MENUJU KOTA RAMAH LINGKUNGAN Oleh : Inayati Fatimah, ST., MSc Dosen UNU Surakarta Abstract Many big cities in Indonesia was known as high density housing which might have problem in preserving open land, natural areas and public open space. The results of those situations are low quality of air and water, lack of greenery, flood during rainy season and water scarcity during summer. It is all about environmental mismanagement by human as inhabitants including us. Besides ecological issues, open greenery space in neighborhood area such as community garden, natural landscape, undeveloped land, etc has so many functions as public activities place. Mix-used (commercial-residential or industrial-residential) neighborhoods in urban areas have common problem to create environmental friendly neighborhood, such as high cost land and limited spaces. Urban planner, architect, government, common people have important role in creating develop vibrant mix-used city while preserving natural environment and public open space (community open space). Grand design need to be made by local government to solve the problem. Those are creating accommodative open greenery public space, conserving river and water resources from any pollution. Architect and urban planner have to consider making environmentally friendly design while designing houses and planning urban spaces. Common people should do an active role preserving greenery space as healthy greenery resource on grounded level. A Neighborhood is more than just a geometric layout of building, walkways, and parking lot. It must provide well conceived environs for living the good, full life. Those include considerations of safety, convenience, and pleasure. Every home needs a place in which to set a plant. Every neighborhood needs a garden. (John Ormsbee Simonds, 1926). Key words: environment, city, open space, greenery LATAR BELAKANG Lebih dari 1.500 rumah terendam banjir akibat luapan Sungai Bengawan Solo yang melewati wilayah bekas Karesidenan Surakarta, Jawa Tengah, seperti di Kota Solo, Kabupaten Karanganyar, Sukoharjo, Klaten, dan Wonogiri. Selain itu, lebih dari 600 hektar lahan pertanian dan kandangkandang ternak juga terendam banjir, yakni di Kabupaten Klaten, Sragen, dan Karanganyar. Di Kota Solo, sedikitnya 800 rumah yang dihuni lebih dari 1.000 jiwa terendam banjir. Banjir terjadi di delapan kelurahan di tiga kecamatan, yakni Jebres, Pasar Kliwon, dan Serengan. Sebagian besar warga mengungsi ke rumah kerabat atau sanak saudara dan ke tenda-tenda yang didirikan di atas tanggul. "Rumah-rumah yang kebanjiran hampir semuanya yang berada di dalam tanggul dalam proses untuk relokasi. Sebagian kecil di dekat aliran sungai yang belum tanggulnya belum ditinggikan atau belum ada parapetnya (tembok pembatas)," kata Wali Kota Solo FX Hadi Rudyatmo (Kompas, 7 Januari 2013). Selain di Surakarta masalah banjir juga belum terselesaikan di Ibu Kota. Jakarta terendam banjir pada babak awal memasuki tahun 2013. Banjir cukup merata di seluruh wilayah Jakarta. Sejumlah akses jalan terputus. Air setinggi 20 hingga beberapa meter menggenangi jalanan Ibu Kota. Banjir pun tak pilih-pilih lokasi, mulai dari perkampungan hingga Kompleks Istana Kepresidenan kebanjiran. Salah satu faktor penyebabnya adalah berubahnya ruang terbuka hijau di Jakarta menjadi
1
kawasan pembangunan, seperti permukiman, gedung, dan jalan. Resapan air hujan semakin menghilang. Solusi masalah banjir Jakarta tidak hanya dengan melakukan rekayasa teknis seperti membuat sodetan dan gorong-gorong raksasa. Rekayasa sosial atau mengubah pola pikir masyarakat, menurutnya, lebih penting dilakukan. Pemerintah dan masyarakat harus sadar pentingnya ruang terbuka hijau, mengerti bahwa bantaran sungai bukanlah lokasi hunian. Sadar dengan tidak membuang sampah sembarangan. Rekayasa teknis tidak akan menyelesaikan masalah banjir tanpa adanya kesadaran masyarakat itu sendiri menjadi berkurang dan akhirnya air mengalir ke jalanan. (Kompas, 22 Januari 2013) Beberapa tahun terakhir ini banyak kota besar di Indonesia mengalami penurunan kualitas lingkungan hidup akibat kombinasi antara bencana alam dan ulah manusia. Banjir, udara yang penuh polusi, suhu udara yang sangat panas, kurangnya peneduh di kawasan kota, sanitasi yang buruk, polusi sumber daya air akibat limbah rumah tangga dan industri, sungai yang bau adalah masalah-masalah klasik kota-kota besar di Indonesia. Masalah tersebut sangat sering mengisi headline berita di media massa. Sampai saat ini hampir semua kota besar terus mengalami proses urbanisasi yang kemudian mengalami berbagai permasalahan kompleks tersebut. Kota masih menjadi sumber harapan, gula-gula uang dan tujuan tempat mencari nafkah bagi sebagian besar orang, terutama yang tinggal di daerah pinggiran atau suburban. Latar belakang para pendatang yang berbeda-beda dan kebanyakan berasal dari desa-desa di Indonesia dengan tingkat pendidikan yang berbeda-beda pula membuat penyelesaian masalahnya menjadi kompleks juga. Karena kebudayaan masing-masing pendatang dan gaya hidup yang berbeda-beda menjadi salah satu kesulitan tersendiri bagi pemerintah kota dalam menyelesaikan masalah perkotaan. Salah satu masalah yang menjadi fokus bahasan disini adalah permasalahan yang berhubungan dengan lingkungan hidup sebagai seting tempat tinggal sebenarnya manusia yang terkadang diabaikan. Terkadang manusia terlupa di bumi mana dia berpijak sampai bencana alam menimpa. Banjir yang datang mengingatkan manusia akan pengabaian fungsi sungai sebagai sumber daya air yang perlu dilindungi dan perlunya daerah resapan air. Ketika panas sangat menyengat dan polusi udara sudah membuat sesak nafas, para penghuni kota baru menyadari pentingnya pepohonan dan tanaman sebagai sumber penyejuk udara dan penyerap polusi udara. Ketika air bersih sulit didapat, bahkan ketika untuk air minum saja masyarakat kota harus membelinya, mereka baru tersadar tentang pentingnya memanen air hujan saat musim hujan untuk kemudian disimpan sebagai sumber air tanah saat musim kemarau. Semakin tingginya kemajuan teknologi saat ini membuat terkadang