33
III. EVALUASI DAMPAK KERAGAMAN IKLIM TERHADAP KERAGAMAN HASIL TANAMAN PADA BERBAGAI TEKNOLOGI BUDIDAYA 3.1.
Pendahuluan Keragaman iklim terutama curah hujan sangat besar variasinya, sesuai
dengan ruang dan waktu. Ada beberapa hal yang menyebabkan keragaman iklim di Indonesia, seperti letak Indonesia yang berada di antara dua samudera (Pasifik dan Hindia), posisinya diantara pulau-pulau, kondisi kontur dan pegunungan yang mempengaruhi kondisi lokal, dipengaruhi oleh dua sirkulasi besar dunia yaitu sirkulasi zonal (Walker) dan meridional (Hadley), pengaruh angin monsoon, Indonesia juga dilalui garis khatulistiwa yang menyebabkan variasinya hujannya semakin tinggi. Faktor-faktor di atas mempengaruhi kondisi curah hujan di Indonesia, meskipun besar pengaruhnya bervariasi antara satu dengan yang lain, tergantung pada ruang dan waktu.
Variasi iklim yang cukup besar pengaruhnya adalah
kondisi perubahan suhu muka laut di Samudera Pasifik yang menyebabkan terjadinya banjir dan kekeringan di Indonesia. Naylor et al. (2007) memproyeksikan bahwa wilayah-wilayah sebelah selatan garis ekuator seperti Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian wilayah Timur Indonesia akan mengalami keterlambatan awal musim hujan dengan periode musim hujan yang lebih singkat dan intensitas hujan yang lebih tinggi. Pada musim kemarau, curah hujan lebih rendah dengan awal musim yang lebih cepat. Perubahan pola curah hujan tersebut akan meningkatkan frekuensi banjir dan kekeringan.
Mundurnya awal musim hujan 1 bulan akan berdampak pada
penurunan produksi padi di Jawa/Bali antara 7-18% (Naylor et al. 2007). Selain curah hujan keragaman iklim dapat juga diakibatkan karena kondisi lain. Penelitian terbaru KP3I (Boer et al. 2008) menggambarkan bahwa peningkatan suhu akibat naiknya konsentrasi CO2 akan menurunkan rata-rata hasil tanaman dan secara langsung juga akan menurunkan tingkat produksi. Dengan menggunakan asumsi bahwa tidak ada konversi sawah dan indeks penanaman tidak mengalami peningkatan (Skenario 1), diperkirakan pada tahun 2025 produksi padi pada tingkat kabupaten akan mengalami penurunan antara 12.500 ton hingga 72.500 ton. Dengan menggunakan asumsi laju konversi lahan
34
sawah 0.77% per tahun dan tidak ada perubahan indeks penanaman (Skenario 2), maka penurunan produksi padi per kabupaten pada tahun 2025 dibanding produksi saat ini berkisar antara 42.500 ton sampai 162.500 ton. Apabila diasumsikan tidak terjadi konversi sawah di Jawa (Skenario 3), pengaruh negatif dari
kenaikan
suhu
terhadap
produksi
padi
dapat
dihilangkan
dengan
meningkatkan indeks penanaman padi. Dengan asumsi indeks penanaman padi dapat ditingkatkan mengikuti skenario 3, tingkat produksi padi tahun 2025 di sebagian besar Kabupaten di Jawa dapat dipertahankan atau bahkan meningkat dibanding tingkat produksi saat ini kecuali di beberapa kabupaten seperti Tulungagung, Kediri, Purworedjo, Wonosobo, Magelang, Sleman, Klaten dan Sukohardjo. Selanjutnya apabila konversi sawah tetap terjadi dengan laju 0.77% per tahun, peningkatan indeks penanaman (Skenario 4) dalam mengurangi dampak negatif kenaikan suhu pada tahun 2025 tidak lagi efektif terutama di kabupaten-kabupaten
di
Jawa
Tengah.
Upaya
peningkatan
IP
dapat
mempertahankan atau meningkatkan tingkat produksi tahun 2025 dari tingkat produksi saat ini pada sebagian kabupaten-kabupaten di Jawa Barat dan Jawa Timur. Kejadian kekeringan di Indonesia pada umumnya berkaitan dengan fenomena El-Nino.
Namun demikian, apabila dikaitkan dengan produksi,
berlangsungnya El-Nino tidak selalu menyebabkan terjadinya penurunan produksi yang mencolok.
Misalnya produksi beras tidak mengalami penurunan yang
drastis akibat kejadian tersebut kecuali tahun 1991, 1994 dan 1997.
Ada
beberapa faktor yang diperkirakan menyebabkan terjadinya kondisi tersebut yaitu (Boer dan Meinke 2002; Malingreau 1987; Bottema
1997):
(a) Perhitungan
produksi didasarkan pada tahun kalender, sementara kejadian iklim ekstrim (ElNino) tidak mengikuti tahun kalendar, (b) Pengaruh El-Nino kuat hanya pada beberapa daerah pusat produksi saja. (c) Adanya perubahan keputusan petani, misalnya dari menanam padi menjadi menanam kedelai akibat kurangnya ketersediaan air pada waktu kejadian El-Nino (d) Terjadinya peningkatan hasil per satuan luas pada lahan beririgasi pada tahun El-Nino karena adanya peningkatan intensitas penurunan produksi juga terjadi setelah tahun El-Nino akibat menurunnya jumlah input (pupuk, pestisida dll) yang diberikan oleh petani sebagai akibat dari menurunnya daya beli.
35
Penurunan dampak negatif keragaman iklim, dilakukan melalui langkahlangkah berupa teknologi antisipasi yang dapat dilakukan. Dalam Sektoral Road Map yang sudah dikeluarkan pemerintah, dibahas mengenai teknologi-teknologi yang dapat diaplikasikan. Di samping itu, teknologi antisipasi dapat digali dari kebiasaan petani setempat yang merupakan indigenous knowledge. Di daerah tertentu, petani mempunyai langkah-langkah apa saja yang dapat dilakukan untuk meminimalkan risiko kehilangan hasil panen, yang sifatnya sudah menjadi kebiasaan setempat.
Di Indramayu Provinsi Jawa Barat dikenal beberapa
teknologi sederhana sebagai teknologi antisipasi, salah satunya adalah sistem culik. Sistem culik adalah suatu teknologi untuk percepatan tanam pada musim kemarau, sehingga kemunduran waktu tanam apabila awal musim hujan mundur, tidak berpengaruh terhadap penanaman musim kemarau.
Sisitem ini terkenal
dengan memanen sebagian kecil lahan lebih cepat, supaya dapat dilakukan pembibitan, dan begitu panen musim hujan, tidak begitu lama untuk transplanting tanaman musim kemarau, supaya tanaman pada musim kemarau tidak mengalami kekeringan, sehingga kegagalan panen dapat ditekan. Evaluasi teknologi adaptasi mengamati teknologi apa yang dilakukan petani, bagaimana variasi sarana produksi yang digunakan petani, misalnya bagaimana pupuknya, berapa takaran yang digunakan, varietas apa yang digunakan, bagaimana sistem irigasinya. Salah satu hal yang dilakukan petani untuk mempercepat panen diantaranya adalah dengan menggunakan varietas genjah. Meskipun pada dasarnya, hal tersebut sesuai dengan kebiasaan petani setempat. Sedangkan teknologi dari sisi irigasi biasanya yang dilakukan petani adalah dengan membuat sumur bor, sehingga mempunyai cukup persediaan air untuk waktu tanam tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman produksi tanaman terutama padi yang dapat meminimumkan dampak negatif keragaman iklim.
Dengan menggunakan data-data yang
kemudian disimulasikan dalam DSSAT, akan diperoleh keragaman hasil (yield) tanaman berdasarkan skenario atau alternatif teknologi budidaya yang bervariasi. Teknologi budidaya yang menjadi input merupakan teknologi budidaya existing dan skenario.
36
3.2.
Metodologi
3.2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Kabupaten Pacitan. Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang cukup kering di Provinsi Jawa Timur. Menurut Wahab et al. (2007) bahwa pada pada Musim Tanam 2002/2003, terjadi musim kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan dan puso dan terjadi kehilangan hasil produksi padi sekitar 67.56%. 3.2.2. Bahan, Alat dan Perangkat Lunak Bahan yang dibutuhkan dalam melaksanakan kegiatan penelitian ini, yaitu: 1.
Data hujan harian pada beberapa stasiun di Kabupaten Pacitan
2.
Data suhu harian dan bulanan dan data suhu maksimum dan minimum harian
3.
Data intensitas radiasi
4.
Naskah Roadmap Sektor Pertanian 2010-2014
5.
Data sawah Kabupaten Pacitan
6.
Data produksi dan produktivitas padi
7.
Data luas tanam dan panen
8.
Data fisik dan kimia tanah
9.
Data penggunaan pupuk existing
10.
Data irigasi
11.
Data varietas existing
12.
Data pola tanam existing
13.
Data tanah, meliputi fisik dan kimia tanah
3.2.3. Metodologi Penelitian
3.2.3.1.
Survai Teknologi Budidaya untuk mengetahui karakteristik sistem usaha tani padi di Pacitan
Data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data Primer diperoleh melalui teknik wawancara (survai) dan dipandu dengan kuisioner. Survai sistem usaha tani dimaksudkan untuk memahami model pola tanam, varietas yang digunakan, pemupukan, irigasi dan kejadian kekeringan yang dihadapi oleh petani di lokasi penelitian. Survai dilakukan di beberapa desa
37
terpilih yang didasarkan kepada kerentanannya terhadap kondisi kekeringan, namun demikian didominasi oleh sistem usaha tani berbasis padi. Pengambilan responden dilakukan dengan teknik stratified random sampling. Stratifikasi sampel berdasarkan golongan sistem pengairan yaitu irigasi teknis, setengah teknis dan non-teknis (tadah hujan). Survai dilaksanakan di Kecamatan Pringkuku, yang meliputi dua desa, yaitu Desa Pringkuku dan Desa Candi.
