TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Bambu Bambu merupakan tanaman yang tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia dan sudah menyebar di kawasan Nusantara. Tanaman ini dapat tumbuh di daerah iklim basah sampai iklim kering (Departemen Kehutanan & Perkebunan, 1999). Lopez dan Shanley (2004) menyebutkan bahwa bambu termasuk keluarga rumput-rumputan dan merupakan tumbuhan paling besar di dunia dalam keluarga ini. Ada lebih dari 1200 spesies bambu dan kebanyakan terdapat di Asia. Tumbuhan yang indah ini, dengan kekuatan dan kelenturannya, memiliki manfaat yang tidak terbatas. Bambu telah menjadi bagian alami dari kehidupan, mulai dari lahir hingga mati. Di Cina dan Jepang, pisau bambu digunakan untuk memotong tali pusar bayi pada saat dilahirkan, dan jenazah orang yang meninggal diletakkan diatas alas yang terbuat dari bambu. Tumbuhan ini sudah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat sehari-hari (Lopez & Shanley 2004). Asal-usul Bambu Tanaman bambu banyak ditemukan di daerah tropik di Benua Asia, Afrika, dan Amerika. Namun, beberapa spesies ditemukan pula di Australia. Benua Asia merupakan daerah penyebaran bambu terbesar. Penyebarannya meliputi wilayah Indoburma, India, Cina, dan Jepang. Daerah Indoburma dianggap sebagai daerah asal tanaman ini. Selain di daerah tropik, bambu juga
Universitas Sumatera Utara
menyebar ke daerah subtropik dan daerah beriklim sedang di dataran rendah sampai di dataran tinggi (Berlian & Rahayu, 1995). Di daerah hujan tropis, bambu tumbuh dalam kelompok. Ketika terjadi gangguan hutan alam, misalnya karena logging. Bambu semakin tersebar, misalnya jenis Phyllostachys ditemukan hampir di seluruh daerah Cina, Jepang, dan Taiwan. Budidaya bambu dilakukan di Indonesia, India, dan Bangladesh (Elsppat, 1999). Jenis-jenis Bambu Dari sekitar 75 genus terdiri dari 1.500 spesies bambu di seluruh dunia, 10 genus atau 125 jenis diantaranya terdapat di Indonesia. Berdasarkan sistem percabangan rimpang, genus tersebut dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, genus yang berakar rimpang dan tumbuh secara simpodial, termasuk didalamnya genus Bambusa, Dendrocalamus, Gigantochloa, dan Schizostachyum. Kedua, genus berakar rimpang dan tumbuh secara monopodial (horizontal) dan bercabang secara lateral sehingga menghasilkan rumpun tersebar, diantaranya genus Arundinaria (Duryatmo, 2000). Sedangkan menurut Berlian dan Rahayu (1995) di Indonesia terdapat lebih kurang 125 jenis bambu. Ada yang masih tumbuh liar dan masih belum jelas kegunaannya. Beberapa jenis bambu tertentu mempunyai manfaat atau nilai ekonomis yang tinggi seperti: bambu apus, bambu ater, bambu andong, bambu betung, bambu kunig, bambu hitam, bambu talang, bambu tutul, bambu cendani, bambu cangkoreh, bambu perling, bambu tamiang, bambu loleba, bambu batu, bambu belangke, bambu sian, bambu jepang, bambu gendang, bambu bali, dan bambu pagar.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Jenis-jenis Bambu No. 1.
Nama botanis Bambusa atra Lindley
Sinonim Bambusa lineata Munro Bambusa rumphiana Kurz Dendrocalamus latifolius Laut & K. Shum Arundo multiplex (Lour.) Bambusa nana (Roxb) Bambusa glaucescens (Willd) Sieb ex Munro Bambusa thouarsii Kunth Bambusa surinamensis Ruprecht Bambusa asperaSchultes Dendrocalamus flagelifer Gigantochloa aspera Schultes F. Kurtz Dendrocalamus merrilianus (Elmer) Elmer Bambusa apus J.A. & Schultes Gigantochloa Kurzii Gamble
Nama lokal dan penyebaran Loleba (Maluku, Nena (Shanghai)
2.
Bambusa multiplex (Lour) Raeuschel ex J.A. & J.H. Schultes
3.
Bambusa vulgaris Schrad ex Wendl
4.
Dendrocalamus asper (Roem. & Schultf.) Backer ex Heyne.
5.