penyelesaian masalah di perkotaan bukannya diselesaikan dengan merunut pada akar masalah dan memberikan solusi jangka panjang, namun malah membuat solusi praktis jangka pendek yang semakin mengabaikan lingkungan alam habitat manusia sendiri. Sebagai contohnya solusi polusi udara dan naiknya suhu udara diselesaikan dengan maraknya penggunaan AC di kota-kota besar. Banjir yang datang diselesaikan dengan menaikkan tanggul sungai di lokasi yang biasanya terjadi banjir, pengerukan air sungai dan pembelian pompa sebanyak-banyaknya untuk menangani banjir. Kurangnya air bersih saat musim kemarau diselesaikan dengan membeli air mineral dan membeli air tangki secara berlangganan saat musim kemarau. Solusi-solusi ini menjadi cermin ketidakpedulian masyarakat kota pada akar masalah dan penyelesaiannya secara menyeluruh. Penyelesaian masalah perkotaan membutuhkan rekayasa tingkat kota yang komprehensif yang melibatkan banyak pihak, baik pemerintah, arsitek, perencana kota dan masyarakat umum. KOTA DAN MANUSIA Menurut Ali Madanipour dalam Zahnd (1999), kota adalah kumpulan berbagai bangunan dan artefak serta tempat untuk berhubungan sosial. Lebih lanjut Zahnd (1999) mengatakan bahwa kota adalah salah satu ungkapan kehidupan manusia yang mungkin paling kompleks. Kebanyakan ilmuwan berpendapat bahwa, dari segi budaya dan antropologi, ungkapan kota sebagai ekspresi kehidupan orang
2
sebagai pelaku dan pembuatnya adalah paling penting dan sangat perlu diperhatikan. Hal tersebut karena permukiman perkotaan tidak memiliki makna yang berasal dari dirinya sendiri, melainkan dari kehidupan di dalamnya. Menurut Daldjoeni (1992), mengatakan bahwa community atau masyarakat dalam ekologi sosial dapat dipandang sebagai suatu struktur yang unsur-unsurnya ada tiga yaitu: populasi (banyaknya manusia), habitat (lingkungan) dan kebutuhan (segala yang dikejar melalui kegiatan hidup). Interaksi antara tiga unsur tersebut mendorong berfungsinya unsur tadi dalam perkampungan, kota, desa, daerah maupun negeri. Dari pengertian Daldjoeni kita bisa melihat kota terdiri dari manusia sebagai penghuninya, habitat atau lingkungan fisik dimana dia tinggal dan kebutuhan-kebutuhan manusia dalam melangsungkan kehidupannya yang kemudian mendorong terjadinya perubahan lingkungan secara signifikan. Terkadang karena faktor pemenuhan kebutuhan manusia, kelestarian habitat alami manusia dikorbankan sedemikian rupa untuk hanya kepentingan sesaat yang pada akhirnya manusia baru tersadar setelah bencana menimpa. Padahal bencana akibat perusakan lingkungan habitat alami manusia akan berujung pada terganggunya pemenuhan kebutuhan manusia dalam jangka waktu yang lebih panjang.
OVERCROWDING Daldjoeni (1992), mengatakan bahwa berjubelnya jutaan manusia di dalam kota-kota besar yang ruangannya semakin menciut ternyata membawakan bahaya bagi kehidupan dan kesehatan penduduknya. Kota-kota telah yang menjadi dapur-dapur krisis dari peradaban umat manusia. Alam wajar menjadi langka, misalnya udara bersih, air bersih, ruang bebas yang diperlukan untuk perumahan dan lalu lintas. Pun iklim kota menderita pencemaran. Aneka tanaman peka mati, misalnya pohon cemara dan buah-buahan. Hewan piaraan dan manusianya sendiri berkurang vitalitasnya. Berbagai penyakit mudah berkembangbiak karena baksil dan bakteri telah menjadi kebal terhadap segala jenis pengobatan. Uraian di atas menunjukkan dampak negatif secara fisik yang akan dialami manusia jika krisis lingkungan kota terus terjadi. Hal ini sudah dirasakan banyak kota di Indonesia saat ini. Padahal selain krisis fisik berupa kerusakan lingkungan berupa bencana alam dan daya dukung alam kota yang semakin menurun, krisis sosial jauh lebih berbahaya bagi berlangsungnya kehidupan manusia di kota. Lingkungan fisik yang dihuni oleh manusia yang terlalu banyak sehingga penuh sesak akan mengakibatkan dampak sosial berupa meningkatnya agresifitas penghuni yang mengakibatkan mudahnya terjadi konflik akibat pergesekan kepentingan antar penghuni. Hal-hal sepele dan kecil bisa menjadi pemicu perselisihan yang berujung pada tawuran, kebutralan dan kekerasan lainnya. Menurut Hyugen (dalam Daldjoeni, 1992) mengatakan bahwa overcrowding merupakan pendorong agresi pada manusia kota yang padat-sesak, juga berlaku di lingkungan dunia hewan. Tikus-tikus percobaan yang dijejalkan dalam ruangan sempit pun akan menampakkan agresi mereka; mula-mula terjadi saling usik kemudian kejar-kejaran, saling menggigit dan akhirnya terjadi tawuran dahsyat sehingga korban berjatuhan. Lebih lanjut Huygen mengatakan bahwa manusia sebagai makhluk biologis memiliki zona pribadi dimana dia akan merasa aman di dalam otonominya bersama keluarganya dari berbagai bentuk ancaman dan gangguan dari luar. Zona ini secara berbentuk ruangan-ruangan dalam unit terkecil yaitu rumah. Selain zona pribadi, menurut Hyugen (dalam Daldjoeni, 1992) manusia juga membutuhkan zona sosialibilitas dimana manusia berinteraksi dengan manusia lain, manusia dapat mengatur dan menyeleksi hubungan interaksi antar manusia berdasarkan tata kesopanan yang berlaku. Selain itu adapula zona berpetualang baik berpetualang, dimana manusia bisa berkarya berekspresi sesuai keinginannya. Gesekan sosial terjadi karena tercampurnya ketiga zona ini dalam satu ruang yang penuh sesak. Manusia kemudian merasa saling terancam dan akhirnya ketegangan timbul dan mengakibatkan
3
meningkatnya kekerasan antar penghuni, kebrutalan yang berujung pada penurunan kualitas hidup manusia secara sosial di lingkungan huniannya. Sebuah open space atau ruang terbuka yang berada di tengah-tengah kepadatan hunian penduduk sangat dibutuhkan sebagai ruang interaksi sosial yang sehat dengan tetap masing-masing manusia memiliki zona-zona pribadi yang aman dan nyaman bebas gangguan. Kebutuhan dasar manusia untuk berinteraksi sosial, berkespresi dan tetap memiliki privasi harus diperhatikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Ketersediaan ruang terbuka ini menjadi solusi tempat terpenuhinya kebutuhan dasar manusia tersebut. Fungsi ruang terbuka bukan hanya berfungsi ekologi tapi juga berfungsi sosial.