Desa Pringkuku mewakili wilayah
penelitian yang respondennya bervariasi. Ada petani yang menggunakan cara irigasi penuh, semi serta tadah hujan. Luas lahan kering di lokasi ini sangatlah besar persentasenya dari luas tanam tanaman pangan keseluruhan. Desa Candi mewakili lokasi yang menggunakan irigasi penuh. Informasi yang dikumpulkan melalui survai meliputi: -
Sumberdaya Pertanian.
Bentuk informasi ini antara lain meliputi status
kepemilikan lahan, jadwal pergiliran tanaman per tahun (pola tanam), produksi, sumber air di musim kemarau dan musim hujan, varietas, penggunaan pupuk dan informasi penunjang lainnya. -
Masalah Iklim. Kejadian bencana iklim yang diidentifikasi adalah kekeringan. Informasi yang diperlukan antara lain frekuensi dan distribusi waktu kejadian. Data sekunder diperoleh dari Dinas Tanaman Pangan Kabupaten Pacitan,
Dinas Binamarga dan BMKG daerah.
Data yang dikumpulkan meliputi; data
penggunaan lahan, varietas, kebiasaan budidaya petani, status irigasi lahan pertanian, luas tanam dan panen, data iklim terutama curah hujan harian dan bulanan, data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan, data harga komoditas pertanian, bencana iklim (banjir, kekeringan, angin kencang). Pengumpulan data kondisi pola tanam di sentra produksi tanaman pangan serta data iklim dari instansi terkait untuk mengetahui potensi curah hujan dalam kondisi iklim normal, basah, dan kering.
Pola tanam mencakup waktu tanam, intensitas
tanam, dan rotasi tanaman yang biasa dilakukan petani selama satu tahun di masing-masing wilayah (desa).
Selain itu, untuk mengetahui perubahan kondisi
ENSO, dikumpulkan data ENSO. Hasil survai kemudian ditabulasi sesuai kebutuhan untuk pengolahan data. Sebagian satuan data yang tidak sama dilakukan konversi. Pengolahan data umumnya ditujukan untuk melihat persentase responden terhadap kondisi atau permasalahan tertentu. Selanjutnya persentase responden ini digunakan sebagai
38
acuan pengambilan kesimpulan untuk permasalahan tertentu, terutama ditujukan untuk melengkapi mengenai informasi karakteristik usaha tani padi di Pacitan. 3.2.3.2.
Analisis karakteristik ENSO dan hubungannya dengan sifat hujan
Analisis ini didasarkan kepada karakteristik ENSO pada tahun-tahun ElNino, Normal dan La-Nina yang dihubungkan dengan sifat curah hujan jangka panjang. Karakteristik ENSO diperoleh berdasarkan indikator suhu permukaan laut (SST pada NINO 4). Adapun tahapan analisis adalah sebagai berikut : a.
Data mengenai keterkaitan antara fenomena ENSO dengan kejadian iklim ekstrim dan bentuk informasi iklim yang diperlukan untuk penyusunan pola tanam direkapitulasi dan diolah secara statistik deskriptif dan disajikan hasilnya dalam bentuk tabulasi atau grafik sesuai kebutuhan.
b.
Data ENSO yang digunakan menyangkut data SST terutama pada NINO 4. Data yang diperoleh kemudian dihubungkan dengan kondisi curah hujan menyangkut lama musim hujan dan sifat musim.
3.2.3.3.
Analisis dampak ENSO terhadap kekeringan
Berdasarkan karakteristik ENSO, dilihat bagaimana hubungannya terhadap bencana kekeringan dengan menggunakan analisis statistik, menyangkut luas maupun bentuk bencana yang terjadi.
3.2.3.4.
Analisis hubungan keragaman iklim dan kinerja SUT Padi
Dampak keragaman iklim jangka panjang kaitannya dengan produksi, dikaji melalui tahapan sebagai berikut: a.
Data iklim menyangkut data curah hujan, suhu udara rata-rata, suhu udara maksimum dan suhu udara minimum harian digunakan sebagai input untuk menghitung file .wth, yaitu salah satu file yang dibutuhkan dalam proses simulasi DSSAT.
File .wth diperoleh dengan memasukkan data-data
tersebut dalam format excel, dan dipanggil di software Math lab. terlebih
dahulu
ketersediaannya.
disusun
berdasarkan
urutan
tahun,
sesuai
Data
dengan
DSSAT (Decision Support System for Agrotechnology
39
Transfer) adalah paket perangkat lunak yang mengintegrasikan pengaruh tanah, fenotipe tanaman, cuaca dan pilihan manajemen (Jones et al. 2003).
Gambar. 3.1 Diagram database, aplikasi, dan komponen perangkat lunak pendukung dan penggunaan model tanaman untuk aplikasi dalam DSSAT v3.5 (Jones et al. 2003) b.
Sebagai input untuk simulasi DSSAT, selain data iklim adalah data fisik dan kimia tanah menyangkut penggunaan pupuk tertentu, data varietas, irigasi, dan skenario penggunaan alternatif-alternatif teknologi. Data tanah diperoleh melalui pengambilan sampel tanah.
Dengan
menggunakan peta land system sebagai acuan, diperoleh beberapa lokasi pertanian yang mempunyai karakteristik tanah yang berbeda. Berdasarkan penentuan ini dilakukan pengambilan sampel tanah, dengan membedakan lahan sawah dan lahan kering pada beberapa kecamatan. Kecamatan yang diambil sampel tanahnya meliputi, Kecamatan Pacitan, Arjosari, Kebon Agung, Ngadirojo dan Pringkuku. Di Kecamatan Pacitan, sampel diambil dari Desa Kayen, Mentoro dan Arjowinangun, dengan kategori tanah sawah. Di Kecamatan Arjosari diambil dari Desa Burang dengan kategori tanah sawah.
Di Kecamatan Kebon Agung diambil dari Desa Kebon Agung
dengan kategori sawah.
Di Kecamatan Ngadirojo, pengambilan sampel
untuk kategori tanah sawah irigasi diambil dari Desa Ngadirojo, Cokro Kembang, dan Desa Tanjungpuro, sedangkan untuk kategori lahan kering
40
diambil dari Desa Hadiwarno dan Sidomulyo.
Di Kecamatan Pringkuku,
sampel di ambil dari Desa Candi dan Pringkuku yang mewakili tanah sawah, serta Desa Pringkuku yang mewakili kategori lahan kering. Sampel tanah untuk analisis fisik diambil dari dua kedalaman dengan menggunakan ring sampel, sedangkan untuk analisis kimia diambil secara komposit. Adapun analisis yang dilakukan adalah tekstur 3 fraksi (pasir, debu dan liat), pH, COrganik, N-Kjedahl, P tersedia, K tersedia, K-dd, Al-dd, NH4, NO3, Ca tersedia, bulk density, dan lain-lain. c.
Penelaahan teknologi adaptasi dilakukan dalam dua tahap, yaitu penelaahan teknologi adaptasi yang dilakukan secara global dan penelaahan teknologi adaptasi yang dilakukan oleh petani setempat.
Penelaahan teknologi
didasarkan pada komponen teknologi apa yang digunakan oleh petani, seperti pupuk, varietas, irigasi dan juga terhadap teknologi-teknologi yang sudah dilakukan petani dalam waktu lama yang mungkin saja merupakan kearifan lokal. d.
Proses berikutnya adalah pemilihan perlakuan yang digunakan, banyaknya tahun untuk evaluasi dan running simulasi.
e.
Output dari hasil simulasi DSSAT adalah diantaranya ‘hasil’ dalam kg, yang menyatakan hasil pada tahun tertentu sesuai perlakuan yang digunakan.
f.
Masukan teknologi yang bervariasi akan memberikan keragaman hasil yang cukup menyebar.
Berdasarkan hasil yang tertinggi, dengan menelaah
teknologi yang digunakan, kemudian dilakukan pemilihan teknologi-teknologi budidaya. Proses tersebut disajikan pada Gambar 3.2. g.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang diproses dengan regresi menggunakan minitab ver. 14. Persamaan tersebut berasal dari prediktor yang beberapa diantaranya dibuat variabel dummy (Tabel. 3.1).
Untuk prediktor yang memberikan pengaruh yang signifikan, diberi
garis bawah pada persamaan, yang menyatakan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada taraf α=0.05.
41
Tabel 3.1 Prediktor untuk membentuk persamaan hasil tanaman No.
Prediktor
Keterangan
1.
V menunjukkan varietas, 0=IR 64, 1=IR 8
2.
AnoSSTNino4 adalah anomali SST Nino 4 bulan Agustus
3.
CHfase1 adalah curah hujan fase 1 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 1-55 hari)
Keluaran DSSAT
4.
CHfase2 adalah curah hujan fase 2 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 56-75 hari)
Keluaran DSSAT
5.
CHfase3 adalah curah hujan fase 3 (merupakan akumulasi curah hujan pada umur tanaman 76-95 hari)
Keluaran DSSAT
6.
Irigasi, 0=tanpa irigasi, 1=pemberian Irigasi pada fase 1 sebesar 349.8 mm, pada fase 2 sebesar 189 mm dan pada fase 3 sebesar 163.8 mm
Variabel dummy
7.
Pupuk, terdiri dari 3 paket: -1, 0 dan 1. -1 = Urea 250 kg-SP 36 100 kg- KCl 100 kg 0 = Urea 230 kg-SP 36 100 kg-KCl 50 kg 1 = Urea 200 kg-SP 36 50 kg-KCl 80 kg. (komposisi anjuran untuk Kecamatan Pacitan)
8.
