Lelaki dari Masa Lalu Redy Kuswanto
A
ku lelaki dari masa lalu. Demikian yang ditulis lelaki itu semiggu yang lalu melalui pesan di inbox-nya. Meskipun sempat bertanya dan menduga-duga, tetapi Riris tidak lantas menanggapi secara serius pengakuan yang terkesan aneh tersebut. Riris yakin, lelaki itu –atau bisa saja seorang perempuan– sekadar iseng ingin menyapa seperti layaknya penggemarnya yang lain. Atau bisa saja ia salah satu dari mereka yang suka mengaku-ngaku menyukai novel-novel karya Riris. Perempuan itu pun berjanji di dalam hati, ia tak akan terpengaruh apalagi menanggapi manusia aneh itu dengan cara yang berlebihan. Namun sapaan lelaki itu pada pagi dua hari berikutnya, membuat Riris terhenyak beberapa saat di depan layar laptop. Kepala Riris
dipenuhi berjuta tanya dan berbagai praduga. Bukan! Bukan karena rayuan iseng lelaki itu yang mulai mengganggu dan mempengaruhi pikirannya. Hanya saja, bagaimana lelaki asing itu menyapa, mendadak mematahkan anggapan Riris bahwa lelaki itu hanya sedang membual. Jelas, ia bukan sekadar pembaca atau fans berat seperti yang lain. Ia mengenali siapa Riris yang sebenarnya. Riris sangat tahu. Selama ini, selain keluarga dan teman dekat, tak ada yang pernah memanggilnya dengan sebutan nama itu. Semua penggemar novel-novelnya hanya mengenal Embun Kinanti, sama sekali bukan Riris Triasih. Tak begitu mengherankan jika kemudian Riris mulai berpikir, mungkin benar lelaki itu adalah teman lelakinya di masa lalu. Entah siapa. Sepanjang hidupnya, Riris pernah memiliki beberapa nama
istimewa. Bukan hanya satu lelaki yang pernah singgah dan menghiasi ruang hatinya. Dan kini, ia terlalu enggan menerka-nerka siapa salah satu di antara mereka. “Sudah kukatakan, ini akun palsu, Riris. Apa pun bisa kujadikan nama, kan?” tukas lelaki itu ketika Risis mengatakan tak pernah mengenal seorang lelaki bernama Banta –baik di masa lalu maupun sekarang. “Lalu, bagaimana Anda tahu nama saya?” “Hmm, kamu masih tidak percaya kalau aku … ah, sudahlah. Yang pasti, sejak aku melihat foto di cover novel-novelmu secara tak sengaja, aku yakin Embun Kinanti adalah Riris. Mana mungkin aku lupa wajahmu, Ris. Aku masih ingat matamu yang bulat dan bercahaya.” “Jangan menggombal,” sergah Riris agak jengah. “Meskipun di zaman modern ini internet bisa menyuguhkan segala informasi. But, you don’t know anything about me!” “Hmm, oke. Tapi, kamu masih suka menggulung rambut dengan batang daun ketela?” Riris diam dan menahan napas sejenak, lalu menyesap sisa kopi hitam yang mendingin. Menggulung ujung rambut menggunakan batang ketela untuk memberikan kesan ikal, atau mewarnainya dengan biji pepaya yang disangray, adalah kebiasaan yang ia lakukan sejak duduk di bangku SMP. Heran. Bagaimana lelaki itu tahu rahasia kecilnya? Selama ini, hanya keluarga dan orang-orang tertentu yang tahu kebiasaankebiasaan unik tersebut. “Aku juga tahu kalau kamu pernah naksir pacar sahabatmu sendiri.” Lelaki itu kembali menulis. “Lalu apa yang membuatmu ragu kalau aku lelaki dari masa lalumu?” Kesal merintis. Riris kembali terdiam lantaran kehabisan kata. Ia merasa kalah. Banta tahu tentang masa lalunya. Bisa jadi, memang benar Banta adalah teman dekat yang tengah mempermainkan atau sekadar menggodanya. Ah, hanya manusia kurang waras yang akan melakukan hal iseng seperti itu, tampik Riris berusaha menenangkan diri. “Kalau Anda bukan pengecut, sebutkan saja nama asli dan selesai perkara,” pancing Riris mulai kehilangan kesabaran. “Maaf, waktu saya terlalu berharga kalau hanya untuk melayani keisengan yang tak berguna seperti ini. Saya harus bekerja!”
