BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Perpajakan 2.1.1 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Soemitro dalam Waluyo (2008) adalah: “Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontrasepsi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Beberapa pengertian pajak lainnya yang dikemukakan oleh para ahli yaitu menurut Smeets dalam Waluyo (2008) adalah: “Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui normanorma umum dan yang dapat dipaksakannya, tanpa adanya kontrasepsi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk membiayai pengeluaran pemerintah”. Pengertian pajak menurut Adriani dalam Sari (2013) menyatakan: “Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. Pajak menurut Pasal 1 UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu: “Kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
11
12
Dari berbagai definisi tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Adanya iuran masyarakat kepada negara, yang berarti bahwa pajak hanya boleh dipungut oleh negara (pemerintah pusat dan daerah). 2. Pajak dipungut berdasarkan Undang-Undang, asas ini sesuai dengan perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23A yang menyatakan “pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dalam Undang-Undang”. 3. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan, pajak dapat dipaksakan apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban perpajakan dan dapat dikenakan sanksi sesuai peraturan perundang-undangan. 5. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah. 2.1.2 Fungsi Pajak Menurut Sari (2013), terdapat beberapa fungsi pajak yaitu: 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Sebagai alat (sumber) untuk memasukkan uang sebanyak-banyaknya dalam kas negara dengan tujuan untuk membiayai pengeluaran negara yaitu pengeluaran rutin dan pembangunan. Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Dewasa ini pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti
13
belanja pegawai, belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran rutin. 2. Fungsi Mengatur (Reguler) Sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu di bidang keuangan (bidang ekonomi, politik, budaya pertahanan keamanan). Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Pelaksanaan fungsi ini bisa bersifat positif dan negative. Pelaksanaan fungsi pajak yang bersifat positif maksudnya jika suatu kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat oleh pemerintah di pandang sebagai sesuatu yang positif, oleh karena itu kegiatan tersebut akan didukung oleh pemerintah dengan cara memberikan dorongan berupa insentif pajak (tax incentive) yang dilakukan dengan cara pemberian fasilitas perpajakan berupa beberapa hal berikut: a. Pemberian pembebasan pajak (tax holiday) dan keringanan pajak untuk jangka waktu tertentu bagi investor baru yang akan memproduksi bahan baku yang usahanya didirikan di wilayah Indonesia bagian timur. b. Pemberian kompensasi pajak terhadap kerugian yang diderita oleh perusahaan terhadap pajak penghasilannya untuk jangka waktu tertentu. c. Pemberian tarif yang rendah atau pembebasan kepada badan-badan koperasi yang berkedudukan di Indonesia.
14
Sementara itu, pelaksanaan fungsi mengatur yang bersifat negative dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi perkembangan yang menjuruskan kehidupan masyarakat ke arah tujuan tertentu. Hal itu dapat dilakukan dengan membuat peraturan di bidang perpajakan yang menghambat dan memberatkan masyarakat untuk melakukan sesuatu kegiatan yang ingin diberantas oleh pemerintah. Tindakan pemerintah demikian ini dapat dinamakan des incentive tas, antara lain berupa tindakan berikut: a. Pemberian tarif tinggi atas hasil produksi barang-barang mewah, dimana selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, juga dikenakan pajak penjualan. b. Pemberian pajak impor yang tinggi bagi barang-barang tertentu untuk melindungi barang-barang yang juga diproduksi di dalam negeri. Selain dua fungsi di atas, pajak juga memiliki fungsi lain yaitu: 1. Fungsi Stabilitas Dengan
adanya
pajak
pemerintah
memiliki
dana
untuk
menjalankan kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi dapat dikendalikan. 2. Fungsi Retribusi Pendapatan Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum termasuk juga untuk membiayai pembangunan.
15
3. Fungsi Demokrasi Pajak yang sudah dipungut oleh negara merupakan wujud sistem gotong royong. Fungsi ini dikaitkan dengan tingkat pelayanan pemerintah kepada masyarakat pembayar pajak.
2.1.3
Pembagian Pajak Menurut Golongan, Sifat dan Pemungutannya Menurut Waluyo (2008) pajak dapat dikelompokkan ke dalam tiga
kelompok, yaitu: 1. Menurut golongan, dibagi menjadi sebagai berikut: a. Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak. b. Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak lain. 2. Menurut
sifat,
pembagian
pajak
menurut
sifat
dimaksudkan
pembedaan dan pembagiannya berdasarkan ciri-ciri prinsip adalah sebagai berikut: a. Pajak subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memerhatikan keadaan dari Wajib Pajak. b. Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya, tanpa memerhatikan keadaan diri Wajib Pajak.
16
3. Menurut pemungut dan pengelolanya adalah sebagai berikut: a. Pajak pusat, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. b. Pajak daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah.
2.1.4
Asas Pemungutan Pajak Sari (2013), menyatakan terdapat 3 (tiga) asas utama yang paling sering
digunakan oleh negara sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah: 1. Azas Domisili Apabila
pemerintah
hendak
melaksanakan
pemungutan
pajak
berdasarkan azas ini, maka yang menjadi dasar pemungutannya adalah tempat tinggal si Wajib Pajak (domisili) dengan tidak memandang di mana pendapatan ini berasal dari dalam atau luar negeri. Jadi apabila seseorang asing tinggal di negara yang menganut azas domisili, iapun akan terkena pajak dari negara tersebut. Azas domisili atau disebut juga asas
kependudukan, berdasarkan asas
ini
negara
akan
mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan. 2. Azas Sumber Dengan melihat objek pajak tersebut bersumber dari mana, jadi apabila di suatu negara terdapat sumber-sumber penghasilan, maka negara
17
tersebutlah
yang
berhak
memungut
pajaknya
dengan
tidak
menghiraukan tempat di mana Wajib Pajak itu berada. 3. Azas Kebangsaan Pajak yang dikenakan suatu negara pada orang-orang yang mempunyai kebangsaan dari negara tersebut, dengan tidak memperdulikan di mana Wajib Pajak itu bertempat tinggal (yang dilihat adalah kebangsaan Wajib Pajak). Indonesia, dari ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana terakhir telah diubah dengan UndangUndang Nomor 36 Tahun 2008, khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem perpajakannya. Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian subjek pajak untuk orang pribadi.
