KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT YANG DIISOLASI DARI BERBAGAI SPESIES TANAMAN OBAT POTENSIAL
ROHANI CINTA BADIA BR GINTING
SEKOLAH PASCASARJANA PROGRAM STUDI MIKROBIOLOGI INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Keragaman Cendawan Endofit yang Diisolasi dari Berbagai Spesies Tanaman Obat Potensial” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan, maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Agustus 2013 Rohani Cinta Badia Br Ginting NIM G361080031
RINGKASAN ROHANI CINTA BADIA BR GINTING. Keragaman Cendawan Endofit yang Diisolasi dari Berbagai Spesies Tanaman Obat Potensial. Dibimbing oleh NAMPIAH SUKARNO, UTUT WIDYASTUTI, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, dan SHIGEHIKO KANAYA. Indonesia memiliki keragaman tanaman obat yang tinggi namun cendawan endofit yang bersimbiosis dengan tanaman obat asal Indonesia belum banyak dipelajari terutama pada tanaman obat potensial seperti jahe merah (Zingiber officinale Roscoe), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk), pegagan lokal (Centella asiatica L), pegagan malaysia, dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Beberapa cendawan endofit asal tanaman obat dilaporkan berpotensi menghasilkan berbagai senyawa metabolit termasuk antimikrob. Peranan cendawan endofit dalam produksi metabolit pada tanaman obat dilaporkan sangat signifikan namun keragaman cendawan tersebut pada kelima tanaman obat potensial tersebut di atas belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk: 1). Mendapatkan isolat cendawan endofit dari organ fungsional tanaman obat potensial yaitu jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, temulawak dan mengidentifikasi cendawan endofit yang diperoleh dengan karakter morfologi, sekuen DNA pada daerah ITS rDNA, dan filogenetik, dan kemampuan antagonistik terhadap F. oxysporum, 2). Mendapatkan isolat cendawan endofit dari tanaman obat jahe merah sebagai model yaitu dari organ fungsional dan non-fungsional dan mengidentifikasi cendawan endofit yang diperoleh dengan karakter morfologi, sekuen DNA pada daerah ITS rDNA, filogenetik, dan kemampuan antagonistik terhadap F. oxysporum, dan spesi kimia menggunakan FTIR, 3). Penapisan terhadap kemampuan cendawan endofit sebagai antagonistik terhadap cendawan patogen tanaman F. oxysporium secara in vitro. Tanaman obat yang digunakan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah tanaman yang diambil organ fungsionalnya yaitu daun jati belanda, daun pegagan lokal, daun pegagan malaysia, dan rimpang temulawak. Kelompok kedua ialah jahe merah yaitu tanaman yang seluruh organnya baik fungsional yaitu rimpang maupun non-fungsional yaitu akar, batang, dan daun digunakan sebagai sumber isolat. Pada tanaman kelompok pertama, setiap organ fungsional masing-masing tanaman obat yang diteliti diperoleh bahwa keempat tanaman tersebut bersimbiosis dengan cendawan endofit. Pada organ daun jati belanda diperoleh 13 isolat cendawan endofit dan masing-masing lima isolat dari organ daun pegagan lokal, pegagan malaysia, dan rimpang temulawak. Hasil diidentifikasi dari cendawan endofit pada organ fungsional menggunakan kombinasi karakter morfologi, molekuler, dan filogenetik diperoleh cendawan endofit Aspergillus versicolor, Aspergillus sydowii, Aspergillus terreus, Colletotrichum gloeosporioides dan fase teleomorfnya Glomerella cingulata, Colletotrichum higginsianum, Curvularia affinis, Diaporthe phaseolorum, Engyodontium album, Fusarium solani, Lasiodiplodia theobromae, Leptosphaerulina australis, Mycoleptodiscus indicus, Pseudocercospora cruenta, Stagonosporopsis cucurbitacearum, dan Talaromyces assiutensis. C. gloeosporioides dan fase teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan paling
banyak diperoleh dan ditemukan pada tiga dari empat tanaman yang diteliti yaitu jati belanda, pegagan malaysia, dan temulawak, sementara C. higginsianum ditemukan hanya pada pegagan lokal. Cendawan endofit yang mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap pertumbuhan F. oxysporum ialah T. trachyspermus JBd10 dan F. solani JMd14, sementara cendawan yang mempunyai kemampuan penghambatan yang rendah ialah D. phaseolorum JBd6, M. indicus PMd1, dan E. album JBd13. Pada tanaman jahe merah diperoleh 30 isolat cendawan endofit yaitu enam isolat berasal dari organ fungsional rimpang dan dua puluh empat isolat diperoleh dari organ non-fungsional yaitu akar, batang, dan daun. Setiap organ nonfungsional jahe merah masing-masing diperoleh sebanyak delapan isolat cendawan endofit. Hasil identifikasi menggunakan kombinasi karakter morfologi, molekuler, dan filogenetik diperoleh cendawan endofit A. macroclavatum, Beltrania sp., Cochliobolus geniculatus dan anamorfnya C. affinis, F. solani, G. cingulata dan anamorfnya C. gloeosporoides, Lecanicillium kalimantanense, Myrothecium verrucaria, Neonectria punicea, Periconia macrospinosa, Rhizopycnis vagum, T. assiutensis, dan satu miselia sterilia JMd9. C. gloeosporoides dan fase teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan endofit paling banyak ditemukan. Cendawan endofit R. vagum dan P. macrospinosa merupakan cendawan yang spesifik pada akar sementara L. kalimantanese dan M. verrucaria hanya diperoleh dari batang; dan Beltraniella sp. hanya di rimpang tanaman jahe merah. C. affinis dan fase teleomorfnya C. geniculatus ditemukan hidup di tajuk yaitu daun dan batang tanaman, sementara A. macroclavatum dan N. punicea pada sistem perakaran yaitu akar dan rimpang. Cendawan endofit asal organ jahe merah mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan terhadap cendawan patogen F. oxysporum dengan persentase penghambatan berkisar 1.4-68.8%. Cendawan C. affinis JMbt7 dan F. solani JMd14 mempunyai aktivitas penghambatan yang tinggi sementara R. vagum JMa4 dan C. geniculatus JMbt9 mempunyai aktivitas penghambatan yang rendah. Organ tanaman dimana cendawan endofit berasal tidak mempengaruhi kemampuan aktivitas cendawan endofit terhadap cendawan patogen F. oxysporum secara in vitro. Kombinasi identifikasi molekuler, spesi kimia menggunakan FTIR, dan kemampuan penghambatan terhadap cendawan patogen dapat membantu identifikasi cendawan ke tingkat spesies dan bahkan ada yang ke tingkat strain. Contoh spesies yang sama tetapi berbeda strain adalah spesies F. solani JMa5 dan F. solani JMd14; spesies G. cingulata JMr2, G. cingulata JMd4, G. cingulata JMd5 dan G. cingulata JMd12, C. lunatus JMbt7, C. lunatus JMbt9, dan C. lunatus JMd13. Contoh spesies dengan strain yang sama ialah G. cingulata JMbt13 dan G. cingulata JMd4 yang tersebar di daun dan batang dan A. macroclavatum JMa6 dan A. macroclavatum JMr7 yang tersebar di akar dan rimpang jahe merah. Pada organ tertentu tanaman jahe merah dapat dihuni oleh berbagai cendawan dengan spesies yang sama tetapi berbeda strain dan cendawan dengan spesies dan strain yang sama dapat tersebar di berbagai organ tanaman jahe merah. Kata kunci: tanaman obat, cendawan endofit, keragaman, identifikasi, filogenetik, spesi kimia
SUMMARY ROHANI CINTA BADIA BR GINTING. Diversity of Endophytic Fungi Derived from Some Potential Medicinal Plants. Supervised by NAMPIAH SUKARNO, UTUT WIDYASTUTI, LATIFAH KOSIM DARUSMAN, and SHIGEHIKO KANAYA. Indonesia has high medicinal plant diversity, however, there was limited study on endophytic fungi associated with them, particularly on potential medicinal plant jahe merah (Zingiber officinale Roscoe), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk), local pegagan (Centella asiatica L), malaysian pegagan, and temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). As traditional medicines, the society use certain medicinal plant organ such as leaf, stem, rhizome and root as functional organ in traditional remedy because it contains high bioactive compounds. Some endophytic fungi had been reported to produce bioactive compound including anti-microbe substances. Role of endophytic fungi in production of bioactive compound of medicinal plant as their host is significant, however, diversity and distribution of the fungi in the host plant are not sufficiently studied particularly for the five potential medicinal plant mention above. The aims of the research were: 1). To obtained the endophytic fungi isolates from the functional organ of jati belanda, local pegagan and malaysian pegagan type, and jahe merah, and from whole of jahe merah plant organs, 2). To study the diversity of endophytic fungi by using a combination of morphological characteristic, molecular analysis of sequence DNA generated from ITS rDNA region, and chemistry characteristic by FTIR, 3). To study the potency of endophytic fungi which have activity as biological control against F. oxysporum. The medicinal plants used were divided into two groups. The first group was medicinal plants that used only their functional organ that is leaf of jatibelanda, leaf of local pegagan and malaysian pegagan, and rhizome of temulawak. The second group was jahemerah plant. In this group all plant organs both functional and non-functional such as leaf, stem, rhizome and root were used as source of fungal isolation. In the first group, all functional organ of plants studied harbored endophytic fungi. There were 13 isolates of the endophytic fungi obtained from leaf of jati belanda and each of leaves of pegagan local and malaysian cultivars, and rhizome of jahe merah was occupied by five isolates. The fungi were identified as Aspergillus versicolor, Aspergillus sydowii, Aspergillus terreus, Colletotrichum gloeosporioides and its teleomorphic stage Glomerella cingulata, Colletotrichum higginsianum, Curvularia affinis, Diaporthe phaseolorum, Engyodontium album, Fusarium solani, Lasiodiplodia theobromae, Leptosphaerulina australis, Mycoleptodiscus indicus, Pseudocercospora cruenta, Stagonosporopsis cucurbitacearum, Talaromyces assiutensis. Colletotrichum gloeosporioides and its teleomorphic stage Glomerella cingulata were dominant endophyte fungi and were found in all plants study. Endophytic fungi derived from functional organ of jati belanda, temulawak, pegagan local and malaysian cultivars had inhibitation activity against F. oxysporum with the ranges of inhibition value 6.0-78.9%. Talaromyces
trachyspermus JBd10, Glomerella cingulata JMr2, and Fusarium solani JMd14 statistically had the highest inhibitation value, while Mycoleptodiscus indicus PMd1 and Engyodontium album JBd13 had the lowest inhibitation value. Thirty isolates of endophytic fungi having different colony characteristics were obtained from Zingiber officinale, six isolates were derived from functional organ of Zingiber officinale and twenty four isolates were derived from nonfunctional organ of Zingiber officinale, i.e. leaf, rhizome, root, and stem. Each of root, stem, and leaf was occupied by eight isolates. Fungal identification by using a combination of morphological characteristic, molecular analysis of sequence DNA generated from ITS rDNA region, and phylogenetic analysis resulted Acremonium macroclavatum, Beltraniella sp., Cochliobolus geniculatus and its anamorphic stage Curvularia affinis, Fusarium solani, Glomerella cingulata and its anamorphic stage Colletotrichum gloeosporoides, Lecanicillium kalimantanense, Myrothecium verrucaria, Neonectria punicea, Periconia macrospinosa, Rhizopycnis vagum, Talaromyces assiutensis, and one mycelia sterilia JMd9. C. gloeosporoides and its teleomorphic stage G. cingulata were dominant endophyte fungi in jahe merah. R. vagum was found specifically on root whereas L. kalimantanense and M. verrucaria were found on stem of red ginger plant. A. macroclavatum was found specifically in bellow ground organ, whereas Curvularia was determined from shoot or above ground organ of red ginger plant. Based on moleculer analysis, chemistry characteristic by FTIR, and antagonistic assay, the isolates JMa5 and JMd14 were belong to the same species, namely F. solani but they were differ in strain. Similarly JMr2, JMd4, JMd5, and JMd12 were belong to the same species G. cingulata but they were differ in strain. Other while, C. geniculatus JMbt9 and JMd13, G. cingulata JMd12 and JMr2. Otherwhile, G. cingulata JMbt13 and G. cingulata JMd4 were belong to the same species and also the same strain that spreaded in leaf and stem of jahe merah. Similarly A. macroclavatum JMa6 and A. macroclavatum JMr7. The endophytic fungi lived in the different organs of host plant may be belong to the same species and the same strain but also belong to the same species but in the different strain. All jahe merah plant organs harbor diverse endophytic fungi and their inhibition effects on growth of F. oxysporum were varied with the inhibition value range from 1.4 to 68.8%. C. affinis (JMbt7) and F. solani (JMd14) had significantly highest antagonistic activity with the value above 65%; and R. vagum (JMa4) and C. geniculatus (JMbt9) had significantly lowest antagonistic activity with the value up to 10%. This finding showed that not only rhizome of red ginger inhabited by endophytic fungi with high antifungal activities, but also other organs. Key words: medicinal plants, endophitic fungi, diversity, identification, phylogenetic, chemistry analisis
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IP
KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT YANG DIISOLASI DARI BERBAGAI SPESIES TANAMAN OBAT POTENSIAL
ROHANI CINTA BADIA BR GINTING
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Mikrobiologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Penguji pada Ujian Tertutup: Dr Dyah Manohara Peneliti Utama Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Bogor Dr Iman Rusmana Departemen Biologi FMIPA IPB Bogor
Penguji pada Ujian Terbuka: Dr Bonny Poernomo Wahyu Soekarno Departemen Proteksi Tanaman IPB Bogor Dr Ir Subowo Peneliti Utama Balai Penelitian Tanah Bogor
Judul Disertasi : Keragaman Cendawan Endofit yang Diisolasi dari Berbagai Spesies Tanaman Obat Potensial Nama : Rohani Cinta Badia Br Ginting NIM : G361080031
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Nampiah Sukarno Ketua
Dr Ir Utut Widyastuti, MSi Anggota
Prof Dr Latifah K Darusman, MS Anggota
Prof Dr Shigehiko Kanaya Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Mikrobiologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof Dr Anja Meryandini
Dr Ir Dahrul Syah, MAgr
Tanggal Ujian: 19 Agustus 2013
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah yang Maha Pemurah atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Oktober 2009 sampai dengan Desember 2012 ini ialah identifikasi dan skrining cendawan endofit dari tanaman obat Indonesia dengan judul Keragaman Cendawan Endofit yang Diisolasi dari Berbagai Spesies Tanaman Obat Potensial. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobologi dan Kesehatan Tanah Balai Penelitian Tanah Bogor, Lab. Biorin Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati (PPSHB) dan Bioteknologi IPB, Lab. Terpadu dan Lab. Bagian Mikologi Departemen Biologi FMIPA, Lab. Kimia Analitik Departemen Kimia FMIPA IPB, Lab. Pusat Studi Biofarmaka LPPB-IPB, Bogor. Penulis telah mendapatkan bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak dalam melakukan penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Ir Nampiah Sukarno sebagai Ketua Komisi Pembimbing, Dr Ir Utut Widyastuti, Prof Dr Ir Latifah K Darusman MS, dan Prof Dr Shigehiko Kanaya sebagai Anggota Komisi Pembimbing, atas segala bimbingan dan bantuan kepada penulis selama penelitian dan penyelesaian disertasi ini. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Badan Litbang Pertanian dan Kepala Balai Penelitian Tanah, Bogor yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana IPB Bogor dan menyediakan biaya pendidikan serta biaya penelitian melalui Program KKP3T Tahun 2011 dan 2012 dengan surat perjanjian No:1998.9/LB.620/I.1/5/2011 dan No:1142/LB.620/I.1/3/2012 serta PPSHB - Nara Institute Science and Technology dalam rangka kerjasama Young Researcher. Penghargaan dan terima kasih penulis ucapkan kepada Rektor, Dekan Sekolah Pascasarjana, Dekan FMIPA, Ketua Departemen Biologi, Ketua Program Studi Mikrobiologi, SPs IPB Bogor atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti pendidikan di SPs IPB Bogor. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh staf pengajar dan administrasi SPs IPB, staf PPSHB IPB, Tim kemometrik Pusat Studi Biofarmaka LPPB-IPB, dan Departemen Biologi atas ilmu dan bantuan administrasi yang diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan di Lab. BIORIN PPSHB, Lab. Terpadu dan Lab. Bagian Mikologi Dept. Biologi FMIPA, Lab. Kimia Analitik Dept. Kimia FMIPA, IPB Bogor atas segala bantuan, dukungan semangat dan doa, serta persahabatan selama penulis melakukan penelitian. Masih banyak pihak yang telah membantu kelancaran penelitian ini, namun tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, untuk itu penulis juga mengucapkan terima kasih. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Biston Situngkir dan anak-anakku Cindy Anastasia dan Della Claudya, serta seluruh keluarga Besar N. Ginting (Alm) dan Situngkir (Alm) atas segala doa, semangat, dan dukungannya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2013 Rohani Cinta Badia Br Ginting
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Alur Penelitian TINJAUAN PUSTAKA METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Prosedur Penelitian HASIL Keragaman Cendawan Endofit pada Organ Fungsional Beberapa Tanaman Obat Keragaman cendawan endofit berdasarkan karakteri morfologi Keragaman cendawan endofit berdasarkan identifikasi molekuler menggunakan primer ITS Keragaman cendawan endofit berdasarkan kemampuan penghambatan terhadap cendawan patogen F. oxysporum Keragaman Cendawan Endofit pada Tanaman Model: Jahe Merah Keragaman cendawan endofit berdasarkan karakter morfologi Keragaman cendawan endofit berdasarkan identifikasi molekuler Keragaman cendawan endofit berdasarkan kemampuan penghambatan terhadap F.oxysporum Keragaman cendawan endofit berdasarkan spesi kimia menggunakan FTIR PEMBAHASAN Keragaman Cendawan Endofit pada Organ Fungsional Beberapa Tanaman Obat Keragaman Cendawan Endofit pada Tanaman Model: Jahe Merah SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA RIWAYAT HIDUP
1 4 4 5 6 16 16 19
23 30 38 39 49 56 58
63 68 76 77 78 84
DAFTAR TABEL 1. Keragaman dan penyebaran cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan karakter morfologi 2. Karakter morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan daun jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan rimpang temulawak 3. Identifikasi molekuler cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS2, atau ITS3/NL4 4. Keragaman dan penyebaran cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan identifikasi molekular menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4 5. Uji hipersensivitas cendawan endofit asal organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak pada daun tembakau 6. Aktivitas penghambatan cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak terhadap cendawan patogen F. oxysporum secara in vitro 7. Keragaman dan penyebaran cendawan endofit berdasarkan karakter morfologi pada setiap organ tanaman jahe merah 8. Karakter morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan organ tanaman jahe merah 9. Identifikasi molekuler cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4 10. Keragaman dan penyebaran cendawan endofit pada organ tanaman jahe merah berdasarkan identifikasi molekuler ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL 11. Uji hipersensivitas cendawan endofit asal tanaman jahe merah pada daun tembakau 12. Aktivitas penghambatan cendawan endofit asal tanaman jahe merah terhadap F. oxysporum secara invitro 13. Hasil analisis komponen utama spektrum cendawan endofit asal tanaman jahe merah
23
24
32
33
38
39 40 47
51
53 56 57 59
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jati belanda Pegagan Temulawak Jahe merah Peta ITS1-5.8S-ITS2 rDNA Ilustrasi koreksi garis dasar spektrum emisi Raman Ilustrasi pendekatan menggunakan derivatisasi pada spektrum infra merah campuran air-metanol 8. Hasil proses smoothing kuadratik savitzky-golay 9. Alur pelaksanaan kerja 10. Karakter morfologi Aspergillus 11. Karakter morfologi Curvularia 12. Karakter morfologi Fusarium 13. Karakter morfologi Talaromyces 14. Karakter morfologi Colletotrichum dan Glomerella 15. Karakter morfologi Phomopsis 16. Karakter morfologi cendawan endofit miselia sterilia 17. Pohon filogenetik cendawan endofit asal organ fungsional jahe merah, jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak 18. Karakter morfologi Acremonium 19. Karakter morfologi Beltraniella 20. Karakter morfologi Curvularia affinis 21. Karakter morfologi Cylindrocarpon 22. Karakter morfologi Fusarium solani 23. Karakter morfologi Colletotrichum dan Glomerella 24. Karakter morfologi Talaromyces assiutensis 25. Karakter morfologi Periconia 26. Karakter morfologi Lecanilicilium kalimantanese 27. Karakter morfologi cendawan endofit miselia sterilia 28. Pohon filogenetik hasil identifikasi cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah 29. Spektrum inframerah data asli dan data yang telah mengalami proses pendahuluan dari 17 cendawan endofit asal tanaman jahe merah 30. Hasil analisis komponen utama data FTIR 17 isolat cendawan endofit asal tanaman jahe merah menggunakan PCA 31. Hasil analisis komponen utama data FTIR 17 isolat cendawan endofit asal tanaman jahe merah menggunakan analisis kluster
7 8 9 10 13 14 15 16 17 26 27 27 28 28 29 29 34 41 41 42 43 43 44 45 45 45 46 54 59 60 61
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Cendawan endofit ialah cendawan yang seluruh siklus hidupnya berada dalam jaringan suatu organ tanaman seperti akar, batang, daun, dan buah dan hidup bersimbiosis mutualisme atau netral dengan tanaman inangnya (Wilson 1995). Dalam simbiosisnya, cendawan endofit menghasilkan senyawa metabolit baik untuk tanaman inang maupun untuk cendawan itu sendiri sedangkan tanaman inang memberikan nutrisi dan senyawa aktif yang diperlukan oleh cendawan endofit. Senyawa bioaktif cendawan endofit berfungsi antara lain sebagai fungisida (You et al. 2009), zat pengatur tumbuh tumbuhan, antimikrob (Rukachaisirikul et al. 2008), antivirus, insektisida, dan mediasi berbagai ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik. Bailey et al. (2008) melaporkan bahwa tanaman yang diinokulasi cendawan endofit menunjukkan ketahanan yang lebih tinggi terhadap serangan patogen dan tahan terhadap cekaman kekeringan, logam berat, pH rendah, dan salinitas tinggi. Mekanisme resistensi tersebut diikuti dengan proses fisiologi tanaman atau peningkatan penyerapan hara mineral. Sejumlah senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan endofit memiliki aktivitas biologi (Strobel dan Daisy 2003) dan beberapa dari senyawa bioaktif tersebut merupakan senyawa bioaktif yang baru (Schulz et al. 2002). Berdasarkan sifat tumbuhnya, sebagian cendawan endofit memiliki sifat spesifik sehingga dapat diisolasi dari tanaman inangnya dan ditumbuhkan pada media yang sesuai dan ada yang bersifat obligat yaitu tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan kecuali bersama-sama dengan tanaman inangnya. Cendawan endofit yang potensial biasanya diperoleh dari tumbuhan inang yang khas seperti 1). tumbuhan yang hidup di lingkungan yang unik, 2). tanaman yang mempunyai sejarah etnobotani yaitu tanaman yang sering digunakan oleh masyarakat sebagai bahan obat, 3). tumbuhan endemik, 4). tumbuhan yang hidup di areal atau lingkungan yang mempunyai keragaman yang tinggi, dan 5). tumbuhan yang hidup di sekitar tumbuhan yang terserang penyakit (Strobel dan Daisy 2003). Indonesia telah dikenal sebagai negara yang mempunyai keragaman tanaman obat yang tinggi. Tanaman obat unggulan Indonesia antara lain tanaman jahe merah (Zingiber officinale Rosc.), jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk.), pegagan (Centella asiatica L.), dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) telah digunakan secara empiris oleh masyarakat dan diketahui mengandung senyawa bioaktif. Jahe merupakan salah satu tanaman obat asli Indonesia yang mengandung senyawa bioaktif dengan khasiat paling banyak sehingga lebih dari 40 produk obat tradisional menggunakan jahe sebagai bahan baku. Jahe merah merupakan varietas jahe yang banyak digunakan dalam industri jamu. Temulawak adalah tanaman obat asli Indonesia (Prana 1985) yang dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Pemerintah melalui Badan POM pada akhir tahun 2004 mencanangkan temulawak sebagai “Minuman Kesehatan Nasional” (Ditjenhorti 2006). Daun pegagan telah banyak digunakan sebagai obat anti pikun, obat
2
penyakit kulit, anti stress, anti radang, anti kanker, dan sebagai bahan kosmetik (Bermawie et al. 2005). Industri jamu memerlukan sekitar 100 ton simplisia pegagan setiap tahunnya. Dari sepuluh jenis jamu yang beredar di pasaran, pegagan merupakan bahan baku yang dipergunakan dengan kadar simplisia yang dicantumkan dalam kemasannya antara 15-25 % (Januwati dan Yusron 2004). Kebutuhan bahan baku tanaman tersebut sebagai bahan obat terus meningkat. Dengan mengisolasi cendawan endofit dari tanaman obat tersebut, maka diharapkan akan diperoleh cendawan endofit potensial dan juga dapat menghasilkan senyawa aktif yang potensial yang dapat digunakan untuk pengembangan pertanian berkelanjutan. Cendawan endofit dapat menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat digunakan untuk berbagai bidang seperti industri pertanian (Schulz et al. 2002). Dalam bidang pertanian, cendawan endofit telah banyak digunakan antara lain sebagai pengendali hayati cendawan patogen pada berbagai tanaman budi daya (Campanile, Ruscelli, dan Luisi 2007; You et al. 2009). Cendawan endofit Trichoderma, Pestalotiopsis, Curvularia, Tolypocladium dan Fusarium dari tanaman coklat mempunyai kemampuan menghambat pertumbuhan cendawan patogen Phytophtora palmivora. Selain itu, Colletotrichum trunctatum yang diisolasi dari tanaman jarak (Jatropha curcas) mampu mengendalikan pertumbuhan cendawan patogen tanaman Fusarium oxysporum dan Scleorotinia sclerotiorum (Kumar dan Kaushik 2013; Hanada et al. 2010). Antifungi yang termasuk dalam kelompok sitokalasin, kaetoglobosin A dan kaetoglobosin C yang dihasilkan oleh cendawan endofit Chaetomium globosum mampu menekan pertumbuhan cendawan patogen Setosphaeria turcica pada tanaman jagung (Zhang et al. 2013). Larkin, Hopkins, dan Martin (1996) menggunakan cendawan F. oxysporum bukan patogen untuk mengendalikan penyakit layu fusarium pada tanaman semangka. Sumber senyawa bioaktif cendawan dapat merupakan hasil metabolisme cendawan itu sendiri atau merupakan prekursor dari tanaman inang yang akan digunakan untuk menghasilkan senyawa bioaktif oleh cendawan. Dalam media pertumbuhan, di luar tanaman inang, cendawan endofit dilaporkan dapat menghasilkan bahan bioaktif yang sejenis atau yang berbeda dengan yang terkandung pada tanaman inangnya dengan bantuan aktivitas suatu enzim yang diduga sebagai akibat koevolusi antara tanaman inang dengan cendawan endofit (Tan dan Zou 2001). Kecenderungan masyarakat saat ini untuk kembali ke alam dengan slogan ”back to nature” semakin meningkat. Masyarakat berusaha menggunakan pangan dan produk kesehatan yang aman dan mengurangi penggunaan obat-obat kimiawi sehingga permintaan bahan baku tanaman obat semakin meningkat. Senyawa bioaktif tanaman yang merupakan bahan baku obat-obatan merupakan hasil metabolit sekunder dari tanaman seperti senyawa terpen, fenol, alkaloid, dan glukosida. Poduksi metabolit sekunder pada tanaman dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal dimana mikroba endofit dan lingkungan merupakan salah satu faktor eksternal (Faeth dan Fagan 2002). Dalam pemanfaatan tanaman obat, bahan baku tanamannya masih bergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional dan beberapa spesies tanaman obat saja yang telah dibudidayakan secara intensif. Untuk mengambil senyawa bioaktif
3
secara langsung dari tanaman dibutuhkan sangat banyak biomassa atau bagian dari tanaman tersebut sehingga terjadi ekspolaitasi tanaman obat di alam yang menyebabkan kelangkaan tanaman obat. Untuk mendapatkan biomassa yang banyak, berarti diperlukan lahan yang cukup luas untuk menumbuhkan tanaman obat dan memerlukan jangka waktu yang cukup lama untuk dapat dipanen. Dengan menggunakan cendawan endofit sebagai produsen senyawa bioaktif berarti mengurangi masalah kelangkaan tanaman obat. Pada penggunaan tanamanan obat, biasanya digunakan bagian tanaman tertentu yang mengandung senyawa bioaktif dengan konsentrasi yang tinggi seperti temulawak dan jahe merah diambil dari bagian rimpang sementara jati belanda dan pegagan diambil dari bagian daun. Informasi keragaman cendawan endofit yang menempati organ fungsional tanaman obat jati belanda, pegagan, dan temulawak masih terbatas. Selain itu, informasi mengenai keragaman cendawan endofit tersebut pada organ fungsional dibandingkan dengan organ non-fungsional terutama untuk tanaman jahe merah belum tersedia. Metode untuk identifikasi cendawan endofit tersebut dapat dilakukan antara lain dengan karakterisasi sifatsifat morfologi, analisis molekular sekuen DNA antara lain menggunakan ruas ITS rDNA, filogenetik, dan analisis spesi kimia menggunakan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Identifikasi cendawan menggunakan kombinasi berbagai metode tersebut diharapkan akan memberikan hasil yang lebih akurat. Salah satu faktor pembatas dalam peningkatan produktivitas tanaman obat seperti jahe merah, temulawak, dan pegagan adalah adanya serangan patogen penyebab penyakit, di antaranya adalah penyakit yang disebabkan oleh patogen F. oxysporum. Semangun (1989) melaporkan bahwa cendawan tersebut menyebabkan penyakit busuk akar rimpang pada tanaman jahe merah dan temulawak. Tanaman yang terserang cendawan patogen F. oxysporum umumnya menunjukkan gejala antara lain daun menguning, layu, klorosis, nekrosis, daun muda berguguran, sistem vaskular menjadi warna cokelat, kerdil, dan pucuk mongering, dan tanaman mati. Akar berkeriput dan berwarna kehitam-hitaman, dan pada bagian tengah rimpang membusuk. Layu fusarium menyebabkan kerusakan tanaman pertanian yang menyebabkan menurunnya produksi baik kualitas maupun kuantitas. Pengendalian hama maupun penyakit pada tanaman obat tidak boleh menggunakan bahan kimia karena residu yang tertinggal pada bagian tanaman dapat mempengaruhi kandungan bahan aktif yang dikandungnya yang mempengaruhi kualitas dari tanaman obat tersebut. Untuk pengendalian hama dan penyakit sebaiknya digunakan agens pengendali hayati antara lain cendawan endofit yang mempunyai aktivitas yang tinggi. Diharapkan bahwa cendawan yang diperoleh dari organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak, serta seluruh organ tanaman jahe merah mempunyai potensi mengendalikan F. oxysporum. Cendawan tersebut akan digunakan sebagai pengendali hayati tanaman obat di atas sehingga diperoleh tanaman obat dengan kualitas dan kuantitas yang tinggi. Selain itu, belum tersedia informasi tentang keragaman, penyebaran, dan kemampuan antagonis terhadap cendawan endofit F. oxysporum yang hidup pada organ fungsional dan non-fungsional.