“Aku sungguh-sungguh akan menemuimu, Riris,” tulis Banta lagi. “Tolong berikan saja alamatmu di Yogya. Izinkan aku menemuimu. Dengan demikian, kamu akan tahu siapa aku. Kamu akan tahu bahwa aku bukan hanya ada di dunia maya. Aku nyata, Riris.” Gelisah mendera. Sekian lama Riris hanya memandangi kotak percakapan pada screen laptop. Rasanya akan memberikan kesan arogan jika ia mengatakan tidak bersedia ditemui. Riris berpikir, jika Banta benar salah satu dari pembaca setia karya-karyanya, tentu ini bukan kesan yang baik. Riris menyadari sepenuhnya, sebagai penulis, apalah artinya tanpa pembaca. Tetapi untuk mengiyakan, rasanya juga begitu berat. Riris belum tahu siapa orang itu. Ia bahkan belum paham, makhluk berjenis kelamin apakah pemilik akun facebook dengan nama Banta itu. Kesungguhan lelaki itu tak bisa ditaksir sama sekali. Riris tak menyukai cara Banta yang tidak gantle dengan menolak memberikan nomor telepon pribadinya. Riris sangat tahu–diam-diamdiam ia menelusuri lini masa facebook milik lelaki itu–mereka berteman sudah lebih dari dua bulan. Kalau benar lelaki itu teman di masa lalunya, mestinya ia menyapa sejak dulu. Riris menilai lelaki itu hanya golongan manusia aneh dan tak memiliki keberanian untuk menampakkan wajah dan nama asli di media sosial. Ia pun menandai, Banta hanyalah manusia putus asa yang tengah kesepian. Ia memerlukan teman untuk pelampiasan, yakin hati Riris. Kembali Banta menulis pagi berikutnya. “Aku akan buktikan kalau aku tidak sedang iseng. Minggu depan ada launching novel terbarumu, kan? Kita bertemu di sana, bagaimana?” “Ya, temui saya di sana saja!” jawab Riris bernada tantangan. “But remember, jangan pernah mencoba membuat ulah atau mengacaukan acara saya.” * Benar, ia lelaki dari masa lalu! Kenyataan ini membuat Riris seketika bagai terpaku pada tanah yang ia pijak. Memandangi sosok lelaki tegap dengan manik mata yang hitam, ingatan Riris terbetot pada satu kejadian pada suatu ketika. Dalam pelupuk matanya yang terbuka lebar, Riris melihat sosok Dendy berjalan gegas menuju kantin sekolah. Pemuda jangkung berusia 15 tahun itu begitu mempesona dengan
seragam biru-putih yang tertata rapi. Bola matanya yang hitam terbingkai sepasang alis tebal, seolah menyimpan sejuta misteri. Terlebih senyum di belahan bibir indahnya, seolah membuat hati setiap perempuan meleleh. Jujur, diamdiam Riris memendam rasa begitu dalam. Sudah lama ia terlalu mengagumi pemuda itu. Dendy mengempaskan tubuhnya di kursi kayu panjang, di hadapan Riris dan Lena. Garisgaris kesedihan tiba-tiba tergambar jelas di wajahnya. Tak ada lagi gairah dalam pancaran matanya. “Ini hari terakhirku di sini,” ujarnya lirih dan sedikit terbata. “Besok aku berangkat ke Medan, ikut Ayah dan Ibu. Kami akan menetap di sana entah sampai kapan.” “Hanya setahun lagi. Tanggung, Den,” komentar Lena, berharap Dendy masih bisa mempertimbangkan keputusannya. “Seharusnya kamu bisa menunggu sampai ujian akhir.” Riris bungkam. Dadanya dipenuhi gemuruh rasa yang berdentam-dentam. Dendy pun lantas diam seribu bahasa ketika menyaksikan Lena akhirnya tak bisa menahan tangis. Sedusedan. Histeris. Jujur, Riris juga ingin menangis kala itu. Rasanya ingin berteriak dan mengadu pada langit bahwa sedihnya tak terkatakan karena harus kehilangan Dendy. Namun, ia mencoba bertahan. Akan terlihat sangat janggal jika pun ia terpaksa melakukannya. Pasalnya, meskipun Riris sangat menginginkan Dendy, tetapi kakak
