KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT PADA BUAH KAKAO DAN POTENSINYA DALAM PENGENDALIAN BUSUK BUAH PHYTOPHTHORA
EFI TODING TONDOK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi ‘Keragaman Cendawan Endofit pada Buah Kakao dan Potensinya dalam Pengendalian Busuk Buah Phytophthora’ adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir setiap topik disertasi ini. Bogor, Januari 2012
Efi Toding Tondok NIM: A461040011
ABSTRACT EFI TODING TONDOK. Diversity of Endophytic Fungi on Pods of Cacao and Its Potency as Biocontrol Agents of Black Pod Disease of Cacao. Under direction of MEITY SURADJI SINAGA, WIDODO and MAGGY THENAWIDJAJA SUHARTONO. Endophytic fungi have been reported capable to suppress development of black pod disease in cacao. In Indonesia, research on endophytic fungi in general has just been started. The aim of this study were to investigate factors related to the incidence of black pod disease in the field, to explore the diversity of endophytic fungi during ENSO simulation period and its correlation to black pod disease, and to examine the potency of selected endophytic fungi in controlling black pod disease. Field observation was conducted in Palolo and Kulawi, cacao plantations located at the border of Lore Lindu National Park, Central Sulawesi, laboratory and greenhouse experiments were performed at Bogor Agricultural University, Bogor, Indonesia and Georg-August University, Goettingen, Germany. Black pod disease incidence was highest in plots that: were located at > 600 m a.s.l.; which were previously occupied by pristine forest or perennial plants; had prior intensive inputs of pesticides and fertilizers; and had a high frequency of weeding. While application of nitrogen fertilizer, distance to pristine forests, plant age, canopy cover, diversity of endophytic fungi and degree of shading by shade trees were not associated with the disease development. A total of 2843 isolates were obtained from 1440 husk segments of healthy pods. By morphological and molecular techniques, the identification of these isolates resulted in 37 species of fungi, six belong to Basidiomycetes, 30 are Ascomycetes and one is unidentified yet. The diversity of endophytic fungi, based on Shannon’s and Simpson’s index, was higher during lower rainfall (January-April 2008) compared to higher rainfall condition (March-April 2007). The dominance of endophytic fungi changed with season, Fusarium lichenicola was the most dominance during wet condition and Phomopsis columnaris during dry condition. Several species, such as Fusarium sp. T47a, Xylaria sp., Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, and Xylariaceae were negatively correlated to the incidence of black pod disease. Among the tested endophytic fungi, Xylariaceae and Callocybe gambosa generated the highest effectiveness control level of black pod disease on detached pods, 38.8% and 33.8%, respectively, followed by Resinicium friabile and Aschersonia treatment, 17.4% dan 12.7% respectively. Growth inhibition of pathogen and induced resistance of plant were partially responsible for disease suppression by Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile and Aschersonia sp. Key words: Phytophthora palmivora, pristine forest, induced resistance, drought, Xylariaceae
RINGKASAN EFI TODING TONDOK. Keragaman Cendawan Endofit pada Buah Kakao dan Potensinya dalam Pengendalian Busuk Buah Phytophthora. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA, WIDODO dan MAGGY THENAWIDJAJA SUHARTONO Gerakan Nasional Kakao yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2006 bertujuan untuk meningkatkan produksi dan mutu kakao Indonesia. Peningkatan produksi dengan cara penambahan areal pertanaman kakao banyak dilakukan petani dengan merambah areal hutan. Pembukaan areal hutan tentu berpengaruh terhadap ekosistem yang telah ada. Untuk melihat pengaruh lingkungan hutan dan praktek budidaya yang diaplikasikan di lapangan terhadap kejadian penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora, maka dilakukanlah serangkaian perlakuan dan pengamatan di lapangan di areal sekitar Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah, yang merupakan hutan primer. Pada salah satu plot dilakukan juga simulasi kekeringan yang berasosiasi dengan ENSO (El-nino Southern Oscillation) untuk melihat fluktuasi keragaman cendawan endofit dalam kondisi kering dibandingkan dengan kondisi basah dan korelasinya dengan kejadian penyakit busuk buah. Selanjutnya, enam cendawan endofit yang berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit di lapangan diuji kemampuannya dalam menekan perkembangan penyakit busuk buah kakao. Faktor yang mempengaruhi epidemik penyakit busuk buah kakao diamati pada 86 plot di dua kecamatan yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Faktor yang diamati berupa lingkungan (ketinggian tempat, jarak ke hutan primer, praktek budidaya sebelumnya, sejarah penggunaan lahan, keragaman morfospesies cendawan endofit), praktek budidaya (frekuensi penyiangan, tingkat naungan, pemupukan, tutupan kanopi), dan umur tanaman kakao. Analisis korespondensi sederhana (Simple Correspondence Analysis, SCA) dilakukan untuk melihat hubungan antara epidemi busuk buah dengan peubah yang diamati. Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao berasosiasi nyata dengan epidemi busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit tertinggi ditemukan pada plot: yang terletak >600 m dpl; sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; sebelumnya mendapat input pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi. Rangkaian penelitian berikutnya bertujuan untuk mengeksplorasi keragaman cendawan endofit pada buah kakao, mendapatkan gambaran tentang pengaruh kekeringan terhadap keragaman cendawan endofit, dan korelasinya terhadap penyakit busuk buah. Sebanyak 2843 isolat diperoleh dari 1440 segmen kulit buah kakao yang sehat. Identifikasi secara morfologi dan molekuler didapatkan bahwa isolat tersebut terdiri dari 37 spesies, yang terdiri atas enam spesies termasuk Basidiomycetes, 30 spesies adalah Ascomycetes dan satu spesies belum teridentifikasi. Berdasarkan indeks Shannon dan Simpson didapatkan bahwa keragaman cendawan endofit lebih tinggi saat musim lebih kering (Januari-April
2008) dibandingkan dengan kondisi curah hujan yang tinggi (Maret-April 2007). Dominansi cendawan endofit juga berubah, Fusarium lichenicola paling dominan selama kondisi basah dan Phomopsis columnaris selama kondisi kering. Beberapa spesies, seperti Fusarium sp. T47a, Xylaria sp, Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, dan Xylariaceae berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit busuk buah. Cendawan-cendawan ini berpotensi sebagai agens biokontrol penyakit busuk buah kakao. Penelitian selanjutnya bertujuan untuk menguji potensi cendawan endofit terpilih sebagai agens biokontrol busuk buah kakao. Enam cendawan endofit terpilih dari total 37 spesies (2843 isolat) yang berhasil diisolasi, diuji keefektifannya sebagai agens pengendali hayati. Buah kakao di lapangan disemprot dengan propagul cendawan, setelah dua minggu buah dipanen dan diinokulasi dengan patogen P. palmivora di laboratorium. Perkembangan gejala penyakit pada buah diamati, dihitung periode laten, keparahan penyakit, laju infeksi (r), nilai AUDPC dan tingkat keefektifan penekanan penyakit busuk buah. Kemampuan cendawan endofit menginduksi ketahanan tanaman dan penghambatan pertumbuhan patogen in-vitro juga dianalisis. Cendawan Xylariaceae dan Calocybe gambosa menghasilkan tingkat penekanan penyakit paling tinggi, berturut-turut sebesar 38.8% dan 33.8%, diikuti oleh Resinicium friabile dan Aschersonia masing-masing sebesar 17.4% dan 12.7%. Cendawan Pestalotiopsis dan Fusarium tidak efektif menekan keparahan penyakit. Periode laten sangat berkaitan dengan keparahan penyakit. Penghambatan pertumbuhan patogen dan induksi ketahanan tanaman berperan dalam penekanan penyakit oleh Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile dan Aschersonia. Kata kunci: Phytophthora palmivora, hutan primer, induksi ketahanan, kekeringan, Xylariaceae
(c) Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT PADA BUAH KAKAO DAN POTENSINYA DALAM PENGENDALIAN BUSUK BUAH PHYTOPHTHORA
EFI TODING TONDOK
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Fitopatologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: 1. Dr Ir Sudradjat, MS 2. Dr Ir A Munif, MSc Agr
Penguji pada Ujian Terbuka: 1. Dr Ir Ade Wachjar, MS 2. Dr Ir Darmono Taniwiryono, MSc
LEMBAR PENGESAHAN Judul Disertasi
:
Keragaman Cendawan Endofit pada Buah Kakao dan Potensinya dalam Pengendalian Busuk Buah Phytophthora
Nama
:
Efi Toding Tondok
NIM
:
A461040011
Disetujui, Komisi Pembimbing
Prof Dr Ir Meity Suradji Sinaga, MSc Ketua
Dr Ir Widodo, MS Anggota
Prof Dr Ir Maggy Thenawidjaja Suhartono Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi Fitopatologi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal ujian:
Tanggal lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala berkat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi ini. Penelitian ini didukung oleh proyek Stability of Rainforest Margins in Indonesia (STORMA) di bawah pendanaan German Research Foundation (DFGSFB 552), juga didukung oleh Program Sandwich-like Dikti 2008, PT AGSI, Klinik Tanaman IPB: diucapkan terimakasih kepada para donatur. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof Dr Ir Meity S Sinaga MSc, Dr Ir Widodo MS, dan Prof Dr Ir Maggy Thenawidjaja S sebagai komisi pembimbing yang telah memberikan saran, dorongan, kritik dan dukungan kepada penulis sehingga disertasi ini dapat terwujud. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Departemen Proteksi Tanaman, Faperta dan IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada PTP VIII Saguling, Cianjur atas ijin penggunaan tanaman kakao untuk uji bioassay cendawan endofit. Terima kasih juga dihaturkan kepada penguji luar komisi pada sidang tertutup, Dr Ir Sudradjat MS dan Dr Ir A Munif MSc Agr dan sidang terbuka Dr Ir Ade Wachjar MS dan Dr Ir Darmono Taniwiryono MSc. Saran dan masukan dari penguji turut memperkaya isi disertasi ini. Ucapan terima kasih disampaikan kepada Prof Dr Stefan Vidal, Prof Dr Petr Karlovsky, Dr Suryo Wiyono, Dr Yann Clough, Dr Hermanu Triwidodo yang telah turut memberi masukan dan memperkaya isi dari disertasi ini, Dr Endah R Palupi atas ‘pelajaran bahasa Inggris’ dan koreksi beberapa istilah agronomi yang digunakan dalam disertasi ini. Terima kasih juga kepada Stefan Erasmi dan Dominic Seidel untuk berbagi data lebar tajuk kakao, group Profesor Gravenhost untuk data cuaca di Rahmat dan Toro, Manajemen Proyek STORMA, Carsten Schmitd, Hasrul, dan 'Kelompok peneliti kakao cs di Palu'. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Irene, Nenk Agustina, Ita Juwita yang banyak membantu pekerjaan di laboratorium. Demikian juga disampaikan ucapan terima kasih kepada rekan Ahmad Rizali untuk MDS dan Bonjok Istiaji yang sangat membantu di saat-saat akhir mengedit bahan presentasi. Juga disampaikan ucapan terima kasih kepada rekan-rekan Fitopatologi dan Entomologi atas segala bantuan dan kebersamaan selama ini, serta kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu di sini. Ucapan terima kasih dihaturkan kepada kedua orangtua, kak Ita, kak Uti, adek Pina, adek Harun dan seluruh keluarga yang terus mendukung dalam doa, kesabaran dan segala perhatian yang diberikan. Khusus kepada suami tercinta, Harsman Tandilittin, terima kasih telah hadir dalam hidup saya, terima kasih atas segala dorongan, pengertian dan kesabarannya selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Januari 2012 Efi Toding Tondok
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Tana Toraja, 23 Januari 1971, sebagai anak ketiga dari Bapak JP Toding Tondok dan Ibu Charlota Upa’. Pendidikan Sarjana Hama dan Penyakit Tumbuhan diselesaikan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 1996. Pendidikan Master of Science in Agriculture diselesaikan penulis di GeorgAugust University Goettingen, Germany pada tahun 2001. Pada tahun 2004 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan studi S3 di Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor melalui program Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Penulis juga mendapat kesempatan untuk melanjutkan penelitian dengan Sandwich-Like Program dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi di Laboratorium Agroentomology dan Laboratorium Molecular Phytopathology and Mycotoxin Research, Department of Crop Science, Georg-August University Goettingen, Germany pada Desember 2008-Juli 2009. Selama menjadi mahasiswa S3, penulis telah mempresentasikan sebagian dari penelitian disertasi dalam bentuk poster dengan judul ‘Endophytic Fungi Isolated from Pods of Cacao in Marena Plot, Central Sulawesi, Indonesia’ pada Workshop on Promoting Biodiversity, Rainforest Protection, and Economic Development in Indonesia, ‘Key Results for Research and Policy of a Nine-Year Indonesia-Germany Research Programme ”Stability of Rainforest Margins in Indonesia (STORMA)” ’, Bogor, 5-6 Oktober 2009. Sebagian dari disertasi ini juga dipublikasikan di dalam jurnal Agronomi dengan judul ‘Potensi Cendawan Endofit sebagai Agens Hayati Phytophthora palmivora (Butl.)Butl. Penyebab Penyakit Busuk Buah Kakao’.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI ……………………………………………………………
xii
DAFTAR TABEL ....................................................................................
xiv
DAFTAR GAMBAR ...............................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
xvii
BAB 1. PENDAHULUAN ……………………………………………..
1
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ………………………………………...
9
BAB 3. ASOSIASI FAKTOR LINGKUNGAN DAN PRAKTEK BUDIDAYA DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO: STUDI KASUS DI TEPI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH .............. Pendahuluan
..………………………………………………..
21 22
Bahan dan Metode …………………………………………..
24
Hasil dan Pembahasan ……………………………………….
29
Kesimpulan ……………………………………………………
39
Daftar Pustaka ………………………………………………..
39
BAB 4. KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT BUAH KAKAO PADA TINGKAT KEKERINGAN YANG BERBEDA SERTA KORELASINYA DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH………………………………………………. Pendahuluan
45
………………………………………………...
46
Bahan dan Metode …………………………………………..
47
Hasil dan Pembahasan ……………………………………….
50
Kesimpulan ……………………………………………………
65
Daftar Pustaka ………………………………………………..
65
BAB 5. POTENSI CENDAWAN ENDOFIT SEBAGAI PENGINDUKSI KETAHANAN TANAMAN TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH PHYTOPHTHORA ....................
69
Pendahuluan …………………………………………………..
70
Bahan dan Metode ……………………………………………..
71
Hasil dan Pembahasan ………………………………………...
75
Kesimpulan …………………………………………………….
83
Daftar Pustaka …………………………………………………
84
BAB 6. PEMBAHASAN UMUM ………………………………………
89
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ……………………………
89
Keragaman Cendawan Endofit dan Pengelolaan Kesehatan Tanaman ………………………………………………………
90
Kesimpulan ……………………………………………………
97
Saran ………………………………………………………….
98
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………
99
LAMPIRAN ……………………………………………………………..
105
DAFTAR TABEL Halaman 3.1 3.2
3.3
4.1 4.2
Pengelompokan praktek budidaya dan faktor lingkungan serta status inang ke dalam kelas kategori …............…………...........
26
Hubungan antara beberapa praktek budidaya dan faktor lingkungan dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan analisa Chi-kuadrat (χ2) ................................................................
30
Nilai mass dan inersia faktor yang berasosiasi nyata dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan analisis korespondensi sederhana ............................................................
31
Hasil identifikasi cendawan endofit secara molekuler, nomor aksesi dan persen kemiripan DNA pada Genbank.......................
51
Indeks keragaman tiap plot pada pengambilan awal dan akhir beserta estimasi populasinya........................................................
57
4.3
Suhu dan kelembaban rata-rata 1 m dan 3 m di atas permukaan tanah selama pengambilan sampel (data Moser et al. 2010) ........
57
4.4
Indeks kemiripan jenis spesies antar plot ……………………….
60
4.5
Perubahan dominansi cendawan endofit pada tiap plot pada saat pengambilan sampel yang berbeda .............................................
61
Korelasi frekuensi kemunculan spesies cendawan endofit dengan kejadian penyakit busuk buah .......................................
64
Skor gejala penyakit pada buah yang diinokulasi dengan Phytophthora palmivora ............................................................
73
Bioesei cendawan endofit pada buah kakao dilanjutkan inokulasi dengan patogen P. palmivora ......................................
75
Korelasi antara periode laten, laju infeksi, tingkat keefektifan dengan nilai AUDPC pada buah kakao dengan perlakuan cendawan endofit dan kontrol, zona penghambatan uji koloni ganda, dan produksi asam salisilat dan aktivitas peroksidase pada bibit kakao ...........................................................................
78
4.6 5.1 5.2 5.3
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.1
Alur Penelitian ............................................................................
3.1
Lokasi pengambilan sampel. (a) Pulau Sulawesi di tengahtengah kepulauan Indo-Malay. (b) Hutan Lindung Lore Lindu di Sulawesi Tengah. (c) Lokasi 43 pertanaman (titik putih) di mana penelitian dilakukan, di tepi Hutan Lindung Lore Lindu di Palolo dan Kulawi .......................................................................
3.2
Pengelompokan kelas faktor yang berasosiasi dengan kelas AUDPC berdasarkan hasil analisis korespondensi sederhana. Segiempat hitam melambangkan kelas AUDPC dan lingkaran putih sebagai kelas faktor (AU1=AUDPC1, AU2=AUDPC2, AU3=AUDPC3, A=ketinggian tempat, H=sejarah penggunaan lahan, L=praktek budidaya sebelumnya, W=penyiangan) ...........
8
25
32
4.1
Pengelompokan waktu dan tempat pengambilan sampel ............
47
4.2
Frekuensi keberadaan tiap spesies cendawan endofit yang berhasil diisolasi, mengikuti pola kurva distribusi normal ............
55
Pola peningkatan jumlah spesies yang diamati dan diharapkan ketika diplotkan dengan pola peningkatan jumlah isolat ..............
55
4.3 4.4
4.5
4.6
5.1
Curah hujan dan kandungan air tanah pada plot selama pengambilan sampel (dalam lingkaran, Maret-April 2007 dan Januari-April 2008) (Moser et al. 2010) ......................................
58
Kemiripan jenis spesies antar plot dari indeks Sorensen dengan Multidimensional Scaling (MDS). Tiap titik mewakili ulangan dari tiap perlakuan (BC: Plot kontrol, pengambilan pertama; BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama; AC: Plot kontrol, pengambilan kedua; AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua)....
60
Perubahan dominansi cendawan endofit pada plot dan waktu pengambilan sampel yang berbeda ( BC: Plot kontrol, pengambilan pertama; BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama; AC: Plot kontrol, pengambilan kedua; AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua) ....................................................
62
Zona hambatan sebagai hasil uji koloni ganda cendawan endofit dengan patogen P. palmivora (Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe gambosa, Rf = Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt = Pestalotiopsis, Fu = Fusarium, C= kontrol; huruf mutu yang
5.2
sama di atas bar tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Fisher) ...........................................................................................
76
(A) produksi asam salisilat ( ppm) dan (B) aktivitas peroksidase (UAE) daun bibit kakao hari ke 9 dan 26 setelah inokulasi CE dan P. palmivora (UAE = Unit Aktivitas Enzim , Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe gambosa, Rf = Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt = Pestalotia, Fu = Fusarium, C= kontrol) ..
77
DAFTAR LAMPIRAN
TABEL Halaman 3.1 4.1
4.2
4.3
Frekuensi kemunculan tiap faktor pada tiap kelas kategori AUDPC ………………………………………………………… Morfospesies cendawan endofit buah kakao dari Marena, Sulawesi Tengah beserta nama isolat sumber DNA untuk identifikasi molekulernya ..............................................................
107
111
Untaian basa DNA penyandi 28S rDNA hasil sekuens isolat cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao di Marena, Sulawesi Tengah dengan primer LROR dan LR6 ........................
113
Kelas cendawan endofit hasil isolasi dari buah kakao ..................
132
GAMBAR Halaman 3.1
3.2 3.3 4.1
4.2
5.1
Kondisi lahan sebelum ditanami kakao: (A) dengan membuka hutan primer, (B) mengganti tanaman tahunan yang telah ada, (C) menanam kakao pada bekas pertanaman jagung ....................
108
Fluktuasi suhu dan kelembaban udara harian rata-rata di Kulawi dan Palolo, Sulawesi Tengah selama penelitian ...........................
109
Fluktuasi curah hujan dan radiasi harian rata-rata di di Kulawi dan Palolo, Sulawesi Tengah selama penelitian ...........................
110
Pemasangan atap plastik pada plot di Marena, Sulawesi Tengah untuk memimik kekeringan (ENSO) (A: pemasangan panel plastic; B: plot control tanpa panel plastic; C: tepi plot ditutup sedemikian rupa agar air tidak masuk ke dalam plot) ..................
133
Fotomikroskopis beberapa cendawan endofit (kd: konidia; kf: konidiofor; mak: makrokonidia; mik: mikrokonidia; pik: piknidia) .......................................................................................
134
Uji patogenisitas patogen Phytophthora palmivora dan cendawan endofit (CE) pada daun pesemaian (A: tanaman utuh; B0: daun dengan agar; B1: Daun dengan agar + patogen; B2: Daun dengan agar + CE; C0: Agar dibuang, tanpa gejala; C1: Agar dibuang, nekrotik pada permukaan bawah dan atas daun)..
135
BAB 1 PENDAHULUAN
Kakao, tanaman penghasil bahan olahan untuk coklat, merupakan tanaman yang sangat penting bagi petani Indonesia. Sejak 1999 produksi kakao Indonesia menempati urutan ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana (International Cocoa Organization, ICCO; www.icco.org/statistics/production.aspx). Prediksi produksi kakao Indonesia oleh ICCO akan mencapai 470 000 ton pada musim panen 2010/2011 dari total 4 195 000 ton produksi dunia atau sekitar 11.2% dari total produksi dunia. Pertanaman kakao Indonesia yang produksinya menempati posisi ketiga dunia tersebut, sebagian besar merupakan pertanaman rakyat. Pada tahun 2009, total pertanaman kakao di Indonesia adalah 1 592 983 hektar, hanya 3.88% yang dikelola oleh negara, 3.41% oleh perkebunan besar swasta, dan sisanya 92.7% dikelola oleh rakyat ( (Dirjen Bina Produksi Perkebunan dalam Baon dan Wardani 2010). Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa sangat banyak petani dan keluarganya yang menggantungkan hidupnya pada pertanaman kakao dengan luas lahan rata-rata 1 ha tiap petani. Permasalahan utama kakao Indonesia ialah tingginya gangguan hama dan penyakit, tanaman yang semakin tua, dan adanya automatic detention dari pemerintah USA.
Penggerek buah kakao (disebabkan oleh Conophomorpha
cramerella) dan busuk buah kakao (disebabkan oleh Phytophthora palmivora) merupakan hama dan penyakit utama pertanaman kakao Indonesia, di samping Vascular Streak Dieback, VSD (disebabkan oleh Oncobasidium theobromae) yang serangannya mulai meningkat di Sulawesi Tengah akhir-akhir ini. Tanaman yang semakin tua akan menyebabkan produksi buah/biji kakao akan berkurang. Umumnya, masa produktif tanaman kakao berkisar antara 4-25 tahun, bergantung kepada varietas dan perawatannya.
Saat ini, banyak pertanaman kakao di
Indonesia yang ditanam pada 1980-an, yaitu saat awal ekstensifikasi areal pertanaman kakao (Suhendi 2007). Oleh karena itu, agar produksi kakao nasional tetap terjaga, sudah saatnya pemerintah Indonesia mendorong melakukan peremajaan kakao.
2 Pemerintah Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Kakao (Gernas Kakao) yang dituangkan di dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 33/Permentan/OT.140/7/2006 untuk terus memacu peningkatan produksi dan mutu kakao Indonesia.
Gerakan Nasional Kakao ini diaplikasikan misalnya
berupa peremajaan tanaman tua dengan penyambungan menggunakan ranting tanaman yang produktivitasnya tinggi ataupun pemanfaatan hasil kultur jaringan somaklonal embriogenesis, melaksanakan intensifikasi pertanian pada lahan yang sudah ada dan rehabilitasi lahan yang sudah lama tidak terurus dengan baik. Peningkatan produksi dengan cara penambahan areal pertanaman kakao banyak dilakukan petani dengan cara merambah areal hutan. Pembukaan areal hutan tentu berpengaruh terhadap ekosistem alami yang sebenarnya kaya dengan mikroba bermanfaat, terutama pada hutan tropika. Untuk melihat pengaruh lingkungan hutan yang sudah terganggu dan praktek budidaya di pertanaman kakao yang diaplikasikan petani terhadap epidemik penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora, maka dilakukanlah serangkaian studi kasus, meliputi faktor-faktor yang mungkin mempercepat terjadinya epidemik penyakit busuk buah di areal pertanaman kakao sekitar Taman Nasional Lore Lindu yang merupakan hutan primer. Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora merupakan penyakit yang sangat penting pada pertanaman kakao. Penyakit ini dapat menyebabkan kehilangan hasil karena busuk buah 20 hingga 30% di seluruh dunia dan kematian tanaman karena kanker batang hingga 10% tiap tahunnya (Guest 2007). Kehilangan hasil dapat lebih tinggi di daerah dengan kelembaban dan curah hujan yang tinggi (Bowers et al. 2001). Permasalahan penyakit busuk buah kakao, bila dikendalikan secara konvensional dengan cara penggunaan pestisida akan sangat mahal, seringkali tidak efektif, bahkan akan menurunkan kualitas lingkungan, kehilangan/penurunan keragaman hayati, penurunan mutu air dan tanah karena terpapar pestisida sintetis.
Penyakit ini perlu dikendalikan
dengan konsep pengendalian hama secara terpadu (PHT). Penerapan PHT dalam pengelolaan penyakit busuk buah harus memperhatikan keterkaitan antara inang (yaitu tanaman kakao), patogen (P. palmivora), dan lingkungan biotik serta abiotik di mana tanaman berada. Praktek budidaya yang diaplikasikan oleh petani
3 sebagai pengelola pertanaman akan mempengaruhi ketiga faktor tersebut. Metode yang disarankan dengan penggunaan varietas tahan, mengurangi kelembaban di dalam pertanaman dengan cara pemangkasan dan fitosanitari dengan cara mengubur buah dan kulit buah yang sakit. Sayangnya di tingkat petani belum tersedia varietas tahan dengan sifat agronomi dan mutu buah yang diinginkan. Demikian juga dengan praktek fitosanitari (seperti yang dianjurkan oleh pemerintah Indonesia pada Gerakan Nasional Kakao dan dipraktekkan oleh beberapa petani di Sulawesi Tengah), memerlukan waktu yang lama dan tempat yang luas untuk mengubur kulit buah kakao dan buah sakit karena kulit buah kakao sangat lambat terdekomposisi. Saat ini, alternatif pengendalian yang menjanjikan dan sedang banyak diteliti adalah memanfaatkan hubungan antara mikroorganisme dengan tanaman sebagai inangnya.
Pada umumnya tumbuhan dikolonisasi oleh beragam
mikroorganisme, berada di atas permukaannya atau masuk ke dalam jaringan inang. Cendawan endofit, yaitu cendawan yang hidup di dalam jaringan inang tetapi tidak menimbulkan gejala penyakit pada inangnya, diduga merupakan mikroorganisme yang paling banyak sebagai pengkoloni inang (Schulz & Boyle 2005). Bahkan cendawan endofit di daerah tropis dikatakan sebagai hyperdiverse, keragamannya sangat tinggi (Arnold et al. 2000). Cendawan endofit dicirikan dengan mengkolonisasi jaringan inang tanpa menimbulkan gejala penyakit (Wilson 1995). Selain pada Gramineae, cendawan ini juga ditemukan dalam keragaman dan populasi yang tinggi pada tumbuhan pohon/berkayu (Johnston 1998; Arnold et al. 2001; Gamboa et al. 2002).
Cendawan endofit dapat
ditransmisikan secara vertikal dari biji ke bagian tanaman lainnya atau secara horizontal dari tanaman satu ke tanaman lainnya.
Cendawan endofit dapat
meningkatkan ketahanan inangnya terhadap lingkungan yang tidak mendukung dengan cara menginduksi ketahanan inang atau memproduksi metabolit sekunder yang menekan perkembangan patogen.
Di lain pihak cendawan endofit
mendapatkan makanan dari inang dan terlindung dari pencucian karena hujan atau angin karena berada di dalam jaringan inang. Arnold et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman kakao membawa cendawan endofit dalam ragam yang tinggi. Beberapa di antara cendawan ini
4 diduga dapat berperan sebagai penginduksi ketahanan tanaman terhadap penyakit (Arnold et al. 2003; Rubini et al. 2005). Pemanfaatan cendawan endofit dapat menjadi alternatif pengendalian penyakit busuk buah kakao yang menjanjikan (Guest 2007). Arnold et al. (2003), Rubini et al. (2005), Mejia et al. (2008) berhasil mengisolasi cendawan ini dan menguji kemampuannya untuk menekan pertumbuhan dan perkembangan patogen secara in vitro dan in vivo. Berdasarkan pengujian tersebut, ditemukan beberapa cendawan
endofit
yang
potensial
sebagai
agens
hayati,
di
antaranya
Colletotrichum gloeosporioides dan Clonostachys rosea. Sayangnya, penelitian tentang endofitik pada kakao masih terpusat di daerah Amerika Tengah, daerah di mana tanaman kakao diduga berasal (Sereno et al. 2006). Segala hipotesis tentang interaksi inang dengan cendawan endofit khususnya kakao (Herre et al. 2005) hanya mewakili daerah tersebut, belum mewakili kondisi di daerah tropis penanam kakao lainnya di dunia. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu studi yang bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang keragaman cendawan endofit di Indonesia sebagai salah satu produsen kakao tertinggi di dunia. Studi ini diawali dengan menginventarisir faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit di lapangan, termasuk keragaman morfospesies cendawan endofitnya. Dari studi pertama ini akan diperoleh beberapa faktor lingkungan dan praktek budidaya yang berkaitan dengan tinggi atau rendahnya kejadian penyakit di lapangan.
Studi selanjutnya dimaksudkan untuk
mengeksplorasi mikroba bermanfaat yang ada di lapangan. Cendawan endofit dipilih sebagai objek penelitian berikutnya karena studi tentang mikroba ini tergolong masih jarang dilakukan. Keragaman dan kelimpahan cendawan endofit dianalisis, dikorelasikan dengan epidemik penyakit busuk buah di lapangan. Spesies cendawan endofit yang kelimpahannya berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit, dalam arti kejadian penyakit rendah ketika kelimpahannya tinggi, diuji lebih lanjut untuk membuktikan kemampuannya dalam menekan keparahan penyakit pada buah kakao dan mekanisme yang berpotensi mendasarinya.
5 Urgensi (Keutamaan) Penelitian Penelitian tentang cendawan endofit di Indonesia tergolong sebagai hal yang relatif baru. Studi yang dilakukan ini merupakan pengembangan tentang interaksi mikroba-tanaman terutama cendawan di dalam tanaman tahunan di daerah tropis. Walaupun aspek mengenai cendawan endofit sudah dikemukakan oleh de Barry pada tahun 1866 (dalam Dayle et al. 2001), namun penelitian yg intensif baru dimulai pada akhir tahun 1980-an ( Clay 1988). Penelitian ini diawali dengan adanya ternak yang keracunan setelah memakan rumput yang membawa cendawan endofit yang memproduksi alkaloid. Penelitian pada tumbuhan berkayu berkembang kemudian, khususnya di daerah subtropis. Belum banyak publikasi tentang cendawan endofit di daerah tropis, baru dimulai oleh Arnold dan kawan-kawan pada di awal tahun 2000-an.
Mereka melakukan
penelitian keragaman cendawan endofit pada daun tanaman kakao di Amerika Selatan. Selain itu, penelitian ini juga merupakan terobosan teknologi dalam bidang pertanian.
Penelitian ini memanfaatkan interaksi tanaman dengan mikroba
khususnya pemanfaatan cendawan endofit dalam pengendalian penyakit tanaman. Teknologi ini juga dapat menunjang peningkatan produksi dan mutu kakao yang sedang dicanangkan oleh pemerintah melalui Gerakan Nasional Kakao. Pemanfaatan somatik embriogenesis yang relatif bebas dari mikroba endofit dalam peremajaan kakao diduga lebih rentan terhadap serangan hama dan penyakit sehingga membutuhkan input mikroba bermanfaat dari luar. Adanya perhatian konsumen coklat terhadap masalah kerusakan lingkungan dengan penggunaan input pestisida sintetis menjadi nilai lebih pemanfaatan cendawan endofit dalam pengendalian penyakit kakao. Secara umum, tujuan dari penelitian ini adalah untuk menginventarisir faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit busuk buah kakao di lapangan, cendawan-cendawan endofit yang ada pada buah kakao beserta kelimpahannya, mengetahui pengaruh kekeringan terhadap populasi dan keragaman cendawan endofit di alam, dan mendapatkan cendawan endofit yang berpotensi mengendalikan penyakit busuk buah pada kakao.
6 Tujuan Penelitian •
Menganalisis interaksi faktor lingkungan, praktek budidaya,
inang,
keragaman morfospesies cendawan endofit dengan epidemik penyakit busuk buah kakao. •
Mengkaji keragaman cendawan endofit buah kakao pada kondisi ekosistem yang relatif basah dan kering serta korelasinya dengan penyakit busuk buah kakao
•
Menguji kemampuan beberapa cendawan endofit dalam menekan penyakit busuk buah kakao dan mekanisme yang mendasarinya.
Dari penelitian ini diharapkan dapat diinventarisir faktor-faktor yang mendukung perkembangan penyakit busuk buah pada buah kakao, didapatkan isolat cendawan endofit yang berpotensi sebagai agensia hayati dalam mengendalikan busuk buah kakao. Juga diharapkan didapatkan informasi dasar tentang cara kerja (mode of action) cendawan endofit dalam mengendalikan busuk buah kakao.
Hypotesis 1. Semakin kecil intervensi pada agroekosistem kakao, maka keseimbangan ekologi alami akan lebih baik, sehingga kejadian penyakit busuk buah pada kakao semakin rendah 2. Kejadian penyakit busuk buah akan rendah pada pertanaman yang dekat ke hutan primer, frekuensi penyiangannya lebih jarang, keragaman cendawan endofitnya tinggi, berada pada ketinggian yang lebih rendah, tanaman yang berumur tua, persentase naungan dari tanaman pelindung rendah, sebelumnya adalah areal hutan, diameter tajuk rendah. 3. Penggunaan pestisida kimia pada musim sebelumnya dan penggunaan pupuk N akan menyebabkan tingginya epidemik penyakit busuk buah kakao. 4. Kekeringan menyebabkan keragaman cendawan endofit berkurang.
7 5. Ada korelasi antara kelimpahan cendawan endofit dengan kejadian penyakit busuk buah Phytophthora. 6. Beberapa cendawan endofit berperan sebagai penginduksi ketahanan tanaman kakao terhadap busuk buah pada kakao.
Gambar 1.1 Alur Penelitian
Keluaran: Diperoleh cendawan endofit yang berpotensi sebagai agens biokontrol
Isolasi patogen dan uji patogenisitasnya Uji patogenesitas cendawan endofit Uji kemampuan sebagai endofit Evaluasi aktivitas cendawan endofit terhadap patogen in vitro dan in vivo • Evaluasi kemampuan endofit menginduksi ketahanan tanaman
• • • •
PENELITIAN 3 Potensi cendawan endofit sebagai penginduksi ketahanan tanaman
• Rekomendasi pengelolaan pertanaman yang sehat, berkelanjutan dan mendukung konservasi cendawan endofit • Saran pengujian cendawan endofit lebih lanjut
Keluaran: • Hubungan epidemik penyakit dengan faktor lingkungan dan praktek budidaya, umur inang serta keragaman morfospesies cendawan endofit
• Isolasi cendawan endofit • Identifikasi secara morfologi dan molekuler • Penghitungan keragaman cendawan endofit • Penghitungan kejadian penyakit
• Penghitungan kejadian penyakit • Pencatatan faktor lingkungan, praktek budidaya, penyiangan dan pemupukan • Isolasi dan identifikasi morfospecies cendawan endofit
Keluaran: • Identifikasi spesies yang lebih akurat • Hasil sekuen LSU rDNA isolat • Keragaman cendawan endofit pada musim hujan dan kemarau • Koleksi cendawan endofit • Korelasi kejadian penyakit dengan kelimpahan cendawan endofit
PENELITIAN 2 • Eksplorasi dan identifikasi cendawan endofit, penghitungan kejadian penyakit pada plot ENSO
PENELITIAN 1 Identifikasi faktor-faktor pendukung berkembangnya penyakit di lapangan
8
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
Busuk Buah Kakao oleh Phytophthora palmivora Busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora merupakan penyakit paling penting di pertanaman kakao di seluruh dunia (Guest 2007). Penyakit ini menyebabkan hilangnya produksi dunia 20% hingga 30%. Di daerah dengan curah hujan dan kelembaban yang tinggi kehilangan hasil dapat lebih tinggi. Selain menyerang buah, P. palmivora juga menyerang daun, pucuk, akar, buah kecil, bunga dan batang (kanker batang).
Kematian tanaman karena
serangan patogen ini juga cukup tinggi di seluruh dunia, dapat mencapai 10% dalam setahun (Guest 2007). Tanaman inang P. palmivora bukan hanya kakao, tetapi juga lada, kelapa, dan karet. Ruzelfin (1989) menguji virulensi patogen yang berasal dari ketiga tanaman tersebut terhadap kakao dan menemukan bahwa isolat dari karet dan kelapa dapat menginfeksi/patogenik terhadap kakao, tetapi isolat dari lada tidak dapat menginfeksi kakao. Dia juga menemukan bahwa isolat dari karet lebih virulen bila dibandingkan dengan isolat dari kelapa. Di Brazil, ada tiga spesies Phytophthora yang menyerang kakao, yaitu P. capsici, P. palmivora,dan P. citrophthora.
Di Afrika, P. megakarya juga
menyerang kakao. P. capsici kurang virulen bila dibandingkan dengan yang lainnya walaupun pada awalnya merupakan spesies yang paling dominan (populasi paling tinggi) di Bahia, Brazil. Namun pada saat ini, P. palmivora ditemukan paling dominan di pertanaman kakao di Brazil dengan mengisolasi dari tanah (Pereira 1992).
Cendawan endofit Sinclair & Cerkauskas (1996) mendefenisikan cendawan endofit sebagai cendawan yang berasosiasi dengan tanaman sehat tanpa memperlihatkan gejala sakit. Patogen yang melakukan infeksi laten juga merupakan mikroba endofit tetapi suatu saat akan berubah menjadi patogenik. Cendawan endofit diartikan
10 sebagai asosiasi yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme). Cendawan endofit memiliki kespesifikan inang yang tinggi, simbiosis mutualisme: tidak ada kerusakan pada sel atau jaringan, terjadi siklus nutrisi atau bahan kimia antara endofit dan inangnya, meningkatkan daya bertahan hidup inang, meningkatkan kemampuan berfotosintesis inang, juga meningkatkan kemampuan bertahan hidup cendawan. Penelitian tentang cendawan endofit awalnya dimulai pada rumputrumputan di daerah subtropis-temperate. Asosiasi rumput dan endofit terutama didasarkan pada proteksi inang terhadap stress abiotik dan biotik tidak seperti simbiosis tumbuhan dan mikroba lainnya yang didasarkan pada akuisisi sumber mineral (nutrisi) (Clay dan Schardl 2002). Azevedo et al. (2000) mengungkapkan bahwa masih sangat kurang informasi tentang cendawan endofit dari daerah tropik. Cendawan endofit diduga berasal dari cendawan-cendawan tanah, kemudian masuk ke dalam jaringan inang.
Cendawan endofit pada rumput
tumbuh dalam interseluler dan sistemik pada bagian tanaman di atas permukaan tanah (Clay dan Schardl 2002). Sebagian besar cendawan endofit ditransmisikan secara horizontal seperti pada kakao (Arnold 2003), sebagian lagi secara vertikal atau melalui biji seperti pada rumput-rumputan (Ernst et al. 2003). Dongyi et al. (2004) melakukan penelitian terhadap Acremonium implicatum yang merupakan cendawan endofit pada rumput Brachiaria. Benih dari tanaman yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi cendawan endofit ditanam. Hasilnya adalah benih dari tanaman terinfeksi akan tetap terinfeksi, sedangkan benih dari induk tidak terinfeksi jiga menghasilkan tanaman yang tidak terinfeksi.