2.1.5
Sistem Pemungutan Pajak Waluyo (2008) mengungkapkan terdapat 3 (tiga) sistem pemungutan
pajak yang dapat dilakukan yaitu: a. Official Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang. Ciri-ciri Official Assessment System adalah sebagai berikut:
18
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang berada pada fiskus 2) Wajib Pajak bersifat pasif 3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus b. Self Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang, kepercayaan, tanggung jawab kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya pajak yang harus dibayar. c. Withholding Assessment System Sistem ini merupakan sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga untuk memotong atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
2.1.6
Hukum Pajak
1. Hukum Pajak Materiil Hukum pajak materiil merupakan norma-norma yang menjelaskan keadaan, perbuatan dan peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak, siapa yang harus dikenakan pajak, dan berapa besar pajaknya. Dengan kata lain, hukum pajak materiil mengatur tentang timbulnya, besarnya, dan hapusnya utang pajak beserta hubungan hukum antara pemerintah serta Wajib Pajak. Termasuk dalam hukum pajak materiil adalah peraturan yang memuat
19
kenaikan, denda, sanksi atau hukuman, cara-cara pembebasan dan pengembalian pajak, serta ketentuan yang memberi hak tagihan utama kepada fiskus. 2. Hukum Pajak Formil Hukum pajak formil merupakan peraturan-peraturan mengenai berbagai cara untuk mewujudkan hukum materiil menjadi suatu kenyataan. Bagian hukum ini memuat cara-cara penyelenggaraan mengenai penetapan suatu utang pajak, kontrol oleh pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para Wajib Pajak (sebelum dan sesudah menerima suatu ketetapan
pajak),
kewajiban
pihak
ketiga,
dan
prosedur
dalam
pemungutannya. Hukum pajak formil dimaksudkan untuk melindungi fiskus dan Wajib Pajak serta memberi jaminan bahwa hukum materiilnya dapat diselenggarakan setepat mungkin. Hubungan hukum antara fiskus dan Wajib Pajak tidaklah selalu sama karena kompetensi aparatur fiskus yang terkadang ditambah atau dikurangi. 2.1.7
Sanksi Perpajakan Sanksi perpajakan merupakan jaminan bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan
perpajakan
(norma
perpajakan)
akan
dituruti/ditaati/dipatuhi. Atau bisa dengan kata lain sanksi perpajakan merupakan alat pencegah (preventif) agar Wajib Pajak tidak melanggar norma perpajakan. (Mardiasmo:2011) Dalam undang-undang perpajakan dikenal dua macam sanksi yaitu: 1. Sanksi Administrasi
20
Sanksi administrasi merupakan pembayaran kerugian kepada negara, khususnya yang berupa bunga, denda dan kenaikan. 2. Sanksi Pidana Sanksi pidana merupakan siksaan atau penderitaan. Merupakan alat terakhir atau benteng hukum yang digunakan fiskus agar norma perpajakan dipatuhi.
2.2 Pemeriksaan Pajak 2.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Menurut Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, definisi pemeriksaan pajak yaitu: “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, Keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan professional Berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan Perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan Peraturan perundang-undangan perpajakan”.
2.2.2 Tujuan Pemeriksaan Pajak Menurut Pasal 29 UU No. 28 Tahun 2007, Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk:
21
a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan/atau; b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Pemeriksaan dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan. Pelaksanaan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dilakukan dalam hal: a. Surat Pemberitahuan menunjukkan kelebihan pembayaran pajak dan atau rugi; b. Surat Pemberitahuan tidak disampaikan atau disampaikan tidak tepat waktu yang telah ditetapkan. c. Surat Pemberitahuan memenuhi kriteria yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. d. Terdapat indikasi kewajiban perpajakan selain kewajiban tersebut pada butir (b) tidak terpenuhi. Selain itu, pemeriksaan dapat juga dilakukan untuk tujuan lain, diantaranya: a. Pemberian NPWP secara jabatan; b. Penghapusan NPWP; c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan PKP; d. Wajib Pajak mengajukan keberatan;
22
e. Pengumpulan
bahan
guna
penyusunan
Norma
Penghitungan
Penghasilan Netto f. Pencocokan data dan/atau alat keterangan; g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil; h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang PPN; i. Pemeriksaan dalam rangka penagihan pajak; j. Penentuan saat mulai berproduksi sehubungan dengan fasilitas perpajakan; dan/atau k. Pemenuhan permintaan informasi dari negara mitra Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda.
2.2.3
Pedoman Pemeriksaan Pajak Menurut Sari (2013), pelaksanaan pemeriksaan pajak didasarkan pada
Pedoman Pemeriksaan Pajak yang meliputi Pedoman Umum Pemeriksaan Pajak, Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak, dan Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak yaitu: 1. Pedoman Umum sebagai berikut: 1) Pemeriksaan dilaksanakan oleh Pemeriksa Pajak yang; a. Telah mendapat pendidikan teknis yang cukup dan memiliki keterampilan sebagai Pemeriksa Pajak; b. Bekerja dengan jujur, bertanggungjawab, penuh pengabdian, bersifat terbuka, sopan, dan obyektif, serta menghindarkan diri dari perbuatan tercela;
23
c. Menggunakan keahliannya secara cermat dan seksama serta memberikan gambaran yang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya tentang Wajib Pajak; 2) Temuan hasil pemeriksaan dituangkan dalam Kertas Kerja Pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun Laporan Pemeriksaan Pajak. 2. Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan adalah sebagai berikut: 1) Pelaksanaan pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan pemeriksaan, dan dengan pengawasan yang seksama; 2) Luas pemeriksaan ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh, yang harus dikembangkan dengan bukti yang kuat dan berkaitan melalui pencocokan data, pengamatan, tanya jawab, dan tindakan lain berkenaan dengan pemeriksaan; 3) Pendapat dan kesimpulan pemeriksa pajak harus didasarkan pada bukti yang kuat dan berkaitan, dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. 3. Pedoman Laporan Pemeriksaan Pajak adalah sebagai berikut: 1) Laporan Pemeriksaan Pajak disusun dengan rinci, ringkas, jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksa pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada atau tidak adanya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait.
