5
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kota dan Hutan Kota Kota adalah suatu pusat permukiman penduduk yang besar dan luas, terdapat berbagai ragam kegiatan ekonomi dan budaya. Pada kenyataannya kota merupakan tempat kegiatan sosial dari banyak dimensi. Manusia dapat mencatat dan menganalisisnya dari berbagai perspektif seperti moral, sejarah manusia, hubungan timbal balik antara manusia dengan habitatnya, pusat kegiatan ekonomi, pusat kegiatan politik dan berbagai kenyataan dari kehidupan manusia. Aktivitas dan perkembangan kota mempunyai pengaruh terhadap lingkungan fisik seperti iklim. Banyak kriteria yang digunakan untuk sebuah kota sehingga definisi kota berbeda disetiap negara, namun Bank Dunia membuat standar untuk mengenali aspek permukiman yang berdasarkan jumlah penduduk, yaitu: (1) lebih dari 20.000 jiwa disebut urban, (2) lebih dari 100.000 jiwa disebut cities dan (3) lebih dari 5 juta disebut big cities (Zoer’aini 2004). Hutan kota (urban forest) adalah tumbuhan atau vegetasi berkayu di wilayah perkotaan yang memberikan manfaat lingkungan yang sebesar-besarnya dalam kegunaan-kegunaan proteksi, estetika, rekreasi dan kegunaan-kegunaan khusus lainnya. Hutan kota merupakan bagian dari program Ruang Terbuka Hijau. Ruang Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan yang selanjutnya disingkat RTHKP adalah bagian dari ruang terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi dan estetika (Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 1 Tahun 2007). Pelaksanaan program pengembangan Ruang Terbuka Hijau dilakukan dengan pengisian hijau tumbuhan secara alamiah ataupun tanaman budidaya seperti pertanian, pertamanan, perkebunan dan sebagainya (Dahlan 1992). 2.1.1 Permasalahan Lingkungan Kota Menurut Haeruman (1979) dalam Zoer’aini (2004) harapan masa depan untuk memperoleh kualitas lingkungan perkotaan yang lebih baik akan tergantung kepada empat hal, yaitu: (1) ketepatan alokasi ruang untuk setiap kegiatan pembangunan, (2) ketersediaan dan kemampuan kelembagaan dan proses pengelolaan lingkungan, (3) pengendalian kegiatan pembangunan yang mengarah
6
kepada efisiensi penggunaan bahan dan pengendalian pencemaran dan perusakan fungsi dan (4) tingkat peran serta masyarakat dan disiplin bermasyarakat kota. 2.1.2 Perencanaan Kota Perencanaan adalah hal memilih dan menghubungkan fakta-fakta serta hal membuat dan menggunakan dugaan-dugaan mengenai masa yang akan datang dalam hal menggambarkan dan merumuskan kegiatan-kegiatan yang diusulkan, yang dianggap perlu untuk mencapai hasil-hasil yang diinginkan (Tarigan 1995). Perencanaan terkait dengan penyelesaian permasalahan di masa yang akan datang sehingga berisikan tindakan yang akan dilakukan di masa datang dan dampaknya juga baru terlihat di masa depan. Hal ini tidak berarti perencanaan tidak memperhatikan apa yang sedang terjadi saat ini, karena permasalahan di masa yang akan datang adalah produk dari apa yang terjadi saat ini dan pengaruh faktor luar. Perencanaan lingkungan merupakan spesialisasi atau titik pusat perencanaan kota yang menempatkan prioritas utama pada berbagai masalah lingkungan, mencakup
masalah penggunaan
lahan,
serta
kebijakan dan rancangan
penggunaannya. Istilah lingkungan terutama mengacu pada segala sesuatu yang berhubungan dengan kualitas dan kuantitas air, kualitas udara dan iklim, tanah dan lapangan, serta flora dan fauna karena kaitannya dengan kondisi manusia dan lingkungan buatan. Sudut pandang dalam perencanaan lingkungan yang modern biasanya sangat bervariasi, misalnya bergerak (1) dari perolehan sumberdaya ke proteksi lingkungan atau (2) dari lingkungan sebagai sesuatu yang penuh resiko menjadi lingkungan sebagai sesuatu yang dapat menunjang kehidupan manusia. Perencanaan lingkungan tidak memberikan prioritas pada lingkungan alami maupun lingkungan buatan, akan tetapi biasanya berkaitan dengan masalahmasalah yang muncul dari interaksi keduanya (Marsh 1998). 2.1.3 Perencanaan Hutan Kota Perencanaan suatu hutan kota perlu disesuaikan dengan tujuan dan fungsi yang ingin dicapai. Ada beberapa tipe dan bentuk hutan kota untuk berbagai tujuan dan fungsi. Menurut Dahlan (2004) tipe hutan kota terbagi enam yaitu, (1) hutan kota yang dibangun pada areal pemukiman bertujuan utama untuk pengelolaan lingkungan pemukiman, maka yang harus dibangun adalah hutan