Dinochloa scadens
6.
Gigantochloa apus Kurz
7.
Gigantochloa atroviolaceae Widjaja
Gigantochloa verticillata (Willd) sensu Backer
Bambu hitam (Indonesia), Pring wulung (Jawa), Awi hideung (Sunda)
8.
Gigantochloa atter (Hassk) Kurz ex Munro
Bambusa thouarsii Kunth var atter Hassk Gigantochloa verticillata (Wild) Munro sensu Backer
Bambu ater (Indonesia), Pring benel, Pring jawa (Jawa), Awi temen (Sunda)
9.
Gigantochloa pruriens Widjaja
-
Buluh belangke, buluh regen (Karo), Buluh yakyak (Gayo)
10.
Gigantochloa pseudoarundinace a (Steudel) Widjaja
11.
Schizostachyum blumei Ness
12.
Schizostachyum brachycladun Kurz
Bambusa pseudoarun dinacea Steudel Gigantochloa verticillata (Wild) Munro Gigantochloa maxima Kurz Melocana zollinger Steudel var. longispi culata Kurz ex Munro S. Longis piculatum (Kurz ex Munro) Kurz
-
Bambu krisik hijau, Krisik putih, Bambu pagar, Bambu cina (Indonesia), Aor selat (Kalimantan Barat) Ampel hijau tua, Ampel hijau muda, Pring gading, Pring tutul (Indonesia) Bambu petung (Indonesia), Petung coklat (Bengkulu), Petung hijau (Lampung), Petung hitam (Banyuwangi) Cangkoreh (Sunda) Bambu tali (Indonesia)
Awi andong besar, Andong leutik, Andong kapas, Andong batu (Sunda), Pring gombong, Pring surat (Jawa)
Awi tamiyang (Sunda) Bambu lemang kuning, Lemang hijau (Indonesia), Buluh tolang, Buluh sero (Maluku), Pring lampar (Banyuwangi)
Sumber : Lampiran Keputusan Direktorat Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan Nomor : 77/Kpts/V/1997 tanggal 28 Juli 1997 tentang petunjuk teknis pembibitan bambu Direktorat Jenderal Reboisasi & Rehabilitasi Lahan 1997 dalam Indonesian Forest, 1997).
Universitas Sumatera Utara
Bambu Hitam Bambu hitam (Gigantochloa atroviolaceae Widjaja) dikenal juga dengan sebutan bambu wulung, pring wulung, pring ireng, atau awi hideung. Jenis ini disebut bambu hitam karena warna batangnya hijau kehitam-hitaman atau ungu tua (Berlian & Rahayu, 1995). Berlian dan Rahayu (1995), melanjutkan bahwa rumpun bambu hitam agak panjang. Pertumbuhannya pun agak lambat. Buluhnya tegak dengan tinggi 20 m. Panjang ruas-ruasnya 40 – 50 cm, tebal dinding buluhnya 8 mm, dan garis tengah buluhnya 6 – 8 cm. Pelepah batang selalu ditutupi miang yang melekat berwarna cokelat tua. Pelepah ini mudah gugur. Kuping pelepah berbentuk bulat dan berukuran kecil. Bambu hitam tersebar di Pulau Jawa dan hidup di daerah dataran rendah hingga ketinggian 650 m dpl. Di Jawa Barat jenis bambu ini sangat baik untuk dijadikan alat musik seperti angklung, gambang, atau calung. Bambu hitam dapat juga digunakan untuk furniture dan bahan kerajinan tangan (Berlian & Rahayu, 1995). Selanjutnya, Berlian dan Rahayu (1995) mengatakan bahwa sifat bambu ini dalam keadaan basah kulitnya tidak begitu keras, tetapi setelah kering sangat keras dan warnanya menjadi hitam kecokelatan. Daya lenturnya kurang sehingga mudah pecah dan mudah putus. Berdasarkan
klasifikasi,
bambu
hitam
tergolong
kedalam
genus
Gigantochloa. Berikut ini adalah uraian dari bambu hitam: Divisi
: Spermatophyta
Subdivisi : Angiospermae Klas
: Monokotiledoneae
Universitas Sumatera Utara
Ordo
: Graminales
Famili
: Gramineae
Subfamili : Bambusoideae Genus
: Gigantochloa
Spesies
: Gigantochloa atroviolaceae Widjaja.