Variabel dummy
Variabel dummy
Organik, terdiri dari 3 paket: 0, -1 dan 1. Variabel dummy 0 = tanpa BO, -1 = diberi BO sebesar 5 ton jerami /ha, 1 = diberi BO sebesar 2 ton pukan /ha ___________________________________________________________________ Keterangan : CH fase berdasarkan data curah hujan hasil keluaran simulasi DSSAT
42
Data iklim, sifat genetis, tanah, dan alternatif teknologi
Data irigasi dan SST Nino 4 bulan Agustus
Curah hujan fase1, 2 dan 3 (output DSSAT)
DSSAT
Hasil prediksi keluaran model simulasi
Opsi teknologi
Persamaan hasil
Pilihan teknologi
TEKNOLOGI REKOMENDASI berdasarkan Persamaan hasil terbaik
Gambar 3.2 Diagram alir evaluasi dampak keragaman iklim terhadap keragaman hasil tanaman
3.3.
Hasil dan Pembahasan
3.3.1. Karakteristik Sistem Usaha Tani di Pacitan Data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan (2009) menyatakan
bahwa dari 12 Kecamatan di Kabupaten Pacitan, semua
kecamatan melakukan pertanian tanaman pangan dengan persentase terbesar di Kecamatan Nawangan (15%), Kebon Agung dan Tulakan (14%).
Persentase
tersebut didasarkan kepada luas sawah yang diusahakan pada setiap kecamatan (Gambar 3.3).
43
Gambar 3.3
Gambar 3.4
Persentase luas sawah setiap kecamatan di Kabupaten Pacitan
Hamparan lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten Pacitan
Secara umum Kabupaten Pacitan memiliki empat tipe irigasi, yaitu sawah dengan irigasi teknis seluas 264,17 Ha (0,19%), irigasi semi teknis sekitar 2.130,01 Ha (1,54%), irigasi sederhana sekitar 3.313,99 Ha (2,39%) dan sawah tadah hujan sekitar 6.707,09 Ha (4,85%). Irigasi teknis terluas dapat ditemukan di Kecamatan Ngadirojo, sedangkan irigasi semi teknis terluas di Kecamatan Bandar. Lahan tadah hujan terluas di Kecamatan Nawangan, yang merupakan sentra tanaman pangan terbesar di Pacitan. Di samping lahan tadah hujan yang cukup luas, Kabupaten Pacitan juga memiliki lahan kering (tegalan) yang cukup luas, yaitu sekitar 125.971,90 Ha
(Anonimus 2006).
Dari total luasan untuk lahan
sawah dan lahan kering sekitar 44.230 ha, maka 21.931 ha merupakan lahan kering dengan hanya ditanami palawija satu kali setahun (sumber Dinas Pertanian
44
dan Peternakan Kabupaten Pacitan 2010). Gambaran pertanaman pada kedua tipe lahan tersebut disajikan pada Gambar 3.4. Berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al. 2007), bahwa wilayah Pacitan yang cukup kritis terhadap bencana adalah wilayah sebelah barat meliputi Kecamatan Punung, Donorojo dan Pringkuku. Maka lokasi survai kemudian terpilih di Kecamatan Pringkuku, yang ditinjau dari segi pengairan maupun pola tanamnya relatif tidak jauh berbeda dengan Kecamatan Donorojo maupun Punung. Untuk Kecamatan Pringkuku sendiri, lokasi diutamakan di Desa Pringkuku, yang dianggap sudah mewakili dari beberapa tipe irigasi.
Ada 4 tipe
irigasi di Pacitan, yaitu; irigasi teknis, irigasi semi teknis, irigasi swadaya dan lahan kering.
Ketiga sistem irigasi sudah terwakili di Desa Pringkuku, kecuali irigasi
teknis, yang banyak dilakukan di Desa Candi. Sehingga pengambilan sampel berikutnya ke Desa Candi. Survai ke petani dilakukan melalui wawancara mendalam. Diambil 75 sampel dari Desa Pringkuku dan 25 sampel dari Desa Candi. Pengambilan sampel di wilayah ini dianggap sudah mewakili kondisi Pacitan secara keseluruhan. Responden di Pacitan sebagian besar mengusahakan sendiri pertanaman tanaman pangannya, hanya sebagian kecil yang sewa atau maro.
Luas lahan
yang diupayakan Responden sebagian besar berada pada luas < 1 ha. Hanya sekitar 10% yang > 1 ha. ND >1 ha 0.76-1.00 ha 0.51-0.75 ha 0.26-0.50 ha <= 0.25 ha 0
5
10
15 20 25 Persentase Responden
30
35
40
Gambar 3.5 Luas lahan yang diusahakan Responden
Pola budidaya pertanian dalam penelitian dimaksudkan sebagai kombinasi dari Varietas, Pengolahan tanah, dan jarak tanam, pemupukan dan awal penanaman.
Pola tanam pada sawah dengan irigasi teknis secara umum
45
mencakup padi-padi-padi yang dimulai umumnya pada bulan Oktober, November atau Desember dan berakhir pada bulan September. Pertanaman MT II, dominan dilakukan Responden pada bulan Maret. Sebagian Responden ada juga yang melakukan penanaman MT II pada bulan Februari dan April. Penanaman MT III semakin berkurang dan dilakukan Responden pada bulan Juni dan Juli. Pertanaman padi musim tanam pertama (MT I) menggunakan varietas dengan umur sekitar 100-110 hari, sedangkan untuk MT II dan MT III menggunakan varietas yang lebih genjah. Varietas-varietas genjah (yang berumur pendek) tersebut diantaranya adalah : Situ Bagendit, Situ Patenggang, dan Batu Tegi.
Namun demikian, pola tanam seperti ini hanya digunakan oleh sebagian
kecil petani yaitu mencakup sekitar 434 ha. Selain pola tanam padi-padi-padi, pada lahan sawah irigasi teknis juga terdapat pola tanam padi-padi-palawija. Pola tanam ini cukup luas digunakan oleh Petani Pacitan yaitu sekitar 4.176 ha. Keserempakan waktu tanam, mempunyai toleransi lebih kurang 2 minggu. Jika hujan 3 kali berturut-turut dalam jumlah yang cukup, petani sudah melakukan penanaman. Tetapi jika hujan kurang lebat, petani ragu untuk mulai melakukan penanaman, sehingga waktu bertanam menjadi tidak seragam.
45 MT1
Persentase Responden
40
MT2
35
MT3 30 25 20 15 10 5 0
Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun
Gambar 3.6
Jul Agus
Waktu tanam pada MT I, MT II, MT III menurut Responden
46
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
MT-3 MT-2 MT-1
Gambar 3.7 Tanaman yang diusahakan Responden pada setiap musim tanam
Berdasarkan catatan dari Responden diketahui bahwa pada umumnya penanaman pada MT-1 adalah >90% padi monokultur, dan hanya sebagian kecil yang menanam padi ditumpangsarikan dengan palawija. Tanaman pada MT II, lebih bervariasi, karena pada umumnya petani sudah memahami kesulitan pengairan untuk pertanaman padi, meskipun untuk sebagian kecil wilayah ada yang mengusahakan padi bahkan hingga pertanaman ke 3, seperti di Desa Candi Kecamatan Pringkuku. Varietas yang banyak digunakan di Pringkuku adalah Ciherang (110 hari) dengan produksi 4-6 ton/ha (di lahan sawah) dan 2-4 ton/ha (di lahan kering). Varietas lain yang cukup bagus di Pringkuku adalah Situ Bagendit, tetapi karena adanya serangan hama, petani kurang berminat untuk menanam kembali. Sedangkan di Kecamatan Ngadirojo, yaitu salah satu sentra padi di Pacitan, produksi padi sawah mencapai 5-8 ton/ha, dan kalau menggunakan Hibrida, produksi rata-rata 8-11 ton/ha. Varietas yang digunakan di Ngadirojo : Ciherang, IR 64, Cibogo, Situ Bagendit. Terdapat variasi pola ketatalaksanaan usaha tani dikaitkan dengan kondisi iklim dan produktivitas lahan di wilayah kajian.
Pola tanam existing petani di
Kecamatan Pringkuku dan Ngadirojo disajikan pada Tabel 3.2.
47
Tabel 3.2 Pola tanam existing petani Kecamatan
Pola tanam
Karakteristik wilayah
Pringkuku
Padi-padi-bera Dominasi lahan kering Padi-padi-padi Padi-kedelai-bera Padi-kacang tanah-bera Padi-kedelai-sayuran Padi-kedelai-kacang hijau Padi-kacang tanah-sayuran Padi gogo/jagung/ketela pohon-kacang tanah
Ngadirojo
Padi-padi Dominasi lahan sawah Padi-padi-padi Padi-padi-palawija Padi-palawija-palawija Palawija (kedelai, jagung, kacang tanah)
Pola tanam pada lahan sawah tadah hujan, umumnya adalah padipalawija/sayuran dan padi-bera. Pola tanam padi-palawija mencakup 1691 ha, dengan penanaman dimulai bulan Desember atau Januari.
Sedangkan pola
tanam padi-bera, mencakup luasan sekitar 5.027 ha. Di lahan kering penanaman lebih cepat, umumnya sekitar pertengahan bulan November
dengan pola
tanamnya adalah 1. padi gogo+palawija – palawija, 2. padi gogo+palawija-bera, 3. palawija-palawija-bera dan 4. palawija saja. Luasan yang menanam palawija saja di lahan kering merupakan luasan terbesar. Lahan kering ditanami padi gogo, jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, kedelai, ubi jalar dan sorgum. Untuk lahan kering selain padi gogo, ubi kayu mendominasi penanaman. Ubi kayu ditanam pada musim tanam kedua setelah padi. Ubi kayu dipanen pada saat menjelang musim hujan, dimana penanaman padi pada musim hujan akan dimulai. Produktivitas ubi kayu dari tahun 1990 hingga 2010 memperlihatkan tren kenaikan (Gambar 3.8). Tren produktivitas ubi kayu tersebut terlihat lebih dipengaruhi oleh penambahan luas tanam dibanding kondisi curah hujan. Hal ini dapat dilihat dari pola curah hujan dari tahun ke tahun sebagaimana yang disajikan pada gambar 3.8.