7
kota dengan tipe pemukiman, (2) Kawasan industri yang memiliki kebisingan yang tinggi dan udaranya tercemar, maka harus dibangun hutan kota dengan tipe kawasan industri, (3) Taman Kota sebagai salah satu bentuk hutan kota dapat dijadikan salah satu alternatif untuk berrekreasi, maka dibangun hutan kota tipe rekreasi dan keindahan, (4) Hutan konservasi mengandung tujuan untuk mencegah kerusakan perlindungan dan pelestarian terhadap sumberdaya alam, maka dibangun hutan kota tipe pelestarian plasma nutfah, (5) Kota yang memiliki kerawanan air tawar akibat menipisnya jumlah air tanah dangkal, kerawanan banjir dan atau terancam masalah intrusi air laut, maka hutan lindung sebagai penyerap, penyimpan dan pemasok air harus dibangun di daerah resapan airnya, maka tipe hutan kotanya adalah tipe perlindungan, (6) Hutan kota dengan tipe pengamanan adalah jalur hijau di sepanjang tepi jalan bebas hambatan. Perencanaan yang baik adalah yang menampilkan analisis yang sehat dari seluruh tapak dan faktor-faktor perencanaannya, pengertian yang jelas dari hubungan-hubungannya dan suatu penampilan fungsi yang sensitif serta integrasi tapak secara total dalam suatu cara setiap bagian-bagian bekerja secara harmoni. Proses perencanaan merupakan suatu alat yang sistematis yang digunakan untuk menentukan keadaan tapak pada saat awal, keadaan yang diinginkan serta model yang terbaik untuk mencapai keadaan yang diinginkan pada tapak tersebut. Proses perencanaan dan perancangan terdiri dari enam tahap, yaitu: persiapan, pengumpulan data, analisis, sintesis, perencanaan dan perancangan (Simonds 1983). 2.2 Perubahan Penutupan Lahan dan Distribusi Suhu Lillesand & Kiefer (1990) menjelaskan bahwa penggunaan lahan atau tata guna lahan (land use) berhubungan dengan kegiatan manusia pada sebidang lahan tertentu, sedangkan penutupan lahan (land cover) lebih merupakan perwujudan fisik suatu obyek yang ada dipermukaan bumi dan menutupi lahan tanpa mempersoalkan kegiatan manusia terhadap obyek tersebut. Secara idealnya informasi penggunaan lahan dan penutupan lahan sebaiknya disajikan pada peta secara terpisah dan tidak dijadikan satu peta seperti sistem klasifikasi USGS. Akan tetapi dari segi praktisnya, lebih efisien menggabungkan dua sistem tersebut apabila data penginderaan jauh digunakan sebagai sumber data utama untuk
8
kegiatan pemetaannya. Berbeda dengan informasi penutupan lahan dapat dikenali secara langsung dengan menggunakan penginderaan jauh yang tepat. Informasi tentang kegiatan manusia pada lahan (penggunaan lahan) tidak selalu dapat ditafsir secara langsung dari penutupan lahannya. Dengan demikian maka diperlukan sumber informasi tambahan untuk melengkapi data penutupan lahan. Menurut Risdiyanto & Setiawan (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa perbedaan suhu permukaan pada beberapa penutupan lahan disebabkan oleh sifat fisik permukaan seperti kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kapasitas panas jenis rendah, sedangkan konduktivitas panasnya tinggi. Sehingga pada waktu yang bersamaan dengan jumlah masukan energi yang sama akan memberikan respon perubahan suhu permukaan yang berbeda dan menyebabkan suhu permukaannya lebih tinggi. Pendugaan suhu permukaan menggunakan citra Landsat ETM+ menunjukkan bahwa tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai kisaran 26 – 35 oC dengan suhu rata-rata berkisar 29,5oC. Penutupan lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah) mempunyai kisaran suhu permukaan sekitar 18 – 32 oC dengan suhu rata-rata permukaan terendah dimiliki oleh penutup lahan hutan alam (23,9 oC) dan tertinggi dimiliki oleh penutup lahan sawah (28,4 oC), sedangkan suhu permukaan untuk badan air berada pada kisaran 22 – 32 oC dengan suhu rata-ratanya sebesar 26,9 oC. Lahan pemukiman memiliki