PENTINGNYA KEBERADAAN RUANG TERBUKA HIJAU Publik Open Space atau Ruang terbuka publik bisa berarti landscape, jalan raya, taman, area rekreasi, dan tempat pejalan kaki. Ruang terbuka publik ini bisa berbentuk garis lurus atau linier atau bisa berbentuk meruang (Shirvani, 1985). Ruang terbuka publik ini bisa berupa ruang terbuka hijau dengan pepohonan, tanaman dan rumput atau hanya berupa ruang terbuka publik yang berupa plaza perkerasan saja. Indonesia sendiri terutama di Jawa memiliki ruang terbuka publik seperti alun-alun, jalan raya dan jalur pejalan kaki. Alun-alun di Jawa merupakan lapangan formal yang erat kaitannya dengan upacara rutin kerajaan dan kegiatan religius. Sebagai contoh acara sekaten, gerebeg, Idul Fitri maupun Idul Adha. Alun-alun ini umumnya terletak di pusat kota dengan bentuknya yang cenderung kotak. Sekitar alun-alun menjadi pusat pemerintahan dan bisnis. Selain alun-alun terdapat beberapa taman kota lainnya, penghijauan di beberapa median dan trotoar jalan. Namun keberadaan alun-alun, dan ruang terbuka hijau lainnya tidak cukup mampu menjadi daya dukung penghijauan yang cukup untuk kawasan kota yang terus semakin padat dan terus melebar ke arah pinggiran kota. Pertumbuhan bangunan bertingkat tinggi, jalan, perumahan, pertokoan, mall dan pusat bisnis lainnya semakin kencang dan sama sekali tidak diiringi dengan pembuatan ruang terbuka hijau. Malah semakin menggusur lahan terbuka yang ada. Hujan deras yang pasti diiringi dengan banjir menjadi pertanda rendahnya kemampuan daya serap kota terhadap air yang turun sehingga menggenang beberapa saat dalam bentuk bencana banjir untuk kemudian mengalir ke sungai. Hal ini semakin diperparah dengan semakin mengecilnya sungai akibat bangunan liar, sampah warga yang menggunung dan mendangkalkan sungai. Padahal air hujan adalah air bersih yang bisa dijadikan sumber air saat musim kemarau. Cara terbaik menangani banjir adalah dengan mempercepat penyerapan air hujan ini di lingkungan kota untuk disimpan di dalam air tanah bawah dengan cara memperbanyak permukaan daerah tangkapan dan resapan air, yang bisa berupa taman kota lengkap dengan kolam besar dan pepohonannya yang bisa menangkap air atau dengan memperbanyak sumur resapan. Taman, ruang terbuka hijau bisa menjadi tempat sempurna bagi air untuk meresap ke dalam tanah dan kemudian tersimpan di dalam tanah. Namun karena permukaan tanah yang berupa ruang terbuka hijau ini semakin jarang, air hujan yang turun hanya mengalir dan menggenang saja. Daya serap air di kawasan kota tidak sebanding dengan curah hujan yang turun. Pembuatan ruang terbuka hijau ini bisa dalam skala hunian berupa halaman rumah warga, skala lingkungan berupa taman di lingkungan perumahan, bahkan bisa di tingkat kota berupa taman kota. Semua perlu diupayakan untuk memanen air hujan dan menghindarkan terjadinya banjir di kawasan kota. Ruang terbuka hijau termasuk dalam kategori ruang luar, yaitu ruang yang berada di luar ruangan. Menurut Yoshinobu Ashihara (1986:11,19), ruang luar adalah ruang arsitektural tanpa atap. Ia memberi penekanan perbedaan yang cukup jelas antara ruang luar dan alam. Ruang luar merupakan hasil dari upaya manusia membingkai alam (menata lingkungan alami) yang tak berbatas. Ruang ini bisa disebut sebagai ruang positif, sedangkan ruang negatif merupakan ruang spontan dan tidak direncanakan. Yoshinobu Ashihara juga mengungkapkan mengenai perbedaan hubungan bangunan
4
dengan ruang luarnya di Jepang, Amerika dan Italia. Di Jepang ruang luar rumah biasanya merupakan bagian dari tatanan interior. Di Amerika ruang luar rumah berhubungan erat dengan tatanan lansekap lingkungan perumahan. Di Italia ruang luar berarti jalan dan plaza, karena rumah dan bangunan yang menghadap jalan atau plaza umumnya tidak memiliki halaman.Uraian di atas menjelaskan bahwa ruang luar adalah area luar bangunan hasil dari menata atau membatasi daerah alami dimana budaya hidup masyarakat mempengaruhi karakter fisiknya. Contohnya adalah halaman rumah, taman dan kebun.
Perbandingan Prinsip Ruang Luar di Jepang, Amerika dan Italia Sumber : Ashihara, 1986 Kategori bentuk fisik ruang luar yang lebih sederhana diungkapkan oleh Rob Krier (1984: 17) yang menyatakan bahwa pada dasarnya ada dua bentuk ruang eksterior, yaitu street dan square. Keduanya terbentuk dan dibedakan karena adanya dinding yang melingkupinya (enclosure). a. Street, terbentuk dari sebaran bangunan yang melingkupi area terbuka membentuk jaringan yang saling menghubungkan antar bangunan, biasanya merupakan area dimana orang dan kendaraan lewat. b. Square, dalam konteks privat square, bisa berupa courtyard dalam hunian, sedangkan dalam konteks publik, square bisa berupa lapangan parade, lapangan untuk upacara keagamaan, dan kegiatan komunal lainnya. Bentuknya secara fisik bisa berupa bentuk geometris bujur sangkar, lingkaran ataupun segitiga yang beraturan ataupun tidak beraturan .
Gambar Street dan Squares Sumber : Urban Space, Rob Krier, hal 20,22,27 Ruang luar memiliki fungsi sesuai tujuan manusia dalam memanfaatkan ruang luar tersebut. Rustam Hakim (1993: 18) menyebutkan beberapa fungsi ruang luar dari segi sosial, ekologi dan arsitektural; sebagai tempat bermain, berolah raga, tempat bersantai, tempat komunikasi sosial, tempat peralihan, tempat menunggu, paru-paru lingkungan, untuk mendapatkan udara segar, sarana penghubung suatu tempat dengan tempat yang lain dan sebagai pembatas atau jarak di antar massa bangunan. Clare Cooper Marcus (2003: 6.9-11) mengemukakan bahwa keberadaan ruang luar sebagai
5
tempat terjalinnya hubungan sosial nonformal atau santai dalam masyarakat bisa memperkuat hubungan sosial, menambah rasa tanggung jawab sosial dan meningkatkan keamanan lingkungan. Fungsi Ruang Luar 1 Fungsi Sosial
Tempat berinteraksi sosial, bermain, bersantai,j alan penghubung antar tempat, rekreasi, olahraga. Pembatas dan jarak antar massa bangunan.