Manfaat Bambu Bambu merupakan tanaman yang memiliki manfaat sangat penting bagi kehidupan. Semua bagian tanaman mulai dari akar, batang, daun, kelopak, bahkan rebungnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan (Berlian & Rahayu, 1995). Duryatmo (2000), mengatakan bahwa manfaat tanaman serbaguna ini sangat beragam. Setidaknya ada 600 jenis barang kebutuhan manusia berbahan baku bambu. Dalam kehidupan sehari-hari, perabot berbahan baku bambu mudah dijumpai, diantaranya, meja, kursi, tusuk gigi, tatakan gelas, tudung saji, tempat buah, tas, tirai, tikar hingga sandal. Tabel 2. Jenis dan manfaat bambu Jenis Kesesuaian Penggunaan Bambu Papan Papan Mebel Kertas Sumpit Konstruksi Serat Partikel Ampel Apus Ater Betung Duri Hitam Keterangan: = sesuai - = tak sesuai (Duryatmo, 2000).
Sayur
Universitas Sumatera Utara
Bambu Sebagai Bahan Konstruksi Bambu merupakan salah satu bahan bangunan yang tertua yang digunakan manusia tropik. Bambu juga merupakan bahan bangunan yang sangat terkenal di Indonesia khususnya bagi masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena bambu mudah diperoleh, harganya relatif murah dan secara teknis relatif mudah dikerjakan oleh tenaga kurang terampil. Selain itu bambu juga memiliki sifat kuat tarik yang cukup besar dan cukup elastis sehingga cocok untuk digunakan sebagai tulangan alternatif untuk daerah pedalaman bila tulangan besi tidak tersedia atau harganya sangat mahal (Abdurahman et al,1994 dalam Widjaya et al, 1994). Berlian dan Rahayu (1995) juga menyebutkan bahwa batang bambu dapat digunakan sebagai bahan konstruksi untuk pembangunan rumah, gedung, jembatan, dan lain-lain. Pemanfaatannya antara lain dalam bentuk dinding, rangka kuda-kuda, tiang, kasau alias kaso, lantai, pintu, kusen jendela, dan juga atap atau langit-langit. Selain itu belakangan muncul gagasan tentang kemungkinan penggunaan bambu sebagai alternatif tulangan atau kerangka pada beton untuk menggantikan besi baja. Hal ini didorong oleh suatu hasil pengujian tentang sifat mekanis bambu di Indonesia yang menyatakan bahwa bambu memiliki nilai kekuatan tarik (tegangan patah untuk tarikan) sebesar 1.000 sampai 4.000 kg/cm2 yang setara dengan besi baja berkualitas sedang. Besarnya nilai kekuatan tarik dari bambu merupakan pilihan alternatif, karena bambu mempunyai potensi yang tinggi, murah, kuat, dan kemampuan seperti besi baja sebagai tulangan beton. Pengawetan Tujuan utama dari pengawetan kayu adalah untuk memperpanjang umur pemakaian bahan, dengan demikian mengurangi biaya akhir dari produk itu dan
Universitas Sumatera Utara
menghindari penggantian yang terlalu sering dalam konstruksi yang permanen dan semi-permanen. Peningkatan umur pakai kayu dengan pengunaan pengawet yang cocok mempunyai pengaruh lain yang nyata dalam bidang penggunaan kayu, yaitu dimungkinkannya penggunaan banyak jenis kayu yang sebelumnya sama sekali dianggap kurang baik atau terutama karena jenis-jenis kayu tersebut secara alami kurang awet dan hanya memberikan suatu unsur yang pendek jika tanpa diawetkan, terbuka terhadap pelapukan atau serangan serangga (Hunt & Garrat, 1986). Keawetan Bambu Keawetan bambu adalah daya tahan bambu terhadap berbagai faktor perusak bambu, misalnya ketahanan bambu terhadap serangan rayap, bubuk kayu kering, dan jamur perusak bambu. Ketahanan alami bambu lebih rendah dibandingkan dengan kayu. Ketahanan bambu tergantung kepada kondisi iklim dan lingkungan. Bambu tanpa perlakuan khusus dapat bertahan antara satu sampai tiga tahun jika berinteraksi dengan tanah dan udara, jika berinteraksi dengan air laut usianya kurang dari satu tahun jika diawetkan usianya dapat mencapai empat sampai tujuh tahun, dan dalam kondisi tertentu dapat mencapai 10 sampai 15 tahun (Elsppat, 1999). Lebih lanjut Elsppat (1999) mengatakan bahwa, ketahanan bambu bergantung pada : 1. Kondisi fisiknya, bambu yang sobek lebih sering rusak dibanding yang tidak sobek; 2. Bagian bawah bambu lebih kuat daripada bagian atas; 3. Bagian dalam biasanya lebih dahulu terserang daripada bagian luar;
Universitas Sumatera Utara
4. Spesies Dendrocalamus strictus lebih rendah resistensinya dibandingkan Dendrocalamus longisphatus; 5. Kandungan pati, bambu yang kandungan patinya lebih tinggi lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibanding bambu yang kandungan patinya lebih rendah; 6. Waktu penebangan, bambu yang ditebang pada musim hujan lebih rentan terhadap serangan kumbang bubuk dibandingkan yang ditebang pada musim panas; 7. Kandungan air, kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk.