albedo sebesar 0,09 sedangkan nilai rata-rata albedo pada tipe penutup lahan bervegetasi berkisar 0,054 – 0,077 dan untuk penutup lahan berupa badan air memiliki nilai albedo 0,189. Tipe penutup lahan non vegetasi mempunyai nilai rataan albedo yang lebih tinggi dibandingkan tipe penutup lahan bervegetasi (hutan alam, agroforest karet, perkebunan karet monokultur, perkebunan kelapa sawit, semak belukar, tumbuhan paku-pakuan dan sawah). Hal ini disebabkan lebih banyak energi radiasi gelombang pendek yang dipantulkan kembali oleh penutup lahan non vegetasi dibandingkan dengan penutup lahan bervegetasi. Daerah perkotaan ditandai dengan adanya permukaan berupa parit, selokan dan pipa saluran drainase, sehingga hujan yang jatuh sebagian menjadi aliran
9
permukaan, tidak meresap ke dalam tanah. Akibatnya air untuk evaporasi menjadi kurang tersedia. Penguapan di daerah ini menjadi sedikit menyebabkan keadaan tidak sejuk jika dibandingkan dengan daerah pedesaan yang penuh vegetasi. Bangunan akan memperlambat pergerakan angin dan mengurangi gerak udara secara horisontal. Hal ini akan memicu beberapa gas polutan terkonsentrasi di dekat permukaan karena faktor pendispersian polutan hanya tergantung pada gerak udara vertikal yang selanjutnya mengakibatkan pemanasan di dekat permukaan bangunan (Fardiaz 1992). Selain itu menurut Risdiyanto & Setiawan (2007) menyatakan bahwa perbedaan penerimaan Rn/ radiasi netto (energi bersih yang diterima oleh suatu permukaan) pada tiap tipe penutup lahan dipengaruhi oleh albedo (radiasi gelombang pendek dan radiasi gelombang panjang). Penutup lahan pemukiman memiliki nilai albedo dan suhu permukaan yang lebih tinggi sehingga mengakibatkan energi radiasi gelombang pendek yang diterima lebih rendah dan energi radiasi gelombang panjang yang dipancarkan tinggi (radiasi netto rendah). Semakin berkurangnya kerapatan kanopi tumbuhan bervegetasi yang menutupi lahan dan berbedanya nilai emisivitas (daya pancar suatu permukaan) masing-masing penutup lahan membuat semakin besarnya energi radiasi gelombang pendek dan panjang yang dipantulkan. Semakin besar nilai suhu permukaan dan albedo suatu penutup lahan membuat semakin kecil radiasi netto yang dimiliki oleh penutup lahan tersebut. Menurut Yoyo (1987) dalam penelitiannya menyatakan bahwa hasil pengukuran secara umum menunjukkan nilai suhu udara di antara tegakan pohon relatif lebih rendah dibandingkan dengan di tempat terbuka, sedangkan untuk kelembaban di antara tegakan pohon relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di tempat terbuka. Pada daerah hijau dengan hadirnya pohon-pohon radiasi surya datang yang diterima permukaan diantara tegakan pohon menjadi berkurang. Hal ini akan berakibat berkurangya pemanasan permukaan tanah diantara tegakan pohon. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kota Bogor mengalami penurunan luas wilayah pada penutupan lahan badan air, vegetasi, ladang,dan semak dan rumput. Penurunan luas wilayah terbesar pada penutupan lahan ladang yaitu
10
sebesar 385,38 Ha. Sedangkan peningkatan luasan terjadi pada wilayah penutupan lahan ladang terbangun. Peningkatan luasan wilayah
tebangun
sebesar 405,99 Ha. Peningkatan luas terbangun ini sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk 205.218 Jiwa dengan pertambahan rumah tangga sebanyak 46.578. Distribusi suhu permukaan di Kota Bogor pada Tahun 1997 hingga 2006 terjadi peningkatan luas penyebaran pada kelas suhu 24-28 OC dan terjadi penurunan luas penyebaran pada kelas suhu 20-24 OC (Khusaini 2007). Perubahan luas lahan disebabkan oleh penambahan populasi penduduk dan aktivitasnya. Perubahan ini tidak hanya mempengaruhi luas lahan tetapi juga mempengaruhi distribusi suhu permukaan. Akan tetapi, perubahan luas lahan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan perubahan suhu. Salah satu faktor yang lainnya adalah gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global. Menurut Okarda (2005) dalam hasil penelitian menyatakan terjadi perubahan penutupan lahan di Kabupaten Cianjur antara selang waktu 1997 hingga 2001.
