagian 5.3: Hambatan yang menghadang para perempuan penyintas kekerasan dalam menghadapi reparasi dan bantuan, Komite CEDAW, sesi kelima puluh dua, Laporan Ringkasan pertemuan ke-1043, Supra No 119, para 19.
162
ICTJ dan KontraS, Derailed, Supra No83, h65.
163
UU Pemerintahan Aceh juga menekankan dalam Pasal 228 bahwa "[p]utusan Pengadilan Hak Asasi Manusia [di Aceh]... memuat antara lain pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia". Namun, sebagaimana dideskripsikan dalam bagian 4.1. UU itu menghalangi Pengadilan HAM untuk menangani kejahatan yang dilakukan sebelum undang-undang itu diberlakukan tahun 2006.
164
Lihat Pasal 3(1) Peraturan Pemerintah No. 3/2002 tentang Kompensasi, Restitusi, dan Rehabilitasi bagi Korban Pelanggaran HAM yang berat, dan penjelasan kebijakan oleh ICTJ, Ikatan Keluarga Korban Orang Hilang Indonesia (IKOHI) dan Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Kewajiban Indonesia untuk Memberikan Reparasi kepada Korban Pelanggaran HAM Berat, Desember 2011, h5. 165 Saat ini tidak ada seorang pun yang dipenjara sebagai akibat pemeriksaan di hadapan pengadilan HAM permanen di Makassar (kasus Abepura, 2000), atau sebagai akibat pemeriksaan di hadapan pengadilan HAM ad hoc (Tanjung Priok, 1984, dan Timor Timur, 1999). Lihat ICTJ dan KontraS, Derailed, Supra No83, h46-51. 166
Lihat Pasal 6 dan 7 UU No.13/2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
78 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
167
Pasal 12 dari UU No. 13/2006 menyatakan bahwa Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban bertanggung jawab memberikan perlindungan dan bantuan kepada para saksi dan korban sesuai dengan tugas dan wewenangnya seperti ditetapkan dalam undang-undang ini.
168
Lihat Indonesia’s Obligations to Provide Reparation for Victims of Gross Human Rights Violations, Supra No164, h5. 169
Lihat Pasal 3 & 4 (2e) dari Peraturan Pemerintah No. 44/2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban.
170
Wawancara Amnesty International dengan perwakilan dari kelompok korban Aceh, 11 Mei 2012.
171 Jumlah total 62.000 adalah perkiraan bukannya berdasarkan pengumpulan data secara aktual. Lihat Leena Avonius, Reintegration: BRA's roles in the past and its future visions, 2011, (Leena Avonius, Reintegration), h18, tautan web: http://www.acehpeaceprocess.net/images/stories/publications/avonius.pdf, diakses 12 Maret 2013. 172
Program BRA memberikan bantuan kepada lebih dari 2.000 tahanan politik yang mendapat pengampunan pasca-MOU, kepada 6.000 pendukung PETA, yaitu sebuah kelompok payung para milisi anti-separatis selama konflik, kepada lebih dari 6.000 non-kombatan GAM, dan sejumlah anggota GAM yang menyerah sebelum MOU. Dalam Laporan Bantuan Sosial dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Aceh dalam rangka reintegrasi, Tahun 2005-2008, h6. 173
Juga lihat Leena Avonius, Reintegration, Supra No171, h21.
174
Diyat adalah program kompensasi berupa uang tunai berdasarkan hukum Islam untuk keluarga korban yang dibunuh atau hilang selama konflik berlangsung. Diyat ini berdasarkan prinsip dalam Alquran, bahwa dalam kasus pembunuhan yang disengaja maupun tidak disengaja, keluarga korban harus menerima kompensasi berupa seratus unta. Di Aceh, sulit untuk mengkonversi harga seratus unta itu ke dalam rupiah. Pada awalnya tiga juta rupiah diberikan per rumah tangga. Setelah pertemuan konsultasi tahun 2009, yang menyertakan para pakar dan perwakilan dari departemen pemerintahan yang berbedabeda, direkomendasikan agar setiap keluarga menerima total 15 juta rupiah, yang dibayarkan selama lima tahun. Keputusan itu waktu itu seharusnya dikonfirmasikan dalam bentuk tertulis oleh Gubernur Aceh, namun, pada akhir 2010 kantor Gubernur masih belum mengeluarkan surat itu. See Leena Avonius, Reintegration, Supra No171, h21. 175
Sayam adalah sebuah kategori yang memasukkan semua macam bantuan yang diberikan kepada acara ritual, peristiwa lokal atau kepada perorangan yang datang ke kantor meminta uang. Ini merupakan praktik yang biasa dilakukan di Aceh. Lihat Leena Avonius, Reintegration, Supra No171, h11. 176
Wawancara Amnesty International dengan seorang mantan kepala asosiasi korban, Banda Aceh, 8 Mei 2012.
