1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Sebagai negara yang terdiri dari berbagai suku, Indonesia memiliki keragaman budaya. Akan tetapi, saat ini berbagai keragaman budaya tersebut, khususnya yang berbentuk tradisi lisan sebagian hampir terlupakan. Tersisihnya sebagian dari tradisi lisan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya adanya
keengganan
masyarakat
pendukungnya
untuk
mengingat
dan
memperdengarkannya lagi karena dianggap kuno, tidak adanya perhatian pemerintah akan pentingnya tradisi lisan sebagai sarana penyampai nilai luhur bangsa, dan juga menguatnya arus globalisasi di Indonesia yang membawa pola kehidupan dan hiburan baru yang mau tidak mau memberikan dampak tertentu terhadap kehidupan sosial dan budaya masyarakat Indonesia (Olric, 1992:62; Ali, 2000:15-16). Salah satu bentuk tradisi lisan yang hampir terlupakan adalah tembang dolanan dalam masyarakat Jawa. Tembang dolanan atau disebut juga lagu dolanan atau lelagon dolanan dapat digolongkan sebagai nyanyian rakyat (Haryana, 1986: 2; Endraswara, 2010: 153). Nyanyian rakyat menurut Brundvand dalam Danandjaya (1991: 141) merupakan salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu. Hal ini sejalan dengan pengertian tembang itu sendiri, yaitu karangan atau tatanan bahasa dengan aturan tertentu yang ketika membacakannya harus dilagukan dengan keindahan suara (Padmosoekotjo, 1960:25).
2
Tembang dolanan biasanya dilantunkan sambil bermain-main, atau dilantunkan dalam suatu permainan tertentu (Endraswara, 2005:99). Semula, tembang dolanan banyak dilantunkan anak-anak di pedesaan pada saat anak-anak yang lebih besar harus menjaga adik-adiknya atau untuk mengiringi permainan yang mereka lakukan pada waktu luang atau pada malam hari di saat terang bulan (Overbeck, 1938:3-4; Endraswara, 2010:18). Seiring berjalannya waktu, sebagian tembang dolanan masih dilantunkan dengan situasi yang sama seperti yang dilantunkan oleh umumnya anak-anak di pedesaan Jawa, misalnya ”Sluku-sluku Bathok”, ”Pok Ame-ame”, ”Jamuran”. Sementara sebagian lainnya mengalami perubahan, di antaranya dalam hal situasi pelantunannya, misalnya yang awalnya merupakan nyanyian yang dilantunkan anak-anak pada saat bermain, sekarang ada yang digunakan sebagai bagian dari materi pelajaran di sekolah, ada yang dikemas menjadi seni pertunjukan, atau ada juga yang digunakan sebagai media dakwah. Demikian halnya dengan liriknya, ada tembang yang awalnya hanya sederhana dan pendek mengalami penambahan lirik untuk tujuan pengajaran atau liriknya diplesetkan untuk menimbulkan kelucuan. Selain itu, tembang dolanan yang awalnya cenderung sebagai bagian dari tradisi lisan yang anonim, sekarang banyak muncul nyanyian anak hasil karya para penggubah lagu anak Jawa yang mengelompokkannya sebagai tembang dolanan. Ini menunjukkan bahwa tembang dolanan merupakan tradisi yang masih diwariskan, dijaga, dipelihara, dan dikembangkan dengan baik oleh para ahli warisnya. Perlakuan yang demikian oleh para pewarisnya tentunya didasarkan pada kenyataan bahwa tembang dolanan dianggap sebagai warisan yang penting dan bermanfaat bagi masyarakat pendukungnya. Hal ini sejalan dengan pendapat yang
3
menyatakan bahwa sebagai sebuah tradisi yang masih dikenal hingga saat ini, tentunya hal yang dirasakan penting dalam suatu masa akan tetap mempunyai nilainilai yang penting dan bermanfaat yang dapat tetap dijadikan pedoman hidup bagi masyarakat pendukungnya (Foley, 1986; Endraswara, 2005; Sukatman, 2009). Hal tersebut didukung juga dengan banyaknya kajian tehadap tembang dolanan, dengan berbagai perspektif, di antaranya dari perspektif kebahasaan tembang dolanan, yaitu Harjawiyana (1986) yang membahas penggunaan berbagai perulangan dalam tembang dolanan. Kajian dengan perspektif antropologi terhadap tembang dolanan sudah lebih banyak, hanya umumnya kajian terhadap tembang dolanan yang dikaitkan dengan dolanan anak, tidak khusus mengenai tembang dolanan, sehingga cenderung hanya dijelaskan sebagai tembang pengiring dalam permainan yang dikaji dalam penelitian yang bersangkutan, seperti yang ditulis oleh Sukardi (1912), Mangoenprawira (1941), Yunus (1980/1981), Dept Pendidikan & Kebudayaan (1981/1982), Dharmamulya (2008), Prana (2010). Dari beberapa penelitian dengan perspektif antropologi ini, terdapat satu kajian yang khusus menekankan pada tembang dolanan yaitu yang dilakukan oleh Overbeck (1938). Dalam tulisannya, Overbeck telah melakukan klasifikasi terhadap tembang dolanan. Klasifikasi tersebut dilkukan dengan cara mengelompokkan tembang dolanan menjadi kelompok permainan biasa, lagu-lagu, permainan Ni Thowok, dan permainan yang menggunakan tenaga gaib yang disertai deskripsinya secara umum. Selebihnya, penelitian yang telah dilakukan terhadap tembang dolanan banyak ditekankan pada kajian tentang fungsi, di antaranya oleh Mumpuni (1983), Supriyanto (1991), Suwardi (2005), Saptawuryani (2011), Widodo (2013). Walaupun tidak didasarkan pada landasan
tertentu, namun
dari cara
4
pengelompokannya dapat diketahui kajian tentang fungsinya lebih didasarkan pada konteks pelantunannya dan isi dari tembang dolanan. Banyaknya kajian tentang tembang dolanan anak di atas merupakan salah satu bukti bahwa tembang dolanan ini menarik untuk diteliti. Hal ini menjadi pendorong penulis untuk ikut membuat kajian mengenai tembang dolanan dengan mengkhususkan pada kajian struktur kalimat dan leksikon dari lirik tembang dolanan yang digunakan untuk melihat hubungan bahasa dengan budaya masyarakat Jawa yang tersimpan dalam tembang dolanan. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi data tembang dolanan dari berbagai sumber, seperti informan atau nara sumber di daerah penelitian, situs internet, naskah-naskah lama, dan buku-buku kumpulan tembang dolanan yang terbit lebih kemudian. Selanjutnya dibuat pengklasifikasian konteks berdasarkan pada arah pelantunan, relasi-relasi, dan situasi pelantunan. Dilanjutkan dengan analisis terhadap struktur kalimat untuk melihat berbagai makna kalimatnya, dan bersama dengan kajian leksikonnya untuk melihat fungsi dan pengetahuan masyarakat Jawa yang terdapat dalam tembang dolanan. Masih bertahannya tembang dolanan dengan berbagai perkembangan bentuk dan fungsi baik disadari maupun tidak disadari oleh para pelakunya agaknya merupakan usaha mewariskan tembang dolanan ini ke generasi berikutnya, akan tetapi nampaknya kajian mengenai bentuk pewarisan tembang dolanan ini belum menjadi perhatian para peneliti secara khusus, padahal kajian ini penting sebagai pertimbangan untuk membuat terobosan yang bertujuan untuk melestarikan tradisi yang banyak memuat nilai-nilai atau pengetahuan yang tentunya dianggap sesuai
5
dengan budaya masyarakat pelantunnya. Untuk itu dalam tulisan ini juga akan dideskripsikan mengenai pewarisan berdasarkan arah pewarisannya. 1.2 Rumusan Masalah Dalam tulisan ini akan dikaji persoalan lirik tembang dolanan anak. Untuk itu, tulisan ini akan mencoba menjawab beberapa pertanyaan seputar hal tersebut. 1. Bagaimana konteks pelantunan tembang dolanan? 2. Bagaimana bentuk kebahasaan tembang dolanan 3. Mengapa bentuk-bentuk tersebut digunakan? 4. Apa saja fungsi tembang dolanan? 5. Apa saja pengetahuan yang dimiliki oleh masyarakat tuturnya yang tercermin dalam lirik tembang dolanan? 6. Bagaimana sistem pewarisan tembang dolanan? 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum, tulisan ini bertujuan memperoleh gambaran yang jelas tentang karakteristik yang tertuang dalam lirik tembang dolanan yang secara tidak disadari merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari penutur berbahasa Jawa. Untuk lebih spesifiknya, tujuan dari tulisan ini adalah sebagai berikut. 1. Memperoleh gambaran yang jelas tentang situasi pelantunan tembang dolanan. 2. Mengetahui tentang struktur kebahasaan yang meliputi berbagai aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam lirik tembang dolanan, di antaranya jenis kalimatnya, aspek pola urutan kalimat, dan leksikonnya. 3. Memperoleh penjelasan mengenai fungsi tembang dolanan dalam kehidupan masyarakat tuturnya.