24
2) Laporan Pemeriksaan Pajak yang berkaitan dengan pengungkapan penyimpangan Surat Pemberitahuan harus memperhatikan Kertas Kerja Pemeriksaan antara lain mengenai: a. Berbagai faktor perbandingan; b. Nilai absolut dari penyimpangan; c. Sifat dari penyimpangan; d. Petunjuk atau temuan adanya penyimpangan; e. Pengaruh penyimpangan; f. Hubungan dengan permasalahan lainnya. 3) Laporan Pemeriksaan Pajak harus didukung oleh daftar yang lengkap dan rinci sesuai dengan tujuan pemeriksaan.
2.2.4
Norma Pemeriksaan Pajak Sari (2013), mengungkapkan pemeriksaan dilakukan dengan berpedoman
pada Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak, Pemeriksaan, dan Wajib Pajak. A. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak (1) Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan adalah sebagai berikut: a. Pemeriksa Pajak harus memiliki Tanda Pengenal Pemeriksa dan dilengkapi dengan Surat Perintah Pemeriksaan pada waktu melakukan pemeriksaan;
25
b. Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis tentang akan dilakukan pemeriksaan kepada Wajib Pajak; c. Pemeriksa Pajak wajib memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; d. Pemeriksa Pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; e. Pemeriksa Pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak; f. Pemeriksa Pajak wajib memberitahu secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa hal-hal yang berbeda
antara
Surat
Pemberitahuan
dengan
hasil
pemeriksaan untuk ditanggapi Wajib Pajak; (2) Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Kantor, adalah sebagai berikut: a. Pemeriksa Pajak, dengan menggunakan surat panggilan yang
ditandatangani
oleh
Kepala
Kantor
yang
bersangkutan, memanggil Wajib Pajak untuk datang ke Dirjen Pajak yang ditunjuk dalam rangka pemeriksaan; b. Pemeriksa Pajak wajib menjelaskan maksud dan tujuan pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; c. Pemeriksa Pajak wajib membuat Laporan Pemeriksaan Pajak;
26
d. Pemeriksa Pajak wajib memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak tentang hasil pemeriksaan berupa halhal yang berbeda antara Surat Pemberitahuan dengan hasil pemeriksaan; e. Pemeriksa Pajak wajib memberi petunjuk kepada Wajib Pajak
mengenai
penyelenggaraan
pembukuan
atau
pencatatan dan petunjuk lainnya mengenai pemenuhan kewajiban perpajakan sehubungan dengan pemeriksaan yang dilakukan dengan tujuan agar penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan dan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku; f. Pemeriksa Pajak wajib mengembalikan buku-buku, catatancatatan, dan dokumen pendukung lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lambat 7 (tujuh) hari sejak selesainya pemeriksaan; B. Norma Pemeriksaan yang berkaian dengan pelaksanaan pemeriksaan adalah sebagai berikut: a. Pemeriksaan dapat dilakukan oleh seorang atau lebih Pemeriksa Pajak; b. Pemeriksaan dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, di kantor Wajib Pajak atau di kantor lainnya atau di pabrik atau
27
di tempat usaha atau ditempat pekerjaan bebas atau di tempat tinggal atau di tempat lain yang ditentukan oleh Dirjen Pajak; c. Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila dipandang perlu dapat dilanjutkan di luar jam kerja; d. Hasil
pemeriksaan
dituangkan
dalam
Kertas
Kerja
Pemeriksaan; e. Laporan Pemeriksaan Pajak disusun berdasarkan Kertas Kerja Pemeriksaan; f. Hasil Pemeriksaan Lapangan yang seluruhnya disetujui Wajib Pajak atau kuasanya, dibuatkan surat pernyataan tentang persetujuan tersebut dan ditandatangani oleh Wajib Pajak yang bersangkutan atau kuasanya. g. Terhadap temuan sebagai hasil pemeriksaan lengkap yang tidak atau tidak seluruhnya disetujui oleh Wajib Pajak, dilakukan pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dan dibuatkan Berita Acara Hasil Pemeriksaan; h. Berdasarkan Laporan Pemeriksaan Pajak, diterbitkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak, kecuali pemeriksaan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan.
28
C. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Wajib Pajak adalah sebagai berikut: a. Dalam hal Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa untuk memperlihatkan Surat Perintah Pemeriksaan dan Tanda Pengenal Pemeriksa; b. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak untuk memberikan
penjelasan
tentang
maksud
dan
tujuan
pemeriksaan; c. Dalam hal Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; d. Wajib Pajak wajib memenuhi permintaan peminjaman bukubuku, catatan-catatan dan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk kelancaran pemeriksaan dan memberikan keterangan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal surat permintaan, dan apabila permintaan tersebut tidak dipenuhi oleh WajibPajak, maka pajak yang terhutang dapat dihitung secara jabatan; e. Wajib Pajak berhak meminta kepada Pemeriksa Pajak rincian yang berkenaan dengan hal-hal yang berbeda antara hasil pemeriksaan dengan SPT;
29
f. Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani surat pernyataan persetujuan apabila seluruh hasil pemeriksaan disetujui; g. Dalam hal Pemeriksaan Lengkap, Wajib Pajak atau kuasanya wajib menandatangani Berita Acara Hasil Pemeriksaan apabila hasil pemeriksaan tersebut tidak atau tidak seluruhnya disetujui; h. Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan, Wajib Pajak wajib melaksanakan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.2.5
Kriteria Pemeriksaan Pajak Menurut
Surat
Edaran
Direktorat
Jenderal
Pajak
Nomor:
10/PJ.7/2004 tanggal 31 Desember 2004, kriteria pemeriksaan pajak dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan rutin, merupakan pemeriksaan yang dilakukan sehubungan dengan pemenuhan hak dan atau pelaksanaan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Adapun pemeriksaan rutin meliputi: a. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Tahunan PPh Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam: -
Pasal 17B Undang-Undang KUP, atau;
30
-
Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk tidak dilakukan pengembalian dengan SKPPKP dan meminta untuk direstitusikan atau tidak dapat diberikan pengembalian dengan SKPPKP.
b. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar restitusi (SPT Masa PPN Lebih Bayar Restitusi) sebagaimana dimaksud dalam: -
Pasal 17B Undang-Undang KUP, atau;
-
Pasal 17C Undang-Undang KUP tetapi memilih untuk dilakukan pengembalian melalui prosedur biasa, atau tidak dapat diberikan pengembalian SKPPKP.
c. Wajib Pajak menyampaikan SPT Tahunan PPh atau SPT Masa PPN yang menyatakan lebih bayar yang tidak disertai dengan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) UU KUP. d. Wajib Pajak menyampaikan SPT Masa PPN Lebih Bayar Kompensasi. e. Wajib Pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP. f. Wajib Pajak menyampaikan SPT yang menyatakan rugi. 2. Pemeriksaan Khusus dapat dilakukan dalam hal: a. Adanya dugaan melakukan tindak pidana di bidang perpajakan; b. Pengaduan masyarakat, termasuk melalui kotak pos 5000;
31
c. Terdapat data baru atau data yang semula belum terungkap yang dilakukan melalui pemeriksaan ulanh berdasarkan instruksi Direktur Jenderal Pajak; d. Permintaan Wajib Pajak; e. Untuk memperoleh informasi atau data tertentu dalam rangka pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan. 3. Pemeriksaan Kriteria Seleksi atau pemeriksaan berdasarkan analisis risiko (risk based audit), merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak yang berdasarkan hasil analisis risiko secara manual atau secara komputerisasi menunjukkan adanya indikasi ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan. Adapun pemeriksaan kriteria seleksi terdiri dari: a. Kriteria seleksi resiko dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko; b. Kriteria seleksi lainnya dilaksanakan apabila SPT Tahunan PPh Wajib Pajak Orang Pribadi atau Badan terpilih untuk diperiksa berdasarkan sistem skoring secara komputerisasi. 4. Pemeriksaan Bukti Permulaan dapat dilakukan apabila ditemukan adanya indikasi tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan hasil analisis data, informasi, laporan, pengaduan, laporan pengamatan atau laporan pemeriksaan pajak.
32
2.2.6
Jangka Waktu Pemeriksaan Pajak Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 17/PMK.03/2013
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak yaitu: a. Jangka waktu pemeriksaan dibagi menjadi 2 (dua) yaitu: 1) Jangka waktu pengujian; dan 2) Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan b. Jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada huruf a angka 1) diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Pemeriksaan Lapangan a) Jangka waktu pengujian paling lama 6 (enam) bulan. b) Jangka
waktu
dihitung
sejak
Surat
Pemberitahuan
Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak. 2) Pemeriksaan Kantor a) Jangka waktu pengujian paling lama 4 (empat) bulan. b) Jangka waktu dihitung sejak tanggal Wajib Pajak, wakil, kuasa dari Wajib Pajak, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, datang memenuhi Surat Panggilan Dalam Rangka Pemeriksaan sampai dengan tanggal surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan
33
(SPHP) disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak. c. Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pasal huruf a angka 2) diatur dengan ketentuan sebagai berikut: 1) Jangka waktu pembahasan akhir hasil pemeriksaan baik untuk pemeriksaan lapangan maupun pemeriksaan kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. 2) Jangka waktu dihitung sejak tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota yang telah dewasa dari Wajib Pajak sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP). d. Dengan alasan tertentu, jangka waktu pengujian pemeriksaan kantor dan pemeriksaan lapangan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) bulan. e. Alasan perpanjangan pemeriksaan kantor/lapangan adalah: 1) Pemeriksaan kantor/lapangan diperluas ke masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak lainnya; 2) Terdapat konfirmasi atau permintaan data dan/atau keterangan kepada pihak ketiga; 3) Ruang lingkup pemeriksaan lapangan meliputi seluruh jenis pajak; dan/atau 4) Berdasarkan pertimbangan kepala unit pelaksana pemeriksaan. f. Jangka waktu pengujian pemeriksaan lapangan yang terkait dengan;
34
1) Wajib Pajak kontraktor kontrak kerja sama minyak dan gas bumi 2) Wajib Pajak dalam satu grup; atau 3) Wajib Pajak yang terindikasi melakukan transaksi transfer pricing dan/atau dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan dan dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) kali sesuai dengan kebutuhan waktu untuk melakukan pengujian.
2.2.7
Metode Pemeriksaan Pajak Menurut Suandy (2002), pelaksanaan pemeriksaan dapat dilakukan
dengan 2 (dua) metode yaitu: a. Metode Langsung, yaitu metode yang dilakukan dengan cara menguji kebenaran angk-angka dalam surat pemberitahuan, laporan keuangan, buku-buku, catatan-catatan dan dokumen pendukung sesuai dengan proses pemeriksaan. b. Metode Tidak Langsung, yaitu metode yang dilakukan dengan cara pengujian atas kebenaran angka-angka dalam surat pemberitahuan secara tidak langsung melalui suatu pendekatan penghitungan tertentu mengenai penghasilan dan biaya.