48
250
4000 3500
200 3000
ku/ha
2000 100
mm
2500
150
1500 1000
50 500 0 1990
1992
1994
1996
1998
2000
CH tahunan (mm)
Gambar 3.8
2002
2004
2006
2008
0 2010
Produktivitas (ku/ha)
Tren produktivitas ubi kayu di Kabupaten Pacitan
Tata cara pengolahan tanah secara umum ada dua, yaitu pengolahan tanah dengan traktor dan pengolahan tanah dengan bajak.
Pada umumnya,
petani di wilayah kajian melakukan pemupukan dengan komposisi Urea
(800
kg/ha) + TSP ( 400 kg/ha)+ pupuk kandang. Dalam hal penanaman awal, terlihat bahwa petani melakukan penanaman secara normal pada kisaran bulan Oktober-November, yaitu dalam hal ini tanam setelah 3 kali hujan dengan intensitas cukup tinggi. Rata-rata petani masih menggunakan pranatamangsa, adanya tolu (Guntur) yang menggelegar sebagai tanda akan mulai musim hujan. Jika ada hujan awal den-gan hitungan satu pacul tanah basah, sekitar 20 cm, petani sudah berani memulai pertanaman. Pada musim rendeng, pembenihan dilakukan dengan sistem “nyegat” (sebar benih pada saat belum ada hujan di lahan langsung, kira-kira 1 bulan sebelum hujan, pada saat hujan benih langsung tumbuh). Hal ini merupakan salah satu teknik adaptasi dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satu hal yang mungkin terjadi akibat terjadinya perubahan iklim adalah terjadinya pergeseran musim, yang menyebabkan musim menjadi tidak menentu. Salah satu kejadian yang mungkin terjadi di areal penanaman adalah adanya hujan tipuan atau ‘false rain’. Apabila terjadi hujan tipuan, biasanya benih akan rusak, sedangkan apabila tidak ada hujan selama 1 bulan dan untuk selanjutnya hujan turun dengan intensitas yang mencukupi untuk dilakukan penanaman, maka benih dapat berhasil tumbuh dengan baik. Menurut beberapa orang petani, lebih baik menanam segera, karena tanah masih ‘hangat’, hal ini dikaitkan dengan keaktifan
49
mikroorganisma di dalam tanah, yang dapat membantu kesuburan tanah, sehingga hasil panen lebih baik. Pengolahan tanah dilakukan dengan traktor dan pada sebagian petani dengan menggunakan bajak. Penanaman benih di lahan kering dilakukan dengan cara menugal. Bencana iklim yang kerap terjadi di Pacitan adalah kekeringan, apalagi pada topografi pengunungan karst. Namun demikian, banjir juga terjadi karena adanya luapan Sungai Grindulu sebagai pusat pengairan pada irigasi usahatani dan kondisi saluran yang belum berfungsi sebagaimana mestinya. Produksi pertanaman ditentukan oleh banyak hal, diantaranya adanya OPT (organisma pengganggu tanaman). OPT utama yang berkembang pada tanaman padi dan palawija di Kabupaten Pacitan meliputi : belalang kumbara, tikus, wereng batang cokelat, penggerek batang, ulat grayak, keong mas, uret, Phyricularia oryzae, Xanthomonas oryzae dan cercosphora oryzae.
Berdasarkan hasil survai
pada petani megenai tingkat serangan OPT ternyata tingkat serangan OPT dirasakan petani lebih berat pada musim hujan. ND >50 kg 41-50 kg 31-40 kg 21-30 kg 11-20 kg <=10 kg 0
Gambar 3.9
5
10
15
20 25 30 Persentase Responden
35
40
45
50
Pemakaian benih Responden pada MT-1
Pada usaha tani padi di Pacitan, petani rata-rata menggunakan benih 1020 kg/ha (Gambar 3.9).
Harga benih di pasar sekitar Rp.7000 hingga Rp. 8000,
untuk IR-64 dan Ciherang. Banyak Responden mengusahakan benih sendiri dari pertanamannya. Benih ditanam ke lapang, setelah 20-25 hari di persemaian. Jarak tanam yang digunakan Responden bervariasi antara 10x25 hingga 40x80 cm. Namun umumnya Responden menggunakan jarak tanam 15x30 cm (Gambar 3.10). Pengeluaran untuk tenaga kerja berkisar antara Rp. 20.000 hingga Rp. 1.100.000.
Hal itu karena banyak Responden melaksanakan sendiri sebagian
50
penyelenggaraan bertaninya, sehingga biaya tenaga kerja tidak dihitung. Kebanyakan pekerjaan yang dilakukan bersama dengan yang lain adalah tanam, penyiangan dan panen. Untuk kegiatan panen dan tanam, mereka melakukan secara bergotong royong.
Sedangkan untuk pengolahan tanah, sebagian
memakai cangkul, dan sebagian lain menggunakan traktor dengan cara menyewa. Untuk penggunaan pupuk, Responden kebanyakan menggunakan urea, ponska, NPK, dan TSP.
Sedangkan pemakaian KCl hanya ditemukan pada satu
responden.
Gambar 3.10 Jarak tanam yang digunakan 3.3.2. Karakteristik ENSO dan hubungannya dengan curah hujan Berdasarkan gambaran pola hujan setiap kecamatan di Pacitan, terlihat bahwa Pacitan seperti halnya wilayah Pulau Jawa lainnya, termasuk dalam pola monsunal dengan satu puncak hujan. Aldrian dan Susanto (2003) memaparkan bahwa El-Nino dan La-Nina di daerah dengan pola hujan monsun kuat pengaruhnya, pada daerah berpola equatorial pengaruhnya lemah, sedangkan pada daerah berpola lokal tidak jelas. Curah hujan setiap kecamatan bervariasi pada jeluk hujannya, dengan bulan kering antara 2 hingga 5 bulan, dengan ratarata bulan kering 4 bulan (Gambar 3.11). Sedangkan bulan basah antara 4 hingga 6 bulan dan puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari. Hal itu sejalan dengan data yang diperoleh dari sebagian besar Responden di Pringkuku yang menyatakan bahwa puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Januari.
Curah
hujan rata-rata tahunan bervariasi di atas 2000 mm yaitu antara 2012 (Kecamatan Tegalombo) hingga 2837 mm (Kecamatan Kebonagung) (Gambar 3.12). Awal
51
musim hujan menurut sebagian besar responden umumnya terjadi pada bulan Oktober, sedangkan akhir musim hujan berakhir pada bulan Maret dan sebagian responden lain menyatakan musim hujan berakhir bulan Mei. 600 Arjosari
500
Bandar Donorojo
CH (mm)
400
Kebonagung Nawangan
300
Ngadirojo Pacitan
200
Pringkuku Punung Sudimoro
100
Tegalombo Tulakan
0 Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun Jul bulan
Agu Sep
Okt Nov
Des
Gambar 3.11 Rata-rata CH bulanan setiap kecamatan
CH rata-rata tahunan (cm)
3000 2500 2000 1500 1000 500 0
kecamatan
Gambar 3.12 Rata-rata CH tahunan (bawah) setiap kecamatan Kecamatan Kebonagung merupakan kecamatan yang paling basah dengan hanya memiliki rata-rata dua bulan kering per tahunnya. Sedangkan wilayah yang paling kering di Pacitan, dengan 5 bulan kering terjadi di Kecamatan Arjosari, Pacitan, Pringkuku, Punung dan Tegalombo. Gambaran curah hujan setiap kecamatan yang diwakili dengan rata-rata curah hujan dan simpang bakunya disajikan pada Gambar 3.13. Pola curah hujan pada hampir seluruh kecamatan memperlihatkan gambaran bahwa bulan Agustus merupakan bulan terkering di Pacitan. Sedangkan bulan terbasah umumnya terjadi pada bulan Januari, kecuali di Kecamatan Pacitan, Kebonagung, Sudimoro dan Tulakan.