6
4. Memperoleh penjelasan tentang berbagai pengetahuan yang melekat dalam masyarakat tuturnya. 5. Menjelaskan sistem pewarisan tembang dolanan 1.4 Manfaat Penelitian 1. Manfaat secara teoritis menunjukkan bahwa tembang dolanan merupakan bentuk puisi anak-anak yang lebih menuntut adanya permainan rima dan irama yang menyenangkan. Isi atau liriknya sering tidak menjadi pertimbangan atau dengan kata lain sering tidak mempunyai makna yang saling berkaitan. Walaupun demikian, bahasa dalam puisi anak-anak menunjukkan pola struktur kalimat yang baik walau tanda-tanda kohesi sering dilesapkan. 2. Tembang dolanan anak diperlukan karena melalui dolanan yang gembira ini anak dapat mengembangkan berbagai hal, di antaranya kemampuan mengekspresikan diri, ketrampilan menyanyi atau berpuisi, dan kemampuan berorganisai. 3. Dengan adanya kajian lirik tembang dolanan, baik dari segi struktur maupun budaya diharapkan akan menjadi masukan yang sangat berarti bagi masyarakat luas dan juga pemerintah untuk lebih giat melestarikan dan mengembangkan lagu anak sebagai warisan dari tradisi lisan yang ada di Indonesia. 1.5 Tinjauan Pustaka Kajian terhadap lagu rakyat, khususnya lagu anak-anak telah dilakukan oleh sejumlah ahli maupun peneliti dari berbagai perspektif, tidak hanya di Indonesia tetapi juga mancanegara.
7
Iona dan Peter Opie (1959) dengan tekun mengumpulkan childlore atau lagu anak-anak di negerinya dan menghasilkan buku The lore and Language of School Children, yang dilanjutkan (1997) dengan membuat inventarisasi berbagai lagu anak-anak Inggris dan Amerika yang dilengkapi dengan berbagai variasi dari masing-masing lagu anak-anak tersebut dalam bukunya The Oxford Dictionary of Nursery Rhymes. Sementara itu Blackwell (2001) meneliti lagu-lagu rakyat di Turkmenistan dengan menekankan perhatian pada konteks pemakaiannya, yaitu lagu untuk anakanak perempuan, lagu untuk perkawinan, lagu ramalan, lagu pengantar tidur, dan lagu ratapan. Hal yang sama dilakukan oleh Sherzer (2003) dalam penelitiannya terhadap lagu rakyat suku Indian Kuna dan berhasil mengelompokkannya atas lagu untuk keperluan magis dan lagu untuk perempuan yang meliputi lagu remaja putri, pengantar tidur, dan lagu-lagu nasihat. Kajian lainnya dilakukan oleh Goldman (1998) yang menulis berbagai permainan anak di Papua New Guinea dengan berbagai lagu pengiringnya yang meliputi penamaan dan permainan, pembicaraan bayi Huli, dan bermain pura-pura menjadi sesuatu yang berbeda dengan dirinya. Sementara itu, Burling (2004) telah melakukan kajian terhadap struktur rima lagu anak-anak Inggris, Cina, dan Bengkulu, yang meliputi jumlah beat dalam tiap bait dan jarak masing-masing beat, yang pada umumnya terdiri dari empat baris perbait dan masing-masing beat berjarak merata dalam hal waktu. Namun demikian masing-masing bahasa punya karakteristik tersediri, di antaranya dalam hal tekanan suku kata atau pemberhentian pada sejumlah beat, walaupun jika dibandingkan
8
dengan bentuk puisi yang lain rima anak-anak lebih banyak kemiripannya pada masing-masing bahasa tersebut dibandingkan jenis puisi lainnya. Roberts (2005) membuat dokumentasi lagu anak-anak berbahasa Inggris yang disertai dengan interpretasi baik mengenai asal muasal terciptanya lagu-lagu tersebut maupun sejarah yang mengitari lagu-lagu tersebut dengan menggunakan informan yang menguasai sejarah masing-masing lagu anak-anak tersebut. Hal yang sama telah dilakukan oleh Hadiwidjojo (1955), hanya sayangnya baru dilakukan pada sebuah lagu, yaitu membuat interpretasi terhadap lagu dolanan driji yang dikaitkan dengan primbon, yaitu salah satu bentuk dari kebudayaan Jawa. Usaha mengkaji lagu anak-anak Jawa atau biasa disebut dengan tembang dolanan juga sudah dilakukan. Hanya umumnya menjadi bagian dari kajian permainan anak-anak Jawa, karena sebagian besar dari tembang dolanan tersebut biasa ditembangkan sebagai bagian dari permainan anak Jawa atau sebagai nyanyian yang dilantunkan pada waktu bermain. Mangoenprawira (1941) dalam tulisannya mengenai dolanan anak Klaten mendeskripsikan berbagai permainan anak di Klaten, yang dibedakan menjadi permainan yang dilakukan oleh anak-anak dan permainan yang dilakukan oleh orang tua untuk menghibur anak. Sebagian permainan yang dilakukan oleh anak-anak tersebut ada yang disertai tembang dolanan dan ada yang tidak, sementara permainan yang dilakukan oleh orang tua disertai dengan tembang dolanan, yaitu perminan yang dilakukan pada waktu menimang anak dengan lagu ”Kucing Gandhik” atau ”Nong Dhung Nong”, dan pada waktu menemani anak bermain dengan lagu “Sluku-sluku Bathok” atau “Anggruk-anggruk”.