Penyebab Kerusakan Bambu Penyebab kerusakan nonbiologis yang paling penting adalah kadar air. Kadar air yang tinggi menyebabkan kekuatan bambu menurun dan mudah lapuk. Karena itu, biasanya bambu segar dikeringkan terlebih dahulu sampai kadar air tertentu sebelum digunakan. Misalnya pada pembuatan rumah dan mebel, jika digunakan bambu segar, suatu saat pada musim kemarau, kandungan air pada bambu tersebut akan berkurang (menguap). Bambu akan menyusut, sambungan rumah dan mebel tersebut tidak pas lagi dan akhirnya rusak. Tetapi pengeringan yang terlalu parah (kadar air terlalu sedikit) dapat menyebabkan bambu menjadi retak atau pecah. Ini biasanya terjadi pada musim kemarau yang berkepanjangan. Sedangkan faktor perusak biologis bambu diantaranya adalah jamur, kumbang bubuk dan rayap. Bubuk kayu kering, jamur, dan rayap memiliki karakteristik dan tingkat kerusakan yang berbeda (Elsppat, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Tanda serangan bubuk kayu kering gampang sekali dikenali, yaitu adanya kotoran berupa tepung halus yang keluar dari lubang gerek. Lubang tersebut biasanya terdapat dipermukaan dan merupakan tempat keluarnya serangga dewasa. Beberapa jenis bubuk kayu yang sering menyerang bambu antara lain Dinoderus minutus, Heterobostrychus aequalis, atau Lyctus brunneus (Duryatmo, 2000). Organisme ini lebih senang menyerang bagian pangkal dan buku bambu daripada bagian tengah, ujung, atau ruas. Hal ini karena bagian pangkal dan buku memang memiliki kandungan pati yang lebih tinggi dibanding bagian tengah atau ujung. Demikian halnya dengan bagian buku, kandungan patinya lebih tinggi daripada ruas. Selain pati, bambu merupakan bahan berlignin selulosa yang rawan terhadap serangan jamur. Dalam penyimpanan, bambu akan bersentuhan dengan tanah. Padahal tanah merupakan salah satu media tumbuh jamur pengotor (mould) dan jamur pewarna (staining fungi) (Duryatmo, 2000). Tabel 3. Kandungan pati di ruas dan buku bambu ampel dan kaitannya dengan intensitas serangan Dinoderus minutus Rata-rata kandungan pati (%) Bagian bambu Intensitas serangan Ruas Buku Pangkal 0,61 0,48 8,24 Tengah 0,53 0,45 4,08 Ujung 0,50 0,45 4,48 (Matangaran dalam Duryatmo, 2000). Proses-proses Pengawetan Didalam ilmu pengawetan kayu, penggolongan proses pengawetan dibagi menjadi proses pengawetan tradisional (tanpa tekanan) dan proses pengawetan modern (dengan tekanan). Selain dengan cara perendaman dalam air menggenang, air mengalir, dan lumpur, proses pengawetan tradisional lainnya adalah pelaburan,
Universitas Sumatera Utara
pencelupan, penyemprotan, proses vakum, proses difusi, pengawetan pohon hidup, pengawetan tiang-pancang, perendaman, perendaman dingin, dan perendaman panas-dingin. Proses pengawetan ini menggunakan bahan pengawet kimia. Begitu juga dengan proses pengawetan modern (dengan tekanan) (Suranto, 2006). Secara keseluruhan, Suranto (2006) mengikhtisarkan pembagian proses pengawetan kayu dalam bagan berikut: Proses Pengawetan Kayu
Proses Pengawetan Tradisional
Proses Pengawetan Modern
Proses Tanpa Tekanan
Proses Dengan Tekanan
Pelaburan Penyemprotan Pencelupan Perendaman Perendaman dingin Perendaman panas – dingin Proses Vakum Proses Difusi Pengawetan pohon hidup Pengawetan Tiang Pancang
Proses Sel Penuh
Proses Sel Kosong
Proses Bethell
Proses Rueping
Proses Burnett
Proses Lowry