2
Fungsi Arsitektural
3
Fungsi Ekologi atau Taman lingkungan. Alami
Teori-teori di atas menjelaskan bahwa ruang terbuka hijau termasuk ruang luar, ruang ini bisa berbentuk halaman, alam liar atau jalan-jalan penghubung sehingga bentuknya bisa kotak atau linier panjang. Ruang terbuka hijau sebagai ruang luar memiliki tiga fungsi yaitu fungsi sosial, fungsi arsitektural dan fungsi ekologi. Karena fungsinya ini keberadaan ruang terbuka hijau di kota adalah sebuah keharusan. Pengadaan ruang luar yang berupa ruang terbuka hijau perlu dilakukan secara masif dilakukan baik dalam skala rumah, skala perumahan serta skala kota dalam rangka menangani masalah lingkungan dan masalah sosial. Keberadaan ruang terbuka hijau ini juga merupakan salah satu langkah untuk mempercantik kota atau city beautification yang akan meningkatkan status kota, meningkatkan kebanggaan warga akan kotanya yang pada akhirnya meningkatkan kualitas hidup warganya.
BELAJAR DARI CONTOH TERBAIK Sebegitusulitkah mewujudkan sebuah kota yang ramah lingkungan? Pertanyaan yang perlu kita ajukan pada diri sendiri mengapa permasalah kota tersebut merata terjadi hampir di seluruh kota-kota besar di Indonesia. Lemahnya peran pemerintah, urban planner dan arsitek dalam menata kota secara makro mengakibatkan kota-kota besar di Indonesia tumbuh secara alamiah dan mengakibatkan permasalahan lingkungan yang cukup serius. Kota yang baik dan ramah lingkungan tidak bisa terbentuk dengan sendirinya. Karena kota adalah hasil dari karya manusia dan tidak bisa alamiah tumbuh sendiri seperti tanaman atau pepohonan. Untuk bisa menciptakan kota yang ramah lingkungan kita bisa meniru dari berbagai contoh baik di berbagai kota di dunia dan bahkan dari Indonesia sendiri tentang bagaimana menciptakan kota yang ramah lingkungan. Berikut ini beberapa contoh terbaik penataan kota dalam rangka menciptakan ruang terbuka hijau berupa taman skala lingkungan, taman kota dan penataan kawasan sungai di beberapa Negara. Central Park di Manhattan New York adalah contoh terbaik upaya pemerintah menciptakan taman kota di tengah-tengah gedung pencakar langit di New York. Taman ini berfungsi sebagai paruparu kota, membersihkan udara dari polusi, daerah tangkapan air, sekaligus tempat warga melepas lelah, berinteraksi dan berekspresi. Taman kota skala besar ini hanya bisa terwujud jika ada upaya serius dari pemerintah untuk mewujudkannya.. Taman ini memiliki luas 3,41 km2 dengan panjang 4 km dan lebar 800m. Pengelolanya adalah organisasi swasta nirlaba Central Park Conservancy yang dikontrak oleh Departemen Taman dan Rekreasi New York City. Walaupun terlihat alami, lansekap Central Park sepenuhnya hasil campur tangan manusia. Di dalam taman terdapat danau buatan dan kolam, jalan setapak, dua arena es skating, kawasan lindung hewan liar, lapangan rumput, dan arena bermain untuk anak. Central Park sering didatangi burung migran sehingga menjadi tempat favorit bagi pengamat burung. Panjang keseluruhan jalan-jalan di dalam taman adalah 10 km. Pengunjung ramai berjogging, bersepeda, atau bersepatu roda, terutama di akhir pekan. Taman ini dilatarbelakangi oleh kepadatan penduduk New York City
6
yang menjadi hampir berlipat empat antara tahun 1821 dan 1855. Kota menjadi semakin sesak, dan penduduk berdatangan ke sedikit ruang terbuka yang ada, terutama ke kuburan untuk menjauhkan diri dari kebisingan kota. Sebelum pembangunan taman dimulai, lahan harus dibebaskan lebih dulu dari penduduk yang sebagian besar orang miskin. Pada tahun 1857, sekitar 1.600 jiwa harus pindah setelah tanah tempat tinggal mereka dibeli oleh proyek. Antara tahun 1860 dan 1873, pembangunan taman sudah hampir selesai. Sejumlah 14 ribu meter kubik tanah dibawa dari New Jersey sebagai pengganti tanah lapisan atas yang kurang sesuai. Ketika pembangunan secara resmi dinyatakan selesai pada tahun 1873, lebih dari tanah dan batu yang digali dari taman berjumlah sekitar sepuluh juta gerobak, dan harus dibuang ke tempat lain. Ketika dibuka, Central Park memiliki sekitar 4 juta pohon yang mewakili 1500 spesies (wikipedia.org). Berdasarkan sejarah panjang Central Park di wikipedia, pengelolaan Central Park sejak dibuatnya tidaklah mudah. Beberapa kali taman ini terbengkalai dan rusak akibat kondisi finansial pemerintah yang terkadang kekurangan dana. Pada tahun 1960 taman ini rusak akibat vandalisme, orang yang membuang sampah sembarangan, corat-coret, dan berbagai acara yang diadakan di taman. Di bawah pengelolaan Central Park Conservancy, kemajuan mulai terlihat dalam usaha mengembalikan Central Park sebagai milik warga kota. Central Park Conservancy membayar pekerja lepas, dan membentuk tim kecil untuk pemugaran bangunan, memulai proyek-proyek hortikultura, dan menghapus corat-coret vandalisme. Pemugaran Central Park diikuti perubahan mendasar di bidang manajemen. Setelah dibangun kembali pada pertengahan 1980-an, Central Park sekarang menggunakan sistem zona dengan seorang pengawas untuk setiap zona. Pemotongan anggaran pada awal tahun 1990-an menyebabkan Departemen Pertamanan kekurangan staf untuk pemeliharaan rutin. Sebagai pengganti, staf pemeliharaan diambil dari pekerja yang digaji Conservancy. Konsep "tukang kebun untuk masing-masing zona" begitu sukses sehingga keseluruhan taman sekarang dibagi menjadi 49 zona. Setiap zona memiliki seorang kepala yang bertanggung jawab atas pemeliharaan sehari-hari (wikipedia.org).