9
Kajian yang hampir senada dengan yang dilakukan oleh Mangoenprawira (1941) dilakukan juga oleh beberapa penulis lain, seperti Yunus (1980/1981), Departemen
Pendidikan
dan
Kebudayaan
(1981/1982),
Prana
(2010),
Dharmamulya (2008). Hanya peneliti-peneliti yang lebih kemudian ini sudah mengkaji perminan anak atau dolanan anak Jawa ini dengan cara membuat klasifikasi yang lebih rinci. Yunus (1980/1981) menguraikan 20 permainan anak DIY, 9 di antaranya diiringi tembang dolanan. Uraian mengenai dolanan anak ini meliputi nama permainan, waktu bermain, latar belakang sosial budaya, sejarah perkembangannya, peserta, peralatan, iringan, jalannya permainan, peranannya masa kini, dan tanggapan masyarakat terhadap permainan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1981/1982) nampaknya melanjutkan penelitian yang dilakukan Yunus dengan cara membuat klasifikasi yang sama pada 20 permainan anak DIY, 11 di antaranya menggunakan tembang dolanan. Hal yang hampir sama dilakukan juga oleh Prana (2010) yang mendeskripsikan 25 dolanan anak yang 8 di antaranya disertai tembang dolanan. Sementara itu, Dharmamulya (2008) melalui perspektif antropologi mengkaji 38 permainan tradisonal Jawa yang dibagi menjadi tiga bagian, pertama bermain dan bernyanyi, dan atau dialog, kedua bermain dan olah pikir, dan ketiga bermain dan adu ketangkasan. Ketiga kelompok jenis permainan ini disertai penjelasan mengenai jenis permainan, jalannya permainanan, dan juga menyebutkan lagu pengiringnya. Tulisan dalam disertasi ini berbeda dengan yang dilakukan penulis-penulis di atas, yaitu menjadikan tembang dolanan sebagai objek kajiannya. Kajian yang menjadikan tembang dolanan sebagai objeknya sudah pernah dilakukan jauh sebelumnya oleh Soekardi (1912) yang telah menghimpun 212
10
tembang dolanan dengan dilengkapi penjelasan mengenai situasi pelantunannya. Hanya dalam tulisan ini, penulis belum membuat klasifikasi terhadap tembang dolanan yang telah dihimpunnya. Selanjutnya Overbeck (1938) melakukan pengumpulan tembang dolanan dengan lebih lengkap yang tertuang dalam bukunya Javaansche Meisjesspelen en Kinderliedjes. Buku tersebut berhasil menghimpun sekitar hampir 600 tembang dolanan dari berbagai daerah di sebagian pulau Jawa dengan berbagai variasinya yang disertai terjemahannya dalam bahasa Belanda. Penulis buku ini juga telah membuat klasifikasi tembang dolanan menjadi empat bagian yaitu permainan biasa, lagu-lagu, permainan Ni Thowok, dan permainan yang disertai tenaga gaib. Sehubungan dengan tulisan tersebut, walaupun sama-sama mengkaji konteks pelantunan tembang dolanan, hal ini berbeda dengan kajian dalam disertasi ini. Pengelompokan berdasarkan situasi pemakaiannya pada tulisan tersebut masih mencampurkan antara cara bermain, nama tembang/ nama permainan, maupun fungsinya. Salah satunya seperti nampak pada pengklasifikasian tembang dolanan kelompok pertama, yaitu kelompok permainan biasa. Kelompok ini diklasifikasi lagi menjadi (1) adat kebiasaan dalam permainan, (2) mengajak bermain, (3) gula ganthi, (4) membilang ke bawah, (5) dhungkul, (6) jaranan, (7) ancak-ancak alis, (8) tangan ditumpuk ke bawah, (9) digendong. Dari judul sub bab-sub bab tersebut nampak bahwa pengklasifikasian dilakukan dengan mencampurkan antara fungsi (2), cara bermain (4), (8), dan (19), dan nama tembang, pada no (3), (5), (6), (7). Dalam disertasi ini, pengklasifikasian konteks pelantunan dilakukan secara terpisah untuk membantu menentukan pengklasifikasian fungsi pelantunan. Konteks pelantunan dikelompokkan menjadi kelompok arah pelantunan tembang dolanan,
11
relasi-relasi, dan situasi pelantunan. Dalam buku ini juga sudah diidentifikasi berbagai tembang dolanan dengan cukup lengkap, namun data tembang dolanan yang lebih kemudian yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini memperlihatkan cukup banyak tembang dolanan yang belum teridentifikasi dalam buku tersebut. Kajian terhadap fungsi tembang dolanan juga telah dilakukan oleh beberapa penulis, di antaranya Mumpuni (1983) yang selain menjelaskan tentang fungsi, juga menjelaskan pola-pola persajakan, yang meliputi jumlah baris tiap bait dan struktur tiap baris. Pembicaraan mengenai fungsi tembang dolanan, meliputi fungsi sebagai ajakan, ejekan, mengiringi bekerja dalam membuat alat permainan, memberi tanggapan pada gejala alam, berdoa, mengundi, mengasuh adik, dan mengiringi permainan. Supriyanto (1991) melakukan hal yang serupa, yaitu berbicara tentang struktur bait tembang dolanan yang meliputi jumlah baris dalam tiap bait dan juga persajakannya, dan juga berbicara tentang fungsinya, yaitu mengejek, sebagai mantra, memanggil, memuji, sejarah, pendidikan moral. Hal yang hampir sama dilakukan oleh Saptawuryandari (2011) yang melakukan penelitian tembang dolanan anak-anak yang ada di Taman Siswa Yogyakarta, yaitu menulis tentang bentuk, dalam hal ini menganalisis mengenai jumlah baris tiap bait dan aspek bunyi yang digunakan dalam tiap barisnya, menganalisis isinya yang meliputi nasihat, lingkungan hidup, pemandangan alam, jenaka, teka-teki, dan mengajak teman bermain, sementara dari segi fungsi dijelaskan ada beberapa fungsi, di antaranya pendidikan moral, budi pekerti, mental, keindahan, kecerdasan, pendidikan agama.
12
Endraswara dalam beberapa bukunya telah membuat klasifikasi tembang dolanan yang menekankan pada fungsinya. Dalam bukunya yang berjudul Budi Pekerti dalam Budaya Jawa (2003) membicarakan bagaimana memberdayakan tembang dolanan karena mempunyai fungsi membangun watak religius dan membentuk watak rajin dan tidak sombong. Selanjutnya, Endraswara (2005) dalam penelitiannya terhadap tradisi lisan Jawa juga mengelompokkan tembang dolanan di antaranya proto folksong, lagu nina bobok, lagu profetik, lagu permainan (play song), lagu perjuangan, lagu jenaka, lagu mantra anak-anak, lagu sindiran. Dalam tulisannya yang lain berjudul Folklore Jawa, Endraswara (2010) menjelaskan kembali pengelompokkan tembang dolanan, hanya lebih sederhana yaitu lagu dolanan, lagu nina bobok (lullaby), lagu dolanan: hiburan dan sindiran. Walaupun tidak menggunakan dasar pijakan tertentu dalam menganalisis fungsinya, namun dapat dilihat bahwa kajian fungsi oleh para penulis di atas lebih menekankan pada konteks pelantunanya dan isi dari tembang dolanannya, belum mengkajinya dari konstruksi kalimat pembentuk tembang dolanan untuk melihat fungsi tembang dolanan, seperti yang dilakukan dalam tulisan ini. Selanjutnya, begitu pentingnya tembang dolanan bagi masyarakat Jawa, sehingga cukup banyak usaha penginventarisasian untuk tujuan melestarikan tembang dolanan yang dilakukan oleh para pemerhati pendidikan anak, karena dianggap banyak memuat nilai-nilai budaya Jawa yang luhur, dengan cara mendokumentasi berbagai tembang dolanan. Pendokumentasian itu dilakukan dengan cara menghimpun berbagai tembang dolanan baik disertai notasi maupun tidak. Beberapa buku yang menghimpun tembang dolanan dengan dilengkapi notasi gending, di antaranya dilakukan oleh Arintoko (1957); Tedjohadisumarto
13