4
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan: 1. Mendapatkan isolat cendawan endofit dari organ fungsional tanaman obat jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak serta mengidentifikasi cendawan endofit yang diperoleh dengan karakter morfologi, sekuen DNA pada daerah ITS rDNA, analisis filogenetik, dan kemampuan antagonistik terhadap F. oxysporium. 2. Mendapatkan isolat cendawan endofit dari seluruh organ tanaman jahe merah yang digunakan sebagai tanaman model dalam analisis cendawan yaitu dari organ fungsional dan non-fungsional serta mengidentifikasi cendawan endofit yang diperoleh dengan karakter morfologi, sekuen DNA pada daerah ITS rDNA, filogenetik, kemampuan antagonistik terhadap F. oxysporium, dan spesi kimia menggunakan FTIR. 3. Penapisan cendawan endofit potensial asal kelima tanaman obat sebagai pengendali hayati cendawan patogen tanaman F. oxysporium secara in vitro.
Hipotesis
1. Tanaman obat merupakan habitat berbagai cendawan endofit. 2. Cendawan endofit yang mengkolonisasi tanaman obat mempunyai keragaman yang tinggi dari karakter morfologi, molekuler, filogenetik, spesi kimia, dan kemampuan antagonis terhadap cendawan patogen tanaman F. oxysporum. 3. Cendawan endofit yang bersimbiosis dengan tanaman obat ada yang berpotensi sebagai pengendali hayati cendawan patogen.
Manfaat
1. Diperoleh koleksi cendawan endofit asal organ fungsional tanaman obat jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, temulawak, dan seluruh organ tanaman jahe merah yang telah teridentifikasi dan terkarakterisasi dengan baik sebagai sumber plasma nutfah untuk pengembangan industri pertanian dan obat-obatan. 2. Diperoleh informasi biologi berupa keragaman dan penyebaran cendawan endofit pada tanaman obat potensial untuk pengembangan dan produksi tanaman obat yang berkualitas. 3. Diperoleh cendawan endofit potensial sebagai pengendali hayati cendawan patogen tanaman F. oxysporum secara in vitro untuk pengembangan produksi tanaman obat dan tanaman lainnya secara berkelanjutan.
5
Alur Penelitian
Pengambilan contoh tanaman obat: jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, jahe merah, dan temulawak
Organ fungsional: - daun jati belanda - daun pegagan lokal - daun pegagan malaysia - rimpang temulawak
Seluruh organ tanaman jahe merah: - organ fungsional : rimpang - organ non-fungsional : akar, batang, daun
Isolasi, pemurnian, dan penyimpanan isolat cendawan endofit
Isolasi, pemurnian, dan penyimpanan isolat cendawan endofit
Identifikasi: - morfologi - molekuler -analisis filogenetik
Identifikasi: - morfologi - molekuler -analisis filogenetik
Uji antagonistik in vitro terhadap F. oxysporum
Uji antagonistik in vitro terhadap F. oxysporum
Isolat potensial sebagai penghasil antifungi
Isolat potensial sebagai penghasil antifungi
Identifikasi spesi kimia cendawan endofit menggunakan FTIR
6
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Obat
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman tumbuhan obat yang tinggi. Wilayah hutan tropika Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi ke dua di dunia setelah Brazilia. Dari 40.000 spesies flora yang ada di dunia, sebanyak 30.000 spesies dijumpai di Indonesia dan 940 spesies di antaranya diketahui berkhasiat sebagai obat-obatan yang telah dipergunakan dalam pengobatan tradisional. Jumlah tumbuhan obat tersebut meliputi sekitar 90% dari jumlah tumbuhan obat yang terdapat di kawasan Asia (Puslitbangtri 1992). Menurut Ditjen BPOM (1991) terdapat 283 spesies tumbuhan obat yang sudah terdaftar digunakan oleh industri obat tradisional antara lain jahe merah, jati belanda, pegagan, dan temulawak. Badan Litbang Deptan (2007) menetapkan tanaman potensial unggulan untuk dikembangkan berdasarkan khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga yang terlibat, prospek pengembangan dan kecenderungan pengembangan ke depan dan keempat tanaman obat tersebut termasuk ke dalam tanaman obat potensial unggulan. Sebagai bahan obat-obatan, masyarakat biasanya menggunakan bagian tertentu dari tanaman obat tersebut karena diyakini mengandung bahan aktif yang diinginkan dalam konsentrasi yang tinggi dibanding organ lainnya. Organ yang biasa digunakan sebagai bahan utama obat-obatan disebut sebagai organ fungsional dan organ tanaman lainnya yang tidak atau jarang digunakan sebagai bahan obat-obatan disebut bagian non-fungsional.
Jati Belanda
Jati belanda (Guazuma ulmifolia Lamk) merupakan herba yang berasal dari negara Amerika dan tumbuh subur di daerah tropis. Tumbuhan jenis pohon ini memiliki tinggi batang lebih kurang 10 m. Ciri morfologi jati belanda antara lain mempunyai batang keras, bulat, permukaan kasar, banyak alur, berkayu, bercabang, warna hijau keputih-putihan. Daun jati belanda termasuk daun tunggal, berwarna hijau, bulat telur, permukaan kasar, tepi bergerigi, ujung runcing, pangkal berlekuk, pertulangan menyirip, panjang 10-16 cm, dan lebar 3-6 cm. Mahkota bunga bentuk corong, panjang 2-2,5 cm, warna ungu. Bunga tunggal dan berwarna hijau muda, bulat dan muncul dari ketiak daun. Buah jati belanda berwarna hitam, berbentuk kotak atau bulat, keras, dan permukaannya berduri. Biji tanaman ini kecil, keras, berwarna cokelat muda, dan berdiameter 2 mm (Gambar 1).
7
A
B
Gambar 1 Jati belanda: (A) pohon jati belanda, (B) daun jati belanda
Kulit jati belanda mengandung lemak, glukosa, dan lendir. Daunnya mengandung alkaloid, flavaonoid, saponin, steroid, terpena, triterpenoid, tanin, fenol hidrokuinon, asam fenolat, karotenoid, glukosa, resin, asam lemak, zat pahit, dan karbohidrat. Secara tradisonal, daun jati belanda berkhasiat sebagai obat pelangsing tubuh dan menurunkan kadar lemak tubuh sehingga simplisia daun ini banyak digunakan dalam ramuan galian singset. Daun jati belanda menghambat peningkatan kadar lipid peroksida pada kelinci. Bijinya dapat digunakan sebagai obat sakit perut dan kembung serta buahnya dapat digunakan sebagai obat batuk. Selain itu, dekok kulit batang dapat digunakan sebagai obat malaria, diare dan sipilis. Jati belanda juga dapat digunakan untuk mengobati influenza, pilek, disentri, luka, dan patah tulang. Ekstrak daun tanaman ini dapat menekan pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Shigella dysenteria, dan Bacillus subtilis secara in vitro.
Pegagan
Pegagan (Centella asiatica L) berasal dari Asia dan jenis pegagan yang banyak dijumpai adalah pegagan merah dan pegagan hijau. Pegagan merah dikenal juga dengan antanan kebun atau antanan batu karena banyak ditemukan di daerah bebatuan, kering dan terbuka. Pegagan merah tumbuh merambat dengan stolon (geragih) dan tidak mempunyai batang, tetapi mempunyai rhizoma (rimpang pendek). Pegagan hijau sering dijumpai di daerah persawahan dan di sela-sela rumput. Tempat yang disukai oleh pegagan hijau yaitu tempat agak lembab dan terbuka atau agak ternaungi. Pegagan hijau tersebut merupakan pegagan hijau lokal. Ada juga pegagan hijau yang berdaun tebal dengan postur tubuh yang lebih tinggi yang dikenal dengan pegagan malaysia (Gambar 2). Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh menjalar, berbunga sepanjang tahun, dan berbatang pendek sehingga dianggap tidak
8
mempunyai batang. Dari batang tumbuh stolon yang menjalar horizontal di atas permukaan tanah dan berbuku-buku. Dari buku-buku yang menyentuh tanah, akan keluar akar tunas yang akan tumbuh menjadi tanaman baru. Daun pegagan tersusun secara basalis (roset) dengan 2-10 daun tunggal per tanaman, berwarna hijau, berbentuk seperti kipas, ginjal, atau buah pinggang, berukuran 2-5 cm x 3-7 cm. Tangkai daun tegak dan sangat panjang berukuran 9-17 cm dengan bagian dalam berlubang serta bagian pangkal melekuk ke dalam dan melebar seperti pelepah. Tepi daun agak melengkung ke atas, bergerigi, dan kadang-kadang berambut, Tulangnya berpusat di pangkal, tersebar ke ujung, berdiameter 1-7 cm (Winarto dan Surbakti 2003). Bunga pegagan berbentuk seperti payung tunggal dan biasanya tersusun dari 3 bunga. Bunga bersifat aktinomorf dan biseksual dengan kelopak berwarna hijau berjumlah lima. Buah pegagan berukuran kecil berbentuk lonjong atau pipih, menggantung, baunya wangi, rasanya pahit, dan berwarna kuning. Buah berukuran kecil berwarna kuning cokelat.
A
B
Gambar 2 Pegagan: (A) pegagan lokal dan (B) pegagan malaysia
Pegagan mengandung beberapa komponen fitokimia seperti triterpenoid, saponin, alkaloid, flavaonoid, tanin, steroid, dan glikosida, valerin, dan minyak atsiri. Pegagan berasa manis, bersifat mendinginkan, memiliki fungsi membersihkan darah, melancarkan peredaran darah, peluruh kencing (diuretika), penurun panas (antipiretika), menghentikan pendarahan (haemostatika), meningkatkan syaraf memori, antibakteri, tonik, antiinflamasi, hipotensif, insektisida, antialergi dan stimulan. Saponin yang ada menghambat produksi jaringan bekas luka yang berlebihan (menghambat terjadinya keloid). Selain itu, tanaman ini dapat meningkatkan sirkulasi darah pada lengan dan kaki; mencegah varises dan salah urat; meningkatkan daya ingat, mental dan stamina tubuh; serta menurunkan gejala stres dan depresi. Kebanyakan pegagan dikonsumsi segar untuk lalapan, tetapi ada yang dikeringkan untuk dijadikan teh, diambil ekstraknya untuk dibuat kapsul atau diolah menjadi krem, salep, obat jerawat, maupun pelembab kulit.
9
Temulawak
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) adalah tanaman herbal asal Indonesia dan sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku obat, bahan pangan, pewarna, bahan baku industri kosmetika, maupun dibuat makanan dan minuman segar. Temulawak mempunyai ciri morfologi antara lain berbatang semu dengan tinggi mencapai 2 m dan berwarna hijau atau coklat gelap. Daun temulawak termasuk daun sempurna, berbentuk lebar dan pada setiap helaian dihubungkan dengan pelepah dan tangkai daun yang agak panjang. Bunga temulawak pendek dan lebar serta berbentuk unik (bergerombol), berwarna putih kuning atau kuning muda bercampur merah di puncaknya. Rimpang temulawak terdiri atas rimpang induk dan rimpang anakan, berwarna jingga tua atau kecokelatan, berbentuk bulat, beraroma tajam yang menyengat, dan rasanya pahit (Gambar 3).
A
B
Gambar 3 Temulawak: (A) daun dan (B) bunga
Bahan aktif yang berkhasiat dalam rimpang temulawak antara lain kurkuminoid dan minyak atsiri. Temulawak digunakan sebagai penyembuh berbagai penyakit degeneratif, penurunan imunitas, dan penurunan vitalitas seperti sariawan, demam, kembung, asma, ambein, sembelit, rematik, asam urat, hepatitis, antikolesterol (Afifah dan Tim Lentera 2003), obat jerawat, meningkatkan nafsu makan, antiinflamasi, anemia, antioksidan, pencegah kanker, dan antimikrob. Senyawa kurkuminoid mempunyai aktifitas farmakologi seperti antioksidan, antiinflamasi (anti-radang), antilipidemia, antikanker, antimikrob, antifungi dan antikarsinogenik. Minyak atsiri pada temulawak berkhasiat sebagai cholagum, yaitu bahan yang dapat merangsang pengeluaran cairan empedu yang berfungsi sebagai penambah nafsu makan dan antispasmodikum yaitu menenangkan dan mengembalikan kekejangan otot.
10
Jahe Merah
Di Indonesia, rimpang jahe (Zingiber officinale Roscoe) digunakan terutama sebagai bumbu masak, pemberi aroma dan rasa masakan dan minuman serta digunakan dalam industri farmasi, parfum, dan kosmetika. Berdasarkan aroma, warna, bentuk, dan ukuran rimpang, terdapat tiga varietas jahe yang biasa diperdagangkan yaitu jahe putih besar (Zingiber officinale Rosc var. officinale), jahe putih kecil (Zingiber officinale Rosc var. rubrum) dan jahe merah (Zingiber officinale Rosc var. amarum). Jahe putih besar yang disebut juga jahe gajah atau jahe badak dipergunakan untuk bumbu dan merupakan jahe yang paling disukai di pasaran internasional. Bentuknya besar gemuk dan rasanya tidak terlalu pedas. Daging rimpang berwarna kuning hingga putih. Jahe putih kecil yang disebut juga sebagai jahe kuning merupakan jahe yang banyak dipakai sebagai bumbu masakan, terutama untuk konsumsi lokal. Rasa dan aromanya cukup tajam. Ukuran rimpang sedang dengan warna kuning. Jahe merah merupakan jahe yang memiliki kandungan minyak atsiri tinggi dan rasa paling pedas sehingga cocok untuk bahan dasar farmasi dan jamu. Ukuran rimpangnya paling kecil dengan warna merah dengan serat lebih besar dibandingkan dengan jahe lainnya. Jahe kuning dan jahe merah banyak digunakan untuk industri obat tradional dan jamu (Gambar 4).
A
B
C
Gambar 4 Jahe merah: (A) tanaman jahe merah, (B) rimpang jahe merah, (C) rimpang jahe merah
Tanaman jahe terdiri atas struktur rimpang, batang, daun, bunga, dan buah. Jahe merah memiliki ciri morfologi antara lain berbatang semu yang tumbuh tegak tidak bercabang, berbentuk bulat, tersusun dari lembaran-lembaran pelepah daun, dan tinggi mencapai 1,25 m. Setiap batang umumnya terdiri atas 8-12 helai daun. Daun menyirip dengan panjang 15-23 cm dan panjang 8-15 cm. Tangkai daun berbulu halus. Bunga jahe majemuk, tersusun berupa mayang, membentuk
11
malai yang kompak atau terbuka, bunga berkelamin dua (hermaphrodite), berbenang sari satu, dan berputik tiga. Buahnya berbentuk kotak dengan tiga ruangan yang kadang-kadang tidak pecah. Akarnya berbentuk rimpang dengan daging akar berwarna kuning hingga kemerahan dengan bau menyengat. Pada jahe merah, akar keluar hampir di sekeliling sisik, nampak lebih kokoh, berserat, besar, panjang dan kuat mencengkeram tanah. Bagian jahe yang banyak digunakan adalah rimpangnya. Rimpang jahe pada umumnya mengandung minyak atsiri yang menjadi pembawa aroma khas pada jahe dan oleoresin. Minyak atsiri terdiri atas beberapa komponen penting seperti zingiberene, curcumene, philandren, limonene, farnesol. Limonene berfungsi sebagai antifungi Candida albicans, sebagai antikolinesterase, dan sebagai obat flu. Selain itu terdapat 1.8-kineole berfungsi untuk mengatasi ejakulasi prematur, anestetik, antikolinesterase, dan perangsang aktivitas syaraf pusat, sementara farnesol dapat merangsang regenerasi sel (Herlina et al. 2002). Oleoresin jahe mengandung senyawa pemberi rasa pedas seperti gingerol, shogaol, dan gingeron. Shogaol dan gingerol merupakan senyawa yang dapat mengatasi masalah mabuk laut, rematik, mual dan muntah.
Cendawan Endofit
Cendawan endofit merupakan salah satu mikrob yang hidup dalam jaringan tanaman. Setiap tumbuhan bersimbiosis dengan beberapa mikrob endofit yang mampu menghasilkan metabolit. Ditinjau dari taksonomi, cendawan ini merupakan organisme yang sangat beragam. Petrini et al. (1992) menggolongkan cendawan ke dalam Ascomycotina, Basidiomycotina, dan Deutromycotina dengan anggota terbesar dari Ascomycotina dari kelas Loculoascomycetes, Discomycetes, dan Pyrenomycetes. Strobell et al. (1996) menambahkan bahwa cendawan endofit meliputi genus Pestalotia, Pestalotipsis, Monochaethia, dan lain-lain. Clay (1988) menggolongkan cendawan endofit dalam famili Balansiae yang terdiri atas 5 genus yaitu Atkinsonella, Balansiae, Balansiopsis, Epichloe, dan Myriogenosporae. Cendawan endofit telah banyak digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit pada berbagai tanaman budi daya. Hal ini dilakukan dengan cara menghambat pertumbuhan dan berkompetisi dalam ruang dan nutrisi dengan patogen sasaran dan bersifat menginduksi ketahanan tanaman melalui metabolit sekunder yang dihasilkan oleh cendawan. Tanaman yang diinokulasi cendawan endofit menunjukkan kerentanan yang lebih rendah terhadap patogen terutama karena cendawan endofit tersebut menghasilkan metabolit sekunder yang berfungsi untuk menjaga ketahanan tanaman inang dari serangan penyakit. Carrol (1988) dan Clay (1988) menyatakan bahwa cendawan endofit yang menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu mampu menghasilkan mikotoksin, enzim, serta antibiotik. Oleh karena itu, asosiasi beberapa cendawan endofit dengan tumbuhan inangnya mampu melindungi tumbuhan inang dari beberapa patogen virulen, kondisi ekstrim, maupun serangan dari herbivora.
12
Cendawan endofit dapat diisolasi dari jaringan tanaman dan ditumbuhkan pada medium tertentu. Cendawan endofit dilaporkan juga dapat menghasilkan senyawa bioaktif dalam media biakan. Cendawan umumnya menghasilkan metabolit sekunder pada saat organisme tersebut berada pada fase kritis yaitu fase stasioner. Cendawan endofit dapat juga menghasilkan senyawa bioaktif yang sejenis dengan yang dihasilkan inangnya, sebagai contoh, cendawan endofit T. andreanae menghasilkan senyawa bioaktif yang sejenis dengan inangnya yaitu paclitaxel (Shrestha et al. 2001). Dibandingkan dengan tanaman inangnya, pemanfaatan cendawan endofit untuk menghasilkan senyawa metabolit sekunder mempunyai beberapa kelebihan antara lain 1). lebih cepat menghasilkan produk dengan mutu seragam, 2). dapat diproduksi dalam skala besar, dan 3). kemungkinan diperoleh komponen bioaktif baru dengan memberikan kondisi yang berbeda (Stierle et al. 1995). Hal ini karena cendawan tersebut mempunyai siklus hidup yang lebih pendek dibandingkan dengan tanaman. Pertumbuhan cendawan endofit lebih mudah dimanipulasi terutama memanipulasi media dan kondisi pertumbuhannya. Untuk mendapatkan cendawan endofit potensial perlu diperhatikan sumber cendawan endofit tersebut dan teknik sterilisasi permukaan untuk mengeliminasi tumbuhnya cendawan epifit dan kontaminan. Sumber cendawan endofit potensial menurut Strobel dan Daisy 2003 adalah 1). Tanaman yang hidup di niche dan lingkungan unik, seperti tanaman yang hidup di tanah yang sangat masam, sangat kering, dan lain sebagainya, 2). Tanaman yang mempunyai sejarah etnobotanikal dan digunakan oleh masyarakat setempat, 3). Tanaman endemik, 4). Tanaman yang hidup di areal yang mempunyai keragaman yang tinggi, 5). Tanaman yang hidup di sekitar tanaman yang terserang penyakit, dan 6). Jaringan tanaman muda lebih baik dijadikan sebagai sumber cendawan endofit daripada jaringan yang tua Dengan mengisolasi cendawan endofit dari sumber demikian diharapkan akan diperoleh cendawan endofit potensial bahkan cendawan endofit yang baru yang menghasilkan senyawa bioaktif yang potensial juga. Sebagai contoh cendawan endofit Collletotrichum sp. yang berasal dari tanaman obat Artemisia annua menghasilkan senyawa bioaktif yang dapat mengendalikan bakteri dan cendawan parasit pada manusia dan juga sebagai fungistatik bagi cendawan patogen tanaman (Lu et al. 2000). Oleh karena kemampuan cendawan endofit dalam menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif potensial, penelitian mengenai cendawan endofit menjadi berkembang yang antara lain mengenai keragaman cendawan endofit tersebut, kandungan metabolit sekundernya, serta hubungan cendawan tersebut dengan inangnya.
Identifikasi Cendawan Endofit
Untuk mengidentifikasi cendawan endofit dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain dengan karakter morfologi, molekuler dengan membandingkan sekuen DNA, dan kemotaksonomi. Identifikasi dengan membandingkan penampilan morfologi biasanya sangat bergantung pada media dan kondisi pertumbuhan yang akan mempengaruhi terbentuknya struktur reproduksi seksual
13
dan aseksual (Hyde dan Soytong 2007). Berbagai cara dilakukan untuk merangsang cendawan endofit bersporulasi dalam media pertumbuhan sehingga dapat diidentifikasi antara lain dengan menggunakan berbagai media dan kondisi inkubasi. Guo, Hyde, dan Liew (2000) menggunakan beberapa media seperti potato dextrose agar (PDA), malt extract agar (MEA), corn meal agar (CMA), potato carrot agar (PCA), dan water agar (WA), atau dengan menambahkan potongan atau ekstrak jaringan tanaman inang pada kultur biakan. Meskipun sudah diinduksi untuk merangsang terjadinya sporulasi, sejumlah cendawan tidak juga bersporulasi dalam media pertumbuhan yang disebut miselia sterilia (Lacap, Hyde, dan Liew 2003). Berbeda dengan karakterisasi morfologi, identifikasi molekuler merupakan metode yang tidak bergantung pada media pertumbuhan. Identifikasi molekuler yang saat ini berkembang antara lain dengan denaturing gradient gel electrophoresis (DGGE), terminal restriction fragment length polymorphism (TRFLP), dan sekuensing rDNA ITS (internal transcribed spacer). Dalam analisis sekuensing ITS, gen 5.8S merupakan gen yang sangat conserve sehingga digunakan untuk filogenetik pada tingkat taksonomi yang lebih tinggi sedangkan daerah ITS (ITS1 dan ITS2) merupakan daerah dengan keragaman yang tinggi sehingga digunakan untuk menganalisis filogenetik pada tingkat yang lebih rendah (Gambar 5). Chen, Zhang, dan Lu (2008) menambahkan bahwa analisis sekuen daerah ITS efektif terutama dalam mengidentifikasi cendawan yang tidak bersporulasi dan juga untuk mengurangi pengaruh subjektifitas dalam pengamatan morfologi. Lin et al. (2007) menggunakan metode tersebut dan dapat mengidentifikasi sebanyak 48.9% cendawan endofit yang tidak bersporulasi (miselia sterilia) yang diperoleh dari tanaman Camptotheca aacuminata. Untuk mengamplifikasi ruas ITS1-28S rDNA dapat menggunakan berbagai primer, yaitu NS7, ITS5, ITS3, dan NL1 sebagai primer forward dan NS6, NS8, ITS2, ITS4, dan NL4 sebagai primer reverse dengan ukuran hasil amplifikasi sekitar 550 pasang basa.
Gambar 5 Peta ITS1-5.8S-ITS2 rDNA
14
Keberadaan cendawan endofit dalam tanaman inang tertentu ada yang berlimpah dan ada juga sebagai spesifik inang (Cohen 2004). Schulz et al. (1993, 1995, 1998) memperoleh lebih dari 6500 isolat cendawan endofit yang berasal dari kira-kira 500 tanaman. Cendawan yang ditemukan berlimpah misalnya Acremonium, Alternaria, Cladosporium, Coniothyrium, Epicoccum, Fusarium, Geniculosporium, Phoma, Pleospora. Ditambahkan oleh Cannon dan Simmons (2002); dan Suryanarayanan, Venkatesan, dan Murali (2003) bahwa genus cendawan endofit yang umum hidup di daerah tropik dan temperate adalah Fusarium, Phomopsis, Phoma, sementara anggota Xylariaceae, Colletotrichum, Guignardia, Phyllosticta dan Pestalotiopsis merupakan cendawan yang predominan di daerah tropik. Spektroskopi infra merah digunakan secara luas untuk analisis secara kualitatif dan kuantitatif. Spektroskopi ini banyak digunakan untuk mengidentifikasi senyawa organik karena spektrumnya sangat kompleks yang terdiri dari banyak puncak-puncak serapan. Spektrum infra merah dari senyawa organik mempunyai sifat-sifat fisik yang karakteristik. Setiap senyawa mempunyai spektrum spesifik dan kemungkinan dua senyawa mempunyai spektrum yang sama adalah sangat kecil kecuali senyawa isomer optik. Spektrum infra merah terletak pada daerah dengan penjang gelombang 780 - 1.000.000 nm (0.78 - 1000 mm), atau bilangan gelombang 1200 - 10 cm-1. Dilihat dari panjang gelombang dan dari segi aplikasinya, spektrum infra merah dibagi dalam tiga daerah yaitu infra merah dekat, pertengahan, dan infra merah jauh. Daerah infra merah yangdigunakan untuk keperluan analisis kimia adalah pada daerah sekitar 4000 sampai dengan 670 cm-1 atau 2.5 -15 mm. Spektroskopi FTIR telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi berbagai organisme antara lain cendawan (Erukhimovitch et al. 2007; Naumann et al. 2005). Metode ini dapat mengidentifikasi cendawan tidak hanya pada tingkat genus tetapi juga pada tingkat spesies dan bahkan strain (Beattie et al. 1998). Spektroskopi FTIR merupakan metode identifikasi dengan beberapa kelebihan yaitu lebih sensitif, cepat, murah dan dengan tingkat ketelitian yang tinggi (Kummerle, Scher, dan Seiler 1998). Spektrum infra merah yang dihasilkan merupakan total komposisi kimia seperti protein, membran, dinding sel, dan asam nukleat dari sel dan setiap spesies mempunyai kuantitas spektrum yang khas. Dalam mikologi, data spektrum infra merah dianalisis terutama dengan analisis kluster (Larsen dan Frisvad 1995) dan ada juga yang menggunakan analisis komponen utama (Principal component analysis, PCA) (Thrane 1990, Blomquist et al. 1992) dan analisis korespondensi (Frisvad 1992; 1994). Analisis kluster merupakan suatu teknik yang dipergunakan untuk mengklasifikasi objek ke dalam kelompok yang relatif homogen yang disebut klaster yang ditandai dengan pengembangan suatu hirarki atau struktur mirip pohon. Setiap objek hanya masuk ke dalam satu klaster saja sehingga tidak terjadi tumpang tindih (overlapping atau interaction). PCA merupakan metode analisis data untuk membangun model linier multivariat dari serangkaian data kompleks. Motode ini dibangun menggunakan vektor berbasis ortogonal yang dikenal dengan komponen utama (Principal components). Salah satu tujuan PCA adalah untuk mengurangi komponen yang berhubungan dengan suara sehingga mengurangi masalah kompleks dimensional dan meminimalisis pengaruh salah pengukuran.