Oleh karena itu
mereka menyimpulkan bahwa A. implicatum dapat diwariskan ke keturunan berikutnya lewat biji. Selain lewat biji, cendawan endofit juga dapat diwariskan ke keturunan berikutnya lewat sel telur atau alat perbanyakan vegetatif, tetapi jarang melalui sperma (Ernst et al. 2003).
Dari teori evolusi diduga transmisi
endofit secara vertikal merupakan interaksi mutualistik yang kuat dengan inang(Faeth 2002). Perbanyakan inang merupakan cara bertahan hidup endofit dan antara gen inang dan mikroba endofit terjadi saling bertautan (closely linked).
11 Bukti
secara
molekuker
memperlihatkan
bahwa
banyak
endofit
yang
ditransmisikan lewat biji merupakan interspesific hybrids (Clay & Schardl 2002). Agar dapat hidup selaras bersama-sama, genom inang-endofit diwariskan bersama-sama.
Oleh karena itu simbion ini terkait secara langsung dengan
perubahan perlahan-lahan (evolusi) populasi inangnya (Clay et al. 2005). Sebagian besar endofit menghasilkan senyawa alkaloid yang berperan dalam pertahanan tanaman terhadap gangguan hama dan penyakit. Hibridisasi memungkinkan proliferasi dari gen yang mengontrol produksi alkaloid di antara aseksual endofit. Alkaloid ergot ergovaline, lolitrems, dan lolines diproduksi hanya oleh seksual Epichloe festucae, tetapi senyawa ini juga umum ditemukan pada endofit yang ditransmisikan lewat biji. Hal ini mengindikasikan bahwa gen untuk mensintesisnya berasal dari E. festucae. Aseksual hybrids mungkin juga didapat dari pemulihan akumulasi mutasi delesi (deleterious mutation) (Muller’s rachet) (Clay & Schardl 2002).
Cendawan endofit juga berusaha untuk
beradaptasi dengan lingkungannya dengan membuat keragaman genetiknya misalnya dengan hibridisasi. Sullivan dan Faeth (2004) menggunakan marker microsatelite untuk melihat laju gene flow di antara empat populasi Neotyphodium dari rumput Arizona fescue (Festuca arizonica). Keragaman haplotipe umumnya rendah; hanya satu populasi yang memiliki lebih dari dua haplotipe. Haplotipe membawa banyak lokus di mana beberapa atau semua lokus mikrosatelit juga ditemukan,
yang
mengindikasikan
bahwa
hibridisasi
vegetatif
antara
Neotyphodium dengan inang rumput menghambat Epichloe, sedangkan produksi alkaloid hanya dikontrol oleh seksual Epichloe. Gene flow di antara populasi Neotyphodium juga sangat rendah, lebih rendah daripada gene flow oleh pollen inang.
Perbedaan kecepatan gene flow ini diprediksi menjadi penyebab
ketidakcocokan (mismatching) antara endofit dengan inangnya.
Hal ini juga
diduga menjadi penyebab rendahnya atau malah tidak diproduksinya alkaloid pada rumput Arizona fescue dan rumput liar lainnya (Faeth et al. 2004). Williams dan Gwinn (1999) membandingkan enzim yang diproduksi oleh benih Festuca arundinacea yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi cendawan endofit Neotyphodium coenophialum.
Dari uji tersebut didapatkan bahwa
12 aktivitas peroxidase tinggi pada benih terinfeksi endofit, sedangkan catalase dan superoxide dismutase tidak berbeda nyata pada kedua perlakuan. Selain untuk kesehatan tanaman, cendawan endofit juga banyak diteliti untuk kesehatan manusia. Wiyakrutta et al. (2004) mengisolasi cendawan endofit dari berbagai tanaman obat di Thailand.
Berdasarkan perbedaan morfologi,
cendawan tersebut dipisah-pisahkan. Tiap isolat dibiakkan di dalam malt Czapek broth dan yeast extract sucrose broth, ekstraknya diambil untuk diuji aktifitas biologinya. Dari ekstrak tersebut, 92 isolat dapat menghambat Mycobacterium tuberculosis, ekstrak 6 isolat dapat menghambat Plasmodium palsivarum, 40 isolat dapat menghambat virus Herpes, 60 dapat menghamat pertumbuhan kanker mulut, 48 menghambat sel kanker payudara.
Pengaruh kehadiran cendawan endofit pada tingkat individu inang dan dalam komunitas Rumput-rumputan
(famili
Poaceae)
dan
cendawan
dari
famili
Clavicipitaceae telah diketahui hidup bersimbiosis saling menguntungkan (Schardl et al. 2004). Pada simbiosis mutualisme, cendawan Epichloe (bentuk aseksual: Neotyphodium spp.) ditransmisikan secara vertikal lewat biji inang (Pan & Clay 2002). Cendawan endofit akan mendapatkan keuntungan berupa tempat hidup, nutrisi dan penyebaran melalui perbanyakan inang dan cendawan endofit dapat meningkatkan ketahanan tanaman terhadap hama, nematode akar, meningkatkan ketahanan terhadap kekeringan dan toleran terhadap nutrisi rendah. Azevedo et al. (2000) dan Faeth & Fagan (2002) mengungkapkan bahwa ekspresi kehadiran cendawan endofit pada inang dipengaruhi oleh genetik endofit dan inangnya dan kondisi lingkungan saat itu. Faeth & Fagan (2002) membuat model produksi alkaloid oleh inang dengan perubahan konsentrasi nitrogen. Mereka menyimpulkan bahwa produksi alkaloid akan tinggi bila nitrogen tinggi dan sebaliknya akan rendah bila N rendah. Namun demikian, di alam, genotype inang dan faktor lingkungan lainnya seperti ketersediaan air juga berpengaruh. Penelitian yang dilakukan oleh Ahlholm et al. (2002) terhadap dua jenis gramineae Festuca pratensis dan F. rubra memperlihatkan bahwa respon inang akan beragam terhadap infeksi cendawan endofit dalam kondisi tinggi atau rendah
13 nutrisi dan perlakuan pengairan.
Dalam kondisi kering dan rendah nutrisi,
pertumbuhan vegetatif dan produksi benih inang akan berkurang bila dibandingkan dengan inang tanpa cendawan endofit. Hal ini merupakan ‘harga yang harus dibayar’ dengan adanya cendawan endofit, tidak seperti dalam berbagai
literatur
yang
mengatakan
bahwa
cendawan
endofit
selalu
menguntungkan tanaman. Kedua inang yang diuji memiliki tingkat respon yang berbeda juga.
Perbedaan itu mungkin disebabkan oleh perbedaan strategi
bertahan hidup (life-history strategies) dan kebutuhan lingkungan bagi kedua spesies gramineae dan spesies cendawan yang mungkin berubah sepanjang sejarah hidup masing-masing tumbuhan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Lewis (2004) memperlihatkan bahwa pengaruh cendawan endofit Neotyphodium lolii terhadap tiga genotype Lolium perenne tidak konsisten terhadap pertumbuhan inang dalam kondisi stress biotik (infeksi ryegrass mosaic virus) dan stress abiotik (pH rendah, waktu interval pemanenan, tinggi pemanenan, peneduh, N rendah). Pada interaksi endofit-inang dari rumput liar (native grass) didapatkan bahwa infeksi cendawan endofit Neothypodium pada rumput asli Arizona fescue menurunkan bobot biomas akar dan tajuk, menurunkan fitness inang dengan menurunnya competitive properties, paling tidak dalam jangka waktu pendek. Hal ini berbeda sangat nyata dengan hasil penelitian terhadap rumput introduksi yang telah dibudidayakan yang memperlihatkan sifat mutualistik yang tinggi dengan cendawan endofit (Faeth et al. 2004). Cendawan sistemik Epichloe glyceriae yang menginfeksi rumput Glyceria striata akan menghambat produksi biji (Schardl et al. 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Pan & Clay (2002) memperlihatkan bahwa rumput tersebut akan memproduksi stolon (clonal growth) lebih banyak dibandingkan dengan rumput yang tidak terinfeksi endofit. Cara ini mungkin merupakan mekanisme yang efektif bagi genotype inang tersebut untuk tetap bertahan hidup, yang mungkin berlaku bagi cendawan endofit lainnya yang menghambat pembentukan biji. Makin tinggi biological diversity dalam suatu komunitas, makin resisten komunitas tersebut terhadap invasi pendatang baru.
Tetapi bila pendatang
tersebut berasosiasi dengan organisme lain misalnya dengan cendawan endofit
14 mutualist, maka keresistenan tersebut dapat dipatahkan sehingga pendatang dapat bertahan hidup di tempat baru atau dapat masuk ke dalam komunitas tersebut (Rutgers et al.2005). Penelitian yang dilakukan oleh Lehtonen et al. (2005) membuktikan bahwa kekompleksan (complexity) terjadi pada interaksi tingkat komunitas, dan interaksi multispesies tidak dapat diprediksi dari pemasangan dua spesies saja. Mereka melakukan penelitian terhadap inang rumput (Lolium pretense) dengan cendawan endofitnya (Neotyphodium uncinatum), tumbuhan parasit akar (Rhinanthus serotinus), dan herbivore generalis (aphis Aulacorhum solani). Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa parasit akar mengambil mikotoksin yang diproduksi oleh cendawan endofit dari inang rumput.
Dengan mikotoksin
tersebut, parasit akar dapat bertahan dari serangan herbivora aphid, sehingga parasit akar akan makin menekan inang rumput. Dengan demikian, kehadiran cendawan endofit bermanfaat (mutualist) berubah menjadi merugikan bagi inang dengan kehadiran tumbuhan parasit akar.
Sumber Inokulum Cendawan Endofit Cendawan endofit lebih banyak ditemukan pada rumput liar yang tumbuh secara alami (10 dari 14 spesies yang diteliti), dibandingkan dengan rumput yang dibudidayakan (hanya pada 2 spesies dari 13 spesies (97 kultivar) yang diamati). Di alam, cendawan endofit memberikan kemampuan bagi inangnya untuk dapat bertahan hidup bila dibandingkan dengan yang tidak terinfeksi (Saikkonen et al. 2000). Untuk mendapatkan 349 cendawan endofit dari tanah hutan, Narasiwa et al. (2004) memancingnya menggunakan tanaman melon, barley, terong, dan kubis cina.
Dari semua cendawan endofit yang didapatkan, ada tiga yang mampu
menghambat perkembangan penyakit verticillium yellows pada kubis cina yang telah diinokulasi dengan Verticillium longisporum. Dua dari endofit tersebut adalah Phialocephala fortinii dan satunya lagi berupa ‘dark septate endophytic (DSE) fungus’. DSE menyebabkan lapisan epidermis dan kortikel inang menebal sehingga sulit dipenetrasi oleh patogen.
15 Pada tanaman kakao (Theobroma cacao), adanya naungan dan umur daun mempengaruhi keragaman cendawan endofit yang diisolasi dari tempat tersebut, tetapi tidak dipengaruhi oleh letak geografis tanaman dan ada tidaknya infeksi patogen (Arnold & Herre 2003). Cendawan endofit juga tidak spesifik pada jaringan tertentu, isolat yang ditemukan di batang juga ditemukan di daun. Banyak cendawan endofit yang membentuk struktur reproduksi hanya pada bagian tanaman yang sudah tua/mati. Contoh ekstrim akan hal ini misalnya endofit yang diisolasi dari conifer. Studi histology memperlihatkan bahwa endofit ini hanya terdiri dari beberapa hifa bersel satu hingga tanaman tua (Dix dan Webster 1995).
Ketahanan Tanaman terhadap Patogen Mekanisme ketahanan tanaman terhadap patogen secara umum merupakan kombinasi dari dua sistim pertahanan yaitu ketahanan struktural dan ketahanan biokimia (Agrios 2005). Kedua ketahanan tersebut dapat berupa ketahanan yang bersifat pasif atau yang bersifat aktif sebagai hasil induksi dari faktor luar (Huang 2001). Ketahanan yang bersifat pasif merupakan ketahanan yang sudah terbentuk di dalam tanaman dan merupakan karakteristik yang normal dalam perkembangan tanaman tersebut, misalnya ketebalan kutikula, pembukaan stomata, jumlah trikoma, dan adanya senyawa antimikroba (fitoantisipin) di dalam tanaman tersebut. Ketahanan yang bersifat aktif atau ketahanan terinduksi merupakan ketahanan yang terekspresi segera setelah adanya serangan mikroba patogen. Penginduksi ketahanan tanaman dapat berupa bahan kimia, adanya pelukaan pada tanaman, mikroba non patogenik, atau patogen itu sendiri. Hasil dari ketahanan ini juga berupa ketahanan struktural (misalnya fortifikasi atau penebalan dinding sel) dan biokimia (biosintesis fitoaleksin dan akumulasi PR protein) (Huang 200; van Etten et al. 1994 ). Ketahanan struktural terinduksi menyebabkan perubahan ketahanan tanaman terhadap serangan patogen. Sesaat setelah terserang patogen, tanaman segera membentuk pertahanan yang dapat berupa pembentukan kalus, pembentukan papilla, penebalan dinding sel dengan lignin, suberin, dan glikoprotein kaya hiroksilprolin.
16 Fitoaleksin didefenisikan sebagai metabolit sekunder yang disintesis dan terakumulasi di dalam tanaman setelah terekspos atau terpapar terhadap mikroorganisme (Paxton 1980). Fitoaleksin merupakan senyawa dengan berat molekul yang rendah (Hammerschmidt 1999). Mert-Tűrk (2002) mengemukakan bahwa bila fitoantisipin tidak berhasil menghambat perkembangan patogen yang menyerang tanaman, maka fitoaleksin akan disintesis dan melanjutkan kerja fitoantisipin dalam menghambat perkembangan patogen. Ketahanan biokimia selanjutnya adalah akumulasi Pathogenesis Related protein (PR protein). PR protein didefenisikan sebagai protein yang disandikan oleh tanaman inang tetapi terinduksi hanya dalam kondisi sakit atau keadaan yang berhubungan dengan kondisi patologi (Antoniw et al. 1981). Sedikitnya telah diketahui 14 kelas PR protein dengan ciri-ciri protein dengan berat molekul rendah (6-43 kDa), dapat diekstraksi dan stabil dalam kondis pH rendah (< 3), tahan panas, resisten terhadap protease (van Loon dan van Strein 1999). PR protein ini di antaranya adalah ekstraselular acidic protein, β-1,3-glukanase, kitinase I-V, kitosanase, sweet tasting protein thaumatin, protease inhibitor, endoproteinase, peroxidase, protein intraselular mirip ribonuclease, tionin dan plant defensins, proteins pentransfer lipid, α- amylase (Huang 2001). Biotik penginduksi PR protein yang telah dikenal adalah patogen, serangga, nematoda, herbivora dan gulma Orobanche (tumbuhan parasit); bahan kimia penginduksi seperti asam salisilat, poliakrilik, asam lemak, garam inorganik; stimulasi fisik dapat juga berperan sebagai penginduksi seperti pelukaan, radiasi UV-B, tekanan osmotik tiba-tiba, suhu rendah, kekurangan atau kelebihan air (Edreva 2005). Ketahanan tanaman yang didapatkan karena induksi seperti dijelaskan di atas disebut Systemic Acquired Resistance (SAR). Induksi ketahanan lainnya adalah Induced Systemic Resistance (ISR), yaitu ketahanan yang didapatkan dari induksi oleh mikroba non patogenik Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) dan mikoriza dengan etilen dan asam jasmonat sebagai senyawa signal transduksinya dan tidak melibatkan gen PRs (Pieterse et al. 1996). Semua ketahanan struktural sebagai hasil respon terhadap infeksi merupakan hasil dari proses biokimia.
Di lain pihak, PR protein seperti
17 peroksidase
sebagai
respon
ketahanan
biokimia
juga
berperan
dalam
lignifikasi/penebalan dinding sel tanaman. Oleh karena itu, pemisahan antara ketahanan struktural dan ketahanan biokimia sering kabur dan saling tumpang tindih (Huang 2001).
Mikroba Endofit sebagai Penginduksi Ketahanan Tanaman Penelitian terbaru tentang mekanisme kerja mikroba endofit dalam meningkatkan ketahanan inang terus berkembang.
Dari berbagai penelitian
tersebut diketahui bahwa mekanisme utama endofit dalam meningkatkan ketahanan inang berupa induksi ketahanan, dengan cara mengaktifkan gen-gen ketahanan inang yang ada tetapi dalam kondisi inaktif. Mekanisme induksi ketahanan tanaman yang telah diketahui secara umum adalah dengan cara Induced Systemic Resistance (ISR) atau Systemic Acquired Resistance (SAR). ISR merupakan induksi ketahanan sistemik pada tanaman oleh mikroba tanah bermanfaat dan tidak patogenik seperti plant growth promoting rhizobacteria dan mikoriza, melibatkan jasmonic acid dan etilen sebagai senyawa penginduksi, serta tidak melibatkan ekspresi gen PR (Pathogenesis Related genes) tetapi gen lain yang belum diketahui.
Sedangkan SAR merupakan induksi
ketahanan sistemik yang dipicu oleh adanya infeksi patogen, adanya hipersensitive reaction, atau aplikasi bahan kimia, melibatkan senyawa asam salisilat, dan melibatkan ekspresi gen PR (Pieterse et al. 1996). Hasil penelitian induksi ketahanan oleh cendawan endofit diketahui ternyata melibatkan senyawa asam salisilat, asam jasmonat dan peroksidase (Shirasu et al. 1997; Segarra et al. 2007). Bila melihat defenisi ISR dan SAR (Pieterse et al. 1996), maka mekanisme induksi ketahanan oleh cendawan endofit melibatkan keduanya. Namun karena cendawan endofit tidak patogenik, maka Gao et al. (2010) mengusulkan bahwa mekanisme cendawan endofit adalah ISR tetapi dengan melibatkan gen PR. Selain itu, defenisi ISR dan SAR seperti yang disebutkan di atas perlu ditinjau kembali.
Park dan Kloepper (2000) membuktikan bahwa PR-1a
terinduksi dengan aplikasi PGPR untuk mengendalikan Pseudomonas syringae pv. tabaci pada tanaman tembakau. Aplikasi PGPR pada Arabidopsis thaliana,
18 tomat dan maculicola dengan 4 isolat PGPR, 2 isolat PGPR tidak membutuhkan asam jasmonat atau etilen sebagai molekul signalnya (Ryu et al. 2003). Penelitian Zhang et al. (2002) mendapatkan bahwa bakteri PGPR Serratia marcescens strain 90-166 yang berperan dalam menekan patogen kapang abu (blue mold) Peronospora tabacina pada tembakau juga mampu menghasilkan asam salisilat dalam media tryptic soy broth (TSB) dan di dalam pesemaian pada minggu pertama setelah inokulasi PGPR. Cendawan endofit Trichoderma viride diketahui ternyata mampu menekan perkembangan patogen Diplodia corticola, penyebab kanker, nekrosis pada pembuluh dan mati pucuk pada tanaman oak (Campanile et al 2007). Mendoza dan Sikora (2009) mengkombinasikan cendawan endofit Fusarium oxysporum strain 162 dengan bakteri antagonis Bacillus firmus untuk mengendalikan patogen nematode Radopolus similis pada tanaman pisang dan berhasil menurunkan populasi patogen hingga 86.2%, lebih tinggi bila dibandingkan dengan aplikasi tunggal yang hanya sebesar 63.7% bila bakteri sendiri dan 27.8% bila cendawan sendiri. Narisawa et al (2002) memanfaatkan cendawan endofit Heteroconium chaetospira, P. fortinii, dan unidentified species of Fusarium, Penicillium, Trichoderma dan Mycelium radicis atrovirens (MRA) yang diisolasi dari akar terong, stoberi dan kubis, ternyata mampu mengendalikan penyakit layu pada terong yang disebabkan oleh Verticillium dahliae hampir 100%.
Metode Cepat untuk Evaluasi Ketahanan Kakao Tanaman kakao merupakan tanaman tahunan yang membutuhkan waktu yang cukup lama (sekitar 18 bulan atau bahkan empat tahun pada klon-klon lama) untuk memulai berbuah. Oleh karena itu akan butuh waktu yang cukup lama bila pengujian ketahanan tanaman terhadap penyakit dilakukan pada tanaman di lapangan.
Untuk mengatasi masalah ini beberapa peneliti telah melakukan
pengujian pada daun bibit kakao.
Iwaro et al. (1997) menginokulasi daun
pembibitan kakao dan mendapatkan bahwa inokulasi dengan pelukaan (ketahanan post
penetration)
lebih
menggambarkan
ketahanan
buah
di
lapangan
dibandingkan dengan inokulasi tanpa pelukaan (ketahanan prepenetration).
19 Surujdeo-Maharaj et al. (2001) kemudian membuktikan bahwa tidak ada hubungan antara ketahanan post penetration dengan prepenetration dan menyatakan bahwa kedua ketahanan itu diatur oleh sistem ketahanan yang berbeda. Tahi et al. (2006a) membandingkan pengujian inokulasi pada daun dengan detached leaf dengan keparahan penyakit di lapangan yang didata selama tujuh tahun sebelumnya.
Berdasarkan hasil pengujian ini dilaporkan bahwa
pengujian bibit dapat merefleksikan keparahan penyakit di lapangan pada varietas yang sama. Tahi et al. (2006b) juga menemukan bahwa penggunaan daun bibit untuk evaluasi ketahanan sangat dipengaruhi oleh klon kakao, masa inkubasi dan umur daun yang digunakan. Selain itu, uji dengan metode evaluasi ketahanan dengan daun terpetik (detached leaf) juga dipegaruhi oleh intensitas cahaya terhadap daun di lapangan dan waktu pengambilan daun (Tahi et al. 2007). Mereka menyarankan untuk menggunakan daun berumur 50-60 hari karena menggambarkan ketahanan klon, pengamatan pada hari ke lima setelah inokulasi, mengambil daun yang terpapar cahaya sedang dan diambil pada pagi hari dan menginokulasi secepatnya di laboratorium.
BAB 3 ASOSIASI FAKTOR LINGKUNGAN DAN PRAKTEK BUDIDAYA DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH KAKAO: STUDI KASUS DI TEPI TAMAN NASIONAL LORE LINDU, SULAWESI TENGAH (ENVIRONMENTAL FACTORS AND MANAGEMENT PRACTICES RELATED TO THE EPIDEMICS OF BLACK POD DISEASE OF CACAO IN SULAWESI) Abstract Some factors affecting epidemics of black pod disease (BPD) of cacao were investigated in 86 plots in two sub-districts adjacent to Lore Lindu National Park, Sulawesi, Indonesia. The factors investigated included environmental factors (altitude, distance to pristine forest, preceding cropping practices, land use history, the diversity of endophytic fungi morphospecies), management practices (weeding frequency, degree of shading, fertilizer application, canopy cover), and the age of host trees. Simple correspondence analyses were performed to examine the association between the BPD epidemics and the assessed parameters. Weeding frequency, altitude, preceding cropping practices, and land use history before establishment of the cacao plantation were significantly associated with the BPD epidemics of cacao, while application of nitrogen fertilizer, distance to pristine forests, plant age, canopy cover, diversity of endophytic fungi and degree of shading by 40 shade trees were not associated with disease development. BPD incidence was highest in plots that: were located at > 600 m a.s.l. (above sea level); were previously occupied by pristine forest or perennial plants; had prior intensive inputs of pesticides and fertilizers; and had a high frequency of weeding. Key words: pristine forest, Phytophthora palmivora, correspondence analysis, weeding frequency, shade trees Abstrak Kajian beberapa faktor yang mempengaruhi epidemik penyakit busuk buah kakao dilakukan pada 86 plot di dua kecamatan yang berbatasan dengan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah. Kajian meliputi faktor lingkungan (ketinggian tempat, jarak ke hutan primer, praktek budidaya sebelumnya, sejarah penggunaan lahan, keragaman morfospesies cendawan endofit), praktek budidaya (frekuensi penyiangan, tingkat naungan dari pohon pelindung, pemupukan, persentase penutupan area oleh tajuk kakao), dan umur tanaman kakao. Hubungan antara faktor yang diamati dengan epidemik penyakit busuk buah dianalisa melalui analisis korespondensi sederhana (Simple Correspondence Analysis, SCA). Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao, berasosiasi nyata dengan epidemi busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, persentase penutupan areal oleh tajuk kakao, keragaman cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit
22 tertinggi ditemukan pada plot yang terletak >600 m dpl; areal yang sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; sebelumnya mendapat input pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi. Kata kunci: hutan primer, Phytophthora palmivora, analisis korespondensi sederhana, frekuensi penyiangan, tanaman pelindung
Pendahuluan Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) diduga berasal dari hutan hujan tropis di Brasil dan Meksiko (Orwa et al. 2009). Produk tanaman berupa biji yang manfaat utamanya sebagai bahan baku untuk pembuatan bubuk kakao dan coklat. Sejak tahun 1999, sekitar 70% dari pasokan kakao dunia diproduksi oleh Pantai Gading, Ghana, dan Indonesia (Gray 2001; www.fao.org; www.icco.org/statistics/production.aspx). Pada negara produsen kakao dunia, sebagian besar kakao ditanam oleh petani kecil dan menjadi mata pencaharian utama mereka (Gray, 2001). Demikian juga halnya di Indonesia, pada tahun 2009, 92.7% dari luas total perkebunan kakao di Indonesia dimiliki oleh petani kecil (Baon & Wardani, 2010). Kendala utama dalam budidaya kakao di seluruh dunia adalah penyakit busuk buah kakao, yang dapat mengurangi produksi hingga 20-30%. Dalam kasus-kasus tertentu, kehilangan hasil bahkan dapat mencapai 90% (Bowers et al. 2001; Guest, 2007). Penyakit busuk buah disebabkan oleh Phytophthora spp. (Kelas Oomycetes; Evans 2007), dan tujuh spesies Phytophthora telah diidentifikasi sebagai penyebab penyakit busuk buah, kanker batang, dan hawar daun di daerah penghasil kakao (Iwaro et al. 1997). Spesies ini termasuk P. megakarya (hanya ditemukan di Afrika Tengah dan Barat); P. citrophthora, P. megasperma, P. nicotianae, P. arecae, dan P. capsici (hanya ditemukan di Amerika Latin), dan P. palmivora (ditemukan di semua daerah penanam kakao) (Appiah et al. 2004; Erwin dan Ribeiro 1996; Iwaro et al. 1997; Risterucci et al. 2003). Setelah mensekuens ITS rDNA 20 isolat, Umayah et al. (2007) melaporkan bahwa penyebab penyakit busuk buah di enam provinsi di Indonesia adalah P. palmivora. Motulo et al. (2007) mengidentifikasi tiga ras P. palmivora setelah mensekuens
23 ITS rDNA 22 isolat P. palmivora yang terdiri dari dua ras asal kakao dan satu asal kelapa.
Epidemik penyakit busuk buah mungkin berbeda bergantung kepada
spesies dan ras Phytophthora, namun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Seperti penyakit tanaman lainnya, penyakit busuk buah dipengaruhi oleh berbagai faktor abiotik dan biotik (Mora-Aguilera dan Campbell 1997) termasuk kondisi lingkungan, praktek budidaya, dan status tanaman inangnya (Agrios 2005; Avelino et al. 2006; Hardwick 1998). Sehubungan dengan tanaman inang, tipe kakao yang paling banyak ditanam di Asia adalah jenis Trinitario, yang merupakan hibrida antara jenis Criollo dan Forastero (www.worldcacao-foundation.org; Motamayor et al. 2003). Criollo dianggap rentan terhadap P. palmivora, sedangkan Trinitario dianggap lebih tahan (Motamayor et al. 2003). Mawardi (1982) melaporkan bahwa jenis Trinitario adalah kultivar yang paling banyak ditanam di Indonesia, tetapi beberapa kultivar lainnya telah diperkenalkan di daerah penanam kakao sejak tahun 1974 (Butarbutar, 1977 dalam Tjasadihardja, 1987), termasuk Amelonado (West African Amelonado, WAA) dan kelompok Amazon (Upper Amazon Hybrid, UAH) (Angkapradipta et al. 1988; Wardojo, 1991). Kedua kultivar kakao ini merupakan jenis Forastero (Motamayor et al. 2003). Sebenarnya, kultivar kakao yang pertama diekspor dari Indonesia adalah jenis Criollo yang ditanam di Sulawesi dan mungkin diperkenalkan di kepulauan ini sekitar 1750-1778 (Toxopeus dan Giesberger, 1983) atau bahkan pada tahun 1560 dibawa oleh Spanyol dari Filipina (Mawardi, 1982). Pada awal 1900-an, jenis Criollo secara bertahap digantikan oleh jenis Trinitario karena Trinitario lebih tahan terhadap serangan Helopeltis dan penggerek buah kakao (Toxopeus dan Giesberger, 1983). Hibrida UAH memiliki fase produktif yang dimulai lebih awal (hanya 2 tahun dibandingkan dengan 4 tahun untuk Trinitario) dan produktivitas lebih tinggi, menyebabkan peneliti dan petani mulai meliriknya (Angkapradipta et al. 1988). Suhu optimal untuk pertumbuhan tanaman kakao adalah sekitar 26°C, maksimum berkisar dari 30°C sampai 32°C, dan rentang minimum dari 18° sampai 21°C (Orwa et al. 2009). Patogen P. palmivora tumbuh in-vitro secara optimum pada kelembaban tinggi dengan Rh di atas 80% dan pada suhu yang
24 relatif tinggi (27.5°-30.0°C) untuk pertumbuhan sporangia serta >20°C untuk pembentukan oogonium (Brasier, 1969). Faktor biotik yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit busuk buah adalah keberadaan mikroorganisme lain dan vegetasi yang tumbuh di pertanaman (Krauss dan Soberanis 2001). Mejia et al. (2008) melaporkan bahwa cendawan endofit mampu menekan perkembangan penyakit busuk buah. Selain itu, praktek budidaya juga mempengaruhi terjadinya epidemik berbagai penyakit tanaman. Praktek budidaya dalam hal ini mencakup aplikasi pupuk, aplikasi pestisida, sanitasi, dan pengelolaan naungan (Agrios 2005; Avelino et al. 2006). Di Indonesia, pengaruh faktor lingkungan, praktek budidaya serta status tanaman inang terhadap epidemik penyakit busuk buah kakao belum diteliti secara komprehensif. Oleh karena itu, perlu dilakukan studi yang bertujuan untuk menganalisis faktor lingkungan, praktek pengelolaan tanaman dan status inang yang terkait dengan epidemi penyakit busuk buah kakao. Hipotesis yang diajukan bahwa semakin kecil gangguan pada lingkungan alami pertanaman kakao maka keseimbangan ekologi relatif tetap seimbang seperti keseimbangan biologi pada ekosistem alami sehingga kejadian penyakit busuk buah pada kakao semakin rendah. Informasi ini diperlukan untuk pengembangan dan penerapan tindakan pengendalian penyakit busuk buah yang efektif sambil meminimalkan kerusakan terhadap lingkungan.
Bahan dan Metode Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di pertanaman kakao, Lembah Kulawi (400-925 m dpl) dan Lembah Palolo (525-950 m dpl), Sulawesi Tengah, Indonesia, sejak November 2007 hingga Agustus 2008. Kulawi dan Palolo merupakan dua kecamatan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu, 119o57'-120o22'E dan 1o03'-1o58'S (Gambar 3.1). Lembah Kulawi terletak di perbatasan barat taman nasional dan memiliki curah hujan rata-rata 2092 mm/tahun (Schwendenmann et al. 2010), sedangkan Lembah Palolo terletak di perbatasan utara taman nasional dengan rata-rata curah hujan 855-1200 mm/tahun (http://lorelindu.info/index.php?pi-lih=hal&id=2).
25
Gambar 3.1 Lokasi pengambilan sampel. (a) Pulau Sulawesi di tengah-tengah kepulauan Indo-Malay. (b) Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. (c) Lokasi 43 pertanaman (titik putih) di mana penelitian dilakukan, di tepi Taman Nasional Lore Lindu di Palolo dan Kulawi. Pengamatan dilakukan di 22 pertanaman di Kulawi dan 21 di Palolo. Ke 43 pertanaman ini mewakili berbagai kondisi lingkungan, sejarah pertanaman, dan praktek budidaya yang diaplikasikan petani. Setiap pertanaman kemudian dibagi menjadi dua plot.
Kondisi pertanaman yang dicatat untuk masing-masing
pertanaman adalah kejadian penyakit, waktu penyiangan dalam setahun, aplikasi pupuk, praktek budidaya sebelumnya di dua wilayah yang berbeda (Palolo dan Kulawi), ketinggian tempat (dpl), jarak pertanaman ke hutan primer, umur
26 tanaman kakao, sejarah penggunaan lahan sebelumnya, persentase penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies cendawan endofit pada buah kakao, dan tingkat naungan dari tanaman peneduh yang tumbuh di dalam pertanaman kakao (Tabel 3.1). Pengaruh Perlakuan Penyiangan. Plot disiangi setiap 6 bulan di 22 plot di Kulawi dan di 22 plot di Palolo, dan setiap 2 bulan di 22 plot di Kulawi dan di 20 plot di Palolo. Penyiangan dilakukan secara manual dimulai pada Desember 2006 sampai Desember 2008. Tidak ada herbisida yang digunakan dalam penelitian ini. Pemupukan dengan N. Kandungan nitrogen tanah di lokasi penelitian merupakan faktor pembatas dalam produksi kakao (Dechert et al. 2005), oleh karena itu tiap Tabel 3.1 Pengelompokan praktek budidaya dan faktor lingkungan serta status inang ke dalam kelas kategori Faktor Frekuensi penyiangan Aplikasi pupuk Praktek budidaya sebelumnya Ketinggian tempat Jarak ke hutan primer Umur tanaman kakao Sejarah penggunaan lahan Persentase penutupan tajuk kakao Keragaman cendawan endofit Naungan dari pohon pelindung
Kode W1 W2 F1 F2 L1 L2 A1 A2 A3 D1 D2 D3 G1 G2 H1 H2 H3 C1 C2 C3 E1 E2 E3 S1 S2 S3
Satuan Bulan Kec. m dpl m tahun
% Morfospecies %
Kelas kategori Tiap dua bulan Tiap enam bulan Tanpa pupuk Aplikasi pupuk N Tidak intensif, Kulawi Intensif, Palolo x ≤ 600 m dpl 600 < x < 800 m dpl x ≥ 800 m dpl Di dalam atau < 500 m 500 ≤ x < 1000 m x ≥ 1000 m x ≤ 15 tahun x >15 tahun Hutan primer Tanaman tahunan Tanaman setahun x ≤ 30% 30 < x ≤ 60% x > 60 4-14 15-30 31-47 x ≤ 20% 20 < x ≤ 40% x > 40
27 pertanaman kakao dibagi menjadi dua plot, satu plot (20x40 m/plot dan sekitar 60pohon/plot) diberi perlakuan pupuk (penambahan pupuk N) dan plot lainnya tanpa perlakuan pupuk. Pupuk Urea diaplikasikan ke salah satu plot pada bulan Desember 2006, Juli 2007, Desember 2007, dan Juli 2008 dengan 217 g Urea (kira-kira setara dengan 100 g N2O5) per pohon per aplikasi. Pupuk untuk setiap pohon dibagi menjadi 10 bagian yang dimasukkan ke dalam 10 lubang melingkar di bawah garis tajuk dari pohon.
Lubang-lubang tersebut kemudian ditutup
dengan tanah. Pada plot tanpa perlakuan pupuk, lubang yang sama digali dan ditutup tetapi tanpa pupuk. Pengumpulan Data Primer dan Sekunder Data dikumpulkan dengan pengamatan langsung di lapangan dan dengan mewawancarai petani. Pengamatan kejadian penyakit Kejadian penyakit dihitung tiap bulan dengan pengamatan langsung pada 86 plot sejak November 2007 hingga Agustus 2008. Kejadian penyakit dihitung sebagai persentase pohon dengan buah terinfeksi P. palmivora dibagi dengan jumlah total pohon kakao yang berbuah. Jumlah buah per pohon terinfeksi tidak digunakan dalam analisis karena patogen menyebar lebih cepat secara vertikal (dari buah terinfeksi ke buah yang sehat dalam satu pohon) daripada secara horisontal (Muller 1974). Jadi, penyebaran patogen secara horisontal dari satu pohon ke pohon lainnya menyediakan data yang lebih dapat menggambarkan epidemik penyakit busuk buah. Buah matang yang sehat maupun sakit dipanen setiap 2 minggu sekali, kemudian semua buah sakit ditimbun untuk mengurangi salah satu sumber inokulum patogen (Ndoumbe-Nkeng et al. 2004; Soberanis et al. 1999). Ketinggian tempat. Jarak ke hutan primer.
Jarak pertanaman dari hutan primer diperkirakan
berdasarkan peta satelit QuickBird dari 2007 (Gambar 3.1). Pertanaman yang terletak di dalam hutan atau di tepi hutan dikategorikan sebagai 0 m dari hutan. Naungan dari pohon peneduh. Tingkat naungan yang dihasilkan oleh pohon peneduh di pertanaman diperkirakan berdasarkan penutupan tajuk dari pohon peneduh pada tahun 2007.
28 Persentase penutupan tajuk kakao.
Persentase penutupan oleh tajuk kakao
terhadap areal pertanaman ditentukan dengan estimasi dari foto-foto yang diambil 5.8 m di atas permukaan tanah pada tahun 2007. Suhu udara. Suhu udara di dalam pertanaman dicatat dengan menggunakan ibutton data loggers (Thermochron DS1921G-F5#, Maxim/Dallas Semiconductor, Sunnyvale, CA, USA). Sebagian besar pertanaman di Palolo dan Kulawi dipantau dari November 2007 hingga April 2008, tetapi satu pertanaman di Palolo dan satu di Kulawi dipantau dari November 2007 hingga Agustus 2008. Umur dan riwayat penggunaan lahan. Data tentang umur tanaman kakao dan riwayat penggunaan lahan diperoleh dari petani pemilik pertanaman. Praktek pengelolaan sebelumnya. Dari wawancara tidak terstruktur dengan petani dan pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa pertanaman di Kulawi lebih sedikit bahkan tanpa pupuk atau pestisida sintetis, sedangkan pertanaman di Palolo diberi pupuk dan pestisida sintetis. Dalam penelitian ini, pengelolaan intensif yang dimaksudkan dibatasi pada penggunaan pupuk dan pestisida sintetis. Isolasi cendawan endofit. Cendawan endofit diisolasi dari buah kakao, dari 4 pohon tiap pertanaman, 2 buah per pohon, 3 bagian (basal, pertengahan, apikal) per buah, dan dari 5 titik pada kulit buah kakao per bagian. Setelah sterilisasi permukaan berseri dengan ethanol 70%, natrium hipoklorit 2% selama 1-2 menit, etanol 95%, lalu ke aquades steril dua kali, 5 mm2 dari 5 titik kulit kakao diinkubasi dalam Cawan Petri diam cm 9 yang berisi MEA 10% (Malt Extract Agar). Miselia yang tumbuh dari kulit kakao diisolasi, dimurnikan, dan diidentifikasi morfospesiesnya berdasarkan 10 karakteristik morfologi dari Arnold et al. (2001). Analisis data Untuk menggambarkan besarnya kejadian penyakit selama periode pengamatan, dihitung nilai AUDPC (area under disease progress curve) berdasarkan kejadian penyakit menurut formula Madden et al. (2007): n-1
AUDPC =
∑
(yi + yi+1) (ti+1 – ti) i=1 2 di mana yi = kejadian penyakit, didapatkan pada waktu ti,
29 yi = ni x 100% N ni = pohon dengan buah yang terinfeksi patogen N = total pohon berbuah yi+1 = kejadian penyakit, didapatkan pada waktu ti+1 t = waktu, 1 hingga 10 Nilai AUDPC kemudian dikelompokkan ke dalam tiga kelas: rendah (x ≤ 175), sedang (175 < x ≤ 350), dan tinggi (x > 350), nilai faktor-faktor juga dikelompokkan ke dalam kelas-kelas (Tabel 3.1). Data disusun dalam matriks dengan kelas AUDPC sebagai kolom dan faktor-faktor sebagai baris. Hubungan antara AUDPC dengan masing-masing faktor diuji dengan uji chi-kuadrat (χ2). Selanjutnya tabel kontingensi antara AUDPC dan faktor-faktor dengan nilai P≤0.05 pada uji chi-kuadrat (χ2) dianalisis menggunakan analisis korespondensi sederhana (Simple Correspondence Analysis, SCA; Savary et al.1995). Analisis korespondensi adalah metode yang sederhana dan terpercaya untuk mensintesis informasi yang terkandung dalam satu atau beberapa tabel kontingensi, mengingat bahwa setiap korelasi antara variabel dengan faktor-faktor tidak selalu linier, tetapi dengan analisis korespondensi, diintegrasikan ke dalam satu grafik (Savary et al. 1995). Analisis dengan SCA menghasilkan grafik dua dimensi sebagai hasil dari AUDPC yang dibagi dalam 3 kelas kategori. Letak dari setiap faktor pada tiap koordinat x dan y ditentukan dari penghitungan frekuensi tiap faktor dalam tabel kontingensi. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan MINITAB 15 (www.Minitab.com).
Hasil dan Pembahasan Berdasarkan analisis Chi-kuadrat, faktor yang berasosiasi nyata dengan kejadian penyakit adalah ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, frekuensi penyiangan, dan sejarah penggunaan lahan (P<0.05; Tabel 3.2; Tabel Lampiran 3.1).
Sedangkan faktor-faktor berikut ini tidak berasosiasi dengan
persen kejadian penyakit: pemupukan dengan N, jarak pertanaman ke hutan primer, umur tanaman kakao, persen penutupan area oleh tajuk kakao, keragaman
30 Tabel 3.2 Hubungan antara beberapa praktek budidaya dan faktor lingkungan dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan uji Chi-kuadrat (χ2) Uji χ2 Faktor 2 Nilai χ P Frekuensi penyiangan 7.986 0.018* Aplikasi pupuk 2.059 0.357 Praktek budidaya sebelumnya 18.089 0.000** Ketinggian tempat 20.813 0.000** Jarak ke hutan primer 7.463 0.113 Umur tanaman kakao 2.869 0.238 Sejarah penggunaan lahan 11.104 0.025* Persentase penutupan tajuk kakao 1.356 0.852 Keragaman cendawan endofit 1.607 0.808 Naungan dari pohon pelindung 2.720 0.606 Keterangan : * = berasosiasi nyata (P < 0.05) berdasarkan uji χ2 ** = berasosiasi sangat nyata (P < 0.01) berdasarkan uji χ2 tanpa asteriks = tidak berasosiasi berdasarkan uji χ2 morfospesies cendawan endofit, dan tingkat naungan yang dihasilkan oleh pohon peneduh (P>0.05). Pada analisis selanjutnya, hanya variabel-variabel yang berasosiasi nyata dengan kejadian penyakit yang dianalisis. Dengan SCA, didapatkan total inersia sebesar 0.1686 (Tabel 3.3). Inersia untuk dimensi 1 sebesar 0.1414 (83.91%) dan 0.0271 (16.09%) untuk dimensi 2 (Gambar 3.2). Inersia (Inertia) adalah (total) nilai Chi-kuadrat (χ2) dibagi (total) jumlah frekuensi, menggambarkan tingkat asosiasi antara AUDPC dengan kelas kategori tiap faktor. Hal ini berarti bahwa dimensi 1 lebih dapat menggambarkan hubungan antara AUDPC dengan faktor lainnya. Pada kejadian penyakit busuk buah yang rendah (AUDPC1) berasosiasi dengan W2 (penyiangan setiap 6 bulan) dan A1 (ketinggian pertanaman ≤600 m dpl). Kejadian penyakit rendah sampai sedang (antara AUDPC 1 dan 2) berasosiasi dengan L1 (praktek budidaya non-intensif, di Kulawi) dan H3 (lahan yang sebelumnya ditanami tanaman setahun). Kejadian penyakit busuk buah sedang (AUDPC2) berasosiasi dengan A3 (ketinggian >800 m dpl). Sementara untuk
tingkat penyakit busuk buah yang tinggi (antara AUDPC 2
dan 3)
berasosiasi dengan W1 (penyiangan setiap 2 bulan) dan H2 (plot yang sebelumnya ditanami tanaman tahunan).
Kejadian penyakit yang tinggi (AUDPC3)
berasosiasi dengan L2 (praktek tanam sebelumnya yang intensif, di Palolo), A2 (ketinggian antara 600 dan 800 m dpl) dan H1 (sebelumnya adalah hutan primer).
31 Tabel 3.3 Nilai mass dan inersia faktor yang berasosiasi nyata dengan epidemik penyakit busuk buah berdasarkan analisis korespondensi sederhana Faktor Kode Inersia Mass Frekuensi penyiangan Praktek budidaya sebelumnya Ketinggian tempat Sejarah penggunaan lahan
W1 W2 L1 L2 A1 A2 A3 H1 H2 H3
0.061 0.064 0.064 0.061 0.029 0.076 0.020 0.029 0.044 0.052
Total Keterangan: mass = frekuensi relatif kemunculan tiap kelas kategori Inersia = (total) nilai χ2 dibagi dengan (total) frekuensi
0.058 0.055 0.124 0.130 0.212 0.076 0.006 0.062 0.041 0.054 0.1686
Epidemik penyakit busuk buah berkembang lebih lambat pada kondisi kebun dengan penyiangan yang kurang intensif (tiap 6 bulan) dibandingkan dengan penyiangan yang lebih intensif (tiap 2 bulan).
Praktek budidaya
sebelumnya secara nyata berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah di pertanaman kakao. Pada pertanaman kakao di Palolo (L2, intensif) kejadian penyakit lebih tinggi daripada di Kulawi (L1, non-intensif, Gambar 3.2). Kejadian penyakit busuk buah berasosiasi nyata dengan ketinggian tempat (Gambar 3.2). Nilai AUDPC yang rendah (AUDPC1) berasosiasi dengan lokasi pertanaman di dataran rendah (<600 m dpl), nilai AUDPC sedang (AUDPC2) berasosiasi dengan ketinggian >800 m dpl, dan nilai AUDPC yang tertinggi (AUDPC3) berasosiasi dengan ketinggian antara 600 dan 800 m dpl. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi yang cocok untuk perkembangan penyakit busuk buah yang optimal berada pada ketinggian 600-800 m dpl. Suhu rata-rata pada ketinggian <600 m dpl sebesar 24oC (maksimum 31.0oC, minimum 20.4°C), di pertanaman antara 600 sampai 800 m dpl ( di mana kejadian penyakit busuk buah paling tinggi) suhu rata-ratanya adalah 23oC (maksimum 30oC, minimum 20oC), dan pada pertanaman >800 m dpl adalah 22oC (maksimum 28oC, minimum 19oC).
32
H1
0,50
Dimensi 2 (Inersia 16,09%)
0,25
W2
AU3
AU1
A2
A1
0,00
L2
L1 H3
A3 AU2
H2 W1
-0,25
-0,50
-0,75
-1,00 -1,00
-0,75
-0,50 -0,25 0,00 Dimensi 1 (Inersia 83,91%)
0,25
0,50
Gambar 3.2 Pengelompokan kelas faktor yang berasosiasi dengan kelas AUDPC berdasarkan hasil analisis korespondensi sederhana. Segiempat hitam melambangkan kelas AUDPC dan lingkaran putih sebagai kelas faktor (AU1=AUDPC1, AU2=AUDPC2, AU3=AUDPC3, A=ketinggian tempat, H=sejarah penggunaan lahan, L=praktek budidaya sebelumnya, W=penyiangan) Epidemik penyakit busuk buah juga berasosiasi nyata dengan sejarah lahan sebelum ditanami kakao. Nilai AUDPC sedang sampai tinggi berasosiasi dengan plot yang sebelumnya adalah hutan primer dan tanaman tahunan (biasanya kopi, kemiri, jambu mete, atau pohon buah-buahan seperti duku, rambutan, durian) dan AUDPC rendah dengan plot yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun (terutama jagung) (Gambar 3.2; Gambar Lampiran 3.1).
33 Beberapa faktor tidak terkait dengan epidemi penyakit busuk buah, ditunjukkan oleh rendahnya nilai χ2 dan nilai P yang tinggi (Tabel 3.2). Jarak pertanaman ke hutan primer (0-2400 m) dan aplikasi pupuk N tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Demikian juga umur tanaman kakao, yang berkisar 8 sampai 22 tahun, tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Keanekaragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao sehat (4-47 morfospesies), juga tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Tingkat naungan, yang berkisar dari 0 hingga 60%, dan persentase penutupan areal oleh tajuk kakao (yang berkisar 23-81%) juga tidak berasosiasi dengan kejadian penyakit busuk buah. Penyebab penyakit busuk buah di Indonesia, P. palmivora, mampu bertahan dan berkembang di dalam tanah, yang menjadi sumber inokulum terus-menerus bagi pertanaman kakao (Ristaino dan Gumpertz, 2000). Biasanya, patogen ditularkan secara pasif dari tanah ke daun, batang, buah, atau bagian tanaman lainnya di atas tanah dengan percikan air atau oleh arthropoda, seperti semut (McGregor dan Moxon 1985). Penyebaran patogen secara horizontal dari pohon sakit ke pohon sehat dapat disebabkan oleh percikan air hujan atau oleh aktivitas manusia dan avertebrata; patogen dapat menyebar di dalam tanah, pada bagian tanaman, atau sebagai propagul patogen yang bebas (Ristaino dan Gumpertz 2000). Penutupan tanah oleh gulma yang tinggi karena frekuensi penyiangan yang rendah akan mengurangi percikan air hujan ke bagian atas tanaman (Yang dan Madden 1993; Ntahimpera et al. 1998; Ntahimpera et al. 1999; Mouen Bedimo et al. 2008; Boyer dan Belesky 2009) sehingga memperlambat penyebaran penyakit. Selain itu, tanah bervegetasi umumnya dihuni oleh populasi mikroba yang lebih beragam daripada tanah tak bervegetasi (Li et al. 2004;. Mazolla 2004; Buyer et al. 2010), dan mikroba yang beragam dapat berperan dalam penekanan patogen penyebab penyakit. Lebih dari 65% dari total plot ditutupi oleh >50% gulma bila tidak disiangi (Y. Clough, unpubl.), sehingga mengelola penutup tanah misalnya dengan menanam legume cover crop menggantikan gulma akan menekan perkembangan dan penyebaran patogen selain juga akan memberikan nilai tambah seperti perbaikan nutrisi tanah atau sebagai pakan ternak.
34 Ketahanan tanaman kakao terhadap penyakit busuk buah bergantung kepada ketersediaan nutrisi yang cukup. Penghentian aplikasi N sendiri tidak mempengaruhi epidemi penyakit busuk buah seperti hasil dalam penelitian ini, namun penghentian pemupukan P dan K dapat menurunkan resistensi (Huber dan Haneklaus 2007). Hal ini diduga menyebabkan tingginya kejadian penyakit di daerah Palolo yang petaninya sudah terbiasa menggunakan pupuk kimia dibandingkan dengan petani Kulawi. Pestisida utama yang digunakan di Palolo adalah fungisida mancozeb dan herbisida glifosat. Beberapa peneliti telah melaporkan bahwa aplikasi jangka panjang dari kedua pestisida tersebut memiliki efek merugikan, baik langsung atau tidak langsung, pada populasi mikroba tanah dan tanaman di ekosistem pertanian (Bradley et al. 2002;. Morjan et al. 2002;. Fernandez et al. 2009.; Rasool dan Reshi 2010; Dick et al. 2010). Meskipun dengan data terbatas, diduga bahwa aplikasi pestisida terus menerus di masa lalu telah mengurangi mikroorganisme tanah yang bermanfaat menghambat P. palmivora dan mungkin telah berkontribusi pada tingginya kejadian penyakit di wilayah Palolo (van Dipeningen 2006). Epidemi penyakit busuk buah di pertanaman kakao lebih tinggi pada lahan yang sebelumnya adalah hutan primer atau yang sebelumnya ditanami tanaman tahunan daripada di lahan yang sebelumnya ditanami dengan tanaman setahun. Berubahnya ekosistem hutan dan tanaman berkayu menjadi pertanaman kakao diduga menjadi penyebab utama tingginya penyakit pada lahan tersebut. Patogen yang mungkin secara alami telah ada di areal tersebut pada awalnya tidak menyebabkan sakit pada tumbuhan yang ada karena adanya mikroba lain yang mampu mengontrol aktifitas dan populasinya. Dengan dibukanya areal hutan dan tanaman setahun maka terjadi gangguan pada komposisi maupun populasi mikroba antagonis dan dengan tersedianya inang rentan maka patogen dapat berkembang bebas dalam menyebabkan sakit. Selain itu, P. palmivora diketahui menginfeksi lebih dari 138 spesies tanaman di Indonesia (Purwantara et al. 2004). Opoku et al. (2002) berhasil mengisolasi Phytophthora dari akar pohon peneduh di pertanaman kakao, oleh karenanya pohon peneduh berpotensi menjadi sumber inokulum patogen. Pohon peneduh di pertanaman ini tidak hanya Glyricidia sp.
35 (Leguminosae), (hanya ditemukan di 16 plot dari 86; Y. Clough, unpubl) sebagai pohon peneduh yang dominan, tetapi juga Aleurites moluccana (Euphorbiaceae), Erythrina sp. (Fabaceae) dan Nephelium sp. (Sapindaceae) (Stenchly, 2010) dan pohon
lainnya
dari
famili
Sterculiaceae,
Euphorbiaceae,
Rubiaceae,
Myristicaceae, Urticaceae, Magnoliaceae, Lauraceae, Sapotaceae, Sabiaceae (Kessler et al. 2005). Motulo et al. (2007) dan McMahon dan Purwantara (2004) melaporkan bahwa pohon kelapa dan durian, pohon buah-buahan yang umum ditemukan di dalam plot, keduanya adalah inang P. palmivora.
Selain itu,
perubahan lingkungan dari hutan primer ke lahan pertanaman akan mengubah komposisi mikroba dan jaring-jaring makanan secara umum, walaupun hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut. Di sisi lain, jagung, yang sebelumnya umum ditanam di lahan yang sekarang merupakan pertanaman kakao, menghasilkan eksudat akar yang menghambat beberapa patogen atau yang merangsang perkembangan agens biokontrol bagi patogen tular tanah (Bertin et al. 2003; da Motaa et al. 2002; Zhang et al. 2000). Tidak adanya hubungan antara jarak ke hutan primer dengan nilai AUDPC penyakit busuk buah mungkin dapat dijelaskan oleh fakta bahwa semua plot yang digunakan dalam penelitian ini cukup dekat dengan hutan primer. Plot terjauh hanya 2.400 m dari hutan, dan banyak plot di dalam atau di tepi hutan. Keragaman morfospesies cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao juga tidak berasosiasi dengan epidemi penyakit. Fakta ini menunjukkan bahwa tidak semua cendawan endofit berperan dalam menekan penyakit busuk buah. Peran masing-masing cendawan endofit yang ditemukan perlu diteliti lebih lanjut, terutama cendawan yang mampu menekan penyakit busuk buah. Frekuensi penyiangan gulma yang lebih jarang dan pertanaman yang lebih sedikit atau tidak mendapatkan input pestisida berasosiasi dengan kejadian penyakit yang lebih rendah. Kondisi demikian terjadi diduga karena ekosistem yang ada tidak/kurang terganggu sehingga mikroba yang berperan sebagai agens biokontrol terhadap patogen busuk buah kakao dapat berkembang dan bekerja dengan baik. Mikroba tersebut dapat berupa mikroba yang ada di dalam tanah, di rhizosfer akar, pada permukaan bagian tanaman, atau mikroba endofit yang ada di dalam tanaman. Penelitian tentang mikroba endofit, khususnya cendawan endofit
36 masih tergolong jarang dilakukan bila dibandingkan dengan mikroba lainnya. Oleh karena itu, walaupun keragaman cendawan endofit tidak berasosiasi dengan epidemi busuk buah dalam penelitian ini, namun peran masing-masing spesies beserta kelimpahannya di alam perlu diteliti lebih lanjut, khususnya yang berhubungan dengan penyakit busuk buah. Tanaman kakao secara alami tumbuh di hutan hujan tropis (Wood 1985) dan dianggap sebagai tanaman di bawah naungan (Greenberg 1998). Hal ini mungkin menjelaskan mengapa naungan tidak berasosiasi dengan peningkatan kejadian penyakit busuk buah.
Secara umum diketahui bahwa naungan
menyebabkan kelembaban tinggi, dan tingginya kelembaban ini akan mendukung perkembangan penyakit.
Selain karena asalnya sebagai tanaman di bawah
naungan, rendahnya penyakit pada tanaman yang ternaungi mungkin juga karena tingginya mikroba menguntungkan dalam keadaaan seperti itu. Arnold dan Herre (2003) melaporkan bahwa tanaman kakao yang berada di bawah naungan membawa lebih banyak cendawan endofit daripada yang tanpa naungan. Cendawan-cendawan tersebut merupakan hasil transfer horizontal dari pohon pelindung.
Di antara cendawan-cendawan itu berpeluang ada yang berperan
sebagai agens biokontrol bagi patogen P. palmivora. Selain itu, lebih stabilnya suhu di bawah naungan (kurang/tidak terkena sinar matahari langsung) diduga turut mendukung perkembangan mikroba bermanfaat. Dalam studi ini, naungan tidak diukur secara langsung tetapi diperkirakan dari cakupan relatif tajuk pohon peneduh.
Pengukuran seperti ini mungkin tidak menggambarkan intensitas
cahaya yang mencapai tajuk kakao.
Dalam studi selanjutnya, intensitas cahaya
yang mencapai tajuk kakao sebaiknya diukur secara langsung. Simulasi model yang dikembangkan oleh Zuidema et al. (2005) meramalkan bahwa naungan berat pada pertanaman kakao (>60%) akan mengurangi produksi buah lebih dari sepertiga karena berkurangnya radiasi matahari yang mencapai daun kakao. Sebaliknya, Somarriba dan Beer (2011) melaporkan bahwa naungan tidak mengurangi produksi kakao. Sayangnya, mereka tidak mengukur berapa besar naungan yang terjadi di dalam pertanaman kakao. Studi lebih lanjut diperlukan untuk menjelaskan pengaruh intensitas cahaya pada produksi buah kakao dan pengaruhnya terhadap kejadian penyakit busuk buah.
37 Pawirosoemardjo dan Purwantara (1992) yang membandingkan laju infeksi dan intensitas penyakit busuk buah pada 17 klon Trinitario dan 2 Forastero (Amelonado dan Upper Amazone Hybrid) melaporkan bahwa tidak ada perbedaan antara kecepatan infeksi dan periode membusuk baik di laboratorium (infeksi prapenetrasi buah dipetik) dan di lapangan (prapenetrasi buah di pohon) antar varietas yang diamati. Rubiyo et al. (2010) juga melaporkan bahwa tidak semua klon Trinitario rentan dan tidak semua Forastero tahan terhadap Phytophthora palmivora setelah inokulasi postpenetrasi 35 klon buah kakao yang dipetik (17 klon Forastero dan 18 Trinitario). Jika permukaan kulit buah menjadi salah satu kriteria untuk identifikasi tipe klon, permukaan kasar untuk klon dari tipe Trinitario dan permukaan halus untuk Forastero (Wood dan Lass, 1985), maka tipe kakao di daerah penelitian diduga adalah campuran antara Trinitario dan Forastero karena di dalam tiap pertanaman ditemukan kakao dengan kulit halus maupun kulit kasar dengan kakao berkulit halus lebih dominan. Sayangnya jenis klon dari tiap-tiap tipe luput dari pendataan dalam penelitian ini. Pertanaman kakao yang berada pada ketinggian 600-800 m dpl ternyata terserang penyakit busuk buah paling tinggi.
Pada ketinggian ini suhu rata-
ratanya sekitar 23°C, maksimum 30°C dan minimum 20°C, yang juga merupakan kondisi optimum bagi perkembangan patogen.
Oleh karena itu, petani yang
memiliki lahan pada ketinggian tersebut perlu mengantisipasi tingginya penyakit busuk buah, misalnya mengurangi kelembaban dengan pemangkasan, lebih intensif melakukan sanitasi kebun dari sumber patogen seperti kulit kakao dan buah sakit, konservasi mikroba bermanfaat seperti tidak menggunakan herbisida saat menyiangi gulma, penyiangan gulma tidak terlalu sering, bila masih memungkinkan menanam Gramieae seperti jagung di sela-sela pertanaman atau menanam tanaman penutup tanah seperti LCC, mengusahakan tanaman tetap sehat dengan memupuk tanaman dengan pupuk organik. Temuan dari penelitian ini dapat digunakan dalam penyusunan rangkaian metode pengendalian penyakit busuk buah di pertanaman kakao.
Statistik
multivariat menunjukkan bahwa epidemi penyakit busuk buah berasosiasi dengan faktor lingkungan dan beberapa praktek budidaya.
Di masa depan, hasil
penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk pengembangan model mekanistik
38 epidemi penyakit busuk buah, model perkiraan penyakit busuk buah, dan strategi pengendalian penyakit busuk buah (Jeger 2004). Misalnya bila ada yang akan membuat model perkiraan penyakit busuk buah, maka perlu memperhitungkan faktor-faktor yang terbukti berasosiasi nyata dengan AUDPC dalam penelitian ini: frekuensi penyiangan, praktek budidaya sebelumnya, ketinggian tempat, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao. Pujiyanto (2004) menyarankan penanaman LCC (Legume Cover Crops) atau tanaman penutup tanah lainnya di antara tanaman kakao di kebun di mana gulma menjadi masalah untuk meningkatkan kesuburan tanah dan dapat digunakan sebagai pakan ternak.
Pada saat yang sama, tanaman penutup tanah akan
mengurangi penyebaran penyakit busuk buah dan inokulum patogen serta dapat mengkonservasi mikroba bermanfaat di dalam tanah.
P. palmivora adalah
cendawan tanah, dapat hidup dan berkembang di dalam tanah. Adanya tanaman penutup tanah akan mengurangi percikan air hujan yang dapat membawa propagul patogen ke tempat yang lebih tinggi. Selain itu, adanya tanaman penutup tanah merupakan niche yang kondusif bagi mikroba bermanfaat kemungkinan karena mendapat nutrisi dari tanaman penutup tanah, tidak mudah tercuci oleh air hujan, mendapat perlindungan dari radiasi matahari pada siang hari, kelembaban yang relatif terjaga dengan adanya vegetasi permukaan tanah. Ketika kakao dibudidayakan di daerah-daerah yang sebelumnya adalah hutan atau ditanami tanaman berkayu, petani kakao harus menyadari bahwa beberapa pohon dapat menjadi sumber inokulum patogen sehingga perlu waspada akan resiko tingginya penyakit busuk buah.
Ketika kakao ditanam pada
ketinggian lebih dari 600 m dpl, para petani harus mengetahui peningkatan risiko kejadian
penyakit
busuk
buah,
mengantisipasinya
dengan
mengurangi
kelembaban di dalam pertanaman kakao. Petani juga harus menyadari bahwa keberhasilan tindakan pengendalian, apakah tradisional atau sesuatu yang baru, mungkin tergantung pada faktor-faktor lingkungan dan praktek budidaya yang diaplikasikan (Peters et al. 2003; Beckford 2009).
39 Kesimpulan Frekuensi penyiangan, ketinggian tempat, praktek budidaya sebelumnya, dan sejarah penggunaan lahan sebelum ditanami kakao, berasosiasi nyata dengan epidemik busuk buah kakao, sedangkan aplikasi pupuk nitrogen, jarak ke hutan primer, umur tanaman, penutupan oleh tajuk kakao, keragaman morfospesies cendawan endofit dan tingkat naungan oleh pohon peneduh tidak berasosiasi dengan perkembangan penyakit. Kejadian penyakit tertinggi ditemukan pada plot yang terletak >600 m dpl; areal yang sebelum ditanami kakao merupakan hutan primer atau tanaman tahunan; pertanaman yang sebelumnya mendapat input pestisida dan pupuk yang intensif, dan dengan frekuensi penyiangan yang tinggi (2 bulan sekali). Daftar Pustaka Agrios GN. 2005. Plant Pathology, 5th ed. Amsterdam, The Netherland, Elsevier Academic Press. Angkapradipta P, Warsito T, Nurdin MS. 1988. Tanggapan tanaman kakao lindak Upper Amazon Hybrid terhadap pemupukan N, P, dan K pada tanah latosol. Menara Perkebunan 56(1): 2-8 Appiah AA, Flood J, Archerand SA, Bridge PD. 2004. Molecular analysis of the major Phytophthora species on cocoa. Plant Pathol 53: 209–219. Arnold AE, Herre EA. 2003. Canopy cover and leaf age affect colonization by tropical fungal endophytes: Ecological pattern and process in Theobroma cacao (Malvaceae). Mycologia 95: 388-398. Arnold AE, Maynard Z dan Gilbert GS. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance and diversity. Mycol Res 105: 1502-1507 Avelino J, Zelaya H, Merlo A, Pineda A, Ordonez M, Savary S. 2006. The intensity of a coffee rust epidemic is dependent on production situations. Ecol Modell 197: 431-447. Baon JB, Wardani S. 2010. Sejarah dan perkembangan kakao. In Budidaya Kakao/ICCRI. Lukito AM, Tetty Y, Iswanto H, Riawan N (eds.). Jakarta: Agromedia Pustaka, pp1-10 Beckford CL. 2009. Sustainable agriculture and innovation adoption in a tropical small-scale food production system: the case of yam minisetts in Jamaica. Sustainability 1: 81-96. Bertin C, Yang X, Weston LA. 2003. The role of root exudates and allelochemicals in the rhizosphere. Plant Soil 256: 67–83.
40 Bowers JH, Bailey BA, Hebbar PK, Sanogo S, Lumsden RD. 2001. The impact of plant diseases on world chocolate production. Online. Plant Health Progress doi:10.1094/PHP-2001-0709-01-RV. Internet Resource: http://ddr.nal.usda.gov/bitstream/10113/11853/1/IND43805966.pdf (verified February 20, 2011). Boyer DG, Belesky DP. 2009. Interactions of slope and canopy of herbage of three herbage species on transport of faecal indicator bacteria by rain splash. Grass Forage Sci 64: 432–442. Bradley CA, Hartman GL, Wax LM, Pedersen WL. 2002. Influence of herbicides on Rhizoctonia root and hypocotyl rot of soybean. Crop Prot 21: 679–687. Brasier CM. 1969. The effect of light and temperature on reproduction in vitro in two tropical species of Phytophthora. Trans Br Mycol Soc 52: 1105-113. Buyer JS, Teasdale JR, Roberts DP, Zasada IA, Maul JE. 2010. Factors affecting soil microbial community structure in tomato cropping systems. Soil Biol Biochem 42: 831-841. da Motaa FF, Nóbrega A, Marriel IE, Paiva E, Seldin L. 2002. Genetic diversity of Paenibacillus polymyxa populations isolated from the rhizosphere of four cultivars of maize (Zea mays) planted in Cerrado soil. App Soil Ecol 20: 119–132. Dechert G, Veldkamp E, Brumme R. 2005. Are partial nutrient balances suitable to evaluate nutrient sustainability of land use systems? Results from a case study in Central Sulawesi, Indonesia. Nutr Cycl Agroecosyst 72: 201–212. Dick R, Lorenz N, Wojno M, Lane M. 2010. Microbial dynamics in soils under long-term glyphosate tolerant cropping systems. 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World. 1 – 6 August 2010. Brisbane, Australia, pp153-156. Erwin DC, Ribeiro OK. 1996. Phytophthora Disease Worldwide. Minnesota, USA, APS Press.
St. Paul,
Fernandez MR, Zentner RP, Basnyat P, Gehl D, Selles F, Huber D. 2009. Glyphosate associations with cereal diseases caused by Fusarium spp. in the Canadian Prairies. Eur J Agron 31: 133–143. Gray A. 2001. The world cacao market outlook. LMC International Ltd. Internet Resource: http://www.iita.org/c/document_library/get_file?p_l_id=98898&folderId=-99431&name=DLFE-1132.pdf (verified February 10, 2011) Greenberg R. 1998. Biodiversity in the cacao agroecosystems: shade management and landscape considerations. Proceedings of the Smithsonian Migratory Bird Center Cacao Conference, March 30th, 1998. Panama City, Panama. http://national-zoo.si.edu/conservationandscience/migratorybirds/research/cacaopapers.cfm (verified January 23, 2011). Guest D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa yield. Phytopathology 97: 1650-1653. Hardwick NV. 1998. Disease forecasting. In: Jones DG (ed). The Epidemiology of Plant Diseases. Boston, Kluwer Academic Publishers, pp 207-230.
41 Huber DM, Haneklaus S. 2007. Managing nutrition to control plant disease. Landbauforschung Volkenrode 57:313-322. Iwaro AD, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Phytophthora resistance in cacao (Theobroma cacao): influence of pod morphological characteristics. Plant Pathol 46: 557-565. Jeger MJ. 2004. Analysis of disease progress as a basis for evaluating disease management practices. Annu Rev Phytopathol 42: 61–82. Kessler M, Kessler PJA, Gradstein SR, Bach K, Schmull M, Pitopang R. 2005. Tree diversity in primary forest and different land use systems in Central Sulawesi, Indonesia. Biodivers Conserv 14: 547• 560. Krauss U, Soberanis W. 2001. Rehabilitation of diseased cacao fields in Peru through shade regulation and timing of biocontrol measures. Agrofores Syst 53: 179-184. Li Q, Allen HL, Wollum II AG. 2004. Microbial biomass and bacterial functional diversity in forest soils: effects of organic matter removal, compaction, and vegetation control. Soil Biol Biochem 36: 571–579. Madden LV, Hughes G, van der Bosch F. 2007. The Study of Plant Disease Epidemics. St. Paul, Minnesota, USA, APS Press. Mawardi S. 1982. 1912-1981: Tujuh puluh tahun pemuliaan tanaman coklat di Indonesia. Menara Perkebunan 50(1): 7-22. Mazzola M. 2004. Assessment and management of soil microbial community structure for disease suppression. Annu Rev Phytopathol 42: 35–59. McGregor AJ, Moxon ME. 1985. Potential for biological control of tent building species of ants associated with Phytophthora palmivora pod rot of cocoa in Papua New Guinea. Ann Appl Biol 107: 271-277. McMahon P, Purwantara A. 2004. Phytophthora on Cocoa. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI. (Eds.). ACIAR Monograph 114. pp104-115 Mejia LC, Rojas EI, Maynard Z, van Bael S, Arnold AE, Hebbar P, Samuels GJ, Robbins N, Herre EA. 2008. Endophytic fungi as biocontrol agents of Theobroma cacao pathogens. Biol Control 46: 4-14. Mora-Aguilera G, Campbell CL. 1997. Multivariate techniques for selection of epidemiological variables. In: Francl LJ, Neher DA (eds) Exercises in Plant Disease Epidemiology. St. Paul/Minnesota, APS Press, pp 51-58. Morjan WE, Pedigo LP, Lewis LC. 2002. Fungicidal effects of glyphosate and glyphosate formulations on four species of entomopathogenic fungi. Environ Entomol 31: 1206-1212. Motamayor JC, Risterucci AM, Heath M, Lanaud C. 2003. Cacao domestication II: progenitor germplasm of the Trinitario cacao cultivar. Heredity 91: 322330.
42 Motulo HFJ, Sinaga MS, Hartana A, Suastika G, Aswidinnoor. 2007. Karakter morfologi dan molekular isolat Phytophthora palmivora asal kelapa dan kakao. J Litri 13: 111-118. Mouen Bedimo JA, Njiayouom I, Bieysse D, Ndoumbè Nkeng M, Cilas C, Nottéghem JL. 2008. Effect of shade on Arabica coffee berry disease development: Toward an agroforestry system to reduce disease impact. Phytopathology 98: 1320-1325. Muller RA. 1974. Integrated control methods. In: Phytophthora Disease of Cocoa. Gregory PH (ed). London, Longman, pp 259-268. Ndoumbe-Nkeng M, Cilas C, Nyemb E, Nyasse S, Bieysse D, Flori A. Sache I. 2004. Impact of removing diseased pods on cocoa black pod caused by Phytophthora megakarya and on cocoa production in Cameroon. Crop Prot 23: 415–424. Ntahimpera N, Ellis MA, Wilson LL, Madden LV. 1998. Effect of a cover crop on splash dispersal of Colletotrichum acutatum conidia. Phytopathology 88: 536-543. Ntahimpera N, Hacker JK, Wilson LL, Hall FR, Madden LV. 1999. Characterization of splash droplets from different surfaces with a phase doppler particle analyzer. Agr Forest Meteorol 97: 9-19. Opoku IY, Akrofi AY, Appiah AA. 2002. Shade trees are alternative hosts of the cocoa pathogen Phytophthora megakarya. Crop Prot 21: 629–634. Orwa C, Mutua A, Kindt R, Jamnadass R, Simons A. 2009. Agroforestree Database: a tree reference and selection guideversion 4.0. http://www.worldagroforestry.org/af/treedb/ (verified February 10, 2011) Pawirosoemardjo S, Purwantara A. 1992. Laju infeksi dan intensitas serangan Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. pada buah dan batang beberapa varietas kakao. Menara Perkebunan 60(2): 67-72 Peters M, Lascano CE, Roothaert R, de Haan NC. 2003. Linking research on forage germplasm to farmers: the pathway to increased adoption a CIAT, ILRI and IITA perspective. Field Crops Res 84: 179–188. Pujiyanto. 2004. Perbaikan tanah perkebunan kakao dengan penambahan bahan organik dan penanaman penutup tanah. [Disertasi] Bogor: Sekolah Pascasarjana, IPB. Purwantara A, Manohara D, Warokka JS. 2004. Phytophthora diseases in Indonesia. In: Diversity and Management of Phytophthora in Southeast Asia. Drenth A, Guest DI (eds). ACIAR Monograph No. 114, Canberra, pp 70-76. Rasool N, Reshi ZA. 2010. Effect of the fungicide Mancozeb at different application rates on enzyme activities in a silt loam soil of the Kashmir Himalaya, India. Trop Ecol 51: 199-205.
43 Ratcliff AW, Busse MD, Shestak CJ. 2006. Changes in microbial community structure following herbicide (glyphosate) additions to forest soils. Appl Soil Ecol 34: 114–124. Ristaino JB, Gumpertz ML. 2000. New frontiers in the study of dispersal and spatial analysis of epidemics caused by species in the genus Phytophthora. Annu Rev Phytopathol 38: 541–76. Risterucci AM, Paulin D, Ducamp M, N’Goran JAK, Lanaud C. 2003. Identification of QTLs related to cocoa resistance to three species of Phytophthora. Theor Appl Genet 108: 168-174. Rubiyo, Purwantara A, Sudarsono. 2010. Ketahanan 35 klon kakao terhadap infeksi Phytophthora palmivora Butl. berdasarkan uji detached pod. J Litri 16(4): 172-178 Savary S, Madden LV, Zadoks JC, Klein-Gebbinck HW. 1995. Use of categorical information and correspondence analysis in plant disease epidemiology. In: Advances in Botanical Research incorporating Advances in Plant Pathology Vol. 21. Academic Press Limited, pp 213-240. Soberanis W, Rios R, Arevalo E, Zuniga L, Cabezas O, Kraus U. 1999. Increased frequency of phytosanitary pod removal in cacao (Theobroma cacao) increases yield economically in eastern Peru. Crop Prot 18: 677-685. Somarriba E, Beer J. 2011. Productivity of Theobroma cacao agroforestry systems with timber or legume service shade trees. Agroforest Syst 81: 109– 121. Stenchly K. 2010. Spider communities in Indonesian cacao agroforestry: diversity, web density and spatio-temporal turnover. [PhD Dissertation] Göttingen: Faculty of Mathematics and Natural Sciences, Georg-August University Göttingen. Schwendenmann L, Veldkamp E, Moser G, Hölscher D, Köhler M, Clough Y, Anas I, Djajakirana G, Erasmi S, Hertel D, et al. 2010. Effects of an experimental drought on the functioning of a cacao agroforestry system, Sulawesi, Indonesia. Global Change Biol 16:1515-1530. Tjasadihardja A. 1987. Hubungan antara pertumbuhan pucuk, perkembangan buah, serta tingkat kandungan asam indol asetat di dalam biji dan layu pentil kakao (theobroma cacao L.) [Disertasi]. Institut Pertanian Bogor, Indonesia. Toxopeus H, Giesberger G. 1983. History of cocoa and cocoa research in Indonesia. In: Cocoa Research in Indonesia 1900-1950. Toxopeus H, Wessel PC (eds). Wageningen, Amer Cocoa Res Ins Inter Off Cocoa and Chocolate, pp 7-34. Umayah A, Sinaga MS, Sastrosumardjo S, Sumaraw SM, Purwantara A. 2007. Keragaman genetik isolat Phytophthora palmivora dari tanaman kakao di Indonesia. Pelita Perkebunan 23: 129-138. van Diepeningen AD, de Vos OJ, Korthals GW, van Bruggen AHC. 2006. Effects of organic versus conventional management on chemical and biological parameters in agricultural soils. Appl Soil Ecol 31: 120–135.
44 Wardojo S. 1991. Kebutuhan dasar peningkatan mutu kakao di Indonesia. Proceeding Konferensi Kakao Nasional III, 7-9 Maret 1991. Medan, Indonesia, pp. 75-85. th Wood GAR. 1985. Establishment. In: Wood GAR, Lass RA (eds) Cocoa, 4 ed., New York, Longman, pp 119-165.
Wood GAR, Lass RA. 1985. Cocoa, 4th ed. New York, Longman Group Lim. Yang X, Madden LV. 1993. Effect of ground cover, rain intensity and strawberry plants on splash of simulated raindrops. Agr Forest Meteorol 65: 1-20. Zhang J, Boone L, Kocz R, Zhang C, Binns AN, Lynn DG. 2000. At the maize/ Agrobacterium interface: natural factors limiting host transformation. Chem Biol 7: 611-621. Zuidema PA, Lefelaar PA, Gerritsma W, Mommer L, Anten NPR. 2005. A physiological production model for cocoa (Theobroma cacao): model presentation, validation and application. Agr Syst 84: 195–225.
BAB 4 KERAGAMAN CENDAWAN ENDOFIT BUAH KAKAO PADA TINGKAT KEKERINGAN YANG BERBEDA SERTA KORELASINYA DENGAN EPIDEMIK PENYAKIT BUSUK BUAH (DIVERSITY OF PODS’ ENDOPHYTIC FUNGI ON DIFFERENT LEVEL OF DRYNESS AND ITS CORRELATION TO BLACK POD DISEASE EPIDEMICS) Abstract The objectives of this study were to explore the diversity of endophytic fungi of cacao pods, determine the effect of drought on the diversity, and its correlation to black pod disease. A total of 2843 isolates were obtained from 1440 husk segments of pods, consist of 37 species of endophytic fungi. Out of 37 species, six belong to Basidiomycetes, 30 are Ascomycetes and one is unidentified yet. The diversity of endophytic fungi, based on Shannon’s and Simpson’s index, was higher during lower rainfall (January-April 2008) compared to higher rainfall condition (March-April 2007). The dominance of endophytic fungi was also changed with season, Fusarium lichenicola was the most dominant during wet condition and Phomopsis columnaris during dry condition. Several species, such as Fusarium sp. T47a, Xylaria sp., Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, and Xylariaceae were negatively correlated to black pod rot disease. Those fungi are potential as biocontrol agents of this disease. Key words: drought, biocontrol agents, rainfall, black pod disease, ENSO Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman cendawan endofit pada buah kakao, pengaruh kekeringan terhadap keragaman cendawan endofit, dan korelasinya terhadap penyakit busuk buah. Sebanyak 2843 isolat diperoleh dari 1440 segmen kulit buah yang terdiri dari 37 spesies. Dari ke-37 spesies tersebut enam termasuk Basidiomycetes, 30 adalah Ascomycetes dan satu belum teridentifikasi. Berdasarkan indeks Shannon dan Simpson didapatkan bahwa keragaman cendawan endofit lebih tinggi saat musim lebih kering (Januari-April 2008) dibandingkan dengan kondisi curah hujan yang tinggi (Maret-April 2007). Dominansi cendawan endofit juga berubah, Fusarium lichenicola paling dominan selama kondisi basah dan Phomopsis columnaris selama kondisi kering. Beberapa spesies, seperti Fusarium sp. T47a, Xylaria sp, Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., Calocybe gambosa, dan Xylariaceae berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit busuk buah. Cendawan-cendawan ini berpotensi sebagai agens biokontrol penyakit busuk buah kakao. Kata kunci: kekeringan, agens hayati, curah hujan, penyakit busuk buah kakao, ENSO
46 Pendahuluan Cendawan endofit didefinisikan sebagai cendawan yang, paling tidak sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam jaringan tumbuhan inang yang sehat tanpa menimbulkan gejala penyakit (Wilson 1995). Cendawan endofit dapat ditransmisikan secara vertikal melalui biji atau secara horizontal dari sekitar pertanaman inang dengan cara terbawa angin, air, serangga atau vektor lainnya. Secara umum dikatakan bahwa hubungan cendawan endofit dengan inangnya merupakan relasi mutualisme, misalnya dengan meningkatkan ketahanan inang terhadap patogen, melindungi dari serangan hama, membantu ketersediaan nutrisi bagi inang, membantu inang dalam menghadapi kondisi lingkungan yang ekstrim seperti kekeringan atau suhu yang tinggi (Yuan et al. 2010). Keragaman suatu organisme di alam, termasuk cendawan endofit dipengaruhi oleh faktor lingkungan biotik dan abiotik di sekitarnya. Lingkungan biotik misalnya adanya mikroorganisme lain dan jenis inangnya.
Spesies
cendawan endofit famili Diaporthales lebih dominan pada Angiospermae dibandingkan pada Gymnospermae yang lebih banyak membawa Helotiales (Sieber 2007; Joshee 2009), inokulasi Azospirillum terhadap tanaman padi akan mempengaruhi keragaman bakteri endofit pada daun padi (Pedraza et al. 2009). Faktor abiotik misalnya cara mengolah lahan dan musim pengambilan sampel (Wilberforce et al. 2003), kemasaman tanah (Postma et al. 2007), suhu pada ketinggian tempat yang berbeda (Hashizume et al. 2008). Kekeringan di wilayah Asia Tenggara makin sering terjadi. Kekeringan dipengaruhi juga oleh fenomena El Nino Southern Oscillation (ENSO), yang dilaporkan terjadi setiap tujuh atau delapan tahun sekali (Nyenzy dan Lefale 2006). Frekuensi terjadinya ENSO diprediksi makin meningkat karena terjadinya pemanasan global. Semakin sering terjadi kekeringan di wilayah ini, dapat mempengaruhi
kemampuan
makhluk
hidup
untuk
beradaptasi
terhadap
lingkungannya (Lloret et al. 2009; Chavas et al. 2009). Untuk membuktikan hipotesis bahwa keragaman cendawan endofit juga dipengaruhi oleh kondisi kekeringan yang diprediksi akan makin sering terjadi, maka dilakukan kajian dengan mengkondisikan tingkat kekeringan secara artifisial pada pertanaman kakao (memimik kejadian dengan fenomena ENSO) di
47 pertanaman kakao di Marena, Kulawi. Korelasi antara keragaman cendawan endofit dengan epidemik penyakit busuk buah kakao juga dikaji. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji keragaman cendawan endofit buah kakao pada kondisi ekosistem yang relatif basah dan kering serta korelasinya dengan epidemik penyakit busuk buah kakao.
Bahan Dan Metode 1. Lokasi Penelitian Sampel buah kakao diambil dari Marena, di tepi Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah, 1,55 LU, 1,20 BT, ketinggian 585 m dpl, rata-rata temperatur 23.40C, rata-rata curah hujan 2844 mm (Moser et al. 2010). Simulasi kekeringan ENSO dilakukan dengan cara memasang atap plastik transparan kira-kira setinggi 1.5-2 m dari permukaan tanah di antara pertanaman kakao. Plot kontrol tidak diatap. Plot kontrol dan atap masing-masing 3 ulangan, tiap plot berukuran 35x40 m (Gambar Lampiran 4.1). Data cuaca dikumpulkan, kejadian penyakit busuk buah Phytophthora palmivora juga dicatat, dihitung dari 5 tanaman sampel di dalam setiap perlakuan. 2. Isolasi Cendawan Endofit Isolasi cendawan endofit dilakukan di laboratorium kecil yang dibangun di lokasi penelitian, sesegera mungkin setelah buah dipanen. Sampel buah sehat sebagai sumber cendawan endofit diambil dari tiap ulangan plot kontrol dan plot perlakuan(Gambar 4.1). Sebanyak dua buah kakao diambil dari tiap pohon kakao, dan empat pohon dipilih dari tiap ulangan. Buah kakao yang dipilih sebagai sumber isolat adalah buah yang sehat dan matang siap dipanen. Gambar 4.1 Pengelompokan waktu dan tempat pengambilan sampel Tanpa Atap
Dengan Atap
Sampel pertama (Maret-April 2007)
Alami (Kontrol) (BC)
Atap 52% (BR)
Sampel kedua (Januari-April 2008)
Alami (Kontrol) (AC)
Atap 100% (AR)
48 Pengambilan pertama dilakukan pada bulan Maret-April 2007, pengambilan kedua pada bulan Januari-April 2008. Buah kakao dipanen dari tanaman yang sama pada kedua waktu pengambilan sampel yang berbeda. Pemilihan buah matang merupakan hasil uji pendahuluan dengan mengisolasi dari buah kakao dengan umur yang berbeda. Dari tiga seri (ulangan) buah kakao dengan umur berbeda, diketahui keragaman/kelimpahan cendawan endofit tertinggi terjadi pada buah kakao yang sudah tua/siap dipanen. Demikian juga halnya dengan isolasi dari kulit terluar kakao, merupakan hasil uji pendahuluan dengan membelah melintang buah kakao. Buah dibagi tiga bagian, pangkal (basal), tengah (mid), dan ujung (apical) buah. Dari tiap bagian diambil 5 titik untuk diinkubasikan di dalam Malt Extract Agar (MEA) 10% (modifikasi dari Schulz et al. 1993; Arnold et al. 2001 dan Gamboa et al. 2002) setelah serial desinfeksi dengan ethanol 70%, natrium hipoklorit 2% selama 1-2 menit, etanol 95%, lalu ke aquades steril dua kali. Cendawan yang mulai tumbuh segera dimurnikan ke media MEA atau PDA. 3. Identifikasi Secara Morfologi Isolat murni dikelompokkan berdasarkan sepuluh karakter morfologi (Arnold et al 2001), yaitu produksi spora, karakter spora, tinggi dan kedalaman pertumbuhan miselium, bentuk aerial miselium, warna koloni dan media, tekstur permukaan, karakter tepi koloni, dan kecepatan pertumbuhan pada media PDA. Cendawan diinduksi memproduksi struktur yang mudah diamati untuk identifikasi seperti spora dan konidia dengan cara ditumbuhkan pada berbagai jenis media seperti media beras, media agar air yang di atasnya diletakkan jaringan tanaman sehat atau kertas saring, atau diletakkan di bawah sinar NUV.
Isolasi dan
identifikasi secara morfologi dilakukan di Laboratorium Mikologi Departemen Proteksi Tanaman IPB. 4. Identifikasi Secara Molekular Ekstraksi DNA dilakukan di Laboratorium Virologi Departemen Proteksi Tanaman IPB dan metode lainnya dilaksanakan di Georg-August University, Germany. a. Ekstraksi Total DNA. Total genom DNA diekstraksi dengan buffer CTAB (Wilkie 1997).
49 Ekstrak DNA disiapkan dari miselium cendawan endofit menggunakan metode seperti berikut ini. Sebanyak 0.3 g miselium digerus dalam nitrogen cair dengan mortar dan pistil sampai berbentuk bubuk. Bubuk miselium dimasukkan ke dalam tabung mikro 2 ml dan ditambah 1 ml bufer ekstrak yang mengandung 50 mg/ml polyvinilpyrrolidone (PVP) dan 60 µl 10% sodium dedocyl sulfate (SDS) ditambah 10 µl mercapto ethanol. Kemudian suspensi dicampur rata dengan divorteks sebelum dimasukkan ke dalam penangas air bersuhu 65°C selama 30 menit, didinginkan pada suhu ruang. Setelah dingin, suspensi diberi 5 µl enzim RNase (1 mg/ml) untuk menghilangkan RNA dan diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Selanjutnya campuran ditambah 750 µl kloroform: isoamil alkohol (CI 24:1), lalu divorteks dan disentrifugasi pada 11,000 rpm selama 10 menit. Supernatan ditambah 1 ml kloroform, divorteks dan disentrifugasi lagi pada 11,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Supernatan ditambah 1 ml isopropanol dingin, dihomogenkan dengan cara membalik-balikkan tabung beberapa kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 30 menit dan disentrifugasi pada 11,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Pelet ditambah 200 µl TE (0.045 M Tris-acetate, 0.01 M EDTA), dihomogenkan dengan cara membalikbalikkan tabung beberapa kali lalu diinkubasi pada suhu 37°C selama 1 jam. Pelet ditambah 20 µl natrium asetat (3 M, pH 5.2) dan 500 µl etanol absolute, dihomogenkan dengan cara membalikkan tabung beberapa kali, diinkubasi pada suhu -20°C selama 30 menit dan disentrifugasi pada 14,000 rpm pada suhu 4°C selama 10 menit. Cairan dibuang kemudian pelet dicuci dengan 500 µl ethanol dingin 75%, dikeringkan dan diresuspensi dengan 100 µl buffer TE kemudian disimpan pada suhu -20°C sampai digunakan pada metode selanjutnya. b. Amplifikasi PCR. Primer LR0R (5’ACCCGCTGAACTTAAGC3’) dan LR6 (3’CGCCAGTTCTGCTTACC5’) digunakan untuk mendapatkan sekitar 1000 bp DNA yang menyandi 28 S LSU rDNA tiap isolat (Duke Univ., http://www.biology.duke.edu/fungi/mycolab/-primers.htm).
Kedua
primer
yang
digunakan
merupakan primer umum untuk cendawan endofit. PCR dilakukan dalam 25 μl total volume reaksi yang terdiri dari 1μl sampel DNA, 10 μl H2O, 10 μl buffer Bioline 10x, 1.5 μl MgCl2 Bioline 50 mM, 4 μl dNTP Bioline 2.5 mMe, masingmasing 1.25 μl primer LR0R dan LR6 10 μM, 1 μl Taq Bioline 5 U/μl. Siklus
50 PCR yang dilakukan adalah 5 min pada 94oC, 30s pada 94oC, 45s pada 50oC, 1 min pada 72oC, dan 7 min pada 72oC, dilakukan dalam 35 siklus (Aime dan Phillips-Mora, 2005).
Hasil PCR dibersihkan dengan SureClean (Bioline,
Germany). Sebanyak 25 μl SureClean ditambahkan ke dalam asam nukleat hasil PCR, diinkubasikan selama 15 menit pada suhu ruang, disentrifugasi pada 14,800 rpm selama 15 min, supernatan dibuang dengan disedot dengan pipet, tambahkan 50 μl etanol 70%, divortex selama 10 menit, disentrifugasi pada 14,800 rpm selama 5 min, supernatan dibuang kemudian dikeringanginkan untuk membuang sisa etanol. Pellet diresuspensi kembali dengan H2O 25 μl dan dicek lagi konsentrasi DNA-nya pada gel dengan blue-juice sebelum disekuen. c. Sekuen DNA. Hasil PCR disekuen oleh Macrogen dengan primer LR0R dan LR6. Hasil sekuen dibandingkan dengan data Genbank menggunakan program BLAST (www.ncbi.nlm.nih.gov), didapatkan nama spesies yang mendekati/mirip dengan spesies yang dimiliki berdasarkan persentase kemiripannya (Arnold & Lutzoni 2007, Crozier et al. 2006). 5. Analisis statistik Maksimum frekuensi satu spesies isolat adalah 5 titik sampel x 3 bagian x 2 buah x 4 pohon x 3 ulangan x 2 (diatap dan tanpa atap) x 2 kali waktu pengambilan sampel = 1440. Peubah yang diamati berupa frekuensi kemunculan tiap spesies, jenis dan jumlah spesies yang ditemukan, dan kejadian penyakit busuk buah kakao. Software yang digunakan untuk menganalisis data adalah Excel, Biodiv97 (Messner 1997) untuk analisis Sorensen, Statistica (Statsoft 1995) untuk menganalisis korelasi dan monotonic multidimensional scaling (MDS), EstimateS versi 7.5.2 untuk mendapatkan indeks keragaman dan estimasi populasi total. Hasil dan Pembahasan 1. Kekayaan Spesies Cendawan Endofit Pada buah kakao didapatkan 76 morphospesies cendawan endofit (Tabel Lampiran 4.1). Setelah diidentifikasi secara molekuler, ternyata hanya 37 spesies. Hal ini antara lain karena penampakan secara morfologi saja sulit untuk
51 Tabel 4.1 Hasil identifikasi cendawan endofit secara molekuler, nomor aksesi dan persen kemiripan DNA pada Genbank % No. Kode No. Aksesi di Berkerabat dengan kemiIsolat Morfospesies Genbank ripan 1 2 3 4
10 11 12
1, 50 2, 8a, 25 4b, 27, 33 5, 11b, 14, 24, 29, 61, 67, 70 6a 7, 35 10, 36 11a 9, 12,42a, 45,47,53,63b,68 ,69,71 15, 59 16, 17
13 14
19, 21, 60 22
15 16
24d 26
17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
37b,54,72 18,20,32,34b 39a 39b, 40 41 43 46, 58 48 49 51b 56 57a 57b 62
31 32 33
66b 74 75
5 6 7 8 9
Fusarium lichenicola Bionectria sp. Gibberella zeae Phomopsis columnaris
AY097325.1 DQ327624.1 XM_389750.1 AF439627.1
98 99 96 100
Fusarium ambrosium Glomerella cingulata Diaporthe phaseolorum Schizophyllum commune Diaporthe angelicae
AY780077.1 DQ286204.1 AY346279.1 DQ071725.2 AY196781.1
99 99 99 98 99
Fusarium sp. T47a Xylaria sp. Fungal Endophyt e isolate 9147 Aphyllophorales DIS 296 a Colletotrichum sp. MCA 2773 Polyporaceae. DIS 126a Uncultured ascomycete clone C32_B06 Diaporthe eres Diplodia pinea Psathyrella leucotephra Colletotrichum crassipes Laccocephalum mylittae Fusarium solani Xylariaceae DIS 360g Ascosalsum viscidulum Aschersonia sp.WYBX-3 Giberella circinata Geomyces sp. Nigrospora oryzae Fungal endophyte P815A Calocybe gambosa
FJ890386.1 DQ327623.1 EF420081.1
95 99 99
DQ327656.1 DQ286218.1
99 97
DQ327640.1 EU490103.1
100 98
AF362565.1 EU754157.1 FM160683.1 DQ286206.1 EU716114.1 EU719659.1 DQ674817.1 AY150223.1 EU817486.1 FJ744110.1 AB470567.1 FJ176892.1 EU977290.1 U86442.1|CGL SURRNA2 EU219393.1 DQ863690.1 EF420100.1
99 98 95 100 99 99 99 98 99 87 89 99 98 94
Phomopsis sp. QJC-1893 Resinicium friabile Pestalotiopsis (Fungal endophyte isolate 6722)
99 99 99
52
Tabel 4.1 Hasil identifikasi cendawan endofit secara molekuler, nomor aksesi dan persen kemiripan DNA pada Genbank (lanjutan) No. Kode Berkerabat dengan No. Aksesi di % Isolat Morfospesies Genbank kemiripan 34 52,76 AB084302.1 87 Nectria rigidiuscula 35 3,23,27,31a,38, Fusarium sp. QJC-1403 EU193176.1 99 63,73 36 28a AF439635.1 100 Phomopsis viticola 37 44 AY686634.1 98 Bionectria ochroleuca dibedakan antar isolat. Misalnya warna koloni Fusarium yang sering berubahubah dari ungu menjadi pink, lalu putih. Juga pada Phomopsis/Diaporthe, warna sering berubah, dari hijau-kuning-putih, bentuk koloni yang kadang-kadang menyerupai bunga mawar dengan variasi yang beragam. Tidak terbentuknya struktur khusus seperti konidia juga menyulitkan dalam identifikasi secara morfologi. Karena hal-hal itu, penulis sering memisahkan isolat yang sama ke dalam kelompok yang berbeda (Tabel 4.1; Gambar Lampiran 4.2). Hasil identifikasi secara molekuler didapatkan sekuen rDNA cendawan endofit buah kakao, lalu dibandingkan dengan data di GenBank, diperoleh persentase kemiripan berkisar antara 87-100% (Tabel 4.1; Lampiran 4.2). Seperti pada banyak penelitian keragaman cendawan endofit (misalnya Hoffman dan Arnold 2008, Smith et al 2008), kelas Ascomycetes merupakan yang terbanyak ditemukan. Hasil identifikasi menunjukkan enam spesies (I-8, I-13, I-15, I-19, I21, I-30) termasuk ke dalam kelas Basidiomycetes, 30 Ascomycetes, dan satu spesies yang belum teridentifikasi dan masih dalam bentuk kode isolat sebagai Fungal Endophyte P815A (Tabel Lampiran 4.3). Isolat Fungal Endophyte P815A diisolasi dari tumbuhan Anacardiaceae dari daerah perbatasan Peru dan Bolivia, Amerika Latin (Smith et al. 2008). Dua isolat yang masih berkode Fungal Endophyte isolate 9147 dan 6722 termasuk ke dalam Ascomycetes (Hoffman & Arnold 2008). Berdasarkan bentuk konidianya, isolat Pestalotiopsis dalam penelitian ini mirip dengan Fungal Endophyte isolate 6722. Salah satu anggota kelas Ascomycetes yang mirip dengan I-16 terdaftar pada GenBank sebagai Uncultured Ascomycetes walaupun dalam penelitian ini
53 semuanya dikulturkan. Isolat tersebut disekuen langsung dari dalam tanah savanna di mana rumput-rumputan tumbuh tanpa mengisolasinya terlebih dahulu (www.ncbi,nlm.nih.gov/Taxonomy/Browser/wwwtax..cgi?ad=175243). Evans et al. (2003) telah mengisolasi cendawan endofit dari buah kakao liar (Theobroma gilleri) dan juga menemukan dua Basidiomycetes. Sayangnya belum diidentifikasi lebih lanjut sehingga belum diketahui spesiesnya. Crozier et al 2006 juga telah mensekuen LSU rDNA cendawan endofit yang diisolasi dari batang dan buah kakao. Isolasi dari buah ditemukan tiga spesies Pycnoporus sp., 2 spesies Pleosporales sp. (Basidiomycetes), 2 spesies Xylariaceae, 1 spesies Phlebioid sp. (Ascomycetes).
Hanya Xylariaceae yang juga ditemukan dalam
penelitian ini. 2. Kelimpahan Cendawan Endofit pada Bagian Buah Isolasi cendawan endofit dilakukan dari tiga bagian buah, bagian pangkal (basal), tengah (mid), dan ujung (apical, tip) buah. Dari ketiga bagian tersebut, pangkal buah merupakan tempat cendawan endofit paling banyak diisolasi, sebanyak 1099 isolat (31 spesies) dari 96 buah. Bagian ujung merupakan bagian yang paling sedikit, hanya 851 isolat (35 spesies), dan pada bagian tengah buah ada 895 isolat (31 spesies). Tingginya jumlah isolat pada pangkal buah karena lekukan pada pangkal buah yang dapat menampung/menjadi tempat jatuhnya spora (dari ‘hujan spora’, spore rain) tanpa langsung tercuci ke dalam tanah, juga dapat menampung/lapisan air untuk perkecambahan spora. Spora yang jatuh pada bagian tengah dan ujung buah dengan mudah tercuci bila ada hujan. Selain itu, spora tidak mudah melekat terutama pada kulit buah yang licin, dengan posisi yang vertikal. Dari uji pendahuluan diketahui bahwa tidak ada cendawan ditemukan hingga pada ketebalan sekitar 10 mm dari kulit buah. Pada ketebalan sekitar 5 mm cendawan sudah mulai terisolasi.
Dari kedua hasil isolasi ini dapat
disimpulkan bahwa penyebaran cendawan endofit pada buah kakao terjadi terutama secara horizontal, berasal dari lingkungan sekitar, apakah terbawa angin, percikan air, serangga, atau vektor lainnya.
54 3. Keragaman Cendawan Endofit pada Kulit Buah Keragaman cendawan endofit dalam penelitian ini dilihat dari jumlah spesies pada tiap plot dan frekuensi kemunculan/keseringannya diisolasi dari tiap potongan jaringan kulit buah kakao. Potongan jaringan yang menjadi sumber cendawan endofit ada sebanyak 1440 potong (sampel). Semua sampel membawa cendawan endofit, tidak ada yang tidak ditumbuhi cendawan. Total semua isolat yang diisolasi sebanyak 2843 isolat, dan didapatkan 37 spesies dari hasil identifikasi secara molekuler.
Dari ke-37 spesies itu, ada tiga spesies yang
merupakan singleton (spesies yang hanya sekali ditemukan, dua pada BC, Phomopsis viticola dan Bionectria ochroleuca dan satu pada AC, Phomopsis sp. QJC-1893). Frekuensi tiap spesies mengikuti pola log distribusi normal (Gambar 4.2). Nilai ‘goodness of fit dari data ini adalah 9.373856 dengan P>0.10. Komunitas dengan pola log distribusi normal menggambarkan bahwa komunitas tersebut dalam keadaan stabil, besar, komunitas yang alami dengan jumlah spesies yang banyak dan tidak ada spesies yang terlalu dominan (Magurran 1988). Komunitas seperti ini terdiri dari sedikit spesies dominan (sekitar 10%) dan intermediate (25%) serta banyak spesies dengan kelimpahan yang jarang (sekitar 65%). Dari ke-37 spesies dalam penelitian ini, F. lichenicola dan P. columnaris paling tinggi frekuensinya, sedangkan paling sedikit ada tiga spesies yang merupakan singleton, hanya sekali ditemukan, yaitu P. viticola, B. Ochroleuca, dan Phomopsis sp. QJC1893. Bila melihat jumlah spesies yang diamati dan yang diharapkan, dapat dikatakan bahwa pada penelitian ini jumlah spesies yang didapatkan pada jumlah isolat yang ada telah mendekati jumlah yang diharapkan (Gambar 4.3). Namun bila melihat pola peningkatan jumlah spesies dengan peningkatan jumlah isolat, jumlah spesies yang dapat diisolasi masih dapat ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah isolat. Hal ini terlihat dari pola kurva yang masuh terus meningkat dan belum mencapai titik asymptote (kurva mendatar). Bila telah mencapai titik asymptote, jumlah spesies yang didapatkan tidak bertambah lagi meskipun jumlah isolat ditingkatkan (Magurran 1988).
55
600 500 F rek u en si
400 300 200 100
II1 I- 3- 4 I5 I- 1- 9 I- 8 I- 23 I- 3 I4 I- 1- 5 I- 1 3 I- 2 0 I- 1 0 I- 6 I- 215 I1 I- 1- 8 I- 1 7 I- 1 9 I1 I- 1- 7 I2 I- 2- 6 I- 1 6 I- 4 I- 223 I- 4 I- 233 I- 5 I- 228 I- 3 9 I- 2 I- 322 I- 2 0 I- 3 7 I- 1 I- 336 7
0 Spe s ie s Gambar 4.2 Frekuensi keberadaan tiap spesies cendawan endofit yang berhasil diisolasi, mengikuti pola kurva distribusi normal
Diamati
Harapan
40
Jumlah spesies
35 30 25 20 15 10 5 0 -0.3
0.4
0.65
0.93
1.22 1.51
1.81
2.12
2.41
Jumlah isolat (log)
Gambar 4.3 Pola peningkatan jumlah spesies yang diamati dan diharapkan ketika diplotkan dengan pola peningkatan jumlah isolat
56 Arnold et al. (2000) mengungkapkan bahwa cendawan endofit di daerah tropis adalah hyperdiverse, keragaman dan kelimpahannya sangat tinggi dan ditemukan pada semua tanaman. Teknik mengisolasi dengan menggerus atau memotong-motong sampel dalam ukuran yang lebih kecil lagi akan meningkatkan jumlah isolat (frekuensi) dan jumlah spesiesnya (Unterseher dan Schnittler 2009). Selain itu, jumlah spesies akan lebih meningkat bila melakukan teknik environmental PCR (PCR langsung pada sampel inang tanpa mengisolasi cendawannya) untuk mengantisipasi adanya cendawan endofit yang tidak dapat ditumbuhkan pada media buatan yang digunakan atau bila cendawan tersebut pertumbuhannya sangat lambat sehingga tertutupi oleh cendawan lain yang pertumbuhannya lebih cepat.
Metoda penggerusan tidak dilakukan di dalam
penelitian ini karena kulit buah kakao memproduksi lendir yang menyebabkan sampel yang digerus tidak terpisah dengan baik dan belum ditemukan metode pemisahannya, serta karena jumlah sampel yang cukup banyak. Tehnik PCR langsung juga tidak dilakukan karena salah satu tujuan akhir dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan calon agens biokontrol busuk buah kakao yang tentunya harus dapat dikulturkan. Keragaman cendawan endofit dalam penelitian ini cukup tinggi. Nilai Shannon evenness terlihat cukup tinggi, 0.73-0.87 (nilai 0 berarti hanya ada satu spesies dan nilai 1 berarti jumlah individu tiap spesies adalah sama, tidak ada yang dominan) (Tabel 4.2). Hasil indeks Shannon dan Simpson memperlihatkan bahwa plot AR merupakan plot dengan keragaman cendawan yang paling tinggi dibandingkan dengan plot lainnya. Hal ini juga terlihat dari nilai Shannon evenness yang paling tinggi. Plot BC memperlihatkan nilai indeks keragaman yang paling rendah pada kedua indeks walaupun evennessnya bukan yang terendah. Hal ini terjadi karena kedua indeks memperhitungkan jumlah spesies dan frekuensi kemunculannya, di mana pada BC ada dua spesies yang merupakan singleton dan satu spesies (I-1) sangat dominan. Chao 1 dan ACE memperkirakan masih ada 10 spesies cendawan lagi yang hilang selama proses isolasi dari plot AR. Di pihak lain, Chao 2 dan ICE menghitung masing-masing 8 dan 9 spesies yang hilang. Dengan Chao1 dan ACE, diperkirakan ada 3 isolat yang hilang pada plot BC. Namun dengan Chao2 dan
57 Tabel 4. 2 Indeks keragaman tiap plot pada pengambilan awal dan akhir beserta estimasi populasinya Jumlah spesies
Kelimpahan (frekuensi)
BC
30
BR
Indeks keragaman
Estimasi populasi
Even ness
Indeks Shannon
Indeks Simpson
ACE
ICE
Chao 1
Chao 2
665
0.75
2.64
9.67
32.6
342.4
32.8
342.4
27
636
0.73
2.86
12.71
35.9
40.9
37.5
34.9
AC
33
657
0.84
2.90
13.07
38.5
40.3
39.8
40.3
AR
30
885
0.87
2.93
13.60
39.6
38.7
40.0
37.6
Keterangan: ACE: Abundance-based Coverage Estimator ICE: Incidence-based Coverage Estimator BC: Plot kontrol, pengambilan pertama BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama AC: Plot kontrol, pengambilan kedua AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua Tabel 4.3 Suhu dan kelembaban rata-rata 1 m dan 3 m di atas permukaan tanah selama pengambilan sampel (data Moser et al. 2010) Tanpa Atap Diatap 1m 3m 1m 3m T RH T RH T RH T (oC) RH (%) (oC) (%) (oC) (%) (oC) (%) Maret23.4 91.3 23.6 89.9 April 2007 Jan-April 23.2 91.0 23.2 90.9 23.6 89.8 23.7 87.5 2008 Keterangan: - : tidak ada data ICE diperkirakan isolat yang hilang cukup tinggi, 313 spesies. Chao2 dan ICE menghitung
spesies
yang
hilang
dengan
memperhatikan
spesies
yang
jarang/frekuensinya sedikit, di mana jumlahnya cukup banyak pada plot BC. Chao1 dan ACE memperkirakan spesies yang hilang dari jumlah spesies yang telah didapatkan. Keragaman cendawan endofit cukup tinggi pada pengambilan sampel kedua, AC dan AR.
Suhu dan kelembaban tidak berbeda nyata antar kedua waktu
pengambilan, tetapi curah hujan/presipitasi yang cukup rendah pada pengambilan kedua (Gambar 4.4 dan Tabel 4.3). Kenyataan ini berbeda dengan pernyataan Suryanarayanan et al. 2009 bahwa tingkat presipitasi berkorelasi positif dengan kelimpahan/frekuensi dan jumlah spesies endofit yang diisolasi. Hal ini
-3
Rainfall (mm d )
. 2
0
. 4
. 3
. 2
. 5
. 4
. 3
. 2
. 1
0
0
0
0
0
0
0
0
. 5
. 3
0
0
. 4
0
0
0
2
. 5
0
4
0
0
1
7
1
F
5
5
0
0
1
1
M
/ 4
c
/ 4
c
c
m
m
A
m
/ 0
/ 0
7
7
M
1
1
D
J
0
0
J
/ 0
/ 0
s
2
/ 7
/ 7
e
7
7
7
i c
c
A
a
1
1
S
/ 1
/ 1
t i o
0
0
n
O
/ 0
/ 0
p
7
7
e
N
1
1
r i o
D
/ 1
/ 1
d
J
/ 0
/ 0
8
8
F
1
1
M
/ 4
/ 4
2
/ 0
/ 0
0
A
8
8
0
8
M
C R
1
1
n o
/ 7
/ 7
J
o o
/ 0
/ 0
J
8
8
t r o f
l
Gambar 4.4 Curah hujan dan kandungan air tanah pada plot selama pengambilan sampel (dalam lingkaran, Maret-April 2007 dan JanuariApril 2008) (Moser et al. 2010)
3
-1
Vol. water content (m m )
6
58
59 kemungkinan terjadi karena rata-rata curah hujan yang cukup tinggi (2844 mm, tropical
rain
forest)
di
lokasi
penelitian,
sedangkan
Suryanarayanan
melakukannya di daerah dry tropic. Diduga hujan yang terlalu banyak malah akan mencuci propagul cendawan dari permukaan buah sebelum sempat berkecambah dan mempenetrasi buah. Oleh karena itu dapat diajukan hipotesis bahwa sebenarnya ada presipitasi optimum yang mendukung tingginya keragaman dan frekuensi kemunculan cendawan endofit di alam. Namun demikian, untuk mendapatkan kesimpulan yang baik, perlu dilakukan pengulangan pada beberapa musim, tidak hanya satu musim seperti dalam penelitian ini.
4.
Kemiripan Jenis Spesies Cendawan Endofit Antar Plot Tingkat kemiripan jenis spesies antar plot diukur dengan tiga indeks (Tabel
4.4).
Indeks Jaccard dan Sørensen mengukur kemiripan antar plot dengan
membandingkan ada atau tidaknya suatu spesies di kedua plot tersebut, sedangkan Morista-Horn membandingkan jumlah frekuensi spesies yang ditemukan pada tiap plot. Dari ketiga indeks, indeks kemiripan BC vs BR dan AC vs AR selalu tertinggi. Tingginya kemiripan tersebut (plot tanpa atap dan diatap pada waktu pengambilan sampel yang sama) menggambarkan bahwa pengatapan tidak mempengaruhi jenis cendawan endofit yang ada. Dengan Multidimensional Scaling (MDS) dari indeks Sørensen makin jelas memperlihatkan kemiripan jenis spesies yang ditemukan di dalam tiap ulangan dari AC dan AR (Gambar 4.5). Makin dekat titik-titik yang mewakili ulangan dari tiap perlakuan, makin mirip jenis spesies dalam plot-plot tersebut, seperti yang ditunjukkan pada ulangan plot yang berada di dalam lingkaran. Sebaliknya, makin jauh letak titik-titik tersebut, makin berbeda jenis spesies yang ditemukan dalam tiap plot tersebut. Jadi dengan melihat rendahnya nilai indeks BC vs AC dan BR vs AR (plot yang sama dengan waktu pengambilan sampel berbeda), dapat dikatakan bahwa pemasangan atap tidak mempengaruhi jenis spesies dalam tiap plot dan mengindikasikan adanya pengaruh dari waktu pengambilan sampel. Suhu dan kelembaban rata-rata yang diukur pada semua plot (3 m dari permukaan tanah pada pengambilan pertama dan 1 dan 3 m di atas permukaan tanah pada pengambilan sampel kedua) tidak berbeda nyata antar waktu
60 Tabel 4.4 Indeks kemiripan jenis spesies antar plot Indeks kemiripan Species Jaccard classic Sørensen classic Morista-Horn shared BC vs BR 27 0.9000 0.9474 0.9389 BC vs AC 26 0.7027 0.8254 0.4341 BC vs AR 25 0.7143 0.8333 0.5013 BR vs AC 25 0.7143 0.8333 0.4239 BR vs AR 24 0.7273 0.8421 0.5430 AC vs AR 29 0.8529 0.9206 0.9495 Keterangan: BC: Plot kontrol, pengambilan pertama BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama AC: Plot kontrol, pengambilan kedua AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua
1,50 1,00
AC
AR
BC
BR
Dimension 2
0,50 0,00 -0,50 -1,00 stress = 0.12 -1,50 -1,50
-1,00
-0,50
0,00
0,50
1,00
1,50
Dimension 1 Gambar 4.5 Kemiripan jenis spesies antar plot dari indeks Sorensen dengan Multidimensional Scaling (MDS). Tiap titik mewakili ulangan dari tiap perlakuan (BC: Plot kontrol, pengambilan pertama; BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama; AC: Plot kontrol, pengambilan kedua; AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua)
61 pengambilan (Tabel 4.4). Yang berbeda adalah curah hujan antara Maret-April 2007 (293-473 mm) dan Januari-April 2008 (44-360 mm, Gambar 4.4). Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa adanya perbedaan curah hujan menjadi penyebab terjadinya perbedaan jumlah (frekuensi) dan jenis cendawan yang diisolasi.
5. Perubahan Dominansi Spesies Cendawan Endofit Perubahan dominansi spesies cendawan endofit dari Maret-April 2007 ke Januari-April 2008 juga terjadi (Tabel 4.5 dan Gambar 4.6). Pada awalnya, I-1 (Fusarium lichenicola) dan I-3 (Giberella zeae) mendominasi buah kakao, kemudian berubah didominasi oleh I-4 (Phomopsis culumnaris) dan I-9 (Diaporthe angelica). Frekuensi I-1 masih cukup tinggi pada pengambilan kedua (masih masuk dalam 10 besar), tetapi I-3 tidak termasuk lagi, baik pada plot tanpa atap maupun pada plot beratap. Perubahan keberadaan cendawan endofit dalam waktu yang berbeda juga terjadi. Cendawan I-14 (Colletotrichum sp. MCA 2773) hanya ditemukan pada awal pengambilan sampel, sedangkan cendawan I-27 (Geomyces sp.), I-28 (Nigrospora oryzae), I-29 (Fungal Endophyte P815A), I-30 (Calocybe gambosa), Tabel 4.5
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Spesies I- 1 I- 3 I- 2 I-18 I-35 I- 4 I-13 I- 9 I- 5 I-34
Perubahan dominansi cendawan endofit pada tiap plot saat pengambilan sampel yang berbeda BC Kelimpahan 228 53 51 45 38 34 27 25 23 21
Keterangan:
Spesies I- 1 I- 3 I-18 I-35 I-34 I- 4 I- 2 I-21 I- 5 I-16
BR Kelimpahan 179 93 85 57 35 33 27 20 16 15
Spesies I- 4 I- 9 I-35 I- 2 I-13 I-10 I- 5 I- 1 I-15 I- 8
AC Kelimpahan 110 89 53 36 35 31 30 27 27 26
BC: Plot kontrol, pengambilan pertama BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama AC: Plot kontrol, pengambilan kedua AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua
Spesies I- 4 I- 9 I-35 I-18 I-10 I- 1 I-34 I-20 I- 2 I-13
AR Kelimpahan 121 91 81 57 50 46 46 41 40 36
Spesies
3 e s a a 7 a e a ne s is m ae la ae cete 40 ne sipe litta scul ca 47 14 ale tri ar iu mu e ze 1 i i co s c l 9 i n c T p y y e s o a n or m iu ne ella JC ia cra m br com ang or com FE ph he um lu id io d r p Q i m o e r g o o m il c B ib l a c ly e a m ll ri m as ip hum halu us F. illu P. F. iu Po re G rth ia hy r D r F c o p t u a p s lt ep A op tri ec ia iz Fu cu to oc N D c e c n l c S U ol La C
0
50
100
150
200 AR
AC
BR
BC
Gambar 4.6 Perubahan dominansi cendawan endofit pada plot dan waktu pengambilan sampel yang berbeda ( BC: Plot kontrol, pengambilan pertama; BR: Plot perlakuan, pengambilan pertama; AC: Plot kontrol, pengambilan kedua; AR: Plot perlakuan, pengambilan kedua)
Frekuensi
250
62
63 I-31 (Phomopsis sp.), I-32 (Resinicium friabile), dan I-33 (Pestalotiopsis, Fungal Endophyte 6722) muncul pada pengambilan sampel kedua.
Pada saat
pengambilan pertama kondisi lingkungan sedang basah sehingga diduga akan mudah bagi spora basah untuk berkembang dengan cepat mengkolonisasi buah sehingga cendawan lainnya tidak mampu bersaing dan akan terhambat pertumbuhannya atau bahkan tidak mampu berkembang bila terlalu banyak air, sedangkan pada pengambilan kedua kondisi lingkungan relatif kering sehingga cendawan dengan spora kering yang akan berkembang dengan baik. P. columnaris sebagai cendawan paling dominan ada kondisi kedua, frekuensinya tidak setinggi F. lichenicola (Gambar 4.6). Dalam kondisi demikian, banyak cendawan lain yang dapat tumbuh tanpa dibambat atau bersaing dengan cendawan dominan. Cendawan Fusarium solani hanya ditemukan pada plot tanpa atap pada kedua waktu pengamatan.
Kemunculan I-22 (F. solani) pada plot tanpa atap saja
mungkin berkaitan dengan cara penyebaran cendawan ini lewat percikan air dari tanah, tidak muncul pada plot beratap karena terhalang oleh adanya atap. 6. Kelimpahan Cendawan Endofit dan Keparahan Penyakit Busuk Buah Kakao Pada saat penelitian, penyakit utama yang banyak dijumpai adalah penyakit busuk buah Phytophthora palmivora. Korelasi keberadaan penyakit tersebut dengan frekuensi kemunculan cendawan endofit disajikan pada Tabel 4.6. Nilai korelasi negatif yang tinggi, dalam kasus keparahan penyakit rendah dan cendawan endofit tinggi mengindikasikan bahwa endofit tersebut berpotensi untuk dikembangkan sebagai agens biokontrol. Cendawan endofit yang dominan pada awal pengambilan sampel, Fusarium lichenicola, ternyata tidak berkorelasi negatif dengan adanya penyakit utama. Sebaliknya, cendawan yang dominan pada pengambilan kedua, Phomopsis columnaris berkorelasi negatif dengan penyakit busuk buah kakao. Frekuensi kemunculan cendawan Phomopsis columnaris, Diaporthe angelica, Fusarium sp. T47a, Xylaria sp., Polyporaceae DIS 126a berkorelasi negatif cukup tinggi dengan keparahan penyakit (Tabel 6).
64 Tabel 4.6 Korelasi frekuensi kemunculan spesies cendawan endofit dengan kejadian penyakit busuk buah Korelasi Spesies Tanpa Atap Diatap 0.7824 0.5009 Fusarium lichenicola Bionectria sp. -0.1342 -0.3818 0.5691 0.5963 Gibberella zeae -0.6824 -0.4590 Phomopsis columnaris -0.0539 -0.3804 Fusarium ambrosium 0.5932 0.3622 Glomerella cingulata -0.0120 -0.3801 Diaporthe phaseolorum -0.6365 -0.5485 Schizophyllum commune -0.7913 -0.4842 Diaporthe angelica Fusarium sp. T47a -0.7190 -0.4377 Xylaria sp. DIS 125b -0.3539 -0.5395 Fungal Endo-phyte 9147 0.1923 -0.2218 Aphyllophorales DIS 296 a -0.0197 -0.2679 Colletotrichum sp. MCA 2773 0.3936 0.0932 Polyporaceae DIS 126a -0.7163 -0.4424 Uncultured ascomycetes -0.0280 -0.3167 -0.4362 -0.5232 Diaporthe eres 0.7299 0.0483 Diplodia pinea -0.3054 -0.6408 Psathyrella leucotephra -0.5253 -0.5843 Colletotrichum crassipes -0.3969 -0.3298 Laccocephalum mylittae Xylariaceae DIS 360g -0.1817 -0.0323 0.0728 -0.5434 Ascosalsum viscidulum Aschersonia sp.WYBX-3 -0.3490 -0.5306 0.5063 -0.0529 Giberella circinata -0.1687 -0.5182 Nigrospora oryzae Fungal endo-phyte P815A -0.1687 -0.5182 -0.3599 -0.0316 Calocybe gambosa -0.3824 -0.1679 Resinicium friabile FE 6722 (Pestalotiopsis) -0.4292 -0.1838 -0.0245 -0.3002 Nectria rigidiuscula Fusarium sp. QJC-1403 -0.5428 -0.0195 Meskipun demikian, perlu juga berhati-hati dalam mempertimbangkan calon agens biokontrol dengan memperhatikan apakah spesies tersebut pernah dilaporkan sebagai patogen tumbuhan atau mikroorganisme yang membahayakan. Di lain pihak, walaupun nilai korelasi negatifnya kecil tetapi pernah dilaporkan sebagai agens biokontrol, maka spesies tersebut layak untuk diuji kemampuannya sebagai agens biokontrol. Oleh karena itu, P. columnaris dan D. angelica tidak
65 akan dipilih, tetapi Aschersonia sp., C. gambosa dan Xylaria sp. dapat dipilih untuk pengujian selanjutnya. Kesimpulan Sebanyak 2843 isolat yang terdiri dari 37 spesies (6 Basidiomycetes, 30 Ascomycetes dan satu belum teridentifikasi) telah dieksplorasi dari 1440 sampel kulit buah kakao. Keragaman cendawan endofit meningkat pada kondisi kering Januari-April 2008 dari kondisi basah di bulan Maret-April 2007. Iklim makro berupa curah hujan lebih berpengaruh terhadap keragaman cendawan endofit daripada iklim mikro berupa pengatapan. Perubahan dominansi spesies cendawan endofit juga terjadi, Fusarium lichenicola pada bulan basah menjadi Phomopsis columnaris pada bulan kering. Kelimpahan beberapa cendawan endofit seperti Fusarium sp. T47a, Xylaria sp., Polyporaceae DIS 126a, Aschersonia sp., C. gambosa dan Xylariaceae berkorelasi negatif dengan kejadian busuk buah Phytophthora palmivora. Cendawan endofit tersebut berpotensi sebagai agens biokontrol melalui induksi ketahanan. Daftar Pustaka Aime MC, Phillips-Mora W. 2005. The causal agents of witches’ broom and frosty pod rot of cacao (chocolate, Theobroma cacao) from new lineage of Marasmiaceae. Mycologia 97 (5): 1012-1022 Arnold AE, Lutzoni F. 2007. Diversity and host range of foliar fungal endophytes: Are tropical leaves biodiversity hotspots? Ecology 88: 541-549 Arnold AE, Maynard Z, Gilbert GS, Coley PD dan Kursar TA. 2000. Are tropical fungal endophytes hyperdiverse? Ecol Lett 3:267-274 Arnold AE, Maynard Z dan Gilbert GS. 2001. Fungal endophytes in dicotyledonous neotropical trees: patterns of abundance and diversity. Mycol Res 105: 1502-1507 Chavas DR, Izaurralde RC, Thomson AM, Gao X. 2009. Long-term climate change impacts on agricultural productivity in eastern China. Agric Forest Meteorol 149:1118-1128 Colwell RK. 2004. EstimateS: Statistical estimation of species richness and shared species from samples. Version 7.5.2. User's Guide and application. http://purl.oclc.org/estimates. (verified March 2009)
66 Crozier J, Thomas SE, Aime MC, Evans HC, Holmes KA. 2006. Molecular characterization of fungal endophytic morphospecies isolated from stems and pods of Theobroma cacao. Plant Pathol 55: 783–791 Evans HC, Holmes KA, Thomas SE. 2003. Endophytes and mycoparasites associated with an indigenous forest tree, Theobroma gileri, in Ecuador and a preliminary assessment of their potential as biocontrol agents of cocoa diseases. Mycol Prog 2(2): 149–160 Hashizume Y, Sahashi N, Fukuda K. 2008. The influence of altitude on endophytic mycobiota in Quercus acuta leaves collected in two areas 1000 km apart. For Path 38:218–226 Hoffman MT, Arnold AE. 2008. Geographic locality and host identity shape fungal endophyte communities in cupressaceous trees. Mycol Res 112:331– 344. Joshee S, Paulus BC, Park D, Johnston PR. 2009. Diversity and distribution of fungal foliar endophytes in New Zealand Podocarpaceae. Mycol Res 113(9):1003-1015 Gamboa MA, Laureano S, Bayman P. 2002. Measuring diversity of endophytic fungi in leaf fragments: does size matter? Mycopathologia 156: 41–45. Lloret F, Penuelas J, Prieto P, Llorens L, Estiarte M. 2009. Plant community changes induced by experimental climate change : seedling and adult species composition. Perspect Plant Ecol 11:53-63 Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. Princeton Univ. Press, Princeton. 179p Messner S. 1997. Biodiversity Calculator. Würzburg: Universität Würzburg Moncalvo JM, Vilgalys R, Redhead SA, 2002. One hundred and seventeen clades of euagarics. Mol Phylogenet Evol 23:357–400 Moser G, Leuschner C, Hertel D, Holscher D, Kohler M, Leitner D, Michalzik B, Prihastanti E, Tjitrosemito S, Schwendenmann L. 2010. Response of cocoa trees (Theobroma cacao) to a 13-month desiccation period in Sulawesi, Indonesia. Agroforest Syst 79:171–187. Nyenzy B, Lefale PF. 2006. El Nino Southern Oscillation (ENSO) and global warming. Adv Geosciences 6: 95–101 Pedraza RO, Bellone CH, de Bellone SC, Sorte PMFB, dos Santos Teixeira KR. 2009. Azospirillum inoculation and nitrogen fertilization effect on grain yield and on the diversity of endophytic bacteria in the phyllosphere of rice rainfed crop. Eur J Soil Biol 45:36-43
67 Postma JWM, Olsson PA, Falkengren-Grerup U. 2007. Root colonisation by arbuscular mycorrhizal, fine endophytic and dark septate fungi across a pH gradient in acid beech forests. Soil Biol Biochem 39:400-408 Schulz B, Wanke U, Drager S, Aust HJ. 1993. Endophytes from herbaceous plants and shrubs: effectiveness of surface sterilization methods. Mycol Res 97:1447-1450. Sieber TN, 2007. Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists? Fungal Biol Rev 21: 75-89. Smith SA, Tank DC, Boulanger LA, Bascom-Slack CA, Eisenman K, Kingery D, Babbs B, Fenn K, Greene JS, Hann BD, et al. 2008. Bioactive Endophytes Warrant Intensified Exploration and Conservation. PLoS ONE 3 (8): e3052 doi:10.1371/journal.pone.0003052 [Statistica:Statsoft]. 1995. Statistica for Windows Release 5.0. Tulsa: StatSoft Suryanarayanan TS, Thirumalai E, Prakash CP, M.B. Rajulu MBG, Thirunavukkarasu N. 2009. Fungi from two forests of southern India: a comparative study of endophytes, phellophytes, and leaf litter fungi. Can J Microbiol 55: 419–426 Unterseher M, Schnittler M. 2009. Dilution-to-extinction cultivation of leafinhabiting endophytic fungi in beech (Fagus sylvatica L.) – Different cultivation techniques influence fungal biodiversity assessment Mycol Res 113:645-654 [Vilgalys Lab]. Conserved primer sequences for PCR amplification and sequencing from nuclear ribosomal RNA. Vilgalys Lab, Duke University. http://www.biology.duke.edu/fungi/mycolab/primers.htm., verified Dec. 16 2008) Wilberforce EM, Boddy L, Griffiths R dan Griffith GW. 2003. Agricultural management affects communities of culturable root-endophytic fungi in temperate grasslands. Soil Biol Biochem 35:1143-1154 Wilkie S. 1997. Isolation of total genomic DNA In Clark MS (ed.). Plant Molecular Biology – A Laboratory Manual. Springer-Verlag, Berlin. pp 314 Wilson D. 1995. Endophyte-the evolution of a term, and clarification of its use and definition. Oikos 73:274-276 Yuan Z, Zhang C, Lin F. 2010. Role of diverse non-systemic fungal endophytes in plant performance and response to stress: progress and approaches. J Plant Growth Regul 29:116-126
BAB 5 POTENSI CENDAWAN ENDOFIT SEBAGAI PENGINDUKSI KETAHANAN TANAMAN TERHADAP PENYAKIT BUSUK BUAH PHYTOPHTHORA (POTENCY OF ENDOPHYTIC FUNGI AS PLANT RESISTANCE INDUCER TO BLACK POD DISEASE OF CACAO) Abstract Black pod disease (BPD) of cacao caused by Phytophthora palmivora is one of the devastating diseases on cacao plantation worldwide. Endophytic fungi, fungi live asymptomatically inside healthy plants, were examined to study their potency as biocontrol agent of the disease. Six of endophytic fungi selected from 37 species (from 2843 isolates), isolated from healthy pods of cacao from Marena, Central Sulawesi, were tested their ability to control BPD. Pods on living trees in the field were sprayed with each EF propagules. The inoculated pods were harvested two weeks later and subsequently inoculated with P. palmivora. Scoring of disease development was performed and quantified as area under disease progress curve (AUDPC). Latent period, infection rate and effectiveness were also recorded. In-vitro growth inhibition of pathogen and induced plant defense mechanisms due to endophytic fungi were also investigated. Xylariaceae and Calocybe gambosa treatment generated the highest effectiveness control level, i.e. 38.8% and 33.8% respectively, followed by Resinicium friabile and Aschersonia treatment, i.e. 17.4% dan 12.7% respectively. Pestalotiopsis and Fusarium were not effective to control BPD. Disease severity of BPD correlated mainly by latent period of pathogen. Growth inhibition of pathogen and induced resistance of plant were partially responsible for disease suppression by Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile and Aschersonia sp. Key words: Xylariaceae, Calocybe gambosa, induced resistance, salicylic acid, peroxidases
Abstrak Penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh Phytophthora palmivora merupakan salah satu penyakit yang sangat merugikan pada pertanaman kakao. Enam cendawan endofit dari total 37 spesies (2843 isolat) yang berhasil diisolasi dari buah kakao sehat asal Marena, Sulawesi Tengah, telah diuji keefektifannya sebagai agens penginduksi ketahanan tanaman. Buah kakao berumur sekitar 2 bulan disemprot dengan propagul cendawan uji. Dua minggu setelah inokulasi kandidat penginduksi, buah dipanen dan diinokulasi dengan patogen P. palmivora di laboratorium. Perkembangan gejala penyakit pada buah diamati, dihitung periode laten, keparahan penyakit, laju infeksi (r), nilai AUDPC dan tingkat keefektifan penekanan penyakit busuk buah. Kemampuan CE menginduksi ketahanan tanaman dan penghambatan pertumbuhan patogen in-vitro juga dianalisis. Cendawan Xylariaceae dan Calocybe gambosa menghasilkan tingkat penekanan penyakit paling tinggi, berturut-turut sebesar 38.8% dan 33.8%, diikuti
70 oleh Resinicium friabile dan Aschersonia masing-masing sebesar 17.4% dan 12.7%. Cendawan Pestalotiopsis dan Fusarium tidak efektif menekan penyakit. Periode laten sangat berkaitan dengan keparahan penyakit. Penghambatan pertumbuhan patogen dan induksi ketahanan tanaman berperan dalam penekanan penyakit oleh Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile dan Aschersonia. Kata kunci: Xylariaceae, Calocybe gambosa, induksi ketahanan, asam salisilat, peroksidase Pendahuluan Penyakit busuk buah pada kakao yang disebabkan oleh P. palmivora merupakan salah satu penyakit yang paling merugikan pada pertanaman kakao di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Penyakit ini dapat mengurangi produksi dunia 20-30% setiap tahun (Guest 2007), bahkan dapat mengurangi hasil produksi sampai 90% (Bowers et al. 2001). Saat ini, pengendalian hama/penyakit terpadu seperti sanitasi, pemangkasan, kultivar tahan, pemanfaatan agens pengendali hayati direkomendasikan untuk menekan perkembangan busuk buah, namun penyakit ini tetap menjadi masalah di seluruh dunia. Salah satu teknologi baru dalam pengendalian hayati penyakit tumbuhan yang menjanjikan adalah dengan penggunaan cendawan endofit. Cendawan endofit adalah cendawan yang semua atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam jaringan tanaman sehat dan tidak memperlihatkan gejala penyakit (Caroll 1988; Petrini 1991; Clay 1993; Saikkonen et al. 2004; Schulz dan Boyle 2005). Hubungan antara tanaman dan cendawan endofit umumnya dianggap sebagai simbiosis mutualistik (Clay 1988; Clay 1989; Faeth 2002; Sette et al. 2006; Rodriguez et al. 2009). Di Indonesia, penelitian tentang cendawan endofit pada buah kakao belum banyak dilaporkan secara ilmiah.
Penelitian cendawan endofit pada kakao
dimulai oleh Arnold dan Herre (2003) di Amerika Selatan dengan menghitung tingkat keanekaragaman cendawan endofit dari daun kakao yang tumbuh pada berbagai ekosistem yang berbeda. Cendawan endofit yang didapatkan diuji kemampuannya dalam menekan penyakit kakao dengan menginokulasi daun kakao di pesemaian dengan cendawan endofit dan patogen Phytophthora. Rubini et al. (2005) melanjutkan pengujian ini dengan patogen Crinipellis perniciosa
71 pada pesemaian. Pengujian di lapangan terhadap penyakit witches’ broom dan busuk buah kakao dilakukan oleh Mejia et al. (2008) dan Hanada et al. (2010). Beberapa cendawan endofit dilaporkan berpotensi sebagai agens biokontrol diantaranya Gliocladium catenulatum, Trichoderma, Penicillium striatisporum, Pestalotiopsis, Tolypocladium, and Fusarium (Arnold et al. 2003; Rubini et al. 2005; Ma et al. 2008; Mejia et al. 2008; Lee et al. 2009; Hanada et al. 2010). Cendawan-cendawan tersebut ada yang memproduksi senyawa-senyawa yang ternyata dapat menghambat perkembangan beberapa patogen tanaman seperti polyketides clavatol dan patulin (Zang et al. 2008), asam salisilat (AS), jasmonic acid (JA) dan peroksidase (Shirasu et al. 1997; Segarra et al. 2007). Asam salisilat, jasmonic acid dan peroksidase berperan dalam menginduksi ketahanan tanaman terhadap patogen (Yalpani et al. 1991; Lee et al. 1995). Penelitian ini dilakukan untuk menguji kemampuan beberapa cendawan endofit yang telah diisolasi dari buah kakao dalam menekan penyakit busuk buah kakao dan mekanisme yang mendasarinya.
Bahan Dan Metode 1. Bioesei cendawan endofit terhadap busuk buah a. Inokulasi buah pada tanaman hidup dengan cendawan endofit Inokulasi buah yang masih berada di pohon dengan cendawan endofit dilaksanakan di stasiun lapangan milik PT Perkebunan VIII Saguling, Cianjur, Jawa Barat pada akhir bulan November hingga Desember 2010. Enam isolat cendawan endofit dari buah kakao sehat yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari daerah Marena (terletak di lembah Kulawi, 1°29’30”-1°32’24”S dan 120°1’-120°3’30”E, berbatasan langsung dengan Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah; Gravenhorst et al. 2005). Keenam spesies cendawan endofit ini (Xylariaceae, Calocybe gambosa, Resinicum friabile, Aschersonia, Pestalotiopsis, dan Fusarium T47a) sebelumnya telah dua kali diuji patogenisitasnya pada daun bibit kakao dan terbukti tidak patogenik (Tahi et al. 2006; Gambar Lampiran 5.1). Cendawan endofit diperbanyak dalam labu Erlenmeyer berisi Potato Dextrose Broth (PDB) yang formulasinya dibuat 50% dari resep baku dan diputar
72 dengan shaker pada kecepatan 100 rpm. Setelah dua bulan, cendawan divakum, dibilas dengan akuades steril dan diblender dengan kecepatan sedang selama 10 menit.
Propagul cendawan diencerkan dengan air hingga kerapatan 105
propagul/ml. Pada saat perlakuan di lapangan, suspensi cendawan dicampur dengan 0.1% Tween 80 dan disemprotkan pada buah dengan umur dan ukuran yang relatif seragam (panjang +10 cm). Penyemprotan dilakukan pada tiga pohon dengan lima buah perpohon untuk tiap-tiap cendawan. Campuran Tween 80 0.1% dan air steril digunakan sebagai kontrol.
Setelah dua minggu, buah dipetik dan
diinokulasi dengan P. palmivora di laboratorium. b. Inokulasi P. palmivora pada buah yang telah dipetik P. palmivora diisolasi dari buah kakao bergejala dari Sulawesi.
Inokulum
patogen yang digunakan dalam semua tahapan penelitian ini berasal dari zoospora tunggal yang dimurnikan.
Untuk mempermudah penghitungan propagul,
P. palmivora dirangsang untuk memproduksi zoospora dengan metode AVRDC Mycology (work paper of AVRDC, 2002). Isolat ditumbuhkan dalam media agar V8 dengan penyinaran terus-menerus pada suhu 28°C selama 4-5 hari. Selanjutnya isolat (dan media) dibagi menjadi empat, setiap bagian dipindahkan ke cawan petri baru dan dipotong-potong berukuran 5 mm2. Potongan digenangi air selama satu jam, di buang dan digenangi lagi serta dinkubasikan di bawah penyinaran terus-menerus selama 24 jam.
Selanjutnya isolat dipindahkan ke
ruang bersuhu 4° C selama 2 jam untuk menginduksi produksi zoospora dan 28° C selama 1-2 jam untuk pelepasan zoospora. Zoospora yang berhasil dipanen diencerkan konsentrasinya hingga 5x104 zoospora/ml.
Suspensi zoospora
disimpan dalam suhu 4° C selama tiga hari agar lambat berkecambah sebelum digunakan. Lingkaran kertas saring steril berdiameter 10 mm ditetesi dengan 1 ml zoospora, 2 kertas diletakkan secara terbalik di atas permukaan buah kakao hasil inokulasi cendawan endofit.
Penggunaan kertas saring dimaksudkan agar
suspensi zoospora tidak mengalir di atas permukaan kulit kakao. Buah yang telah diinokulasi diletakkan di dalam wadah plastik, 5 buah untuk tiap wadah. Wadah plastik dibungkus dengan plastik dan di dalam tiap plastik diletakkan kertas saring
73 basah agar kelembaban tetap tinggi.
Pengamatan skor keparahan penyakit
dilakukan tiap dua hari (Tabel 5.1).
2. Mekanisme cendawan endofit dalam menekan Busuk Buah Kakao a. Aktivitas penghambatan pertumbuhan patogen in-vitro Kemampuan cendawan endofit menghambat pertumbuhan patogen diukur dengan menumbuhkan keduanya di dalam cawan Petri berdiameter 9 cm pada media Potato Dextrose Broth (PDA). Kedua cendawan ditumbuhkan berhadaphadapan dengan jarak 3 cm. Cendawan endofit yang pertumbuhannya lambat dibiakkan sehari lebih awal dari patogen. Pengukuran dilakukan terhadap zona bening yang merupakan zona penghambatan pertumbuhan patogen pada saat umur patogen 4 hari. b. Analisis asam salisilat dan aktivitas peroksidase Benih kakao yang telah disterilisasi dengan fungisida sistemik berbahan aktif Benomil ditanam di dalam tanah steril. Benih ini berasal dari 3 buah kakao yang dipanen dari satu pohon di Sulawesi. Bibit kakao dipelihara di dalam rumah plastik, atap plastik ditutupi paranet dengan pencahayaan 10%, tepinya ditutup dengan kain kasa. Tanaman disiram secara langsung ke dalam media tumbuh, tiga hari sekali. Bibit dipelihara hingga memiliki 4 daun berkembang penuh. Cendawan endofit disiapkan seperti pada penyiapan untuk inokulasi buah, disiapkan dengan konsentrasi 105 propagul/ml air. Satu daun terbawah dari bibit berusia 4 bulan dicelup ke dalam propagul cendawan, 10 bibit untuk tiap cendawan endofit. Sebagai kontrol perlakuan, daun dicelup ke dalam air steril.
Tabel 5.1 Skor gejala penyakit pada buah yang diinokulasi dengan Phytophthora palmivora Skor Kisaran gejala (%) 0 0 < x ≤ 1 1 1 < x ≤ 5 2 5 < x ≤ 15 3 15 < x ≤ 25 4 25 < x ≤ 35 5 35 < x ≤ 45 6 45 < x
74 Suspensi cendawan yang tersisa dituang ke dalam media tumbuh bibit, 10 ml tiap tanaman.
Penanganan tanaman dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah
kontak antara daun atas dengan daun bawah dan antar tanaman. Kelembaban di dalam rumah plastik dijaga tetap tinggi, sekitar 99% selama dua hari dengan meletakkan kain basah dan air di dalam wadah di dalam rumah plastik Setelah 9 hari, daun kedua dari tiap bibit dipanen untuk analisis asam salisilat dan peroksidase. Aktivitas peroksidase diukur dengan metode yang dikembangkan oleh Pudjihartati et al. (2006) (modifikasi dari Hammerschmidt et al. 1982) dan total protein dihitung mengikuti metode Lowry (Lowry et al. 1951). Konsentrasi asam salisilat dianalisis menggunakan HPLC mengikuti metode Bevilacqua dan Califano (1989). Sampel dianalisis pada Varian 450-GC system liquid chromatography, dengan kolom C-18 dan laju isocratic pada 1 ml/min. Inokulasi daun ketiga dengan zoospora berkecambah dari P. palmivora dilakukan pada hari berikutnya. Inokulasi dilakukan dengan cara yang sama seperti untuk buah kakao.
Inokulasi diulang tujuh hari kemudian dengan
miselium patogen pada media agar V8, ditempelkan pada permukaan bawah daun karena inokulasi pertama tidak bergejala. Daun keempat dipanen untuk analisis peroksidase dan asam salisilat yang kedua kali, pada hari ke 26 setelah inokulasi cendawan endofit. Pengukuran asam salisilat dan peroksidase berasal dari sampel komposit, gabungan dari ke sepuluh ulangan. Analisis data Laju infeksi, AUDPC dan tingkat keefektifan tiap cendawan endofit menekan penyakit dihitung dari nilai skoring gejala penyakit pada buah kakao. Nilai AUDPC, periode laten, laju infeksi, keefektifan pengendalian pada buah kakao dikorelasikan dengan nilai zona hambatan hasil uji ganda in-vitro, produksi asam salisilat dan aktivitas peroksidase pada daun bibit kakao untuk melihat mekanisme apa yang berkorelasi dengan masing-masing peubah hasil pengujian pada buah.
75 Hasil dan Pembahasan Inokulasi buah kakao dengan berbagai cendawan endofit di lapangan yang dilanjutkan dengan inokulasi P. palmivora di laboratorium menghasilkan beragam reaksi dari buah kakao. Perlakuan dengan spesies cendawan dalam famili Xylariaceae mampu menekan perkembangan keparahan penyakit sebesar 38.8% dan berbeda nyata dengan kontrol pada taraf nyata 5% dengan uji Fisher. Penekanan ini juga tergambar dari nilai AUDPC yang lebih rendah dan periode laten yang paling panjang dan berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.2). Hasil uji koloni ganda dengan patogen, Xylariaceae mampu menghambat pertumbuhan miselium patogen in-vitro yang ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening sebagai hasil penghambatan pertumbuhan patogen. Xylariaceae juga mampu menginduksi peningkatan aktivitas peroksidase dan kandungan asam salisilat, walaupun tidak berbeda dengan perlakuan lainnya.
Demikian juga
dengan laju infeksi yang relatif sama untuk semua perlakuan termasuk kontrol (Tabel 5.2). Calocybe gambosa juga mampu menekan keparahan penyakit sebesar 33.8% dengan periode laten yang panjang dan nilai AUDPC yang berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.2). Namun demikian laju infeksi, zona hambatan, peroksidase dan asam salisilat tidak berbeda dengan perlakuan lainnya (Gambar 5.1 dan 5.2). Penekanan keparahan penyakit oleh perlakuan Resinicium friabile, Aschersonia sp., dan Pestalotiopsis tidak berbeda dengan kontrol, yaitu berturut-turut sebesar 17.36%, 12.74% dan 4.2%. Periode laten dan nilai AUDPC dari ketiga cendawan Tabel 5.2
Bioesei cendawan endofit pada buah kakao dilanjutkan dengan inokulasi patogen P. palmivora Perlakuan AUDPC* Keefektifan Periode laten Laju infeksi Xylariaceae 90.6 a 38.8 a 5.4 a 0.35 a 97.2 ab 33.8 ab 4.5 ab 0.38 a Calocybe gambosa 17.4 abc 3.7 bc 0.45 a Resinicium friabile 126.7 bc 132.7 c 12.7 bcd 3.4 cd 0.43 a Aschersonia 132.8 c 4.2 cd 3.1 cd 0.47 a Pestalotiopsis 152.2 c -5.9 d 2.8 d 0.37 a Fusarium Kontrol 143.9 c 0 cd 2.8 d 0.58 a Keterangan: *huruf mutu yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Fisher
76 tersebut tidak berbeda nyata. Uji in-vitro menunjukkan hal yang berbeda dengan bioesei pada buah. Aktivitas antifungal yang ditunjukkan oleh zona hambatan paling tinggi didapatkan pada perlakuan dengan R. friabile, disusul Aschersonia. Pada analisis kimia, Aschersonia menghasilkan asam salisilat yang paling tinggi pada pengujian kedua, Pestalotiopsis menghasilkan aktivitas peroxidase yang konstan tetap tinggi pada kedua pengamatan. Pestalotiopsis tidak menghasilkan zona hambatan namun mampu menghambat pertumbuhan patogen in-vitro. Di lain pihak, perlakuan dengan Fusarium tidak menunjukkan kemampuan untuk menekan perkembangan penyakit tetapi justru meningkatkan keparahan sebesar 5.95% lebih besar daripada kontrol. Periode laten dari perlakuan ini cukup singkat, yaitu 2.82 hari dengan nilai AUDPC yang tinggi, tidak berbeda nyata dengan kontrol (Tabel 5.2).
Hal ini menunjukkan Fusarium sp.
2,5 a
Zo n a h am b atan (cm)
2 1,5 1 b
b
0,5 c
c
c
c
0 Xy
Cg
Rf
Pe
As
Fu
C
Gambar 5.1 Zona hambatan sebagai hasil uji koloni ganda cendawan endofit dengan patogen P. palmivora (Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe gambosa, Rf = Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt = Pestalotiopsis, Fu = Fusarium, C= kontrol; huruf mutu yang sama di atas bar tidak berbeda nyata pada taraf 5% dengan uji Fisher)
77
A
70
Asam salisilat (ppm)
60
9h
50
26 h
40 30 20 10 0 Xy
Cg
Re
As
Pt
Fu
C
0,007
B 9h
peroksidase (UAE)
0,006
26 h
0,005 0,004 0,003 0,002 0,001 0 Xy
Cg
Re
As
Pt
Fu
C
Gambar 5.2 (A) produksi asam salisilat ( ppm) dan (B) aktivitas peroksidase (UAE) daun bibit kakao hari ke 9 dan 26 (UAE = Unit Aktivitas Enzim , Xy = Xylariaceae, Cg = Calocybe gambosa, Rf = Resinicium friabile, As = Aschersonia Pt = Pestalotiopsis, Fu = Fusarium, C= kontrol)
78 berpengaruh sinergis dengan patogen mengakibatkan keparahan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tanpa cendawan endofit. Cendawan ini juga tidak mampu menghambat pertumbuhan patogen secara in-vitro. Ketika nilai AUDPC, tingkat penekanan/keefektifan, periode laten dan laju infeksi dikorelasikan dengan nilai zona hambatan, aktivitas peroxidase dan kandungan asam salisilat, tidak didapatkan korelasi yang nyata di antara peubah yang diuji (Tabel 5.2). Dengan uji yang sama didapatkan nilai korelasi yang nyata antara AUDPC dan tingkat keefektifan dengan periode laten masing-masing sebesar -0.973 dan 0.972, namun tidak nyata ketika AUDPC atau tingkat keefektifan dikorelasikan dengan laju infeksi (Tabel 5.3). Hal tersebut menunjukkan bahwa periode laten sangat menentukan tingkat keefektifan cendawan endofit yang diuji, berupa
penghambatan/penundaan
patogen
untuk
menginfeksi
inang.
Perlindungan dari cendawan endofit terhadap inang terjadi pada saat awal terjadinya kontak antara patogen dengan inang. Inang mungkin terinduksi untuk memproduksi bahan kimia yang menghambat pembentukan tabung penetrasi atau juga membentuk struktur tertentu yang menghambat penetrasi patogen terhadap inang. Ketika patogen sudah mampu mengatasi penghambatan tersebut dan mulai menginfeksi inang, maka laju infeksi pada tiap perlakuan cendawan endofit tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Herre et al. (2007) mengemukakan bahwa dua mekanisme cendawan endofit yang berpotensi berperan dalam melindungi inangnya yaitu dengan menginduksi ketahanan tanaman atau dengan mekanisme pertahanan lain seperti antibiosis.
Tabel 5.3 Korelasi antara periode laten, laju infeksi, tingkat keefektifan dengan nilai AUDPC pada buah kakao dengan perlakuan cendawan endofit dan kontrol, zona penghambatan uji koloni ganda, produksi asam salisilat dan aktivitas peroksidase pada bibit kakao Korelasi
Laju infeksi
Tingkat keefektifan
AUDPC
AUDPC Periode laten Laju infeksi Tingkat keefektifan
-0.602
Peroxidase
Asam salisilat
Zona hambatan
9d
26 d
9d
26 d
-0.078
0.568
-0.064
0.229
-0.032
0.972
-0.973
0.151
-0.638
0.172
-0.05
0.121
-0.523
0.519
0.001
0.298
-0.66
-0.079
-0.334
-0.984
0.205
-0.541
0.151
-0.103
0.155
79 Zona hambatan pada uji koloni ganda dapat terbentuk karena cendawan endofit memproduksi senyawa antifungal yang menghambat pertumbuhan patogen. Senyawa antifungal akan bekerja menghambat perkembangan patogen bila ada kontak langsung dengan patogennya. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengidentifikasi senyawa antifungal yang diproduksi cendawan endofit dan potensi pemanfaatannya. Berdasarkan penelitian ini, dengan hanya melihat asam salisilatnya, belum dapat disimpulkan apakah mekanisme Systemic Acquired Resistance (SAR) atau Induced Systemic Resistance (ISR) yang menjadi mekanisme tiap cendawan endofit yang diuji. SAR merupakan mekanisme ketahanan tanaman yang terjadi karena adanya infeksi patogen atau karena luka atau aplikasi bahan-bahan kimia yang analog dengan asam salisilat, sedangkan ISR karena induksi dari rhizobacteria nonpatogenik. SAR membutuhkan asam salisilat sebagai molekul signal, sedangkan ISR membutuhkan asam jasmonat dan pengaturan produksi etilen.
SAR terjadi dengan induksi gen PR (Pathogenesis related genes),
sedangkan ISR terjadi dengan ekspresi gen-gen yang berbeda dengan gen PR. Namun bila merujuk pada Gao et al. (2010), maka dapat diusulkan bahwa mekanisme cendawan endofit yang diuji adalah ISR yang mengaktifkan gen PR karena cendawan endofit uji tidak patogenik dan melibatkan asam salisilat. Mekanisme lain yang mungkin berperan tetapi tidak diukur dalam penelitian ini misalnya lisis, kompetisi situs kolonisasi, induksi produksi asam jasmonat dan etilen. Asam salisilat dikenal sebagai molekul sinyal pada ketahanan lokal dan sistemik (SAR; Shah, 2003) sebagai respon ketahanan inang karena adanya infeksi patogen atau karena luka.
SAR berperan dalam ketahanan tanaman
sebagai molekul sinyal yang memicu ekspresi gen PR (Pathogenesis-Related genes) (Vlot et al. 2008). Asam salisilat dilaporkan menginduksi produksi protein PR-1 pada tanaman tembakau (Malamy et al. 1990), menginduksi kitinase pada daun dan umbi bawang putih (Van Damme et al. 1993), mengaktifkan reaksi hipersensitif (HR-) pada kedelai (Shirasu et al. 1997), menginduksi programmed cell death (PCD) (Brodersen et al. 2005). Peningkatan konsentrasi asam salisilat di dalam tanaman mengindikasikan terjadinya peningkatan resistensi terhadap
80 patogen, meskipun asam salisilat dalam konsentrasi rendah dapat dimanfaatkan oleh beberapa tanaman (Yu et al. 1997). Di lain pihak, asam salisilat dalam konsentrasi yang tinggi dapat menjadi fitotoksik bagi tanaman. Lee et al. (1995) menemukan bahwa asam salisilat menjadi toksik terhadap tembakau ketika konsentrasinya mencapai 0.1 mM di dalam tanaman. Konsentrasi asam salisilat di dalam tanaman kemudian diatur oleh reaksi/mekanisme detoksifikasi dengan cara bereaksi membentuk asam salisilat-glukosida atau metil salisilat. Asam salisilatglukosida diduga merupakan bentuk asam salisilat yang dapat ditranslokasikan ke tempat lain di dalam tanaman dan sebagai sumber asam salisilat yang dilepaskan secara perlahan-lahan sehingga asam salisilat dapat tersedia dalam periode waktu tertentu (Chen et al. 1995). Metil salisilat merupakan senyawa yang volatil, mudah menguap, sehingga diduga merupakan pembawa sinyal (terbawa angin) antar bagian tanaman atau dengan tanaman sekitarnya. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya konsentrasi asam salisilat pada tanaman tembakau ketika konsentrasi metil salisilat ditingkatkan di sekitar tanaman (Seskar et al. 1998), meskipun reaksi dari tiap spesies tanaman mungkin berbeda (Attaran et al. 2009). Peroksidase merupakan enzim yang berperan dalam produksi H2O2 (hidrogen peroksida), molekul yang secara langsung bersifat toksik terhadap sel hidup atau secara tidak langsung dengan memproduksi antimikroba seperti reactive free radicals (Peng dan Kuc 1992; Do et al. 2003). Konsentrasi H2O2 yang tinggi dapat bersifat toksik terhadap patogen, namun juga dapat toksik terhadap tanaman.
Askorbat dan prolin diketahui merupakan dua senyawa
antioksidan yang meregulasi konsentrasi H2O2 di dalam tanaman (Rotriquez dan Redman, 2005; Scott et al. 2007). Konsentrasi peroksidase di dalam tanaman kemudian tergantung dari laju scavenge/netralisasi oleh antioksidan dengan laju produksinya. Tanaman tetap membutuhkan adanya peroksidase dalam jumlah kecil di dalam tanaman sebagai metabolisme pertahanan ketika ada gangguan dari patogen ataupun hama.
Selain H2O2, peroksidase juga berperan dalam
menginduksi produksi lignin, suberin, dan programmed cell death (Quiroga et al. 2000; Do et al. 2003; Ghosh 2006). Aktivitas peroksidase yang tinggi pada dua kali pengamatan dengan perlakuan Pestalotiopsis mengindikasikan bahwa cendawan ini berpotensi
81 menjadi patogen.
Tanaman terinduksi untuk menghasilkan peroksidase yang
tinggi diduga untuk menekan perkembangan Pestalotiopsis itu sendiri agar tetap inaktif atau dalam bentuk laten. Hal ini merupakan mekanisme pertahanan dari tanaman agar Pestalotiopsis tidak menimbulkan kerugian bagi tanaman. Mekanisme Fusarium yang meningkatkan keparahan penyakit juga menarik untuk diteliti lebih lanjut. Kedua cendawan tersebut, pada saat uji patogenisitas pada daun bibit kakao tidak menyebabkan gejala nekrotik. Berdasarkan alasan tersebut, tidak direkomendasikan untuk mengembangkan kedua isolat ini sebagai agens pengendali hayati. Produksi asam salisilat yang meningkat pada keempat perlakuan cendawan endofit (Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile, Aschersonia sp.) menunjukkan bahwa keempat cendawan ini mampu berperan sebagai penginduksi ketahanan tanaman. Asam salisilat akan mengaktifkan gen-gen PR yang akan memproduksi protein yang berhubungan dengan kondisi patologis, seperti peroksidase, kitinase, glukanase, protease inhibitor, dan sebagainya. Gen-gen PR akan aktif hanya bila tanaman inang terserang patogen. Dari keempat cendawan endofit ini, hanya Xylariaceae yang terlihat memproduksi peroksidase cukup tinggi setelah diinokulasi dengan patogen, cendawan lainnya tidak berbeda atau bahkan menurun setelah diinokulasi patogen.
Penelitian lanjutan diperlukan untuk
melihat protein apa yang diproduksi pada tanaman yang diinokulasi dengan masing-masing cendawan endofit tersebut. Walaupun tidak berkorelasi nyata, keempat isolat cendawan yang diuji memiliki mekanisme yang berbeda-beda dalam menekan perkembangan penyakit seperti yang dikemukakan oleh Herre et al. (2007). Xylariaceae dengan sedikit senyawa antifungal, asam salisilat dan peroksidase yang meningkat, C. gambosa yang tidak memproduksi senyawa antifungal dengan sedikit asam salisilat dan peroksidase, R. friabile dengan senyawa antifungal yang cukup tinggi dengan asam salisilat dan peroksidase rendah, dan Aschersonia dengan asam salisilat yang paling tinggi, sedikit senyawa antifungal dan peroksidase.
Dengan
mekanisme kerja yang berbeda-beda, kombinasi pemanfaatan beberapa cendawan endofit secara bersama-sama berpeluang untuk dilakukan. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa secara alami, cendawan endofit sangat jarang ditemukan
82 hanya satu spesies dari ± 5 mm2 kulit buah kakao matang, tetapi ditemukan ratarata ada 3 spesies. Kombinasi beberapa cendawan endofit berasal dari komunitas yang sama diduga akan mampu menginduksi ketahanan tanaman dengan mekanisme yang berbeda pula sehingga dapat menghasilkan keefektifan perlindungan yang lebih tinggi terhadap tanaman. Namun demikian, Xu et al. (2011) mengingatkan agar berhati-hati dalam mengkombinasikan beberapa spesies agens hayati, perlu diketahui interaksi antar spesies tersebut, apakah independen, sinergis atau justru bersifat antagonis. Hal ini terutama bila calon agens hayati tersebut berasal dari komunitas yang berbeda. Xylariaceae merupakan cendawan yang dikenal baik sebagai cendawan endofit dan berpotensi sebagai agens biokontrol dengan memproduksi antara lain enzim selulolitik, dan tidak umum sebagai patogen tanaman yang utama (Whalley 1996, Arnold et al. 2003). Kelompok cendawan ini juga dikenal sebagai produsen enzim ligninolitik yang dapat menguraikan bagian berkayu dari tumbuhan mati (Urairuj et al. 2003).