Gambar 1. Skema Proses Pengawetan Kayu Pengawetan Bambu Pengawetan bambu yang paling mudah dilakukan adalah dengan cara perendaman. Disamping mudah dilakukan, metode pengawetan ini juga tidak mengeluarkan biaya yang besar. Perendaman bahan material ini tergolong kepada proses pengawetan tradisional tanpa tekanan yang dibagi menjadi perendaman dalam air, perendaman dengan air mengalir, dan perendaman dalam lumpur (Elsppat, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Bambu dalam kondisi terbelah memerlukan perendaman selama 2 – 3 bulan untuk menghindarkannya dari serangan kumbang bubuk (Dinoderus sp.) tanpa mengurangi kekuatan bambu. Perendaman dalam air tergenang paling efektif dalam mengurangi kadar pati yang berakibat dapat mengawetkan bambu, kemudian diikuti dengan perendaman dalam lumpur, dan terakhir dengan perendaman dalam air mengalir dikarenakan bagian dalam bambu lebih permeabel dibandingkan kulit bambu, tentu saja pengawetan bambu bulat membutuhkan waktu yang lebih lama, apalagi untuk perendaman kayu, mengingat kayu mempunyai ukuran dimensi yang lebih tebal (Sulthoni dalam Suranto, 2006). Selama direndam, kayu atau bambu itu akan menyerap air dan ukuran dimensinya akan mengembang, baik dalam arah panjang, lebar maupun tebal. Proses pengembangan ini diikuti dengan proses melarutnya zat ekstraktif dari golongan yang larut air, misalnya gula, glukosida, tanin, beberapa senyawa nitrogen, dan zat pewarna kayu atau bambu. Sementara itu, zat ekstraktif dari golongan yang tidak larut dalam air, misalnya pati, akan tetap berada dalam jaringan kayu atau bambu. Kehadiran zat ektraktif yang larut dalam air mengakibatkan air rendaman secara berangsur-angsur mengalami perubahan susunan kimia. Hal itu terlihat dari warna air yang mengeruh dan konsentrasinya menjadi pekat. Air yang kondisinya demikian sangat baik bagi pertumbuhan mikroba (jasad renik). Mikroba ini didominasi oleh bakteri, terutama Bacillus subtilis, B. masentiricus, Lactobacillus sp, dan Staphylococcus sp. Kehadiran berbagai jenis bakteri ini akan mengeluarkan berbagai jenis enzim yang dapat menguraikan pati yang ada didalam kayu atau bambu itu menjadi unsur-unsur
Universitas Sumatera Utara
lebih sederhana yang larut dalam air. Penggunaan ini berlangsung melalui fermentasi berantai (Suranto, 2006) Tabel 4. Pengaruh rendaman terhadap serangan kumbang bubuk Rendaman 1 Bulan
Rendaman 2 Bulan
Rendaman 3 Bulan
Kadar
kumbang
Kadar
Kumbang
Kadar
Kumbang
Pati (%)
bubuk (X)
Pati (%)
Bubuk (X)
Pati (%)
Bubuk (X)
1. tanpa direndam
3,24
37,33
3,24
37,33
3,24
37,33
2. air mengalir
2,71
8
2,30
1
1,56
0,67
3. air menggenang
2,37
9
2,30
3,67
1,08
4,67
4. lumpur
2,73
7
2,74
0,67
1,97
0
1. tanpa direndam
0,62
6,33
0,62
6,33
0,62
6,33
2. air mengalir
0,41
0
0,34
0
0,31
0
3. air menggenang
0,43
0
0,28
0
0,23
0,34
4. lumpur
0,41
0
0,33
0
0,26
0
1. tanpa direndam
0,41
2,33
0,41
2,33
0,41
2,33
2. air mengalir
0,30
0
0,26
0
0,25
0
3. air menggenang
0,32
0
0,26
0
0,24
0
4. lumpur
0,31
0
0,26
0
0,20
0
1. tanpa direndam
0,35
1
0,35
1
0,35
1
2. air mengalir
0,30
0
0,26
0
0,25
0
3. air menggenang
0,27
0
0,26
0
0,25
0
4. lumpur
0,34
0
0,29
0
0,20
0
Jenis Bambu dan Rendaman
Bambu Ampel
Bambu Petung
Bambu Ulung
Bambu Apus