15
Dalam proses analisis, beberapa koreksi perlu dilakukan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dan akurat. Proses tersebut antara lain koreksi garis dasar, normalisasi, derivatisasi, dan smoothing. Pada proses koreksi garis dasar, spektrum dikoreksi karena ada wilayah yang tidak mempunyai sinyal (Gambar 6). Normalisasi dimaksudkan untuk menormalisai serangkaian sinyal spektrum utama. Derivatisasi merupakan fungsi kontinu dan digunakan untuk menghilangkan serangkaian garis dasar yang tidak terdeteksi (Gambar 7). Smoothing merupakan manipulasi matematika untuk menyederhanakan data spektrum (Gambar 8).
B
A
Gambar 6 Ilustrasi koreksi garis dasar spektrum emisi Raman: (A) spektrum asli (B) spektrum yang telah dikoreksi dengan garis dasar (Gemperline 2006).
A
B
Gambar 7 Ilustrasi pendekatan menggunakan derivatisasi pada spektrum infra merah campuran air-metanol (a) spektrum asli (b) spektrum hasil derivatisasi (Gemperline 2006).
16
Gambar 8 Hasil proses smoothing kuadratik Savitzky-Golay terhadap spektrum menggunakan 5-poin span, 9-poin span, 13-poin span, dan 17-poin span (Gemperline 2006).
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Balai Penelitian Tanah Bogor, Lab. Biorin Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB, Lab. Terpadu dan Lab. Bagian Mikologi Dept. Biologi FMIPA IPB, Lab. Kimia Analitik Dept. Kimia FMIPA IPB, dan Lab. Pusat Studi Biofarmaka LPPB IPB Bogor. Penelitian dilaksanakan dari Oktober 2009 sampai Desember 2012.
Bahan Penelitian
Cendawan endofit yang digunakan dalam penelitian ini diisolasi dari daun tanaman obat jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, rimpang temulawak, dan seluruh organ tanaman jahe merah. Tanaman obat tersebut merupakan koleksi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat, Bogor, Indonesia. Tanaman obat tersebut diambil dari lapangan dan dimasukkan ke dalam plastik, dilabel, dan dibawa ke laboratorium. Sebanyak tiga tanaman yang sehat dan segar dalam satu kumpulan tanaman dipanen dari lapang dengan mencabut keseluruhan tanaman. Tanaman kemudian dicuci dengan air mengalir untuk menghilangkan kotoran tanah dan dibilas kembali menggunakan air steril sebanyak tiga kali. Untuk tanaman jahe merah, bagian akar, batang, rimpang, dan daun dipotong dan dipisahkan masing-masing bagiannya, dan masing-masing bagian (organ) tanaman disatukan dan dihasilkan sampel komposit masing-masing organ. Sampel dimasukkan ke dalam kantong plastik bersih dan disimpan pada suhu 10°C sebelum digunakan.
17
Pengambilan contoh tanaman obat: jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, jahe merah, dan temulawak
Organ fungsional: - daun jati belanda - daun pegagan lokal - daun pegagan malaysia - rimpang temulawak
Seluruh organ jahe merah: - organ fungsional : rimpang - organ non-fungsional: akar, batang, daun
Sterilisasi permukaan
Sterilisasi permukaan
Isolasi cendawan dengan metode langsung (Lumyong et al. 2001) menggunakan PDA + rose bengal + klorampenikol
Isolasi cendawan dengan metode langsung (Lumyong et al. 2001) menggunakan PDA + rose bengal + klorampenikol
Pemurnian dan penyimpanan isolat pada media PDA
Pemurnian dan penyimpanan isolat pada media PDA
Identifikasi morfologi
Identifikasi molekuler
Uji antagonis
Identifikasi morfologi
Identifikasi molekuler
Gambar 9 Alur pelaksanaan kerja
Uji antagonis
Karakterisasi spesi kimia
18
Identifikasi morfologi
Identifikasi molekuler
Preparasi metode Riddle
Perbanyakan isolat pada media PDB
Karakterisasi berdasarkan Barnett dan Hunter (1998)
Uji antagonis
Identifikasi morfologi
terhadap F. oxysporum menurut metode Morton dan Stroube (1955) pada PDA
Ekstraksi DNA genom dari miselium menggunakan Analisis statistik metode CTAB (Sambrook menggunakan program dan Russell 2000) MSTAT (University of Wisconsin-Madison) Amplifikasi ruas ITS dengan PCR menggunakan primer ITS 1/ITS4
Purifikasi dan sekuensing produk PCR menggunakan primer yang sama
Isolat potensial sebagai penghasil antifungi
Analisis hasil sekuensing menggunakan BioEdit Sequence Alignment Editor versi 7.0.9.1 dan disejajarkan menggunakan program ClustalW Multiple Alignment (Thompson et al. 1994)
Dibandingkan dengan data DNA MycoBank dan data BLAST
Analisis filogenetik maximumparsimony menggunakan Mega5
Preparasi metode Riddle
Karakterisasi berdasarkan Barnett dan Hunter (1998)
Identifikasi molekuler
Uji antagonis
Karakterisasi spesi kimia
terhadap F. oxysporum menurut metode Morton dan Stroube (1955) pada PDA
Perbanyakan 17 isolat pada media PDB
Ekstraksi DNA genom dari miselium menggunakan Analisis statistik metode CTAB (Sambrook menggunakan program dan Russell 2000) MSTAT (University of Wisconsin-Madison) Amplifikasi ruas ITS dengan PCR menggunakan primer ITS 1/ITS4
Ekstraksi metabolit cendawan dari miselia menggunakan pelarut metanol murni
Perbanyakan isolat pada media PDB
Purifikasi dan sekuensing produk PCR menggunakan primer yang sama
Isolat potensial sebagai penghasil antifungi
Analisis hasil sekuensing menggunakan BioEdit Sequence Alignment Editor versi 7.0.9.1 dan disejajarkan menggunakan program ClustalW Multiple Alignment (Thompson et al. 1994)
Dibandingkan dengan data DNA MycoBank dan data BLAST
Gambar 9 Alur pelaksanaan kerja (lanjutan)
Analisis filogenetik maximumparsimony menggunakan Mega5
Analisis FTIR
Analisis spektrum menggunakan program Unscrambler X 10.3 dengan metode analisis komponen utama dan analisis kluster
19
Prosedur Penelitian
Penelitian ini terdiri dari serangkaian kegiatan meliputi isolasi cendawan endofit dari tanaman yang dipelajari, identifikasi keragaman berdasarkan karakterisasi morfologi, molekuler, filogenetik, kemampuan antagonistik terhadap cendawan patogen F. oxysporum, dan spesi kimia menggunakan FTIR. Alur kerja penelitian disajikan dalam Gambar 9. Tanaman obat yang digunakan dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama ialah tanaman yang diambil organ fungsionalnya yaitu daun jati belanda, daun pegagan lokal, daun pegagan malaysia, dan rimpang temulawak. Kelompok kedua ialah jahe merah yang merupakan tanaman model yaitu tanaman yang seluruh organnya baik fungsional yaitu rimpang maupun non-fungsional yaitu akar, batang, dan daun digunakan sebagai sumber isolat.
Isolasi Cendawan Endofit
Cendawan endofit diisolasi dari organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, temulawak, dan dari seluruh organ tanaman jahe merah yaitu dari akar, batang, daun dan rimpang. Masing-masing organ tanaman dipotong menjadi potongan-potongan dengan ukuran 2x2 cm2 untuk daun, 1 cm untuk batang, dan 2x2x2 cm3 untuk rimpang. Sebanyak 50 potongan dari masing-masing organ disetrilisasi permukaan dengan cara merendam sampel dalam etanol selama 1 menit, dibilas tiga kali dengan air steril, kemudian direndam kembali dalam larutan hipoklorit (NaOCl) 0.5% selama 5 menit dan dibilas menggunakan air steril sebanyak 6 kali. Sampel dikeringkan di atas kertas saring steril selama 12 jam. Semua persiapan sterilisasi dan isolasi dilakukan secara aseptik. Isolasi cendawan endofit dilakukan dengan metode langsung (Lumyong et al. 2001) menggunakan PDA yang diberi suplemen fungistatik rose bengal (30 mgl-1) dan antibiotik klorampenikol (0.5 gl-1). Setelah cendawan endofit tumbuh dari organ tanaman, cendawan dimurnikan dengan cara memindahkan sekelumit cendawan pada PDA tanpa penambahan rose bengal maupun antibiotik dan setiap isolat disimpan di IPB Culture Collection. Pada organ yang sama untuk tanaman jahe merah dan tanaman yang sama untuk tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak, diseleksi hanya koloni yang mempunyai karakteristik yang berbeda.
Identifikasi Cendawan Endofit
Karakterisasi morfologi cendawan endofit. Isolat cendawan endofit yang telah murni diidentifikasi secara morfologi melalui pengamatan makroskopis meliputi warna koloni, warna balik koloni, tekstur (granul, seperti tepung, menggunung, dan halus), dan pengamatan mikroskopis seperti ada tidaknya septa pada hifa, dan karakteristik spora/konidia (Barnett dan Hunter 1998).
20
Identifikasi molekuler cendawan endofit. Identifikasi molekuler cendawan endofit dilakukan berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA dan menggunakan pasangan primer universal ITS1 (forward) (5’-TCCGTAGGTG AACCTGCGG-3’) dan ITS4 (reverse) (5′-TCCTCCGCTTATTGATATGC-3′) (White et al. 1990). Jika pada saat sekuensing, DNA tidak tersekuen dengan baik menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4, maka digunakan pasangan primer ITS5 (5′-GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3′) dan ITS2 (5′-GCTGCGTTCT TCATCGATGC-3′) untuk sekuen yang tidak dapat mensekuen DNA dengan primer ITS1, atau ITS3 (5′-GCATCGATGAAGAACGCAGC-3′) dan NL4 (5’GGTCCGTGTTTCAAGACGG-3’) untuk DNA yang tidak tersekuen dengan baik menggunakan primer ITS4 sesuai dengan peta ribosomal DNA (Gambar 5). Isolat-isolat cendawan endofit dari PDA dipindahkan ke PDB untuk diagitasi menggunakan inkubator bergoyang dengan kecepatan 120 rpm selama 7 hari pada suhu ruang. Miselia dipanen menggunakan penyaringan vacuum di atas kertas saring steril dan segera didinginkan dalam nitrogen cair, dihaluskan menggunakan mortar steril. DNA genom cendawan endofit diekstraksi dari miselium menggunakan metode CTAB (Sambrook dan Russell 2000) yang telah dimodifikasi. Sebanyak 0.5 g bubuk biomassa dipindahkan ke 1.5-ml tabung eppendorf yang berisi buffer ekstraksi (600 μl PVP dan 1.2 μl CTAB) yang telah diinkubasi dalam penangas air pada suhu 65 oC selama 30 menit. Tabung eppendorf dibolak balik dan diinkubasi pada suhu 65 oC selama 30 menit, dan diinkubasi dalam es selama 5 menit. Selanjutnya sampel ditambahkan 600 μl CI (24:1), dibolak balik, dan disentrifugasi selama 10 menit pada suhu 10 oC, 25,000×g. Fase cair dipindahkan ke tabung eppendorf yang baru dan diekstraksi dengan satu kali volume fenol:kloroform:isoamil alkohol (25:24:1), selanjutnya tabung dibolak balik, disentrifugasi pada suhu 4 oC, 25,000×g selama 5 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung yang baru dan ditambah dengan volume yang sama 2M NaOAc pH 5.2 dan 2x volume EtOH dingin dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 20 oC. Pelet DNA dikumpulkan dengan cara sentrifugasi dengan kecepatan 25,000×g, 4 oC selama 30 menit. Pelet DNA dicuci dengan 500 μl 70% etanol dingin, disentrifugasi pada suhu 4 oC dengan kecepatan 25,000×g selama 5 menit. Pelet DNA kemudian dikeringkan dalam vacuum, lalu diresuspensi dalam 20 µl air double-distilled steril dan 0.2x volume RNAse, lalu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 10 min. Inaktifasi RNAse dilakukan dengan cara inkubasi larutan pada suhu 70 oC selama 10 menit. Kualitas molekul DNA hasil isolasi diperiksa dengan elektroforesis gel agarosa 1% yang dijalankan pada tegangan 100 V selama 30 menit dalam larutan penyangga TAE 1×. DNA cendawan endofit disimpan dalam freezer sampai digunakan. Gel agarosa direndam dalam larutan EtBr selama 15 menit dan dibilas dengan akuades, dan diamati menggunakan UV transluminator. Sampel yang menampilkan pita tunggal pada gel agarosa 1% dapat digunakan untuk amplifikasi ruas ITS (Internal Transcribed Spacers) menggunakan mesin PCR. Amplifikasi ruas ITS dilakukan pada volume 60 ml yang terdiri atas 42.6 ml ddH2O steril, 6 l buffer (10x), 1.2 l 2 mM dNTP, 1.5 l 10 pmol masingmasing primer ITS1 dan ITS4, 1.2 mL 5 U Taq DNA polymerase, dan 6 μl DNA template. Reaksi amplifikasi dilakukan pada kondisi berikut: denaturasi awal selama 5 menit pada suhu 95 °C 1x dan 35 siklus kondisi denaturasi selama 30 detik pada suhu 94 °C, annealing selama 30 detik pada suhu 52 °C, pemanjangan
21
ruas DNA (ekstensi) selama 1 menit pada suhu 72 °C, dan di akhir proses dilakukan ekstensi kembali selama 5 menit pada suhu 72 °C, dan disimpan selama 10 menit pada suhu 25 °C menggunakan Gene Amp 9700 thermal cycler (Applied Biosystems, USA). Kualitas amplikon diperiksa dengan cara sebanyak 5 ml produk PCR dipisahkan dengan elektroforesis menggunakan 1% gel agarosa dalam buffer 1x TAE selama 30 menit (Sambrook dan Russell 2000), diwarnai dengan 0.5 mg/ml etidium bromida dan diamati di bawah sinar UV. Bila primer ITS1 dan ITS4 tidak menempel pada template, maka digunakan pasangan primer ITS5 dengan ITS2 atau ITS3 dengan NL4 (White et al. 1990) dengan volume dan reaksi yang sama kecuali annealing dilakukan pada suhu 58 °C. Purifikasi dan sekuensing produk PCR dilakukan oleh PT. Genetic Science Indonesia menggunakan primer yang sama. Untuk menentukan spesies atau genus, sekuen nukleotida setiap sampel dianalisis menggunakan BioEdit Sequence Alignment Editor versi 7.0.9.1. Sequen ruas ITS disejajarkan menggunakan program ClustalW Multiple Alignment (Thompson et al. 1994) dan dibandingkan dengan data DNA MycoBank (http://www.mycobank.org) dan data BLAST (http://www.blast.ncbi.nlm.nih.gov/blast). Data yang telah disejajarkan kemudian direkonstruksi menggunakan analisis maximum-parsimony untuk memperoleh pohon filogenetik menggunakan program Mega5 dengan nilai bootstrap yang dihitung dari 1000 ulangan (Tamura et al. 2007). Penapisan cendawan endofit potensial sebagai pengendali hayati antifungi. Sebelum dilakukan penapisan cendawan endofit potensial sebagai antifungi terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan yaitu uji hipersensivitas cendawan endofit pada daun tembakau. Uji pendahuluan ini dimaksudkan untuk mengetahui cendawan endofit yang diperoleh merupakan cendawan patogen atau cendawan endofit. Uji hipersensivitas cendawan endofit pada daun tembakau dilakukan dengan cara menumbuhkan tembakau dari biji pada polibag. Setelah tembakau berumur tiga minggu, daun tembakau diinokulasi dengan cendawan endofit yang diremajakan pada PDA. Isolat cendawan endofit dipotong ukuran 1 cm2 lalu ditempelkan pada daun tembakau yang terlebih dahulu dilukai, ditutup dengan kapas steril dan dibasahi dengan air steril. Setiap hari isolat cendawan endofit yang ditutup dengan kapas steril dibasahi agar cendawan endofit tidak kekeringan. Sebagai perlakuan kontrol, potongan PDA dengan ukuran 1 cm2 ditempelkan pada daun tembakau yang telah dilukai. Pengamatan dilakukan pada 7 dan 14 hari setelah inokulasi. Setiap perlakuan dilakukan ulangan 3 kali. Aktivitas penghambatan dari isolat cendawan endofit diuji terhadap cendawan patogen F. oxysporum menggunakan uji antagonis yang dilakukan menurut metode Morton dan Stroube (1955) pada PDA. Penapisan cendawan endofit potensial sebagai antifungi dilakukan sebagai berikut: 5 mm2 diameter koloni cendawan endofit yang ditumbuhkan dalam PDA selama 7 hari diletakkan pada satu sisi dalam cawan petri yang berisi PDA dan diinkubasi pada suhu ruang selama 4 hari. Setelah 4 hari masa inkubasi, setiap cawan petri diinokulasi dengan 5 mm2 diam. koloni F. oxysporum dengan jarak 5 cm dari cendawan endofit. Pada perlakuan kontrol, cendawan endofit diganti dengan potongan PDA 5 mm2 diam. tanpa miselia cendawan endofit. Biakan kemudian diinkubasi pada suhu ruang selama 7 hari. Jari-jari pertumbuhan F. oxysporum ke arah cendawan endofit diukur setelah 4 dan 7 hari setelah inokulasi. Aktivitas penghambatan dihitung dengan formula: PI = (100 × (R1 - R2) / R1), PI adalah persentase
22
penghambatan, R1 adalah jari-jari pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum dalam perlakuan kontrol, dan R2 adalah jari-jari pertumbuhan cendawan F. oxysporum ke arah cendawan endofit dalam kultur ganda dengan cendawan endofit. Percobaan diatur dalam rancangan acak lengkap, semua isolat cendawan endofit sebagai perlakuan yang diulang lima kali. Analisis statistik dilakukan menggunakan program MSTAT (University of Wisconsin-Madison) dan nilai rata-rata dianalisis dengan menggunakan DMRT (p<0.05). Ekstraksi metabolit cendawan endofit. Masing-masing isolat cendawan endofit murni terlebih dahulu diremajakan dalam media padat PDA dan diinkubasi pada suhu 28 oC selama 7 hari. Selanjutnya isolat tersebut diinokulasi kembali ke dalam tabung erlenmeyer (250 ml) yang berisi 100 ml PDB yang telah disterilisasi dalam autoklaf pada suhu 125 oC selama 15 menit. Kultur cair kemudian diinkubasi menggunakan inkubator goyang tidak kontinu dengan kecepatan 120 rpm selama 14 hari pada suhu ruang. Untuk mendapatkan ekstrak kasar, miselia cendawan (biomassa) dipisahkan dari media dengan cara filtrasi menggunakan kertas saring steril. Biomassa kemudian dibekukan dengan menambah nitrogen cair, lalu dihaluskan sampai berbentuk tepung menggunakan mortar steril. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan cara maserasi dengan merendam biomassa dalam pelarut metanol murni dengan perbandingan metanol:biomassa 2:1 pada suhu ruang selama 3x24 jam dan ditutup dengan aluminium foil. Setiap 24 jam, maserat dipisahkan dari residu dengan cara filtrasi menggunakan kertas saring. Ke dalam residu ditambahkan kembali pelarut dan tahapan ekstraksi diulang sampai tiga kali. Maserat dari setiap ulangan ekstraksi digabung dan dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator. Ekstrak kasar dipindahkan ke dalam 2.5 ml botol dan dikeringkan dengan udara steril untuk menghilangkan metanol. Residu yang diperoleh disimpan untuk penggunaan selanjutnya. Analisis spesi kimia cendawan endofit menggunakan FTIR. Dua mg ekstrak biomassa cendawan endofit dicampur dengan 200 mg KBr untuk dijadikan pelet. Pelet dibuat dengan menggunakan hand press Shimadzu dengan tekanan kerja sebesar 8 ton selama 2 menit. Pengukuran spektrum FTIR dilakukan dengan menggunakan Spektrosmeter FTIR Tensor 37 (Bruker Spectrospin) yang dilengkapi dengan detektor DTGS. Personal computer yang dilengkapi dengan Software OPUS versi 4.2 digunakan untuk mengontrol kerja spektrometer dalam menghasilkan spektrum pada kisaran panjang gelombang 4000–600 cm-1. Tampilan data spektrum mengandung 1866 titik serapan diolah menggunakan teknik PCA dan analisis kluster dengan Unscrambler versi 10.3 (Camo, Inc.) yang dijalankan dengan sistem operasi Microsoft Windows 2007. Analisis PCA dan analisis kluster dilakukan terhadap data absorbans spektrum asli dan juga data asli yang telah dikoreksi untuk mendapatkan data hasil yang lebih teratur. Proses koreksi berupa koreksi terhadap garis dasar, normalisasi rata-rata, derivatisasi dengan metode Savitzky Golay, dan smoothing.
23
HASIL
Keragaman Cendawan Endofit pada Organ Fungsional Beberapa Tanaman Obat
Keragaman cendawan endofit berdasarkan karakter morfologi. Cendawan endofit diisolasi dari organ fungsional tanaman obat jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak dan diperoleh hasil bahwa semua tanaman obat yang diteliti berasosiasi dengan berbagai cendawan endofit. Sebanyak dua puluh delapan isolat cendawan endofit yang mempunyai karakteristik koloni yang berbeda berhasil diperoleh yaitu tiga belas isolat dari daun jati belanda dan masing-masing lima isolat dari daun pegagan lokal, pegagan malaysia, dan rimpang temulawak (Tabel 1). Cendawan endofit tersebut selanjutnya diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dari struktur reproduktifnya terutama spora/konidia. Koloni cendawan yang berhasil diisolasi berwarna putih, kuning, merah, abu-abu, cokelat, dan hitam dengan tekstur granul, menggunung, atau halus. Semua cendawan mempunyai hifa yang bersepta. Bentuk konidia yang dihasilkan bervariasi, yaitu bulat, bulat telur, lonjong, bengkok, dan kurva dengan warna konidia hialin atau cokelat. Hasil identifikasi berdasarkan karakter morfologi diperoleh dua puluh delapan morfotipe cendawan yang terdiri dari enam genus cendawan endofit dan sembilan miselia sterilia yaitu cendawan yang tidak membentuk spora. Keenam genus tersebut ialah Aspergillus, Colletotrichum, Curvularia, Fusarium, Phomopsis dan Talaromyces (Tabel 1, Tabel 2, dan Gambar 10-15). Tabel 1 Keragaman dan penyebaran cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan karakter morfologi Cendawan endofit Aspergillus sp. Colletotrichum sp. Curvularia sp. Fusarium sp. Phomopsis sp. Talaromyces sp. Miselia sterilia Total isolat
Jati belanda JBd3 JBd1, JBd8, JBd9 JBd14 JBd2 JBd4, JBd6, JBd12 JBd10 JBd7, JBd11, JBd13 13
Pegagan lokal PLd3 PLd6
Pegagan malaysia
Temulawak
PMd3
TLr1, TLr4, TLr5 TLr2
PLd1, PLd7
PLd2 5
PMd1, PMd2, PMd4, PMd6 5
TLr6 5
Total isolat 5 6 1 3 3 1 9 28
Dari daun jati belanda diperoleh masing-masing tiga cendawan Colletotrichum dan Phomopsis; masing-masing satu cendawan Aspergillus, Curvularia, Fusarium, dan Talaromyces; dan tiga miselia sterilia. Dari daun pegagan lokal diperoleh dua cendawan Fusarium; masing-masing satu isolat cendawan Aspergillus dan Colletotrichum; dan satu miselia sterilia. Dari daun pegagan malaysia diperoleh satu cendawan Colletotrichum dan empat miselia sterilia, sedangkan dari rimpang temulawak diperoleh tiga cendawan Aspergillus, satu cendawan Colletotrichum, dan satu miselia sterilia (Tabel 1).
24
Tabel 2 Karakter morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan daun jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan rimpang temulawak No.
Cendawan endofit
Tanaman
Warna koloni
Tekstur
Spora/konidia
Putih
Warna balik koloni Putih
1
Aspergillus sp. 1 JBd3
Jati belanda
Granul
Jati belanda
Abu-abu tua
Abu-abu muda
Menggunung
Colletotrichum sp. 2 JBd9
Jati belanda
Putih
Putih
Granul
4
Colletotrichum sp. 3 JBd8
Jati belanda
Putih
Putih
Halus
5
Curvularia sp. JBd14
Jati belanda
Coklat tua
Hitam
Halus, rata
6
Fusarium sp. 1 JBd2
Jati belanda
Kuning
Kuning
Halus, rata
7 8 9 10 11 12 13
Miselia sterilia 5 JBd7 Miselia sterilia 6 JBd11 Miselia sterilia 7JBd13 Phomopsis sp. 1 JBd4 Phomopsis sp. 2 JBd6 Phomopsis sp. 3 JBd12 Talaromyces sp. JBd10
Jati belanda Jati belanda Jati belanda Jati belanda Jati belanda Jati belanda Jati belanda
Kuning muda Abu-abu Kuning Putih Merah Putih Abu-abu tua
Kuning muda Putih Coklat muda Coklat Merah Putih Hitam
Halus, rata Menggunung Menggunung Halus Menggunung Granul Halus
14
Aspergillus sp. 2 PLd3
Pegagan lokal
Hitam
Hitam
Halus
15 16
Colletotrichum sp. 4 PLd6 Fusarium sp. 2 PLd1
Pegagan lokal Pegagan lokal
Abu-abu Putih kekuningan
Abu-abu Putih
Halus Halus
17
Fusarium sp. 3 PLd7
Pegagan lokal
Putih kekuningan
Putih
Halus
18 19 20 21 22 23
Miselia sterilia 13 PLd2 Colletotrichum sp. 5 PMd3 Miselia sterilia 10 PMd1 Miselia sterilia 11 PMd4 Miselia sterilia 12 PMd6 Miselia sterilia 8 PMd2
Pegagan lokal Pegagan malaysia Pegagan malaysia Pegagan malaysia Pegagan malaysia Pegagan malaysia
Putih Abu-abu muda Coklat muda Kuning Coklat muda Abu-abu tua
Putih Abu-abu muda Coklat muda Coklat Coklat muda Hitam
Halus Halus Halus Menggunung Halus Halus
Konidiofor tegak, sederhana, pada bagian ujung membengkak, bulat, konidia 1 sel, bulat, dalam rantai basipetal, uk. 3.9-4.8 x 3.6-4.3 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk. 20.829.3 x 6.1-8.3 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong uk. 9.419.7 x 2.9-4.7 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong uk. 22.828.0 x 7.3-9.5 μm Konidiofor cokelat, sederhana, menghasilkan konidium pada ujung atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, sel yang di ujung lebih kecil dan lebih cerah daripada yang di tengah, ada yang berbentuk bengkok, uk. 37.4-65.3 x 15.1-18.2 μm Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. makrokonidia 34.0-59.9 x 4.6-6.8 μm, mikrokonidia 9.2-18.3 x 3.6-5.8 μm Konidia tidak teramati Konidia tidak teramati Konidia tidak teramati Konidiofor sederhana, konidia hialin, 1 sel, dua jenis, uk. 10.8-15.2 x 4.1-6.7 μm Konidiofor sederhana, konidia hialin, 1 sel, dua jenis Konidiofor sederhana, konidia hialin, 1 sel, dua jenis Konidiofor tumbuh dari miselium tunggal, konidia hialin, 1 sel, bulat atau bulat telur, uk. 7.3-8.6 x 6.9-8.3 μm. Konidiofor tegak, sederhana, pada bagian ujung membengkak, bulat, konidia 1 sel, bulat, dalam rantai basipetal, uk. 2.9-4.5 x 3.6-4.9 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong. Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. mikrokonidia 11.1-15.8 x 3.0-5.1 μm, makrokonidia 20.5-35.1 x 4.2-5.6 μm Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. makrokonidia 43.4-62.4 x 6.5-9.5 μm, mikrokonidia 10.3-16.6 x 3.4-4.6 μm Konidia tidak teramati Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong Konidia tidak teramati Konidia tidak teramati Konidia tidak teramati Konidia tidak teramati
2
Colletotrichum sp. 1 JBd1
3
25
Tabel 2 Karakter morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan daun tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan rimpang temulawak (lanjutan) No.
Cendawan endofit
Tanaman
Warna koloni
Tekstur
Spora/konidia
Kuning
Warna balik koloni Coklat
24
Aspergillus sp. 3 TLr1
Temulawak
Granul
Temulawak
Putih
Putih
Halus
Aspergillus sp. 5 TLr5
Temulawak
Kuning
Coklat
Granul
27
Colletotrichum sp. 6 TLr2
Temulawak
Putih
Putih
Menggunung
28
Miselia sterilia 9 TLr6
Temulawak
Kuning
Coklat
Granul
Konidia tegak, sederhana, pada bagian ujung membengkak, bulat, konidia 1 sel, bulat, dalam rantai basipetal, uk. 2.3-3.2 x 2.5-3.5 μm Konidia tegak, sederhana, pada bagian ujung membengkak, bulat, konidia 1 sel, bulat, dalam rantai basipetal, uk. 5.3-11.4 x 4.1-5.5 μm Konidia tegak, sederhana, pada bagian ujung membengkak, bulat, konidia 1 sel, bulat, dalam rantai basipetal. Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk. 5.3-11.4 x 4.1-5.5 μm. Konidia tidak teramati.