52
Bandar
400 350 300 250 200 150 100 50 0
600
500 400
400
100
0
0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
400 350 300 250 200 150 100 50 0
100
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
0
Pringkuku
Pacitan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Gambar 3.13
Tulakan 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
350 300 250 200 150 100 50 0
Simpangan baku
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Tegalombo
Sudimoro 400 350 300 250 200 150 100 50 0
Punung
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
400 350 300 250 200 150 100 50 0
Rata-rata
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
200
Ngadirojo
Nawangan
Rata-rata
Simpangan baku
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
300
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
100
400 350 300 250 200 150 100 50 0
400
CH (mm)
200
200
500
CH (mm)
300
300
Kebonagung
CH (mm)
Donorojo
500
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des
CH (mm)
Arjosari
Rata-rata
Simpangan baku
Rata-rata curah hujan bulanan dan simpangan baku setiap kecamatan
Karakteristik ENSO diwakili oleh kondisi curah hujan pada tahun-tahun ElNino dan La-Nina, yaitu pada saat kondisi curah hujan menyimpang dari kondisi normalnya. Pada saat terjadi El-Nino, curah hujan di wilayah Indonesia umumnya
53
akan berada di bawah normal (di bawah rata-rata jangka panjangnya). Sebaliknya pada saat terjadi La-Nina, curah hujan akan berada di atas normalnya (di atas rata-rata jangka panjangnya). Hadi et al. (2003) memaparkan bahwa dampak ElNino di wlayah Indonesia yang utama adalah memperparah atau memperpanjang musim kering, sedangkan dampak
La-Nina adalah memungkinkan lebih
banyaknya pertumbuhan awan di musim hujan. Fenomena ENSO terjadi karena adanya perubahan tekanan antara Darwin dan Tahiti, yang menyebabkan berpindahnya massa udara panas, yang berakibat terhadap lebih banyak atau berkurangnya awan-awan hujan. Tabel 3.3a
Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina berdasarkan indeks ONI (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal 1981 1983 1985 1989 1990 1992 1993 1996 2001 2003 2005 2008
Tabel 3.3b
Lemah 1951 1963 1968 1969 1976 1977 2004 2006
Kuat 1957 1965 1972 1982 1991 1997 2009
Lemah 1950 1956 1962 1967 1971 1974 1984 1995 2000
La-Nina Sedang 1954 1964 1970 1998 1999 2007
Kuat 1955 1973 1975 1988
Pengelompokan tahun-tahun Normal, El-Nino dan la-Nina berdasarkan indeks ONI yang diperbaharui tanggal 5 April 2012 (Sumber : http://ggweather.com/enso/oni.htm)
Normal 1981 1983 1985 1989 1990 1992 1993 1996 2001 2003 2005 2008
El-Nino Sedang 1986 1987 1994 2002
Lemah 1969 1976 1977 2004 2006
El-Nino Sedang 1951 1963 1968 1986 1987 1991 1994 2002 2009
Kuat 1957 1965 1972 1982 1997
Lemah 1950 1954 1956 1962 1964 1967 1971 1974 1984 1995 2000 2011
La-Nina Sedang 1955 1970 1998 2007
Kuat 1973 1975 1988 1999 2010
54
Berbeda dengan kejadian El-Nino, pada saat terjadi La-Nina, curah hujan turun lebih awal dan dalam selang waktu yang lebih lama sehingga waktu tanam padi bisa lebih awal bahkan dapat dilakukan sepanjang tahun. Untuk pertanaman padi, kondisi La-Nina dianggap cukup menguntungkan. Pengelompokan tahuntahun Normal, El-Nino dan La-Nina berdasarkan indeks ONI (Oceanic Nino Index), seperti yang disajikan pada Tabel 3.3a. Tabel ini selanjutnya diacu dalam analisis penentuan El-Nino maupun La-Nina. Untuk mengetahui sejauhmana respon atau hubungan antara curah hujan di Kabupaten Pacitan dengan ENSO, maka dilihat pola hujan berdasarkan tahuntahun Normal, El-Nino serta La-Nina. Pada tahun Normal, curah hujan >200 mm terjadi pada bulan November hingga bulan Maret (Gambar 3.14). Sedangkan pada tahun-tahun La-Nina, curah hujan maksimum pada bulan November, Desember, Februari dan Maret. Pada tahun-tahun El-Nino kuat, curah hujan maksimum terjadi pada bulan Desember hingga Februari. Hal ini menunjukkan, bahwa semakin kuat terjadi peristiwa El-Nino, maka curah hujan maksimum menjadi mundur waktunya dibandingkan dengan pada kondisi normal. El-Nino dapat menyebabkan lambatnya onset dan mundurnya awal musim hujan (Lansigan et al. 2000).
Hal lain yang harus diwaspadai adalah terjadinya
penurunan curah hujan yang cukup signifikan pada kejadian El-Nino kuat terutama pada bulan-bulan di musim hujan (mulai bulan Oktober). 450 400 350
CH (mm)
300 250 200 150 100 50 0 Jan
Feb
Mar
Apr
CH tahun Normal
Mei
Jun
Jul
CH tahun El-Nino
Agu
Sep
Okt
Nov
Des
CH tahun La-Nina
Gambar 3.14 Pola CH Pacitan tahun Normal dan tahun-tahun terjadinya ENSO
55
Bandar
Arjosari
40
Dasarian
36
32 28 28
28 Y= 2.8584X + 30.655 R² = 0.2113 p=0.005** -1
-0.5
0
0.5
1
Y= 1.9761X + 30.207 R² = 0.1441 p=0.039*
24
1.5
20 -1.5
-1
Y = 2.8786X + 28.623 R² = 0.2209 p=0.012*
36
-0.5
0
Y = 2.9149X + 30.809 R² = 0.2537 p=0.002**
24
0.5
1
1.5
20 -1.5
-1
Nawangan
Kebonagung
40
Dasarian
36
32
20 -1.5
-0.5
0
0.5
1
1.5
Ngadirojo
36
40
32
36
32
32 28
28
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
Pacitan
40
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
20 -1.5
Y= 2.5859X+ 29.517 R² = 0.1862 p=0.011*
36
32
28
28
28
24
24
24
-0.5
0
0.5
1
1.5
20 -1.5
-1
Sudimoro
-0.5
0
0.5
1
1.5
36
36
32
32
32
28
28
28
24
24
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Gambar
3.15
Y= 0.7991X+ 30.66 R² = 0.0211 p=0.413
20 -1.5
Awal Musim Agustus
-1
-0.5
0
vs
1.5
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
1
1.5
Y = 3.7815X + 29.058 R² = 0.4025 p=0.001**
24
0.5
1
1.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Hujan
1
Tulakan 40
Y = 3.6009X+ 28.591 R² = 0.3571 p=0.001**
0.5
Y = 2.9218X + 30.527 R² = 0.2201 p=0.006**
20 -1.5
40
36
0
Punung
Tegalombo
40
-0.5
36
32
-1
-1
40
32
20 -1.5
Y= 2.9549X + 29.742 R² = 0.2423 p=0.003**
24
Pringkuku
40
Y = 3.073X + 29.112 R² = 0.3012 p=0.002**
36
28
Y = 2.4513X + 30.273 R² = 0.2845 p=0.002**
24
24
Dasarian
40
32
24
Dasarian
Donorojo
36
anomali
20 -1.5
-1
-0.5
0
0.5
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
SST
Nino
4
bulan
56
Bandar
Dasarian
Arjosari 28
28
24
24
24
20
20
20
16
16
16
12
12 Y= -3.8779X + 17.196 R² = 0.2237 p =0.004**
8 4
12 Y = -1.8225X + 20.032 R² = 0.0691 p=0.176
8 4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
-1
Dasarian
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
32
28
28
28
24
24
24
20
20
20
16
16
4
4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
4
-1
Pacitan
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
28
24
24
24
20
20
20
16
16
16
12 Y = -2.4266X+ 17.803 R² = 0.16 p=0.035*
4
4
0 -1
-0.5
0
0.5
1
1.5
-1.5
Sudimoro
4
-1
-0.5
0
0.5
1
1.5
0 -1.5
28
28
24
24
24
20
20
16
16
12
12
16 12 4
Y= -3.0905X + 18.499 R² = 0.1249 p=0.065
0
8 4
Y= -1.2857X + 19.057 R² = 0.0387 p=0.265
0 -1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Gambar 3.16
0
0.5
1
1.5
-1.5 -1 -0.5 0 0.5 1 1.5 Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
-0.5
0
0.5
1
1.5
0.5
1
1.5
Tulakan
28
8
-1
Tegalombo
32
20
-0.5
Y = -4.0912X + 17.604 R² = 0.2397 p=0.006**
8
0 -1.5
1.5
12 Y= -2.2205X+ 17.974 R² = 0.0975 p=0.072
8
1
Punung
28
8
-1
Pringkuku
28
12
0.5
Y = -3.5354X + 18.278 R² = 0.2175 p=0.046*
8
0 -1.5
0
12 Y = -2.5726X + 19.69 R² = 0.1267 p=0.005**
8
-0.5
16
12
Y = -3.4497X+ 19.444 R² = 0.2102 p=0.014*
8
-1
Ngadirojo
32
12
Y = -3.0361X + 16.92 R² = 0.1453 p=0.026*
4
Nawangan
Kebonagung
Dasarian
8
0 -1.5
Dasarian
Donorojo
28
Y = -3.6738X + 19.455 R² = 0.365 p=0.002**
8 4 0 -1.5
-1
-0.5
0
Anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Panjang Musim Hujan vs anomali SST Nino 4 bulan Agustus
Hubungan antara anomali SST Nino 4 dengan curah hujan yang diwakili dengan awal musim hujan dan panjang musim hujan diperlihatkan pada Gambar 3.15 dan 3.16.
Penetapan SST Nino 4 dilakukan karena wilayah ini yang paling
dekat dengan Indonesia dan masih agak jarang penelitian di wilayah ini, juga
57
terbukti memiliki pengaruh yang nyata terhadap kondisi curah hujan di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan tingkat keterkaitan awal musim hujan yang nyata terpengaruh SST Nino4 pada hampir seluruh kecamatan. Data SST Nino 4 yang digunakan adalah data SST bulan Agustus. Hal ini diacu dari hasil penelitian Boer et al. (2010) yang menyatakan bahwa indeks SOI bulan Agustus tahun berjalan dapat digunakan untuk memperkirakan besar kerugian ekonomi MK tahun depan di Kabupaten Indramayu. Selain itu Boer et al. (2010) juga menyatakan bahwa fenomena ENSO sangat kuat pengaruhnya terhadap keragaman hujan musim transisi, maka kemampuan untuk memprakirakan (forecast skill) masuknya awal musim
hujan
dengan
menggunakan
indeks
ENSO
bulan-bulan
awal
pembentukannya (Juni hingga September) cukup tinggi. Mengingat antara SOI dengan SST, keduanya merupakan indikator ENSO, maka penetapan SST bulan Agustus tahun berjalan sebagai acuan dirasakan cukup tepat. Tingkat keragaman data awal musim hujan dalam kaitannya dengan SST Nino 4 diperlihatkan dengan cukup besarnya kisaran koefisien determinasi terkoreksi untuk kecamatan-kecamatan di Pacitan dari 0.0211 (Kecamatan Tegalombo) hingga 0.4025 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.15). Demikian juga untuk panjang musim hujan koefisien determinasi terkoreksi sebesar 0.0387 (Kecamatan Tegalombo)
hingga 0.365 (Kecamatan Tulakan) (Gambar 3.16).