Central Park New York Sumber : green.kompasiana.com Selain pembuatan taman-taman besar skala kota, seharusnya di tiap-tiap satuan hunian lingkungan terdapat pula taman-taman tempat warga bisa berinteraksi, melepas lelah, dan sebagai penghijauan lingkungan dan daerah tangkapan air. Taman ini harus benar-benar direncanakan dengan serius dan perhitungan yang sangat seksama. Hal yang perlu diperhatikan adalah memberikan keuntungan yang setimpal bagi para warga yang lahannya akan dijadikan sebagai taman. Sehingga pembebasan lahan yang dilakukan pemerintah bisa dilaksanakan dengan mudah. Berikut ini contoh
7
pembebasan lahan dalam rangka mengatur hunian warga di Jepang. Peraturan ini merupakan salah-satu aturan pemerintah Jepang dalam mengatur kotanya supaya tetap memiliki ruang terbuka hijau di tengah semakin padatnya hunian warga di kota.
Sistem Proyek Penyesuaian Tanah di Jepang Sumber : Quick Look At Housing in Japan Gambar sistem di atas adalah contoh proyek pemerintah dalam mengatur pola pemukiman warga di kota besar yang sudah sangat padat dengan bentuk-bentuk jalan sempit organik dan ketiadaan taman di tingkat pemukiman warga. Pemerintah memberikan arahan tentang sistem pengaturan pemukiman di tingkat pemukiman warga dengan tujuan untuk mendapatkan jalan yang lebih lebar dan terciptanya taman di tingkat hunian warga. Masalah utama dalam mewujudkan ini adalah kesediaan warga untuk mengorbankan sebagian lahannya untuk dijadikan fasilitas umum. Pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan membeli tanah yang terpotong pada tiap-tiap site untuk dijadikan fasilitas umum dengan harga wajar. Setelah sebagian tanah milik warga dibeli, harga tanah dan properti di sekitar lingkungan pemukiman tersebut naik karena semakin lebarnya jalan dan tersedianya taman umum. Warga penghuni pemukiman tersebut mendapatkan keuntungan dari naiknya harga tanah dan properti di lingkungan tersebut. Pemerintah juga mendapatkan keuntungan dari sisa tanah hasil penyesuaian pemukiman tersebut. Sisa tanah ini bisa dijual kepada masyarakat lain dan dana hasil penjualannya bisa dijadikan sumber dana pembiayaan proyek tersebut. Contoh lainnya adalah skema di bawah ini. Skema diatas sebagian besar dilakukan oleh pemerintah sedangkan skema di bawah ini diprakarsai oleh pihak swasta yang memiliki dana dan masyarakat umum yang memiliki modal tanah miliknya. Pemerintah lokal mendorong penataan kawasan pemukiman padat di wilayah kota seperti ini dengan cara memberikan subsidi biaya pembangunan kawasan seperti ini. Cara ini bisa meningkatkan daya tampung kota untuk menampung lebih banyak keluarga baru bisa tinggal di tengah kota dengan kualitas rumah dan lingkungan yang baik. Pihak pemerintah mendorong pihak swasta sebagai pemilik dana dan pelaksana untuk melaksanakan proyek ini sekaligus membangun plaza atau ruang terbuka di depan bangunan barunya dengan subsidi dari pemerintah karena plaza atau ruang terbuka yang terbangun akan menjadi fasilitas umum. Skema ini menjelaskan tentang sistem penataan kawasan kota yang sudah sangat padat dengan
8
cara kerjasama antar warga yang diatur oleh pemerintah. Beberapa warga yang memiliki tanah bisa bekerjasama dengan pemilik modal dana (pihak swasta) untuk merubah kawasan pemukiman dengan halaman (low residential area) menjadi pemukiman bertingkat tinggi (highrise residential area), sehingga bisa meningkatkan kapasitas daya tampung hunian. Setelah proyek selesai, pemilik tanah kemudian menjadi pemilik pada beberapa bagian di bangunan baru, dengan kualitas bangunan dan lingkungan yang lebih baik dari bangunan lam. Sedangkan pihak swasta dengan modalnya bisa menjual atau menyewakan sebagian ruang di bangunan barunya tersebut. Pemerintah dalam hal ini diuntungkan karena kota semakin tertata dan tercipta plaza atau ruang terbuka di kawasan tersebut.
Sistem Proyek Pembaharuan Pemukiman di Jepang Sumber : Quick Look At Housing in Japan
Sistem Proyek Pembaharuan Pemukiman di Jepang Sumber : Quick Look At Housing in Japan
9
Selain pembuatan taman kota dan pengaturan pengadaan ruang terbuka hijau di lingkungan pemukiman, pengadaan ruang terbuka hijau bisa juga dilakukan di area jalan raya. Langkah ini bisa dilakukan dengan penanaman pohon-pohon peneduh dan taman-taman di trotoar dan median jalan. Pohon peneduh yang ada di pinggir jalan di Indonesia sering kurang diperhatikan keberadaannya oleh warga karena warga terkadang tidak merasakan manfaat langsung dari keberadaan pepohonan peneduh tersebut. Banyak diantara warga yang kemudian malah menebang pohon tersebut karena merasa menghalangi jalan, rontoknya daun yang mengotori halaman, bahkan merasa berbahaya jika ada angin kencang. Terkadang pepohonan malah dijadikan tempat untuk tiang memasang reklame yang berat atau reklame dengan ditanam paku-paku besar. Tanaman perdu yang berada di sekitar pepohonan peneduh yang ditanam di sekitar median dan trotoar jalan seringkali rusak dan mati akibat tergusur sampah, PKL dan pijakan kaki manusia yang tidak memperdulikan keberadaannya. Padahal keberadaan pohon bisa menjadi penyaring debu dan polusi udara yang sangat ganas di jalanan kota. Kehadiran pepohonan juga bisa menurunkan suhu lingkungan sekitar 20-60 Celcius. Seharusnya pemerintah daerah dan pemerintah kota mulai memperhatikan pula jenis-jenis pohon peneduh yang berada di area jalan raya. Mengingat luas jalan raya yang sangat panjang dan lebar adalah tempat paling potensial sebagai ruang terbuka hijau. Ruang jalan juga menjadi ruang kota yang paling polutif, panas dan tidak menyenangkan. Masyarakat saat ini juga semakin banyak menghabiskan waktunya di jalan raya karena banyak aktifitas warga yang menuntut mobilitas tinggi yang berujung pada tingginya pergerakan masyarakat di jalan raya. Kita bisa meniru Jepang yang sangat memperhatikan jenis-jenis pohon yang tumbuh di sekitar jalan raya. Pohon peneduh di jalan raya dipilih yang berwarna indah dan berubah saat pergantian musim, mereka menanam pohon maple, sakura atau pohon icho. Indonesia bisa meniru merahnya pohon maple dengan pohon flamboyan atau pohon lain yang bisa berubah warna. Indonesia sangat kaya akan berbagai jenis tanaman dan pepohonan yang berwarna-warni atau pohon yang banyak buahnya. Selain pohon yang berubah warna saat pergantian musim bisa juga pohon peneduh ini diganti dengan pohon yang buah-buahan atau berbunga. Keberadaan pohon yang indah ini akan meningkatkan kecintaan warga akan lingkungan jalan dan pohon peneduhnya sehingga masyarakat akan merasakan manfaat langsung dan kemudian ikut menjaga keberadaan pohon dan akan mempercantik lingkungan di sekitar kawasan tersebut.