25
Aspergillus sp. 4 TLr4
26
26
Genus Colletotrichum diperoleh sebanyak enam isolat yang berasal dari organ fungsional semua tanaman yang diteliti yaitu masing-masing satu isolat dari daun pegagan lokal, daun pegagan malaysia, rimpang temulawak, dan sebanyak tiga isolat dari daun jati belanda. Genus Curvularia, Phomopsis, dan Talaromyces hanya diperoleh dari daun jati belanda, masing-masing genus Curvularia dan Talaromyces diperoleh sebanyak satu isolat dan genus Phomopsis diperoleh sebanyak tiga isolat. Genus Aspergillus diperoleh sebanyak lima isolat dari tiga tanaman yang diteliti yaitu masing-masing satu isolat dari daun jati belanda dan pegagan lokal, serta tiga isolat dari rimpang temulawak. Genus Fusarium diperoleh dari daun jati belanda dan pegagan lokal masing-masing sebanyak satu dan dua isolat. Cendawan yang dikelompokkan sebagai miselia sterilia diperoleh sebanyak sembilan isolat yang mempunyai karakteristik morfologi berbeda. Cendawan endofit tersebut belum dapat diidentifikasi secara morfologi karena tidak bersporulasi dalam media biakan yang digunakan. Cendawan endofit tersebut adalah isolat JBd7, JBd11, JBd13, PLd2, PMd1, PMd2, PMd4, PMd6, dan TLr6 (Gambar 16).
c
c
a 1 cm
d
d
b
10 m
(A)
c
d
b
b 10 m
(B)
10 m
10 m
e
(C)
c
b 10 m
a
(D)
e
a
(E)
Gambar 10 Karakter morfologi Aspergillus: (A) A. terreus TLr1, (B) A. terreus TLr4, (C) A. terreus TLr5, (D) A. versicolor JBd3, (E) A. sydowii PLd3, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) fialid, (e) peritesium
27
c e a
1 cm
d b
Gambar 11 Karakter morfologi Curvularia affinis JBd14: (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) klamidospora, (e) apresoria
c
d
d
e
a 1 cm b
e 20 m
a
(A)
(B)
f c
a
(C)
Gambar 12 Karakter morfologi Fusarium solani: (A) JBd2, (B) PLd7, (C) PLd1, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d). makrokonidia, (e) mikrokonidia, (f) apresoria
28
c c d b
d
a
Gambar 13 Karakter morfologi Talaromyces trachyspermus JBd10: (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) fialid d d a
a
1 cm
1 cm
1 cm
c
c
b
(B)
(A)
d c
20 m
c
1 cm
a
c
(C) c
c e
a
f d
(D)
(E)
Gambar 14 Karakter morfologi Colletotrichum dan Glomerella: (A) gloeosporioides JBd1, (B) C. gloeosporioides JBd8, (C) gloeosporioides JBd9, (D) C. gloeosporioides PMd3, (E) cingulata TLr2, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, apresoria, dan (e) klamidospora, (f) peritesium
C. C. G. (d)
29
c
c a 1 cm
a
b b
c
(A)
(B)
c
a
(C)
Gambar 15 Karakter morfologi Phomopsis: (A) JBd4, (B) JBd6, (C) JBd12, (a) koloni, (b). konidiofor, (c). konidia
1 cm
(A)
1 cm
(B)
(C)
(D)
Gambar 16 Karakter morfologi cendawan endofit miselia sterilia: (A) PMd4, (B) PMd6, (C) JBd7, (D) JBd13
30
Keragaman cendawan endofit berdasarkan identifikasi molekuler menggunakan primer ITS. Untuk mengidentifikasi cendawan endofit ke tingkat spesies dan cendawan yang tergolong dalam miselia sterilia karena tidak bersporulasi dalam media biakan dilakukan identifikasi menggunakan metode molekuler berdasarkan sekuen DNA daerah ITS1-5.8S-ITS2 rDNA. Sebanyak dua puluh delapan isolat cendawan endofit asal organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak yang termasuk dalam genus Aspergillus, Colletotrichum, Curvularia, Fusarium, Talaromyces, dan Phomopsis, serta sembilan isolat yang tergolong sebagai miselia sterilia diidentifikasi molekuler menggunakan primer ITS1 dan ITS4. Berdasarkan hasil analisis BLAST, persentase keserupaan dari isolat cendawan endofit ke spesies yang paling dekat menggunakan program MycoBank atau GenBank beragam mulai dari 78.5% sampai 100% dan teridentifikasi menjadi lima belas spesies. Namun demikian, satu miselia sterilia JBd11 mempunyai nilai E value yang rendah sehingga diidentifikasi berdasarkan karakter morfologinya, yaitu miselia sterilia 6 (Tabel 3). Hasil identifikasi sampai tingkat spesies menunjukkan bahwa semua isolat tersebut termasuk ke dalam cendawan bermitospora dan Phylum Ascomycota yaitu Aspergillus versicolor/A. unguis, Aspergillus sydowii, Aspergillus terreus, Colletotrichum gloeosporioides dan teleomorfnya Glomerella cingulata, Colletotrichum higginsianum, Curvularia affinis, Diaporthe phaseolorum, Engyodontium album, Fusarium solani, Lasiodiplodia theobromae, Leptosphaerulina australis, Mycoleptodiscus indicus, Pseudocercospora cruenta, Stagonosporopsis cucurbitacearum, dan Talaromyces trachyspermus. Cendawan endofit C. gloeosporioides dan G. cingulata dihitung sebagai satu spesies karena C. gloeosporioides merupakan anamorf dari G. cingulata (Tabel 4). Isolat miselia sterilia 5 JBd7, miselia sterilia 7 JBd13, miselia sterilia 8 PMd2, miselia sterilia 9 TLr6, dan miselia sterilia 13 PLd2 diidentifikasi berturutturut sebagai L. theobromae, E. album, S. cucurbitacearum, P. cruenta, dan L. australis dengan persentase keserupaan berturut-turut 97.2, 97.2, 97.0, 96.3, dan 99.3% dengan sekuen yang tersedia dalam MycoBank. Isolat miselia sterilia 10 PMd1, miselia sterilia 11 PMd4, dan miselia sterilia 12 PMd6 diidentifikasi menjadi spesies yang sama yaitu M. indicus dengan persentase keserupaan berturut-turut 97.1, 98.3, dan 99.7% (Tabel 3). Dari daun jati belanda diperoleh masing-masing tiga cendawan C. gloeosporioides (dan teleomorfnya G. cingulata) dan D. phaseolorum; masingmasing satu cendawan A. versicolor/A. unguis, C. affinis, E. album, F. solani, L. theobromae, dan T. trachyspermus, dan satu miselia sterilia. Dari daun pegagan lokal diperoleh cendawan F. solani dan masing-masing satu cendawan A. sydowii, C. higginsianum, L. australis, dan satu miselia sterilia. Dari daun pegagan malaysia diperoleh tiga cendawan M. indicus dan masing-masing satu cendawan G. cingulata dan S. Cucurbitacearum. Dari rimpang temulawak diperoleh tiga cendawan A. terreus dan masing-masing satu cendawan G. cingulata dan P. cruenta (Tabel 4). Spesies C. gloeosporioides dan teleomorfnya G. cingulata diperoleh sebanyak lima isolat yang berasal dari organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan malaysia, dan temulawak sementara spesies C. higginsianum diperoleh sebanyak satu isolat dari tanaman pegagan lokal. Spesies A. versicolor/A. unguis,
31
A. sydowii, dan A. terreus diperoleh dari tanaman yang berbeda yaitu berturutturut dari daun jati belanda, daun pegagan lokal, dan rimpang temulawak. Spesies A. versicolor/A. unguis dan A. sydowii masing-masing diperoleh sebanyak satu isolat dan spesies A. terreus diperoleh sebanyak tiga isolat. Spesies D. phaseolorum, C. affinis, E. album, L. theobromae, dan T. trachyspermus diperoleh hanya dari daun jati belanda dan masing-masing diperoleh sebanyak satu isolat kecuali spesies D. phaseolorum sebanyak tiga isolat. Spesies M. indicus dan S. cucurbitacearum hanya diperoleh dari daun pegagan malaysia berturut-turut sebanyak tiga dan satu isolat. Spesies L. australis diperoleh hanya dari daun tanaman pegagan lokal sebanyak satu isolat. Spesies F. solani diperoleh sebanyak 3 isolat yang berasal dari daun jati belanda dan rimpang temulawak (Tabel 4). Data BLAST kemudian direkonstruksi menggunakan program Mega5 untuk menganalisis kekerabatan cendawan endofit tersebut melalui pohon filogenetik. Sekuen cendawan endofit yang diperoleh dari organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak serta sekuen referensinya direkonstruksi menggunakan Test Maximum Parsimony Tree. Dari hasil rekonstruksi tersebut diperoleh cendawan endofit A. versicolor untuk JBd3; A. sydowii untuk PLd3; A. terreus untuk TLr1, TLr4, dan TLr5; C. gloeosporioides untuk JBd1 dan JBd9; C. higginsianum untuk PLd6; G. cingulata untuk JBd8, PMd3, dan TLr2; C. affinis untuk JBd14; F. solani untuk JBd2, PLd1, dan PLd7; D. phaseolorum untuk JBd4, JBd6, dan JBd12; T. trachyspermus untuk JBd10; L. theobromae untuk JBd7; E. album untuk JBd13; S. cucurbitacearum untuk PMd2; P. cruenta untuk TLr6; M. indicus untuk PMd1, PMd4, dan PMd6; dan L. australis untuk PLd2 (Gambar 17).
32
Tabel 3 Identifikasi molekuler cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS2, atau ITS3/NL4 No
Identifikasi cendawan endofit
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Aspergillus versicolor/A. unguis Colletotrichum gloeosporioides Curvularia affinis Diaporthe phaseolorum Diaporthe phaseolorum Diaporthe phaseolorum Engyodontium album Fusarium cf. solani Glomerella cingulata Glomerella cingulata Helicosporium indicum / Miselia sterilia 6* Lasiodiplodia theobromae Talaromyces trachyspermus Aspergillus sydowii Colletotrichum higginsianum Fusarium solani Fusarium solani Leptosphaerulina australis Glomerella cingulata Mycoleptodiscus indicus Mycoleptodiscus indicus Mycoleptodiscus indicus Stagonosporopsis cucurbitacearum Aspergillus terreus Aspergillus terreus Aspergillus terreus Glomerella cingulata Pseudocercospora cruenta
Inang Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun jati belanda Daun pegagan lokal Daun pegagan lokal Daun pegagan lokal Daun pegagan lokal Daun pegagan lokal Daun pegagan malaysia Daun pegagan malaysia Daun pegagan malaysia Daun pegagan malaysia Daun pegagan malaysia Rimpang temulawak Rimpang temulawak Rimpang temulawak Rimpang temulawak Rimpang temulawak
Kode cendawan JBd3 JBd1 JBd14 JBd4 JBd6 JBd12 JBd13 JBd2 JBd8 JBd9 JBd11 JBd7 JBd10 PLd3 PLd6 PLd1 PLd7 PLd2 PMd3 PMd1 PMd6 PMd4 PMd2 TLr1 TLr4 TLr5 TLr2 TLr6
No akses referensi GenBank FJ878625.1/FJ878626.1 AY791887.1/AY791886.1 GQ352486.1 JQ514150.1 KC343175.1/KC343174.1 KC343174.1/ KC343175.1 JF779670.1 JX435198.1 AB042315.1 AB042515.1 AY916471.1 HM466960.2 GQ365160.1 AY373868.1 AB042302.1/AB042303.1 GU595038.1 GU595038.1 JN712494.1 AB042315.1 GU980698.1 GU220382.1 GU220382.1 AB266849.1 JN129184.1 JN129184.1 JN129184.1 AB042317.1 GU214673.1
* digunakan identifikasi morfologi karena nilai E valuenya rendah, sehingga JBd11 sebagai miselia sterilia 6.
Skor % Query E maksimum keserupaan coverage value 689.5 98.8 76.2 0.0 857.5 99.8 98.9 0.0 889.2 98.8 97.4 0.0 773.5 95.7 98.6 0.0 664.1 91.5 99.6 0.0 735.4 95.6 99.1 0.0 844.8 97.2 86.6 0.0 828.9 99.8 95.4 0.0 957.0 98.9 100.0 0.0 854.3 96.9 89.4 0.0 302.7 78.5 58.1 2.2e-78 851.1 97.2 98.3 0.0 744.9 100.0 99.8 0.0 900.3 99.8 99.6 0.0 906.6 99.7 99.8 0.0 836.9 96.6 99.1 0.0 878.1 98.9 99.3 0.0 848.0 99.3 99.3 0.0 898.7 99.8 98.6 0.0 865.4 97.1 90.2 0.0 954.1 99.7 90.3 0.0 908.2 98.3 91.3 0.0 901.0 97.0 99.0 0.0 949.4 99.2 99.2 0.0 867.0 99.5 83.3 0.0 905.0 96.9 90.2 0.0 908.2 99.8 90.0 0.0 783.0 96.3 89.4 0.0
33
Tabel 4 Keragaman dan penyebaran cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak berdasarkan identifikasi molekuler menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4
No. Cendawan endofit
Jati belanda
1. 2. 3. 4.
JBd3
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
Aspergillus versicolor/A. unguis Aspergillus sydowii Aspergillus terreus Colletotrichum gloeosporioides Glomerella cingulata* Colletotrichum higginsianum Curvularia affinis Diaporthe phaseolorum Engyodontium album Fusarium solani Lasiodiplodia theobromae Leptosphaerulina australis Mycoleptodiscus indicus Pseudocercospora cruenta Stagonosporopsis cucurbitacearum Talaromyces trachyspermus Miselia sterilia Total isolat
* merupakan fase anamorf-teleomorf
Pegagan lokal
Pegagan malaysia
Temulawak
PLd3 TLr1, TLr4, TLr5 JBd1 JBd8, JBd9
PMd3
TLr2
PLd6 JBd14 JBd4, JBd6, JBd12 JBd13 JBd2 JBd7
PLd1, PLd7 PLd2 PMd1, PMd4, PMd6 TLr6 PMd2
JBd10 JBd11 13
5
5
Total isolat 1 1 3 5
5
1 1 3 1 3 1 1 3 1 1 1 2 28
34
FJ571438.1 Aspergillus terreus OY9107 JN851009.1 Aspergillus terreus SCSGAF0059 AY213636.1 Aspergillus terreus UWFP 607 AY373871.1 Aspergillus terreus ATCC 1012 62
FJ878635.1 Aspergillus terreus UOA/HCPF 8955 AF455426.1 Aspergillus terreus wb464
100
HQ608043.1 Aspergillus terreus CY229 TLr5 FJ590571.1 Aspergillus terreus R20 JN129184.1 Aspergillus terreus A22 TLr1
A
TLr4 PLD3 EF652450.1 Aspergillus sydowii NRRL 250 JBd3 FJ878625.1 Aspergillus versicolor UOA/HCPF8640 FJ878626.1 Aspergillus unguis UOA/HCPF 8728
99 87 58
74
B 62
Gambar 17
JBd1 JBd9 AY791887.1 Colletotrichum gloeosporioides TXMG001 JX010256.1 Colletotrichum siamense C1255.1 AB219019.1 Glomerella cingulata S 20 AB218991.1 Glomerella cingulata Chestnut 1 AF272779.1 Colletotrichum gloeosporioides APL7 PMd3 JBd8 AB042315.1 Glomerella cingulata MAFF 305913 TLr2 AB042317.1 Glomerella cingulata MAFF 305752 EF423519.1 Glomerella cingulata P013 JX010262.1 Colletotrichum siamense C1258.5 AB042318.1 Glomerella cingulata MAFF 410045 JQ005763.1 Colletotrichum tabaci CBS 161.53 AF320563.1 Colletotrichum destructivum ATCC11995 PLd6 AB334522.1 Colletotrichum destructivum MAFF 239948 JQ005764.1 Colletotrichum destructivum CBS 149.34 AY539806.1 Colletotrichum cf gloeosporioides AR4031 AJ301984.1 Colletotrichum coccodes BBA 71527 EU070912.1 Colletotrichum destructivum CD hz 02 JF830783.1 Colletotrichum higginsianum XN4 5 AB046609.1 Colletotrichum linicola JX499034.1 Colletotrichum higginsianum IMI 391904
Pohon filogenetik cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak. A (Aspergillus), B (Colletotrichum dan teleomorfnya Glomerella), C (Curvularia), D (Diaporthe), E (Engyodontium), F (Fusarium), G (Lasiodiplodia), H (Leptosphaerulina), I (Mycoleptodiscus), J (Pseudocercospora), K (Stagonosporopsis), L (Talaromyces)
35
97 50
99
C
99
JN943414.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100367 JQ360963.1 Curvularia fallax HNHY001 HQ130484.1 Curvularia lunata var aeria JN943416.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100368 HM003682.1 Cochliobolus lunatus SVJM008 JN943417.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100369 AB453880.1 Curvularia coicicola JF798505.1 Cochliobolus lunatus JQ701798.1 Cochliobolus lunatus pingxiang JBd14 GQ352486.1 Curvularia affinis 106GP/T JX969625.1 Curvularia affinis CON4011 JBd4
100
JBd12
77
JBd6 KC343174.1 Diaporthe phaseolorum CBS 113425 KC343175.1 Diaporthe phaseolorum CBS 116019
99
D
JQ514150.1 Diaporthe phaseolorum FM1 GQ352487.1 Diaporthe phaseolorum 144GP/T JF896458.1 Diaporthe phaseolorum FGU0001 AY577815.1 Diaporthe phaseolorum E99382 JBD13 JF779670.1 Engyodontium album NRRL 2312
100
HQ115665.1 Engyodontium album MC A31 AB106650.1 Engyodontium album
E
90
PLd1 PLd7
95
GU595038.1 Fusarium solani H4470 JX435216.1 Fusarium cf solani CBS 109028
91
AM412637.1 Fusarium solani FMR 7141 99
70
AM412636.1 Fusarium solani FMR 7140 JX435199.1 Fusarium cf solani CBS 115695
84
JN235324.1 Fusarium cf solani FRC S 2438 JN235325.1 Fusarium cf solani FRC S 2440
F 56
JX435205.1 Fusarium cf solani CBS 117481 JBd2 JX435198.1 Fusarium cf solani CBS 241.93 JQ723751.1 Fusarium solani UCR1785 HE974455.1 Fusarium solani CCF 4358 AM412595.1 Fusarium solani FMR 8482 AB775570.1 Fusarium solani 10 FJ948133.1 Fusarium solani AM412596.1 Fusarium solani FMR 8483
Gambar 17
Pohon filogenetik cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak (lanjutan). A (Aspergillus), B (Colletotrichum dan teleomorfnya Glomerella), C (Curvularia), D (Diaporthe), E (Engyodontium), F (Fusarium), G (Lasiodiplodia), H (Leptosphaerulina), I (Mycoleptodiscus), J (Pseudocercospora), K (Stagonosporopsis), L (Talaromyces)
36
87
68 G
75
EU754167.1 Leptosphaerulina australis CBS 939.69 GU237983.1 Leptosphaerulina arachidicola CBS 275.59 99 GU237982.1 Leptosphaerulina trifolii CBS 235.58 100 GU237981.1 Leptosphaerulina americana CBS 213.55 EU754166.1 Leptosphaerulina australis CBS 317.83 GU301829.1 Leptosphaerulina argentinensis CBS 569.94 AM231398.1 Leptosphaerulina chartarum REB 795 1 PLd2 99 JN712494.1 Leptosphaerulina australis CPC 3712 75 AY831558.1 Leptosphaerulina trifolii WAC 6693
H
56
99 91 I
Gambar 17
EF622068.1 Lasiodiplodia theobromae CBS190.73 JBd7 EF622073.1 Lasiodiplodia theobromae CBS559.70 HM466960.2 Lasiodiplodia theobromae RSGV/PD02 EF622085.1 Lasiodiplodia parva CBS495.78 EF622076.1 Lasiodiplodia theobromae CBS113520 JX982240.1 Lasiodiplodia theobromae MG54 1 FJ150695.1 Lasiodiplodia theobromae CBS 111530 EF423533.1 Botryosphaeria rhodina P054 AY640255.1 Botryosphaeria rhodina CBS 164.96 EF564146.1 Botryosphaeria rhodina M35 HM466959.2 Lasiodiplodia theobromae RSGV/PD01 EU915208.1 Botryosphaeria rhodina CMM 1472 EF622078.1 Lasiodiplodia pseudotheobromae CBS116460 EU860391.1 Lasiodiplodia pseudotheobromae UY1356 HQ607897.1 Lasiodiplodia crassispora ATT226
GU980698.1 Mycoleptodiscus indicus UAMH 10746 JF736515.1 Mycoleptodiscus indicus PA2LL5 GU980696.1 Mycoleptodiscus indicus UAMH 8520 PMd6 GU220382.1 Mycoleptodiscus indicus UTHSCSA R 4334 PMd4 PMd1 GU980694.1 Mycoleptodiscus indicus UAMH 8516 EU364807.1 Mycoleptodiscus terrestris U97332.1 Mycoleptodiscus terrestris JN711860.1 Mycoleptodiscus terrestris
Pohon filogenetik cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak (lanjutan). A (Aspergillus), B (Colletotrichum dan teleomorfnya Glomerella), C (Curvularia), D (Diaporthe), E (Engyodontium), F (Fusarium), G (Lasiodiplodia), H (Leptosphaerulina), I (Mycoleptodiscus), J (Pseudocercospora), K (Stagonosporopsis), L (Talaromyces)
37
GU214671.1 Pseudocercospora atromarginalis CPC 11372 FJ790268.1 Pseudocercospora madagascariensis CBS 124155 GU214672.1 Pseudocercospora chengtuensis CPC 10785 GU214675.1 Pseudocercospora fuligena CPC 12296 GU060636.1 Pseudocercospora fuligena ThaiAIT JQ324982.1 Pseudocercospora tereticornis CBS 124996 GQ852769.1 Pseudocercospora tereticornis CPC 13008 TLr6 HQ599603.1 Pseudocercospora casuarinae CBS 128218 GU269835.1 Pseudocercospora zelkovae MUCC 872 GU214673.1 Pseudocercospora cruenta CPC 10846 GU214680.1 Pseudocercospora pallida CPC 10776 JQ324983.1 Pseudocercospora xanthocercidis CPC 11665
52 84
J
68
GU237922.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum PD 91/310 AB266849.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum MD16 88 HQ684032.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum GL1 GU237780.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum CBS 133.96 HQ684024.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum A 220 2b HQ684025.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum SP1 AB714984.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum SE5 GU237850.1 Stagonosporopsis trachelii CBS 379.91 EU167565.1 Peyronellaea pinodella CBS 110.32 HQ607841.1 Peyronellaea glomerata ATT112 PMd2 JN253542.1 Stagonosporopsis cucurbitacearum HF 06
95 K
50
99 80 99 L
55 99 73
Gambar 17
L14523.1 Talaromyces gossypii FRR 3467 GQ365160.1 Talaromyces trachyspermus C234 JBd10 GU396597.1 Talaromyces trachyspermus CMPG 545 L14516.1 Talaromyces trachyspermus FRR 1792 JN899320.1 Talaromyces assiutensis CBS 118440 JN899334.1 Talaromyces gossypii CBS 645.80 JN899355.1 Talaromyces ohiensis CBS 127.64 JN899350.1 Talaromyces udagawae CBS 579.72 JN899328.1 Talaromyces purpureus CBS 475.71 L14527.1 Talaromyces purpureus FRR 1731 JX965243.1 Talaromyces ruber CBS 132700 JX965237.1 Talaromyces purpurogenus CBS 101965 JX965214.1 Talaromyces amestolkiae CBS 274.95
Pohon filogenetik cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak (lanjutan). A (Aspergillus), B (Colletotrichum dan teleomorfnya Glomerella), C (Curvularia), D (Diaporthe), E (Engyodontium), F (Fusarium), G (Lasiodiplodia), H (Leptosphaerulina), I (Mycoleptodiscus), J (Pseudocercospora), K (Stagonosporopsis), L (Talaromyces)
38
Keragaman cendawan endofit berdasarkan kemampuan penghambatan terhadap cendawan patogen F. oxysporum. Sebelum dilakukan identifikasi cendawan endofit berdasarkan kemampuannya sebagai pengendali hayati secara in vitro, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan yaitu uji hipersensitivitas cendawan endofit pada daun tembakau dan diperoleh hasil bahwa cendawan yang diperoleh tersebut tidak menimbulkan gejala sebagai patogen pada daun tembakau (Tabel 5). Selanjutnya, penghambatan cendawan terhadap F. oxysporum ditentukan sebagai salah satu karakteristik dari keragaman cendawan endofit. Semua cendawan endofit yang diuji mempunyai aktivitas penghambatan terhadap F. oxysporum dengan persentase penghambatan beragam dari yang rendah sampai sangat tinggi dengan nilai kisaran penghambatan antara 6.0 sampai 78.9%. Cendawan endofit yang mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan tinggi adalah cendawan endofit T. trachyspermus JBd10 dan C. affinis JBd14 yaitu masing-masing 78.9% dan 60%. Cendawan endofit yang mempunyai kemampuan penghambatan rendah adalah M. indicus PMd1 dan E. album JBd13 (Tabel 6). Tabel 5 Uji hipersensivitas cendawan endofit asal organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak pada daun tembakau
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28.
Cendawan endofit Aspergillus sydowii Aspergillus terreus Aspergillus terreus Aspergillus terreus Aspergillus versicolor Colletotrichum gloeosporioides Colletotrichum gloeosporoides Colletotrichum higginsianum Curvularia affinis Diaporthe phaseolorum Diaporthe phaseolorum Diaporthe phaseolorum Engyodontium album Fusarium cf. solani Fusarium solani Fusarium solani Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Miselia sterilia Lasiodiplodia theobromae Leptosphaerulina australis Mycoleptodiscus indicus Mycoleptodiscus indicus Mycoleptodiscus indicus Pseudocercospora cruenta Stagonosporopsis cucurbitacearum Talaromyces trachyspermus
Kode cendawan PLd3 TLr1 TLr4 TLr5 JBd3 JBd1 JBd9 PLd6 JBd14 JBd4 JBd6 JBd12 JBd13 JBd2 PLd1 PLd7 JBd8 PMd3 TLr2 JBd11 JBd7 PLd2 PMd1 PMd4 PMd6 TLr6 PMd2 JBd10
Gejala patogen Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
39
Tabel 6 Aktivitas penghambatan cendawan endofit asal organ fungsional jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak terhadap cendawan patogen F. oxysporum secara in vitro No.
Cendawan endofit
1. Aspergillus sydowii 2. Aspergillus terreus 3. Aspergillus terreus 4. Aspergillus terreus 5. Aspergillus versicolor 6. Colletotrichum gloeosporioides 7. Colletotrichum gloeosporoides 8. Colletotrichum higginsianum 9. Curvularia affinis 10. Diaporthe phaseolorum 11. Diaporthe phaseolorum 12. Diaporthe phaseolorum 13. Engyodontium album 14. Fusarium cf. solani 15. Fusarium solani 16. Fusarium solani 17. Glomerella cingulata 18. Glomerella cingulata 19. Glomerella cingulata 20. Miselia sterilia 21. Lasiodiplodia theobromae 22. Leptosphaerulina australis 23. Mycoleptodiscus indicus 24. Mycoleptodiscus indicus 25. Mycoleptodiscus indicus 26. Pseudocercospora cruenta 27. Stagonosporopsis cucurbitacearum 28. Talaromyces trachyspermus Koefisien keragaman (%)
Kode cendawan PLd3 TLr1 TLr4 TLr5 JBd3 JBd1 JBd9 PLd6 JBd14 JBd4 JBd6 JBd12 JBd13 JBd2 PLd1 PLd7 JBd8 PMd3 TLr2 JBd11 JBd7 PLd2 PMd1 PMd4 PMd6 TLr6 PMd2 JBd10
Tanaman inang C. asiatica lokal C. xanthorrhiza C. xanthorrhiza C. xanthorrhiza G. ulmifolia G. ulmifolia G. ulmifolia C. asiatica lokal G. ulmifolia G. ulmifolia G. ulmifolia G. ulmifolia G. ulmifolia G. ulmifolia C. asiatica lokal C. asiatica lokal G. ulmifolia C. asiatica malaysia C. xanthorrhiza G. ulmifolia G. ulmifolia C. asiatica lokal C. asiatica malaysia C. asiatica malaysia C. asiatica malaysia C. xanthorrhiza C. asiatica malaysia G. ulmifolia
% penghambatan 28.3 hi 43.8 cdef 44.8 cdef 44.4 cdef 41.2 efg 49.1 c 46.5 cde 30.5 h 60.0 b 45.8 cdef 17.8 k 40.2 fg 6.0 m 25.0 hij 26.3 hi 40.2 fg 41.7 defg 36.1 g 41.0 efg 40.3 fg 48.1 c 36.4 g 11.1 l 21.3 jk 22.9 ijk 47.2 cd 25.9 hij 78.9 a 9.1
Nilai persentase penghambatan merupakan rata-rata dari 5 ulangan. Angak yang diikuti oleh huruf yang sama tidak nyata secara DMRT (p<0.05).
Keragaman Cendawan Endofit pada Tanaman Model: Jahe Merah
Keragaman cendawan endofit berdasarkan karakter morfologi. Sebanyak tiga puluh isolat cendawan endofit diperoleh dari seluruh tanaman jahe merah. Enam isolat yang mempunyai karakteristik koloni yang berbeda diperoleh dari organ fungsional yaitu rimpang yang biasa digunakan sebagai bahan obat tradisional dan dua puluh empat isolat cendawan endofit dari organ nonfungsional yaitu akar, batang, dan daun. Organ akar, batang, dan daun mempunyai jumlah cendawan endofit yang sama yaitu sebanyak delapan isolat. Organ fungsional rimpang bersimbiosis dengan cendawan endofit dengan jumlah lebih sedikit dibandingkan dengan organ lainnya (Tabel 7 dan 8).