Bayman et al. (1998) mengemukakan bahwa endofit
Xylaria dapat ditransmisikan secara vertikal tetapi penyebaran utamanya adalah secara transfer horizontal. Callocybe gambosa adalah jamur yang bisa dimakan dan dipercaya memiliki efek menyembuhkan bagi konsumennya dengan memproduksi cinnamic acid dan antioksidan asam askorbat (Vaz et al. 2011). Resinicium friabile merupakan Basidiomycetes dan dikenal sebagai pengurai bahan berkayu (Maekawa et al. 2003; Nakazone 2007). Aschersonia sp. dikenal sebagai patogen serangga, khususnya kutu putih (whiteflies, Homoptera, Aleyrodidae; Krasnoff dan Gibson, 1996). Callocybe gambosa dan Resinicium friabile mewakili Basidiomycetes dalam penelitian ini, dan spesies Xylariaceae dan Aschersonia sp. mewakili kelas Ascomycetes. Inokulasi buah kakao yang telah dipetik dengan patogen P. palmivora memunculkan pertanyaan apakah induksi resistensi, terutama yang terjadi secara sistemik masih akan bekerja atau bekerja tetapi berkurang keefektifannya. Selain itu, belum diketahui berapa lama masa inkubasi yang dibutuhkan cendawan endofit sebelum mampu menginduksi ketahanan tanaman.
Belum diketahui
apakah waktu dua minggu seperti yang dilakukan di dalam penelitian ini sudah cukup bagi cendawan endofit untuk menginduksi ketahanan tanaman pada saat
83 tanaman terserang patogen. Hasil akhir berupa keefektifan pengendalian yang hanya sebesar 38.8% oleh Xylariaceae mungkin akan lebih tinggi bila inokulasi cendawan endofitnya dilakukan ketika tanaman masih di pesemaian dan inokulasi dilakukan melalui akar. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut akan metode-metode skrining seperti yang biasa dilakukan pada evaluasi dan pengukuran resistensi tanaman terhadap penyakit tetapi yang juga mampu mengakomodir adanya ketahanan karena induksi resistensi. Inokulasi daun bibit kakao yang dipetik untuk uji resistensi terhadap P. palmivora telah banyak dilakukan (Nyassé et al. 1995; Iwaro et al., 1997; Tahi et al. 2006).
Gejala nekrotik ataupun hawar pada daun tidak muncul dalam
penelitian ini diduga karena daun yang diinokulasi dengan P. palmivora tidak rentan.
Bailey et al. (2006) melaporkan bahwa tiap stadia dari daun bibit
(unexpanded, young red, immature green and mature green leaf) memiliki ekspresi gen berbeda sebagai respon terhadap stress, termasuk patogen. Perlu diuji stadia daun yang rentan bila ingin melakukan pengujian yang sama di masa mendatang.
Kesimpulan Xylariaceae dan C. gambosa mampu menekan penyakit busuk buah dengan tingkat penekanan masing-masing sebesar 38.8% dan 33.8% dan berbeda nyata dengan kontrol, diikuti oleh R. friabile dan
Aschersonia sebesar 17.4% dan
12.7% namun tidak berbeda nyata dengan kontrol.
Isolat Pestalotiopsis dan
Fusarium tidak efektif menekan penyakit busuk buah. Keempat cendawan uji yang efektif menekan penyakit mampu menginduksi ketahanan tanaman dengan meningkatnya asam salisilat pada tanaman pesemaian, walaupun belum terlihat adanya hubungan yang nyata antara produksi asam salisilat dan peroksidase dengan keparahan penyakit. Periode laten dari patogen sangat berkaitan dengan perkembangan keparahan penyakit busuk buah, setelah mampu melewati masa inkubasi maka laju infeksi tidak berbeda nyata antar perlakuan dan kontrol.
84 Daftar Pustaka Arnold AE, Herre EA. 2003. Canopy cover and leaf age affect colonization by tropical fungal endophytes: Ecological pattern and process in Theobroma cacao (Malvaceae). Mycologia 95: 388-398. Arnold AE, Mejía L, Kyllo D, Rojas E, Maynard Z, Herre EA. 2003. Fungal endophytes limit pathogen damage in a tropical tree. P Natl Acad Sci USA 100 (26): 15649–15654. Attaran E, Zeier TE, Griebel T, Zeier J. 2009. Methyl salicylate production and jasmonate signaling are not essential for systemic acquired resistance in Arabidopsis. Plant Cell 21:954-971. Bailey BA, Bae H, Strem MD, Roberts DP, Thomas SE, Crozier J, Samuels GJ, Choi IY, Holmes KA. 2006. Fungal and plant gene expression during the colonization of cacao seedlings by endophytic isolates of four Trichoderma species. Planta 224 (6): 1449-1464. Bayman P, Angulo-Sandoval P, Baez-Ortiz Z, Lodge DJ. 1998. Distribution and dispersal of Xylaria endophytes in two tree species in Puerto Rico. Mycol Res 102(8): 944-948 Bevilacqua AE, Califano AN. 1989. Determination of organic acids in dairy products by high performance liquid chromatography. J Food Sci 54: 10761077, 1079. Bowers JH, Bailey BA, Hebbar PK, Sanogo S, Lumsden RD. 2001. The impact of plant diseases on world chocolate production. Online. Plant Health Progress doi:10.1094/PHP-2001-0709-01-RV. Internet Resource: http://ddr.nal.usda.gov-/bit-stream/10113/11853/1/IND43805966.pdf (verified February 20, 2011) Brodersen P, Malinovsky FG, Hématy K, Newman MA, Mundy J. 2005. The role of salicylic acid in the induction of cell death in arabidopsis acd11. Plant Physiol 138: 1037–1045. Carroll G. 1988. Fungal endophytes in stems and leaves: from latent pathogen to mutualistic symbiont. Ecology 69(1): 2-9 Chen Z, Malamy J, Henning J, Contath U, Sanchez-Cassa P, Silva H, Ricigliano J, Klessig D. 1995. Induction, modification, and transduction of the salicylic acid signal in plant defense responses. Proc Natl Acad Sci USA 92:4134– 4137 Clay K. 1989. Clavicipitaceolls endophytes of grasses: their potential as biocontrol agents. Mycol Res 92 (I): 1-12. Clay K. 1988. Fungal Endophytes of Grasses: A Defensive Mutualism between Plants and Fungi. Ecology 69 (1): 10-16. Clay K. 1993. The ecology and evolution of endophytes. Agr Ecosyst Environ 44: 39-64. Do HM, Hong JK, Jung HW, Kim SH, Ham JH, Hwang BK. 2003. Expression of peroxidase-like genes, H2O2 production, and peroxidase activity during the
85 Hypersensitive Response to Xanthomonas campestris pv. Vesicatoria in Capsicum annuum. Mol Plant Microbe In 16 (3): 196-205. Faeth, SH. 2002. Are endophytic fungi defensive plant mutualists? Oikos 98: 25– 36 Gao FK, Dai CC, Liu XZ. 2010. Mechanisms of fungal endophytes in plant protection against pathogens. African J Microbiol Res. 4(13): 1346-1351. Ghosh M. 2006. Antifungal Properties of haem peroxidase from Acorus calamus. Ann Botany 98: 1145–1153 Gravenhorst G, Ibroms A, Rauf A, June T. 2005. Climatological Parameters in the Research Area–Supporting Measurements and Regionalization. STORMA Research Report, University of Goettingen. Guest D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa yield. Phytopathology 97:1650-1653. Hammerschmidt R, Nuckles EM, Kuc J, 1982. Association of enhanced peroxidase activity with induced systemic resistance of cucumber to Colletotrichum lagenarium. Physiol Plant Pathol 20: 73–82. Hanada RE, Pomella AWV, Costa HS, Bezerra JL, Loguercio LL, Pereira JO. 2010. Endophytic fungal diversity in Theobroma cacao (cacao) and T. grandiflorum (cupuacu) trees and their potential for growth promotion and biocontrol of black-pod disease. Fungal Biol 114: 901-910. Herre, EA, Mejía LC, Kyllo DA, Rojas E, Maynard Z, Butler A, van Bael SA. 2007. Ecological implications of anti-pathogen effects of tropical fungal endophytes and mycorrhizae. Ecology 88 (3):550–558. Iwaro AD, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Foliar resistance to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in Theobroma cacao. Plant Dis 81: 619–624. Krasnoff SB, Gibson DM. 1996. New Destruxins from the entomopathogenic fungus Aschersonia sp. J Nat Prod 59: 485-489 Lee HI, Leon J, Raskin I. 1995. Biosynthesis and metabolism of salicylic acid. P Natl Acad Sci USA 92: 4076-4079. Lee K, Pan JJ, May G. 2009. Endophytic Fusarium verticillioides reduces disease severity caused by Ustilago maydis on maize. FEMS Microbiol Lett 299: 31–37 Lowry OH, Rosebrough NJ, Farr AL, Randall RJ. 1951. Protein measurement with the folin phenol reagent. J Biol Chem [internet]. [downloaded at 2007 April 23] 193: 265-275. Available at www.jbs.org.by. Ma Y, Chang ZZ, Zhao JT, Zhou MG. 2008. Antifungal activity of Penicillium striatisporum Pst10 and its biocontrol effect on Phytophthora root rot of chili pepper. Biol Control 44: 24–31. Maekawa N, Suhara H, Kinjo K, Kondo R. 2003. Taxonomic study of Japanese Corticiaceae (Aphyllophorales) VIII. Rep Tottori Mycol Inst 41: 13-19
86 Malamy J, Carr JP, Klessing DF, Raskin I. 1990. Salicylic acid: a likely endogenous signal in the resistance respond of tobacco to viral infection . Science [internet]. [downloaded 10 October 2011]; 250: 1002-1004. Available at: http://www.scien-cemag.org/content/250/4983/1002.abstract Mejia LC, Rojas EI, Maynard Z, van Bael S, Arnold AE, Hebbar P, Samuels GJ, Robbins N, Herre EA. 2008. Endophytic fungi as biocontrol agents of Theobroma cacao pathogens. Biol. Control 46: 4-14. Nakasone KK. 2007. Morphological and molecular studies on Resinicium s. str. Can J Bot 85: 420–436 Nyassé, S., C. Cilas, C. Herail & G. Blaha, 1995. Leaf inoculation as an early screening test for cocoa (Theobroma cacao L.) resistance to Phytophthora black pod disease. Crop Prot. 14: 657–663. Peng M, Kuc J. 1992. Peroxidase-generated hydrogen peroxide as a source of antifungal activity in vitro and on tobacco leaf disks. Phytopathology 82: 696-699 Petrini O. 1991. Fungal endophytes of tree leaves. In: Andrews J, Hirano SS, editors. Microbial Ecology of Leaves. New York: Springel Verlag, pp 179197. Pujihartati E, Ilyas S, Sudarsono. 2006. Aktivitas pembentukan secara cepat spesies oksigen aktif, peroksidase, dan kandungan lignin kacang tanah terifeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13 (4): 166-172. Quiroga M, Guerrero C, Botella MA, Barcelo´ A, Amaya I, Medina MI, Alonso FJ, de Forchetti SM, Tigier H, Valpuesta V. 2000. A tomato peroxidase involved in the synthesis of lignin and suberin. Plant Physiol 122: 1119– 1127. Rodriguez R, Redman R. 2005. Balancing the generation and elimination of reactive oxygen species. Proc Natl Acad Sci USA 102: 3175–3176 Rodriguez RJ, White Jr JF, Arnold AE, Redman RS. 2009. Fungal endophytes: diversity and functional roles. New Phytol 182: 314–330. Rubini MR, Silva-Ribeiro RT, Pomella AWV, Maki CS, Araujo WL, dos Santos DR, Azevedo JL. 2005. Diversity of endophytic fungal community of cacao (Theobroma cacao L.) and biological control of Crinipellis perniciosa, causal agent of Witches’ Broom Disease. Internat J Biol Sci 1: 24–33. Saikkonen K, Wali P, Helander M, Faeth SH. 2004. Evolution of endophyte–plant symbioses. Trends Plant Sci 9 (6): 275-280 Schulz B, Boyle C. 2005. The endophyte continuum. Mycol Res 109: 661-686 Segarra G, Casanova E, Bellido D, Odena MA, Oliveira E, Trillas I. 2007. Proteome, salicylic acid, and jasmonic acid changes in cucumber plants inoculated with Trichoderma asperellum strain T34. Proteomics 21: 39433952. Seskar M, Shulaev V, Raskin I. 1998. Endogenous methyl salicylate in pathogeninoculated tobacco plants. Plant Physiol 116:387–392.
87 Sette LD, Passarini MRZ, Delarmelina C, Salati F, Duarte MCT. 2006. Molecular characterization and antimicrobial activity of endophytic fungi from coffee plants. World J Microbiol Biotechnol 22: 1185–1195. Shah J. 2003. The salicylic acid loop in plant defense. Curr Opin Plant Biol 6: 365–371. Shirasu K, Nakajima H, Rajasekhar VK, Dixon RA, Lamb C. 1997. Salicylic acid potentiates an antagonist-dependent gain control that amplifies pathogen signals in the activation of defense mechanisms. The Plant Cell 9: 261–270. Tahi GM, Kébé BI, Sangare A, Mondeil F, Cilas C, Eskes AB. 2006. Foliar resistance of cacao (Theobroma cacao) to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in the field: interaction of cacao genotype, leaf age and duration of incubation. Plant Pathol 55: 776–782 Urairuj C, Khanongnuch C, Lumyong S. 2003. Ligninolytic enzymes from tropical endophytic Xylariaceae. Fungal Diversity 13: 209-219 Van Damme EJM, Willems P, Torrekens S, Van Leuven F, Peumans WI. 1993. Garlic (Allium sativum) chitinases: characterization and molecular cloning. Physiol Plant 87:177-186. Vaz JA, Barros L, Martins A, Santos-Buelga C, Vasconcelos MH, Ferreira ICFR. 2011. Chemical composition of wild edible mushrooms and antioxidant properties of their water soluble polysaccharidic and ethanolic fractions. Food Chem 126 (2): 610-616 Vlot AC, Klessig DF, Park SW. 2008. Systemic acquired resistance: the elusive signal(s). Curr Opin Plant Biol 11: 436–442. Whalley AJS. 1996. The xylariaceous way of life. Mycol Res 100(8): 897-922 Xu XM, Jeffries P, Pautasso M, Jeger MJ. 2011. Combined use of biocontrol agents to manage plant diseases in theory and practice. Phytopathology 101(9):1024-1031 Yalpani N, Silverman P, Wilson TMA, Kleier DA, Raskin I. 1991. Salicylic acid is a systemic signal and an inducer of pathogenesis-related proteins in virusinfected tõbacco. The Plant Cell 3: 809-818. Yu D, Liu Y, Fan B, Klessig DF, Chen Z. 1997. Is the high basal level of salicylic acid important for disease resistance in potato? Plant Physiol 115: 343-349. Zhang CL, Zheng BO, Lao JP, Mao LJ, Chen SY, Kubicek CP, Lin FC. 2008. Clavatol and patulin formation as the antagonistic principle of Aspergillus clavatonanicus, an endophytic fungus of Taxus mairei. Appl Microbiol Biotechnol 78: 833–840.
BAB 6 PEMBAHASAN UMUM Keadaan Umum Lokasi Penelitian Palolo dan Kulawi adalah dua kecamatan yang berada di tepi hutan lindung Taman Nasional Lore Lindu di Sulawesi Tengah. Lokasi ini dipilih karena letaknya di tepi hutan lindung, di mana tujuan akhir dari penelitian yang dikoordinasi oleh STORMA Project adalah agar penduduk yang ada di sekitar hutan lindung dapat menjaga kelestarian hutan namun juga tetap dapat hidup layak dan bagaimana kesiapan petani dan kondisi lingkungan di sana pada saat terjadi pemanasan global. Sebagai bagian dari proyek tersebut, penelitian ini mencoba menggali kondisi pertanaman kakao petani di sekitar Lore Lindu. Kecamatan Palolo merupakan bagian dari kabupaten Sigi, berada di sebelah utara Taman Nasional Lore Lindu. Pertanaman kakao di daerah ini cukup intensif. Tanaman kakao ditanam pada lahan datar maupun tanah miring, dan ada juga yang menanamnya di bawah naungan tegakan tumbuhan hutan. Petani telah terbiasa menggunakan pestisida (herbisida, fungisida, dan insektisida) dan pupuk kimia. Transportasi ke daerah ini sangat baik sehingga menunjang kelancaran pengangkutan hasil pertanian dan sarana pertanian. Karena tingginya pendapatan dari bertani kakao, banyak pemuda desa yang tidak melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi dengan alasan penghasilan dari bertanam kakao lebih tinggi dibanding rekan-rekan mereka yang melanjutkan pendidikan dan menjadi pegawai di perkotaan. Kecamatan Kulawi berada di dalam wilayah kabupaten Donggala, di sebelah barat Taman Nasional Lore Lindu. Wilayah ini dapat dicapai dari ibukota provinsi (Palu) dengan melewati jalan yang membelah Taman Nasional, di antaranya melewati lereng gunung yang terjal dan sering terjadi longsor sehingga jalan penghubung satu-satunya ini sering terputus beberapa hari hingga beberapa minggu. Oleh karena itu, penduduk di daerah ini lebih banyak yang menanam tanaman pangan untuk konsumsi mereka sendiri (subsisten) seperti padi pada tanah datar dan jagung di tanah yang miring.
Tanaman kakao belum lama
dibudidayakan, dan belum banyak diadopsi petani. Bila menanam kakao, mereka akan menanami bekas pertanaman jagung atau tumpang sari dengan jagung bila
90 masih kecil, atau dengan mengganti pertanaman kopi dengan kakao karena harga kopi yang lebih rendah dibandingkan dengan kakao. Ada juga beberapa petani yang menanamnya di bawah pohon-pohon dalam hutan taman nasional. Kondisi transportasi dan peranan kakao bagi penghasilan penduduk menyebabkan mereka belum memprioritaskan pemeliharaan tanaman kakao mereka dan sedikit/tidak mengaplikasikan pestisida dan pupuk kimia. Keragaman Cendawan Endofit dan Pengelolaan Kesehatan Pertanaman Perkembangan penyakit busuk buah kakao di lapangan dipengaruhi oleh faktor-faktor inang, lingkungan dan virulensi dari patogennya. Petani sebagai pengelola pertanaman melalui praktek pertanian yang diaplikasikan dapat mengubah/memanipulasi faktor-faktor tersebut yang dapat menghambat atau malah meningkatkan perkembangan penyakit. Penelitian ini diawali dengan menginventarisir faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit di lapangan, termasuk keragaman morfospesies cendawan endofitnya.
Dari penelitian pertama ini didapatkan
beberapa faktor lingkungan dan praktek budidaya yang berkaitan dengan kejadian penyakit di lapangan. Rendahnya kejadian penyakit pada pertanaman dengan gulma yang lebih jarang disiangi dan tingginya kejadian penyakit pada pertanaman dengan input pestisida lebih tinggi diduga karena pada kondisi pertama terjadi konservasi mikroba bermanfaat, sedangkan pada kondisi kedua terjadi pengrusakan/gangguan pada ekosistem mikroba bermanfaat. Oleh karena itu, penelitian kedua dimaksudkan untuk mengeksplorasi mikroba bermanfaat yang ada di lapangan.
Cendawan endofit dipilih sebagai objek penelitian
selanjutnya karena masih jarang penelitian tentang mikroba ini.
Penelitian
dilanjutkan untuk melihat apakah kelimpahan tiap cendawan endofit ada yang berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit. Penelitian kedua ini difokuskan pada satu areal pertanaman, diberi perlakuan diatap dan tanpa atap (simulasi ENSO, El-Nino Southern Oscillation) dengan masing-masing 3 ulangan. Pengambilan sampel dilaksanakan dua kali, juga dengan tujuan untuk melihat pengaruh kekeringan (karena pemasangan atap atau karena kekeringan alami karena iklim) pada keragaman dan kelimpahan tiap spesies cendawan endofit yang ditemukan. Dari penelitian kedua ini didapatkan beberapa spesies cendawan
91 endofit yang kelimpahannya berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit, dalam arti kejadian penyakit rendah ketika kelimpahannya tinggi. Untuk membuktikan apakah cendawan yang berkorelasi negatif tersebut benar-benar menekan kejadian penyakit, penelitian dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu menguji kemampuan beberapa cendawan endofit tersebut dalam menekan penyakit pada buah kakao dan mekanisme yang berpotensi mendasarinya. Dari hasil studi ini diketahui bahwa faktor yang meningkatkan terjadinya penyakit berupa ketinggian tempat di atas 600 m dpl yang mungkin berasosiasi dengan suhu rendah (rata-rata 23oC), pengolahan pertanaman yang sebelumnya dilakukan secara intensif menggunakan pestisida dan pupuk kimia, dan pada lahan bekas hutan atau tanaman setahun.
Keberadaan gulma/penutup tanah yang
dipangkas lebih jarang (hanya sekali dalam enam bulan) akan menurunkan kejadian penyakit dibandingkan dengan yang dipangkas lebih sering, sekali dalam dua bulan.
Adanya tumbuhan penutup tanah diduga akan mengkonservasi
mikroba-mikroba baik yang antara lain dapat menekan perkembangan patogen busuk buah kakao. Dari studi ini juga didapatkan data bahwa tanaman pelindung yang ada di dalam pertanaman tidak menyebabkan meningkatnya busuk buah. Dari hasil penelitian pertama ini penulis menduga bahwa penggunaan input yang terus-menerus terutama pestisida telah mengganggu mikroba bermanfaat yang ada di alam, sedangkan penyiangan gulma yang lebih jarang akan mengkonservasi mikroba yang bermanfaat. Mikroba yang bermanfaat ini dapat berupa mikroba yang ada di dalam tanah, sekitar perakaran, pada permukaan tanaman (daun, buah, batang), atau yang hidup di dalam jaringan tanaman. Mikroba yang hidup di dalam jaringan tanaman tetapi tidak menyebabkan gejala penyakit pada inangnya disebut mikroba endofit.
Penelitian pertama dilanjutkan pada penelitian
berikutnya berupa eksplorasi mikroba endofit, khususnya cendawan endofit. Cendawan endofit dipilih karena belum banyak/masih jarang penelitian yang dilakukan mengeksplorasi mikroba ini bila dibandingkan dengan mikroba lainnya. Cendawan endofit yang berhasil diisolasi, diidentifikasi berdasarkan karakter morfologinya. Namun, cendawan endofit yang didapatkan tidak semuanya membentuk stuktur penanda yang mudah diidentifikasi seperti terbentuknya spora. Oleh karena itu dilakukan juga identifikasi secara molekuler
92 untuk memastikan hasil identifikasi morfologi dan mengidentifikasi cendawan yang tidak berhasil diidentifikasi secara morfologi.
Aime dan Phillips-Mora
(2005) menggunakan primer LR0R dan LR6 untuk mendapatkan sekitar 1000 bp DNA
yang
menyandi
25-28S
Large
Sub
Unit
(LSU)
rDNA
untuk
mengidentifikasi cendawan yang diisolasi dari tanaman kakao. Primer yang sama juga digunakan di dalam penelitian ini. Dengan membandingkan hasil sekuen dengan data yang tersedia pada database elektronik (seperti GenBank), sebagian besar cendawan dapat teridentifikasi ke tingkat spesies. Namun, karena penelitian tentang cendawan endofit tergolong baru, maka banyak data di Genbank yang juga masih sampai pada nama kelas cendawan, bahkan banyak yang masih berupa kode-kode isolat. Identifikasi lebih lanjut akan cendawan-cendawan yang telah diisolasi dalam penelitian ini masih diperlukan, bahkan berpeluang ditemukannya cendawan-cendawan yang selama ini belum diketahui. Cendawan endofit dapat berperan sebagai agens pengendali hayati. Untuk meningkatkan kerja cendawan endofit, dapat dilakukan dengan mengkonservasi cendawan endofit yang sudah ada di lapangan atau dengan menginokulasikan cendawan bermanfaat terseleksi ke lapangan. Konservasi cendawan endofit yang telah ada di lapangan dapat dilakukan dengan mengurangi gangguan pada lahan pertanian. Cara-cara yang diupayakan tentu yang juga mendukung pertumbuhan tanaman kakao dan tidak mengganggu produksinya. Wilberforce et al. (2003) telah membuktikan bahwa lahan pertanian yang lebih sedikit mendapat gangguan ekologi alaminya akan mendukung perkembangan populasi cendawan endofit akar yang bermanfaat.
Demikian juga halnya hasil yang didapatkan oleh
Rasmann et al. (2009) pada akar tanaman tomat dan Seghers et al. (2004) pada akar tanaman jagung (dengan pengaruh dari pupuk kimia vs organik dan penggunaan herbisida). Rendahnya kejadian penyakit pada pertanaman dengan penyiangan lebih jarang atau pada pertanaman yang sebelumnya tidak/jarang mendapat input pestisida seperti pada penelitian ini diduga karena masih tingginya mikroba bermanfaat yang ada, termasuk cendawan endofit. Keberadaaan tanaman pelindung di dalam pertanaman, mengurangi penggunaan bahan kimia di dalam pertanaman dan penyiangan gulma yang lebih jarang diduga dapat juga mengkonservasi keragaman cendawan endofit di lahan
93 kakao walaupun masih perlu penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hipotesis ini. Arnold et al. (2003) telah membuktikan bahwa keragaman cendawan endofit pada daun kakao lebih tinggi pada pertanaman yang ada di bawah naungan bila dibandingkan dengan yang tanpa naungan. Dari penelitian sebelumnya di lokasi penelitian (Steffan-Dewenter et al. 2007) dilaporkan bahwa naungan sedang (40%) tidak mempengaruhi produksi kakao. Penggunaan LCCs (Legume Cover Crops) di sela-sela pertanaman kakao dapat juga meningkatkan kesuburan tanah dan menekan tumbuhnya gulma pesaing, dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, dan tentunya diharapkan mampu menjaga mikroba bermanfaat yang ada di permukaan tanah. Augmentasi/penambahan mikroba bermanfaat ke alam seperti cendawan endofit terseleksi yang bermanfaat dapat juga dilakukan. Cendawan Xylariaceae yang didapatkan dalam penelitian ini berpotensi digunakan untuk mengendalikan busuk buah kakao. Namun demikian, masih diperlukan kajian lebih lanjut tentang keefektifannya di lapangan, pengaruhnya terhadap pertumbuhan tanaman kakao dan tanaman lainnya, juga pengaruhnya terhadap mikroba lainnya, cara aplikasi yang tepat, formulasinya, dan sebagainya. Cendawan-cendawan lainnya yang telah didapatkan di dalam penelitian ini perlu juga diuji kemampuannya dalam menekan penyakit busuk buah sehingga dapat dimanfaatkan secara bersama-sama dengan Xylariaceae. Mikroba bermanfaat seperti cendawan endofit tidak bekerja sendirian di alam dalam mengendalikan penyakit busuk buah kakao tetapi dalam komunitas. Menurut Malinowski and Belesky (2000) kerja dari cendawan endofit di alam tidaklah tunggal tetapi dalam komunitas untuk menghasilkan multi mekanisme dalam melindungi inangnya dari lingkungan biotik dan abiotik yang tidak mendukung.
Mengkombinasikan cendawan-cendawan endofit terseleksi
(konsorsium) yang telah terbukti mampu menekan penyakit juga dapat dilakukan. Kombinasi sangat mungkin dilakukan, tetapi seperti yang disarankan oleh Xu et al. (2011a) kombinasi agens hayati tidak boleh dilakukan sebelum memahami mekanisme kerja dari masing-masing agens hayati, kompetisi atau sinergisme di antara mereka dan evaluasi pemanfaatannya secara bersama-sama. Dari 465 publikasi perlakuan kombinasi agens hayati, hanya 2% yang menunjukkan kerja sinergisme (Xu et al. 2011b).
Kombinasi cendawan-
94 cendawan endofit dari komunitas yang sama mungkin akan lebih berpeluang bekerja secara sinergis karena niche /sumbernya sama.
Keempat cendawan
endofit yang didapatkan dalam penelitian ini, Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile, dan Aschersonia sp. yang terbukti mampu menekan penyakit busuk buah secara tunggal, berpeluang akan memberikan keefektifan yang lebih tinggi bila dikombinasikan secara bersama-sama karena keempatnya diisolasi dari buah yang sama. Keragaman cendawan endofit pada musim kering ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan musim hujan di lokasi penelitian, berbeda dengan hasil penelitian Suryanarayanan et al. (2009) di selatan India yang menemukan keragamannya
lebih
rendah
dalam
kondisi
kering.
Lokasi
penelitian
Suryanarayanan et al. merupakan daerah semi arid yang kering, sedangkan penelitian ini dilaksanakan di sekitar hutan hujan tropis. Oleh karena itu, diduga sebenarnya ada kondisi optimum (suhu, kelembaban, curah hujan) yang mendukung paling tingginya keragaman cendawan endofit di suatu lokasi. Sayangnya Suryanarayanan et al. tidak memuat data iklim selama penelitian berlangsung. Suhu dan kelembaban rata-rata di lokasi penelitian ini tidak terlalu berbeda antar kedua musim; pada musim hujan sebesar 23.5oC dan 90.6%, dan pada musim kemarau sebesar 23.4oC dan 89.2% dengan curah hujan yang tinggi pada musim hujan sebesar 383 mm/bulan dan pada musim kemarau sebesar 174.3 mm/bulan. Namun demikian, diperlukan pengulangan isolasi cendawan endofit pada waktu yang berbeda untuk meyakinkan bahwa benar kondisi kering seperti di lokasi penelitian menyebabkan keragaman cendawan endofit lebih tinggi dibandingkan pada kondisi basah. Pada musim kering penyakit busuk buah juga lebih rendah dibandingkan dengan musim hujan. Rendahnya kejadian penyakit ini mungkin disebabkan oleh rendahnya curah hujan atau karena tingginya keragaman cendawan endofit. Selain karena kelembaban yang rendah, rendahnya kejadian penyakit pada buah diduga karena adanya perlindungan dari mikroba termasuk cendawan endofit yang keragamannya sedang tinggi pada saat itu, penghambatan patogen dalam menginfeksi inang, atau penghambatan perkembangan patogen setelah berhasil
95 menginfeksi inang. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk dapat menjelaskan kenyataan ini. Kelimpahan atau frekuensi kemunculan cendawan endofit di lapangan ternyata tidak berkorelasi dengan kemampuan cendawan tersebut dalam menekan penyakit busuk buah. Cendawan dengan kelimpahan tinggi tidak berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit.
Demikian juga halnya dengan cendawan
berkorelasi negatif cukup tinggi (kelimpahan cendawan tinggi pada saat kejadian penyakit rendah), ternyata tidak sejalan dengan hasil pengujian bioessei pada buah kakao. Hal ini terbukti dari pengujian Fusarium QJC 1403 yang tidak dapat menekan penyakit busuk buah meskipun kelimpahannya berkorelasi negatif cukup tinggi dengan kejadian penyakit. Cendawan ini dipilih dalam pengujian lanjut selain karena nilai korelasi negatifnya yang cukup tinggi, juga karena beberapa spesies Fusarium dikenal sebagai cendawan non patogenik (Benhamou et al. 2002). Pestalotiopsis, yang juga tidak menunjukkan kemampuannya menekan penyakit busuk buah, dipilih karena beberapa peneliti melaporkan bahwa cendawan ini mampu memproduksi bahan kimia antifungi, antioomycetes, antibiotik, aktifitas antioksidan, and antikanker Taxol (Li et al. 2005; Strobel et al. 1996; Stobel et al. 2003). Kedua jenis cendawan endofit ini, Fusarium dan Pestalotiopsis bahkan dilaporkan dapat menekan kejadian penyakit busuk buah kakao ketika diaplikasikan di lapangan, di daerah Amazon, Brazil (Hanada et al. 2010). Namun, dalam penelitian ini keduanya tidak mampu menekan penyakit busuk buah, terutama mungkin karena spesiesnya berbeda. Hanada et al juga belum mengidentifikasinya hingga ke level spesies. Produksi asam salisilat yang meningkat pada keempat perlakuan cendawan endofit (Xylariaceae, C. gambosa, R. friabile, Aschersonia sp.) menunjukkan bahwa keempat cendawan ini mampu berperan sebagai penginduksi ketahanan tanaman. Asam salisilat akan mengaktifkan gen-gen PR yang akan memproduksi protein yang berhubungan dengan kondisi patologis, seperti peroksidase, kitinase, glukanase, protease inhibitor, dan sebagainya. Gen-gen PR akan aktif hanya bila tanaman inang terserang patogen. Dari keempat cendawan endofit ini, hanya Xylariaceae yang terlihat memproduksi peroksidase cukup tinggi setelah diinokulasi dengan patogen, cendawan lainnya tidak berbeda atau bahkan
96 menurun setelah diinokulasi patogen.
Penelitian lanjutan diperlukan untuk
melihat protein apa yang diproduksi pada tanaman yang diinokulasi dengan masing-masing cendawan endofit tersebut bila dalam kondisi patologis. Kelimpahan/frekuensi kemunculan Xylariaceae tergolong kecil selama pengumpulan isolat, namun hasil bioessei menunjukkan cendawan ini berpotensi sebagai agens biokontrol.
Hasil ini membuktikan bahwa cendawan yang
bermanfaat tidak selalu harus dalam jumlah banyak di lapangan dan merupakan ciri agens biokontrol yang bekerja dengan cara menginduksi ketahanan tanaman; sedangkan cendawan yang populasinya banyak seperti Fusarium ternyata tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit busuk buah.
Belum diketahui apa
peranan cendawan-cendawan yang berpopulasi tinggi ini di pertanaman kakao. Datangnya musim kering (karena kejadian yang normal atau El-Nino atau karena pemanasan global) tentu baik dari sisi penyakit busuk buah karena perkembangannya akan terhambat. Namun ketersediaan air akan mempengaruhi fisiologi pertumbuhan tanaman secara umum di mana kakao dapat berbuah bila mengalami bulan kering tidak lebih dari tiga bulan. Selain itu, lahan pertanian akan berpindah/dipindahkan dari dataran rendah ke tempat yang tinggi, sehingga berpotensi terjadi pembukaan kawasan hutan lebih banyak lagi.
Hal ini
merupakan tantangan untuk mencari cara agar tanaman yang ada saat ini dapat toleran terhadap ketersediaan air yang berkurang dan suhu tinggi. Telah mulai banyak penelitian mengeksplorasi cendawan endofit yang dapat menginduksi tanaman agar toleran terhadap kekeringan.
97 Kesimpulan
Kejadian penyakit busuk buah akan tinggi pada lahan dengan ketinggian di atas 600 m dpl, pertanaman dengan penyiangan gulma lebih sering (dua bulan sekali), pertanaman yang sebelumnya intensif menggunakan pestisida dan pupuk sintetis, dan pertanaman yang sebelumnya adalah hutan atau tanaman tahunan. Kejadian penyakit rendah pada pertanaman di bawah 600 m dpl, penyiangan gulma lebih jarang (enam bulan sekali), tidak/jarang menggunakan pestisida dan pupuk buatan, sebelumnya ditanami jagung.
Adanya naungan dari pohon
peneduh dan penggunaan pupuk N dalam penelitian ini tidak berpengaruh terhadap kejadian penyakit busuk buah. Keragaman
cendawan
endofit
lebih
tinggi
pada
kondisi
kering
dibandingkan dalam kondisi basah di lokasi penelitian. Kelimpahan beberapa cendawan endofit berkorelasi negatif dengan kejadian penyakit busuk buah di lapangan. Besarnya nilai korelasi negatif kelimpahan cendawan endofit dengan kejadian penyakit tidak selalu menggambarkan kemampuan cendawan tersebut dalam menekan perkembangan penyakit busuk buah.
Fusarium dengan nilai
korelasi negatif yang tinggi tidak mampu menekan perkembangan penyakit, sedangkan Xylariaceae dengan korelasi negatif yang kecil mampu menekan perkembangan penyakit.
Cendawan lainnya yang berpotensi sebagai agens
biokontrol busuk buah kakao adalah Calocybe gambosa, Resinicium friabile dan Aschersonia sp.
98 Saran
1. Mengingat potensi keragaman dan kelimpahan cendawan endofit, masih perlu dilakukan isolasi cendawan endofit pada musim yang berbeda untuk meyakinkan bahwa dalam kondisi kering seperti di lokasi penelitian, keragaman cendawan endofitnya lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi basah. 2. Pemanfaatan Xylariaceae, Calocybe gambosa, Resinicium friabile dan Aschersonia sp. perlu dikaji lebih lanjut, evaluasi aplikasi secara komunitas dengan
cendawan
endofit
lainnya,
keefektifannya
di
lapangan,
patogenisitasnya terhadap tumbuhan lainnya, waktu dan cara aplikasi, dan sebagainya. 3. Mekanisme kerja Xylariaceae dan cendawan endofit lainnya dalam menghambat perkembangan penyakit perlu dikaji lebih lanjut 4. Perlu juga diuji cendawan-cendawan lainnya yang telah didapatkan dalam penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology, 5th ed. Amsterdam. 922 p.
Elsevier Academic Press.
Ahlholm JU, Helander M, Lehtimaki S, Wali P dan Saikkonen K. 2002. Vertically transmitted fungal endophytes: different responses of hostparasite systems to environmental conditions. Oikos 99:173-183. Antoniw JF, Kueh JSH, Walkey DGA, White RF. 1981. The presence of pathogenesis-related protein in callus of Xhanthi-nc tobacco. Phytopathol Z 101(2): 179-184 Arnold AE, Herre EA. 2003. Canopy cover and leaf age affect colonization by tropical fungal endophytes: Ecological pattern and process in Theobroma cacao (Malvaceae). Mycologia 95(3): 388-398 [AVRDC Mycology]. 2000. Method of assessing Phytophthora blight (P. capsici) reactions on pepper. 2p. Azevedo JL, Maccheroni Jr W, Pereira JO, de Araujo WL. 2000. Endophytic microorganisms: a review on insect control and recent advances on tropical plants. EJB J Biotech 3(1): 40-65 Benhamou N, Garand C, Goulet A. 2002. Ability of nonpathogenic Fusarium oxysporum strain Fo47 to induce resistance against Pythium ultimum infection in cucumber. Appl Environ Microb 68(8): 4044-4060, DOI: 10.1128/AEM.68.8.4044-4060.2002 Campanile G, Ruscelli A, Luisi N. 2007. Antagonistic activity of endophytic fungi towards Diplodia corticola assessed by in vitro and in planta tests. Eur J Plant Pathol 117:237–246 Clay K, Schardl C. 2002. Evolutionary origins and ecological consequences of endophyte symbiosis with grasses. The American Naturalist 160: S99 – S127. Clay K, Holah J, Rudgers JA. 2005. Herbivores cause a rapid increase in hereditary symbiosis and alter plant community composition. PNAS 102(35): 12465-12470. Clay K. 1988. Fungal endophyte of grasses: a defensive mutualism between plants and fungi. Ecology 69:1-16 Damayanti TA, Pardede H, Mubarik NR 2007. Utilization of root-colonizing bacteria to protect hot-pepper against Tobacco Mosaic Tobamovirus. HAYATI 14: 105-109 Djocgoue PF, Boudjeko T, Nankeu DJ, Efombagn MIB, Nyasse S, Omokolo DN. 2006. Comparative assessment of the resistance of cocoa (Theobroma cacao L.) progenies from SNK10 x SNK413; ICS84 x ICS95 to Phytohthora megakarya in Cameroon by measuring size of necrotic lesion along midrib. Plant Pathol J 5: 329-335.