Pohon Sakura dan Pohon Maple Sebagai Pepohonan Penedun di Pinggir Jalan di Osaka Sumber : Dok. Pribadi
10
Pohon Famboyan di Indonesia Sumber : Foto Vanny Mediana
Sampai saat ini sungai di kota-kota besar di Indonesia mengalami permasalahan yang hampir sama yaitu masih sungai tersebut masih dijadikan tempat sampah raksasa. Mental masyarakat kita yang masih menjadikan sungai sebagai tempat buang sampah, tempat buang hajat dan mengganggapnya sebagai got besar perlu dirubah secara revolusioner. Lihat saja sungai di tengah kota baik di Solo, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, bahkan Jakarta. Sampah menumpuk hampir di setiap sudut sungai, warna sungai yang hitam dan bau sudah menunjukkan bahwa sungai tersebut telah terpolusi dengna sangat berat. Jika tidak ada penganganan serius dari pemerintah dan masyarakat sendiri, ke depan sungai semakin akan menjadi sangat buruk kondisinya. Tidak mengherankan jika saat banjir menimpa sungai akan meluap dan warga di sekitar sungailah yang pertama akan merasakan akibatnya. Luapan sungai ini akan disertai dengan berbagai penyakit yang akan menyerang warga. Dalam hal ini tidak hanya pemerintah saja yang menjadi objek yang patut disalahkan karena membiarkan sungai-sungai mengalami penurunan kualitas yang sangat buruk, tapi juga perilaku warga yang sangat buruk menjadi penyebab utama.
Kawasan Kumuh Pinggir Sungai Ciliwung Jakarta Sumber : Niluhputunita.blogspot.com
11
Salah satu cara menjadikan sungai tidak dijadikan tempat sampah raksasa adalah menempatkan sungai tersebut tidak dibelakangi oleh rumah-rumah warga namun dijadikan bagian depan rumah. Sudah menjadi kebiasaan warga jika memiliki rumah maka bagian depan rumah akan diperindah dan bagian belakang rumah akan dibuat seadanya. Rumah di Indonesia masih menjadi symbol status sosial bagi warganya. Sehingga rumah yang berada di pinggir sungai biasanya tidak menghadap ke sungai, tapi membelakangi, karena sungai terlanjur sudah kotor dan tidak layak dijadikan bagian pemandangan halaman depan rumah warga. Salah satu langkah revolusioner dilakukan oleh seorang arsitek sekaligus seorang aktifis lingkungan YB Romomangun Wijaya. Pada tahun 1980-an beliau menata kawasan pinggir Sungai Code Yogyakarta dengan merubah arah orientasi rumah-rumah di pinggir sungai tersebut menjadi menghadap ke sungai. Bagian depan rumah yang berada tepat di pinggir sungai menjadi diperindah oleh warga dan warga akhirnya mulai ikut aktif tidak mengotori sungai dan menjadikan sungai tersebut sebagai bagian alam yang wajib dijaga kebersihan dan keindahannya. Penataan kawasan ini hanya sebagian kecil di kawasan Sungai Code, namun efeknya meluas ke beberapa bagian lain pinggir sungai. Warga yang tinggal agak jauh dari kawasan yang ditata oleh YB Mangunwijaya kemudian meniru langkah ini dan mulai menghadapkan rumahnya ke arah sungai, menata kawasan pinggir sungai dan menjadikan kawasan pinggir sungai sebagai jalan, taman, sekaligus ruang sosial. Kawasan Code yang dahulunya merupakan kawasan kumuh dengan penduduk marginal kota sekarang menjadi kawasan yang lebih rapi dan tertata. Meskipun kawasan sungai dan sempadan sungai seharusnya benar-benar bebas dari bangunan dan para warga yang menghuni kawasan tersebut adalah illegal yang kemudian menghasilkan kawasan kumuh, namun terlepas dari fakta tersebut apa yang dilakukan YB Mangunwijaya telah merubah mindset warga sekitar untuk tidak menjadikan sungai sebagai tempat sampah raksasa dan merubah perilaku warga untuk ikut menjaga kebersihan dan kealamiahan sungai bisa dianggap berhasil meskipun dalam skala yang tidak cukup luas.