40
Tabel 7 Keragaman dan penyebaran cendawan endofit berdasarkan karakter morfologi pada organ tanaman jahe merah Jumlah isolat No.
Cendawan endofit
1. Acremonium sp. 2. Beltraniella sp. 3a. Curvularia sp. 4a. Colletotrichum sp. 4b. Glomerella sp. 5. Cylindrocarpon sp. 6. Fusarium sp. 7. Lecanicillium sp. 8. Periconia sp. 9. Talaromyces sp. 10. Miselia sterilia Total isolat pada organ
Kode isolat JMa6, JMa8, JMr5, JMr7 JMr1 JMd13, JMbt4, JMbt7, JMbt8, JMbt9 JMd1, JMd4, JMd5 JMd12, JMbt13, JMr2 JMd3 JMa1, JMr3 JMd14, JMa3, JMa5 JMbt10 JMa2 JMa7, JMbt3 JMa4, JMr4, JMd9, JMbt2
akar rimpang batang daun 2 4 1 2 1 1 1 12
2 1 1 1 1 6
4 1 1 1 1 8
1 1 1 1 4
Total isolat pada tanaman 4 1 5 6 1 2 3 1 1 2 4 30
Cendawan endofit yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi dari struktur somatik dan reproduksinya. Semua cendawan endofit yang diperoleh mempunyai hifa yang bersepta dan diperoleh sebanyak 30 morfotipe cendawan endofit dari seluruh organ tanaman jahe merah (Gambar 1827). Koloni cendawan ada yang berwarna putih, kuning, kuning kecoklatan, ungu, abu-abu, cokelat, oranye dan hitam dengan tekstur granul, menggunung, seperti tepung, atau halus. Semua cendawan mempunyai hifa yang bersepta. Konidia yang dihasilkan ada yang berbentuk silindris, bulat, bulat telur, lonjong, bengkok, kurva, dan ellips dengan warna konidia hialin, cokelat, atau gelap, (Gambar 1826). Cendawan endofit asal organ non-fungsional diidentifikasi menjadi 8 genus yaitu Acremonium, Curvularia, Cylindrocarpon, Fusarium, Glomerella dan fase anamorfnya Colletotrichum, Lecanicillium, Periconia, dan Talaromyces, dan 3 miselia sterilia (Tabel 7 dan 8). Cendawan endofit yang diisolasi dari organ fungsional rimpang diperoleh empat genus cendawan endofit yaitu dua isolat cendawan Acremonium, masing-masing satu isolat cendawan Beltraniella, Colletotrichum, Cylindrocarpon, dan satu miselia sterilia. Glomerella dan fase anamorfnya Colletotrichum dihitung sebagai satu spesies karena kedua cendawan tersebut berhubungan sebagai anamorf-teleomorf. Sebanyak tiga isolat cendawan endofit yang berasal dari organ non-fungsional dan satu isolat asal fungsional jahe merah belum dapat diidentifikasi karena tidak bersporulasi dalam media tumbuh yang digunakan dan diidentifikasi sebagai miselia sterilia. Penyebaran cendawan endofit pada organ tanaman inang diperoleh bahwa dari akar jahe merah diperoleh masing-masing dua isolat cendawan Acremonium dan Fusarium, masing-masing satu isolat cendawan Cylindrocarpon, Periconia, Talaromyces, dan satu isolat sebagai miselia sterilia. Dari organ batang jahe merah diperoleh empat isolat cendawan Curvularia dan masing-masing satu isolat cendawan Colletotrichum, Lecanicillium, Talaromyces, dan satu miselia sterilia. Dari bagian daun jahe merah diperoleh empat isolat cendawan Colletotrichum dan satu isolat teleomorfnya Glomerella, masing-masing satu isolat cendawan Curvularia dan Fusarium, serta satu miselia sterilia. Dari bagian fungsional yaitu rimpang jahe merah diperoleh dua isolat cendawan Acremonium, masing-masing satu isolat cendawan Beltraniella, Colletotrichum, Cylindrocarpon, dan satu miselia sterilia (Tabel 7). Colletotrichum dan fase teleomorfnya Glomerella diperoleh sebanyak tujuh isolat yaitu sebanyak lima isolat berasal dari daun, satu isolat berasal dari batang
41
dan satu isolat dari rimpang. Daun dan batang merupakan organ non-fungsional sedangkan rimpang merupakan organ fungsional jahe merah. Lecanicillium, Periconia, dan Beltraniella berturut-turut hanya diperoleh dari batang, akar, dan rimpang jahe merah dan masing-masing dengan jumlah satu isolat. Acremonium diperoleh sebanyak empat isolat, dua isolat dari akar (organ non-fungsional) dan dua isolat dari rimpang (organ fungsional). Demikian juga Cylindrocarpon diperoleh dari akar dan rimpang masing-masing sebanyak satu isolat. Curvularia diperoleh sebanyak lima isolat yaitu empat isolat dari batang dan satu isolat dari daun jahe merah. Talaromyces diperoleh sebanyak dua isolat yaitu dari akar dan batang jahe merah sedangkan Fusarium diperoleh sebanyak tiga isolat yaitu satu isolat dari daun dan dua isolat dari akar jahe merah.
c a b
c
a
(B)
(A)
c
c
d
b 10 m
Gambar 18
a
a
(D) (C) Karakter morfologi Acremonium macroclavatum: (A) JMr5, (B) JMr7, (C) JMa6, (D) JMa8, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) klamidospora
c
d b
a
0.5 m
0.5 m
Gambar 19 Karakter morfologi Beltraniella sp. JMr1: (a) koloni, (b) pemisah sel, (c) spora, (d) konidiofor
42
d
c
c a b b
10 m
a
(A)
(B )
c a d c
a
(D)
(C)
c
b a
(E) Gambar 20 Karakter morfologi Curvularia affinis: (A) JMbt4, (B) JMbt7, (C) JMbt8, (D) JMbt9, (E) JMd13, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) klamidospora
43
c
10 m
a
(A)
d c
b d 10 m
10 m
a
(B) Gambar 21 Karakter morfologi Cylindrocarpon: (A) JMa1, (B) JMr3, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) apresoria
f d 20 m
e
20 m
a
(A)
f
c
a
d e
b a
20 m
20 m
(B) (C) Gambar 22
Karakter morfologi Fusarium solani: (A) JMa3, (B) JMa5, (C) JMd14, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, (d) makrokonidia, (e) mikrokonidia, (f) apresoria
44
b e
c
a
a
(A)
(B)
d d
a
a
c
c
(C) (A)
(D) )
e d a
a
c c
(F)
(E) (A)
(A)
)
)
d a
c
(G) Gambar 23 Karakter morfologi Colletotrichum dan Glomerella. (A) (A) ) gloeosporioides JMd1, (B) G. cingulata JMd3, (C) gloeosporioides JMd4, (D) C. gloeosporioides JMd12, (E) cingulata JMd5, (F) C. gloeosporioides JMbt13, (G) gloeosporioides JMr2, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia, apresoria, (e) askokarp
C. C. G. C. (d)
45
d
c
c b
b a
a
(B)
(A) (A)
(A)
)
)
Gambar 24 Karakter morfologi Talaromyces assiutensis: (A) JMa7, (B) JMbt3, a. koloni, b1. konidiofor, b2. konidia
c
a c
b
b
a
Gambar 25 Karakter morfologi Periconia JMa2: (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia
c
b c a
Gambar 26 Karakter morfologi Lecanilicilium kalimantanese JMbt10, (a) koloni, (b) konidiofor, (c) konidia
46
a
a
(A) (A)
(B) )
(A)
)
a
a
(D)
(C) (A)
)
(A)
)
Gambar 27 Karakter morfologi Cendawan endofit miselia sterilia: (A) JMd9, (B) JMa4, (C) JMbt2, (a) koloni
47
Tabel 8 Karakter morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan organ tanaman jahe merah No.
Cendawan endofit
Warna koloni
Cylindrocarpon sp. 1 JMa1
Organ tanaman Akar
Tekstur
Spora/konidia
Kuning
Warna balik koloni Kuning
1
Halus
Akar
Putih
Putih
Granul
Fusarium sp. 1 JMa3
Akar
Putih
Putih
Menggunung
4 5
Miselia sterilia1 JMa4 Fusarium sp. 2 JMa5
Akar Akar
Abu-abu Kuning
Hitam Kuning
Menggunung Halus
6 7
Acremonium sp. 1 JMa6 Talaromyces sp. 1 JMa7
Akar Akar
Kuning Kuning
Kuning Kuning
Granul Seperti tepung
8
Acremonium sp. 2 Ma8
Akar
Oranye
Oranye
Halus
9 10
Miselia sterilia 3 JMbt2 Talaromyces sp. 1 JMbt3
Batang Batang
Putih Kuning
Putih Kuning
Menggunung Seperti tepung
11
Curvularia sp. 1 JMbt4
Batang
Abu-abu
Abu-abu tua
Halus
12
Curvularia sp. 2 JMbt7
Batang
Abu-abu tua
Hitam
Granul
13
Curvularia sp. 3 JMbt8
Batang
Abu-abu
Abu-abu
Menggunung
14
Curvularia sp. 4 JMbt9
Batang
Kuning
Kuning
Halus
15
Lecanicillium sp. JMbt10
Batang
Putih
Kuning
Menggunung
16
Colletotrichum sp. 2 JMbt13
Batang
Abu-abu
Abu-abu
Menggunung
17
Colletotrichum sp. 3 JMd1
Daun
Putih
Putih
Granul
Konidiofor tegak, ramping, hialin, terminating pada fialid yang ramping, konidia 2-4 sel, hialin, silindrikal, uk. 52.0-100 x 9.9-13.9 μm Konidiofor gelap, sederhana, membesar pada bagian apeks, konidia gelap, 1 sel, bulat, uk. 2.8-3.7 x 2.4-3.3 μm Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. makrokonidia 20.5-35.1 x 4.2-5.6 μm, mikrokonidia 11.1-15.8 x 3.0-5.1 μm Konidia tidak teramati Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. makrokonidia 37.3-74.4 x 3.2-9.5 μm, mikrokonidia 15.2-25.8 x 3.9-9.2 μm Konidiofor dan fialid ramping, sederhana, konidia hialin, 1 sel, uk.3.1-5.5 x 1.2-2.5 μm Konidiofor tumbuh dari miselium tunggal, konidia hialin, 1 sel, umumnya berbentuk ellips, uk. 3.2-3.8 x 2.1-3.1 μm Konidiofor dan fialid ramping, sederhana, konidia hialin, 1 sel, menumpuk pada ujung, uk. 3.6-5.9 x 1.8-2.0 μm Konidia tidak teramati Konidiofor tumbuh dari miselium tunggal, konidia hialin, 1 sel, umumnya berbentuk ellips, uk. 2.9-4.0 x 2.1-3.2 μm Konidiofor cokelat, sederhana, spora tumbuh secara apikal atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, ada yang berbentuk bengkok, bagian tengah sel besar, uk. 14.1-19.4 x 6.9-9.7 μm Konidiofor cokelat, sederhana, spora tumbuh secara apikal atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, ada yang berbentuk bengkok, bagian tengah sel besar, uk. 16.5-20.3 x 7.8-10.7 μm Konidiofor cokelat, sederhana, spora tumbuh secara apikal atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, ada yang berbentuk bengkok, bagian tengah sel besar, uk. 42.8-58.9 x 14.2-19.4 μm Konidiofor cokelat, sederhana, spora tumbuh secara apikal atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, ada yang berbentuk bengkok, bagian tengah sel besar, uk. 15.5-25.8 x 5.9-10.4 μm Konidiofor tegak, menghasilkan konidia pada, atau sepanjang hifa aerial, ramping, tumbuh ke arah apeks, konidia berbentuk kurva, uk. 4.8-10.7 x 2.1-3.1 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk. 19.7-24.8 x 5.1-6.6 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk. uk. 5.6-13.1 x 2.4-4.0 μm
2
Periconia sp. JMa2
3
48
Tabel 8 Karakterisasi morfologi cendawan endofit yang berasosiasi dengan organ tanaman jahe merah (lanjutan) No.
Cendawan endofit
Tanaman
Warna koloni
Tekstur
Spora/konidia
Abu-abu
Warna balik koloni Abu-abu
18
Glomerella sp. JMd3
Daun
Granul
Daun
Kuning
Kuning
Halus
Colletotrichun sp. 5 JMd5
Daun
Abu-abu tua
Abu-abu
Halus
21
Miselia sterilia 4 JMd9
Daun
Kuning
Halus
22
Colletotrichum sp. 6 JMd12
Daun
Kuning kecoklatan Abu-abu
Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong uk. 3.7-5.0 x 1.7-2.8 μm, menghasilkan askokarp Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk. 2.1-3.2 x 3.5-5.6 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong, uk.3.6-6.7 x 9.3-14.4 μm Konidia tidak teramati
19
Colletotrichum sp. 4 JMd4
20
Abu-abu
Granul
23
Curvularia sp. 5 JMd13
Daun
Abu-abu tua
Hitam
Halus
24
Fusarium sp. 3 JMd14
Daun
Kuning
Kuning
Halus
25
Beltraniella sp. JMr1
Rimpang
Ungu
Ungu
Granul
26
Colletotrichum sp. 1 JMr2
Rimpang
Putih
Putih
Halus
27
Cylindrocarpon sp. 2 Mr3
Rimpang
Cokelat
Cokelat
Granul
28 29 30
Miselia sterilia 2 JMr4 Acremonium sp. 3 JMr5 Acremonium sp. 4 JMr7
Rimpang Rimpang Rimpang
Hitam Abu-abu Kuning
Hitam Abu-abu Kuning
Granul Halus Halus
Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong uk. 28.7-34.1 x 8.9-10.1 μm Konidiofor cokelat, sederhana, spora tumbuh secara apikal atau pada titik tumbuh simpodial baru, konidia gelap, 3-5 sel, ada yang berbentuk bengkok, bagian tengah sel besar, uk. 21-28.5 x 8.8-10.7 μm Konidiofor hialin, ramping dan sederhana, konidia hialin, 2 jenis, makrokonidia, beberapa sel, berbentuk kurva, 1-2 sel, mikrokonidia, 1-2 sel, bulat telur, lonjong atau kurva, uk. makrokonidia 16.9-21.2 x 2.6-3.4 μm, mikrokonidia 5.3-8.6 x 1.6-3.6 μm Pemisah sel, bulat telur, halus, hialin, 1 dentikulata pada tiap ujung, uk. 5.4-9.2 x 1.72.6 μm Konidiofor sederhana, memanjang, konidia hialin, 1 sel, bulat telur atau lonjong , uk. 10.4-15.2 x 2.5-4.1 μm Konidiofor tegak, ramping, hialin, terminating pada fialid yang ramping, konidia 2-4 sel, hialin, silindrikal, uk. 25.2-49.5 x 5.3-7.4 μm Konidia tidak teramati Konidiofor dan fialid ramping, sederhana, konidia hialin, 1 sel, uk. 2.5-4.6 x 2.1-4.0 μm Konidiofor dan fialid ramping, sederhana, konidia hialin, 1 sel, uk. 3.0-6.2 x 1.6-2.4 μm
49
Keragaman cendawan endofit berdasarkan identifikasi molekuler. Sebanyak tiga puluh isolat cendawan endofit yang diperoleh dari tanaman jahe merah yaitu dua puluh empat isolat cendawan endofit diperoleh dari organ nonfungsional dan termasuk dalam genus Acremonium, Curvularia, Cylindrocarpon, Fusarium, Glomerella dan fase anamorfnya Colletotrichum, Lecanicillium, Periconia, Talaromyces, dan 3 isolat miselia sterilia, serta enam isolat yang diperoleh dari organ fungsional yaitu Acremonium, Beltraniella, Colletotrichum, Cylindrocarpon, dan satu miselia sterilia diidentifikasi molekuler menggunakan primer ITS rDNA. Berdasarkan hasil analisis BLAST, persentase keserupaan dari isolat cendawan endofit asal organ non-fungsional tanaman jahe merah ke spesies yang paling dekat menggunakan program MycoBank atau GenBank beragam mulai dari 76.0 sampai 100% dan teridentifikasi menjadi sepuluh spesies dan satu miselia sterilia. Persentase keserupaan cendawaan endofit asal organ fungsional adalah 79.1 sampai 98.0% dan teridentifikasi menjadi tiga spesies, satu genus dan satu miselia sterilia (Tabel 9). Isolat miselia sterilia 1 JMa4 dan miselia sterilia 3 JMbt2 yang berturut-turut diperoleh dari akar dan batang dapat diidentifikasi sebagai Rhizopycnis vagum dan Talaromyces assiutensis dengan persentase keserupaan 99.4 dan 98.5% dengan sekuen yang tersedia dalam MycoBank. Namun demikian, JMd9 asal daun, JMr4 dan JMr1 asal rimpang tidak dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan yang sama sehingga digunakan data identifikasi morfologi sebagai pengganti identifikasi molekuler karena nilai E value yang rendah. Cendawan tersebut berturut-turut diidentifikasi sebagai miselia sterilia 4, miselia sterilia 2, dan Beltraniella sp. Hasil identifikasi sampai tingkat spesies menunjukkan bahwa semua isolat yang berasal dari organ non-fungsional jahe merah termasuk ke dalam cendawan bermitospora dan Phylum Ascomycota yaitu A. macroclavatum, Cochliobolus geniculatus dan fase anamorfnya C. affinis, C. gloeosporiosides dan fase teleomorfnya G. cingulata, F. solani, Lecanicillim kalimantanense, Myrothecium verrucaria, Neonectria punicea, Periconia macrospinosa, R. vagum, dan T. assiutensis serta satu miselia sterilia. Cendawan endofit C. geniculatus dan fase anamorfnya C. affinis; serta C. gloeosporioides dan G. cingulata; dihitung sebagai dua spesies, bukan empat spesies karena C. gloeosporioides merupakan anamorf dari G. cingulata dan C. geniculatus merupakan fase teleomorf C. affinis (Tabel 9 dan 10). Dari organ akar jahe merah diperoleh masing-masing dua cendawan A. macroclavatum dan F. solani, masing-masing satu cendawan N. punicea, P macrospinosa, R. vagum, dan T. assiutensis. Dari organ batang jahe merah diperoleh dua cendawan C. affinis dan dua cendawan teleomorfnya C. geniculatus, masing-masing satu isolat cendawan C. gloeosporiosides, L. kalimantanense, M. verrucaria, dan T., assiutensis. Dari bagian daun jahe merah diperoleh lima isolat cendawan C. gloeosporiosides dan teleomorfnya G. cingulata, masing-masing satu isolat cendawan C. geniculatus dan F. solani, serta satu isolat sebagai miselia sterilia. Dari bagian fungsional yaitu rimpang jahe merah diperoleh dua isolat cendawan A. macroclavatum, masing-masing satu isolat cendawan Beltraniella sp., G. cingulata, N. punicea, dan satu isolat sebagai miselia sterilia (Tabel 10).
50
Spesies L. kalimantanense dan M. verrucaria diperoleh hanya dari batang jahe merah masing-masing sebanyak satu isolat. Demikian juga spesies P. macrospinosa dan R. vagum yang masing-masing diperoleh sebanyak satu isolat dari akar jahe merah. Spesies C. geniculatus dan fase anamorfnya C. affinis diperoleh sebanyak 5 isolat yaitu empat isolat dari batang dan satu isolat dari daun jahe merah. Cendawan A. macroclavatum dan N. punicea diperoleh dari akar dan rimpang jahe merah. Cendawan A. macroclavatum diperoleh sebanyak empat isolat, yaitu masing-masing dua isolat dari akar (organ non-fungsional) dan rimpang (organ fungsional) jahe merah. Spesies N. punicea diperoleh dari akar dan rimpang jahe merah masing-masing sebanyak satu isolat. Spesies F. solani diperoleh sebanyak tiga isolat, dua isolat dari akar dan satu isolat dari daun jahe merah. Spesies T. assiutensis diperoleh sebanyak dua isolat yaitu masing-masing satu isolat dari akar dan batang jahe merah.
51
Tabel 9 Identifikasi molekuler cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4 No Identifikasi cendawan endofit 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
Acremonium macroclavatum Acremonium macroclavatum Fusarium solani Fusarium solani Neonectria punicea**** Periconia macrospinosa Rhizopycnis vagum Talaromyces assiutensis Cochliobolus geniculatus** Cochliobolus geniculatus Colletotrichum gloeosporioides Curvularia affinis Curvularia affinis Lecanicillium kalimantanese Myrothecium verrucaria Talaromyces assiutensis Cochliobolus geniculatus Colletotrichum gloeosporioides Colletotrichum gloeosporoides Fusarium solani Glomerella cingulata*** Glomerella cingulata Glomerella cingulata Periconia macrospinosa / miselia sterilia 4* Acremonium macroclavatum Acremonium macroclavatum
Kode cendawan JMa8 JMa6 JMa3 JMa5 JMa1 JMa2 JMa4 JMa7 JMbt4 JMbt9 JMbt13 JMbt7 JMbt8 JMbt10 JMbt2 JMbt3 JMd13 JMd1 JMd4 JMd14 JMd3 JMd5 JMd12 JMd9 JMr5 JMr7
Organ
No akses referensi GenBank
Akar Akar Akar Akar Akar Akar Akar Akar Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Batang Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Daun Rimpang Rimpang
GU220382.1 HQ897806.1 HQ608044.1 FJ345352.1 HM534901.1 AJ246159.1 AF022786.1 JN899320.1 JN943416.1 JN943416.1 EF423519.1 GQ352486.1 GQ352486.1 DQ682584.1 HQ607996.1 JN899320.1 JN943416.1 EU552111.1/AJ301908.1 EU552111.1/AJ301908.1 FJ345352.1 AB042317.1 AB042317.1 AB042315.1 AJ246159.1 HQ897806.1 HQ897806.1
Skor maksimum 721.2 710.1 863.3 1450.2 1443.0 895.5 828.9 901.8 1027.0 825.8 819.0 914.5 841.6 659.3 798.7 901.8 919.3 871.7 903.4 884.4 860.6 857.5 908.2 340.0 651.4 708.5
% keserupaan 95.7 95.0 100.0 98.6 90.0 98.8 99.4 98.8 99.0 99.6 100.0 99.7 96.2 89.5 95.5 98.5 99.5 98.6 99.3 97.9 97.2 98.1 99.8 76.0 95.6 95.9
Query coverage 98.6 98.3 95.1 98.9 99.0 89.6 99.4 100 98.0 98.0 94.5 98.5 98.0 99.7 99.5 99.3 99.8 99.7 99.5 99.3 99.5 99.5 99.3 91.0 82.6 98.1
E value 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8e-90 0.0 0.0
52
Tabel 9 Identifikasi molekuler cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah berdasarkan ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4 (lanjutan) No Identifikasi cendawan endofit 27 28 29 30 *
Fusarium oxysporum / miselia sterilia 2* Glomerella cingulata Leiosphaerella lycopodina Neonectria punicea
Kode cendawan JMr4 JMr2 JMr1 JMr3
Organ Rimpang Rimpang Rimpang Rimpang
No akses referensi GenBank GQ365156.1 AB042317.1 JF440975.1 HM534901.1
Skor maksimum 351.2 958.0 614.0 1472.0
% keserupaan 79.1 98.0 86.0 89.0
Query coverage 99.0 78.3 99.0 99.0
E value 4e-93 0.0 3e-172 0.0
digunakan identifikasi morfologi karena nilai E valuenya rendah, sehingga JMr4, JMd9, dan JMr1 berturut-turut sebagai miselia sterilia 2, miselia sterilia 4, dan Beltraniella sp. ** fase teleomorf C. affinis *** fase teleomorf C. gloeosporioides ****fase teleomorf Cylindrocarpon sp.
53
Tabel 10 Keragaman dan penyebaran cendawan endofit pada organ tanaman jahe merah berdasarkan identifikasi molekuler ITS1-5.8S-ITS2 rDNA menggunakan primer ITS1/ITS4, ITS5/ITS3, atau ITS3/NL4 No.
Cendawan endofit
1. Acremonium macroclavatum 2. Beltraniella sp. 3a. Cochliobolus geniculatus 3b. Curvularia affinis 4a. Colletotrichum gloeosporiosides 4b. Glomerella cingulata 5. Fusarium solani 6. Lecanicillium kalimantanense 7. Myrothecium verrucaria 8. Neonectria punicea* 9. Periconia macrospinosa 10. Rhizopynis vagum 11. Talaromyces assiutensis 12. Miselia sterilia 2 13. Miselia sterilia 4 Jumlah isolat
Kode isolat JMa6, JMa8, JMr5, JMr7 JMr1 JMbt4, JMbt9, JMd13 JMbt7, JMbt8 JMd1, JMd4, JMbt13 JMd3, JMd5, JMd12, JMr2 JMd14, JMa3, JMa5 JMbt10 JMbt2 JMa1, JMr3 JMa2 JMa4 JMa7, JMbt3 JMr4 JMd9
tanaman 4 1 1 4 4 3 3 1 1 2 1 1 2 1 1 30
Jumlah isolat akar rimpang batang 2 2 1 4 1 1 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 8 6 8
daun 1 4 1 1 1 8
Data BLAST kemudian direkonstruksi menggunakan program Mega5 untuk pohon filogenetik. Sekuen 10 spesies cendawan endofit yang diperoleh dari organ non-fungsional tanaman jahe merah A. macroclavatum, C. geniculatus dan fase anamorfnya C. affinis, C. gloeosporiosides dan fase teleomorfnya G. cingulata, F. solani, L. kalimantanense, M. verrucaria, N. punicea, P. macrospinosa, R. vagum, T. assiutensis, serta sekuen referensinya direkonstruksi menggunakan Test Maximum Parsimony Tree. Dari hasil rekonstruksi tersebut diperoleh cendawan endofit A. macroclavatum (JMa6 dan JMa8), G. cingulata (JMd1, JMd3, JMd4, JMd5, JMd12, dan JMbt13), C. lunatus (JMd13, JMbt4, JMbt7, JMbt8, dan JMbt9), F. solani (JMa1, JMa3, JMa5, dan JMd14), L. kalimantanese (JMbt10), M. verrucaria (JMbt2), P. macrospinosa (JMa2), R. vagum JMa4, dan T. assiutensis (JMa7 dan JMbt3) dan dari organ fungsional diperoleh A. macroclavatum (JMr5 dan JMr7) (Gambar 28).
54
99 99 99
65
58 95
A
JMa8 JMr7 JMa6 JMr5 HQ897806.1 Acremonium macroclavatum CBS 123922 FN550111.2 Gliocephalotrichum simplex NFCCI 1496 DQ366704.1 Gliocephalotrichum simplex MUCL 46551 DQ366705.1 Gliocephalotrichum cylindrosporum MUCL18576 DQ374408.1 Gliocephalotrichum bacillisporum MUCL 46554 DQ374409.1 Gliocephalotrichum bacillisporum MUCL 46732 DQ366702.1 Gliocephalotrichum simplex MUCL 18577
95 67
100 78 97
GQ352486.1 Curvularia affinis 106GP/T JMbt7 JMbt8 JMbt4 JMbt9 JMd13 JF798505.1 Cochliobolus lunatus JQ701798.1 Cochliobolus lunatus strain pingxiang JN943417.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100369 JN943414.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100367 JQ360963.1 Curvularia fallax HNHY001 HQ130484.1 Curvularia lunata var aeria HM003682.1 Cochliobolus lunatus SVJM008 JN943416.1 Cochliobolus geniculatus NBRC 100368 HM770741.1 Curvularia affinis S255 JN589801.1 Curvularia affinis E8700C
B
100 52
JMd3 JMd5 JMr2 56
88
C
63 D
JMd1 JMd4 JMd12 JMbt13
AB042317.1 Glomerella cingulata MAFF 305752 EF423519.1 Glomerella cingulata P013 GQ485603.1 Colletotrichum siamense CSST4 GQ485602.1 Colletotrichum siamense CSST1 AB042315.1 Glomerella cingulata MAFF 305913 EU552111.1 Colletotrichum gloeosporioides CBS 122687 AB219019.1 Glomerella cingulata S 20 AB218992.1 Glomerella cingulata Chestnut 2 AJ301908.1 Colletotrichum gloeosporioides BBA 70071 AB218991.1 Glomerella cingulata Chestnut 1 AB218994.1 Glomerella cingulata Cf 5 0 AB218993.1 Glomerella cingulata 1037R AM991138.1 Colletotrichum gloeosporioides PT806
JMbt10 AB360356.1 Lecanicillium kalimantanense BTCC F23 JF779670.1 Engyodontium album NRRL 2312 AB378516.1 Verticillium indonesiacum BTCC F36
Gambar 28 Pohon filogenetik hasil identifikasi cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah. A (Acremonium), B (Curvularia dan Cochliobolus), C (Colletotrichum dan Glomerella), D (Lecanicillium), E (Fusarium), F (Myrothecium), G (Periconia), H (Rhizopycnis), I (Talaromyces)
55
HQ608044.1 Fusarium solani CY230 JX435208.1 Fusarium cf solani CBS 318.73 JX435211.1 Fusarium cf solani CBS 121450 JMa3 JMd14 FJ345352.1 Fusarium solani strain ATCC 56480 L36634.1 Fusarium solani f sp phaseoli 97
L36630.1 Fusarium solani f sp phaseoli NRRL 22158
E
JMa5 GQ365156.1 Fusarium oxysporum By125 99
HQ682197.1 Fusarium oxysporum DB0612102 GQ365155.1 Nectria haematococca Bx247 JMbt2
97
GQ131886.1 Myrothecium verrucaria MYRver2
75
AF455507.1 Myrothecium atroviride wb256 JF812340.1 Myrothecium verrucaria XZ04 18 2 HQ607996.1 Myrothecium verrucaria CY157
F
HQ608048.1 Myrothecium verrucaria CY235 FJ536208.1 Periconia macrospinosa KS00113 AJ246158.1 Periconia macrospinosa isolate 0005 FJ536209.1 Periconia macrospinosa KS00019(2) 100
FJ536207.1 Periconia macrospinosa KS00100 FJ536209.1 Periconia macrospinosa KS00019 JN859365.1 Periconia macrospinosa REF145 JN859364.1 Periconia macrospinosa REF144 JMa2
G
AJ246159.1 Periconia macrospinosa isolate 00023 EU367468.1 Periconia igniaria JMa4
52 56
JN859316.1 Rhizopycnis vagum REF096 JN859313.1 Rhizopycnis vagum REF093 JN859282.1 Rhizopycnis vagum REF062 JN859287.1 Rhizopycnis vagum REF067
H
JN859290.1 Rhizopycnis vagum REF070 JN859307.1 Rhizopycnis vagum REF087 JN859304.1 Rhizopycnis vagum REF084 99
I
JMa7 JMbt3 JN899320.1 Talaromyces assiutensis CBS 118440 EU004812.1 Paecilomyces tenuis GZUIFR C43 1 L14516.1 Talaromyces trachyspermus FRR1792 GQ365160.1 Talaromyces trachyspermus C234 JN899334.1 Talaromyces gossypii CBS645.80 L14523.1 Talaromyces gossypii FRR3467
Gambar 28 Pohon filogenetik hasil identifikasi cendawan endofit asal organ tanaman jahe merah (lanjutan). A (Acremonium), B (Curvularia dan Cochliobolus), C (Colletotrichum dan Glomerella), D (Lecanicillium), E (Fusarium), F (Myrothecium), G (Periconia), H (Rhizopycnis), I (Talaromyces)
56
Keragaman cendawan endofit berdasarkan kemampuan penghambatan terhadap F. oxysporum. Sebelum dilakukan identifikasi cendawan endofit berdasarkan kemampuannya sebagai pengendali hayati secara in vitro, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan yaitu uji hipersensivitas cendawan endofit pada daun tembakau dan diperoleh hasil bahwa cendawan yang diperoleh tersebut tidak menimbulkan gejala sebagai patogen pada daun tembakau (Tabel 11).