35
2.2.8
Hak Dan Kewajiban Wajib Pajak Serta Kewajiban Dan Kewenangan Pemeriksa Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2014), dijelaskan hak dan
kewajiban Wajib Pajak selama peemeriksaan serta kewajiban dan kewenangan pemeriksa selama pemeriksaan yaitu sebagai berikut: 2.2.8.1 Hak Wajib Pajak Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, Wajib Pajak berhak: a. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa pajak dan SP2; b. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan; c. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim pemeriksa pajak apabila susunan keanggotaan tim pemeriksa pajak mengalami perubahan; d. Meminta kepada pemeriksa pajak untuk memberikan penjelasan tentang alasan dan tujuan pemeriksaan; e. Menerima SPHP; f. Menghadiri pembahasan akhir hasil pemeriksaan pada waktu yang telah ditentukan; g. Mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan Tim Quality Assurance Pemeriksaan, dalam hal masih terdapat
36
hasil pemeriksaan yang belum disepakati antara pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak pada saat pembahasan akhir hasil pemeriksaan; dan h. Memberikan
pendapat
atau
penilaian
atas
pelaksanaan
pemeriksaan oleh pemeriksa pajak melalui pengisian kuesioner pemeriksaan.
2.2.8.2 Kewajiban Wajib Pajak 1. Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Wajib Pajak wajib: a. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; b. Memberikan kesempatan untuk mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; c. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; dan d. Memberikan keterangan lisan dan/atau tertulis yang diperlukan 2. Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Wajib Pajak wajib:
37
a. Memenuhi panggilan untuk datang menghadiri pemeriksaan sesuai dengan waktu yang ditentukan; b. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku, catatan, dan/atau dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lain termasuk data yang dikelola secara elektronik, yang berhubungan dengan penghasilan yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas Wajib Pajak, atau objek yang terutang pajak; c. Memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; d. Menyampaikan tanggapan secara tertulis atas SPHP; e. Meminjamkan KKP yang dibuat oleh akuntan publik; dan f. Memberikan keterangan lisan dan/atau terulis yang diperlukan
2.2.8.3 Kewajiban Pemeriksa Dalam melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, pemeriksa pajak wajib: a. Menyampaikan surat pemberitahuan pemeriksaan lapangan kepada Wajib Pajak dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan atau surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor dalam hal pemeriksaan dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor; b. Memperlihatkan tanda pengenal pemeriksa pajak dan SP2 kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan pemeriksaan;
38
c. Memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim pemeriksa pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim pemeriksa pajak mengalami perubahan; d. Menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak e. Menyampaikan kuesioner pemeriksaan kepada Wajib Pajak;
2.2.8.4 Kewenangan Pemeriksa 1. Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Lapangan, Pemeriksa Pajak berwenang: a. Mengakses dan/atau mengunduh data yang dikelola secara elektronik; b. Melakukan penyegelan tempat atau ruang tertentu serta barang bergerak dan/atau tidak bergerak; c. Meminta keterangan lisan dan/atau tertulis dari Wajib Pajak; dan d. Meminta keterangan dan/atau bukti yang diperlukan dari pihak ketiga yang mempunyai hubungan dengan Wajib Pajak yang diperiksa melalui kepala unit pelaksana pemeriksaan. 2. Dalam pelaksanaan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dengan jenis Pemeriksaan Kantor, Pemeriksa Pajak berwenang:
39
a. Memanggil Wajib Pajak untuk datang ke kantor Direktorat Jenderal Pajak dengan menggunakan surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor; b. Meminta kepada Wajib Pajak untuk memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan; c. Meminta keterangan lisan dan/atau terulis dari Wajib Pajak; d. Meminjam KKP yang dibuat oleh akuntan publik melalui Wajib Pajak.
2.3 Penagihan Pajak 2.3.1 Pengertian Penagihan Pajak Penagihan Pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: “Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita”. 2.3.2 Macam-Macam Penagihan Pajak Menurut Suandy (2005) macam-macam penagihan pajak yaitu: 1. Penagihan Pajak Pasif Penagihan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketatapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Keputusan Pembetulan
40
yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang menyebabkan pajak terutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka waktu 30 hari belum dilunasi, maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan diikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan menerbitkan surat teguran. 2. Penagihan Pajak Aktif Penagihan pajak aktif merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, di mana dalam upaya penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya mengirim surat tagihan atau surat ketetapan pajak tetapi akan diikuti dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
2.3.3
Dasar Penagihan Pajak Menurut Ikatan Akuntan Indonesia (2014), terdapat 7 (tujuh) macam
dasar penagihan pajak yaitu sebagai berikut: 1. Surat Tagihan Pajak (STP) STP adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. STP mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak lainnya sesuai ketentuan Pasal 14 Ayat 2 UU KUP, sehingga dalam hal penagihannya dapat juga dilakukan dengan Surat Paksa.
41
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah yang masih harus dibayar. 3. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan (dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan sebelumnya). 4. Surat Keputusan Pembetulan Direktur Jenderal Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak yang dalam penerbitanyya terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. 5. Surat Keputusan Keberatan Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan oleh pihak ketiga yang diajukan oleh Wajib Pajak. 6. Putusan Banding Putusan banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Surat Keberatan yang diajukannya.
42
7. Putusan Peninjauan Kembali Putusan peninjauan kembali adalah putusan Mahkamah Agung atas permohona peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau Direktur Jenderal Pajak terhadap Putusan Banding atau Putusan Gugatan dari badan peradilan pajak apabila Wajib Pajak masih belum puas dengan Putusan Banding.