(1958); Atmosoemarto (1961) dan Dwidjosoebroto (1992); sementara Katno (1940) menghimpun beberapa tembang dolanan dengan disertai notasi internasional. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jatirahayu dan Pringgawidagda (2004) yaitu membuat himpunan tembang dolanan yang disertai notasi gending, hanya dalam setiap lagu yang dihimpunnya dilengkapi dengan penjelasan singkat mengenai nilai-nilai budi pekerti dari masing-masing lagu tersebut. Demikian juga halnya dengan apa yang dilakukan Kadaton Ngajogjakarta Adiningrat (1962), yaitu membuat himpunan tembang dolanan yang terdiri dari dua jilid disertai penjelasan singkat mengenai aktivitas yang dilakukan ketika lagu tersebut dilantunkan, akan tetapi himpunan lagu tersebut tidak disertai notasi. Buku-buku yang menghimpun tembang dolanan tersebut memang lebih menekankan pada penginvetarisan tembang, tidak disertai deskripsi lengkap atau klasifikasi. Akan tetapi dari himpunan tersebut menunjukkan adanya berbagai jenis tembang dolanan yang cukup berbeda dengan tembang dolanan yang dijadikan objek pada kajian-kajian sebelumnya, seperti “Bang-bang Wis Rahina”, “Adhuh Simbah”, “Aku Wis Sekolah”, ”Kula Boten Dora”. Dalam disertasi ini penulis memasukkan sebagian dari tembang dolanan hasil dari himpunan buku tersebut untuk dikaji bersama tembang lainnya. Kajian linguistik nampaknya belum banyak dilakukan. Dari sejumlah tulisan yang berhasil dikumpulkan, hanya satu yang berbicara mengenai struktur, yaitu yang ditulis Harjawiyana (1986) yang khusus mengkaji jenis perulangan yang digunakan dalam tembang dolanan. Kajian tersebut berbeda dengan yang ditulis dalam disertasi ini, yaitu menekankan pada analisis struktur kalimat dan memeriksa
14
leksikon yang digunakan dalam tembang dolanan untuk melihat fungsi tembang dolanan dan pengetahuan masyarakan Jawa yang termuat dalam tembang dolanan. Walaupun berbeda dengan kajian ini, bukan berarti tulisan tentang tembang dolanan yang dijelaskan di atas tidak ada kaitannya dengan tulisan ini, bahkan sebagian berkaitan dengan tulisan ini. Untuk itu tulisan-tulisan tersebut akan dijadikan sebagai bahan tambahan yang sangat membantu menyempurnakan tulisan ini. 1.6 Landasan Teori 1.6.1 Linguistik Antropologi Seperti telah disebutkan di muka, kerangka teori utama yang memayungi penelitian ini adalah linguistik antropologi, atau biasa juga disebut sebagai linguistik budaya (Riana, 2003:8). Menurut Palmer (1996:10-26) linguistik budaya adalah salah satu perspektif teoritis dalam linguistik kognitif yang mengkaji hubungan antara bahasa dan kebudayaan pada suatu masyarakat. Dalam perspektif linguistik budaya, bahasa dikaji melalui prisma kebudayaan dengan tujuan untuk menyingkap makna budaya, sebagaimana tertera dalam pengetahuan masyarakat bersangkutan. Ini berarti, bahasa yang dipakai suatu kelompok etnik, baik dalam tataran interaksional makro maupun dalam tataran interaksional mikro, seperti dalam tutur atau tindak tutur tertentu, merupakan cerminan kebudayaan yang dianutnya (Duranti, 1997). Dikatakan demikian, karena menurut Humbolt (dalam Cassirer, 1987:183-184; Foley, 1997:19) perbedaan nyata antarbahasa bukan sekedar perbedaan bunyi atau tanda, tetapi merupakan perbedaan perspektif dunia (weltansichten). Hal ini sejalan dengan pandangan Benyamin Whorf dan Edward Sapir yang melahirkan konsep relativitas bahasa yang menyatakan bahwa
15
pandangan dunia suatu masyarakat dapat dilihat dari struktur bahasanya atau dikenal dengan adagium language is a mirror of the culture, yang selanjutnya lebih dikenal dengan Hipotesis Sapir Whorf yang menyatakan cara kita memandang realitas sangat dipengaruhi oleh bahasa pertama yang kita miliki (Sampson 1980: 81). Pada mulanya, perhatian terhadap adanya hubungan antara bahasa dan cara pandang dunia penuturnya lebih banyak dicurahkan pada masalah sistem tata bahasa (grammar), akan tetapi dalam menafsirkan pandangan dunia penuturnya juga dapat dilakukan dengan memeriksa kosakatanya (Suhandono, 2004). Menurut Sapir (Octavianus, 2006) analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasa bermukim. Selanjutnya dikatakan juga bahwa hubungan antara kosakata dan nilai budaya bersifat multi direksional. Berdasarkan pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa untuk melihat cara pandang orang Jawa terhadap dunia sekitarnya dapat dilihat dari bahasanya. Salah satu cara pandang masyarakat Jawa yang dapat dilihat melalui bahasanya yaitu mengenai aspek pengetahuan yang dimilikinya. Bahasa yang digunakan untuk melihat sistem pengetahuan sebagai salah satu cara pandang orang Jawa di sini berwujud tradisi lisan yang berupa lirik tembang dolanan yang terdapat dalam kehidupan sehari-harinya. Cara pandang melalui bahasa tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sistem tata bahasanya dan kosa katanya sebagai unsur pembentuk wacana tembang dolanan tersebut. Kajian terhadap aspek pengetahuan dalam tulisan ini juga akan dilakukan dengan pendekatan etnosains yang merupakan salah satu pendekatan yang muncul
16
dalam antropologi budaya di Amerika pada tahun 1960-an atau yang juga dikenal dengan nama New Ethnography atau Cognitive Anthropology (Spradley, 1979, 1997; Ahimsa-Putra, 1985). Pemilihan terhadap pendekatan ethnosains dalam tulisan ini karena pendekatan ini cukup strategis untuk mengungkap aspek pengetahuan manusia yang menjadi pembimbing perilaku sehari-hari. Hal ini didasarkan pada pendapat Ahimsa-Putra (1985: 107) yang menyatakan bahwa jalan yang paling mudah untuk sampai pada sistem pengetahuan suatu masyarakat yang isinya, antara lain klasifikasi-klasifikasi, aturan-aturan, prinsip-prinsip dan sebagainya adalah melalui bahasa. Dalam bahasa inilah tersimpan nama-nama berbagai benda yang ada dalam lingkungan manusia. Pemberian nama memang merupakan proses penting dalam kehidupan manusia, sebab melalui proses ini manusia dapat “menciptakan” keteraturan dalam persepsinya atas lingkungan. Dari nama-nama ini dapat diketahui patokan apa saja yang dipakai suatu masyarakat untuk membuat klasifikasi, yang berarti juga kita dapat mengetahui “pandangan hidup” pendukung kebudayaan tersebut. Pemberian nama untuk berbagai benda dalam ranah tertentu merupakan indeks dari klasifikasi; dari apa yang dianggap penting (significant) dalam lingkungan manusia (Tyler, 1969, dalam Ahimsa-Putra, 1985: 107). Melalui bahasa inilah berbagai pengetahuan baik yang tersembunyi maupun yang tidak, terungkap dalam penelitian (Ahimsa-Putra, 1985: 121-122) Untuk mengetahui kebudayaan menurut sistem kognisi masyarakat Jawa di Yogyakarta, khususnya mengenai pandangan terhadap dunianya tersebut, salah satunya dengan klasifikasi-klasifikasi terhadap data bahasa berupa nama-nama, pelaku, sasaran, serta aktivitas-akitvitas yang berhubungan dengan tembang dolanan dalam kehidupan masyarakat Jawa di Yogyakarta sehari-hari. Dengan
17
pemahaman tentang kategori-kategori yang berhubungan dengan kehidupan masyarakat Jawa dalam sistem klasifikasi tembang dolanan tersebut, sekaligus akan terungkap jenis-jenis flora dan fauna, musim, teknologi, peralatan, makanan, sopan santun, dan sebagainya. 1.6.2 Tembang Dolanan Tembang adalah karangan atau tatanan bahasa dengan aturan tertentu yang cara membacanya atau mengucapkannya harus dilagukan dengan keindahan suara (Padmosoekotjo, 1960:25-31). Menurut Marsono (1996: 74), disebut tembang karena dalam membawakannya sebenarnya harus dilagukan atau dinyanyikan. Sementara dolanan bermakna menyenang-nyenangkan hati atau bermain (bandingkan Padmosoekotjo, 1939:73 dan Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1991:240). Jika digabungkan maka tembang dolanan dapat dimaknai sebagai sebuah tatanan kebahasaan yang cara membawakannya harus dilagukan atau diiramakan untuk menyenang-nyenangkan hati atau untuk bermain. Banyak versi pandangan tentang tembang dolanan, di antaranya Padmosoekotjo (1960:21-22) menyebutkan bahwa tembang dolanan termasuk dalam kelompok guritan atau puisi Jawa, hanya jumlah suku kata dalam setiap baris satu dengan lainnya tidak sama dan tidak semua bunyi di akhir barisnya runtut. Umumnya jumlah suku kata dari masing-masing tembang dolanan menyesuaikan dengan iramanya. Karena didasarkan pada irama itulah tembang dolanan tidak bisa memakai aturan jumlah baris pada tiap barisnya, cenderung berdasarkan permainan bunyi di akhir barisnya. Tembang dolanan jumlahnya banyak sekali dan judul masing-masing tembang biasanya mengikuti isi tembang atau kata yang digunakan