Tabel 11 Uji hipersensivitas cendawan endofit asal tanaman jahe merah pada daun tembakau
No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30.
Cendawan endofit Acremonium macroclavatum Acremonium macroclavatum Acremonium macroclavatum Acremonium macroclavatum Beltraniella sp. Cochliobolus lunatus Cochliobolus lunatus Cochliobolus lunatus Cochliobolus lunatus Cochliobolus lunatus Fusarium solani Fusarium solani Fusarium solani Fusarium solani Fusarium solani Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Glomerella cingulata Lecanicillium kalimantanense Miselia sterilia 2 Miselia sterilia 4 Myrothecium verrucaria Periconia macrospinosa Rhizopycnis vagum Talaromyces assiutensis Talaromyces assiutensis
Kode cendawan JMa6 JMa8 JMr5 JMr7 JMr1 JMbt4 JMbt7 JMbt8 JMbt9 JMd13 JMa3 JMa5 JMd14 JMa1 JMr3 JMbt13 JMd1 JMd3 JMd4 JMd5 JMd12 JMr2 JMbt10 JMr4 JMd9 JMbt2 JMa2 JMa4 JMa7 JMbt3
Gejala patogen Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada Tidak ada
Penghambatan cendawan endofit terhadap F. oxysporum ditentukan sebagai salah satu karakteristik dari keragaman cendawan endofit. Identifikasi kemampuan penghambatan dilakukan pada cendawan endofit asal organ nonfungsional jahe merah yaitu cendawan endofit A. macroclavatum (JMa6 dan JMa8), G. cingulata (JMd1, JMd3, JMd4, JMd5, JMd12, dan JMbt13), C. lunatus
57
(JMd13, JMbt4, JMbt7, JMbt8, dan JMbt9), F. solani (JMa3, JMa5, dan JMd14), L. kalimantanese (JMbt10), M. verrucaria (JMbt2), R. vagum JMa4, P. macrospinosa (JMa2), T. assiutensis (JMbt3), dan dari organ fungsional yaitu A. macroclavatum (JMr5 dan JMr7), L. lycopodina (JMr1), F. solani (JMr3), G. cingulata (JMr2) dan 2 miselia sterilia. Semua cendawan endofit yang diperoleh dari tanaman jahe merah mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum. Persentase penghambatan dari cendawan endofit tersebut beragam dengan kisaran 1.4-78.9% dengan aktivitas penghambatan yang beragam mulai dari rendah sampai tinggi. Kisaran nilai penghambatan cendawan endofit yang diperoleh dari akar, rimpang, batang, dan daun terhadap F. oxysporum berturut-turut adalah 10.0-55.6%, 24.165.1%, 1.4-68.8%, dan 16.7-65.9% (Tabel 12).
Tabel 12 Aktivitas penghambatan cendawan endoft asal tanaman jahe merah terhadap F. oxysporum secara in vitro No. Cendawan endofit Kode Organ % cendawan penghambatan* 1. Acremonium macroclavatum JMa6 Akar 23.6 jkl 2. Acremonium macroclavatum JMa8 Akar 19.4 klm 3. Acremonium macroclavatum JMr5 Rimpang 25.6 ij 4. Acremonium macroclavatum JMr7 Rimpang 24.3 ijk 5. Beltraniella sp. JMr1 Rimpang 54.1 bcd 6. Cochliobolus lunatus JMbt4 Batang 25.6 ij 7. Cochliobolus lunatus JMbt7 Batang 68.8 a 8. Cochliobolus lunatus JMbt8 Batang 48.6 de 9. Cochliobolus lunatus JMbt9 Batang 1.4 o 10. Cochliobolus lunatus JMd13 Daun 50.9 cd 11. Fusarium solani JMa3 Akar 45.1 ef 12. Fusarium solani JMa5 Akar 55.6 bc 13. Fusarium solani JMd14 Daun 65.9 a 14. Fusarium solani JMa1 Akar 27.8 ij 15. Fusarium solani JMr3 Rimpang 24.1 ijk 16. Glomerella cingulata JMbt13 Batang 58.1 b 17. Glomerella cingulata JMd1 Daun 30.0 hi 18. Glomerella cingulata JMd3 Daun 35.2 gh 19. Glomerella cingulata JMd4 Daun 53.5 bcd 20. Glomerella cingulata JMd5 Daun 50.9 cd 21. Glomerella cingulata JMd12 Daun 58.3 b 22. Glomerella cingulata JMr2 Rimpang 65.1 a 23. Lecanicillium kalimantanense JMbt10 Batang 24.8 ijk 24. Miselia sterilia 2 JMr4 Rimpang 39.2 g 25. Miselia sterilia 4 JMd9 Daun 16.7 m 26. Myrothecium verrucaria JMbt2 Batang 40.4 fg 27. Periconia macrospinosa JMa2 Akar 54.6 bcd 28. Rhizopycnis vagum JMa4 Akar 10.0 n 29. Talaromyces assiutensis JMa7 Akar 26.3 ij 30. Talaromyces assiutensis JMbt3 Batang 18.1 lm Koefisien keragaman (%) 8.6 Nilai persentase penghambatan merupakan rata-rata dari 5 ulangan. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama tidak nyata secara DMRT (p<0.05).
58
Cendawan endofit asal organ jahe merah yang nyata mempunyai aktivitas penghambatan tinggi terhadap F. oxysporum adalah C. lunatus JMbt7 yang berasal dari batang, F. solani JMd14 yang berasal dari daun, dan G. cingulata JMr2 yang berasal dari rimpang. Cendawan endofit yang mempunyai kemampuan penghambatan yang rendah adalah R. vagum (JMa4) yang diperoleh dari akar. Keragaman cendawan endofit berdasarkan spesi kimia menggunakan FTIR. Sebanyak 17 cendawan endofitik asal tanaman jahe merah diidentifikasi keragamannya berdasarkan spesi kimia yang dihasilkan oleh setiap cendawan menggunakan spektrum FTIR. Cendawan tersebut adalah A. macroclavatum JMa6, A. macroclavatum JMr7, Beltraniella sp. JMr1, C. lunatus JMbt9, C. lunatus JMd13, G. cingulata JMbt13, G. cingulata JMd4, C. lunatus JMbt7, F. solani JMa5, F. solani JMd14, G. cingulata JMd5, G. cingulata JMd12, G. cingulata JMr2, F. solani JMr3, P. macrospinosa JMa2, R. vagum JMa4, dan satu isolat miselia sterilia 4 JMd9. Analisis PCA cendawan endofit dilakukan dengan menggunakan data spektrum asli dan data spektrum yang telah dikoreksi. Proses koreksi bertujuan mengurangi kesalahan akibat pergeseran garis dasar (baseline) dan untuk meningkatkan resolusi spektrum yang berimpitan. Proses ini terdiri dari koreksi garis dasar, normalisasi, derivatisasi, smooting dan proses ini dapat digunakan sendiri atau digunakan sekaligus. Hasil PCA untuk menganalisis komponen utama dinyatakan baik bila dengan jumlah komponen utama yang sedikit mampu menggambarkan total variasi yang besar. Pengelompokan cendawan endofit diasumsikan dapat dilakukan dengan baik menggunakan data spektrum asli yang kemudian dikoreksi garis dasar, normalisasi, derivatisasi, dan smoothing (Gambar 29 dan Tabel 13). Nilai persentase total variasi yang terwakili oleh PC pertama data asli cendawan endofit adalah 76%. Nilai persentase total variasi tertinggi hasil koreksi yang terwakili oleh PC 1 dan PC 2 adalah 89%. Tahapan koreksi yang dilakukan adalah koreksi garis dasar, normalisasi nilai rata-rata, derivatisasi (savitzky golay 1 poin), dan smoothing. Proses smoothing menggunakan moving average 7 poin, savitzky golay 7 poin, median filter 9 poin, dan gaussian filter 11 poin memberikan hasil total variasi terwakili PC 1 dan 2 yang sama yaitu 89%. Spektrum setelah dikoreksi menunjukkan respon spesi kimia yang lebih teratur. Secara umum, spektrum utama yang dihasilkan oleh beberapa cendawan endofit asal tanaman jahe merah tersebut berada pada daerah bilangan gelombang 3400, 2800, 2900, 1750, 1650, 1400-1300, dan 1300-900 cm-1. Pola hasil analisis PCA dengan menggunakan koreksi smooting moving average 7 poin, smoothing savitsky golay 7 poin, atau smoothing gaussian filter 11 poin menunjukkan pola yang sama dan pola PCA ketiga proses tersebut agak berbeda dengan pola PCA dari proses koreksi smoothing median filter 9 poin (Gambar 30). Demikian juga, pola hasil analisis kluster dengan menggunakan smoothing moving average 7 poin, savitzky golay 7 poin, median filter 9 poin adalah sama dan pola kluster ketiga proses smoothing tersebut berbeda dengan pola kluster dari smoothing menggunakan gaussian filter 11 poin (Gambar 31). Hasil analisis menggunakan PCA maupun analisis kluster terhadap data asli yang dikoreksi terdapat satu data pencilan yaitu JMbt7 ulangan 3.
59
Tabel 13 Hasil analisis komponen utama spektrum cendawan endofit asal tanaman jahe merah Kode spektrum Data asli (A) A + koreksi garis dasar (B) A + koreksi Normalisasi (N) A + koreksi Derivatisasi (D) A + koreksi smoothing (S) Koreksi N + D Koreksi N + S Koreksi D + S - Koreksi N + D + S moving average 7 poin - Koreksi N + D + S savitzky golay 7 poin - Koreksi N + D + S median filter 9 poin - Koreksi N + D + S Gaussian filter 11 poin
Jumlah komponen utama 10 10 10 10 10 10 10 10 10
Total variasi terwakili PC 1 dan 2 (%) 76 77 80 81 77 88 80 81 89
Ket: koreksi D menggunakan derivatisasi savitzky golay
A b s o r b a n s
A b s o r b a n s
Bilangan gelombang (cm-1)
Gambar 29 Spektrum inframerah data asli (atas) dan data asli yang dikoreksi (bawah) dari 17 cendawan endofit asal jahe merah. Proses koreksi terdiri atas koreksi garis dasar, normalisasi, derivatisasi, dan smoothing savitsky golay 7 poin.
60
A b s o r b a n s
A b s o r b a n s
A+B+N+D+S median filter 9 poin
A+B+N+D+S moving average 7 poin A+B+N+D+S Savitzky golay 7 poin A+B+N+D+S Gaussian filter 9 poin A+B+N+D+S moving average 7 poin A+B+N+D+S savitzky golay 7 poin A+B+N+D+S Gaussian filter 11 poin
Bilangan gelombang (cm-1)
Gambar 30 Hasil analisis komponen utama data FTIR 17 isolat cendawan endofit asal tanaman jahe merah menggunakan PCA
61
A+B+N+D+S moving average 7 poin A+B+N+D+S savitzky golay 7 poin A+B+N+D+S median filter 9 poin
Gambar 31 Hasil analisis komponen utama data FTIR 17 isolat cendawan endofit asal tanaman jahe merah menggunakan analisis kluster
62
A+B+N+D+S Gaussian filter 11 poin
Gambar 31 Hasil analisis komponen utama data FTIR 17 isolat cendawan endofit asal tanaman jahe merah menggunakan analisis kluster (lanjutan)
63
PEMBAHASAN
Keragaman Cendawan Endofit pada Organ Fungsional Beberapa Tanaman Obat
Cendawan endofit saat ini banyak dipelajari karena cendawan tersebut mempunyai potensi untuk menghasilkan berbagai senyawa bioaktif yang dapat digunakan dalam berbagai industri seperti pertanian. Untuk memperoleh cendawan endofit yang potensial, beberapa hal perlu diperhatikan seperti sumber cendawan endofit dan teknik isolasinya. Tanaman obat jati belanda, pegagan, dan temulawak telah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia dan digunakan secara empiris sebagai bahan obat. Bagian fungsional dari tanaman tersebut digunakan sebagai sumber cendawan endofit dan diperoleh hasil bahwa semuanya berasosiasi dengan berbagai cendawan endofit. Dalam mengisolasi cendawan endofit dari tanaman inang, perlu diperhatikan teknik sterilisasi permukaan yaitu dengan memotong bagian dalam organ tanaman dan dipotong menjadi potongan kecil agar cendawan epifit dari bagian luar organ tanaman tidak ikut diisolasi (Strobel 2003, Strobel dan Daisy 2003). Dalam proses sterilisasi tersebut, lamanya waktu pengeringan sampel di atas kertas saring steril perlu juga diperhatikan terutama pada organ tanaman yang mengeluarkan lendir. Cendawan endofit yang diperoleh selanjutnya diidentifikasi menggunakan beberapa cara, yang pertama adalah identifikasi konvensional yaitu dengan karakter morfologi. Identifikasi cendawan endofit secara morfologi didiskripsikan berdasarkan metode yang bergantung pada karakter kultur cendawan dalam media biakan (Hyde dan Soytong 2008). Identifikasi menggunakan karakteristik morfologi mempunyai kelemahan seperti pertumbuhan dan perkembangbiakan beberapa cendawan dipengaruhi oleh media pertumbuhan dan kondisi inkubasi. Isolat cendawan endofit hanya dapat diidentifikasi bila cendawan tersebut bersporulasi dalam media biakan. Cendawan yang tidak bersporulasi diidentifikasi sebagai miselia sterilia dan dikelompokkan ke dalam morfospesies. Cendawan endofit yang tergolong dalam kelompok miselia sterilia diperoleh sebanyak 9 isolat atau sekitar 32.1% dari jumlah isolat yang diperoleh dan dikelompokkan dalam kelompok morfospesies. Cannon dan Simmons (2002) melaporkan bahwa dengan identifikasi morfologi akan diperoleh miselia sterilia sekitar 4.5-54%. Identifikasi morfologi dipengaruhi objektifitas dalam pengamatan, bentuk dan spora dari cendawan endofit yang terkadang mirip satu dengan yang lain terutama dalam membedakan spesies dalam genus yang sama. Sejumlah cendawan endofit tetap tidak dapat bersporulasi dalam media pertumbuhan walau sudah ditumbuhkan dalam berbagai media pertumbuhan dan optimasi inkubasi pada berbagai kondisi dan dikelompokkan sebagai miselia sterilia (Kumaresan dan Suryanarayanan 2002). Berbagai cara dilakukan untuk merangsang cendawan endofit bersporulasi antara lain menggunakan berbagai jenis media tumbuh dan kondisi inkubasi (Frohlich, Hyde dan Petrini 2000). Optimasi media pertumbuhan dilakukan dengan menggunakan berbagai media pertumbuhan atau dengan menambahkan jaringan tanaman inang dalam media
64
sintetik (Taylor, Hyde, dan Jones 1999). Guo, Hyde, dan Liew (1998) melaporkan bahwa untuk menginduksi sporulasi, dapat dilakukan dengan menambahkan potongan atau ekstrak tanaman inang ke dalam media biakan. Penambahan daun palem steril di atas permukaan media padat, terjadi peningkatan sporulasi sebesar 48-59.5% pada isolat yang diisolasi dari Livistona chinensis. Selain itu, cendawan endofit yang diinokulasi dari tabung erlenmeyer yang diberi potongan petiola steril, lalu menginkubasi cendawan tersebut pada suhu ruang selama 3 bulan terjadi peningkatan sporulasi sampai 83.5% dan 16.5% sisanya tetap tidak dapat bersporulasi. Hal ini diduga bahwa cendawan tersebut memerlukan perlakuan induksi sporulasi yang belum diketahui atau telah kehilangan kemampuan bersporulasi. Miselia sterilia ini dipisahkan dalam kelompok berbeda yang disebut morfotipe berdasarkan kesamaan karakter kulturnya (Cannon dan Simmons 2002). Taksa morfotipe ini tidak menggambarkan spesies dan untuk identifikasi cendawan ke tingkat spesies diperlukan pendekatan identifikasi secara molekuler dan dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingankan sekuen dari wilayah ITS-5.8S rDNA. Identifikasi dengan cara menganalisis sekuen ITS rDNA merupakan analisis yang umum digunakan untuk mengidentifikasi cendawan sampai tingkat spesies, terutama bila cendawan tersebut tidak bersporulasi (Chen, Zhang, dan Lu 2008). Ditambahkan oleh Huang et al. (2009) bahwa identifikasi berdasarkan sekuen ITS dapat digunakan sebagai komplemen atau untuk verifikasi identifikasi morfologi terhadap cendawan endofit yang belum teridentifikasi berdasarkan karakter morfologi. Identifikasi molekuler berdasarkan ITS1-5.8S -ITS2 rDNA merupakan analisis molekuler yang membandingkan daerah sekuen ITS dan 5.8S rDNA. Gen 5.8S merupakan daerah sekuen yang conserve, sehingga wilayah ini digunakan untuk analisis filogeni untuk tingkat taksonomi yang lebih tinggi sedangkan wilayah ITS yang bervariabel digunakan untuk analisis taksonomi tingkat yang lebih rendah. Sebagian besar cendawan endofit dapat diidentifikasi ke tingkat spesies kecuali isolat JBd11 sehingga identifikasi yang digunakan ialah hasil identifikasi morfologi karena nilai E valuenya rendah. Isolat JBd11 diidentifikasi sebagai miselia sterilia 1. Selain itu, ada juga isolat berdasarkan karakter morfologi diidentifikasi sebagai cendawan endofit fase anamorf sedangkan identifikasi molekuler diperoleh cendawan endofit fase teleomorfnya. Isolat JBd8, JBd9, PMd3, dan TLr2 secara morfologi diidentifikasi sebagai genus Colletotrichum sedangkan identifikasi secara molekuler diperoleh cendawan teleomorfnya yaitu G. cingulata. Hal yang sama pada isolat JBd4, JBd6, dan JBd12 yang secara molekuler diidentifikasi sebagai D. phaseolorum yang merupakan teleomorf genus Phomopsis; isolat JMr3 sebagai N. punicea yang merupakan teleomorf dari genus Cylindrocarpon. Isolat JBd1 dan PLd6 diidentifikasi secara morfologi sebagai spesies yang sama yaitu Colletotrichum sp. tetapi secara molekuler terpisah menjadi dua spesies yaitu C. gloeosporioides untuk JBd1 dan C. higginsianum untuk PLd6. Hal yang sama terjadi pada isolat JBd3, PLd3, TLr1, TLr4, dan TLr5. Identifikasi secara molekuler terhadap kelima isolat tersebut menjadi 3 spesies yaitu A. versicolor/A. unguis untuk JBd3, A. sydowii untuk PLd3, dan A. tereus untuk TLr1, TLr4, dan TLr5.
65
Analisis molekular merupakan metode yang baik untuk mengidentifikasi cendawan yang belum dapat diidentifikasi dengan karakterisasi morfologi karena tidak bersporulasi sehingga dimasukkan dalam kelompok miselia sterilia. Isolat miselia sterilia 5 JBd7, miselia sterilia 7 JBd13, miselia sterilia 8 PMd2, miselia sterilia 9 TLr6, dan miselia sterilia 13 PLd2 dapat diidentifikasi berturut-turut sebagai L. theobromae, E. album, S. cucurbitacearum, P. cruenta, dan L. australis dengan persentase keserupaan berturut-turut 97.2, 97.2, 97.0, 96.3, dan 99.3% dengan sekuen yang tersedia dalam MycoBank. Selain itu, isolat miselia sterilia 10 PMd1, miselia sterilia 11 PMd4, dan miselia sterilia 12 PMd6 diidentifikasi menjadi spesies yang sama yaitu M. indicus dengan persentase keserupaan berturut-turut 97.1, 98.3, dan 99.7%. Ke tiga cendawan tersebut mempunyai penampilan koloni yang berbeda. Miselia sterilia lainnya yaitu isolat miselia sterilia 6 JBd11 asal daun jati belanda tidak dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan yang sama sehingga digunakan data identifikasi morfologi sebagai pengganti identifikasi molekuler karena nilai E value yang rendah. Pengggunaan identifikasi molekuler meningkatkan akurasi identifikasi cendawan karena metode tersebut tidak bergantung kepada karakter morfologi cendawan yang dipengaruhi oleh media dan kondisi pertumbuhan. Namun demikian, identifikasi molekuler masih memiliki kelemahan. Sebagai contoh, untuk cendawan endofit Colletotrichum, banyak nama spesies Colletotrichum yang tersimpan dalam GenBank salah dan sekitar 66 spesies yang sudah dikoreksi dengan baik. Selain itu, untuk cendawan endofit Phomopsis, karakter morfologi tidak sesuai dengan sistematika genus. Hal ini karena beberapa spesies Phomopsis mempunyai piknidia dengan dua tipe konidia dan spesies lainnya hanya menghasilkan satu tipe. Konsep spesies berdasarkan asosiasi inang sedangkan satu atau lebih spesies dapat menginokulasi lebih dari satu inang (Ko et al. 2011). Analisis molekular dapat mengindikasikan bahwa isolat yang mempunyai koloni yang berbeda tidak selalu berbeda spesies. Isolat TLr1, TLr4, dan TLr5 mempunyai karakteristik koloni yang berbeda tetapi berdasarkan data molekular, ketiga cendawan tersebut mempunyai keserupaan yang terdekat dengan spesies yang sama yaitu A. terreus. Hal yang sama juga ditemukan pada cendawan endofit G. cingulata JBd8 dan JBd9; F. solani PLd1 dan PLd7; D. phaseolorum JBd4, JBd6, dan JBd12 (Tabel 3). Umumnya cendawan endofit akan diidentifikasi dengan hasil yang lebih baik dan akurat dengan menggunakan kombinasi analisis morfologi dan molekuler. Hal ini karena cendawan endofit mempunyai jumlah yang banyak dan masih banyak dari sekuen cendawan tersebut yang belum terdata dalam GenBank. Genus cendawan yang mempunyai anggota spesies yang banyak seperti Aspergillus, Fusarium, dan Colletotrichum diperlukan beberapa primer untuk analisis lebih lanjut seperti primer untuk amplifikasi sekuen β-tubulin, kalmoulin, MAT1-2, GDPH, nuc SSU rDNA, nuc LSU rDNA, TEF1, dan RPB2. Dari semua spesies yang diperoleh, spesies C. gloeosporiodes dan teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan endofit yang banyak diperoleh dan ditemukan pada tiga dari empat tanaman yang diteliti, dan hidup pada bagian daun dan rimpang tanaman. Cendawan tersebut hidup pada rimpang temulawak, daun jati belanda dan pegagan malaysia. Spesies C. higginsianum diperoleh dari daun pegagan lokal. C. gloeosporioides ialah anamorf dari G. cingulata.
66
Genus Aspergillus diperoleh sebanyak tiga spesies yaitu A. versicolor, A. sydowii, dan A. Terreus dan ditemukan dari daun jati belanda, daun pegagan lokal, dan rimpang temulawak, tetapi ketiga tanaman inang tersebut berasosiasi dengan spesies yang berbeda. Genus Colletotrichumi diperoleh sebanyak dua spesies yaitu C. gloeosporioides dan C. higginsianum. Selain itu, diperoleh juga fase teleomorf dari C. gloeosporioides yaitu G. cingulata. Genus Curvularia, Diaporthe, Engyodontium, Fusarium, Lasiodiplodia, Leptosphaerulina, Mycoleptodiscus, Pseudocercospora, Stagonosporopsis, dan Talaromyces masing masing diperoleh sebanyak satu spesies yaitu C. affinis, D. phaseolorum, E. album, F. solani, L. theobromae, L. australis, M. indicus, P. cruenta, S. Cucurbitacearum, dan T. trachyspermus. Spesies Colletotrichum merupakan cendawan yang umum dijumpai berasosiasi dengan tumbuhan darat dan dilaporkan menginokulasi kira-kira 2.200 spesies tanaman inang. Selain sebagai patogen, cendawan Colletotrichum banyak dijumpai sebagai cendawan endofit (Lu et al. 2004; Morakotkarn, Kawasaki, dan Seki 2007; dan Osono 2008). Rakotonirianan et al. (2008) melaporkan bahwa Colletotrichum merupakan cendawan yang banyak dijumpai pada tanaman pegagan di Mangoro Madagaskar. Bussaban et al. (2001) melaporkan bahwa C. gloeosporoides dan teleomorfnya Glomerella spp., dan Phomopsis spp. merupakan endofit dominan pada jahe liar Amomum siamense. Chen et al. (2011) melaporkan bahwa Glomerella dan Colletotrichum adalah genus yang paling banyak diisolasi dari tanaman obat Huperzia serrata di China. Khan et al. (2010) menemukan bahwa Aspergillus alternata adalah endofit yang paling dominan pada tanaman obat Withania somnifera. Cendawan endofit genus Aspergillus ditemukan dari daun jati belanda, daun pegagan lokal, dan rimpang temulawak tetapi ketiga tanaman inang tersebut berasosiasi dengan spesies yang berbeda. Daun jati belanda, daun pegagan lokal, dan rimpang temulawak berasosiasi berturut-turut dengan spesies A. versicolor, A. sydowii, dan A. terreus. Hasil filogenetik menunjukkan hasil yang sama dengan yang diperoleh dari hasil BLAST, namun ada beberapa cendawan yang identitasnya menjadi lebih jelas. Misalnya, isolat JBd3 secara molekuler mempunyai persentase keserupaan 98.8% dengan spesies A. versicolor dan A. unguis sedangkan dari hasil analisis filogenetik isolat tersebut lebih dekat dengan ranting A. versicolor. Hasil BLAST isolat JBd9 menunjukkan kedekatan dengan G. cingulata dengan persentase keserupaan 96.9%. Dari hasil analisis pohon filogenetik terlihat bahwa isolat tersebut berada dalam satu ranting dengan isolat JBd1 dan kedua isolat tersebut berada dalam ranting dengan cendawan anamorfnya C. gloesporoides. Hasil BLAST isolat JMr3 mempunyai kedekatan dengan N. punicea dengan persentase keserupaan 89.0% tetapi hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa cendawan tersebut lebih dekat dengan genus Fusarium. Setiap tanaman yang diteliti ternyata bersimbiosis dengan beragam cendawan endofit dengan keragaman yang tinggi. Tanaman yang diteliti bersimbiosis dengan lebih dari satu jenis cendawan endofit dan di antara cendawan tersebut ada yang dijumpai pada semua tanaman yang diteliti tetapi ada juga yang ditemukan hanya pada satu tanaman saja. Tanaman yang sejenis tetapi berbeda varietas seperti pegagan malaysia dan pegagan lokal bersimbiosis dengan cendawan endofit yang berbeda. Pegagan malaysia mempunyai daun yang tebal, lebih lebar dan warnanya lebih hijau dibandingkan dengan pegagan lokal yang
67
berdaun tipis dan kecil. Pegagan lokal berasosiasi dengan A. sydowii, C. higginsianum, F. solani, dan L. australis sementara pegagan malaysia berasosiasi dengan G. cingulata, tiga strain M. indicus, dan S. cucurbitacearum. Ke dua jenis pegagan tersebut berasosiasi dengan cendawan endofit yang berbeda kecuali Colletotrichum. Rakotoniriana et al. (2008) mengisolasi cendawan endofit dari daun pegagan di Mangoro Madagaskar dan memperoleh cendawan C. higginsianum, Guignardia mangifera, G. cingulata, Phialophora sp., Leptosphaerulina sp., Penicillium sp., Phoma sp., Nodulisporium sp., Physalospora sp., Pestalotiopsia sp., Colletotrichum sp., Phomopsis sp., Curvularia sp., Cladosporium sp., dan beberapa cendawan yang tidak bersporulasi. Sama halnya dengan yang dilaporkan oleh Rakotoniriana et al. (2008), pada pegagan lokal diperoleh C. higginsianum dan L. australis sementara pada pegagan malaysia dijumpai spesies yang sama yaitu G. cingulata. Cendawan A. sydowii, F. solani, M. indicus, dan S. cucurbitacearum merupakan cendawan yang baru diperoleh pada daun pegagan yang tidak dilaporkan oleh Rakotoniriana et al. (2008). Hampir semua cendawan endofit yang diperoleh dalam penelitian ini termasuk dalam kelompok mitosporik dan filum Ascomycota. Hal ini sesuai dengan yang dilaporkan oleh Yuan et al. (2010) yang meneliti keragaman cendawan endofit pada akar tanaman padi menggunakan metode isolasi dan PCR yang dilakukan langsung dengan cara mengisolasi DNA dari akar tanaman. Rendahnya jumlah isolat yang diperoleh yang termasuk ke dalam filum Basidiomycota karena metode isolasi menggunakan medium PDA dibandingkan dengan metode berdasarkan environmental-PCR. Keragaman dan jumlah isolat yang diperoleh dengan menggunakan metode berdasarkan environmental-PCR nyata lebih besar karena metode tersebut dapat mendeterminasi cendawan endofit yang hidup dalam inang baik yang dapat ditumbuhkan maupun yang tidak dapat ditumbuhkan dalam media biakan. Cendawan endofit yang telah diidentifikasi secara molekuler diidentifikasi lebih lanjut dengan mengukur kemampuan setiap cendawan dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum. Biasanya masyarakat menggunakan bagian atau organ tertentu sebagai bahan obat untuk menjaga kesehatan. Bagian tersebut diyakini secara empiris mempunyai senyawa bioaktif dengan konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan organ lainnya. Tanaman obat jati belanda dan pegagan biasanya digunakan bagian daun sedangkan temulawak digunakan bagian rimpang. Semua bahan obat tersebut ternyata berasosiasi dengan lebih dari satu cendawan endofit dan dengan beragam cendawan endofit pula. Cendawan endofit yang hidup dalam bahan obat tersebut ternyata mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan yang beragam terhadap cendawan patogen pada tanaman F. oxysporum mulai dari yang tinggi sampai rendah. Hal ini berarti masing-masing cendawan mempunyai peran tersendiri dalam membantu inang dari serangan penyakit dan cendawan yang hidup pada organ fungsional tersebut tidak semuanya mempunyai aktivitas yang tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini dilanjutkan dengan mencari informasi keragaman kemampuan cendawan endofit sebagai pengendali hayati F. oxysporum tidak hanya yang berasal dari organ fungsional tetapi dari seluruh tanaman baik yang fungsional maupun yang non-fungsional dan yang digunakan sebagai model adalah tanaman jahe merah.