Kawasan Pinggir Sungai Code Saat Ini Sumber : http://iqbal-elbantani.blogspot.com
Contoh lainnya adalah pembaharuan kota yang dilakukan oleh pemerintah Korea selatan di sebuah sungai di pusat kota. Sungai Cheonggyecheon adalah sungai dengan panjang 8,4 km, sungai ini sekarang menjadi ruang rekreasi modern di pusat Kota Seoul Korea Selatan. Penataan kota secara masif di pusat kota ini dilakukan menelan dana seikitar 281 juta dolar Amerika. Pada awalnya dana yang sangat besar ini mengundang protes dari banyak pihak, namun setelah pembukaannya pada tahun 2005 tempat ini menjadi tempat favorit bagi penduduk dan para turis. Sejarah penataan kawasan Sungai Cheonggyecheon adalah sebagai berikut. Setelah Perang Korea tahun 1950-1953, banyak
12
penduduk bermigrasi ke Seoul untuk mendapatkan penghidupan yang lebih baik. Karena kondisi ekonomi para pendatang ini terbatas, mereka lalu mendirikan rumah-rumah tidak permanen di sepanjang sungai. Pemukiman ini kemudian menjadikan kawasan Sungai Cheonggyecheon sangat kumuh, sampah dimana-mana, lumpur dan kekumuhan sungai merusak wajah kota Seoul. Kemudian pada tahun 1958 sungai ini ditutup seluruhnya dengan beton untuk dijadikan jalan, bahkan di atasnya didirikan jembatan layang. Penutupan sungai ini terjadi selama lebih kurang 20 tahun. Pada saat itu jalan di atas sungai dan jalan layang di pusat kota Seoul menjadi lambang kemajuan ekonomi dan industri Korea Selatan. Baru pada tahun 2003 seorang Walikota Seoul bernama Lee Myung-bak berinisiatif untuk memindahkan jalan dan jalan layang di atas Sungai Cheonggyecheon dan mengembalikan sungai menjadi sungai terbuka dan memperbaikinya. Tujuannya adalah untuk mengembalikan kealamiahan pada kota dan mempromosikan desain kota yang ramah lingkungan. Hadirnya sungai dengan air mengalir di kota membuat beberapa jenis ikan, burung dan serangga mulai kembali menghuni sungai. Suhu di sekitarnya juga menurun 3,60. Saat ini Sungai Cheonggyecheon menjadi pusat budaya, rekreasi, taman kota dan pusat ekonomi bagi Seoul (wikipedia.org)
Sungai Cheonggyecheon Tahun 1950-an
Sungai Cheonggyecheon Saat Ini
Sumber : wikipedia.org
Sumber : wikipedia.org
Sungai Cheonggyecheon Saat Ini Sumber : Foto Aprilia Norma Eka Sari
Upaya merubah dan mempercantik wajah kota juga dilakukan oleh Walikota Surabaya, Ibu Trimahasrini. Beliau membuat berbagai taman kota di berbagai lokasi di Surabaya, yaitu Taman Prestasi, Taman Bungkul, Taman Kalimantan, Taman Apsari, Taman Flora, Taman Sulawesi, Taman Yos Sudarso, Taman Dr. Soetomo, Taman Mayangkara, Taman Ronggolawe, Taman Pelangi, Taman Mundu, dan Taman Buah Undaan. Taman-taman kota tersebut dibuat karena keseriusan pemerintah Kota Surabaya untuk menciptakan ruang terbuka hijau yang alami dan bisa diakses masyarakat umum. Berkat kerja kerasnya ini beliau mendapatkan banyak penghargaaan di tingkat nasional bahkan Internasional. Beberapa diantaranya adalah taman yang merupakan taman revitalisasi dari taman yang sudah ada. Adapula yang merupah sebuah kebun luas menjadi taman. Bahkan ada yang merubah lahan
13
SPBU menjadi taman. Pembuatan taman skala kota hanya bisa terwujud jika pemerintah kota serius mewujudkannya. Salah satu taman Surabaya adalah taman seluas 6.000 m2 bernama Taman Prestasi, taman ini dihiasi sekitar 21 jenis tanaman sehingga terasa nyaman untuk melepas penat. Anak-anak pun dapat bermain sambil belajar mengenal lingkungannya. Area ini dilengkapi panggung terbuka, panggung teater, dan sarana permainan anak. Di sini, kita juga dapat menyaksikan replika penghargaan yang pernah diraih Kota Surabaya, seperti Wahana Tata Nugraha, Adipura Kencana, dan lain-lain. Obyek wisata ini juga menawarkan petualangan lain, seperti menyusuri Kalimas dengan perahu naga atau perahu dayung. Bahkan, bagi keluarga yang ingin menikmati suasana asri taman dengan menunggang kuda, telah tersedia kuda-kuda anak-anak. kekar yang siap mengantar (www.docnetter.wordpress.com).
Taman Prestasi dan Taman Bungkul Sumber : www.docnetter.wordpress.com
Selain itu terdapat pula Taman Bungkul yang memiliki konsep Sport, Education, dan Entertainment. Taman seluas 900 m2 yang dibangun dana sekitar Rp 1,2 milyar ini diresmikan pada tanggal 21 Maret 2007. Taman ini dilengkapi berbagai fasilitas, seperti skateboard, sepeda BMX track, jogging track, plaza (sebuah open stage yang bisa digunakan untuk live performance berbagai jenis entertainment), akses internet nirkabel (Wi-Fi atau Hotspot), telepon umum, arena green park seperti kolam air mancur, dan area pujasera. Bahkan, taman ini juga dilengkapi dengan jalur bagi penyandang cacat agar mereka pun bisa ikut berekreasi. Taman yang berada di jalan protokol yakni di Jl. Raya Darmo itu makin bisa dirasakan manfaatnya bagi warga kota metropolitan Surabaya. Fungsi taman kota Surabaya sebagai tempat olahraga, rekreasi warga kota, hang out, dan menghirup udara segar. Surabaya bahkan telah memiliki taman lanjut usia atau taman lansia. Area yang dimanfaatkan sebagai taman alternatif untuk para lanjut usia itu berlokasi di Jalan Kalimantan. Area seluas sekira 2.000 m2 eks SPBU Kalimantan itu, di set up menjadi taman yang cantik sekaligus segar. Beragam tanaman dan bunga cantik menghiasi. Di sela warna-warni tanaman indah itu tersedia track yang khusus dibuat untuk kenyamanan kursi roda para lansia. Ada pula tempat duduk untuk pengantar saat menemani para lansia menikmati suasana kota di pagi atau sore hari. Kesejukan suasana di taman ini kian segar oleh keberadaan air mancur di tengah taman. Kesegaran itu tentu bisa memecah kepekatan polusi udara dari kendaran bermotor yang cukup padat melewati bilangan ini (www.docnetter.wordpress.com). Selain upaya membuat taman skala kota, di tingkat rumah bisa diupayakan berbagai cara untuk menciptakan rumah yang hemat energi den bisa menjadi solusi dari permasalahan lingkungan yang ada dengan menjadikan lingkungan rumah sebagai daerah tangkapan air skala kecil. Rumah bisa memaksimalkan energi angin, memanfaatkan pepohonan halaman dan mensiasati sinar matahari untuk menurunkan suhu rumah sehingga tidak perlu menggunakan AC dan menghemat lampu. Untuk skala hunian atau rumah, berikut ini contoh rumah yang baik, yang memanfaatkan lingkungan sekitar dengan menangkap sinar matahari pagi dan sore untuk penerangan rumah sehingga menghemat listrik untuk penerangan rumah. Selain itu untuk mendapatkan hawa yang sejuk rumah harus memiliki ventilasi
14
silang dengan jendela-pintu yang terletak saling berseberangan yang menjadi tempat mengalirnya angin untuk bisa mengganti udara dalam rumah dan menurunkan suhu rumah. Posisi massa rumah yang terbaik untuk menangkap angin adalah pada posisi tegak lurus arah angin. Menurut Frick (2006), orientasi bangunan ditempatkan diantara lintasan matahari dan angin sebagai kompromi antara letak gedung berarah dari timur ke barat dan yang terletak tegak lurus terhadap arah angin. Gedung sebaiknya berbentuk persegi panjang yang menguntungkan penerapan ventilasi silang.