(Sulthoni dalam Elsppat, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Dengan fermentasi berantai itu, pati diubah menjadi disakarida oleh enzim amilase. Disakarida akan diubah menjadi glukosa oleh enzim maltase. Glukosa akan difermentasi menjadi asam pirufat oleh enzim glukonase.asam pirufat akan direduksi menjadi asam laktat, kemudian didekarbosilasi menjadi asetaldehida. Asetaldehida akan direduksi menjadi etanol. Etanol ini merupakan salah satu jenis alkohol, sehingga etanol akan larut dalam air (Suranto, 2006). Metode Vertical Soak Diffusion Pengawetan bambu dengan metode Vertical Soak Diffusion (VSD) merupakan langkah maju dan modifikasi dari sistem boucherie (sistem tekanan yang diperkenalkan oleh Prof. Dr. Liese) yang cocok untuk perkebunan bambu skala besar untuk keperluan konstruksi, perabot rumah tangga, dan kerajinan tangan. Sistem VSD cocok bagi daerah yang tidak memiliki perkebunan bambu (Garland, 2003). Lebih lanjut, Garland (2003) menjelaskan bahwa metode ini dilakukan dengan melubangi ruas bambu dengan batang besi, dengan menyisakan satu ruas pada ujung bambu, kemudian memasukkan bahan pengawet dalam bambu dengan posisi tegak. Dikarenakan bagian dalam dari bambu lebih permeabel daripada kulit bambu, maka proses masuknya larutan bahan pengawet akan lebih cepat. Senyawa Pati Pati merupakan karbohidrat yang terdapat di dalam bahan nabati yang tergolong kedalam polisakarida (homopolimer glukosa) dan berfungsi sebagai sumber energi. Berbagai polisakarida seperti pati banyak terdapat dalam serelia dan umbi-umbian. Selama proses pematangan, kandungan pati dalam buahbuahan manjadi gula-gula pereduksi yang akan menimbulkan rasa manis. Pati
Universitas Sumatera Utara
dalam jaringan tanaman mempunyai bentuk granula (butir) yang berbeda-beda. Dengan mikroskop, jenis pati dapat dibedakan karena mempunyai bentuk, ukuran, letak hilum yang unik, dan juga dengan sifat birefringent-nya (Winarno, 1995). Hidrolisis Pati Pati dapat dihidrolisis dengan enzim amilase menghasilkan maltosa (G, Gα-1,4), maltotriosa, dan isomaltosa (G, G-α-1,6). Bila pati dihidrolisis dengan enzim transglukosidase (dari Bacillus macerans) akan dihasilkan suatu oligosakarida dengan derajat polimerisasi lebih besar dari 6, dan terbentuk siklit. Senyawa tersebut disebut dekstrin Schardinger. Senyawa ini sangat larut dalam air dan karena dapat mengikat zat-zat hidrofobik maka dipergunakan sebagai food additive untuk memperbaiki tekstur bahan makanan (Winarno, 1995). Winarno (1995), juga mengatakan bahwa pati merupakan homopolimer glukosa dengan dengan ikatan α-glikosidik. Berbagai macam pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta apakah lurus atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari 2 fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut disebut amilopektin Proses Hidolisis Zat Pati Protozoa pada umumnya tersebar karena gejala alam, khusunya air laut, tapi juga air danau, kolam, empang dan sungai-sungai kecil. Tempat, tempat yang becek, kotor, kubangan, khususnya tempat becek yang berisi benda-benda organik atau benda yang hidup berisi dalam jumlah besar dari jenis binatang ini (Saksono dan Saksono, 1986). Zat pati adalah polisakarida yang terdiri dari ulangan sakarida glukosa. Bila zat pati dihidrolisiskan dengan bantuan eksoenzim amilase, zat pati diuraikan
Universitas Sumatera Utara