68
Keragaman Cendawan Endofit pada Tanaman Model: Jahe Merah
Jumlah cendawan endofit yang diperoleh dari tanaman jahe merah dalam penelitian ini masih sangat terbatas karena menggunakan metode isolasi pada media PDA. Diperkirakan masih banyak cendawan endofit simbion obligat yang tidak dapat ditumbuhkan dalam media biakan sehingga tidak dapat diisolasi menggunakan metode isolasi konvensional. Beberapa cendawan endofit yang diperoleh dari tanaman jahe merah dalam penelitian ini seperti Acremonium, Curvularia, F. solani, G. cingulata, dan Talaromyces telah dilaporkan sebagai cendawan endofit pada tanaman pertanian seperti Zea mays, Theobroma cacao, dan Theobroma grandiflorum (Banerjee 2011). Namun demikian, belum ada laporan tentang spesies Beltraniella sp. dan L. kalimantanense yang diperoleh dalam penelitian ini sebagai cendawan endofit khususnya dalam Zingiberaceae (Bussaban et al. 2001). Sementara itu, Bussaban et al. (2003) memperoleh tiga spesies Pyricularia yang baru dari jahe liar Amomum siamense dan Alpinia malaccensis di Taman Nasional Doi Suthep-Pui, Chiang Mai, Thailand yaitu P. kookicola, P. longispora, dan P. variabilis. Cendawan endofit yang diperoleh dari organ non-fungsional yaitu batang, daun, dan akar terdiri atas genus Acremonium, Curvularia, Cylindrocarpon, Fusarium, Glomerella dan fase anamorfnya Colletotrichum, Lecanicillium, Periconia, dan Talaromyces sedangkan dari organ fungsional diperoleh cendawan dengan genus yang ada dalam organ nonfungsional kecuali genus Beltraniella. Analisis molekular merupakan metode yang baik untuk mengidentifikasi cendawan yang belum dapat diidentifikasi dengan karakterisiasi morfologi. Isolat miselia sterilia 1 JMa4 yang diperoleh dari akar dapat diidentifikasi sebagai R. vagum dengan persentase keserupaan 99.4% dengan sekuen yang tersedia dalam MycoBank. Analisis molekuler dapat mengatasi permasalahan miselia sterilia. Namun demikian, miselia sterilia JMd9 asal daun tidak dapat diidentifikasi menggunakan pendekatan yang sama sehingga digunakan data identifikasi morfologi sebagai pengganti identifikasi molekuler karena nilai E value yang rendah. Dari hasil identifikasi molekuler terlihat ada beberapa perbedaan antara hasil identifikasi morfologi dengan hasil identifikasi molekuler dimana karakterisasi morfologi diperoleh cendawan endofit fase anamorf sedangkan identifikasi molekuler diperoleh cendawan endofit fase teleomorfnya. Hal ini terlihat dari isolat JMd5 dan JMd12 yang diidentifikasi sebagai Colletotrichum dan nama tersebut merupakan anamorf dari G. cingulata. Hal yang sama pada isolat JMbt4, JMbt9, JMd13 sebagai Curvularia yang merupakan fase anamorf dari C. geniculatus; isolat JMa1 sebagai Cylindrocarpon yang merupakan anamorf dari N. punicea (Tabel 8 dan 9). Analisis molekular mengindikasikan bahwa isolat yang mempunyai koloni yang berbeda tidak selalu berbeda spesies. Acremonium sp. 1 JMa6, Acremonium sp. 2 JMa8, Acremonium sp. 3 JMr5 dan Acremonium sp. 4 JMr7 berbeda secara karakteristik morfologi tetapi berdasarkan data sekuen DNA, ke empat cendawan tersebut merupakan spesies yang sama yaitu A. macroclavatum. Hal yang sama
69
dengan morfotipe Colletotrichum, Fusarium, Curvularia dan Talaromyces (Tabel 9). Semua organ tanaman jahe merah dihuni oleh berbagai cendawan endofit. Beberapa cendawan endofit tersebut menempati satu atau paling banyak tiga organ tanaman jahe merah. Cendawan A. macroclavatum hanya hidup pada akar dan rimpang; C. gloeosporiodes pada daun dan batang sedangkan fase teleomorfnya G. cingulata pada daun dan rimpang; C. gloeosporiodes pada daun dan batang sedangkan fase teleomorfnya G. cingulata pada daun dan rimpang;C. geniculatus dari batang dan daun sedangkan fase anamorfnya C. affinis dari batang; F. solani pada akar dan daun; N. punicea pada akar dan rimpang; dan T. assiutensis pada akar dan batang. Cendawan endofit R. vagum dan P. macrospinosa merupakan cendawan yang spesifik pada akar sedangkan C. affinis, L. kalimantanese dan M. verrucaria hanya diperoleh dari batang; dan Beltraniella sp. hanya di rimpang tanaman jahe merah. Bila tanaman inang dibagi menjadi bagian perakaran (dalam tanah) dan tajuk (atas tanah), terlihat bahwa ada perbedaan cendawan endofit yang mendiami daerah tersebut. Cendawan endofit yang ditemukan di tajuk adalah C. affinis dan fase teleomorfnya C. geniculatus sedangkan A. macroclavatum dan N. punicea ditemukan pada perakaran tanaman jahe merah. Cendawan C. gloeosporiodes merupakan cendawan endofit yang banyak ditemukan dan diperoleh dari batang dan daun sedangkan G. cingulata, teleomorf dari C. gloeosporoides ditemukan pada rimpang dan daun tanaman jahe merah (Tabel 10). Data BLAST kemudian dianalisis lanjut menggunakan program Mega5 dan diperoleh hampir semua hasil filogenetik menunjukkan hasil yang sama dengan yang diperoleh dari hasil BLAST. Ada beberapa cendawan yang identifikasinya berbeda, analisis BLAST menghasilkan identifikasi cendawan anamorf sedangkan pohon filogenetik mengidentifikasi sebagai cendawan teleomorfnya. Isolat JMbt7 dan JMbt8 diidentifikasi dengan BLAST sebagai C. affinis sedangkan analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa kedua cendawan tersebut lebih dekat dengan cendawan Cochliobolus lunatus (Gambar 28 dan Tabel 9). Cendawan tersebut sebenarnya mempunyai hubungan sebagai anamorf dan teleomorf. Selain itu, isolat cendawan endofit JMa1 yang secara morfologi diidentifikasi sebagai Cylindrocarpon sp. dan analisis BLAST menunjukkan bahwa cendawan tersebut mempunyai persentase keserupaan dengan teleomorfnya N. punicea tetapi dari pohon filogenetik cendawan tersebut berada dalam satu ranting dengan F. solani. Cylindrocarpon mempunyai karakter yang mirip dengan Fusarium dimana konidia Cylindrocarpon terdiri dari 2-4 sel, berbentuk silindris, hialin sementara makrokonidia Fusarium terdiri dari beberapa sel, berbentuk kurva, dan hialin. Demikian juga dengan isolat JMd1, JMd4, dan JMbt13 yang secara molekuler diidentifikasi sebagai C. gloeosporioides sedangkan analisis pohon filogenetik menunjukkan bahwa ketiga cendawan tersebut berada dalam satu ranting dengan G. cingulata. Untuk cendawan genus Fusarium yang mempunyai anggota yang banyak diperlukan identifikasi lebih lanjut menggunakan beberapa primer spesifik agar diperoleh identifikasi yang lebih akurat. Primer ITS digunakan untuk mengidentifikasi cendawan secara umum. Untuk mendapatkan identifikasi cendawan yang lebih akurat sebaiknya digunakan berbagai primer dan daerah sekuen.
70
Cendawan endofit yang telah diidentifikasi secara molekuler diidentifikasi lebih lanjut dengan mengukur kemampuan setiap cendawan dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum dan untuk membandingkan kemampuan cendawan yang berasal dari organ fungsional dan non-fungsional. Sebelum dilakukan uji kemampuan cendawan endofit menghambat pertumbuhan cendawan patogen, terlebih dahulu dilakukan uji hipersensivitas cendawan endofit pada daun tembakau dan diperoleh bahwa cendawan yang diisolasi dari tanaman jahe merah tidak menunjukkan gejala patogen. Hal ini mengindikasikan bahwa cendawan yang diperoleh tersebut adalah cendawan endofit (Tabel 11). Selanjutnya, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanaman jahe merah dihuni oleh beragam cendawan endofit pada semua bagian tanaman termasuk organ fungsional yang biasa digunakan sebagai bahan obat tradisional. Selain itu, cendawan endofit merupakan sumber potensial sebagai sumber senyawa antifungi terutama yang mengendalikan cendawan patogen F. oxysporum. Berdasarkan analisis statistik, nilai penghambatan cendawan endofit terhadap cendawan patogen F. oxysporum dapat dibagi menjadi kemampuan penghambatan rendah, sedang, dan tinggi. Aktivitas penghambatan ‘tinggi’ yaitu yang mempunyai persentase penghambatan lebih besar atau sama dengan 65%, ‘sedang’ yang mempunyai persentase penghambatan lebih dari 10% sampai kurang dari 65%, dan ‘rendah’ untuk cendawan yang mempunyai persentase penghambatan kurang atau sama dengan 10% (Tabel 12). Kemampuan penghambatan cendawan endofit terhadap cendawan patogen F. oxysporum tidak dipengaruhi organ tanaman di mana cendawan endofit tersebut diisolasi. Tidak ada indikasi bahwa cendawan endofit yang mempunyai kemampuan penghambatan yang tinggi hidup pada bagian atau organ tertentu dari tanaman seperti organ fungsional saja. Cendawan endofit yang mempunyai kategori aktivitas tinggi, sedang, dan rendah terhadap cendawan patogen F. oxysporum berada tersebar pada semua organ tanaman jahe merah. Selain itu, tidak ada kecenderungan bahwa aktivitas antagonistik dari spesies yang sama berbeda sehubungan dengan perbedaan organ tanaman tempat cendawan tersebut berasal, kecuali cendawan A. macroclavatum (Tabel 12). Dua cendawan C. affinis yang diperoleh dari batang mempunyai nilai persentase penghambatan yang berbeda. Hal yang sama juga terjadi pada tiga cendawan F. solani yang diperoleh dari akar dan daun, dan T. assiutensis yang berasal dari akar dan batang. Hasil ini mengindikasikan bahwa semua organ tanaman jahe merah memiliki beragam cendawan endofit dan kemampuan cendawan endofit tersebut dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen juga beragam. Masyarakat biasanya menggunakan rimpang tanaman jahe merah sebagai bahan obat tradisional Indonesia tetapi hasil menunjukkan bahwa cendawan endofit yang mempunyai kemampuan penghambatan tidak hanya diperoleh dari bagian rimpang saja, melainkan diperoleh juga dari organ lainnya. Hal ini berarti cendawan endofit tidak hanya menempati bagian rimpang jahe merah dengan kemampuan aktivitas penghambatan yang tinggi tetapi juga bagian organ nonfungsional lainnya juga dihuni cendawan endofit dengan kemampuan penghambatan yang tinggi. Oleh karena itu, untuk studi cendawan endofit dari tanaman obat dan untuk tujuan mendapatkan senyawa bioaktif terbarukan sebaiknya jangan hanya memilih bagian organ tanaman yang biasa digunakan
71
sebagai bahan obat yang disebut sebagai organ fungsional tetapi dipelajari dari keseluruhan tanaman obat tersebut. Fungsi cendawan endofit yang hidup bersimbiosis di dalam tanaman inang adalah untuk melindungi tanaman inang dari serangan cendawan patogen baik melalui mekanisme langsung maupun tidak langsung. Mekanisme pengendalian secara langsung adalah melalui interaksi langsung antara cendawan endofit dan cendawan patogen yaitu dengan menempati relung ekologi. Mekanisme pengendalian secara tidak langsung dilakukan dengan meningkatkan ketahanan tanaman inang. Dalam mekanisme secara langsung, cendawan endofit menghasilkan senyawa antibiotik dan enzim lisis yang akan menekan pertumbuhan bahkan membunuh cendawan patogen. Beberapa cendawan endofit yang dapat dikulturkan dalam media sintetik menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang sangat kuat menekan pertumbuhan cendawan patogen (Gunatilaka 2006). Cendawan endofit yang berasal dari tanaman jahe merah yang mempunyai kemampuan antagonis yang tinggi terhadap cendawan patogen F. oxysporum adalah C. lunatus JMbt7, F. solani JMd14 dan G. cingulata JMr2 dengan persentase penghambatan berturut-turut 68.8%, 65.9%, 65.1% (Tabel 10) sementara cendawan endofit asal organ fungsional tanaman jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak yang mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan tinggi adalah cendawan endofit T. trachyspermus JBd10 dan C. affinis JBd14 yaitu masing-masing 78.9% dan 60% (Tabel 6). Ding et al. (2010) melaporkan bahwa cendawan endofit strains XSY15 yang diisolasi dari Camptotheca acuminata mempunyai aktivitas penghambatan terhadap Fusarium oxysporum f. sp. vasinfectum 67%. Cendawan tersebut merupakan cendawan potensial yang dapat digunakan sebagai agen pengendali hayati terhadap tanaman obat. Sebagai pengendali hayati, cendawan menghasilkan sejumlah toksin antara lain asam amino dan turunannya, senyawa aromatik dan fenol, serta terpen. Toksin asam amino dan turunannya antara lain triptopan, alanin, fenilalanin, serin, leusin yang berfungsi sebagai mikotoksin; asam aspartat yang berfungsi sebagai fitopatogen; sistein dan valin yang berfungsi sebagai antibiotik. Toksin siklus peptida antara lain pentoksin yang berfungsi sebagai fitopatogen; toksin malformin A yang berfungsi sebagai mikotoksin dan fitopatogen. Toksin aromatik dan fenol antara lain aflatoksin, zearalenon, sitokalasin, griseofulvin, ergokroma, serkosporin, martisin, xantosolin, koumarin yang berfungsi sebagai mikotoksin, antibiotik, dan fitopatogen. Toksin terpenoid antara lain trikotekena, asam fusida, sepalosporin P, asam helvolat, sesterpen, fusikosin, dan opiobolin yang berfungsi sebagai mikotoksin, fitopatogen, dan antibiotik (Griffin 1993). Sumber agen hayatinya dapat berupa organisme itu sendiri atau ekstrak cendawan. Penggunaan organisme cendawan endofit sebagai agen pengendali hayati dapat dilakukan dengan menginokulasi cendawan langsung ke dalam tanaman inang. Namun demikian, penggunaan organisme cendawan endofit sebagai agen pengendali hayati mempunyai beberapa kelemahan antara lain kondisi lingkungan yang harus dijaga agar cendawan tersebut tetap hidup dengan baik sampai cendawan tersebut diinokulasi ke tanaman inang. Untuk tujuan tersebut, proses yang dilakukan bagi cendawan endofit antara lain perbanyakan, formulasi, pengemasan, transportasi, dan inokulasi. Proses tersebut memerlukan
72
waktu. Selain itu, dalam proses transportasi cendawan endofit berhadapan dengan suhu dan kondisi lingkungan yang kadang menyebabkan menurunnya kemampuan cendawan atau terjadinya kontaminasi dengan organisme lainnya. Untuk mengatasi masalah tersebut, penggunaan cendawan endofit sebagai pengendali hayati dapat dilakukan dengan menggunakan ekstrak cendawan. Penggunaan ekstrak cendawan endofit sebagai bahan pengendali hayati lebih tahan terhadap kondisi lingkungan tetapi memerlukan biaya dalam hal perbanyakan dan ekstraksinya. Untuk tujuan tersebut, perlu dicari sumber karbon yang murah dan melimpah seperti molase. Cendawan C. gloeosporioides dan teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan endofit yang paling banyak ditemukan dan cendawan ini mempunyai kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan pertumbuhan cendawan patogen tanaman, F. oxysporum. Gong dan Guo (2009) melaporkan bahwa Fusarium spp. merupakan genus yang dominan dalam tanaman obat Dracaena cambodiana dan Aquilaria sinensis di China dan cendawan ini menunjukkan potensi aktivitas antimikrob. Kishore et al. (2007) menambahkan bahwa ekstrak kasar cendawan G. cingulata berpotensi memiliki kemampuan aktivitas dalam mengendalikan pertumbuhan Rhizopus oryzae, Chrysoporium tropicum, dan Beauveria bassiana tetapi tidak mempunyai kemampuan antifungi terhadap Alternaria tenuissima dan Aspergillus niger. Keragaman cendawan endofit dapat juga dilihat dari spesi kimia yang dihasilkan oleh masing-masing cendawan menggunakan FTIR (Santos et al. 2009). Stchur et al. (2002) menyatakan bahwa spektrum infra merah kaya akan informasi struktur molekul yang terdiri atas gerak rotasi dan vibrasi. Banyaknya gerakan molekular dari molekul poliatom akan membentuk serangkaian pita serapan yang khas untuk setiap molekul. Hal ini membuat spektroskopi IR menjadi metode analisis kualitatif. Spektroskopi IR sulit digunakan sebagai analisis kuantitatif karena spektrum serapan dari molekul-molekul dalam sampel seringkali tumpang tindih. Untuk mengekstraksi informasi data spektrum IR yang rumit tersebut, diperlukan metode analisis multivariat. Analisis multivariat mengurangi data berukuran besar yang diperoleh dari instrumen seperti spektrofotometer (Miller dan Miller 2005). Spektrofotometer merupakan pengukuran spektrum berdasarkan penyerapan panjang gelombang infra merah. Spektrofotometer IR bisa digunakan untuk analisis kuantitatif, namun biasanya lebih kepada analisis kualitatif. Umumnya spektrofotometer IR digunakan untuk mengidentifikasi gugus fungsi pada suatu senyawa, terutama senyawa organik. Setiap serapan pada panjang gelombang tertentu menggambarkan adanya suatu gugus fungsi spesifik. Yang menjadi parameter kualitatif pada spektrofotometer IR adalah bilangan gelombang yang muncul akibat adanya serapan oleh gugus fungsi yang khas dari suatu senyawa. Spektrum FTIR yang merupakan spektrum multidimensi yang mengandung informasi kuantitatif ditambah dengan teknik ekstraksi pola spektrum (teknik kemometrik) dapat menggambarkan ciri khas suatu spesies. Teknik kemometrik digunakan untuk mengenali pola spektrum tanpa terlebih dahulu mengelompokkan spektrum dikenal sebagai teknik pengenalan pola tak terawasi salah satunya menggunakan analisis PCA. Analisis PCA mereduksi jumlah peubah yang dimiliki oleh spektrum menjadi beberapa peubah utama untuk menentukan perbedaan informasi tersebut. Prinsip PCA adalah mencari
73
komponen utama yang merupakan kombinasi linear dari peubah asli. Komponenkomponen utama ini dipilih sedemikian rupa sehingga komponen utama pertama memiliki variasi terbesar dalam set data sedangkan komponen utama kedua tegak lurus terhadap komponen utama pertama dan memiliki variasi terbesar berikutnya. Kedua komponen utama pertama ini pada umumnya digunakan sebagai bidang proyeksi untuk pemeriksaan visual data multivariat. Jika jumlah varians dari komponen utama satu (PC1) dan dua (PC2) lebih besar dari 70%, maka skor plot memperlihatkan visualisasi dua dimensi yang baik. Proses reduksi ini menyebabkan cendawan endofit yang diuji dalam penelitian ini terkelompokkan. Pengelompokan ini berdasarkan korelasi informasi peubah yang dimiliki oleh setiap cendawan endofit yang ditentukan oleh analisis PCA. Dari hasil koreksi menggunakan koreksi garis dasar, normalisasi, derivatisasi, dan smoothing diperoleh nilai total variasi terwakili PC 1 dan 2 tertinggi 89%. Nilai persentase hasil koreksi tersebut lebih besar dari data aslinya yaitu 76%. Meskipun telah dilakukan berbagai proses koreksi, masih ada satu data pencilan yaitu isolat JMbt7. Isolat JMbt7 yang berasal dari batang jahe merah secara morfologi dan molekuler diidentifikasi sebagai C. affinis dan termasuk cendawan memiliki kemampuan penghambatan yang tertinggi. Pola spektrum infra merah yang dihasilkan oleh cendawan endofit menggambarkan spektrum sidik jari hasil serapan vibrasi penyusun sel cendawan seperti protein, lemak, karbohidrat, dan beragam metabolit sekunder. Secara umum terlihat bahwa pola serapan yang dihasilkan oleh semua cendawan endofit hampir sama tetapi sebenarnya setiap cendawan endofit menghasilkan nilai kuantitatif serapan yang spesifik yang berbeda antara satu cendawan dan cendawan lainnya. Spektrum cendawan endofit memiliki perbedaan informasi kuantitatif. Intensitas dan sifat serapan konstituen pada daerah sidik jari setiap cendawan berbeda tetapi perbedaannya sangat tipis dan halus bahkan ada yang berhimpitan sehingga sulit untuk dibedakan. Untuk mengatasi masalah tersebut, digunakan teknik kemometrik. Spektrum utama yang dihasilkan oleh cendawan endofit yang diteliti berada pada daerah bilangan gelombang 3400, 2900, 2800, 1750, 1650, 1400-1300, dan 1300-900 cm-1. Serapan gugus hidroksi (OH) dalam komponen kimia penyusun sel terjadi pada daerah bilangan gelombang sekitar 3400 cm-1. Spektrum yang terjadi pada daerah bilangan gelombang 2800-3000 cm-1 disebabkan oleh vibrasi tarik –CH3, >CH2, dan ≡ = CH dari gugus fungsi yang biasanya ada dalam komponen asam lemak dan berbagai membran ampifilik. Spektrum yang terjadi di daerah bilangan gelombang 1800-1500 cm-1 (daerah amida) menggambarkan keberadaan protein dan peptida. Spektrum yang terbentuk di daerah bilangan gelombang 1500-1300 cm-1 (daerah campuran) menggambarkan keberadaan protein dan asam lemak. Spektrum yang terbentuk di daerah bilangan gelombang 1300-900 cm-1 (daerah fosfat dan polisakarida) menggambarkan keberadaan senyawa yang mengandung fosfat dan karbohidrat yang ada dalam dinding sel (Naumann 1998). Spektrum FTIR yang merupakan spektrum multidimensi yang mengandung informasi kuantitatif ditambah dengan teknik ekstraksi pola spektrum (teknik kemometrik) dapat menggambarkan ciri khas suatu spesies. Teknik kemometrik digunakan untuk mengenali pola spektrum tanpa terlebih dahulu mengelompokkan spektrum dikenal sebagai teknik pengenalan pola tak terawasi
74
salah satunya menggunakan analisis PCA. Analisis PCA mereduksi jumlah peubah yang dimiliki oleh spektrum menjadi beberapa peubah utama untuk menentukan perbedaan informasi tersebut. Proses reduksi ini menyebabkan cendawan endofit yang diuji dalam penelitian ini terkelompokkan. Pengelompokan ini berdasarkan korelasi informasi peubah yang dimiliki oleh setiap cendawan endofit yang ditentukan oleh analisis PCA. Dari hasil analisis kluster terlihat bahwa metabolit yang dihasilkan oleh cendawan endofit yang diuji terbagi dalam dua kluster besar. Kluster pertama terdiri dari dua belas cendawan endofit yang berasal dari akar, batang, daun dan rimpang jahe merah yaitu cendawan P. macrospinosa JMa2, R. vagum JMa4, F. solani JMa5, A. macroclavatum JMa6, Beltraniella sp. JMr1, F. solani JMr3, A. macroclavatum JMr7, C. lunatus JMbt9, G. cingulata JMd12, C. lunatus JMd13, F. solani JMd14, dan cendawan miselia sterilia 4 JMd9. Kluster kedua terdiri dari lima cendawan endofit yang berasal dari batang, daun dan rimpang jahe merah yaitu C. lunatus JMbt7, G. cingulata JMbt13, G. cingulata JMd4, G. cingulata JMd5, dan G. cingulata JMr2 (Gambar 30 dan 31). Dari cendawan yang diperoleh beberapa cendawan endofit telah dilaporkan mempunyai kandungan bioaktif yang penting seperti F. solani, Periconia sp,
Acremonium sp. Cendawan F. solani yang diisolasi dari inang Taxus celebica (Chakravarthi et al. 2008) dan Taxus chinensis (Deng et al. 2009), serta Periconia sp. yang diisolasi dari Torreya grandifoliya (Li et al. 1998) menghasilkan senyawa bioaktif paclitaxel. F. solani yang diperoleh dari Camptotheca acuminate (Kusari, Zühlke, dan Spiteller 2009) dan dari Apodytes dimidiate (Shweta et al. 2010) menghasilkan senyawa camptothecin. Acremonium sp yang diisolasi dari Huperzia serrata menghasilkan Huperzine A (Li et al. 2007). Metabolit sekunder dapat digunakan dalam taksonomi, tetapi penggunaan metabolit sekunder tersebut merupakan spesifik strain. Metabolit sekunder yang dihasilkan oleh suatu kultur sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan hal ini tidak bisa dibedakan dengan data genetik molekular (Frisvad, Thrane, dan Filtenborg 1998). Dalam penelitian ini, keragaman spesi kimia menggunakan FTIR dan keragaman kemampuan penghambatan cendawan endofit mendukung hasil identifikasi filogenetik sehingga diperoleh identifikasi sampai tingkat strain. Cendawan endofit dengan spesies yang sama berkemungkinan sebagai strain yang sama atau strain yang berbeda yang tersebar pada organ yang berbeda pada tanaman jahe merah. Contoh cendawan endofit dengan spesies yang sama tetapi berbeda strain yang tersebar pada organ yang berbeda dari tanaman jahe merah adalah isolat JMa5 dan JMd14. Berdasarkan karakterisasi morfologi, kedua isolat tersebut diidentifikasi sebagai genus Fusarium. Identifikasi selanjutnya menggunakan teknik molekuler, kedua isolat tersebut diidentifikasi sebagai Fusarium solani dengan persentase kesamaan berturut-turut adalah 98.6 dan 97.9%. Berdasarkan persentase kesamaan dengan sekuen GenBank, kedua isolat tersebut kemungkinan besar adalah F. solani karena persentase kesamaannya ≥98%. Hal ini juga didukung oleh hasil analisis keragaman filogenetik bahwa keduanya berkerabat dekat dengan F. solani. Selanjutnya cendawan tersebut diidentifikasi kemampuan daya penghambatannya terhadap cendawan patogen F. oxysporum dan terlihat bahwa kemampuan kedua cendawan tersebut secara statistik nyata berbeda satu dengan yang lain dengan nilai persentase penghambatan berturut-turut 55.6 dan 65.9%. Hasil ini didukung oleh hasil identifikasi spesi kimia menggunakan FTIR
75