18
pada permulaan lagu, misalnya pada permulaan atau awal tembang dolanan dimulai dengan Swara suling maka dinamakan Swara suling. Tembang dolanan merupakan bagian dari dolanan lare, yaitu salah bentuk permainan nyanyian, dengan tarian dan teka-teki yang menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Jawa (Koentjaraningrat, 1994:113). Endraswara (2010, 153) menyatakan biasanya berupa puisi sederhana yang didominasi anak-anak karena amat fleksibel, tanpa harus menggunakan iringan, dan dapat dilagukan dalam suasana apapun. tembang dolanan termasuk kelompok tembang tanggung yaitu tembang yang aturannya tidak begitu baku, sedikit lentur dan banyak menggunakan irama tanggung, kadang dilagukan pelan kadang dilagukan cepat, dan aturannya pun bisa berubah-ubah (Endraswara, 2010: 29). Dijelaskan oleh Danandjaya (1991:142) bahwa karena sifatnya yang fleksibel atau mudah berubah-ubah baik bentuk maupun isinya menjadikan tembang dolanan atau nyanyian rakyat ini dapat dibedakan dari nyanyian lainnya, dengan kata lain sifat tidak kaku ini tidak dimiliki oleh bentuk nyanyian yang lain, khususnya pada nyanyian klasik atau pop. Nyanyian klasik, seperti seriosa wajib dinyanyikan dengan cara yang berlaku pada masa nyanyian itu diciptakan, seperti yang diingini oleh penggubahnya. Jika tidak sesuai dengan apa yang telah ditentukan akan dicela oleh para pendengarnya. Sementara nyanyian pop lebih bersifat stereotips, biasanya diciptakan untuk tujuan komersial, bertemakan cinta, dan masa kemasyhurannya singkat. Pada kenyataannya nyanyian rakyat dapat juga mengubah diri menjadi tipe yang lain (Brundvard dalam Dananjaya, 1991: 144-145). Atau bisa sebaliknya, dari tipe yang lain menjadi kelompok tembang dolanan, seperti ”Bapak Pocung” atau ”Enthik” yang punya aturan yang terdapat pada tembang macapat masuk sebagai
19
kelompok tembang dolanan karena sudah umum dinyanyikan oleh anak-anak (Overbeck, 1938:243-244). Tembang dolanan merupakan produk kelisanan, maka dimungkinkan terdapat perubahan kata atau variasi kata di dalam liriknya. Penyebab perubahan kata-kata tersebut ada beberapa kemungkinan, misalnya: karena kurang tahu ucapan yang betul menurut aslinya; menurut pendengaran masing-masing penerima lagu; disesusaikan dengan keadaan zaman agar lebih mudah dimengerti bagi yang menyanyikan atau yang mendengarkan (Danandjaya, 1991:141). Dari berbagai pandangan di atas, tidak ada pandangan tersebut diambil secara keseluruhan, akan tetapi hanya mengambil bagian-bagian tertentu yang sekiranya berkaitan dengan tulisan ini dan menambahkan beberapa pengertian di dalamnya Tembang dolanan merupakan salah satu bentuk tradisi yang umumnya didominasi anak-anak dalam masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki kebudayaan Jawa yang meliputi hampir seluruh tengah dan timur dari pulau Jawa, yang mana Yogyakarta merupakan salah satu sentrum dari kebudayaan tersebut (Kodiran dalam Koentjaraningrat, 1971:327). Umumnya mereka menggunakan bahasa Jawa dalam pergaulan hidup maupun perhubungan sosialnya sehari-hari, yaitu bahasa yang ketika diucapkan harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak bicara atau yang dibicarakan, berdasarkan usia dan status sosialnya. Pembedaan bahasa tersebut ada bermacam-macam yang pada prinsipnya terdapat dua tingkatan, yaitu ngoko dan krama. Hal tersebutpun tercermin dalam tembang dolanan, yang menunjukkan bahwa tembang dolanan adalah milik kelompok masyarakat Jawa.
20
Tembang dolanan termasuk geguritan yang tidak terikat oleh jumlah suku kata dalam setiap barisnya dan tidak semua bunyi di akhir barisnya runtut. Biasanya bersifat luwes, seringkali mempunyai varian atau liriknya bisa diubah tetapi dengan tetap sebisa-bisanya mempertahankan irama aslinya dan keindahan rimanya. Pada umumnya dilantunkan oleh anak-anak dan untuk anak-anak, baik sebagai pengiring permainan maupun yang hanya berupa nyanyian tanpa diiringi atau mengiringi gerakan tertentu untuk menyenangkan hati. Sebagian besar merupakan produk tradisi lisan yang cenderung anonim dan sebagian lainnya merupakan produk yang sudah dibukukan dengan mencantumkan nama pengarangnya. 1.6.3 Bentuk Kebahasaan Bentuk (form) dimaknai sebagai rangkaian kombinasi unit-unit di dalam suatu bahasa (Matthews, 1997). Bentuk kebahasaan atau bentuk linguistik merupakan salah satu wujud kebudayaan yang peggunaannya didasarkan pada kesepakatan masyarakat tuturnya. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Block (dalam Ola, 2005) bahwa bentuk linguistik itu (morfologi dan sintaksis) merupakan sub kelas dari kategori bentuk-bentuk budaya. Adapun unsur-unsur kebahasaan yang khas pada tembang dolanan mencakup tata bahasa dan kosa kata atau leksikon. Tata bahasa yang dimaksud di sini meliputi konstruksi kalimat dan wacana. Analisis dalam tataran kalimat mengacu pada aspek konstruksi kalimat dan jenis kalimat. Berdasarkan fungsi dan hubungan situasionalnya ungkapan kebahasaan dalam sebuah tuturan dapat dikelompokkan atas kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah (Tim Fakultas Sastra, 1975-1976:141-148; Ramlan, 1982:26-43). Secara formal jenis-jenis kalimat ini ditandai intonasi dan bentuk
21
kebahasaan tertentu, seperti kalimat berita ditandai dengan intonasi berita yang bernada akhir turun, berfungsi untuk memberitahu, dan tanggapan yang diberikan berupa perhatian seperti anggukan dan kadang-kadang disertai jawaban ya; kalimat tanya ditandai dengan intonasi tanya yang bernada akhir naik, menggunakan tanda tanya dan kata tanya, serta berfungsi untuk menanyakan sesuatu, sementara kalimat perintah merupakan kalimat yang mengharapkan tanggapan dari mitra tutur yang berupa tindakan, ditandai dengan intonasi suruh dan kosa kata perintah. Pembicaraan mengenai konstruksi kalimat mengacu pada pandangan yang dikemukakan oleh Verhaar (1996) dan Wedhawati, dkk. (2006). bahwa dalam konstruksi kalimat dikenal adanya struktur kalimat biasa dan kalimat inversi. Selain itu dikenal juga konstruksi kalimat aktif-pasif. Kajian terhadap lirik tembang dolanan menunjukkan pola struktur kedua jenis kalimat tersebut, yaitu jenis yang berupa kalimat susun biasa dan inversi serta kalimat yang berkonstruksi aktif-pasif. Struktur seperti itu berkaitan dengan tata letak fungsi subjek, objek, dan kalimat dalam sebuah kalimat, yang selanjutnya memunculkan peran-peran di dalamnya baik secara eksplisit maupun implisit. Pada saat berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan, manusia tidak hanya cukup menggunakan bahasa verbal untuk dapat menyampaikan maksudnya dengan tepat sasaran tetapi juga memerlukan bahasa dalam wujud nyata, yaitu wacana. Wacana merupakan satuan kebahasaan di atas kalimat atau klausa yang memperhitungkan konteks sosial untuk sampai pada pemahamannya (Stubb, 1993:4). Hal ini dapat diartikan bahwa penggunaan analisis wacana dapat untuk menjelaskan bagaimana bahasa berfungsi untuk mengungkapkan realitas sosial
22
budaya untuk melihat hubungan antara ujaran dengan lingkungannya (periksa, Halliday dan Hasan, 1976). Sebagai satuan kebahasaan, wacana dapat dimaknai sebagai (i) rentetan kalimat yang berkaitan, yang menghubungkan proposisi yang satu dengan proposisi yang lainnya, membentuk satu kesatuan, sehingga terbentuklah suatu makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu; (ii) kesatuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi yang tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tertulis (Badudu, 2000). Sedikit berbeda dengan pendapat Badudu di atas, Sumarlam (2003:113) memaknai wacana sebagai (i) satuan lingual yang lebih luas daripada kalimat; (ii) mengandung pesan atau isi yang lengkap; (iii) berfungsi di dalam komunikasi; (iv) tidak terbatas pada bahasa lisan dan tulisan; (iv) tidak terlepas dari faktor sosial dan psikologinya. Sehubungan dengan pendapat mengenai wacana di atas, tembang dolanan yang dikenal dalam masyarakat Jawa dapat dimasukkan sebagai kajian wacana karena