Berdasarkan nilai p-value yang diperoleh awal musim hujan pada sebagian besar kecamatan nyata dan sangat nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4.
Hanya satu
kecamatan yang memperlihatkan nilai yang berbeda. Panjang musim hujan juga nyata dipengaruhi oleh SST Nino 4, namun hanya terjadi pada delapan kecamatan.
3.3.3.
Dampak ENSO terhadap kekeringan Secara umum, masalah dalam pertanian di Pacitan adalah terjadinya
kegagalan panen, puso, salah prediksi iklim dan penanaman berulang kali. Masalah-masalah tersebut muncul karena terjadinya bencana iklim yang akhirnya menyebabkan produksi pertanaman menurun. Hasil survai menyatakan bahwa kegagalan panen akibat kekeringan menempati urutan pertama
(sekitar 60%
responden) di Pacitan (Gambar 3.17) dan tahun 1997 merupakan tahun yang kering menurut responden (Gambar 3.18).
58
Pada saat kejadian El-Nino berlangsung, Indonesia mengalami masa kekeringan, yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan produksi pertanian, karena turunnya pasokan air hujan. Kerap kali musim hujan mundur dari waktu normalnya, dan curah hujan turun dalam selang yang lebih singkat dibanding pada kondisi normalnya, yang implikasinya terhadap sektor pertanian terutama tanaman pangan menyebabkan kerugian pertanaman. Kekeringan yang terjadi di Desa Pringkuku terutama terjadi pada MT 2005/06 yang menyerang tanaman kedelai dan jagung. Luasan lahan usahatani yang mengalami kekeringan pada MT 2005/06 hanya terjadi pada MT-3. Kerugian yang ditimbulkannya berupa penurunan produksi sebesar 58,7% (Wahab et al. 2007). Berdasarkan data dari Direktorat Perlindungan Tanaman untuk luas terkena di Kabupaten Pacitan periode tahun 1995 hingga 2010, terlihat bahwa Kabupaten Pacitan mengalami kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997, 1999, 2007 dan 2009. Dari luasan tersebut yang mengalami puso terbanyak tahun 1997 dan 1999 (Gambar 3.19). Sedangkan tahun 2007, meskipun mengalami luas terkena yang sangat luas tetapi tidak sampai puso, hal itu dikarenakan terdapat cukup pasokan air pada kondisi-kondisi kritis tanaman.
Gambar 3.17
Penyebab gagal panen menurut Responden
Gambar 3.18 Tahun terjadinya kekeringan menurut Responden
59
luas kekeringan (ha)
14000 12000 10000 8000 6000 4000 2000 0 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 Terkena
Puso
Gambar 3.19 Luas terkena dan puso areal padi tahun 1995-2010
Gambar 3.20 Luas areal padi yang mengalami puso tahun 2006-2008 di Pacitan
Berdasarkan data tahun 2006 hingga 2008, luas puso paling besar terjadi pada bulan Agustus pada penanaman padi sawah.
Dibanding padi sawah, puso
padi gogo tidak terlalu signifikan, kecuali pada Januari 2008. Untuk padi sawah, puso terjadi mulai Juni hingga Januari dengan puncaknya terjadi pada bulan Agustus (Gambar 3.20). Hasil penelitian sebelumnya (Wahab et al., 2007), bahwa wilayah Pacitan yang cukup kritis terhadap bencana kekeringan adalah wilayah sebelah barat meliputi Kecamatan Punung, Donorejo dan Pringkuku. Gambar 3.21 menunjukkan luas terjadi kekeringan setiap tahun di setiap kecamatan. Berdasarkan gambar tersebut terlihat bahwa kecamatan di Pacitan berdasarkan data tahun 1989-2008, umumnya mengalami kekeringan mulai dari tahun 1991 dan meningkat pada tahun
60
1994, mencapai kekeringan yang cukup luas pada tahun 1997 dan puncaknya terjadi pada tahun 2007. Kecamatan Tulakan merupakan kecamatan yang paling rentan terhadap bencana kekeringan, hal itu terlihat dari besarnya luasan yang terkena pada tahun-tahun yang disebutkan di atas.
800
luas kekeringan (ha)
700 600 500 400 300 200 100 0 Arjosari
Donorojo Kebonagung Nawangan 1991
1994
1997
Pacitan 2002
Pringkuku 2004
Punung
Tegalombo
Tulakan
2006
Gambar 3.21 Luas terkena kekeringan kecamatan pada 1991, 1994, 1997, 2003 dan 2007 3.3.4.
Analisis hubungan keragaman iklim dengan sistem usaha tani padi Berdasarkan data luas panen bulanan Pacitan tahun 2006 hingga 2010
(sumber data dari Dinas Tanaman Pangan dan Peternakan Kabupaten Pacitan tahun 2007 hingga 2011) terlihat bahwa untuk padi sawah, persentase terbesar pada bulan Februari hingga Mei, untuk penanaman musim hujan, dan kemudian mengalami penurunan pada bulan-bulan berikutnya. Umumnya penanaman 2 kali setahun, kecuali pada tahun 2010, karena curah hujan cukup tinggi sepanjang tahun (Gambar 3.22). Sedangkan untuk padi gogo, penanaman dilakukan sekali setahun, dan panen dari bulan Januari hingga Mei.
Pada tahun 2007 terjadi
pergeseran puncak tanam yaitu pada bulan April, namun demikian luas panen lebih tinggi dibanding bulan lainnya, karena pada tahun tersebut terjadi La-Nina. Ilustrasi mengenai luas tambah tanam setiap kecamatan dari tahun 2006 hingga 2009 disajikan pada Gambar 3.23.
61
20000 18000
luas panen (ha)
16000 14000 12000
2006
10000
2007
8000
2008 2009
6000
2010
4000 2000 0 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agu Sep Okt Nov Des bulan
Gambar 3.22 Luas panen padi bulanan dari tahun 2006 hingga 2010 di Kabupaten Pacitan Dari informasi luas panen dan luas tanam terlihat bahwa sentra produksi padi untuk Kabupaten Pacitan adalah Kecamatan Pringkuku, Punung dan Donorojo. Namun demikian, padi yang dihasilkan dominannya merupakan padi lahan kering. Karena memiliki lahan kering yang luas, maka selain mengusahakan padi, Kabupaten Pacitan juga mengusahakan
tanaman pangan lain, seperti
jagung, kacang tanah, kedelai, ubi kayu dan lain-lain. Dari beberapa tanaman pangan non padi tersebut, ubi kayu ditanam paling luas, terutama pada tiga kecamatan penghasil padi gogo, yaitu Donorojo, Punung dan Pringkuku. Mengingat ketiga lokasi yang berada di sebelah Barat Pacitan ini memiliki kondisi iklim yang relatif mirip.
Ubi kayu biasa dipanen puncaknya pada bulan Agustus
hingga September. Luas panen dan produksi ubi kayu mengalami kenaikan cukup signifikan mulai tahun 2003 (Gambar 3.24), kecuali pada tahun 2009-2010 mengalami penurunan, hal tersebut terjadi karena lahan yang biasa ditanami ubi kayu, beralih ditanami padi, mengingat hujan berlangsung terus hingga penanaman musim tanam ketiga.
62
Bandar
300
300
200
200
100
100 0
0
2009
2006
600 500 400 300 200 100 0
2006
2007
2008
2000
400
1500
300 1000
200
500
100 0
600
6000
500
5000
400
4000
300
3000
200
2000
100
1000
2008
2008
400 300 200 100 0
2007
2006
2007
2008
2009
600 500 400 300 200 100 0
2006
2007
2009
luas tambah tanam (ha)
600 500 400 300 200 100 0
2006 CH (mm)
2007
2008
2008
2009
Tulakan
1200 1000 800 600 400 200 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2008
2009
Punung
Tegalombo 600 500 400 300 200 100 0
2008
600 5000 4500 500 4000 400 3500 3000 300 2500 2000 200 1500 100 1000 500 0 0
0
2009
2009
500
2006
2009
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
luas tambah tanam (ha) luas tambah tanam (ha)
2007
2008
600
Pringkuku
600 500 400 300 200 100 0
CH (mm)
2007
800 700 600 500 400 300 200 100 0
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
0
Sudimoro
2007
0
Ngadirojo
500
2006
0
2006
100
2006
600
Pacitan
2007
2009
2500
2009
1400 1200 1000 800 600 400 200 0
2006
2008
200
Nawangan
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
luas tambah tanam (ha)
Kebonagung
2007
300
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2008
100
400
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2007
200
500
2009
luas tambah tanam (ha)
1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
600 500 400 300 200 100 0 Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
2006
300
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
0
400
CH (mm)
400
600
CH (mm)
400
500
7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0
CH (mm)
500
600
CH (mm)
500
Donorojo
1800 1600 1400 1200 1000 800 600 400 200 0
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
600
Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep Jan May Sep
Luas tambah tanam (ha)
Arjosari 600
2006
2007
CH (mm)
2008
2009
luas tambah tanam (ha)
Gambar 3.23 Luas tambah tanam bulanan (ha) dan curah hujan tahun 2006 hingga 2009
63
Gambar 3.24 Luas panen dan produksi ubi kayu di Kabupaten Pacitan dari tahun 1990 hingga 2010
Gambar 3.25 Anomali luas panen padi per tahun di Kabupaten Pacitan Dalam kaitannya dengan produksi, tahun-tahun ENSO memperlihatkan perbedaan. Sebagai contoh, berdasarkan data luas panen padi, diperoleh bahwa pada tahun 1998 dan 1999
terdapat peningkatan luas panen (Gambar 3.25).