Posisi Terbaik Rumah Terhadap Matahari dan Arah Angin Sumber : Heinz Frick, 2006
Lebih lanjut Frick (2006) mengatakan di lingkungan rumah perlu dipersiapkan saluran dan resapan air hujan dari atap dan halaman yang diperkeras. Lahan rumah terbangun harus menyisakan minimal 30% lahan bangunan terbuka untuk penghijauan dan tanaman. Selain itu rumah dan bangunan di Indonesia yang beriklim tropis panas lembap sangat membutuhkan perlindungan bangunan terhadap sinar matahari. Penyelesaian paling sederhana adalah dengan penanaman pohon peneduh. Pohon memiliki banyak fungsi yaitu mampu membuat suhu udara di sekitarnya menjadi sejuk, memberi keteduhan, mengurangi debu, mengurangi kebisingan, memproduksi oksigen, tempat rekreasi dan sebagai habitat alami binatang.
Kondisi Ideal Rumah Dengan Halaman Peresapan Air Hujan Sumber : Heinz Frick, 2006
Secara konkret berikut ini usulan bagi pemerintah, arsitek, ahli tata kota, maupun masyarakat dalam rangka mewujudkan kota yang ramah lingkungan. Bagi pemerintah hendaknya membangun
15
taman skala kota yang pengelolaannya bisa dilakukan dengan kerjasama pihak swasta dan masyarakat, membuat penghijauan dan menanam pepohonan peneduh, memberikan insentif bagi masyarakat kota yang mau menyisakan minimal 30% dari lahan rumahnya sebagai ruang tanpa perkerasan dan bangunan dan bagi masyarakat yang mau membuat sumur resapan dan membangun septic tank, menjaga daerah aliran sungai dari bangunan liar dan polusi industri dan rumah tangga, membuat peraturan tegas mengenai pelanggaran lingkungan. Bagi para arsitek hendaknya Mendesain rumah yang ramah lingkungan, mengedukasi para klien dan calon klien tentang pentingnya penghijauan bahkan dalam skala rumah, menghindari material rumah yang tidak ramah lingkungan seperti kaca untuk seluruh dinding bangunan, menghabiskan seluruh site untuk bangunan, dll Bagi urban planner, hendaknya merencanakan adanya ruang terbuka hijau di tiap-tiap unit perumahan yang dibangunnya atau permukiman yang ditatanya. Merancang penghijauan bagi kota yang indah yang bermanfaat langsung bagi warga dan mampu menjawab persoalan perilaku warga kota. Bagi masyarakat umum selaku penghuni kota hendaknya tidak menutup seluruh site rumahnya dengan perkerasan, menyisakan minimal 30 % dari lahan rumahnya sebagai ruang tanpa perkerasan dan bangunan, membangun sumur resapan sebagai tempat memanen air hujan dan menjaga ketersediaan air bersih saat musim kemarau, tidak membuang sampah sembarangan ke sungai, ikut menjaga kebersihan sungai bagi warga yang tinggal di sepanjang Daerah Aliran Sungai dengan cara ikut menegur orang-orang asing yang ingin membuang sampah dan merusak sungai, tidak menutup daerah aliran sungai dengan bangunan. KESIMPULAN Kota tanpa ruang terbuka hijau / greenery open space / taman adalah seperti manusia tanpa paru-paru. Manusia tidak bisa bernafas tanpa paru-paru, begitupula kota tanpa ruang terbuka hijau tidak bisa bernafas. Kota tersebut akan menjadi kota sakit yang butuh perawatan serius dalam hal kesehatan dan sosial. Ruang terbuka hijau menjadi penyeimbang kehidupan kota yang super keras, dingin dan tidak manusiawi. Ruang terbuka hijau bisa menjadi tempat membersihkan polusi udara, sumber oksigen, daerah tangkapan air dan habitat berbagai makhluk hidup lain selain manusia yang semakin jarang ditemui di kota seperti burung, kupu-kupu, ikan, serangga, dll. Selain fungsi ekologi, ruang terbuka hijau juga menjadi tempat pelepasan stress, tempat berinteraksi dengan manusia lain, tempat berekreasi dan berekspresi. Ketegangan antar manusia kota yang terkadang menjadi pemicu gesekan dan kerusuhan sosial bisa diredakan dengan kehadiran ruang terbuka hijau ini. Pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan ruang terbuka skala kota dengan kerjasama antara pemerintah, arsitek dan para ahli tata kota. Namun untuk mewujudkan ruang terbuka hijau bukanlah sepenuhnya tanggung jawab pemerintah saja. Sebagai warga biasa kita bisa mewujudkannya dalam skala rumah. Misalnya dengan membuat taman di sekitar rumah, kita bisa menjamin ketersediaan air bersih saat musim kemarau dengan cara membuat sumur resapan di lingkungan rumah. Menyisakan minimal 30 % sebagian lahan rumah sebagai daerah tidak terbangun dan menanamnya dengan pepohonan dan tanaman sebagai sumber oksigen, penurun suhu lingkungan, penyaring debu dan polusi serta daerah tangkapan air. Membuat septink tank dan tidak membuang limbah rumah tangga langsung ke sungai untuk mengurangi kerusakan lingkungan.
16
REFERENSI Frick, Heinz; Mulyani, Tri Hesti, 2006, Arsitektur Ekologis; Konsep Arsitektur Ekologis di Iklim Tropis, Penghijauan Kota dan Kota Ekologis, Serta Energi Terbarukan, Kanisius, Yogyakarta. Daldjoeni, 1992, Seluk Beluk Masyarakat Kota, Pusparagam Sosiologi Kota dan Ekologi Sosial, Alumni, Bandung. Hester, R T. 1984. Planning Neighborhood Space with People; Second Edition. Van Nostrand Reinhold Company, New York. Krier, Rob, 1979, Urban Space, Rizolli International Publication Inc, London Maryono, Agus. 2005. Menangani Banjir, Kekeringan dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Shirvani, H, 1985, The Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company, New York. Zahnd, Markus, 1999, Perancangan Kota Secara Terpadu; Teori Perancangan Kota dan Penerapannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta www.docnetter.wordpress.com www.wikipedia.org www. Niluhputunita.blogspot.com
17