tembang
dolanan
tersebut
mempunyai
unsur
wacana
sebagai
pembentuknya. Esensi wacana yang diuraikan di atas sebagian besar ada pada tembang dolanan tersebut, di antaranya kalimat yang membentuk tembang dolanan saling bertautan menjadi satu kesatuan, mempunyai kohesi dan koherensi yang memuat makna dan fungsi yang digunakan untuk berkomunikasi dengan lingkungannya, dan dalam wacana tembang dolanan tersirat hubungan antara ujaran dengan lingkungannya. Untuk menjadikan wacana utuh atau lengkap diperlukan unsur-unsur yang bisa menyatukannya, yaitu kohesi dan koherensi. Kohesi merupakan hubungan
23
bentuk sedangkan koherensi merupakan kesatuan hubungan makna antar kalimatnya (Sumarlam 2003:23). Hubungan bentuk yang disebut kohesi dibedakan atas kohesi gramatikal dan kohesi leksikal (Halliday dan Hasan, 1976:6). Kohesi gramatikal meliputi (1) referensi (pengacuan), substitusi (penggantian), ellipsis (pelesapan), konjungsi (perangkaian). Sedangkan kohesi lesikal dibedakan atas (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonim (padan kata), (3) antonym (lawan kata), (4) hiponim (hubungan atas-bawah), (5) kolokasi (sanding kata, dan (6) ekuivalensi (kesepadanan) (Sumarlam, 2003:35). Hubungan bentuk atau keohesi ini digunakan sebagai alat untuk menganalisis tembang dolanan yang terkait dengan fungsi tembang dolanan dan pengetahuan masyarakat yang tersimpan di dalam tembang dolanan. Pembicaraan mengenai kohesi antar kalimat pembentuk tembang dolanan tidak lepas dari keutuhan antar kalimatnya secara koheren, yaitu adanya perkaitan yang
tidak
secara
nyata
dapat
dilihat
dari
kalimat-kalimat
yang
mengungkapkannya. Pelantunan tembang dolanan sangat dipengaruhi konteks pada saat digunakan dalam komunikasi lisan. Maksudnya, dalam pelantunan tembang dolanan dikaitkan dengan konteks tertentu, di antaranya waktu tertentu atau kegiatan tertentu. Dikaitkannya tembang dolanan dengan konteks dimaksudkan supaya tujuan pelantunan tembang dolanan tersebut dapat tercapai. Untuk itu, dalam menginterpretasi tembang dolanan sebagai sebuah ujaran perlu memperhatikan konteks, sebab konteks akan menentukan makna ujaran (lihat Brown dan Yule, 1983). Berkaitan dengan hal tersebut, maka wacana dapat dikatakan merupakan wujud nyata komunikasi verbal manusia. Dalam setiap interaksi verbal tersebut
24
selalu terdapat unsur konteks yang berpengaruh dalam peristiwa komunikasi itu, di antaranya partisipan (penutur dan mitra tutur), pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut mendukung terwujudnya suatu wacana. Mengutip pendapat Hymes (1964) dalam Brown dan Yule (1996:38-39) menyebutkan bahwa unsur-unsur tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok pembicaraan (topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel), dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message form), dan peristiwa tutur (speech event), kunci (key), dan tujuan (purpose). Untuk itu, kajian terhadap tembang dolanan dalam tulisan ini diawali dengan uraian terhadap konteks pelantunan tembang dolanan tersebut. Selanjutnya diteruskan dengan deskripsi tata bahasa dan leksikon secara rinci untuk mengungkapkan makna-makna yang ada. 1.6.4 Fungsi Seperti telah dikemukakan di atas, analisis wacana adalah analisis yang berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia yang dilakukan melalui bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Tindakan manusia yang dilakukan melalui verbal dan nonverbal itu tentunya untuk memenuhi fungsinya sebagai alat komunikasi. Begitu juga halnya dengan tembang dolanan berfungsi sebagai alat komunikasi dengan orang-orang di sekelilingnya dan juga alam sekitarnya. Untuk menganalisis berbagai fungsi komunikasi bahasa didasarkan dari konsep tentang fungsi bahasa. Leech (1977:47-50) menyebutkan adanya lima fungsi bahasa, yaitu fungsi (i) informatif, (ii) fungsi ekspresif, (iii) fungsi direktif, (iv) fungsi estetis, dan (v) fungsi fatis, yang keseluruhannya berorientasi pada situasi komunikasi. Fungsi
25
informatif yaitu bahasa berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan informasi berdasarkan orientasinya pada pokok masalah, fungsi ekspresif yaitu bahasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan dan sikap penutur berdasarkan orientasinya pada pembicara atau penulis, misalnya memaki, fungsi direktif yaitu bahasa digunakan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, dalam bentuk perintah atau permohonan, didasarkan orientasi pada pendengar/ pembaca, fungsi estetis yaitu bahasa digunakan untuk menyampaikan karya seni berorientasi pada pesan, dan fungsi fatis yaitu bahasa digunakan untuk menjaga hubungan sosial dan komunikasi tetap berlangsung dengan baik yang berorientasi pada jalur komunikasi. Lebih lanjut leech (1977:53) menjelaskan bahwa pembagian fungsi bahasa menjadi lima seperti di atas bukanlah satu-satunya klasifikasi yang ideal. Artinya dalam praktik berbahasa sangat dimungkinkan adanya penggabungan sejumlah fungsi yang berbeda-beda, tidak seluruhnya betul-betul murni informatif, murni ekspresif dan seterusnya. Sebagai produk tradisi lisan, konsep fungsi tembang dolanan juga dapat dikaji melalui pendekatan fungsi folklore. Jika penentuan fungsi bahasa menyandarkan pada situasi komunikasi, maka menurut Bascom (Dundes, !965:280) membicarakan fungsi folklor berarti juga membicarakan kebudayaan secara luas sekaligus konteksnya, dengan kata lain untuk memahami folklor dalam satu kebudayaan hanya dapat dilakukan melalui pengetahuan yang mendalam dari kebudayaan yang bersangkutan. Karena terkadang folklor di suatu tempat tidak begitu berfungsi, sementara di tempat lain justru memegang peranan. Oleh karena itu cukup banyak teori yang berkembang mengenai fungsi folkore, di antaranya oleh Bascom (1965:3-20; Dundes 1965, 290-294) yang menjelaskan adanya empat
26
fungsi folklore, yaitu (i) sebagai sistem proyeksi (projective system) yakni sebagai pencermin angan-angan suatu kolektif, (ii) sebagai alat pengesah kebudayaan (validating cultur), (iii) sebagai sarana mendidik anak (pedagogical device), dan (iv) sebagai pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat dipatuhi anggota kolektifnya (as a mean of applying social pressure and excercising social control). Dundes (1965:277) menguraikan beberapa fungsi folklore lainnya, yaitu (i) menimbulkan perasaan solidaritas suatu kelompok, (ii) meningkatkan rasa superior (iii) memberi sangsi sosial agar orang berperilaku baik, (iv) sebagai sarana kritik sosial, (v) memberikan suatu pelarian yang menyenangkan dari kenyataan, (vi) mengubah pekerjaan yang membosankan menjadi menyenangkan. Pewarisan Budaya Tradisi merupakan adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat (Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, 1991:1069). Masih dijalankannya adat kebiasaan yang diturunkan dari generasi sebelumnya tentunya tak lepas dari cara pewarisan tradisi oleh generasi tersebut ke generasi selanjutnya. Sebagai sebuah tradisi yang masih bertahan, tentunya juga ada cara-cara pewarisan yang dilakukan dari generasi ke generasi dalam masyarakat Jawa pada tembang dolanan. Untuk itu, dalam tulisan ini juga akan dikaji mengenai cara pewarisan berdasarkan pada pemahaman mengenai pewarisan budaya.