Meskipun demikian pada tahun 2003, yang menurut indeks ONI termasuk pada tahun Normal, luas panen padi pada tahun tersebut mengalami penurunan luas panen yang sangat signifikan, bahkan hingga hampir mencapai 4000 ha. Kejadian
64
El-Nino tahun 1991 terlihat cukup signifikan mempengaruhi luas panen padi di Pacitan, terjadi anomali luas panen negatif hingga mencapai 2000 ha. Hal tersebut sejalan dengan Boer dan Setyadipratikto (2003) yang menyatakan bahwa anomali produksi padi yang negatif umumnya terjadi pada tahun-tahun El-Nino sedangkan yang positif terjadi pada tahun-tahun bukan El-Nino.
Berdasarkan kajian yang
sudah dilakukan, penyebab penurunan produksi tersebut adalah; 1). El-Nino berpengaruh terhadap masuknya awal musim hujan sehingga penanaman padi pada MH, menjadi mundur dari biasanya.
Akibatnya tanaman padi kedua
mengalami keterlambatan sehingga risiko terkena kekeringan menjadi tinggi karena hujan sudah mengalami penurunan yang besar. 2). El-Nino menyebabkan hujan pada musim kemarau turun jauh dari normal sehingga air yang tersedia tidak cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman. 3). El-Nino menyebabkan awal musim kemarau terjadi lebih awal dari biasanya sehingga tanaman padi kedua mengalami cekaman kekeringan. Alternatif pola tanam bila terjadi kejadian El-Nino kuat adalah dengan waktu tanam padi mundur hingga beberapa dasarian atau mengganti dengan tanaman palawija.
Sedangkan pada kondisi La-Nina, waktu tanam padi dapat
dimajukan beberapa dasarian, atau dapat pula dilakukan penanaman palawija yang berumur pendek sebelum menanam padi. Untuk menjelaskan perbedaan perlakuan irigasi, dilakukan penghitungan hasil simulasi pada perlakuan irigasi yang dibandingkan dengan hasil pada perlakuan non irigasi. Untuk menghitung perbedaan hasil digunakan rumus yang mengacu pada Soler et al. (2007),
Dimana,
= pengurangan hasil (yield) = hasil (yield) pada kondisi tanpa irigasi = hasil (yield) pada kondisi irigasi
Pada Tabel 3.4 terlihat bahwa perbedaan hasil yang cukup signifikan akan diperoleh apabila penanaman dilakukan pada 1 Maret hingga 15 Juni untuk Kecamatan Pacitan.
Diperlukan input irigasi yang cukup banyak,
penanaman akan dilakukan pada Bulan ini.
apabila
Sedangkan pada awal Januari,
November dan Desember perbedaan hasil tidak begitu tinggi karena pada bulan tersebut curah hujan tinggi.
65
Tabel
3.4
Pengurangan hasil antara Irigasi di Kecamatan Pacitan
perlakuan
Irigasi
dengan
tanpa
Tanggal tanam
Tanpa Irigasi (kg/ha)
Dengan Irigasi (kg/ha)
Yr (%) (pengurangan hasil)
1-Jan
2745
4674
41.3
15-Jan
2641
4425
40.3
1-Feb
2093
4751
55.9
15-Feb
2041
5009
59.3
1-Mar
1915
5121
62.6
15-Mar
1492
5102
70.8
1-Apr
1578
5374
70.6
15-Apr
1669
5484
69.6
01-Mei
1579
5540
71.5
15-Mei
1543
5361
71.2
1-Jun
1634
5141
68.2
15-Jun
1687
4663
63.8
1-Jul
1868
4476
58.3
15-Jul
2185
4333
49.6
01-Agu
2653
4264
37.8
15-Agu
3072
4210
27.0
1-Sep
3384
4051
16.5
15-Sep
3585
3971
9.7
01-Okt
3727
3915
4.8
15-Okt
3714
3854
3.6
1-Nov
3705
3959
6.4
15-Nov
3576
4039
11.5
01-Des
2936
4095
28.3
15-Des
2767
4134
33.1
Ilustrasi mengenai ‘hasil’ yang diperoleh pada perlakuan irigasi-tanpa irigasi, varietas genjah-varietas dalam dan pemupukan di Kecamatan Pacitan disajikan pada Gambar 3.26 dan 3.27. Penggunaan pupuk yang ditambah bahan organik, sedikit meningkatkan hasil dari bulan Februari hingga Agustus, pada kondisi tanpa Irigasi. Namun demikian, pada kondisi adanya penambahan Irigasi, perlakuan pupuk tidak menunjukkan hasil yang berbeda. Dapat dikatakan bahwa adanya irigasi, merupakan pelarut yang baik untuk pupuk yang diberikan, sehingga menjadi lebih tersedia bagi tanaman.
‘Hasil’ pada varietas dipengaruhi oleh
kondisi endogen dan eksogen. Pada lingkungan eksogen yang sama, varietas yang berbeda menampakkan hasil yang berbeda. Gambar 3.27 memperlihatkan
66
bahwa pada kondisi tidak diirigasi, pemberian bahan organik dapat meningkatkan hasil cukup besar, walaupun tidak nyata. 6000
hasil (kg/ha)
5000 4000 3000 2000 1000 0
tanggal tanam Tanpa irigasi
Gambar
3.26
Dengan irigasi
Perbedaan hasil setiap tanggal tanam dengan menggunakan Irigasi dan tanpa Irigasi di Kecamatan Pacitan
6000
5000
hasil (kg/ha)
4000 Tanpa BO-non irigasi 3000
BO jerami-non irigasi BO pukan -non irigasi
2000
Tanpa BO + irigasi BO jerami + irigasi
1000
1-Jan 15-Jan 1-Feb 15-Feb 1-Mar 15-Mar 1-Apr 15-Apr 1-Mei 15-Mei 1-Jun 15-Jun 1-Jul 15-Jul 1-Agu 15-Agu 1-Sep 15-Sep 1-Okt 15-Okt 1-Nov 15-Nov 1-Des 15-Des
0
BO pukan + irigasi
tanggal tanam
Gambar
3.27
Perbedaan hasil setiap menggunakan perbedaan Irigasi di Kecamatan Pacitan
tanggal pupuk
tanam dengan dan perbedaan
67
Tabel 3.5 Persamaan hasil untuk Kecamatan Pacitan Tanggal tanam
Persamaan
R2
p
RMSE
1 Jan
Hasil_1 Jan = 3531 - 715 V – 43 AnoSSTNino4 - 0.877 CH-fase1 + 1.15 CH-fase2 - 0.596 CHfase3 + 2735 Irigasi - 1 Pupuk + 5 Organik Hasil_15 Jan = 2833 - 469 V - 492 AnoSSTNino4- 0.331 CH-fase1 - 0.660 CH-fase2 + 1.89 CHfase3 + 2528 Irigasi - 42 Pupuk + 103 Organik Hasil_1 Feb = 2161 - 604 V - 322 AnoSSTNino4 + 0.274 CH-fase1 - 0.595 CH-fase2 + 4.10 CHfase3 + 3040 Irigasi - 57 Pupuk + 166 Organik Hasil_15 Feb = 2279 - 415 V - 297 AnoSSTNino4 - 0.256 CH-fase1 + 1.51 CH-fase2 + 1.79 CHfase3 + 3266 Irigasi + 4 Pupuk + 78 Organik Hasil_1 Mar = 2335 - 400 V - 291 AnoSSTNino4 - 0.447 CH-fase1 + 1.68 CH-fase2 + 0.44 CHfase3 + 3390 Irigasi - 13 Pupuk + 87 Organik Hasil_15 Mar = 2202 - 603 V - 227 AnoSSTNino4 - 0.137 CH-fase1 - 0.758 CH-fase2 - 0.92 CHfase3 + 3636 Irigasi - 92 Pupuk + 187 Organik Hasil_1 Apr = 1714 - 603 V - 96 AnoSSTNino4 + 0.349 CH-fase1 - 1.74 CH-fase2 + 8.23 CHfase3 + 3636 Irigasi - 92 Pupuk + 187 Organik Hasil_15 Apr = 1590 - 549 V - 421 AnoSSTNino4 + 0.519 CH-fase1 + 3.34 CH-fase2 + 17.3 CHfase3 + 3610 Irigasi - 12 Pupuk + 0 Organik Hasil_1 Mei = 1579 - 428 V - 204 AnoSSTNino4 + 0.858 CH-fase1 + 8.31 CH-fase2+ 7.60 CHfase3 + 3538 Irigasi - 57 Pupuk + 143 Organik Hasil_15 Mei = 1412 - 441 V - 20 AnoSSTNino4 + 3.21 CH-fase1 + 7.83 CH-fase2+ 9.17 CHfase3 + 3375 Irigasi - 34 Pupuk + 189 Organik Hasil_1 Jun = 1551 - 495 V + 99 AnoSSTNino4 + 4.90 CH-fase1 + 6.03 CH-fase2 + 3.78 CHfase3 + 3124 Irigasi - 35 Pupuk + 198 Organik Hasil_15 Jun = 1604 - 599 V + 149 AnoSSTNino4 + 5.45 CH-fase1 + 0.16 CH-fase2 + 6.34 CHfase3 + 2890 Irigasi - 35 Pupuk + 286 Organik Hasil-1 Jul = 1733 - 590 V + 134 AnoSSTNino4 + 7.07 CH-fase1 + 4.60 CH-fase2 + 4.10 CHfase3 + 2547 Irigasi - 58 Pupuk + 300 Organik
58.4
0.000
1237.1
53.8
0.000
1242.3
66.4
0.000
1151.4
67.2
0.000
1181.2
62.3
0.000
1358.5
64.8
0.000
1382.1
71.1
0.000
1253.1
72.9
0.000
1229.8
70.4
0.000
1266.6
69.4
0.000
1227.3
70.0
0.000
1137.9
71.9
0.000
1047.7
67.8
0.000
1042.7
15 Jan
1 Feb
15 Feb
1 Mar
15 Mar
1 Apr
15 Apr
1 Mei
15 Mei
1 Jun
15 Jun
1 Jul
68
Tanggal tanam 15 Jul
Persamaan