menjadi maltosa dan glukosa. Maltosa merupakan disakarida yang terdiri dari 2 unit glukosa. Sakarida ini diangkut kedalam sitoplasma sel dan digunakan sebagai sumber karbon dan energi (Lay, 1994). Lebih lanjut Lay (1994) mengatakan bahwa zat pati bereaksi secara kimiawi dengan yodium, reaksi ini terlihat sebagai warna biru kehitaman. Warna biru-hitam ini terjadi bila molekul yodium masuk kedalam bagian yang kosong pada molekul zat pati (amilosa) yang berbentuk spiral. Proses yodinisasi zat pati menghasilkan molekul yang mengabsorbsi semua cahaya, terkecuali warna biru. Bila zat pati ini telah diuraikan menjadi maltosa tau glukosa, warna biru ini tidak terjadi karena tidak adanya bentuk spiral. Tidak terbentuknya warna sewaktu penambahan yodium kedalam media merupakan petunjuk adanya zat pati. Bakteri Bakteri adalah termasuk jenis tumbuhan. Dia adalah makhluk hidup yang bersel satu dan tidak mempunyai zat hijau daun. Sel dari bakteri terdiri dari sebuah dinding dimana bisa dijadikan sarana untuk mendapatkan makanan dari sari makanan yang digabungkan oleh sel tersebut dalam berbagai penggunaan oleh bakteri itu sendiri. Pada umumnya bakteri dijabarkan dalam tiga kelompok besar, yaitu yang berbentuk seperti bola, berbentuk batang, dan berbentuk spiral (Saksono &saksono, 1986). Escherichia coli Bakteri
Escherichia
coli
tergolong
kedalam
kelompok
utama
Enterobacteriaceae atau lebih sering disebut dengan kelompok batang pendek gram-negatif yang dapat membentuk rantai. Morfologi khasnya dapat dilihat dalam pertumbuhan pada pembenihan padat in vitro, tetapi morfologinya sangat
Universitas Sumatera Utara
bervariasi dalam bahan klinik. Pada Klabsiella simpainya besar dan teratur, sementara pada Enterobacter tidak begitu besar, dan tidak lazim pada spesies yang lain (Jawetz et al, 1996). Selanjutnya, Jawetz et al. (1996), menyebutkan bahwa salah satu bakteri yang tergolong dalam Enterobacteriaceae adalah Escherichia coli. Escherichia coli dan kebanyakan bakteri enterik lain membentuk loloni yang bundar, cembung, halus dengan tepi yang nyata. Koloni Enterobacter serupa tetapi agak lebih mukoid. Koloni klebsiella besar, sangat mukoid, dan cenderung bersatu jika lama dieramkan. Salmonela dan shigela membuat koloni yang mirip dengan Escherichia coli tetapi tidak meragikan laktosa. Beberapa strain Escherichia coli menyebabkan hemolisis pada agar darah. Sukardi dan Sukamto (1999) mengatakan bahwa Escherichia coli termasuk basil coliform, merupakan flora komensal yang paling banyak pada usus manusia dan hewan, hidup aerobik/fakultatif anaerobik. Coliform dapat berubah menjadi oportunis patogen bila hidup di luar usus, menyebabkan infeksi saluran kemih, infeksi luka dan mastitis pada sapi. Escherichia coli dalam jumlah yang banyak bersama-sama tinjaakan mencemari lingkungan. Escherichia coli thermotoleran adalah Escherichia coli yang telah dapat hidup pada suhu biakan 44,5oC dan merupakan indikator pencemaran air dan makanan oleh tinja. Sel Escherichia coli mempunyai ukuran panjang 2,0 – 6,0 µm, tersusun tunggal, berpasangan, dengan flagella peritikus. Bakteri ini dapat menggunakan asetat sebagai sumber karbon, tetapi tidak dapat menggunakan sitrat. Glukosa dan beberapa karbohidrat lainnya dapat dipecah menjadi piruvat, dan fermentasi lebih lanjut menghasilkan laktat asetat dan
Universitas Sumatera Utara
format. Asam format oleh hidrogenliase dipecah menghasilkan CO2 dan H2 dalam jumlah yang sama banyaknya. Beberapa strain Escherichia coli bersifat aerogenik dan kebanyakan dapat memfermentasi laktosa atau memfermentasi secara lambat (Sukardi dan Sukamto, 1999). Berdasarkan taksonomi bakteri Escherichia coli tergolong pada: Dunia
: Prokariota
Divisi
: Gracilicutes
Kelas
: Skotobakteri
Ordo
: Eubakteriales
Famili
: Enterobakteriaceae
Genus
: Escherichia
Spesies
: coli
Universitas Sumatera Utara