Pewarisan budaya didefinisikan sebagai
proses reproduksi nilai-nilai, pengetahuan, dan pengamalan suatu kebudayaan oleh satu generasi kepada generasi penerusnya. Definisi tersebut menimbulkan kesan bahwa pewarisan budaya umumnya disampaikan searah secara terencana dari
27
generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda. Walaupun demikian, pada praktiknya terdapat variasi arah penyampaian pewarisan budaya, yaitu vertikal (dari orang tua kepada keturunannya), horizontal (antarkerabat sebaya dalam satu generasi), dan oblique (dari generasi yang lebih tua (selain orang tua) kepada generasi yang lebih muda). Pewarisan budaya juga diketahui dapat terjadi dalam dua arah ataupun timbul sebagai konsekuensi tidak langsung dari suatu peristiwa. Adapun proses, arah, dan keluaran dari pewarisan budaya itu sendiri dipengaruhi oleh pelaku (agen) yang terlibat dalam proses pewarisan, karakteristik hubungan interpersonal mereka, kandungan nilai-nilai kebudayaan yang diwariskan, serta konteks budaya di mana pewarisan tersebut terjadi (lihat Trommsdorff, 2008:126128). 1.6.5 Metode dan Teknik Penelitian Dalam upaya memecahkan masalah, digunakan tiga langkah yang berurutan, yaitu penyediaan data, penganalisisan data, dan penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993: 5). Demi mewujudkan upaya tersebut, diperlukan metode dan teknik untuk setiap tahap, yaitu metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data, serta metode penyajian hasil analisis data. Metode adalah cara melakukan penelitian, sedangkan teknik merupakan cara menjalankan atau menerapkan metode. 1.6.5.1 Metode dan Teknik Penyajian Data Tembang dolanan merupakan salah satu warisan budaya masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta yang membawa kesan tersendiri bagi masing-masing pelakunya. Begitu melekat dan tertanamnya tembang dolanan bagi para pelakunya hingga ada sekelompok pelakunya menyebutnya sebagai salah satu legenda Yogya
28
yang pernah mereka kecap pada masanya 1. Hanya sayangnya, saat ini tembang dolanan yang dilantunkan sudah sangat terbatas, itupun lebih banyak sebagai bagian dari pengajaran di sekolah atau sebagai seni pertunjukan, bukan dilantunkan di halaman rumah atau di lapangan seperti tembang dolanan yang dikenal lebih awal. Kebanyakan anak-anak kelahiran tahun Sembilan belas sembilan puluhan tidak mengenal teriakan-teriakan yang dilantunkan pada situasi tertentu pada saat bermain, sementara para pelaku yang pada masa kecilnya pernah melantunkannya cenderung lupa tembang-tembang apa saja yang pernah dilantunkannya, khususnya lupa dengan lirik lengkapnya Untuk bisa memperoleh data dengan kondisi demikian, penulis mencoba mengumpulkan data dengan cara observasi dan wawancara. Observasi ini dilakukan dengan dua cara, yaitu observasi terhadap tembang dolanan yang sudah diinventarisasi dalam naskah atau buku terbitan dan observasi lapangan. Observasi awal terhadap tembang dolanan yang terdapat dalam beberapa naskah memperlihatkan berbagai tembang dolanan yang cenderung dilantunkan pada saat anak-anak bermain, baik pada saat mengasuh adik atau bermain dengan teman, seperti ”Jamuran”, ”Lepetan”, ”Cublak-cublak Suweng” (lihat Sukardi (1912), Overbeck (1938), Mangoenprawira (1941). Sementara beberapa buku khususnya yang berisi himpunan tembang-tembang dolanan, selain menghimpun beberapa tembang yang terdapat dalam naskah di atas, juga menghimpun tembangtembang lainnya, seperti ”Sepuran”, ”Oh adhiku”, ”Aku duwe pitik cilik”, ”Gambang suling”, “Bang-bang Wis Rahina” (lihat Katno, (1940), Arintoko
1
https://pecaturjogja.wordpress.com/2010/11/27/mitos-legenda-jogjakarta/
29
(1957), Tedjohadisumarto ((1958), Dwidjosoebroto (1961), Saptawuryani (2011)) yang itu belum teridentifikasi di naskah-naskah tersebut. Tembang dolanan dari hasil observasi pada naskah atau buku-buku terbitan tersebut digunakan untuk membantu dalam melakukan observasi lapangan. Observasi lapangan dilakukan dengan cara mewawancarai penduduk di daerah penelitian, guru-guru sekolah, memeriksa buku-buku pelajaran di sekolah, mengumpulkan tembang dolanan dalam bentuk rekaman, dan juga mencari di laman situs pribadi. Penelusuran data melalui buku-buku pelajaran, rekaman, dan di laman web-web pribadi ini sangat membantu pengumpulan data, khususnya dalam hal liriknya, yang sebagian dari informan di lapangan hanya mengingatnya sepotong-sepotong atau bahkan ketika dicoba dengan sepenggal lirik tembangnya mereka hanya mengatakan ho oh, kuwi, tembang kuwi cen ana, ning aku lali je ‘iya, itu, tembang itu memang ada, tetapi saya lupa, tapi memang betul ada’, ada juga yang ragu-ragu menjawabnya ketika ditanya tembang Tikus pithi, mereka mencoba melantunkannya dua baris, seperti Tikus pithi, Duwe anak siji tiba-tiba berhenti sambil mengatakan ah embuh ah ketoke ngono ‘ah tidak tahu ah nampaknya begitu’ dan takut salah untuk melanjutkannya. Hasil dari observasi di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua tembang dolanan yang terdapat di dalam naskah-naskah dapat ditemukan. Namun demikian cukup banyak tembang dolanan yang masih diingat dan bisa dilantunkan oleh para pelantunnya, walau seringkali bagian liriknya ada yang tidak diingat atau menggunakan kosa kata yang berbeda. Kalau awalnya tembang dolanan cenderung di lantunkan di rumah atau di halaman rumah, sekarang dalam bentuk yang berbeda, di antaranya sebagai bagian dari materi pelajaran berkesenian atau sebagai bagian
30
dari pelajaran bahasa Jawa di sekolah, sebagai bagian dari seni pertunjukan di panggung-panggung kesenian, dalam bentuk tulisan di situs internet, atau dalam bentuk audio visual. Hal yang cukup menarik, banyak juga tembang dolanan yang masih dilantunkan sebagai tradisi lisan yang belum terekam naskah atau buku-buku terbitan, seperti tembang ”Thik-uthik Upil”, ”Tut-entut”, “O A Hem”, ”Brambang Iris-iris”, ”Uwo Nangis”, “Siji Loro Telu”, “Saiki Aku Wis Gedhe”, ”Bebek Adus Kali”, “Esuk-esuk”. Oleh karena data yang terkumpul cukup banyak, maka penulis membatasi data memilih dari buku-buku terbitan dan data lapangan yang diusahakan masingmasing tembang tersebut mempunyai tema berbeda untuk dapat melihat pengetahuan yang dipunyai oleh masyarakat Jawa. Adapun wawancara dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara tertutup dan wawancara terbuka. Wawancara tertutup adalah wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang difokuskan pada topik-topik khusus atau umum, misalnya konteks pelantunan atau cara pelantunan. Sebaliknya wawancara terbuka adalah wawancara dengan memberikan kebebasan kepada informan dan mendorongnya untuk berbicara secara luas dan mendalam yang berkaitan dengan objek kajian ini. Proses wawancara ini dilakukan berkali-kali dengan informan dengan mengajukan berbagai pertanyaan. Adapun yang dijadikan informan adalah penduduk Jawa yang menguasai bahasanya, mengetahui latar budayanya, dan mempunyai cukup waktu untuk memberikan keterangan sesuai yang diinginkan. Dalam melaksanakan observasi dan wawancara ini, sebenarnya penulis tidak mengambil lokasi khusus, karena tembang dolanan merupakan tradisi rakyat