kelasnya itu milik Lena, sahabatnya. “Riris. Maaf, kamu masih kenal aku, kan?” Sapaan Dendy membawa Riris kembali ke alam nyata. Riris sadar, mereka masih berdiri berhadapan. Begitu dekat. Aroma asap rokok sekilas menguar dari jaket kulit yang dikenakan lelaki itu. Riris berusaha menguasai diri dari gugup dan gagap yang tiba-tiba menyergap. Ia membenahi rambutnya yang sudah rapi, sekadar menyamarkan gemetar di jemari tangannya. “Kamu pangling, ya?” tanya Dendy kemudian. Ia membasahi bibirnya sebelum melanjutkan. “Kamu tidak berubah, Ris. Sungguh. Masih seperti saat terakhir aku lihat kamu.” “Itu nggak mungkin, Den. Usiaku hampir 30 sekarang,” sanggah Riris seraya menyilakan lelaki itu duduk. “Terakhir bertemu, aku masih 13 tahun, masih lugu dan jelek.” Dendy tertawa tak bersuara menanggapi ucapan perempuan berkaca mata itu. Guratgurat samar berwarna cokelat terlihat pada deretan giginya yang rapi. Jelas, lelaki itu pecandu rokok. “Bedanya hanya sedikit saja. Mungkin karena sekarang lebih terawat dan dulu tidak.” Percakapan mereka terputus ketika dua orang remaja perempuan menghampiri. Remaja berseraham SMP itu meminta tandatangan Riris pada novel terbarunya yang sebentar lagi akan di-launching. Riris merasa jengah. Lelaki itu masih mengawasinya. Ah, Tuhan, aku bahkan sulit menemukan kalimat pembuka untuk memulai sebuah percakapan, keluh Risis dalam hati. Untung saja, kesibukan persiapan launching ini bisa menjadi alasan yang tepat. “Mereka seperti kamu dan Lena, selalu berdua,” komentar Dendy, sesaat setelah kedua siswi SMP itu berlalu. “Ahh … ternyata sudah lebih lima belas tahun kita berpisah ya.” Perempuan berambut sebahu itu tersenyum. “Sudah lama sekali. Aku ingin bertemu dia,” komentarnya serius. “Semoga setelah ini aku bisa menemukan teman-temanku satu persatu. Dalam keadaan seperti ini, facebook dan sosial media lainnya sangat berperan.” “Aku belum menemukan siapa pun. Punya FB juga belum lama ….” “Dan hanya untuk iseng,” tandas Riris. Dendy kembali tertawa. “Aku sudah memenuhi janji. Ini bukti kalau aku serius, Ris.” Betapa semuanya seperti terjadi baru
kemaren. Dendy pindah sekolah. Mereka berpisah sejak hari itu dan tak pernah ada komunikasi. Setelah lulus dari SMP pada akhir 2001, Riris melanjutkan ke SMA di kecamatan Kuala, tak jauh dari desanya. Sedangkan Lena, masuk ke sebuah SMA ternama di kota Meulaboh. Setelahnya, mereka jarang berhubungan dan perlahan hilang kontak, terlebih saat tsunami melanda Aceh. Situasi yang porak-poranda pasca tragedi 26 Desember 2004, memaksa keluarga Riris kembali ke Temangggung. Dan ia harus ikhlas meninggalkan segala kisah di tanah transmigran, tanah kelahiran yang telah membesarkannya. Riris pernah berharap ia bisa bertemu Lena –dan Dendy yang diam-diam ia rindukan– juga beberapa temannya. Namun, semua isapan jempol belaka. Bahkan ketika lulus dari sebuah SMA di Temanggung dan meneruskan kuliah di Yogya, Riris tak pernah menemukan titik terang. Tak terhitung berapa kali ia mendatangi asrama dan komunitas mahasiswa