100 Dongyi K, Kelemu S. 2004. Acremonium implicatum, a seed transmitted endophytic fungus in Brachiaria grasses. Plant Dis 88: 1252-1254. Edreva A. 2005. Pathogenesis-related proteins: research progress in the last 15 years. Gen Appl Plant Physiol 31: 105-124 Ernst M, Mendgen KW, Wirsel SGR. 2003. Endophytic fungal mutualists: seedborne Stagonospora spp enhace reed biomass production in axenic microcosms. MPMI 16: 580-587. Faeth SH, Fagan WF. 2002. Fungal endophytes: common host plant symbionts but uncommon mutualists. Integ Comp Biol 42:360-368 Faeth SH, Helander ML, Saikkonen KT. 2004. Asexual Neotyphodium endophytes in a native grass reduce competitive abilities. Ecol Lett 7: 304. Faeth SH. 2002. Are endophytic fungi defense plant mutualists? Oikos 98: 25-36 Gao FK, Dai CC, Liu XZ. 2010. Mechanisms of fungal endophytes in plant protection against pathogens. African J Microbiol Res. 4(13): 1346-1351. Guest, D. 2007. Black pod: Diverse pathogens with a global impact on cocoa yield. Phytopathology 97:1650-1653. Hammerschmidt R. 1999. Phytoalexins: what have we learned after 60 years? Annu Rev Phytopathol 37: 285-306 Hammerschmidt R, Nuckles E M, Kǔc J. 1982. Association of enhanced peroxidase activity with induced systemic resistance of cucumber to Colletotrichum lagenarium. Physiol Plant Pathol 20: 73–82. Hanada RE, Pomella AWV, Costa HS, Bezerra JL, Loguercio LL, Pereira JO. 2010. Endophytic fungal diversity in Theobroma cacao (cacao) and T. grandiflorum (cupuacu) trees and their potential for growth promotion and biocontrol of blackpod disease. Fungal Biol 114:901-910. Hoff JA, Klopfensteinand NB, McDonald GI, Tonn JR, Kim M-S, Zambino PJ, Hessburg PF, Rogers JD, Peever TL, Carris LM. 2004. Fungal endophytes in woody roots of Douglas-fir (Pseudotsuga menziesii) and ponderosa pine (Pinus ponderosa). For Path 34:255-271. Huang JS. 2001. Plant Pathogenesis and Resistance: Biochemistry and Physiology of Plant-Microbe Interaction. Kluwer Acedemic Publishers. London. 690 p. ICCO [International Cacao Organization]. 2008. Annual forecasts of production and consumption and estimates of production levels to achieve equilibrium in the world cocoa market. Executive Committee, One Hundred And Thirty-Sixth Meeting. Berlin, 27-28 May 2008 Iwaro AD, Sreenivasan TN, Umaharan P. 1997. Foliar resistance to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in Theobroma cacao. Plant Dis 81:619-624 Lehtonen P, Helander M, Wink M, Sporer F, Saikkonen K. 2005. Transfer of endophyte-origin defensive alkaloids from grass to a hemiparasitic plant. Ecol Lett 8:1256-1263
101 Lewis GC. 2004. Effect of biotic and abiotic stress on the growth of three genotypes of Lolium perenne with and without infection by the fungal endophyte Neotyphodium lolii. Ann of Applied Biology 144: 53 Li HY, Qing C, Zhang YL, Zhao ZW. 2005. Screening for endophytic fungi with antitumour and antifungal activities from Chinese medicinal plants. World J. Microb. Biotechnol. 21: 1515-1519. Mejia LC, Rojas EI, Maynard Z, Van Bael S, Arnold AE, Hebbar P, Samuels GJ, Robbins N, Herre ED. 2008. Endophytic fungi as biocontrol agents of Theobroma cacao pathogens. Biol Control 46:4-14. Mendoza AR, Sikora RA. 2009. Biological control of Radopholus similis in banana by combined application of the mutualistic endophyte Fusarium oxysporum strain 162, the egg pathogen Paecilomyces lilacinus strain 251 and the antagonistic bacteria Bacillus firmus. Biol Control 54:263–272 Mert-Tűrk F. 2002. Phytoalexins: defence or just response to stress? J Cell Mol Biol 1: 1-6 Narisawa K, Kawamata H, Currah RS, Hashiba T. 2002. Suppression of Verticillium wilt in eggplant by some fungal root endophytes. Eur J Plant Pathol 108: 103–109. Narisawa K, Usuki F, Hashiba T. 2004. Control of Verticillium Yellows in Chinese cabbage by the dark septate endophytic fungus LtVB3. Phytopathology 94:412-418 Pan JJ, Clay K. 2002. Infection by the systemic fungus Epichloe glyceriae and clonal growth of its host grass Glyceria striata. Oikos 98 (1), pp 37-46. Pan S Q, Ye X S, Kǔc J. 1991. Association of β-1,3-glucanase activity and isoform pattern with systemic resistance to blue mould in tobacco induced by stem injection with Peronospora tabacina or leaf inoculation with tobacco mosaic virus. Physiol Mol Plant Pathol 39: 25–39. Park KS, Kloepper JW. 2000. Activation of PR-1a promoter by Rhizobacteria that induce systemic resistance in tobacco against Pseudomonas syringae pv. tabaci. Biol Control 18: 2–9. Paxton JD. 1980. A new working definition of the term “phytoalexin”. Plant Disease 64 (8): 734 Pereira JL. 1992. Cocoa and its pathogens in the region of origin: a continued risk in [FAO] Cocoa Pest and Disease Management in Southeast Asia and Australasia. FAO Plant Production and Protection Paper 112. p 13-30 Pieterse CMJ, van Wees SCM, Hoffland E, van Pelt JA, van Loon LC. 1996. Systemic resistance in Arabidopsis induced by biocontrol bacteria in independent of salicylic acid accumulation and Pathogenesis-related gene expression. Plant Cell 8:1225-1237 Ramamoorthy V, Raguchander T, Samiyappan R. 2002. Induction of defenserelated proteins in tomato roots treated with Pseudomonas fluorescens Pf1 and Fusarium oxysporum f. sp. Lycopersici. Plant Soil 239: 55–68.
102 Rasmann C, Graham JH, Chellemi DO, Datnoff LE, Larsen J. 2009. Resilient populations of root fungi occur within five tomato production systems in southeast Florida. App Soil Ecol 43: 22-31 Rubini MR, Silva-Ribeiro RT, Pomella AWV, Maki CS, Aroujo WL, dos Santos DR, Azevedo JL. 2005. Diversity of endophytic fungal community of cacao (Theobroma cacao L) and biological control of Crinipellis perniciosa, causal agent of witches’ broom disease. Int J Biol Sci 1: 24-33. Rudgers JA, Mattingly WB, Koslow JM. 2005. Mutualistic fungus promotes plant invasion into diverse communities. Oceologia 144:463-471 Ruzelfin. 1989. Patogenisitas isolat Phytophthora palmivora (Butl.) Butl. dari lada, kakao, karet dan kelapa pada buah kakao, dan tingkat virulensinya pada berbagai umur buah. [Thesis]. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Saar DE, Polans NO, Sorensen PD, Duvall MR. 2001. Angiospermae DNA contamination by endophytic fungi: detection and methods of evoidance. Plant Mol Biol Rep 19:249-260 Saikkonen K, Ahlholm J, Helander M, Lehtimaki S, Niemelainen O. 2000. Endophytic fungi in wild and cultivated grasses in Finland. Ecography 23:360. Schardl CL, Leuchtmann A, Spiering MJ. 2004. Symbiosis of grasses with seedborne fungal endophytes. Ann Rev of Plant Biol 55: 315-340. Segarra G, Casanova E, Bellido D, Odena MA, Oliveira E, Trillas I. 2007. Proteome, salicylic acid, and jasmonic acid changes in cucumber plants inoculated with Trichoderma asperellum strain T34. Proteomics 21: 39433952. Seghers D, Wittebolle L, Top EM, Verstraete W, Siciliano SD. 2004. Impact of agricultural practices on Zea mays L. endophytic community. App Environm Microbiol 70 (3): 1475-1482 Shirasu K, Nakajima H, Rajasekhar VK, Dixon RA, Lamb C. 1997. Salicylic acid potentiates an antagonist-dependent gain control that amplifies pathogen signals in the activation of defense mechanisms. The Plant Cell 9: 261–270 Sinclair JB, Cerkauskas F. 1996. Latent infection vs. endophytic colonization by fungi in Redlin SC, Carris LM (eds.). Endophytic Fungi in Grasses and Woody Plants: Systematics, Ecology, and Evolution. APS Press. Pp 31-66 Steffan-Dewenter I, Kessler M, Barkmann J, Bos MM, Buchori D, Erasmi S, Faust H, Gerold G, Glenk K, Gradstein SR, et al. 2007. Tradeoffs between income, biodiversity, and ecosystem functioning during tropical rainforest conversion and agroforestry intensification. PNAS 104(12): 4973-4978. Strobel G, Yang X, Sears J, Kramer R, Sidhu RS, Hess WH. 1996. Taxol from Pestalotiopsis microspora, an endophytic fungus of Taxus wallichiana, Microbiol.142: 435–440.
103 Strobel GA, Daisy B. 2003. Bioprospecting for microbial endophytes and their natural products. Microbiol. Mol. Biol. Rev. 67: 491–502 Suhendi D. 2007. Rehabilitasi tanaman kakao: tinjauan potensi, permasalahan, dan rehabilitasi tanaman kakao di desa Primatani Tonggolobibi. Dalam Pemasyarakatan Teknologi Tepat Guna dan Pemberdayaan Petani Mendukung Peningkatan Pendapatan Rumah Tangga di Lahan Marginal. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Inovasi Pertanian Lahan Marginal (P4M1), Palu, 24-25 Juli 2007. pp 335-346 Sullivan TJ, Faeth SH. 2004. Gene flow in the endophyte Neotyphodium and implication for coevolution with Festuca arizonica. Molecul Ecol 13(3):649. Surujdeo-Maharaj S, Umaharan P, Iwaro AD. 2001. A study of genotype-isolate interaction in cacao (Theobroma cacao L.): resistance of cacao genotypes to isolates of Phytophthora palmivora. Euphytica 118:295-303 Tahi GM, Kebe BI, N’Goran JAK, Sangare A, Mondei F, Cilas C, Eskes AB. 2006 (a). Expected selection efficiency for resistance to cacao pod rot (Phytophthora palmivora) comparing leaf disc inoculations with field observations. Euphytica 149: 35–44 Tahi GM, Kebe BI, Sangare A, Mondeil F, Cilas C, Eskes AB 2007. Foliar resistance of cacao (Theobroma cacao) to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in the field: the effect of light intensity and time of day of leaf collection. Plant Pathol 56:219-226. Tahi GM, Kebe BI, Sangare A, Mondeil F, Cilas C, Eskes AB. 2006. Foliar resistance of cacao (Theobroma cacao) to Phytophthora palmivora as an indicator of pod resistance in the field: interaction of cacao genotype, leaf age and duration of inoculation. Plant Pathol. 55:776-782. Tahi M, Kebe I, Eskes AB, Ouattara S, Sangare A, dan Mondeil F. 2000. Rapid screening of cacao genotypes for field resistance to Phytophthora palmivora using leaves, twigs and roots. E J Plant Path 106:87-94. VanEtten HD, Mansfield JW, Bailey JA, Farmer EE. 1994. Two classes of plant antibiotics: phytoalexins versus phytoanticipins. Plant Cell 6(9): 11911192. Van Loon LC, van Strein EA. 1999. The families of pathogenesis-related proteins, their activities, and comparative analysis of PR-1 type proteins. Physiol Mol Plant P 55: 85-97. Wilberforce EM, Boddy L, Griffiths R, Griffith GW. 2003. Agricultural management affects communities of culturable root-endophytic fungi in temperate grasslands. Soil Biol Biochem 35: 1143-1154. Williams AJ, Gwinn KD. 1999. Comparison of enzyme activities in germinating seed of endophyte-infected and endophyte-free tall fescue. Phytopathology 89:S84. Wiyakrutta S, Sriubolmas N, Panphut W, Thongon N, Danwisetkanjana K, Ruangrungsi N, Meevootisom V. 2004. Endophytic fungi with anti-
104 microbial, anti-cancer and anti-malarial activities isolated from Thai medical plants. W J Microbiol Biotech 20:3, p265-272. Xu XM, Jeffries P, Pautasso M, Jeger MJ. 2011a. A numerical study of combined use of two biocontrol agents with different biocontrol mechanisms in controlling foliar pathogens. Phytopathology 101(9):1032-1044. Xu XM, Jeffries P, Pautasso M, Jeger MJ. 2011b. Combined use of biocontrol agents to manage plant diseases in theory and practice. Phytopathology 101(9):1024-1031. Zhang S, Moyne AL, Reddy MS, Kloepper JW. 2002. The role of salicylic acid in induced systemic resistance elicited by plant growth-promoting rhizobacteria against blue mold of tobacco. Biol Control 25: 288–296.
LAMPIRAN
107 Tabel Lampiran 3.1 Frekuensi kemunculan tiap faktor pada tiap kelas kategori AUDPC Faktor* AUDPC 1 AUDPC 2 AUDPC 3 W1 3 22 17 W2 13 14 17 F1 8 15 20 F2 8 21 14 L1 15 19 10 L2 1 17 24 A1 10 8 2 A2 4 21 27 A3 2 7 5 D1 8 25 25 D2 6 10 4 D3 2 1 5 G1 13 21 20 G2 3 15 14 H1 4 4 12 H2 2 15 13 H3 10 17 9 C1 2 2 2 C2 5 15 12 C3 9 19 20 E1 7 8 8 E2 11 22 23 E3 1 6 7 S1 9 15 12 S2 5 15 18 S3 2 6 4 *Keterangan: W=penyiangan, F=pemupukan, L=lokasi pertanaman dengan perbedaan pengelolaan sebelumnya, A=ketinggian tempat, D=jarak ke hutan primer, G=umur tanaman kakao, H=sejarah pertanaman, C=% penutupan tajuk kakao, E=jumlah morfospesies cendawan endofit, S=% penutupan tanaman pelindung
C
B
Gambar lampiran 3.1 Kondisi lahan sebelum ditanami kakao: (A) dengan membuka hutan primer, (B) mengganti tanaman tahunan yang telah ada, (C) menanam kakao pada bekas pertanaman jagung
A
108
109
Suhu udara harian (C) Temperature (C)
30,0 25,0 20,0 15,0
Kulawi
10,0
Palolo
5,0 01 /1 1/ 20 07 01 /1 2/ 20 07 01 /0 1/ 20 08 01 /0 2/ 20 08 01 /0 3/ 20 08 01 /0 4/ 20 08 01 /0 5/ 20 08 01 /0 6/ 20 08
0,0
100,0 90,0 80,0 70,0 60,0 50,0 40,0 30,0 20,0 10,0 0,0
Kulawi
08
08
20 /0 01
/0 01
6/
5/
20 4/ 01
/0
3/ /0 01
20
08
08 20
08 2/
01
/0
1/ 01
/0
2/ /1 01
20
20
07 20
20 1/ /1 01
08
Palolo
07
RH (%)
Kelembaban harian (%)
Gambar Lampiran 3. 2 Fluktuasi suhu dan kelembaban udara harian rata-rata di Kulawi dan Palolo, Sulawesi Tengah selama penelitian
110
Curah hujan harian (mm) Precipitation (mm)
50,0 45,0 40,0 35,0 30,0 25,0 20,0 15,0 10,0 5,0 0,0
Precipitation (mm) Kulawi Precipitation (mm) Palolo
8 8 8 8 8 8 8 8 8 7 8 7 7 8 7 7 8 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 /1 2 1/2 1/2 2/2 2/2 1/2 1/2 2/2 2/2 3/2 3/2 4/2 4/2 5/2 5/2 5/2 6/2 /1 /1 /1 /1 /1 /0 /0 /0 /0 /0 /0 / 0 / 0 /0 /0 /0 /0 01 15 29 13 27 10 24 07 21 06 20 03 17 01 15 29 12
Radiasi global harian (MJ/M2) Radiation (MJ/M2)
30,0
Global Radiation (MJ/M2) Kulawi Global Radiation (MJ/M2) Palolo
25,0 20,0 15,0 10,0 5,0
01
/11 15 / 2 0 /11 07 29 / 2 0 /11 07 13 / 2 0 /12 07 27 / 2 0 /12 07 10 / 2 0 /01 07 24 / 2 0 /01 08 07 / 2 0 /02 08 21 / 2 0 /02 08 06 / 2 0 /03 08 20 / 2 0 /03 08 03 / 2 0 /04 08 17 / 2 0 /04 08 01 / 2 0 /05 08 15 / 2 0 /05 08 29 / 2 0 /05 08 12 / 2 0 /06 08 /2 00 8
0,0
Gambar Lampiran 3.3 Fluktuasi curah hujan dan radiasi harian rata-rata di di Kulawi dan Palolo, Sulawesi Tengah selama penelitian
111 Lampiran Tabel 4.1 Morfospesies cendawan endofit buah kakao dari Marena, Sulawesi Tengah beserta nama isolat sumber DNA untuk identifikasi molekulernya No. No. morfospesies Isolat sumber DNA Morfospesies 1 1 II 609 Rt mid Fusarium 2 2 I 457 b top Ascomycetes 3 3 I 457 a tip 3I 4 4b I 1057 b mid Fusarium oxysporum 5 5 II 187 top 5 II 6 6a II 285 a1 mid 6a II 7 7 I 457 a mid 7I 8 8a I 111 b2 mid Ascomycetes 9 9 I 398 b1 mid 9I 10 10 I 896 b top 10 I 11 11a I 398 b1 mid 11a I 12 11b I 398 b1 mid Phomopsis 13 12 I 783 b1 mid Fusarium 14 14 II 650 a1 top Phomopsis 15 15 II 212 a top 15 I 16 16 I 152 b1 mid 16 I 17 17 I 284 b1 tip 17 I 18 18 II 1030 Rt mid black mycelia 19 19 II 284 b1 tip Basidiomycetes 20 20 I 252 b1 mid 20 I 21 21 II 284 b2 mid Ascomycetes 22 22 I 155 b2 top 22 I 23 23 II 252 tip Fusarium 24 24 II 609 Rt top 24 I 25 24 d I 187 b1 tip 24d I 26 25 I 606 b1 tip 25 I 27 26 I 896 a mid 26 I 28 27 I 284 b1 top Fusarium 29 28a I 831 b1 tip Fusarium 30 29 II 1019 Rt tip Phomopsis 31 31a I 285 b2 top Fusarium 32 32 I 446 b1 tip 32 I 33 33 I 578 b tip Fusarium solani 34 34b II 1030 Rt top Lasiodiplodia 35 35 I 578 b tip Ascomycetes 36 36 I 457 b top Ascomycetes 37 37b I 650 b1 tip 37b I 38 38 I 782 a tip Nodulosporium 39 39a I 831 b2 top 39a I 40 39b II 457 Bt top Colletotrichum 41 40 II 212 Bt tip 40 II 42 41 I 831 b1 mid 41 I 43 42a II 650 top 42a I
112 Lampiran Tabel 4.1 Morfospesies cendawan endofit buah kakao dari Marena, Sulawesi Tengah beserta nama isolat sumber DNA untuk identifikasi molekulernya (lanjutan) No. No. morfospesies Isolat sumber DNA Morfospesies 44 43 I 831 b2 tip 43 I 45 44 I 831 b2 tip Ascomycetes 46 45 I 831 b2 mid 45 I 47 46 I 831 b2 mid Ascomycetes 48 47 II 650 Rt top 47 II 49 48 II 1030 Rt top 48 I 50 49 I 896 a tip Paecilomyces 51 50 I 896 a top 50 I 52 51b I 896 b top 51b I 53 52 I 508 b1 tip Fusarium 54 53 II 1019 tip Phomopsis 55 54 I 650 b1 tip Ascomycetes 56 56 II 111 Rt mid Basidiomycetes 57 57a II 1074 Rt tip black mycelia 58 57b II 1074 Rt tip 57b II 59 58 II 111 Rt tip Xylaria 60 59 II 155 b1 tip 59 I 61 60 II 155 b1 top 60 II 62 61 II 187 a tip 61 II 63 62 II 187 a tip Basidiomycetes 64 63 II 187 a top Basidiomycetes 65 63b II 187 a top 63b I 66 66b II 284 b1 mid 66b II 67 67 II 1019 tip 67 I 68 68 II 896 b2 mid 68 I 69 69 II 252 tip Xylaria 70 70 II 650 a1 mid Ascomycetes 71 71 II 650 a1 mid 71 II 72 72 II 650 a1 mid 72 II 73 73 II 609 b1 tip 73 II 74 74 II 609 b1 tip Yeast?? 75 75 II 606 b2 tip Pestalotiopsis 76 76 II 446 top Fusarium
113 Lampiran 4.2 Untaian basa DNA penyandi 28S rDNA hasil sekuens isolat cendawan endofit yang diisolasi dari buah kakao di Marena, Sulawesi Tengah dengan primer LROR dan LR6
I-1 (Fusarium lichenicola) GGGATTGCCTCAGTAACGGCGAAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTT GAAATCTGGCTCTCGGGCCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGCTTTTG GTGAGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGA GAGCCCCGTCTGGTTGGACACCGAGCCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGA GTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATGTCTTCT AAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATC GAAAGATGAAAAGAACTTTGAAAAGAGAGTTAAACAGTACGTGAAAT TGTTGAAAGGGAAGCGCTTGTGACCAGACTTGGGCTTGGTTGATCATC CGGGGTTCTCCCCGGTGCACTCTTCCGGCCCAGGCCAGCATCAGTTCG CCCTGGGGGACAAAGGCAGCGGGAATGTGGCTCTCTCCGGGGAGTGT TATAGCCCGCTGCGCAATACCCTGCGGCGGACTGAGGTTCGCGCATTC GCAAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGG ACCAAGGAGTCGTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTAC GCGAAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACC GATCCTGATGTTATCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGGGCCGGA CCCGAAAGAAGGTGAACTATGCCTGTGTAGGGTGAAGCCAGAGGAAA CTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAA CATGGGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTT CCGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATGAG GTAAAGCGCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTT GCTTAATTGAACGTGGGCATCGAATAATCAC
I-2 (Bionectria sp. DIS 114e) CTGCAGGGCCTTGCCCTACTAACGGCGAGTGAAGCGGCGACCGCTCGA ATTTGAAATCTGGCACATGGCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGTTTC TGGCGACGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAGCGGGACGCCATAGAGGGTG AGAGCCCCGTACGGTTGGATGCCTAGCCTCTGTGAAACTCCTTCGACG AGTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATACGTCTTC TAAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGAT CGAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAAAAGTACGTGAAA TTGTTGAAAGGGAAGCGTTCATGACCAGACTTGAGCAGGTTGATCATC CGTGGTTCTCCGCGGTGCACTCTGCCTGCTCAGGCCAGCATCAGTTCGT TCCGGGGGATAAAGGCTCTGGGAATGTGGCTCCCTCGGGAGTGTTATA GCCCACTGCGTAATACCCTGGGATGGACTGAGGTTCGCGCTCTGCAAG GATGCTGGCGTAATGGTCATCAACGACCCGTCTTGAAACACGGACCAA GGAGTCGTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTACGCGTA ATGAAAGTGAACGTAGGAGAGAGCTTCGGCGCATCTCCGACCGATCCT GATGTTCTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGGGCCGGACCCGA AAGAAGGTGAACTATGCCTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTG
114 GTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATATGG GCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTTCCGCC GAAGTTTCCCTCANGATAGCAGTATTGAACTCAGTTTTATGAGGTAAA GCGAATGATTAGGGACCCGGGGGCG
I-3 (Gibberella zeae) CTATCTTCTGATGTATCAAAACACTACCCCTTTGGAAACTTAGAATTTC ATTATTGGTGATCTAGGCACTCTAGGGGGAAAGAGCATGTATAGTCTG GCCGCAACGCGTCACCTAGTACTGCGGTCTTATGCGTATAAGCGTGTT AGACCGCAGCGTCGGANAGAGTGTGTGTATATGGCTGTGTTTTTCGTC TGCGGGCTGTAACGAAGCCGGATCTCCTGTTGGAGTAAAAGACGTGCT GGGCTAGCTGGTTATAGGAGACCCCGCTTCCTGCGTTATCCAGCACAT CGGAGGCACAAAGGTGCTAGTGTGTCAAGCCCGTCGACCGTTACCGG GCTTAGGGATAGTGTGACTCAACTTTATCGACGGATCAAAATTTTCTC ACACATCACTACATGTGCTGATGCAGTCCACAATCCCCAGCAACCAAG TTGTAGCCCGTACTCGAGTGTCGTGGTGGCAGGGAGAACCCATAAATA CCCTGAGCTTTTACAGAGGTAACACGAAGTCGACGTGTCACCACGTGA TTGACAAAGGTCAAAGGATGCTGGGTTGGGCATAAGACATGAGCCCG CGGGCACTCTGAGCCACTACAACCAATGTCTCGGTAAGAAAACCTGGC GAACCCTGACNAGGGTACCGTGGCTTTCGGTTCCGGTTTGCACGGCTG GGCTTTCACCGTCCGCCAGTTCGCTGTCCAATACGCCAAGAAGTTCGG TGTTGACAATAACAAGATGATGGAGCGTCTCTGGCGCGACGACTACTT CAACCCCAAGACCAAGAAGTGGACCAAGAACAGCACCTACGAGGGTA AGCAGAAACTGGCGAAACACTCAGCTAACCTCTAGCAACTAGGCTCA CTCGAAGCTACCTCAGATAGCATCGTGAACTCAAGTTCTGAGCTACAG TGAATGATAGCGACACAGCTCGCTATC
I-4 (Phomopsis columnaris) GGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCTTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGTTTCTGGCG CGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCAAAGAGGGTGAGAG CCCCGTATGGTTGGACACCAAGCCTGTGTGAAACTCCTTCAACGAGTC GAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAA GCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAA AGATGAAAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGT TGAAAGGGAAGCACTTATGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAG GGGTTCTCCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTTTC GCGGGGGGATAAGACCGTCAGGAACGTAGCACCTCTCGGGGTGTGTT ATAGCCTGGCGGACGATACCCTCGCGGGGACCGAGGTTCGCGCTCCGC AAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGAC CAAGGAGTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGC GTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGA TCCTGATGTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGACC CGAAAGACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACT
115 CTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATA TGAGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAGCTGGTTACC GCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGAGCC TTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTTAGT TGAACGTGGGCATCG I-5 (Fusarium ambrosium) TGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAAATCT GGCTCTCGGGCCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGCTTTTGGTGAGGT GCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAGCCCC GTCTGGTTGGACACCGATCCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGAGTCGAGT AGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATGTCTTCTAAAGCTA AATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAAAGAT GAAAAGAACTTTGAAAAGAGAGTTAAAAAGTACGTGAAATTGTTGAA AGGGAAGCGCTTGTGACCAGACTTGGGCTTGGTTGATCATCCAGGGTT CTCCCTGGTGCACTCTTCCGGCCCAGGCCAGCATCAGTTCGCCCCGGG GGAAAAAGGCTTCGGGAATGTGGCTCTCTCCGGGGAGTGTTATAGCCC GTTGCGTAATACCCTGTGGCGGACTGAGGTTCGCGCATTCGCAAGGAT GCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGA GTCGTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTACGCGAAATG AAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGATCCTGAT GTATTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGAGCCGGACCCGAAAG AAGGTGAACTATGCCTGTGTAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTG GAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAACATGGGCA TGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTTCCGCCGAA GTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATGAGGTAAAGCA GATGATTAGGGACTCGGGGCGCTAT
I-6 (Glomerella cingulata) CAGGGATTGCCTCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATT TGAAATCTGGCCCTAGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGCTTTTG GTGCGGTGCCTTCCAAGTTCCCTAGAACGGGACGCCAGAGAGGGTGA GAGCCCCGTACAGTTGGACACCAAGCCTTTGTAAAGCTCCTTCGACGA GTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCAAAATGGGAGGTATATTTCTTCT AAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATC GAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAACAGCACGTGAAAT TGTTAAAAGGGAAGCGCTTGTGACCAGACTTGCGTCCGGTGAATCACC CAGCTCTCGCGGCTGGGGCACTTCGCCGGCTCAGGCCAGCATCAGCTC GCTGTCGGGGACAAAAGCTTCAGGAACGTAGCTCTCTTCGGGGAGTGT TATAGCCTGTTGCATAATACCCTTCGGCGGGCTGAGGTACGCGCTCCG CAAGGATGCTGGCATAATGGTCATCAGCGACCCGTCTTGAAACACGGA CCAAGGAGTCAACCTTATGTGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTACG CGTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCG ATCCTGATGTTCTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATATAGGGTTGGAC CCGAAAGAAGGTGAACTATGCGTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAAC
116 TCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAAT ATGCGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTTC CGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATGAGG TAAAGCGAATGATTAGGGACTCGGGGG
I-7 (Diaporthe phaseolorum) GCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAAATCT GGCTTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGAGGTTTCTGGCGCGGTGC CTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAGCCCCGT ATGGTCGGACACCAAGCCTGTGTGAAACTCCTTCAACGAGTCGAGTAG TTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAAGCTAAA TACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAAAGATGA AAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGTTGAAAG GGAAGCACTTATGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAGGGGTTCT CCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTTTCGCGGGGG GATAAGACCGACGGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTTATAGCCC GGCGGACGATACCCTCGCGGGGACCGAGGTCCGCGCTCCGCAAGGAT GCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGA GTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGCGTAATG AAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGATCCTGAT GTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGACCCGAAAG ACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTG GAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATATGAGCA TGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAGCTGGTTACCGCCGAA GTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGAGGTCCATTC TCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTTAGTTGAACGTGGG CATCGAA I-8 (Schizophyllum commune) ACTAACAAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTC AAATTTAAAATCTGGCGGTCTCCGGCCGTCCGAGTTGTAATTTAGAGA AGCGTTATCCGTGCTGGACCGTGTATAAGTCTCCTGGAATGGAGCGTC ATAGAGGGTGAGAATCCCGTCTTTGACACGGACTACCAGTGCATTGTG ATGCGCTCTCGACGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGG TGGTAAATGCCATCTAAAGCTAAATATTGGCGAGAGACCGATAGCGA ACAAGTACCGTGAGGGAAAGATGAAAAGAACTTTGGAAAGAGAGTTA AACAGTACGTGAAATTGTCGAAAGGGAAACGGTTGCAGTCAGTCGCG TCCGCCGGGGATCAACCTTGCTTTTGCTTGGCGTATTTCCCGGTGGATG GGTCAGCATCAGTTTTGACCGCAGTTGAAAGGCTGGAGGAATGTGGCA CCTTCGGGTGTGTTATAGCCTCCTGTCATATGCTGCGGTTGGGACTGAG GAACTCAGCACGCCGCAAGGCCGGGATTCGTCCACGTTCGTGCTTAGG ATGCTGGCATAATGTCTGTAACCGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAG GAGTCTAACATGCACGCGAGTGTTTGGGTGGCAAACCCGAGCGCGTA ATGAAAGTGAAAGTTGAGACCTCTGTCGTGGAGGGCATCGACGCCCG GACCAGAACTTTTGGGACGGATCCGCGGTAGAGCGTGTATGTTGGGAC
117 CCGAAAGATGGTGAACTATGCCTGAATAGGGCGAAGCCAGAGGAAAC TCTGGTGGAGGCTCGTAGCGATTCTGACGTGCAAATCGATCGTCGAAT TTGGGTATAGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTAGTAGCTGGTTCC TGGAGACTCATTATCAGATTTATGTGGTAAAGCGAATGATTAGAGGCC TTGGGGTTGAAACAACCTTAACCTATTCTCAAACTTTAAATATGTAAG AACGACCCGTCACTTGATTGGACCGGTGGCGATGAG
I-9 (Diaporthe angelicae) GGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCTTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGTTTCTGGCG CGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAG CCCCGTATGGTCGGACACCAAGCCTGTGTGAAACTCCTTCAACGAGTC GAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAA GCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAA AGATGAAAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGT TGAAAGGGAAGCACTTATGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAG GGGTTCTCCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTTTC GCGGGGGGATAAGACCGACGGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTT ATAGCCCGGCGGACGATACCCTCGCGGGGACCGAGGTCCGCGCTCCG CAAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGA CCAAGGAGTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACG CGTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCG ATCCTGATGTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGAC CCGAAAGACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAAC TCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAAT ATGAGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAGCTGGGTT ACCGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGA GGTAAAGCGAATGATTAGGGACT
I-10 (Fusarium sp. T47a) GAGGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAATTT GAAATCTGGCTCCCGGGCCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATACTTTTG ATGCGTTGTCTTCCCAGTTCCCTGGAACGGGACGCCAAAGTGGGTGAC CCCCCCTTTTGGCCGGATGCGAAGGTGATGCCTCAGTCAACAATACAC TTGATTTTATAACTGGATGGTGGTATGTGGTTAAGTATCTTGCTTATTT AGATAAAGGCCAGCTACGGATGGCCCGCAAAGCGGGCGAGGGAAAG AAATAACATACCTGAATTTAGAACTTTGTTGTTAATGTTTTTGCTGGGA CGGGACTCTTAAAACCTTACTTGAGCCTGCTTATTGTCTGTTTCTCTCG CCCATTCCCTTTTCTTGTCCAGTCAGCGTCAGATTCCCTGTGTGAGAAA GACTACAGGAATGTTAATCTCTAGGTGGTGATCCTCCGGCTCCCTTTAC CCTGGGAGTGACTCTNGCTCGCGGATCGGGTAGAGGCTACTTTACAGC TCCTTGCTCCCAACAGAACCAGCATATACGATTATTCTTCTTTCTTATT GTTCAAGTGTCAAACCCCTACCTACATTGAAGTGAAAAAAATCGATCA
118 CTCCCCGCATCTCCTGCCGATTTTCTGTTTCGGATGGACTCAGTAATAC CAAACGTATCCTGACCCCAAATAAATTATTTATGAGAGTACACTC
I-11 (Xylaria sp. DIS 125b) GGGANTGCCCTTAGTAACGGCGAAGTGAAGCGGCAATAGCTCAAATT TGAAATCTGGCCTTCGGGTCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGAGGCTTTT GGTGCGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCTTAGAGGGTGA GAGCCCCGTACGGTTGGACACTAAGCCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGA GTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATTTCTTCT AAAGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATC GAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAATAGCACGTGAAAT TGTTGAAAGGGAAGCGTTTGCGACCAGACCTTTTCCTGGCGGATCATC CGGTGTTCTCACCGGTGCACTTCGCCAGGTTTAGGCCAGCATCGGTTTC CGCAGAGGGATAAAAGCTCTGGGAACGTAGCTCCTTCGGGAGTGTTAT AGCCCTCTGCATAATACCTTTGTGGGGACCGAGGACCGCGCTTCGGCA AGGATGCTGGCGTAATGGTCGTCAACGACCCGTCTTGAAACACGGACC AAGGAGTCGAACATTTGTGCGAGTGTTTGGGTGTTAAACCCTCACGCG TAATGAAAGTGAACGGAGGTGAGAGCCTTTACGGGTGCATCATCGAC CGATCCTGATGTCTTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATAACTGTTCGG ACCCGAAAGATGGTGAACTATGCGTGGATAGGGTGAAGCCAGAGGAA ACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAA ATCTGCGCATGGGGGCGAAAGACTTATCGAACCATCTAGTTGTTCTTC AGTTTTATGAGGTAAAGCGAATGATTAGGGACTCGGGGGCGCTTTTTA GCCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTT AG
I-12 (Fungal endophyte isolate 9147) GGGATTGCCTCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAAGAGCTCAAATTTG AAAGCTGGCCCCCTCGGGGTCCGCATTGTAATTTGCAGAGGATGCTTC GGGAGTGGCCCCCATCTAAGTGCTCTGGAACGGGCCGTCATAGAGGGT GAGAATCCCGTATGGGATGGGGTGTCCGCGACCATGTGAAGCTCCTTC GACGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCTAAATGGGTGGTAAATTT CATCTAAAGCTAAATATTGGCCGGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAG TGATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGAGTTAAAAAGCACGT GAAATTGTTGAAAGGGAAGCGCTTGCGACCAGACTCGCCTACGGGGTT CAGCCGGTATTCGTACCGGTGTACTTCCCCGTGGGCGGGCCAGCGTCG GTTTGGGCGGCCGGTCAAAGGCCCTCGGAATGTAACGCCTCTCGGGGC GTCTTATAGCCGAGGGTGCCATGCGGCCAGCCCGGACCGAGGAACGC GCTTCGGCACGGACGCTGGCATAATGGTCGTAAGCGACCCGTCTTGAA ACACGGACCAAGGAGTCTAACATCTACGCGAGTGTTCGGGTGTCAAAC CCGTGCGCGCAGTGAAAGCGAACGGAGGTGGGAACCCTCACGGGTGC ACCATCGACCGATCCTGATGTCTTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCGTA GCTGTTGGGACCCGAAAGATGGTGAACTATGCCTGAATAGGGCGAAG CCAGAGGAAACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATC
119 GATCGTCAAATTTGGGTATAGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTAG TAGCTGGTTCCTGCCGAAGTTTCTCTCAGATAGCAGTAACGCGAATTC AGTTTTATGAGAACAACCTTAACCTATTCTCAAACTTTAAATATGTAA GAAGCCCTTGTTGCTTAGTTGAACGTGGGCATAGAA I-13 (Aphyllophorales DIS 296a) GATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTCAAATTTAAA ATCTGGCAGTCTTTGGCTGTCCGAGTTGTAGTCTGGAGAAGCGTTTTCC GCGCTGGACCGTGTATAAGTCCCTTGGAATAGGGCGTCATAGAGGGTG AGAATCCCGTCTTTGACACGGACTACCAGTGCTTTGTGATGCGCTCTC AAAGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGGTGGTAAATTC CATCTAAAGCTAAATATTGGCGAGAGACCGATAGCGAACAAGTACCG TGAGGGAAAGATGAAAAGCACTTTGGAAAGAGAGTTAAACAGTACGT GAAATTGCTGAAAGGGAAACGCTTGAAGTCAGTCGCGTTATGCAGAA CTCAGCCTGGCTTTTGCTTGGTGTATTTTCTGTATGACGGGCCAGCATC AATTTTGGCCGCTGGAAAAAGGCTCTAGAAATGTGGCACCTCCGGGTG TGTTATAGTCTAGGGTCATATACAGCGGCTGGGATTGAGGTCTGCAGC ACGCCTTTATGGCTGGGGTTCGCCCACATTCGTGCTTAGGATGCTGGC GTAATGGCTTTAAACGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGAGTCTAA CATGCCTGCGAGTGTTTGGGTGGAAAACCCGAGCGCGTAATGAAAGT GAAAGTTGAGATCCCTGTCGTGGGGAGCATCGACGCCCGGACCAGAC CTTTTGTGACGGATCTGCGGTAGAGCATGTATGTTGGGACCCGAAAGA TGGTGAACTATGCCTGAATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTGG AGGCTCGTAGCGATTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATTTGGGTAT AGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTAGTAGCTGGTTCCTGCCAGAT TTATGTGGTAAAGCGAATGATTAGAGGCCTTGGGGTTGAAACAACCTT AACCTATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAACAAGCCGTCTCTTAATT GGACCGCTGGCG
I-14 (Colletotrichum sp. MCA2773) CAGGGATTGCCTCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATT TGAAATCTGGCTCCTTCGGGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGTG TCGGGTACGGGTTCCCTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCATAGAGG GTGAGAGCCCCGTCTGGTAGGACACCCAGCCCGTGTGACACTCCCTCG ACGAGTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAACGGGAGGTATACTCCT TCCAAGGCTAAATACCGGCTGGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTG ATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGAGTCAAACAGCACGTGA AATTGTTAAAAGGGAAGCGCTCGCTACCAGACTTGGGTTCAGCGGTTC AACCGGGGCCACGCCCCGGGGCATTCCGCCGGCCCAGGCCAGCATCA GCTTTCCGTCGGGGGCAAAGGCGTCGGGAATGTAGCTCCCCCTCGGGG GAGTGTTATAGCCCGGCGTGTCATACCCTTCGGGAGGCTGAGGTACGC GCTTCTGCAAGGATGCTGGCGTAATGGTAGCTAGTGACCCGTCTTGAA ACACGGACCAAGGAGTCAACCTTATGTGCGAGTGCCCGGGCGTAAAA CCCCAGCGCGGAATGAAAGTGAACGTAGGTGAGAGCTTCGGCGCATC ACCGACCGATCCAGATGTCCTCGGACGGATTTGAGTGAGAGCATATAG
120 GGTTGGACCCGAAAGAAGATGAACTATGCGTGTGTAGGGTGAAGCCA GAGGAAACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGAT CGTCAAACATGCGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAATCTTCTGGTAG CTGGTTTCCGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGATCCCAGTTT TATGAGGTAAAGCGAATGATTAGGGACT I-15 (Polyporaceae DIS 126a) ACAAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAGAGCTCAAAT TTAAAATCTGGCGGCCTTTGGTCGTCCGAGTTGTAGTCTGGAGAAGTG CTTTCCGCGCTGGACCGTGTACAAGTCTCTTGGAACAGAGCGTCATAG AGGGTGAGAATCCCGTCTTTGACACGGACTACCAGTGCTTTGTGATGC GCTCTCAAAGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGGTGGT AAATTCCATCTAAAGCTAAATATTGGCGAGAGACCGATAGCGAACAA GTACCGTGAGGGAAAGATGAAAAGCACTTTGGAAAGAGAGTTAAACA GTACGTGAAATTGCTGAAAGGGAAACGCTTGAAGTCAGTCGCGTCGTG CAGAACTCAGCCTTGCTTTTGCTTGGTGCACTTTCTGTACGACGGGCCA GCATCAATTTTGACCGTCGGAAAAGGGCTGAGGGAATGTGGCACCTTC GGGTGTGTTATAGCCTTCAGTCGCATACGGCGGTTGGGATTGAGGATC GCAGTGCGCCGCAAGGCAGGGGTTCGCCCACTTTCGCGCTTAGGATGC TGGCATAATGGCTTTAAACGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGAGT CTAACTTACCTGCGAGTGTTTGGGTGGAAAACCCGAGCGCGTAATGAA AGTGAAAGTTGGGACCTCTGTCGTGGAGGGCACCGACGCCCGGACCT GACGTTCTCTGACGGATCCGCGGTAGAGCATGTAGGTTGGGACCCGAA AGATGGTGAACTATGCCTGAATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGG TGGAGGCTCGTAGCGATTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATTTGGG TATAGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTAGTAGCTGGTTCCTGCCG TCAGATTTATGTGGTAAAGCGAATGATTAGAGGCCTTGGGGTTGAAAC AACCTTAACCTATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAACGAGCCGTCGC TTGATTGGACCGCTCGGCG
I-16 (Uncultured ascomycete clone C32_B06) GAACCAACAGGGATTGCCTTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGC TCAAATTTGAAATCTGGCTCTTTCAGAGTCCGAGTTGTAATTTGCAGA GGGCGCTTTGGCTTTGGCAGCGGTCCAAGTTCCTTGGAACAGGACGTC ACAGAGGGTGAGAATCCCGTACGTGGTCGCTAGCTATTGCCGTGTAAA GCCCCTTCGACGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCTAAATGGGAG GTAAATTTCTTCTAAAGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACA AGTAGAGTGATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGGAAAGAGAGTCAAAC AGCACGTGAAATTGTTGAAAGGGAAGCGCTTGCAGCCAGACTTGCTTG CAGTTGCTCATCCGGGCTTTTGCCCGGTGCACTCTTCTGCAGGCAGGCC AGCATCAGTTTGGGCGGTGGGATAAAGGTCTCTGACACGTTCCTTCCT TCGGGTTGGCCATATAGGGGAGACGTCATACCACCAGCCTGGACTGAG GTCCGCGCATCTGCTAGGATGCTGGCGTAATGGCTGTAAGCGGCCCGT CTTGAAACACGGACCAAGGAGTCTAACATCTATGCGAGTGTTTGGGTG TCAAGCCCGAGCGCGTAATGAAAGTGAACGGAGGTGGGAACCCGCAA
121 GGGCGCACCATCGACCGATCCTGAAGTTTACGGAAGGATTTGAGTAAC AGCATGGCTGTTGGGACCCAAAAGATGGTGAACTATGCTTGAATAGG GGAAACCCAGAAGAAACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGATCTGACGT GCAATCGATCGTCAAATTTGGGCATAGCGGCGAAACACTACTCTAAAT TATATAGTACCTTGGTCCCCGCCAAAGTTTCCTCACGACACCCCCAAC GTATTCTGTTTATGAGGTAAGCGAAAGATTA
I-17 (Diaporthe eres isolate AR3519) GGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCTTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGCTTCTGGCG CGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAG CCCCGTATGGTCGGACACCAAGCCTGTGTGAAGCTCCTTCAACGAGTC GAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAA GCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAA AGATGAAAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGT TGAAAGGGAAGCACTTATGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAG GGGTTCTCCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTCTC GTGGGGGGATAAGACCGTCAGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTT ATAGCCTGGCGGACGATACCCCCGTGGGGACCGAGGTCCGCGCTCCGC AAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGAC CAAGGAGTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGC GTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGA TCCTGATGTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGACC CGAAAGACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACT CTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATA TGAGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAGCTGGTTACC GCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGAGGT CCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTTA GTTGAACGTGGGCATTCGA
I-18 (Diplodia pinea) CAGGGATTGCCTTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTT GAAAGCTGGCCCTTTCAGGGTCCGCGTTGTAATTTGTAGAGGATGATT CGGCGAGGGCTCCTACCTAAGTCCCCTGGAACGGGGCGTCATAGAGG GTGAAAATCCCGTATGCGGTAGGTTGCCTTAGCCATGTGAATCTCCTT CGACGAGTCGAGTTTTTTGGGAATGAAGCTCTAAATGGGAGGTAAATT TCTTCTAAAGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAG TGATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGGAAAGAGAGTTAAAAAGTACGT GAAATTGTTGAAAGGGAAGCGCTTGCAACCAGACTTGTCCGCAGTTGC TCAGCCGGTCTCCTGACCGGCGTACTCTTCTGCGGCCAGGCCAGCATC AGTTCGGGCGGTCGGATAAAGGCCTCGGGAATGTAGCTCCTCTCGGGG AGTGTTATAGCCCGGGGTGGAATGCGGCCAGCCTGGACTGAGGATCTC GCTTCGGCAAGGATGCTGGCGTAATGGTTGTAAGCGGCCCGTCTTGAA ACACGGACCAAGGAGTCTAACACCTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAAC
122 CCGTACGCGTAATGAAAGTGAACGGAGGTGGGAACCCGCAAGGGTGC ACCATCGGCCGATCCTGATGTCTTCGGATGGATTTGAGCAAGAGCATA GTTGTTGGGACCCGAAAGATGGTGAACTATGCCTGAATAGGGTGAAG CCAGAGGAAACTTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAAT CGATCGTCAAATTTGGGTATAGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTA GTAGCTGGTTCCTGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTAACGAATTC AGTTTTATGAGGTAAAGCGAATGATTA
I-19 (Psathyrella leucotephra) AGCTCAAAATGGGTGGTAAATTCCATCTATAGCTAAATATTGGCGAGA GACCGATAGCGAACAAGTACCGTGAGGGAAAGATGAAAAGAACTTTG GAAAGAGAGTTAAACATTGCGTGAAATTGCTGAAAGGGAAACGCTTG AAGTCAGTCGCGTTGGCCGGGAATCATCCTTGCTTTTGCTTGGTGTACT TTCTGGTTGACGGGCCACCATCAGTTTTGACCGGTGGAAAAAGTTGAA GGGAATGTGGCATCTTCGGGTGTGTTATAGCCCTTGTTCATATACATCG GTTGGCACTGAGGAACTCAGGACGCCGGAGGGCCGGGTCTTTGACCA CCTTCGTGCTAAGGATGCTGGCATATTGGCTTTAATCGACCCGTCTTGA AACACGGACCAAGGAGTCTAACATGCCTGCGAGTGTTTGGGTGGAAA ACCCGATCGCGTAATGAAAGTGAAAGTTGAGATCCCTGTCATGGGAA GCATCGACGCCCGGACCTGACGTTTTCTGACGGCCCTGCGGTATAGCA TGTATGTTGGGACCCGAAAGATGGTGAGATATGCCTGAGTAGGGTGA AGCCAGATGAAACTCTGGTGGAGGCTCGTAGCGATTCTGACGTGCAAA TCGATCGTCTATTTGGGTATAGGGGAAATAAGACTAATCGAACCATCT ATTATCTGGTTCCTGCCGAAGTATCCCTCATGATAGCA
I-20 (Colletotrichum crassipes) ACCAACAGGGATTGCCTCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTC AAATTTGAAATCTGGTCCTTGCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGAT GCTTTTGGCGCGGTGCCTTCCAAGTTCCCTGGAACGGGACGCCTTAGA GGGTGAGAGCCCCGTACGGTTGGACACCAAGCCTTTGTAAAGCTCCTT CGACGAGTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATT TCTTCTAAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGA GTGATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAACAGCACG TGAAATTGTTAAAAGGGAAGCGCTTGTGACCAGACTTGCGCCCGGTGA ATCACCCAGCTCTCGCGGCTGGGGCACTTTGCCGGCTCAGGCCAGCAT CAGCTTGCCGTCGGGGACAAAAGCTTCGGGAACGTAGCTCTCTTCGGG GAGTGTTATAGCCCGTTGCACAATACCCTTCGGCGGGCTGAGGTACGC GCTCCGCAAGGATGCTGGCATAATGGTCATCAGCGACCCGTCTTGAAA CACGGACCAAGGAGTCAACCTTATGTGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACC CCTACGCGTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATC GACCGATCCTGATGTTCTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATATAGGGT TGGACCCGAAAGAAGGTGAACTATGCGTGTATAGGGTGAAGCCAGAG GAAACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGT CAAATATGCGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTG
123 GTTTCCGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAGCTCAGTTTTAT GAGGTAAAGCGAATGATTAGGGACTCG
I-21 (Laccocephalum mylittae) AGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGCGGGAAAAGCTCAAATTTG AAATCTGGTGGTCTTTGGCCATCCGAGTTGTAATCTAGAGAAGTGTTA TCCGCGCTGGACCGTGTACAAGTCTCCTGGAATGGGGCGTCATAGAGG GTGAGAATCCCGTCTTTGACACGGACTACCAGGGCTTTGTGATGCACT CTCAAAGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGGTGGTAAA TTCCATCTAAAGCTAAATATTGGCGAGAGACCGATAGCGAACAAGTAC CGTGAGGGAAAGATGAAAAGAACTTTGGAAAGAGAGTTAAACAGTAC GTGAAATTGTTGAAAGGGAAACGCTTGAAGTCAGTCGCGTCTGCCAGG GATCAACCTTACTTTTGTGAGGCGTACTTCCTGGTTGATGGGTCAGCAT CAGTTTTGGTCGCTGGACAAAGGTCAGAGAAATGTGGCACCTTCGGGT GTGTTATAGTCTTTGATCAGATACAGTGGCTGGGACTGAGGAACTCAG CGCCGCAAGGCTGTCTTAGGATGCTGGCAAAATGGCTTTAATCGACCC GTCTTGAAACACGGACCAAGGAGTCTAACATGCCTGCGAGTGTTTGGG TGGAAAACCCGAGCGCGTAATGAAAGTGAAAGTTGGGATCCCTGTCA TGGGGAGCACCGACGCCCATACCAGAAGTTTACGGACGGATATGCGG TAGAGCATGTATGTTGGGACCCGAAAGATGGTGAACTATGCCTGAATA GGGCGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTGGAGGCTCGTAGCGATTCTGAC GTGCAAATCGATCGTCGAATTTGGGGTATAGGGGCGAAAGACTAATC GAACCATCTAGTAGCTGGTTCCTGCCGAAGTTTCCCTCAGATAGCAGA AACTCATATCAGATTTATGTGG
I-22 (Fusarium solani) CCCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAAATCTGG CTCTCGGGCCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGCTTTTGGTGAGGTGC CTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCATAGAGGGTGAGAGCCCCGTC TGGTTGGACGCCGAACCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGAGTCGAGTAGT TTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATGTCTTCTAAAGCTAAAT ACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAAAGATGAA AAGAACTTTGAAAAGAGAGTTAAACAGTACGTGAAATTGTTGAAAGG GAAGCGCTTGTGACCAGACTTGGGCTTGGTTGATCATCCGGGGTTCTC CCCGGTGCACTCTTCCGGCCTAGGCCAGCATCAGTTCGCCCTGGGGGA TAAAGGCTTCGGGAACGTGGCTCTCTCCGGGGAGTGTTATAGCCCGCT GCGTAATACCCTGTGGCGGACTGAGGTTCGCGCATTCGCAAGGATGCT GGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGAGTC GTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTACGCGAAATGAAA GTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGATCCTGATGTT ATCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGGGCCGGACCCGAAAGAAG GTGAACTATGCCTGTGTAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTGGAG GCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAACATGGGCATGG GGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTTCCGCCGAAGTT
124 TCCCTCAGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATGAGTAAAGCGAATGA TTAGGGACTCGGGGCGCTATTAGCCTTCATCATTCTCAA
I-23 (Xylariaceae DIS 360g) GGGATTGCCCCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCCCTCGGGTCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGCTTTTGG CGCGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCTTAGAGGGTGAGA GCCCCGTACGGTTGGACACCAAGCCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGAGT CGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATTTCTTCTAA AGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGA AAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAATAGCACGTGAAATTG TTGAAAGGGAAGCGTTTACGACCAGACCTTTTCCTAGCGGATCATCCG GTGTTCTCACCGGTGCACTTCGCTAGGTTTAGGCCAGCATCGGTTTCTA TAGGGGGATAAAAGCTCTGGGAACGTAGCTCCTCCGGGAGTGTTATAG CCCTCTGCATAATACCCTTACAGGGACCGAGGACCGCGCTTTTAGCAA GGATGCTGGCGTAATGGTCGTCAACGACCCGTCTTGAAACACGGACCA AGGAGTCGAACATTTGTGCGAGTGTTTGGGTGTTAAACCCTCACGCGT AATGAAAGTGAACGGAGGTGAGAGCCCTTACGGGTGCATCATCGACC GATCCTGATGTCTTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATAACTGTTCGGA CCCGAAAGATGGTGAACTATGCGTGGATAGGGTGAAGCCAGAGGAAA CTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAA TCTGCGCATGGGGGCGAAAGACTTATCGAACCATCTAGTAGCTGGTTA CCGCCGAAGTTTCCCTCAGGAATGATTAGGGACTCGGGGGCGCTTTTT AGCCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACT TAATTGAACGTGGGCATCG
I-24 (Ascosalsum viscidulum) CAACAGGGATTGCCTCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAC ATTTGAAATCTGGCCCTCCGGGTCCGAATTGTAATTTGATATGGTTGTT TTTTGTGGAGGACAGAGTGCTGTGCTCTGTAAATGAAACATCCTATCT GTTGACTTTCCTGCGGTTGATGTGTCCCTCTGAAAATTTGTGCGNCTAT AAAGGGTACTATTGGGGTGTATTCGCATCTAAAAAGTTGATTATACTG AGAACTTAAATGAATCTCGTGGATGTATGCTCCTCGAAATACCCAGGA GAGTGAAATGCGTTCTGTGAATTGATGATTCAATTAAATCAGCGATTC TATGTACATATCTCGCTCTCCTTGGTTTTCCGAGGAGGCNTCATGTGAG AGTCCCGTTGCAGTTCTCCACCACACCAACTCTTTTGAAGAGGAGGGG ATGGAATGCTATTTTTGCGGGCCTCCGCACATTTGAAGTAAACTCCTG AGACCTGGATAGGGGTATCTGAGCACAACACTCTACTACATGTGTGAT GACTCTCTGCTCCAATGACCCCGCATGGTCCAATAACTGTGCATCTATC GAGAGAAAGAATCCATTGGGGTGCCCCCACTCCCCTTAGAGAAGTGTG ACCACAAGNGGGTAAGATTATTCTCTGATGATCCTTATGTTTGTTCCGG ACGAAAATGTAGTACTACTGTTCCCCCTAAAAAGTGCGAAAGAAGGT GAAAACG
125 I-25 (Aschersonia sp. WYBX-3) GGGATTGCCCCAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCCCCCAGGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGCTTTTG GCGCGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCATAGAGGGTGA GAGCCCCGTCTGGTCGGACGCCTAGCCTGTGTAAAGCTCCTTCGACGA GTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATGTCTTCT AAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATC GAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAATAGTACGTGAAAT TGTTGAAAGGGAAGCGCTTGTGACCAGACTTGGGCCCGGTGGATCATC CAGCGTTCTCGCTGGTGCACTCCGCCGGGTTCAGGCCAGCATCAGTTC GCCGCGGGGGAAAAAGGCTTCGGGAACGTGGCTCCTACGGGAGTGTT ATAGCCCGTTGCATAATACCCTGGGGCGGACTGAGGTTCGCGCTCCGC AAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGCGACCCGTCTTGAAACACGGAC CAAGGAGTCGTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTAAAACCCCTACGC GTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGA TCCTGATGTTCTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGGGCCGGACC CGAAAGAAGGTGAACTATGCCTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACT CTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATA TGGGGCATGGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTT CCGCCGAAGTTTCCCTCAGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATCTTCA TCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTGCTTAATTGAA CGTGGGCATCG
I-26 (Gibberella circinata) TTGCCTTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAAATC TGGCCCTCGGGCCGAATTTGTATTTGGTAAAGAATACTTTTGAGGCGT GGCCTCCCAAGTTCCCTGGCGGGACCGCCAAAAGGGGTGAGAGCCCC GTCTGGTTGGATGCCAAATCTTGGTAAAGTTCCTTCGAAAGTAGAGTA GTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATTGTCTTCTAAAGCTAAA TACCGGCCAGACACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCAAAAGATGA AAAGCACTTTGAAAAGAGAGAAAAAAAGTACATGAAATTGTTGAGGG GGAAGCTTGTATGACCAGACTTGTCCTTGGAATCACATCTGGGGCTCT CCCGGTGCACTTTTCCAGCTCAGGCCAGCGTCAGTTTTCTCCGGGGGA TATAGACTTCGGAAATGTGCTCTTCTTCGGGAAGGGTTATACCCGTTTC TGTATAACCTTGGGGGGGATTGAGTATCCCGCATCTGCGGAGGCGCGG GTGTTGTGCATCTCCGACACGCCTCGTGACACACACACAAGAGAGACT CTTACGTGTGAGAGTGCGCGTGTGTCACACCTCTACGCGTAGTGAGAG AGCGCACGTGAGAGAGCCTCCGCGCATCATCCGCGATCGATGATGCTC GCATGGAGATGAGAATGAGATATACGGATGCACACGCAAAAGATGAG AACTATGTCTGTATGGTGAGACGCAGAAGATCTGTGGTGGATCACGCA GCTCTGACGACGTACATCGATATCGACTATATGATGTGGCGAGGACTA CTATACACCTCTAGCAGCTGTCTGCCGAGA
126 I-27 (Geomyces sp.) GGACTCTGACAGAGGCCAGAATTCCTTGGAGGATTGCTACGCAGAGG GGGAGAATCCCGTATGCNGCCAGGTGCCTTCGCTCATGTGATGCTCCT TCGACGAGTCTAGTTGGTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGGTGGAAAAT TTCATCTAAAGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAAA GTGATCGAAAGATGAACACTACTTTGGAAAGATAGTTAAACAGTACA AGAAATTGTTGAAAGGGAATTGATTGCCACCCTTGTTGCGCGCGGCTC ATCATCCGGTGTTCCCACCGGTGCTTTCGGGCGCGCGCAAGCCACCAT CTTTTTTGGCGGATGGATAAAGGCCCTAGGAATGTGGCTCCTCTCGGG GAGTGTTATAGCCTAGGGTGAACTGCAGCCTGCTGGAACCGAGGACC GCTCTTCGGATAGGATGCTGGTGTAATGGTTGTAAGCGGCCCGTCTTG AAACACAGACCGACGAGTCTAACTTCTATGCGAGTGTTTGCGTGTCCC CCCATACGCGTAATGAAAGTGAACGGAGATGAGAACCCTTACGGTGC ATCATCTACCGATCCTGATGTCTTCTGAGGATATGATTAAGAGCCTAG CTGTTGGGACACGAAAAATGGTCAACTATGCCTGAATACCGTGAAAAC ATAGGAAACTCGCGGTGGACGCTCCCAGACGTTCTGACGTGCGATCAA ACGTGAATGGGGGCTAAGACTCAACGACCTTCGGACCCTCGATTCCCC CGTACTGCGTAATGTTCCTCAGGTAAAGTGTTTAATCAGTTATATGAA GTAAAGCGATGATTAGAGGCCTTTGGCTTCA
I-28 (Nigrospora oryzae) TAGTAACGGCGAGTGAAGCGGGAACAGCTCAAATTTGAAATCTGGCC CTCGGGTCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATGCTTTTGGTGCGGTGCCTT CCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCTTAGAGGGTGAGAGCCCCGTACG GTTGGACGCCTAGCCTCTGTAAAGCTCCTTCGACGAGTCGAGTAGTTT GGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATTTCTTCTAAAGCTAAATAC CGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAAAGATGAAAA GCACTTTGAAAAGAGGGTTAAATAGCACGTGAAATTGTTGAAAGGGA AGCGTTTATCACCAGACTTTTTCTGGGGGGATCATCCGGTGTTCTCACC GGTGCACTTCCCCCAGTTGAGGCCAGCATCGGTTTTCGGAGGGGGATA AAAGCTTCGGGAATGTGACTCCCTCGGGAGTGTTATAGCCCGTTGCAT AATACCCTTCTGGGGACCGAGGTTCGCGCATCTGCAAGGATGCTGGCG TAATGGTGATCAACGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGAGTCGAA CATTTATGCGAGTGTTTGGGTGTCAAACCCTCACGCGTAATGAAAGTG AACGGAGGTGAGAGCCCTTACGGGTGCATCATCGACCGATCCTGATGT CTTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATAACTGTTCGGACCCGAAAGATG GTGAACTATGCGTGGATAGGGTGAAGCCAGGAGAAATCCTGGTGGAG GCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATCTGCGCATGG GGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTAGTAGCTGGTTACCGCCGAAGTT TCCCTCAGGATAGCAGTGTTGTATTCAGTTTTATGAGGTAAAGCGAAT GATTAGGGACT
127 I-29 (Fungal endophyte sp. P815A) ATTGCCCTAGTAACGGCGAAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAA ATCTGGCTTCCGCCCCAGTTGTGATTTTTGGAGGATGTTTCTGGGGCGG TGCCTTCCCAGTTCCCTGGGACGGGACGCCCCTTAGGGGGAGAGCCCC CCATGGGCGGACACCCCGCCTGTGTGAAACTCCTTCTACAAGACTAGT ATTTTGGGAATGCGGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAAGCTA AATACCGGGCACAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCTAAAGAT GAAAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGTTGAA AGGGAAGCACTTATGACCAGACTTGTGCCGGGCGGCTCATCTCGGGTT CTCCCCTGTGCGCTCCTCCCGGCACAGGCCACCATCGGTTTTTCCGGGG GGATAAAACCGACGGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTTATAGCC CGGCGGACAATACCCTCGCGGGGACCGAGGTCCGCGCTCCGCAAGGA TGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGG AGTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGCGTAAT GAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCCCTTCATCATCCACCGATCCTGA TGTTCTCTGAAGGATGTGAGTAATAATTTTAACGGACGGACCCCAAAC ACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAAGACACTCTGGTGT ATGCTCGGAGGCTCTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATATGAGCA TGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTATCTGGTTACCTGCGCT ACCTTTCCCTCTTCATATCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGATGTAAAG CGAATGATTAAGTG
I-30 (Calocybe gambosa) CGCTCTCCTCTCCTCCTTCCCTCCGCTCTAGCACTACGGGAGAATTTGT GCCTCATAATGGGGTTGCCCAGGGTGCGGTCAAGTCACCTCCACTAGC TTTGTCCAGAGTGGTAACTGACTAATCCTTCCCGCTCCAGGCTGGGTG ACTTGGTCCGTGGAGGATGGCATCCTCTCGCTCGAAAACGTTTCCGGC AACACTCTGACTGCCGTTATCTACGGTGTCGTCTGTTATTACATAATTG CTCACCTTTCCTGCACCGCGTCAACTCCCAGCGGCTTCCACACCACCTT GGGAATGCCTGTCTGGAAACCCCCGAATATACAGAAGGCAAATGGCA AATCGCCCTTCTTGCCATCATCTGCTGCTTACAAGTGTTTAACTATACT CTTACCGGGGAATTGGAACCTCCGAGCTTTGAGGATAGAGGCCGGGA AGCAACGGATCCCCCCCGCATAAGGAGAAATACCGGGGCAGCCGGCC TTGTTGTAGGATTTGCGTCCTGTACTTATTTACTGCGGTATATAACCTA CATAGTATAAATCCAGAAAATTTGATGTTGAGATTGAGTAGGTAACTA ATCGTGGAGCTCGGGTGTGGCAAGTGAATCCGCTGCCTCTCTGGGAAG AGTAGATAATATTTGACGAAGTCATGTGATTTATTGTCCGAGGTAAGA GAAACTGGCGATATCCCTGTCGTGGGGAGCATCCACCCCGGACCTGAC CTGGGGGACGGATCTGCGGTGTTGCATGGTGTTGGTACTCCAAATATG GTGAACTGTGCATGACTAATATGCAGACTCATGAGACTCTGGAAGAGG CGATAGCGATTCTGACTGCAAATCGATCGTCAAATTTGGGTATAGGGG CGAAGACTAATCAAACCATCTATAGCTGGTTCTGCCGAAGTTTCCTCA GGATACAGAAACTCGTATCAATTT
128 I-31 (Phomopsis sp. QJC-1893) TGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTGAAATCT GGCCTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGCTTCTGGCGCGGTGC CTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAGCCCCGT ATGGTCGGACACCAAGCCTGTGTGAAGCTCCTTCGACGAGTCGAGTAG TTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAAGCTAAA TACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAAAGATGA AAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGTTGAAAG GGAAGCACTTGTGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAGGGGTTCT CCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTCTCGTGGGGG GATAAGACCGTCAGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTTATAGCCCG GCGGACGATACCCCCGTGGGGACCGAGGTTCGCGCTCCGCAAGGATG CTGGCGTAATGGTCACCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGACCAAGGA GTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGCGTAATG AAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGATCCTGAT GTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGACCCGAAAG ACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACTCTGGTG GAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATATGAGCA TGGGGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAGCTGGTTACCGCCGAA GTTTTCCTCAGATAGCAGTGTTGATCTTCAGTTTTATGAGGCCTTCATC CATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTTAGTTGAACG TGGGCATCG
I-32 (Resinicium friabile) TAACAGGATTCCCCTAGTAACTGCGAGTGAAGAGGGAAAAGCTCAAA TTTAAAATCTGGCAGCTTTGGTTGTCCGAGTTGTAATCTGGAGAAGTG TTTTCAGTGCAGGACCGTGTACAAGTCTCTTGGAATGGAGCATCATAG AGGGTGAGAATCCCGTCTTTGACATGGACTACCTGTGCTTTGTGATAC ACTCTCAAAGAGTCGAGTTGTTTGGGAATGCAGCTCAAAATGGGTGGT AAATTCCATCTAAAGCTAAATATTGGCGAGAGACCGATAGCGAACAA GTACCGTGAGGGAAAGATGAAAAGCACTTTGGAAAGAGAGTTAAACA GTACGTGAAATTGTTGAAAGGGAAACGCTTGAAGTCAGTCGCGTTTAT TAGAACTCAGCTTGGCTTTTGCTTAGTGTACTTTCTAATGAACGGGCCA ACATCGATTTCAGTCAGTGGATAAGGGTAAGGGGAATGTGGCACCCTC GGGTGTGTTATAGCCTCTTATCGTATACATTTACTGGGATCGAGGTCTG CAGCACTTGTGCTTAGGATGTTGGCATAATGGCTTTAATCGACCCGTCT TGAAACACGGACCAAGGAGTCTAACATGCCCGCGAGTGTTAGGGTGG TAAACCCTTGCGCGTAATGAAAGTGAAAGTTGGGACCTCTGTCATGGG GGGCACCGACGCCCGGTCCTGAACTTCTGTGACGGTACTGCGGTAGAG CGTGTATGTTGAGACCGGAAAAGATGGTGAACTATGCCTGACCAGAGT GAAGTCTGAGGAAGGCTGGATGCGGCTCTGACGCGCTCTTACTTGCAA AACAACATCATGTTGGGGAATGAGGAATAGAGACTATAGTAGCATCT ACCGCTGATGTCTCTCTCTGATCGCTGTTGCTACTCAGATTAATAAGGC ATGCGACGATTAGGGATC
129 I-33 (Fungal endophyte isolate 6722) GATTTTGGTGCGGTATCTTCCGAGTTCCTTGGAACAGGACGCCTTAGA GGGTGAGAGCCCCGTACGGTTGAATGCCTAGCCTCTGTAAATCTCCTT TCGACGAGTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAAT TTCTTCTAAAGCTAAATATTGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGA GTGATCGAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGGGTTAAATAGCACG TGAAATTGTTGAAAGGGAAGGATTTGTGACCAGACTTTTTCTGGGCGG ATCATCCGGGGTTCTCTCCGGTGCACTTTGCCCAGTAAAGGCCAGCAT CGGTTTTCGGCGGGGGATAAAAGCAGTAGGAATGTGGCTCTCTACGGG GAGTGTTATAGCCTATTGTATAATACCCTGCTGGGGACCGAGGTACGC GCTTCTGCAAGGATGCTGGCGTAATGGTTATCAATCACCCGTCTTGAA ACACGGACCAAGGAGTCGAACATTTGTGCGAGTGTTTGGGTGTTAAAC CCTCACGCGTAATGAAAGTGAACGGAGGTGAGAGCCCTTACGGGTGC ATCATCGACCGATCCTGAAGTTTTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATA ACTGTTCGGACCCGAAAGATGGTGAACTATGCGTGGATAGGGTGAAG CCAGAGGAAACTCTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATC GATCGTCAAATCTGCGCATGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCATCTA GTAGCTGGTTACCGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGTCTTC AGTTTTATGAGGTAAAGCGAATGATTAGGGACTCGGGGGCGCTTTTTA GCCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTT AATTGAACGTGGGCATCG
I-34 (Nectria rigidiuscula) AGCTGGAGANGTGTTGCCCTACTAACTGTCAGTGTGCATTTCCAGATT CCAGATGCTTCTGGCTCTCGGGCCCGATTTGTCATTAGTGGAGGAGGC TTTAGGCGAGTAGCCGGCCGAGGCTCCTGGTGCGGGACGCCATAAAG GGTGGTTCCCCGTCTGGTTGGATGCCAATCCTCTGTGAGCTCCTTCGAG GTCTCAGGGTTTGGGAATGCTGCTCTAACTGGGAGGTATATGTCTTCT AAAGCTAAATACCGCTCATGGACCGATAGCGCACAATCTGAGTGATCG ACCCATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGAGTTAAAAAGTACGTGAAATT GTTGAAAGGGAAGCGTTTATGACCAGACTTGGGCTTGGTTAATCATCC TTGGTTCTCCCTGGTGCACTTTTCCAGTTCAGGCCACCATCAGTTTGCT TCCGGGGATAAAGGCTTCTGGAACGCGGCTCTCTCCGGAGAGTGTTTT GCCCCTTTGTATATTACCATGGGGCGGACTGAGGTACGCGCTTCTGCTT GATGCTGGCGTAATGGTCATCTATGACCCGTCTTGAAACAATGACCAA GGAGACACCTTCCTAGGCAAGTGTTCGAGTGCCTTACCCCTAAGCCCT CTGAACGTCAACGCGGGAGAAATGTCCCCCGCCTCCTCTAACCATCCT GAAGTTCTCGGATGTATTTTACTATCACCTTACTCTGCCGGACCCGAAA TCTATGCTTTTTGCTTGTATAGGGTGATGCCAGACGAAACTCTGGTGA AAGCTCTGCTATACTCTCACGTGCANGCNAAACCCCGTAGNGAGAAA ACCTGGGGGGGCAAAAAACTAATCCAACCTTCTAGTAGCTGGTTTCCG CCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATGAGGTA AAGCGAATGATTAGGGACTCGGGGGCG
130 I-35:(Fusarium sp. QJC-1403) ACAGGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAAT TTGAAATCTGGCTCTCGGGCCCGAGTTGTAATTTGTAGAGGATACTTTT GATGCGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCATAGAGGGTGA GAGCCCCGTCTGGTTGGATGCCAAATCTCTGTAAAGTTCCTTCGACGA GTCGAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTATATGTCTTCT AAAGCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATC GAAAGATGAAAAGCACTTTGAAAAGAGAGTTAAAAAGTACGTGAAAT TGTTGAAAGGGAAGCGTTTATGACCAGACTTGGGCTTGGTTAATCATC TGGGGTTCTCCCCAGTGCACTTTTCCAGTCCAGGCCAGCATCAGTTTTC CCCGGGGGATAAAGGCTTCGGGAATGTGGCTCTCTTCGGGGAGTGTTA TAGCCCGTTGTGTAATACCCTGGGGGGGACTGAGGTTCGCGCATCTGC AAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAACGACCCGTCTTGAAACACGGAC CAAGGAGTCGTCTTCGTATGCGAGTGTTCGGGTGTCAAACCCCTACGC GTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGA TCCTGATGTTCTCGGATGGATTTGAGTAAGAGCATACGGGGCCGGACC CGAAAGAAGGTGAACTATGCCTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACT CTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCAAATCGATCGTCAAATA TGGGCATGGGGGGCGAAAGACTAATCGAACCTTCTAGTAGCTGGTTTC CGCCGAAGTTTCCCTCAGGATAGCAGTGTTGAACTCAGTTTTATTTTAG CCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCTCTTGTTGCTTA ATTGAACGTGAGCATCG
I-36 (Phomopsis viticola) GGGATTGCCCTAGTAACGGCGAGTGAAGCGGCAACAGCTCAAATTTG AAATCTGGCCTCGGCCCGAGTTGTAATTTGCAGAGGATGCTTCTGGCG CGGTGCCTTCCGAGTTCCCTGGAACGGGACGCCACAGAGGGTGAGAG CCCCGTATGGTCGGACACCAAGCCTGTGTGAAGCTCCTTCGACGAGTC GAGTAGTTTGGGAATGCTGCTCTAAATGGGAGGTAAATCTCTTCTAAA GCTAAATACCGGCCAGAGACCGATAGCGCACAAGTAGAGTGATCGAA AGATGAAAAGCACCTTGAAAAGGGGGTTAAATAGTACGTGAAATTGT TGAAAGGGAAGCACTTATGACCAGACTTGGGCCGGGCGGCTCATCAG GGGTTCTCCCCTGTGCACTCCGCCCGGCACAGGCCAGCATCGGTTCTC GTGGGGGGATAAGACCGTCGGGAACGTAGCACCCTCCGGGGTGTGTT ATAGCCCGGCGGACGATACCCTCGTGGGGACCGAGGTTCGCGCTCCGC AAGGATGCTGGCGTAATGGTCATCAGTGACCCGTCTTGAAACACGGAC CAAGGAGTCGTCCATTAGAGCGAGCGTTTGGGTGTAAAACCCGCACGC GTAATGAAAGTGAACGCAGGTGAGAGCTTCGGCGCATCATCGACCGA TCCTGATGTTCTCGGAAGGATTTGAGTAAGAGTTTTAACGGACGGACC CGAAAGACAGTGAACTATGCTTGTATAGGGTGAAGCCAGAGGAAACT CTGGTGGAGGCTCGCAGCGGTTCTGACGTGCACATCGATCGTCAAAAA TGAGCATGGCGGCGAAAGACTAATCGAACTGTCTAGTAACTGGGTACC GCCGAAGTTTCCTCCNGCAACCCGTGCTGATCTTCAGTTTATGAGATA AACCAATGAGTAGGCAAACTTTAAATATGTAAGAAGCCCTTGTTACTT AGTTGAACGTGGGCATCG
131 I-37 (Bionectria ochroleuca) TCGATGCTCACGTTCAATTAAGCAACAAGAGCTTCTTACATATTTAAA GTTTGAGAATGGATGAAGGCAATATAGCGCCCCCGGGTCCCTAATCAT TCGCTTTACCTCATAAAACTGAGTTCAATACTGCTATCCTGAGGGAAA CTTCGGCGGAAACCAGCTACTAGAAGGTTCGATTAGTCTTTCGCCCCC ATGCCCATATTTGACGATCGATTTGCACGTCAGAACCGCTGCGAGCCT CCACCAGAGTTTCCTCTGGCTTCACCCTATACAGGCATAGTTCACCTTC TTTCGGGTCCGGCCCCGTATGCTCTTACTCAAATCCATCCGAGAACATC AGGATCGGTCGGAGATGCGCCGAAGCTCTCTCCTACGTTCACTTTCAT TACGCGTAGGGGTTTGACACCCGAACACTCGCATACGAAGACGACTCC TTGGTCCGTGTTTCAAGACGGGTCGTTGATGACCATTACGCCAGCATC CTTGCAGAGCGCGAACCTCAGTCCATCCCAGGGTATTACGCAGTGGGC TATAACACTCCCGAGGGAGCCACATTCCCAGAGCCTTTATCCCCCGGA ACGAACTGATGCTGGCCTGAGCAGGCAGAGTGCACCGCGGAGAACCA CGGATGATCAACCTGCTCAAGTCTGGTCATGAACGCTTCCCTTTCAAC AATTTCACGTACTTTTTAACCCTCTTTTCAAAGTGCTTTTCATCTTTCGA TCACTCTACTTGTGCGCTATCGGTCTCTGGCCGGTATTTAGCTTTAGAA GACGTATACCTCCCATTTAGAGCAGCATTCCCAAACTACTCGACTCGT CGAAAGGAGTTTCACAGAGGCTAGGCATCCAACCGTACGGGGCTCTC ACCCTCTATGGCGTATATTGCCTTCATCCATTCTCAAACTTTAAATATG TAAGAAGCTCTTGTTGCTTAATTGAACGTGAGCATCGA
132 Lampiran Tabel 4.3 Kelas cendawan endofit hasil isolasi dari buah kakao Basidiomycetes Ascomycetes Belum teridentifikasi Fungal endophyte Schizophyllum commune Bionectria sp. DIS 114e sp. P815A Aphyllophorales DIS Gibberella zeae 296 a Polyporaceae DIS 126a Diaporthe phaseolorum Psathyrella leucotephra Diaporthe angelicae Laccocephalum mylittae Xylaria sp. ‘Uncultured’ Ascomycetes Calocybe gambosa Diaporthe eres Diplodia pinea Glomerella cingulata Xylariaceae DIS 360g Nectria rigidiuscula Ascosalsum viscidum Giberella circinata Geomyces sp. Resinicium friabile Fusarium lichenicola Fusarium ambrosium Fusarium sp. QJC-1403 Fungal Endophyte isolate 9147 Colletotrichum crassipes Aschersonia sp. Nigrospora oryzae Colletotrichum sp. MCA 2773 Fusarium sp. T47a Fusarium solani Pestalotiopsis sp. Phomopsis columnaris Phomopsis sp. QJC-1893 Phomopsis viticola Bionectria ochroleuca
133
A
B
C
Gambar Lampiran 4.1 Pemasangan atap plastik pada plot di Marena, Sulawesi Tengah untuk memimik kekeringan (ENSO) (A: pemasangan panel plastic; B: plot control tanpa panel plastic; C: tepi plot ditutup sedemikian rupa agar air tidak masuk ke dalam plot)
134
kf Mak mak
mik kf
Fusarium Kf
Beta kd
Phomopsis Kf kd
pik
Diplodia
kd
Pestalotiopsis Gambar Lampiran 4.2 Fotomikroskopis beberapa cendawan endofit (kd: konidia; kf: konidiofor; mak: makrokonidia; mik: mikrokonidia; pik: piknidia)
135 1. Kontrol (Lingkaran agar tanpa cendawan)
A
B0
C0
2. Patogen Phytophthora palmivora
A
B1
C1
3. Cendawan endofit Fusarium T47
A
B2
C0
4. Cendawan endofit Xylariaceae
A
B2
C0
Gambar Lampiran 5.1 Uji patogenisitas patogen Phytophthora palmivora dan cendawan endofit (CE) pada daun pesemaian (A: tanaman utuh; B0: daun dengan agar; B1: Daun dengan agar + patogen; B2: Daun dengan agar + CE; C0: Agar dibuang, tanpa gejala; C1: Agar dibuang, nekrotik pada permukaan bawah dan atas daun