31
Jawa yang penguasaan antara satu orang dengan lainnya hampir sama, khususnya di daerah yang masih saling berdekatan. Namun demikian, penulis juga lebih memfokuskan lokasinya di desa Pandak Kecamatan Pandak Bantul dan di desa Mejing di kecamatan Gamping Sleman, di mana penulis tinggal dan dibesarkan. Penulis juga mencoba mengamati di daerah kodya Yogyakarta, karena selain beberapa tembang dolanan masih bisa ditemukan, alasan lain karena di kodya terdapat tempat pendidikan Taman Siswa sebagai perguruan yang terus dengan giat melestarikan dan menghidupkan tembang dolanan, di samping juga terdapat banyak sanggar menyanyi yang ikut menghidupkan tembang dolanan ini. 1.6.5.2 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah berbagai macam tembang dolanan. Data yang sudah tersedia kemudian dianalisis. Penganalisisan data dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu terjemahan, analisis klasifikasi, analisis bentuk-bentuk tembang dolanan, analisis fungsi tembang dolanan, dan analisis mengenai pengetahuan yang terdapat pada tembang dolanan. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah data tembang dolanan yang menggunakan bahasa Jawa. Oleh karena itu tahap pertama yang perlu dilakukan adalah identifikasi bahasa yang berupa penerjemahan. Menurut Manheim dalam Muhadjir (2000:138-139) penerjemahan merupakan salah satu langkah pokok yang harus diikuti dalam penafsiran makna budaya yang tergurat dalam bahasa. Penerjemahan merupakan upaya mengemukakan materi atau substansi yang sama dengan media yang berbeda. Mengacu pada materi terjemahan, dibuat penafsiran untuk mencari latar belakang dan konteksnya guna menemukan konteks yang lebih jelas. Penerapan ancangan ini dikaitkan dengan pandangan Geertz (2001:368-369)
32
yang menyatakan jika ingin memahami aktivitas kebudayaan yang salah satu unsur utamanya bahasa, metode yang tepat adalah metode penafsiran, karena analisis kebudayaan bukan merupakan ilmu eksperimental yang mencari sebuah hukum, tetapi sebuah penafsiran untuk mencari makna. Penerjemahan dilakukan dalam dua tahap, yaitu penerjemahan harafiah, yaitu kata perkata dan dilanjutkan dengan penerjemahan bebas, yaitu dengan cara menyesuaikan kalimat asli dengan kalimat dalam bahasa terjemahan, dalam hal ini bahasa Indonesia Sebagai salah satu bentuk tradisi yang awalnya diturunkan secara lisan, lagu dolanan mempunyai banyak varian. Adanya varian tersebut dikarenakan oleh beberapa kemungkinan, misalnya karena perbedaan daerah penyebarannya, kreativitas penutur untuk kebutuhan tertentu, kadang-kadang pelantun kurang tahu lirik yang tepat seperti aslinya, atau karena pelantun lupa-lupa ingat liriknya secara lengkap. Untuk itu tulisan ini mencoba mendeskripsikan mengenai berbagai kemungkinan varian yang timbul dalam lagu dolanan. Pendeskripsian ini untuk melihat satuan kebahasaan apa saja yang menjadi varian dalam tembang dolanan, dalam hal ini bunyi, kata, frase, klausa, kalimat, maupun paragrafnya dan bagaimana varian itu terbentuk, dengan cara mengubah, mengurangi, ataukah menambahkan berbagai satuan kebahasaan tersebut dalam tembang dolanan. Analisis bentuk kebahasan dalam tulisan ini adalah adalah analisis dari segi struktur kebahasaan. Struktur kebahasaan yang dikaji meliputi aspek tata bahasa, dan leksikonnya. Analisis tata bahasa menyangkut struktur kalimat dan wacana. Analisis struktur kalimat untuk melihat karakter susunan kalimat lirik tembang dolanan dalam mengungkapkan makna yang ada dalam lagu tersebut. Apakah struktur kalimat sebagai pembentuk lirik lagu sama dengan struktur kalimat dalam
33
bahasa sehari-hari penutur bahasa Jawa dalam mengungkapkan makna yang sama. Sebaliknya analisis wacana yang dilakukan untuk melihat keutuhan tembang dolanan yang dibentuk oleh kohesi maupun koheresi dalam mengungkap makna yang ada pada tembang dolanan. Di samping itu, dalam analisis struktur dilakukan juga kajian terhadap pemakaian kosa kata, pilihan kosa kata apa saja yang dimanfaatkan dalam lirik tembang dolanan. Sebagian dari tembang dolanan dalam tradisi masyarakat tuturnya dinyanyikan pada waktu dan tempat yang berbeda-beda, hal ini biasanya disesuaikan dengan konteks pemakaiannya. Oleh karena itu, tulisan ini juga akan mendeskripsikan pemakaian tembang dolanan melalui analisis konteks, yang disesuakan
dengan
unsur
konteks
yang
dikemukakan
Hymes
(1972).
Pendeskripsian ini untuk melihat siapa saja yang menjadi partisipan, topik, latar, saluran yang digunakan, bentuk pesan, kode, peristiwa yang terjadi, dan tujuan pada tembang yang dilantunkan. Lirik tembang dolanan juga akan dikaji dari segi fungsi. Kajian fungsi dalam penelitian ini dilakukan dengan melihat sebuah unsur dalam satuan makna yang dibangkitkan oleh kata, frase, kalimat, dan juga wacana keseluruhan dari wujud komposisi verbal lagu dolanan. Karena tulisan ini mengenai hubungan bahasa dengan budaya Jawa di Yogyakarta maka selanjutnya diperlukan penafsiran terhadap tuturan makna tembang dolanan dan data-data lainnya yang kemudian menjadi dasar acuan untuk menafsirkan sistem pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang ada pada masyarakat tuturnya.
Penafsiran
ini
selain
memakai
bentuk-bentuk
lingual
dalam
34
penafsirannya, juga memakai penafsiran makna berdasarkan konteks budaya masyarakat pendukungnya, yakni budaya Jawa, khususnya Yogyakarta. 1.6.5.3 Penyajian Hasil Analisis Data Sudaryanto (1993: 144-157) membedakan metode penyajian hasil analisis data menjadi dua, yaitu metode formal dan metode informal. Metode penyajian formal adalah penyajian dengan tanda dan lambang, sedangkan metode penyajian informal adalah penyajian dengan rumusan kata-kata biasa. Kedua metode tersebut akan diterapkan dan dimanfaatkan untuk menyajikan hasil analisis data pada penelitian ini. Model penyajian informal dilakukan dengan menguraikan wacana tembang dolanan dalam semua bentuk analisis yang berwujud pemerian langsung dalam setiap unit-unit yang dianalisis. Selanjutnya,
penyajian formal akan
diwujudkan dengan mendiskripsi wacana tersebut melalui bagan-bagan, disampaikan bersamaan dengan penjelasan analisis.