Pemukiman menjadi penutupan
lahan
yang mengalami
peningkatan luasan terbesar, pada tahun 1997 seluas 3,933 ha atau 1,07 % menjadi 9,401 ha atau 5,22 % dari luas wilayah Kabupaten Cianjur. Sedangkan hutan alam dan lahan pertanian mengalami penurunan luasan penutupan lahan. Hutan alam pada tahun 1997 seluas 50,685 ha berkurang menjadi 43, 868 ha dan lahan pertanian pada tahun 1997 seluas 119,678 ha berkurang menjadi 84,440 ha Berdasarkan data yang diperoleh dari stasiun Klimatologi Bogor maka dapat diperoleh gambaran perubahan suhu rata-rata Kota Bogor selama kurun waktu 27 tahun, yaitu dari tahun 1978 sampai dengan tahun 2005. Suhu rata-rata terendah mencapai 24oC sebaliknya suhu rata-rata tertinggi mencapai 27oC. Secara keseluruhan selama 27 tahun telah terjadi peningkatan suhu rata-rata Kota Bogor dari 25,281 oC menjadi 25,762oC atau kenaikan sebesar 0,481oC (Soma 2005). 2.3 Kondisi RTH dan Hutan Kota Menurut Dahlan (2007) berdasarkan hasil penelitian bahwa luasan hutan kota di Kota Bogor saat ini adalah 144,75 ha (1,22%), terdiri dari Kebun Raya Bogor (87 ha) dan hutan penelitian Darmaga (57,75 ha). Luasan RTH Kota Bogor berdasarkan hasil penelitian Khusaini (2008) dengan menggunakan
11
analisis citra Landsat ETM tahun 2006 menggambarkan luasan penutupan lahan RTH seluas 6111.9 ha (51,79%), terdiri dari vegetasi pohon (2.717,28 ha), sawah (797,31 ha), semak dan rumput (341,46 ha) dan ladang (2.255,85 ha). Menurut Hesty (2005) bahwa kondisi RTH Kota Metro Propinsi Lampung berdasarkan data tahun 2001 adalah 4.167,17 ha (60,62%). Luas RTH di Kota Pekanbaru adalah 31.750,34 ha (49,70%). Sebaran luas untuk masing-masing kecamatan adalah Kecamatan Pekanbaru Kota 0,35 ha; Senapelan 3,17 ha; Limapuluh 50,25 ha, Sukajadi 1,85 ha; Sail 28,65 ha; Rumbai 9.596,98 ha; Bukit Raya 18.929,07 ha dan Tampan 3.140,02 ha. Berdasarkan peraturan yang berlaku kawasan RTH di Kota Pekanbaru sesuai dengan luas kawasan hijau yang ditetapkan yaitu 30% dari luas wilayah, akan tetapi untuk tingkat kecamatan ada 6 kecamatan yang tidak memenuhi ketentuan (Tinambunan 2006). Menurut Septriana (2005) berdasarkan hasil penelitian diperoleh data dari Dinas Pertamanan (1998) bahwa luas RTH Kota Padang yaitu 41.242,25 ha (59,34%) dan luas hutan kota yaitu 36.915,9 ha (53,12%). Dari luasan RTH sebagian besar merupakan hutan yaitu seluas 38.475 ha (55,36%) dan selebihnya merupakan sawah, kebun campuran, alang-alang dan ladang. 2.4 Kebutuhan RTH dan Hutan Kota Menurut Dahlan (2007) menyatakan bahwa berdasarkan kajian jumlah emisi gas CO2 yang terus bertambah sementara luasan RTH terus menurun, maka luasan hutan kota sebagai rosot gas CO 2 antropogenik dari bahan bakar minyak dan gas di Kota Bogor perlu ditambah. Kebutuhan penambahan luasan hutan kota di Kota Bogor sangat mendesak dan bervariasi menurut jenis daya rosot pohon, penggunaan bahan bakar, pengkayaan pada areal bervegetasi jarang dan waktu. Melalui simulasi didapatkan hasil yang menyatakan bahwa kebutuhan luasan hutan kota dengan jenis berdaya rosot tinggi bervariasi 5.500 – 6.500 ha. Luasan hutan kota dengan jenis berdaya rosot sangat tinggi yang dibutuhkan pada tahun 2100 seluas 3.309,70 ha (27,93%). Kebutuhan luas hutan kota berdasarkan konsumsi oksigen manusia, kendaraan bermotor, hewan ternak dan industri di Kota Padang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu antara tahun 2003 sampai