Aceh. Berharap bisa menemukan petunjuk. Pernah suatu ketika seorang teman lama mengabarkan bahwa Lena berada di Kuala Lumpur. Ia diboyong suaminya yang pengusaha. Kabar itu diperkuat oleh keterangan seorang tetangga lama yang bisa dipercaya, Lena memang telah dipersunting lelaki dari negeri Jiran. Lantas, Riris mencoba menelusuri keberadaan Lena. Nihil. Ketika ia berkunjung ke desanya di Aceh, tak ada satu orang teman pun yang bisa ia jumpai. Tempat itu tak ubahnya perkampungan mati. Hanya ada beberapa penduduk baru yang sama sekali tak pernah ia kenali. Pada akhirnya, ia harus mampu menerima kenyataan bahwa takdir telah memisahkannya dengan segala yang ada di sana. Bagi Riris, Aceh kemudian menjelma sebuah nama asing yang bisa ia sebut dalam dunia dongeng belaka. Sungguh menyakitkan. Dan kini, tiba-tiba saja Dandy hadir membawa serangkum kenangan dari masa lalu. Puzzle-puzzle peristiwa berhambur di kepala Risis, berpilin-pilin dan saling berkait menciptakan bentangan kisah secara perlahan-lahan seumpama rewind sebuah film. Lelaki itu datang tak ubah gulungan angin puyuh, menghempas segala kenangan masa lalu yang tertimbun sekian lama. *
“Kebiasaan bengongmu belum hilang juga,” tegur Dendy. Lagi-lagi membuat Riris tergagap dan tersadar dari lamunan panjang. Lengan Dendy yang kokoh menepuk-nepuk bahu Riris lembut. “Mungkin kebiasaan ini yang membuatmu jadi penulis hebat seperti sekarang.” “Mungkin juga,” sahut Riris menanggapi dengan cepat. Seorang MC membuka acara di atas panggung kecil di halaman depan sebuah toko buku ternama. “Sebentar, aku ke depan dulu ya. Acaranya akan segera dibuka. Jangan ke mana-mana.” Acara launching novel ketujuh yang ditulis Riris berlangsung meriah. Pengunjung meruah. Dendy duduk paling pojok di deretan kursi terdepan. Menyaksikan secara diam-diam senyum dan tatapan lelaki itu, Riris merasakan ada sebongkah bahagia dan secercah harap merambati palung hati. Entah untuk apa. Yang jelas, ia merasa nyaman mendapati Dendy duduk di sana. Sesekali tatap mereka bertumbukan. Setiap kali itu pula Riris merasakan kedua pipinya memanas. Sesuatu mengentak-entak ujung hatinya. Dan entah karena kekuatan apa, segera setelah usai acara, ia mengiyakan ajakan Dendy untuk meneruskan obrolan di sebuah kafe. Percakapan pun berlanjut pada kisah perjalanan hidup mereka setelah terpisahkan oleh jarak dan waktu. Tanpa disadari, tiba-tiba mereka seakrab sahabat lama. “Foto-foto lelaki yang ada di facebook-mu, diakah almarhum suamimu itu?” tanya Dendy sesaat setelah Riris mengisahkan perjalanan hidupnya. “Aku percaya dia lelaki yang baik, Ris.” “Belum genap tiga tahun kami menikah, kecelakaan maut merengut nyawanya.” “Aku ikut prihatin. Sungguh,” sahut Dendy pelan. Ia menyalakan rokok filter yang kesekian. “Semoga kamu sudah bisa menapaki hari-harimu dengan baik. Mungkin, sudah saatnya juga memikirkan masa depanmu lagi. Jangan terlalu lama tenggelam dalam kenangan. Maaf, aku tahu kamu mencintai dia, tapi kamu juga harus melanjutkan hidup, kan?” “Terima kasih. But, I’m okay. Sungguh, aku baik-baik saja.” Riris berusaha tersenyum dan mengabaikan rasa sesak di dadanya. “Sekarang giliranmu cerita. Ke mana kamu setelah pindah ke Medan. Lalu, angin apa yang membawamu ke Yogya?”
“Ceritanya sangat panjang.” Lelaki itu mengisap rokoknya beberapa kali sebelum melanjutkan. “Tapi baiklah, aku ceritakan. Meskipun tidak lebih baik dari kisah hidupmu, rasanya memang harus ada yang mendengarnya. Siapa tahu kisah perjalanan hidupku bisa menginspirasi dan menjadi bahan tulisanmu berikutnya, hehe.” Riris mengangguk dan bersiap untuk menyimak. “Selepas SMA, terpaksa aku menikah dengan perempuan yang tak pernah kuharapkan akan menjadi ibu dari anak-anakku. Karena suatu sebab, aku harus menikahinya. Ini semua, upah dari cara bergaulku yang tidak benar. Ayah dan Ibu sangat kecewa. Pupus sudah harapan mereka untuk menjadikan anak lelakinya pengusaha yang sukses. Sejak saat itu, mereka sering sakit-sakitan dan akhirnya mangkat dalam waktu hampir bersamaan. Aku berusaha menebus kesalahan, mencoba memperbaiki dan membangun rumah tangga semampu yang aku bisa. Keluarga isteriku sempat membiayaiku kuliah di USU, tapi hanya bertahan tiga semester saja. Keadaan ekonomi saat itu, seolah mengubah jalan hidup dengan drastis. Aku mencoba peruntungan, bekerja apa saja untuk menghidupi isteri dan anak lelakiku. Awal 2010, aku meninggalkan keluarga, merantau ke Banda Aceh. Harapan bisa menemukan pekerjaan yang cocok, ternyata hanya tinggal mimpi. Keadaan di sana amat sepi. Di sanasini masih tersisa reruntuhan akibat tsunami. Tak ada yang bisa diharapkan. Aku pun mencoba apa saja, dan terakhir menjadi kuli bangunan di perumahan penduduk yang dibangun dari dana bantuan asing. Dua tahun kemudian, tak pernah kuduga, di tempat itulah aku bertemu Lena ….” “Lena, Benarkah?” “Sungguh. Dia Lena-ku yang dulu, Ris. Tuhan mengembalikan dia untukku.” “Dia tidak sendiri lagi, kan? Bagaimana tiba-tiba dia ada di sana?” “Suaminya seorang guru SMA.” “Bukan pengusaha?” “Guru SMA. Mereka teman sekelas di SMA dulu.” Dendy kembali menyulut batang rokok sebelum melanjutkan ceritanya. “Dengan cara baik-baik dan proses yang tak sebentar, aku bicara dengan mereka. Meminta Lena kembali. Untungnya, suami Lena termasuk lelaki yang
lemah. Dia rela melepaskan Lena dan berpisah secara baik-baik. Lalu kubawa Lena ke Medan, kukenalkan pada anak dan isteri, juga pada keluarga mereka.” Riris menyesap sisa kopi hingga ke ampasnya. Kerongkongannya mendadak kerontang. “Rencanaku, aku ingin mengembalikan anak dan isteri pada keluarganya. Aku ingin menikahi Lena. Hanya saja, semua tak berjalan semulus dugaan. Isteriku menolak diceraikan. Saat bersamaan, anak kami jatuh sakit. Dan Lena … dia dalam keadaan bimbang sekarang. Dia menyesali semuanya dan ingin kembali pada suami yang katanya sangat dia cintai. Tapi aku meminta kami segera menikah siri saja. Hanya ini cara satu-satunya yang bisa kami tempuh.” Riris tergugu-gugu. Dadanya bergemuruh oleh berbagai rasa. “Itu sebabnya aku menemuimu, Ris.” “Maksudmu?” “Saat kutemukan akun facebook-mu dan melihat keadaanmu, aku yakin kamu sudah sukses sebagai penulis dan juga menjadi isteri seorang dosen. Sebagai sahabat, aku datang ingin meminta bantuan. Aku sedang membutuhkan biaya yang tak sedikit, Ris.” “Jadi … inikah alasan kenapa kamu menemuiku?” “Hmm, bukan. Bukan satu-satunya alasan, tentu saja. Aku ingin bertemu dan menjalin silaturahmi. Tapi kamu harus tahu, hanya kamu satu-satunya yang kuharapkan bisa membantuku, menyelamatkan kami dari lilitan masalah. Semoga kamu bisa menghargai usahaku yang sudah datang dari jauh.” Dendy mengeluarkan lembaran kertas dari balik jaketnya. “Ini sertifikat rumah kami. Seandainya kamu tak meyakini ucapanku, ambillah ini sebagai jaminan, Ris.” Bagai didera sejuta godam, Riris merasakan tenggorokannya tercekat. Lidahnya kelu. Beku. Ia lesap dalam kekosongan yang entah. Banta adalah Dendy, lelaki dari masa lalu yang tak bisa ditaksir kedalaman hatinya. Riris terhempas dalam keterasingan yang amat. Sungguh, ia tak mengenali Dendy dengan baik. Yang ia tahu, lelaki itu amat pintar bercerita sekarang. *** Nominasi Sayembara Cerpen Taman Fiksi