Hasil_15 Jul = 2140 - 757 V + 145 AnoSSTNino4 + 7.11 CH-fase1 + 1.89 CH-fase2 + 3.06 CHfase3 + 2228 Irigasi - 34 Pupuk + 164 Organik 1 Agu Hasil_1 Agu = 2722 - 763 V - 265 AnoSSTNino4 + 3.59 CH-fase1 + 0.969 CH-fase2 + 2.26 CHfase3 + 1637 Irigasi - 32 Pupuk + 158 Organik 15 Agu Hasil_15 Agu = 3320 - 707 V - 440 AnoSSTNino4 + 1.56 CH-fase1 + 1.33 CH-fase2 + 0.427 CHfase3 + 1158 Irigasi - 25 Pupuk + 110 Organik 1 Sep Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CH-fase2 + 0.827 CHfase3 + 743 Irigasi + 2.0 Pupuk + 106 Organik 15 Sep Hasil_15 Sep = 4012 - 866 V - 215 AnoSSTNino4 + 0.562 CH-fase1 + 0.455 CH-fase2 + 0.722 CH-fase3 + 409 Irigasi + 0.5 Pupuk + 17.5 Organik 1 Okt Hasil_1 Okt = 4272 - 911 V - 53.5 AnoSSTNino4 + 0.373 CH-fase1 + 0.375 CH-fase2 + 0.439 CHfase3 + 244 Irigasi + 13.0 Pupuk - 6.0 Organik 15 Okt Hasil_15 Okt = 4389 - 922 V + 55.4 AnoSSTNino4 + 0.435 CH-fase1 + 0.224 CH-fase2 - 0.567 CH-fase3 + 320 Irigasi + 14.3 Pupuk - 11 Organik 1 Nov Hasil_1 Nov = 4576 - 937 V - 102 AnoSSTNino4 + 0.295 CH-fase1 - 1.78 CH-fase2 + 0.745 CHfase3 + 467 Irigasi + 24.8 Pupuk - 55 Organik 15 Nov Hasil_15 Nov = 3987 - 559 V - 317 AnoSSTNino4 + 0.041 CH-fase1 - 0.932 CH-fase2 + 0.471 CH-fase3 + 883 Irigasi + 14 Pupuk + 28 Organik 1 Des Hasil_1 Des = 3786 - 640 V - 361 AnoSSTNino4 - 0.424 CH-fase1 - 0.831 CH-fase2 + 0.957 CHfase3 + 1432 Irigasi + 20 Pupuk - 35 Organik 15 Des Hasil_15 Des = 4110 - 925 V - 333 AnoSSTNino4 - 0.625 CH-fase1 - 0.339 CH-fase2 + 0.629 CHfase3 + 1411 Irigasi + 16 Pupuk - 77 Organik Keterangan : yang diberi garis bawah, nyata pada taraf α=0.05
R2
p
RMSE
65.6
0.000
986.7
60.1
0.000
888.1
54.2
0.000
780.6
52.4
0.000
645.1
65.5
0.000
400.5
71.6
0.000
314.3
48.3
0.000
529.0
47.4
0.000
602.8
34.5
0.000
796.7
43.7
0.000
951.7
48.2
0.000
909.3
Hasil_1 Sep = 3604 - 824 V - 298 AnoSSTNino4 + 0.570 CH-fase1 + 0.904 CHfase2 + 0.827 CH-fase3 + 743 Irigasi + 2.0 Pupuk + 106 Organik
69
Persamaan di atas bermakna : •
Konstanta
= 3604, menunjukkan hasil yang diharapkan akan diperoleh pada tanggal tanam 1 September kalau menggunakan varietas IR 8, SST pada kondisi rata-rata, tidak ada hujan pada fase 1, fase 2 dan fase 3, tanpa irigasi, paket pupuk yang digunakan paket 230 kg Urea-100 kg SP-36-50 kg KCl dan tanpa bahan organik.
•
- 824 V
= Kalau menggunakan varietas yang pertama (IR 64) maka akan memberikan hasil yang lebih rendah 824 kg/ha dibanding varietas yang kedua (IR 8).
•
- 298 AnoSSTNino4 = Kalau AnoSSTNino4 turun sebesar 1 satuan (1oC) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 298 kg/ha.
•
0.57 CH fase1 = Setiap peningkatan CHfase1 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.57 kg/ha.
•
0.904 CH fase2 =Setiap peningkatan CHfase2 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.904 kg/ha.
•
0.827 CH fase3 =Setiap peningkatan CHfase3 satu satuan (1 mm) akan menyebabkan peningkatan hasil sebesar 0.827 kg/ha.
•
743 Irigasi =kalau menggunakan Irigasi maka akan memberikan hasil yang lebih tinggi sebesar 743 kg/ha dibanding tanpa Irigasi pada tanggal tanam 1 September
•
2 pupuk = kalau menggunakan kombinasi pupuk yang pertama maka akan terjadi pengurangan hasil 2 kg/ha, dibanding kalau menggunakan kombinasi pupuk yang kedua, sedangkan kalau menggunakan kombinasi pupuk yang ketiga akan memberikan penambahan hasil sebesar 2 kg/ha.
•
106 organik = kalau menggunakan bahan organik jerami maka akan terjadi pengurangan hasil 106 kg/ha dibanding kalau tanpa menggunakan bahan organik, sedangkan kalau menggunakan bahan organik pukan 2 ton/ha akan memberikan penambahan hasil sebesar 106 kg/ha. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari output DSSAT, maka dapat dilihat
teknologi mana yang memberikan hasil terbaik pada tanggal-tanggal tanam tertentu. Hal tersebut ditunjukkan oleh persamaan-persamaan yang disampaikan Tabel 3.5. Persamaan di atas memberikan tanggal tanam terbaik serta prediktor apa yang berpengaruh pada hasil yang diperoleh.
Prediktor tersebut sekaligus
merupakan indikator, teknologi apa yang perlu diperhatikan pada pertanaman setiap tanggal tersebut.
Tanggal tanam merupakan peubah yang paling
menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh
70
untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman bulan Februari yang paling menguntungkan,
hal tersebut diindikasikan oleh error (RMSE)
yang
dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei (Gambar 3.28). Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas.
Gambar 3.28 Plot error pada setiap tanggal tanam
3.4.
Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dijelaskan bahwa iklim sangat
berpengaruh terhadap produksi tanaman, dan fluktuasi produktivitas tanaman pangan terutama padi di Kabupaten Pacitan. Curah hujan sebagai unsur iklim yang sangat erat kaitannya dengan ketersediaan air selama pertanaman, sehingga fluktuasi
penurunan
curah
hujan
selama
mempengaruhi keragaman hasil tanaman.
pertumbuhan
tanaman
akan
Hal tersebut dijelaskan dengan
menurunnya produksi pada tahun-tahun kering, sebaliknya produksi tinggi pada tahun-tahun basah. Curah hujan erat terkait dengan suhu permukaan laut (SST), dan berdasarkan hasil yang diperoleh diketahui bahwa terdapat hubungan nyata dan sangat nyata antara awal musim hujan dengan SST Nino 4 bulan Agustus pada hampir seluruh kecamatan di Kabupaten Pacitan.
Informasi mengenai
dampak keragaman iklim di suatu daerah tertentu, merupakan informasi yang
71
menjadi perencanaan utama dalam menetapkan jadwal dan pola tanam, terutama tanaman pangan. Pilihan teknologi yang tersedia berupa pilihan varietas, pemupukan, irigasi, bahan organik, yang didukung dengan informasi pola curah hujan dapat dijadikan sebagi acuan petani dalam mencari waktu tanam terbaik, untuk meminimalkan dampak variabilitas iklim.
Pemilihan teknologi didasarkan kepada hasil terbaik
yang diperoleh dengan biaya yang lebih minimal. Kerentanan terhadap produksi tanaman tertinggi pada musim tanam kedua (MK1), sehingga penanaman untuk waktu tanam ini perlu diantisipasi dengan persiapan yang lebih awal. Hal itu terkait dengan informasi prakiraan iklim yang diberikan, dan pilihan waktu tanam dan teknologi yang diterapkan. Tanggal tanam merupakan peubah yang paling menentukan keberhasilan atau kegagalan panen. Persamaan hasil yang diperoleh untuk pertanaman MT II, memperlihatkan bahwa penanaman
bulan
Februari
yang
paling
menguntungkan,
hal
tersebut
diindikasikan oleh error (RMSE) yang dihasilkan yang paling rendah, dibanding bulan Maret, April atau Mei.
Untuk itu, penanaman pada MH sebaiknya
menggunakan varietas genjah, dan menjelang penanaman MT II, perlu dilakukan sistem culik atau teknologi lain, sehingga waktu persemaian dapat disegerakan. Selain tanggal tanam, prediktor yang paling memberikan kontribusi yang signifikan terhadap hasil yang diperoleh adalah irigasi dan varietas. Bahasan pada Bab berikutnya adalah
kelayakan ekonomi teknologi
budidaya yang dihasilkan. Berdasarkan perhitungan ekonominya, dipilih teknologi yang terbaik dengan biaya minimal.