12
tahun 2020 luas hutan kota yang dibutuhkan meningkat dari 8.623,65 ha menjadi 14.894,61 ha atau dari 12,41% menjadi 21,43% dari total wilayah Kota Padang, yang berarti meningkat sekitar 368,88 ha per tahun atau 0,53% per tahun (Septriana 2005). Berdasarkan jumlah CO2 Kecamatan Pekanbaru Kota tidak memenuhi syarat luasan kawasan terbuka hijau. Kekurangan RTH untuk menyerap CO2 yaitu seluas 3.032,65 ha sedangkan kecamatan lain di Kota Pekanbaru masih memenuhi syarat. Kebutuhan RTH yang sangat besar di Kecamatan Kota Pekanbaru dikarenakan jumlah CO2 yang tinggi serta keberadaan RTH yang sangat sedikit (Tinambunan 2006). 2.5 Keterkaitan Suhu dengan RTH dan Hutan Kota untuk Kenyamanan Menurut Handoko (1994) suhu merupakan gambaran umum energi suatu benda. Heat Island adalah suatu fenomena suhu udara kota yang padat bangunan lebih tinggi daripada suhu udara terbuka di sekitarnya baik di desa maupun pinggir kota. Pada umumnya suhu udara yang tertinggi akan terdapat di pusat kota dan akan menurun secara bertahap ke arah pinggir kota sampai ke desa. Suhu tahunan rata-rata di kota lebih besar sekitar 3 °C dibandingkan dengan pinggir kota. Heat island atau pulau panas terjadi karena adanya perbedaan dalam pemakaian energi, penyerapan, dan pertukaran panas antara daerah perkotaan dengan pedesaan. Menurut Lowry (1966) terjadinya perbedaan suhu udara antara daerah perkotaan dengan pedesaan disebabkan oleh lima sifat fisik permukaan bumi : 1. Bahan Penutup Permukaan Permukaan daerah perkotaan tcrdiri dari beton dan semen yang memiliki konduktivitas kalor sekitar tiga kali lebih tinggi daripada tanah berpasir yang basah. Keadaan ini akan menyebabkan permukaan kota menerima dan menyimpan energi yang lebih banyak daripada pedesaan. 2. Bentuk dan Orientasi Permukaan Bentuk dan orientasi permukaan kota lebih bervariasi daripada daerah pinggir kota atau pedesaan, sehingga energi matahari yang datang akan dipantulkan berulang kali dan akan mengalami beberapa kali penyerapan serta disimpan dalam bentuk panas (heat). Sebaliknya, daerah di pinggir kota atau pedesaan yang menerima pancaran adalah lapisan vegetasi bagian atas. Selain itu,
13
padatnya bangunan di perkotaan juga dapat mengubah pola aliran udara yang bertindak sebagai perombak dan meningkatkan turbulensi. 3. Sumber Kelembaban Di perkotaan air hujan cenderung manjadi aliran permukaan akibat adanya permukaan semen, parit, selokan dan pipa-pipa saluran drainase. Di daerah pedesaan sebagian besar air hujan meresap ke dalam tanah sehingga tersedia cadangan air untuk penguapan yang dapat menyejukkan udara. Selain itu, air menyerap panas lebih banyak sebelum suhu menjadi naik 1° C, dan memerlukan waktu yang lama untuk melepaskannya. Hal ini berarti bahwa pohon-pohon yang banyak di pedesaan akan menyerap air dalam jumlah yang banyak dan melepaskannya ke atmosfer sehingga menjaga suhu udara tetap sejuk, serta menyerap lebih banyak panas, dan melepaskannya dalam jangka waktu yang lebih panjang. 