2.3.4 Tindakan Penagihan Pajak Menurut Sari (2013), apabila utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran belum dilunasi, akan dilakukan tindakan penagihan pajak sebagai berikut: 1. Surat Teguran a. Dalam hal WP tidak menyetujui sebagian atau seluruhnya jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dan WP tidak mengajukan keberatan SKPKB atau SKPKBT, kepada WP disampaikan surat teguran setelah lewat 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pengajuan keberatan; b. Dalam hal WP menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, kepada WP disampaikan surat teguran setelah 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh tempo pelunasan; c. Dalam hal WP mencabut pengajuan keberatan atas SKPKB atau SKPKBT setelah tanggal jatuh tempo pelunasan tetapi sebelum tanggal diterima surat pemberitahuan untuk hadir oleh WP, kepada WP disampaikan surat teguran
43
setelah 7 (tujuh) hari sejak tanggal pencabutan pengajuan keberatan tersebut. 2. Surat Paksa Utang pajak setelah lewat 21 (dua puluh satu) hari dari tanggal surat teguran tidak dilunasi, diterbitkan surat paksa yang diberitahukan oleh juru sita pajak dengan dibebani biaya penagihan pajak dengan surat paksa sebesar Rp.50.000,00 (lima puluh ribu rupiah). Utang pajak harus dilunasi dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak. 3. Surat Sita Utang pajak dalam jangka waktu 2x24 jam setelah surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak tidak dilunasi, jurusita pajak dapat melakukan tindakan penyitaan dengan dibebani biaya pelaksanaan surat perintah melakukan penyitaan sebesar Rp.100.000,00 (seratus ribu rupiah). 4. Lelang dalam jangka waktu paling singkat 14 (empat belas) hari setelah tindakan penyitaan, utang pajak belum juga dilunasi akan dilanjutkan dengan pengumuman lelang melalui media massa. Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 (satu) kali dan untuk barang tidak bergerak dilakukan 2 (dua) kali. Penjualan secara lelang melalui kantor lelang negara terhadap barang yang disita dilaksanakan paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang. Dalam hal biaya penagihan paksa dan biaya pelaksanaan sita belum dibayar maka akan dibebankan bersama-sama dengan biaya iklan untuk pengumuman lelang dalam surat kabar dan biaya lelang pada saat pelelangan. Catatan barang dengan nilai
44
paling banyak Rp. 20.000.000,- tidak harus diumumkan melalui media massa.
2.3.5
Penagihan Seketika Dan Sekaligus Penagihan seketika dan sekaligus adalah tindakan penagihan pajak yang
dilaksanakan oleh jurusita pajak kepada penanggung pajak tanpa menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, masa pajak, dan tahun pajak. (Mardiasmo, 2011) Jurusita pajak melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus berdasarkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus. Surat Perintah Seketika dan Sekaligus diterbitkan apabila: a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya atau berniat untuk itu; b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia; c. Terdapat tanda-tanda bahwa Penanggung Pajak akan membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya, atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki atau dikuasainya, atau melakukan perubahan bentuk lainnya; d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau e. Terjadinya penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga atau terdapat tanda-tanda kepailitan.
45
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-kurangnya memuat: a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak; b. Besarnya utang pajak; c. Perintah untuk membayar; dan d. Saat pelunasan pajak. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.
2.3.6
Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Sari (2013) hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk
bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak, daluwarsa setelah melampaui waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali.
2.3.7
Tertangguhnya Daluwarsa Penagihan Pajak Menurut Sari (2013) tertangguhnya daluwarsa penagihan pajak apabila:
a. Diterbitkan Surat Paksa Direktur Jenderal Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu,
46
daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberitahuan Surat Paksa tersebut. b. Ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Direktur Jenderal Pajak. c. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan Terdapat Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan yang diterbitkan terhadap Wajib Pajak karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana di bidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal seperti itu, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut. d. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
47
2.4
Kepatuhan Wajib Pajak
2.4.1 Pengertian Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan Wajib Pajak menurut Zain (2007), menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak adalah: “Suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi dimana Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan perundang-undangan perpajakan, mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas, menghitung pajak yang terhitung dengan benar, membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya”. Definisi lain diungkapkan oleh Rahayu (2006), menyatakan: “Kepatuhan perpajakan yang didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi semuakewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya”. Sedangkan
menurut
Keputusan
Menteri
Keuangan
Nomor:
544/KMK.04/2000 menyatakan bahwa: “Kepatuhan perpajakan adalah tindakan Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan peraturan pelaksanaan perpajakan yang berlaku dalam suatu negara”.
2.4.2 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak Menurut Rahayu (2010), menyatakan bahwa kepatuhan Wajib Pajak dapat didefinisikan dari: 1. Kewajiban Wajib Pajak dalam mendaftarkan diri. 2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan. 3. Kepatuhan dalam perhitungan dan pembayaran pajak terutang. 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan.
48
Sedangkan kriteria kepatuhan Wajib Pajak menurut Suandy (2002) yaitu: 1. Patuh terhadap kewajiban intern, yakni dalam pembayaran atau laporan masa, SPT masa, SPT PPN setiap bulan. 2. Patuh terhadap ketentuan material, yakni norma-norma yang menerangkan keadaan, perbuatan, peristiwa hukum yang dikenakan pajak, siapa yang dikenakan pajak, dasar pengenaan pajak, hapusnya piutang pajak. 3. Patuh terhadap ketentuan yuridis formal, yakni saat dan tempat terutangnya pajak, hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak mengenai keadaan, perbuatan dan peristiwa yang menimbulkan utang pajak, menyelenggarakan pembukuan sebagaimana mestinya. Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 74/PMK.03/2012, Wajib Pajak dengan kriteria tertentu yang selanjutnya disebut sebagai Wajib Pajak patuh adalah Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; 2. Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; 3. Laporan keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat wajar tanpa pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan 4. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir.
49
2.4.3 Jenis Kepatuhan Wajib Pajak Jenis-jenis kepatuhan Wajib Pajak menurut Rahayu (2010) adalah: 1. Kepatuhan Formal Suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. 2. Kepatuhan Material Suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantive/hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan yaitu sesuai isi dan jiwa Undang-Undang.
2.5
Wajib Pajak Badan
2.5.1 Pengertian Wajib Pajak Badan Menurut Pasal 1 UU KUP No. 28 Tahun 2007, mendefinisikan Badan adalah: “Sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap”. Subjek pajak badan dibedakan menjadi subjek pajak badan dalam negeri dan subjek pajak badan luar negeri. Badan menjadi subjek pajak dalam negeri apabila didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia. Sebaliknya badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia statusnya adalah subjek pajak luar negeri.