177
Wawancara Amnesty International dengan ornop, 11 Mei 2012.
178
Wawancara Amnesty International dengan para korban konflik Aceh, Lhokseumawe, 10 Mei 2012.
179
Wawancara Amnesty International dengan ornop, 09 Mei 2012.
180
Lihat misalnya Patrick Barron “Managing the resources for peace: Reconstruction and peacebuilding in Aceh” dalam Conciliation Resources, Reconfiguring politics, Supra No154; Lina Frodin “The challenges of reintegration in Aceh” dalam Conciliation Resources, Reconfiguring politics, Supra No154; dan Leena Avonius, Reintegration, Supra No171,h12-13.
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
181
79
Wawancara Amnesty International dengan pekerja ornop, 10 Mei 2012.
182
Lihat misalnya Komnas Perempuan, Pengalaman Perempuan Aceh Mencari dan Meniti Keadilan, Januari 2007; Laporan Komnas Perempuan, Kondisi Tahanan Perempuan di Nanggroe Aceh Darusalam, Februari 2009; Amnesty International, Indonesia: The impact of impunity on women in Aceh, Supra No4; Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3. 183
Laporan tahun 2007 tentang Aceh oleh Komnas Perempuan yang menemukan 103 kasus pelanggaran terhadap perempuan dari masa daerah operasi militer sampai dengan penandatanganan MOU Helsinki tahun 2005 mengakui bahwa kasus-kasus ini mewakili hanya sejumlah kecil kasus pelanggaran terhadap perempuan yang terjadi di sana. Lihat Komnas Perempuan, Experiences of Aceh
Women, Supra No3,hp5. 184
Amnesty International tidak mewawancarai korban /penyintas kekerasan seksual lelaki untuk laporan
ini. 185
Lihat Bagian 8 tentang Kekerasan terhadap perempuan dalam Amnesty International, Indonesia: New military operations, old patterns of human rights abuses in Aceh, Supra No4. 186 Samsidar, mantan anggota Komnas Perempuan dan juga seorang pegiat hak-hak perempuan Aceh, menjelaskan: “Di Langsa, Aceh Timur, kami bertemu seorang dokter yang ketakutan ketika merawat seorang korban pemerkosaan. Korban itu mengalami pendarahan hebat karena diperkosa. Sampai saat ini dia masih sering kali mengalami pendarahan. Namun ketika dia pergi ke kantor camat untuk meminta dana diyat, dia ditolak. Alasan yang diberikan kepadanya adalah bahwa korban pemerkosaan tidak dianggap sebagai 'kasus besar'. Dana diyat hanya untuk mereka yang mengalami penghilangan paksa, kehilangan anggota keluarga, atau luka-luka." Dalam Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h210. 187
Wawancara Amnesty International dengan para pegiat hak-hak perempuan, 9 Mei 2012.
188
Lihat Kompas, “KTP Jadi Jaminan Kesehatan Gratis”, 2 Juni 2010, tautan web: http://regional.kompas.com/read/2010/06/02/0909461/KTP.Jadi.Jaminan. Kesehatan.Gratis, diakses 12 Maret 2013; dan Waspada, “Program Jaminan Kesehatan Aceh disosialisasikan”,11 Agustus 2012, tautan web: http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=256897:program-jaminankesehatan-aceh-disosialisasikan&catid=13:aceh&Itemid=26, diakses 5 Maret 2013.
189
Lihat Amnesty International berjudul Tak Ada Pilihan: Rintangan atas kesehatan reproduktif di Indonesia (Indeks: ASA 21/013/2010), h15-20.
190
Lihat secara umum Amnesty International, Tak ada pilihan, Supra No189.
191
Amnesty International berjudul Tak Ada Pilihan, Supra No189.
192 Kekerasan terhadap perempuan masih tetap lazim ditemukan di seluruh bagian negara Indonesia. Komnas Perempuan melaporkan adanya 216.156 kasus pelanggaran terhadap perempuan di tahun 2012. Lihat Komnas Perempuan, “Lembar Fakta Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2012”, 7 Maret 2013, tautan web: http://www.komnasperempuan.or.id/wpcontent/uploads/2013/03/Lembar-Fakta-Catahu-2012-_Launching-7-Maret-2013_.pdf, diakses 21 Maret 2013. 193
Lihat Amnesty International, Indonesian woman persecuted for the 'shame' of being raped and
Indeks: ASA 21/001/2013
Amnesty International April 2013
80 Saatnya menghadapi masa lalu Keadilan bagi korban pelanggaran masa lalu di Provinsi Aceh, Indonesia
pregnant, 4 November 2010, tautan web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesianwoman-tells-expulsion-village-shame-being-raped-and-pregnant-2010-11-04, diakses 5 Maret 2013. Di antara hambatan bagi kaum perempuan adalah rasa takut diceraikan untuk perempuan yang sudah menikah, dan rasa takut tidak akan bisa menikah untuk perempuan yang belum menikah, dalam Nashrun Marzuki and Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, h211. 194
Lihat Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta Bicara, Supra No3, bab “Kehidupan Korban Yang Semakin Sulit”,h209; dan Amnesty International, ak ada pilihan, Supra No189, h21-22.
195
Wawancara Amnesty International, 10 Maret 2013.
196
Komite CEDAW, Komentar Kesimpulan Komite Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan: Indonesia, 27 Juli 2012 (UN Doc: CEDAW/C/IDN/CO/6-7), paras 27-28. 197 Komite CEDAW, sesi kelima puluh dua, catatan ringkasan pertemuan ke-1043, Supra No119, para 19. 198
Nashrun Marzuki dan Adi Warsidi (Eds), Fakta bicara, Supra No3.
199 Lihat KBR68H, “Mengenang Peristiwa Berdarah Simpang KKA Aceh”, 2 Mei 2012, tautan web: diakses 7 Maret 2013. 200
Lihat Amnesty International, Activists at risk in Aceh, Supra No4, h11-12.
201
Wawancara Amnesty International dengan pembela HAM, Banda Aceh, 08 Mei 2012. Sebuah monumen peringatan didirikan di Banda Aceh untuk mengenang korban gempa bumi dan tsunami bulan Desember 2004.
202
Percakapan telepon Amnesty International dengan ornop setempat, 12 Maret 2013.
203 Kampanye selama empat tahun dilakukan oleh kelompok para korban sebelum tugu itu didirikan. Dana untuk pembangunan monumen didapatkan dari pihak berwenang kabupaten Aceh Utara yang juga berpartisipasi dalam upacara peringatan. Wawancara Amnesty International dengan para aktivis di Aceh Utara, 10 Mei 2012. 204
Lihat VHR media, “Tugu Pelanggaran HAM Berdiri di Jamboe Keupok”, 28 Oktober 2011, tautan web: http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=4758, diakses 21 Maret 2013. 205 Lihat ICTJ, The need for Accountability: The Helsinki Memorandum Five Years on, Agustus 2010; dan Radio Komunitas Dewantara FM, “Pengungkapan Kebenaran Oleh Rakyat Pada Puncak Peringatan 11 Tahun Tragedi Simpang KKA”, 6 Mei 2010, tautan web: http://m.suarakomunitas.net/baca/8228/pengungkapan-kebenaran-oleh-rakyat-pada-puncak-peringatan11-tahun-tragedi-simpang-kka.html, diakses 5 Maret 2013. 206
Wawancara Amnesty International dengan aktivis Aceh, 10 Mei 2012.
207 Partai Aceh dibentuk sesudah perjanjian damai tahun 2005 sebagai partai politik yang mewakili GAM di provinsi Aceh. 208
Amnesty International, Checklist for the establishment of an effective truth commission (Daftar periksa untuk pembentukan komisi kebenaran yang efektif) (Indeks: POL 30/020/2007).
209 Amnesty International, International Criminal Court: Updated checklist for effective implementation (Indeks: IOR 53/009/2010).