4. Sumber Kalor Kepadatan penduduk kota yang lebih tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktivitas dan panas metabolisme penduduk. 5. Kualitas Udara Daerah kota yang merupakan pusat industri dengan kegiatan yang intensif mengakibatkan udaranya banyak mengandung polutan sebaliknya didaerah rural dengan kegiatan industri yang kurang, keadaan kualitas udaranya jauh lebih baik dibandingkan kualitas udara daerah kota. Hal tersebut mngakibatkan perbedaan iklim antara daerah urban dan daerah rural. Givoni (1989) mengemukakan lima faktor berbeda yang tidak terikat satu sama lain yang menyebabkan berkembangnya heat Island : 1. Perbedaan keseimbangan seluruh radiasi antara daerah perkotaan dengan daerah terbuka di sekitarnya. 2. Penyimpanan energi matahari pada gedung-gedung di kota selama siang hari dan dilepaskan pada malam hari. 3. Konsentrasi panas yang dihasilkan oleh aktivitas sepanjang tahun di perkotaan (transportasi, industri dan sebagainya).
14
4. Evaporasi dari permukaan dan vegetasi di perkotaan lebih rendah dibandingkan dengan daerah pedesaan. 5. Sumber panas musiman, yaitu pemanasan dari gedung-gedung pada musim dingin dan pemanasan dari pendingin ruangan pada musim panas, yang akhirnya akan dilepaskan ke udara kota. Teori tersebut sesuai dengan pendapat Owen (1971) yang menyebutkan beberapa faktor yang mendorong terciptanya heat island : 1. Adanya lebih banyak sumber yang menghasilkan panas di perkotaan daripada di lingkungan luar kota. 2. Adanya beberapa bangunan yang meradiasikan panas lebih banyak daripada lapangan hijau atau danau. 3. Jumlah permukaan air persatuan luas di dalam perkotaan lebih kecil daripada di pedesaan, sehingga di kota lebih banyak panas yang tersedia untuk memanaskan atmosfer dibandingkan dengan di luar kota. Keadaan di kota dengan bangunan-bangunan bertingkat dan tingkat pencemaran udara yang tinggi dapat menyebabkan timbulnya suatu "kubah debu" (dust dome), yaitu semacam selubung polutan (debu dan asap) yang menyelimuti kota. Hal ini disebabkan oleh pola sirkulasi atmosfir atas kota yang unik dan mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu yang tajam antara perkotaan dengan daerah sekitarnya, sehingga udara panas akan berada di atas perkotaan dan udara dingin akan berada di sekitar perkotaan tersebut. Menurut kajian Santosa & Bey (1992) dalam Effendy (2007) menemukan keberadaan Kebun Raya
Bogor (KRB) tetap nyaman dari pengaruh
pembangunan fisik dan padatnya lalu lintas kota. Dilihat dari nilai THI-nya sama dengan nilai THI hutan alami, sementara THI sekitarnya melebihi nilai nyaman. Sehingga KRB tetap nyaman sebagai tempat rekreasi. Kaitan RTH dengan kenyamanan adalah pengaruh langsung RTH dalam meredam radiasi matahari melalui efek penaungan. Secara bersamaan meredam penggunaan radiasi netto untuk memanaskan udara akibat proses transpirasi, sehingga keberadaan RTH membawa rasa nyaman dari segi suhu udara yang lebih rendah, juga suplai oksigen bagi makhluk hidup di sekitar RTH (Effendy 2007).
15
RTH lewat proses transpirasi secara efektif menggunakan energi netto sebagai panas laten sehingga meminimalkan penggunaan energi untuk memanaskan udara. Akibatnya pada lahan bervegetasi cenderung terasa lebih sejuk. Karena itu Moll (1997) dalam Effendy (2007) merekomendasikan kota harus memiliki RTH dengan luasan sekitar 40% dari luas totalnya atau setara dengan 20 pohon besar setiap 4 ribu m2. Selama kawasan RTH (vegetasi) pada masa pertumbuhan aktif, maka laju CO2 yang diserap dalam proses fotosintesis jauh lebih besar dibandingkan dengan laju pelepasan CO2 dalam proses respirasi, sehingga hasil akhir terjadi penurunan CO2 diatmosfer sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya dampak pemanasan global. Kenyamanan merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan pengaruh keadaan lingkungan fisik atmosfer atau iklim terhadap manusia. Kondisi nyaman apabila sebagian energi manusia dibebaskan untuk kerja produktif dan upaya pengaturan suhu tubuh berada pada level minimal. Secara kuantitatif dinyatakan sebagai Temperature Humidity Index disingkat THI. Dirumuskan oleh Nieuwolt (1975) pada wilayah tropis. Penggunaan rumus Nieuwolt diterapkan pada beberapa kajian antara perasaan kenyamanan secara subjektif pada berbagai wilayah dengan kisaran nilai THI hasil perhitungan. Hasil kajian tersebut disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Selang Kenyamanan Beberapa Negara Selang Kenyamanan Negara THI Indonesia 20 – 26 Malaysia 21 – 26 USA bagian utara 20 – 22
USA bagian selatan
21 – 25
India Daratan Eropa England
21 – 26 20 – 26 14 – 19
Pustaka Mom, 1947 Webb, 1952 American Society of heating AC Engineers, 1955 American Society of heating AC Engineers, 1955 Malhotra, 1955 McFarlane, 1958 Bedford, 1954
Sumber: Effendy, 2007
Untuk mengetahui kemampuan hutan kota dalam menciptakan iklim mikro yang sejuk dan nyaman, Wenda (1991) dalam Dahlan (2004) telah melakukan pengukuran suhu dan kelembaban udara pada lahan yang berpepohonan dengan
16
berbagai kerapatan, tinggi dan luasan yang dibandingkan dengan lahan permukiman yang didominasi oleh tembok dan jalan aspal. Dari penelitian ini diperoleh hasil disajikan dalam bentuk tabel seperti pada Tabel 2. Tabel 2. Suhu dan Kelembaban Pada Berbagai Areal Areal Suhu oC Berpepohonan 25,5 – 31 Kurang bervegetasi dan didominasi 27,7 – 33,1 tembok dan jalan aspal Padang rumput 27,3 – 32,1
Kelembaban % 66 – 92 62 – 78 62 – 78
Koto (1991) dalam Dahlan (2004) juga telah melakukan penelitian dibeberapa tipe vegetasi di sekitar Gedung Manggala Wanabakti. Dari penelitian tersebut dapat dinyatakan, lingkungan berhutan memiliki suhu udara paling rendah jika dibandingkan dengan suhu lingkungan pada padang rumput dan beton. Perbedaan suhu udara di atas lapisan tanah yang ditutupi dengan beton dibandingkan dengan udara yang ada di dalam hutan sebesar 3 -5oC lebih tinggi. Hasil dari penelitian ini juga menunjukkan bahwa hutan kota sangat penting dalam menurunkan suhu udara kota. Hutan kota menurunkan suhu sekitarnya sebesar 3,46% di siang hari pada permulaan musim hujan. Hutan kota dengan komunitas vegetasi berstrata dua menurunkan suhu pada yang berbentuk jalur 1,43%, menyebar 3,60%, bergerombol 3,18%. Hutan kota berstrata banyak menurunkan suhu pada yang berbentuk menyebar 2,28% dan bergerombol 3,04%. Hutan kota berbentuk jalur strara dua menaikkan kelembaban sebesar 1,77%, berbentuk menyebar strata banyak 4,77% dan hutan kota bergerombol strata banyak menaikkan kelembaban sebesar 2,20%. Secara keseluruhan hutan kota menaikkan kelembaban sebesar 0,81% di siang hari pada permulaan musim hujan (Zoer’aini 2004) Model persamaan RTH dan suhu udara terpilih mempunyai pola hubungan terbalik setiap laju pengurangan RTH menyebabkan peningkatan suhu udara dan sebaliknya. Setiap pengurangan 50% RTH menyebabkan peningkatan suhu udara sebesar 0,4 hingga 1,8 oC, sedangkan penambahan RTH 50% hanya menurunkan suhu udara sebesar 0,2 hingga 0,5 oC. Hasil ini membuktikan akan pentingnya mempertahankan keberadaan RTH (Effendy 2004).