50
Perbedaan subjek pajak dalam negeri dan luar negeri dapat terlihat pada tabel 2.1 berikut ini: Tabel 2.1 Perbedaan Subjek Pajak Dalam dan Luar Negeri Uraian
SPDN
SPLN
Definisi
a. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
a. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak.
Saat dimulainya dan berakhirnya kewajiban Subjektif
a. Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
a. Dimulai secara otomatis pada saat menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan. b. Berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
Objek Pajak
a. Penghasilan baik yang diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia.
a. Penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia.
Dasar Pajak
a. Penghasilan tarif umum.
dengan
a. Penghasilan neto dengan tarif umum
a. Menyampaikan SPT Tahunan sebagai sarana untuk menetapkan pajak yang terutang dalam suatu tahun pajak. Sumber: Ikatan Akuntan Indonesia, 2014
a. Tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
Pengenaan
Kewajiban Pelaporan
neto
51
2.6
Kerangka Pemikiran Menurut Zain (2004), kepatuhan Wajib Pajak memiliki pengertian yaitu
suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi di mana: a) Wajib Pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; b) Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas; c) Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar; d) Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Menurut Rahayu (2006) pengertian kepatuhan Wajib Pajak yaitu: “Rasa bersalah dan rasa malu, persepsi Wajib Pajak atas kewajaran dan keadilan beban pajak yang mereka tanggung dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah.” Menurut Rahayu (2010) mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan Wajib Pajak menjadi aspek penting mengingat sistem perpajakan Indonesia menganut Self Assesment System di mana dalam prosesnya secara mutlak memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar dan melapor kewajibannya. Kepatuhan formal dan materiil ini lebih jelasnya
diindentifikasi
dalam
Keputusan
Menteri
Keuangan
No.
544/KMK.04/2000. Kepatuhan Formal yaitu ketentuan batas waktu penyampaian surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila
52
Wajib Pajak telah melaporkan surat pemberitahuan pajak penghasilan (SPT PPh) tahunan sebelum atau pada tanggal 31 maret, maka Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana Wajib Pajak secara substantive memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib Pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah Wajib Pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) sebelum batas waktu akhir. Menurut Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor: 04/PJ.5/86 tanggal 25 April 1986, diberikan urutan ketidakpatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan adalah sebagai berikut: 1. Wajib Pajak sengaja tidak mendaftarkan; 2. Wajib Pajak dengan sengaja menyalahgunakan atau menggunakan dengan tanpa hak NPWP; 3. Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT; 4. Wajib pajak menyampaikan SPT yang isinya tidak benar/tidak lengkap/melampirkan keterangan yang tidak benar; 5. Wajib
Pajak
dengan
sengaja
memperlihatkan
pembukuan
catatan/dokumen lain yang palsu/dipalsukan seolah-olah benar; 6. Wajib Pajak dengan sengaja tidak bersedia meminjamkan pembukuan, catatan/dokumen lainnya.
53
Masalah kepatuhan Wajib Pajak adalah masalah penting di seluruh dunia baik bagi negara maju maupun negara berkembang. Karena jika Wajib Pajak tidak patuh maka akan menimbulkan keinginan untuk melakukan tindakan penghindaran, pengelakan, penyelundupan dan pelalaian pajak. Yang pada akhirnya tindakan tersebut akan menyebabkan penerimaan pajak negara akan berkurang. Sehingga diharapkan dengan diadakannya pemeriksaan dan penagihan pajak akan menguji kepatuhan Wajib Pajak yang akan berimplikasi bagi penerimaan pajak.
2.6.1
Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Dalam upaya untuk peningkatan kepatuhan Wajib Pajak, maka
pemeriksaan sebagai salah satu sarananya (tools). Analisa mengenai jumlah tambahan penerimaan pajak dari aktifitas pemeriksaan menunjukkan rasio yang semakin meningkat diharapkan merupakan gambaran keberhasilan pemeriksaan pajak untuk meningkatkan keptuhan Wajib Pajak sekaligus meningkatkan penerimaan negara (Gunadi, 2005). Sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang diungkapkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, Direktur Jenderal Pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan berwenang melakukan pemeriksaan untuk tujuan: a. Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak; dan/atau b. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan keentuan peraturan perundang-
54
undangan perpajakan. Kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan merupakan tujuan utama dari pemeriksaan pajak sehingga dari hasil pemeriksaan akan diketahui tingkat kepatuhan Wajib Pajak. Bagi Wajib Pajak yang tingkat kepatuhannya tergolong rendah, diharapkan dengan dilakukannya pemeriksaan dapat memberikan motivasi positif agar untuk masa-masa selanjutnya menjadi lebih baik dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Hutagaol (2007) mengungkapkan bahwa pemeriksaan pajak, penyidikan dan penagihan pajak tidak dimaksudkan untuk menghukum Wajib Pajak tetapi dengan adanya pemeriksaan pajak diharapkan hasil pemeriksaan pajak dapat memberikan detterent effect bagi Wajib Pajak sehingga Wajib Pajak dapat membayar pajak sesuai dengan undang-undang perpajakan. Dengan demikian tujuan pemeriksaan pajak untuk menguji kepatuhan Wajib Pajak harus mendapat prioritas utama dan pemeriksaan pajak yang dilaksanakan oleh fiskus harus secara objektif dan professional sesuai dengan tata cara pemeriksaan pajak.
2.6.2
Pengaruh Penagihan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Penagihan Pajak menurut Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19
Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 adalah sebagai berikut: “Serangkaian tindakan agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus memberitahukan Surat
55
Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan dan menjual barang yang telah disita”. Penagihan pajak menggunakan surat paksa untuk salah satu sarana penagihan pajak. Surat paksa diterbitkan karena jumlah pajak yang masih harus dibayar berdasarkan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, yang tidak dibayar oleh penanggung pajak sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan (Resmi, 2009). Teori pendukung yang menghubungkan penagihan pajak dengan kepatuhan Wajib Pajak menurut Faisal (2009) adalah: “Disamping bertujuan untuk mencairkan tunggakan pajak, tindakan penagihan pajak dengan surat paksa juga merupakan wujud law enforcement untuk meningkatkan kepatuhan yang menimbulkan aspek psikologis bagi Wajib Pajak”.