bahwa antara cendawan F. solani JMa5 dengan JMd14 berada dalam ranting yang berbeda yang mengindikasikan bahwa cendawan endofit JMa5 dengan JMd14 merupakan spesies F. solani tetapi berbeda strain yang tersebar pada akar dan daun jahe merah. Hal yang sama pada isolat JMbt7, JMbt9 dan JMd13, berdasarkan karakter morfologi diidentifikasi sebagai genus Curvularia dan secara molekuler isolat JMbt7 diidentifikasi sebagai C. affinis sementara isolat JMbt9 dan JMd13 sebagai C. geniculatus yang merupakan fase teleomorf dari C. affinis dengan persentase kesamaan berturut-turut adalah 99.7, 99.6% dan 99.5%. Berdasarkan kekerabatan dari pohon filogenetik, ketiga cendawan endofit tersebut merupakan spesies yang sama yaitu C. lunatus. Dilihat dari kemampuan penghambatan ketiga cendawan endofit tersebut terhadap cendawan patogen F. oxysporum adalah C. lunatus JMbt7 nyata lebih tinggi dari kedua cendawan endofit lainnya sementara cendawan C. lunatus JMd13 nyata lebih tinggi dibanding C. lunatus JMbt9. Hasil identifikasi spesi kimia menggunakan FTIR menunjukkan bahwa ketiga cendawan tersebut berada dalam ranting yang berbeda yang mengindikasikan bahwa ketiga cendawan endofit JMbt7, JMbt9, dan JMd13 merupakan spesies C. lunatus tetapi berbeda strain yang tersebar pada organ batang dan daun tanaman jahe merah. Contoh cendawan dengan spesies dan strain yang sama yang tersebar pada organ berbeda dari tanaman jahe merah adalah isolat JMa6 dan JMr7. Kedua cendawan tersebut secara morfologi diidentifikasi sebagai genus Acremonium dan secara molekuler diidentifikasi sebagai spesies yang sama yaitu A. macroclavatum dengan persentase kesamaan berturut-turut adalah 95.0% dan 95.9%. Kemampuan kedua cendawan endofit tersebut sebagai pengendali hayati secara in vitro terhadap patogen F. oxysporum cenderung sama dan hal ini didukung oleh data spesi kimia spektrum infra merah yang menunjukkan bahwa kedua cendawan tersebut berada dalam satu ranting. Hal ini mengindikasikan bahwa cendawan endofit A. macroclavatum JMa6 dan A. macroclavatum JMr7 merupakan cendawan endofit dengan spesies dan strain yang sama. Isolat JMr2, JMbt13, JMd4, JMd5 dan JMd12 diidentifikasi berdasarkan karakter morfologi sebagai genus Colletotrichum. Identifikasi molekuler menunjukkan bahwa JMbt13 dan JMd4 sebagai C. gloeosporioides sementara JMd5, JMd12, dan JMr2 sebagai fase teleomorfnya yaitu G. cingulata dengan persentase kesamaan dengan database Mycobank berturut-turut adalah 100%, 99.3%, 98.1%, 99.8%, dan 98%. Analisis kekerabatan menggunakan pohon filogenetik menunjukkan bahwa kelima cendawan endofit tersebut sekerabat dengan cendawan G. cingulata. Kemampuan kelima cendawan endofit tersebut dalam menghambat pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum terlihat beragam. G. cingulata JMr2 mempunyai kemampuan yang nyata lebih tinggi dibanding keempat cendawan lainnya dan dari karakter spesi kimia juga berada pada ranting yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa cendawan G. cingulata JMr2 berbeda strain dengan G. cingulata JMbt13, JMd4, JMd5 dan JMd12. Cendawan endofit G. cingulata JMd4 mempunyai kemampuan penghambatan terhadap cendawan patogen F. oxysporum cenderung sama dengan cendawan G. cingulata JMbt13 yaitu 53.5% dan 58.1% dan karakter spesi kimia kedua cendawan tersebut yang dianalisis menggunakan FTIR juga menunjukkan kedua cendawan tersebut berada dalam satu ranting. Sementara itu, cendawan G. cingulata JMd4 mempunyai kemampuan penghambatan terhadap cendawan
76
patogen F. oxysporum yang berbeda nyata dibanding dengan cendawan G. cingulata JMd5 dan cenderung berbeda dengan cendawan G. cingulata JMd12. Hal ini didukung oleh data karakter spesi kimia menggunakan FTIR yang menunjukkan bahwa cendawan G. cingulata JMd4, JMd5, dan JMd12 berda dalam ranting yang berbeda. Data karakter spesi kimia dan data keragaman antagonis cendawan endofit mendukung hasil keragaman filogenetik yang mengindikasikan bahwa G. cingulata JMd4 merupakan spesies yang sama dengan cendawan G. cingulata JMd4 dan G. cingulata JMd12 tetapi ketiganya merupakan strain yang berbeda sebaliknya merupakan spesies dan strain yang sama dengan G. cingulata JMbt13. Dengan demikian, identifikasi berdasarkan karakter spesi kimia menggunakan FTIR dan identifikasi kemampuan antagonis cendawan endofit terhadap cendawan patogen F. oxysporum dapat mendukung identifikasi molekuler terutama dalam mengidentifikasi cendawan endofit sampai tingkat strain. Dari hasil di atas menunjukkan bahwa pada organ tertentu tanaman jahe merah dapat dihuni oleh berbagai cendawan endofit dengan spesies yang sama tetapi berbeda strain dan cendawan dengan spesies dan strain yang sama dapat tersebar di berbagai organ jahe merah.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tanaman obat yang diteliti seluruhnya berasosiasi dengan cendawan endofit yang beragam. Sebanyak 28 isolat cendawan endofit yang berbeda koloninya diperoleh dari organ fungsional tanaman jahe merah, jati belanda, pegagan lokal, pegagan malaysia, dan temulawak. Hasil identifikasi menggunakan metode kombinasi morfologi dan molekuler menunjukkan bahwa ke 28 isolat terdiri dari 15 spesies, yaitu A. versicolor, A. sydowii, A terreus, C gloeosporioides dan fase teleomorfnya G. cingulata, C. higginsianum, C. affinis, D. phaseolorum, E. album, F. solani, L. theobromae, L. australis, M. indicus, P. cruenta, S. cucurbitacearum, dan T. assiutensis dan. C. gloeosporioides dan fase teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan yang banyak diperoleh dan ditemukan pada tiga dari empat tanaman yang diteliti. Setiap cendawan yang berhasil diisolasi mempunyai aktivitas penghambatan terhadap pertumbuhan cendawan patogen F. oxysporum dengan persentase penghambatan berkisar antara 6.0 sampai 78.9%. T. trachyspermus JBd10 dan F. solani JMd14 mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan nyata lebih tinggi. Cendawan M. indicus PMd1 dan E. album JBd13 mempunyai kemampuan penghambatan yang paling rendah. Pada tanaman jahe merah yang digunakan sebagai model untuk mempelajari keragaman dan penyebaran endofit pada seluruh organ tanaman, diperoleh sebanyak 30 isolat cendawan endofit. C. gloeosporoides dan fase teleomorfnya G. cingulata merupakan cendawan endofit yang paling ditemukan, sama halnya
77
dengan keempat tanaman. Cendawan R. vagum dan P. macrospinosa merupakan cendawan yang spesifik pada akar; L. kalimantanese dan M. verrucaria hanya diperoleh dari batang; dan Beltraniella sp. hanya terdapat di rimpang tanaman jahe merah. Cendawan endofit C. affinis dan fase teleomorfnya C. geniculatus ditemukan hidup di daerah tajuk sedangkan A. macroclavatum dan N. punicea pada sistem perakaran. Cendawan endofit mempunyai kemampuan aktivitas penghambatan terhadap cendawan patogen F. oxysporum dengan persentase penghambatan berkisar antara 1.4 sampai 68.8%. Cendawan C. affinis JMbt7, F. solani JMd14, dan G. cingulata JMr2 mempunyai aktivitas penghambatan yang tinggi sedangkan R. vagum (JMa4) dan C. geniculatus (JMbt9) mempunyai aktivitas penghambatan yang rendah. Kemampuan penghambatan cendawan endofit terhadap cendawan patogen F. oxysporum tidak dipengaruhi oleh organ tanaman di mana cendawan endofit tersebut berasal. Setiap organ tanaman baik fungsional maupun non-fungsional merupakan habitat bagi cendawan yang memiliki kemampuan daya hambat dari rendah sampai tinggi. Identifikasi dengan cara karakteristik spesi kimia menggunakan FTIR terhadap cendawan endofit dapat mendukung data identifikasi secara molekuler terutama dalam mengidentifikasi cendawan endofit dalam tingkat strain. Kombinasi identifikasi molekuler, spesi kimia menggunakan FTIR, dan kemampuan penghambatan terhadap cendawan patogen dapat membantu identifikasi cendawan ke tingkat spesies dan bahkan ada yang ke tingkat strain. Contoh spesies yang sama tetapi berbeda strain adalah spesies F. solani JMa5 dan F. solani JMd14; spesies G. cingulata JMr2, G. cingulata JMd4, G. cingulata JMd5 dan G. cingulata JMd12, C. lunatus JMbt7, C. lunatus JMbt9, dan C. lunatus JMd13. Contoh spesies dengan strain yang sama ialah G. cingulata JMbt13 dan G. cingulata JMd4 yang tersebar di daun dan batang jahe merah, dan A. macroclavatum JMa6 dan A. macroclavatum JMr7 yang tersebar di akar dan rimpang jahe merah. Pada organ tertentu tanaman jahe merah dapat dihuni oleh berbegai cendawan dengan spesies yang sama tetapi berbeda strain dan cendawan dengan spesies dan strain yang sama dapat tersebar di berbagai organ tanaman jahe merah.
Saran
Analisis lebih lanjut untuk menentukan senyawa metabolit yang dihasilkan oleh cendawan endofit untuk pengembangan senyawa obat-obatan dan pertanian yang berkelanjutan. Penapisan cendawan endofit potensial perlu dilakukan secara in planta.
78
PUSTAKA Afifah E, Tim Lentera 2003. Khasiat dan Manfaat Temulawak: Rimpang Penyembuh Aneka Penyakit. Jakarta, Agromedia Pustaka. Bailey BA, Bae H, Strem MD, Crozier J, Thomas SE, Samuels GJ, Vinyard BT, Holmes KA. 2008. Antibiosis, mycoparasitism, and colonization success for endophytic Trichoderma isolates with biological control potential in Theobroma cacao. Biol Control 46:24-35. Banerjee D. 2011. Endophytic fungal diversity in tropical and subtropical plants. Res J Microbiol 6(1):54-62. Barnett HL, Hunter BB. 1998. Illustrated Genera of Imperfect fungi. 4th ed. USA, Prentice-Hall, Inc. Beattie SH, Holt C, Hirst D, Williams AG. 1998. Discrimination among Bacillus cereus, B. mycoides and B. thuringiensis and some other species of the genus Bacillus by Fourier transform infrared spectroscopy, FEMS Microbiol Lett 164:201-203. Bermawie N, Ibrahim MSD, Ma’mun. 2005. Eksplorasi dan karakterisasi aksesi pegagan (Centella asiatica L.). Makalah Konggres Nasional Ke-2 Obat Tradisional Indonesia. 12-14 Januari 2005. Bandung. Blomquist G, Andersson B, Andersson K, Brondz I. 1992. Analysis of fatty acids. A new method for characterization of moulds. J Microbiol Meth 16:59-68. Bussaban B, Lumyong S, Lumyong P, Hyde KD, McKenzie EHC. 2003. Three new species of Pyricularia are isolated as zingiberaceous endophytes from Thailand. Mycologia 95(3):519-524. Bussaban B, Lumyong S, Lumyong P, McKenzie EHC, Hyde KD. 2001. Endophytic fungi from Amomum siamense. Can J Microbiol 47:943-948. [BPOM]. Ditjen Badan Pengawas Obat dan Makanan DepKes RI. 1991. Laporan Tahunan Direktorat Badan Pengawasan Obat Tradisional Tahun 1990/91. Jakarta: Depkes. RI. Campanile G, Ruscelli A, Luisi N. 2007. Antagonistic activity of endophytic fungi towards diplodia corticola assessed by in vitro and in planta tests. Eur J Plant Pathol 117: 237–246. Cannon PF, Simmons CM. 2002. Diversity and host preference of leaf endophytic fungi in the Iwokrama Forest Reserve, Guyana. Mycologia 94:210-220. Carrol GC. 1988. Fungal endophytes in stems and leaves. From latent pathogens to mutualistic symbiont. Ecology 69;2-9. Chen YX, Zhang LP, Lu ZT. 2008. Analysis of the internal transcribed spacer (ITS) sequences in rDNA of 10 strains of Fusarium spp. J Anhui Agri Sci 36:4886–4887. Chen YX, Qi YD, Wei JH, Zhang Z, Wang DL, Feng JD, Gan BC. 2011. Molecular identification of endophytic fungi from medicinal plant Huperzia serrata based on rDNA ITS analysis. World J Microbiol Biotechnol 27:495– 503. Clay K. 1988. Fungal endophytes of grasses: A Devensive mutualism between plants and fungi. Ecology 69(1):10-16.
79
Cohen SD. 2004. Endophytic-host selectivity of Discula umbrinella on Quercus alba and Quercus rubra characterized by infection, pathogenicity and mycelial compatibility. Eur J Plant Pathol 110:713-721. Combès A, Ndoye I, Bance C, Bruzaud J, Djediat C, Dupont J, Nay B, Prado S. 2012. Chemical communication between the endophytic fungus Paraconiothyrium variabile and the Phytopathogen Fusarium oxysporum. Plos One 7(10):e47313. doi:10.1371/journal.pone.0047313. [Deptan], Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2007. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tanaman Obat. Edisi kedua. Ding T, Jiang T, Zhou J, Xu L, Gao ZM. 2010. Evaluation of antimicrobial activity of endophytic fungi from Camptotheca acuminata (Nyssaceae).Genet Mol Res 9(4):2104-2112. [Ditjenhorti]. Direktorat Jendral Hortikultura. 2006. Profil sentra produksi temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb). Direktorat Budididaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Departemen Pertanian. 71 hal. Erukhimovitch V, Tsor L, Hazanovsky M, Talyshinsky M, Mukmanov M, Souprun Y, Huleihel M. 2007. Early and rapid detection of potato’s fungal infection by Fourier-transform infrared (FTIR) microscopy. Appl Spectrosc 61:1052-1056. Faeth SH, Fagan WF. 2002. Fungal endophytes: common host plant symbionts but uncommon mutualists. Integ Compar Biol 42:360-368. Frisvad JC. 1992. Chemometrics and chemotaxonomy: a comparison of multivariate statistical methods for the evaluation of binary fungal secondary metabolite data. Chemom Intell Lab Syst 14:253-269. Frisvad JC. 1994. Correspondence, principal coordinate, and redundancy analysis used on mixed chemotaxonomical qualitative and quantitative data. Chemom Intell Lab Syst 23:213-229. Frohlich J, Hyde KD, Petrini O. 2000. Endophytic fungi associated with palms. Mycol Res 104:1202-1212. Gemperline PJ. 2006. Principal component analysis. In Gemperline P (Ed.). Practical Guide to Chemometrics. 2nd ed, London, New York. Gong LJ, Guo SX. 2009. Endophytic fungi from Dracaena cambodiana and Aquilaria sinensis and their antimicrobial activity. Afr J Biotechnol 8(5):731-736. Griffin DH. 1993. Fungal Physiology. 2nd ed. J Wiley, New York. p.246-276. Gunatilaka AAL. 2006. Natural products from plant-associated microorganisms: distribution, structural diversity, bioactivity, and implications of their occurrence. J Nat Prod 69:509-526. Guo LD, Hyde KD, Liew ECY. 1998. A method to promote sporulation in palm endophytic fungi. Fungal Divers 1:109-113. Guo LD, Hyde KD, Liew ECY. 2000. Identification of endophytic fungi from Livistona chinensis based on morphology and rDNA sequences. New Phytologist 147:617-630. Hanada RE, Pomella AWV, Costa HS, Bezerra JL, Loguercio LL, Pereira JO. 2010. Endophytic fungal diversity in Thebroma cacao (cacao) and Theobroma grandiflorum (cupuacu) trees and their potential for growth promotion and biocontrol of black-pod disease. Fungal Biol 114:901-910.
80
Herlina RM, Endah J, Listyarini T, Pribadi ST. 2002. Khasiat dan Manfaat Jahe Merah: Si Rimpang Ajaib. Media Pustaka Jakarta. Huang WY, Cai YZ, Surveswaran S, Hyde KD, Corke H, Sun M. 2009. Moleculer phylogenetic identification of endophytic fungi isolated from three Artemisia speceies. Fungal Divers 36:69-88. Hyde KD, Soytong K. 2007. Understanding microfungal diversity a critique. Cryptogam Mycol 28(4):281-289. Hyde KD, Soytong K. 2008. The fungal endophyte dilemma. Fungal Divers 33:163-173. Januwati M, Yusron M. 2004. Standar prosedur operasional: pegagan. Dalam Standar Operasional Prosedur Budidaya Pegagan, Lidah Buaya, Sambiloto, dan Kumis Kucing. Circuler No. 9. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Khan R, Shahzad S, Choudhary MI, Khan SA, Ahmad A. 2010. Communities of endophytic fungi in medicinal plant Withania somnifera. Pak J Bot 42(2):1281-1287. Kishore KH, Misra S, Chandra DR, Prakash KVVR, Murty US. 2007. Antimicrobial efficacy of secondary metabolites from Glomerella cingulata. Brz J Microbiol 38:150-152. Ko TWK, Stephenson SL, Bahkali AH, Hyde KD. 2011. From morphology to molecular biology: can we use sequence data to identify fungal endophytes?. Fungal Divers 50:113-120. Kumar S, Kaushik N. 2013. Endophytic fungi isolated from oil-seed crop Jatropha curcas produces oil and exhibit antifungal activity. Plos One 8(2):1-8. Kumaresan V, Suryanarayanan TS. 2002. Endophytic assemblages in young, mature, and senescent leaves of Rhizophora spiculata: evidence for the role of endophytic in mangrove litter degradation. Fungal Divers 9:8191. Kummerle M, Scher S, Seiler H. 1998. Rapid and reliable identification of food borne yeasts by Fourier-transform infrared spectroscopy. Appl Environ Microbiol 64:2207-2214. Lacap DC, Hyde KD, Liew EYC. 2003. An evaluation of the fungal ‘morphotype’ concept based on ribosomal DNA sequences. Fungal Divers 12:53-66. Larkin RP, Hopkins DL, Martin FN. 1996. Suppression of fusarium wilt of watermelon by nonpathogenic F. oxysporum and other microorganisms recovered from a disease-suppressive soil. Phytopathology 86(8):812-819. Larsen TO, Frisvad JC. 1995. Chemosystematics of Penicillium based on profiles of volatile metabolites. Mycol Res 99:1167-1174. Lin X, Lu CH, Huang YJ, Zheng ZH, Su WJ, Shen YM. 2007. Endophytic fungi from a pharmaceutical plant, Camptotheca acuminata: isolation, identification and bioactivity. World J Microbiol Biotechnol 23:1037-1040. Lu H, Zou WX, Meng JC, Hu J, Tan RX. 2000. New bioactive metabolites produced by Colletotrichum sp. an endophytic fungus in Artemisia annua. Plant Sci 151:67-73.
81
Lu G, Cannon PF, Reid A, Simmons CM. 2004. Diversity and molecular relationships of endophytic Colletotrichum isolates from the Iwokrama Forest Reserve, Guyana. Mycol Res 108:53-63. Lumyong S, Norkaew N, Ponputhachart D, Lymyong P, Tomita F. 2001. Isolation, optimitation and characterization of xylanase from endophytic fungi. Biotechnology for sustainable utilization of biological resources. Biotechnol Sustain Util Biol Resour 15:98-103. Miller CJ, Miller JN. 2005. Statistics and Chemometrics for Analytical Chemistry. 5th ed. Harlow, Pearson Education. Morakotkarn D, Kawasaki H, Seki T. 2007. Molecular diversity of bambooassociated fungi isolated from Japan. FEMS Microbiol Lett 266:10-19. Morton DT, Stroube NH. 1955. Antagonistic and stimulatory effects of microorganism upon Sclerotium rolfsii. Phytopathology 45: 419-420. Naumann D. 1998. Infrared spectroscopy in microbiology. In Meyer RA (Ed), Encyclopedia of analytical Chem. Berlin, J Wiley, p.1-28. Naumann A, Navarro-Gonzalez M, Peddireddi S, Kues U, Polle A. 2005. Fourier transform infrared microscopy and imaging: Detection of fungi in wood. Fungal Genet Biol 42:829-835. Osono T. 2008. Endophytic and epiphytic phyllosphere fungi of Camillea japonica: seasonal and leaf-dependent variations. Mycologia 100:387391. Petrini O, Sieber TN, Toti L, Viret O. 1992. Ecology, metabolite production, and substrate utilization in endophytic fungi. Nat Toxins 1:185–196. Prana MS. 1985. Beberapa aspek biologi temulawak (Curcuma xanthorrizha Roxb.). Prosiding Simposium Nasional Temulawak, Bandung hal.42-48. [Puslitbangtri] Pusat Penelitian dan Pengembangan tanaman Industri. 1992. Sepuluh Tahun Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri 1982-1991. Sumbangan Penelitian dalam Pembangunan Perkebunan Rakyat. Departemen Pertanian. Jakarta. Rakotoniriana EF, Munaut F, Decock D, Randriamampionona D, Andriambololoniaina M, Rakotomalala T, Rakotonirina EJ, Rabemanantsoa C, Cheuk K, Ratsimamanga SU, Mahillon J, El-Jaziri M, Quetin-Leclercq J, Corbisier AM. 2008. Endophytic fungi from leaves of Centella asiatica: occurrence and potential interactions within leaves. Antonie van Leeuwenhoek 93:27-36. Rukachaisirikul V, Sommart U, Phongpaichit S, Sakayaroj J, Kirtikara K. 2008. Metabolites from the endophytic fungus Phomopsis sp. PSU-D15. Phytochemistry 69:783-787. Sambrook J, Russel DW. 2000. Molecular Cloning: A Laboratory Manual, 3rd ed. Vol 3. Cold Spring Harbor Laboratory Press. Santos C, Fraga ME, Kozakiewicz Z, Lima N. 2010. Fourier transform infrared as a powerful technique for the identification and characterization of filamentous fungi and yeasts. Res Microbiol 161:168-175. Schulz B, Boyle C, Draeger S, Rommert AK, Krohn K. 2002. Endophytic fungi: a source of novel biologically active secondary metabolites. Mycol Res 106: 996–1004.
82
Schulz B, Guske S, Dammann U, Boyle C. 1998. Endophyte-host interactions II. Defining symbiosis of the endophyte-host interaction. Symbiosis 25:213227. Schulz B, Sucker J, Aust HJ, Krohn K, Ludewig K, Jones PG, Doring D. 1995. Biologically active secondary metabolites of endophytic Pezicula species. Mycol Res 99:1007-1015. Schulz B, Wanke U, Draeger S, Aust HJ. 1993. Endophytes from herbaceous plants and shrubs, effectiveness of surface sterilization methods. Mycol Res 97:1447-1450. Semangun, H. 1989. Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Hal. 222-228. Shrestha K, Strobel GA, Prakash S, Gewali M. 2001. Evidence for paclitaxel from three new endophytic fungi of Himalayan yew of Nepal. Planta Med 67:374-376. Stchur P, Cleveland D, Zhou J, Michel RG. 2002. A review of recent applications of near infrared spectroscopy, and the characteristics of a novel PbS CCD array based near infrared spectrometer. Appl Spect Rev 37:383-428. Stierle A, Stierle D, Strobel G, Bignami G, Grothaus P. 1995. Bioactive metabolites of the endophytic fungi of Pacific yew, Taxus brevifolia: paclitaxel, taxanes, and other bioactive compounds. ACS Symp series 583:81-97. Strobel GA. 2003. Endophytes as sources of bioactive products. Microbes Infec 5:535-544. Strobel GA, Daisy B. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products. Microbiol. Mol Biol Rev 67(4):491-502. Strobel G, Hess WH, Ford E, Sidhu RS, Yang X. 1996. Taxol from fungal endophytes and the issue of biodiversity. J Indust Microbiol 17:417-425. Suryanarayanan TS, Venkatesan G, Murali TS. 2003. Endophytic fungal communities in leaves of tropical forest trees: Diversity and distribution patterns. Current Sci 85(4):489-492. Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular evolutionary genetics analysis (MEGA) Software Version 4.0. Mol Biol Evol 24(8):15961599. Tan RX, Zou WX. 2001. Endophytes: a rich source of functional metabolites. Nat Prod Rep 18:448–459. Taylor JE, Hyde KD, Jones EBG. 1999. Endophytic fungi associated with the temperate palm, Trachycarpus fortune, within and outside its natural geographic range. New Phytologist 142:335-346. Thompson JD, Higgins DG, Gibson TJ. 1994. Clustal W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, position specific gap penalties and weight matrix choice. Nucleic Acids Res 22:4673-4680. Thrane U. 1990. Grouping Fusarium section Discolor isolates by statistical analysis of quantitative high performance liquid chromathography data on secondary metabolites production. J Microbiol Meth 12:23-39. White TJ, Bruns TD, Lee S, Taylor JW. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics. In:Innis MA,
83
Gelfand DH, Sninsky JS, White TJ. (eds). PCR Protocols: a Guide to Methods and Applications. New York: USA, Academic Press, p.315-322. Wilson D. 1995. Endophyte - the evolution of a term, and clarification of its use and defenition. Oikos 73:274-276. Winarto WP, Surbakti M. 2003. Khasiat dan Manfaat Pegagan, Tanaman Penambah Daya Ingat. Agromedia Pustaka, Jakarta. 64 hal. Yuan ZL, Zhang CL, Lin FC, Kubicek CP. 2010. Identity, diversity, and molecular phylogeny of the endophytic mycobiota in the roots of rare wild rice (Oryza granulate) from a nature reserve in Yunnan, China. Appl Environ Microbiol 76(5):1642-1652. You F, Han T, Wu JZ, Huang BK, Qin LP. 2009. Antifungal secondary metabolites from endophytic Verticillium sp. Biochem Sys Ecol 37(3):162165. Zhang G, Wang F, Qin J, Wang D, Zhang J, Zhang Y, Zhang S, Pan H. 2013. Efficacy assessment of antifungal metabolites from Chaetomium globosum No. 05, a new biocontrol agent against Setosphaeria turcica. Biol Control 64:90–98. Chakravarthi BVSK, Das P, Surendranath K, Karande AA, Jayabaskaran C. 2008. Production of paclitaxel by Fusarium solani isolated from Taxus celebica. J Biosci 33:259-267. Deng BW, Liu KH, Chen WQ, Ding XW, Xie XC. 2009. Fusarium solani, Tax-3, a new endophytic taxol-producing fungus from Taxus chinensis. World J Microbiol Biotechnol 25:139-143. Kusari S, Zühlke S, Spiteller M. An endophytic fungus from Camptotheca acuminata that produces camptothecin and analogues. J Nat Products 72:27. Li JY, Sidhu RS, Ford EJ, Long DM, Hess WM, Strobel GA. 1998. The induction of taxol production in the endophytic fungus-Periconia sp. from Torreya grandifolia. J Indust Microbiol Biotechol 20:259-264. Li W, Zhou J, Lin Z, Hu Z. 2007. Study on fermentation condition for production of huperzine A from endophytic fungus 2F09P03B of Huperzia serrata. Chinese Medicinal Biotechnol 2:254-259. Shweta S, Züehlke S, Ramesha BT, Priti V, Mohana KP, Ravikanth G, Spiteller M, Vasudeva R, Shaanker RU. Endophytic fungal strains of Fusarium solani from Apodytes dimidiata E. Mey. ex Arn (Icacinaceae) produce camptothecin, 10-hydroxycamptothecin and 9-methoxycamptothecin. Phytochemistry 71:117-122.
84
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pancurbatu pada tanggal 20 Oktober 1966 sebagai anak ketiga dari pasangan Alm. Nimbangi Ginting dan Almh. Ngepkep Ulina Gurusinga. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Jambi dan lulus pada tahun 1990. Pada Tahun 2003, penulis menamatkan studi S2 di Program Studi Bioteknologi Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Pada tahun 2008, penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Litbang Pertanian untuk melanjutkan studi di Program Studi Mikrobiologi, Departemen Biologi FMIPA, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor. Saat ini penulis bekerja sebagai peneliti di Kelompok Peneliti Mikrobiologi dan Kesehatan Tanah, Balai Penelitian Tanah Bogor. Dua artikel bagian dari disertasi ini telah penulis tulis, satu di antaranya sudah ‘accepted’ oleh HAYATI Journal of Biosciences dengan Judul “Diversity of Endophytic Fungi from Red Ginger (Zingiber officinale Rosc.) Plant and Their Inhibitory Effect to Fusarium oxysporum Plant Pathogenic Fungi”. Satu artikel lagi telah dikirim dan sedang dalam proses editing pada “BIOTROPIA, The Southeast Asian Journal of Tropical Biology” dengan judul artikel “Isolation and Identification of Endophytic Fungi Derived from Medicial Plant Centella asiatica L., Guazuma ulmifolia Lam., and Curcuma xanthorrhiza Roxb”.