Amnesty International April 2013
Indeks: ASA 21/001/2013
APAKAH ITU DALAM KONFLIK YANG BANYAK DILIPUT ORANG ATAU YANG TERJADI DI SEBUAH SUDUT DUNIA YANG TERLUPAKAN, AMNESTY INTERNATIONAL MENGKAMPANYEKAN UNTUK ADANYA KEADILAN, KEBEBASAN DAN MARTABAT BAGI SEMUA ORANG SERTA BERUPAYA MENGGERAKKAN DUKUNGAN MASYARAKAT DEMI MENCIPTAKAN DUNIA YANG LEBIH BAIK APA YANG BISA ANDA LAKUKAN? Para aktivis di seluruh dunia telah menunjukkan bahwa melawan kekuatan berbahaya yang merendahkan HAM memang mungkin dilakukan. Jadilah bagian dari gerakan ini. Lawanlah mereka yang menyebarkan ketakutan dan kebencian. Bergabunglah dengan Amnesty International dan menjadi bagian gerakan mendunia yang mengkampanyekan diakhirinya pelanggaran HAM. Bantu kami membuat perbedaan. Berilah sumbangan untuk mendukung pekerjaan Amnesty International.
Bersama-sama kita bisa membuat suara kita didengar. Saya tertarik mendapatkan informasi lebih lanjut tentang menjadi anggota Amnesty International Nama Alamat Negara Email
Saya ingin memberi sumbangan kepada Amnesty International (sumbangan akan diambil dalam bentuk UK £, US$ atau €)
Harap didebit dari kartu
Visa
Mastercard
Nomor
SAYA INGIN MEMBANTU
Tanggal kedaluwarsa Tanda tangan Harap kembalikan formulir ini ke kantor Amnesty International di negara Anda. Untuk mengetahui mengenai kantor Amnesty International di seluruh dunia lihatlah: www.amnesty.org/en/worldwide-sites Jika tidak ada kantor Amnesty International di negara Anda, harap kembalikan formulir ini ke: Amnesty International, International Secretariat, Peter Benenson House, 1 Easton Street, London WC1X 0DW, United Kingdom
amnesty.org
jumlah
SAATNYA MENGHADAPI MASA LALU KEADILAN ATAS KEJAHATAN MASA LALU DI PROVINSI ACEH INDONESIA
Pada 15 Augustus 2005, pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, sebuah kelompok bersenjata pro-kemerdekaan, menandatangani perjanjian damai bersejarah yang membawa kepada keberhasilan berakhirnya 29 tahun kekerasan di Aceh. Konflik di Aceh memiliki dampak yang menghancurkan bagi penduduk sipil, khususnya antara 1989-2004 ketika pihak berwenang menggunakan pasukan keamanan untuk menekan tuntutan kemerdekaan Aceh. Pelanggaran hak asasi manusia yang serius dilakukan, termasuk penghilangan paksa, pembunuhan, dan penyiksaan. Meskipun jarang dilabeli demikian, beberapa kejahatan ini merupakan kejahatan di bawah hukum internasional. Tujuh tahun, pemerintah pusat dan pihak berwenang di Aceh telah gagal mengimplementasikan ketentuan-ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian damai yang berkaitan dengan kebenaran dan keadilan. Pengalaman dari masa lalu tidak dipelajari. Sebaliknya, masa lalu dikubur dengan penundaan yang terus berlangsung dalam membentuk komisi kebenaran, mekanisme keadilan yang efektif, dan langkah-langkah komprehensif untuk menyediakan pemulihan hak secara penuh bagi para korban dan keluarga mereka.
amnesty.org Indeks: ASA 21/001/2013 April 2013
Sementara itu, para korban dan keluarga mereka terus menuntut bahwa pihak yang berwenang mengakui apa yang terjadi terhadap mereka selama konflik dan mewujudkan janji-janji awal mereka. Sudah saatnya pemerintah pusat dan otoritas lokal di Aceh menanggapi tuntutan tersebut dan memastikan bahwa langkah-langkah efektif akan dilakukan untuk memenuhi hak-hak korban atas kebenaran, keadilan, dan pemulihan. Langkah-langkah tersebut akan melindungi, menjamin, dan memperkuat masa depan perdamaian Aceh.