2.6.3
Pengaruh Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap
Kepatuhan Wajib Pajak Teori yang menyatakan pelaksanaan pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terdapat hubungan dengan kepatuhan Wajib Pajak yaitu menurut Hutagaol (2006) yang menyatakan: “Untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak diperlukan penegakkan hukum (law enforcement) sesuai ketentuan. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya pilar-pilar penegakkan hukum terdiri dari pemeriksaan pajak (tax audit), penyidik pajak (tax investigation) dan penagihan pajak (tax collection). Penegakan hukum merupakan bentuk lain dari pelayanan karena selain menerapkan sanksi perpajakan atas pelanggaran perpajakan juga memberikan pelajaran kepada Wajib Pajak sehingga mereka dapat
56
melaksanakan pemenuhan kewajiban dan haknya sesuai ketentuan yang berlaku.”
Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka paradigma penelitian ini dapat dilihat dalam gambar 2.1 sebagai berikut: Gambar 2.1 Kerangka Paradigma Penelitian
Pemeriksaan Pajak (X1) Kepatuhan Wajib Pajak Badan (Y) Penagihan Pajak (X2)
Keterangan: = Pengaruh secara parsial = Pengaruh secara simultan
2.7
Tinjauan Penelitian Terdahulu Adapun beberapa penelitian terdahulu mengenai pemeriksaan pajak,
penagihan pajak dan pengaruhnya terhadap kepatuhan Wajib Pajak dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut ini:
57
Tabel 2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu No
Peneliti
Judul Penelitian
Sampel
Hasil Penelitian
1
Suhendra Jurnal Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma No. 1, Volume 15, April 2011
Pengaruh Tingkat Kepatuhan Wajib Pajak Badan Terhadap Peningkatan Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
Perusahaan yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jakarta
2
Syahab dan Hantoro Arief Gisijanto Jurnal Ekonomi dan Bisnis Fakultas Ekonomi Universitas Gunadarma No. 2, Volume 13, Agustus 2008
Pengaruh Penagihan Pajak dan Surat Paksa Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
3
Mahendra dan I Made E-jurnal Akuntansi Universitas Udayana Bali 9.3 (2014) : 633643 ISSN: 2302-8556
Pengaruh Kepatuhan, Pemeriksaan Dan Penagihan Pajak Pada Penerimaan Pajak Penghasilan Badan
Laporan penerimaan pajak penghasilan badan periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2008 pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Pusat Seluruh Wajib Pajak Badan efektif yang terdaftar di KPP Pratama Badung Utara periode 2009-2012
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak yang diukur dari jumlah Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang disampaikan berpengaruh signifikan terhadap peningkatan penerimaan pajak penghasilan badan pada KPP. Penagihan pajak dan surat paksa pajak baik secara simultan maupun parsial berpengaruh secara signifikan terhadap penerimaan pajak penghasilan Badan. Koefisien regresi variabel kepatuhan WP bernilai 0,582 yang berarti bahwa variabel kepatuhan berpengaruh positif pada penerimaan pajak. Koefisien regresi variabel pemeriksaan pajak bernilai 0,475 yang berarti bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh positif pada penerimaan pajak badan. Koefisien regresi variabel penagihan pajak sebesar 0,470 yang
58
Tabel 2.2 (Lanjutan) No
Peneliti
Judul Penelitian
Sampel
4
Lestari Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama (2015)
Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Dalam Memenuhi Kewajiban Perpajakan
Staf pemeriksa dan staf fungsional pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Sumedang yang berjumlah 30 responden
5
Adytia Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama (2015)
Pengaruh Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Bagian pemeriksaan sebanyak 11 orang, bagian penagihan 4 orang dan Wajib Pajak Orang Pribadi sebanyak 30 orang yang berada di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Karees
Hasil Penelitian berarti bahwa penagihan pajak berpengaruh positif pada penerimaan Pajak Badan. Pemeriksaan pajak sudah baik, kepatuhan Wajib Pajak sudah baik dan pemeriksaan pajak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan Wajib Pajak Badan yang dilihat dari nilai t hitung sebesar 5,163 lebih besar dari t tabel yang berarti bahwa Ho ditolak dan Ha diterima. Pengaruh pemeriksaan pajak dan penagihan pajak terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi secara simultan memiliki hubungan kuat dengan kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi yaitu sebesar 0,786 dan berpengaruh sebesar 78,6%. Dengan demikian pemeriksaan pajak dan penagihan pajak berpenagruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi.
59
Tabel 2.2 (Lanjutan) No 6
Peneliti Dewi Skripsi Fakultas Ekonomi Universitas Widyatama (2015)
Judul Penelitian
Sampel
Hasil Penelitian
Pengaruh Pemeriksaan Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Pegawai Kantor Pelayanan Pajak seksi pemeriksaan dan kelompok jabatan fungsional pemeriksa di Kantor Pelayanan Pajak wilayah Bandung sebanyak 79 responden
Pemeriksaan pajak berpengaruh terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi. Hasil koefisien determinasi menunjukkan bahwa pemeriksaan pajak berpengaruh sebesar 47,6% terhadap kepatuhan Wajib Pajak.
2.8 Hipotesis Penelitian Menurut Nazir (2003) definisi hipotesis adalah: “Pernyataan yang diterima secara sementara sebagai suatu kebenaran sebagaimana adanya, pada saat fenomena dikenal dan merupakan dasar kerja serta panduan dalam verifikasi”. Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka penulis mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Ha₁ : Pemeriksaan Pajak berpengaruh secara parsial terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Ha₂ : Penagihan Pajak berpengaruh secara parsial terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Ha3 : Pemeriksaan Pajak dan Penagihan Pajak berpengaruh secara simultan terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan