Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
Pengembangan Iklim Investasi Daerah Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir
Abstract The dynamics of regional economy development that all this time is moved by domestic consumption needs to be pushed by investment and export. For that reason, conducive investment climate is needed. It is a climate that encourages someone to do investment with cost and risk as low as possible and produces high and long term profit. There are some factors which influence the investment, namely politic and social stability, base infrastructure condition, financing sector, labor market, regulation, taxation, bureaucracy, corruption, consistency and policy assurance. Keywords: Economy development, regional investment, regulation
A. Pengantar Tingkat pengangguran terbuka di Indonesia sampai tahun 2010 masih tinggi dan diperkirakan tahun 2012 terus meningkat. Tingginya tingkat pengangguran ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi Indonesia yang belum dapat menciptakan lapangan kerja baru. Hal ini mengakibatkan upaya menciptakan kesempatan kerja seluas-luasnya tidak sepenuhnya dapat dicapai. Jika pada tahun 2009 pengangguran terbuka berjumlah 10,3 juta orang atau 9,9% dari jumlah angkatan kerja, maka pada tahun 2011 jumlahnya telah menjadi 10,9 juta orang atau 10,3% dari jumlah angkatan kerja. Pengangguran terbuka di Indonesia juga masih diwarnai oleh besarnya kelompok usia muda dan berpendidikan sangat rendah. Pada tahun 2011 pengangguran terbuka pada kelompok usia muda (15-24 tahun) berjumlah 6,6 juta orang atau
10
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
60,8% dari jumlah pengangguran terbuka. Tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh sebagian besar pengangguran terbuka hanya sekolah menengah pertama ke bawah, yaitu 6,2 juta orang atau 54,7% pengangguran terbuka. Sebagian besar pengangguran terbuka berada di daerah perkotaan yaitu sebesar 5,9 juta orang atau sekitar 54,2%. Namun demikian, terdapat kecenderungan meningkatnya jumlah pengangguran terbuka di daerah perdesaan selama kurun waktu 3 tahun terakhir ini. Jika pada tahun 2003 jumlah pengangguran terbuka di daerah pedesaan sebesar 4,6 juta orang, pada tahun 2005 menjadi 4,9 juta orang. Dari jumlah keseluruhan pengangguran terbuka, sekitar 5,5 juta orang atau 50,5%-nya berada di pulau Jawa. Kondisi ini juga perlu mendapatkan perhatian yang serius mengingat daya dukung perekonomian dan sumber daya alam juga semakin terbatas di pulau Jawa. Sampai awal tahun 2011, jumlah angkatan kerja adalah sebanyak 105,8 juta orang atau naik sekitar 1,8 juta dibandingkan dengan tahun 2010. Namun, lapangan kerja baru yang tercipta hanya sebesar 1,2 juta. Dari jumlah tersebut, hanya 200 ribu tenaga kerja baru yang diserap oleh kegiatan ekonomi formal, sementara sisanya yang sebesar 1 juta tenaga kerja diserap oleh kegiatan ekonomi informal. Pekerja pada kegiatan ekonomi informal mengalami kenaikan dari sebesar 63,2% dari seluruh angkatan kerja pada tahun 2009 menjadi 63,9% atau 60,6 juta orang pada tahun 2011. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa pekerjaan yang memiliki perlindungan sosial yang baik (pekerjaan formal) terus menurun dan digantikan oleh pekerjaan yang kurang produktif (pekerjaan informal) dan tanpa perlindungan sosial. Sebagian besar pekerja Indonesia bekerja di kegiatan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menyerap sebanyak lebih dari 99,5% dari jumlah tenaga kerja, dengan tingkat produktivitas tenaga kerja yang jauh lebih rendah dibanding produktivitas usaha besar. Lebih jauh lagi, masih banyak pekerja yang bekerja kurang dari 35 jam seminggu atau yang sering disebut setengah pengangguran. Pekerja setengah pengangguran ini mencapai 35 juta pekerja atau 37,2% dari jumlah angkatan kerja dan mereka ini kebanyakan bekerja di lapangan pekerjaan informal dengan produktivitas rendah. Selain itu, karena lebih dari 50,0% dari angkatan kerja yang ada hanya lulusan sekolah dasar atau sekolah dasar ke bawah, pekerjaan yang digelutinya menjadi kurang produktif.
11
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
Hal ini berakibat pada rendahnya pendapatan riil mereka sehingga kurang memberikan pendapatan yang dapat menyokong kebutuhan dasar minimalnya. Masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar negeri juga masih mewarnai kondisi ketenagakerjaan Indonesia, khususnya terkait dengan penyelenggaraan, penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Berbagai kebijakan permasalahan pengiriman TKI masih perlu terus diperbaiki dan disempurnakan agar TKI dapat bekerja dengan baik, terlindungi hak asasinya, dan bisa menikmati hasil jerih payahnya secara penuh. Di samping itu, keselamatan TKI yang bekerja di luar negeri belum mendapat perlindungan secara optimal. Sejauh ini masalah yang dihadapi adalah minimnya perlindungan hukum, sejak rekrutmen, ketika bekerja di luar negeri, dan sekembalinya ke tanah air. Bahkan terjadi banyak kasus pemulangan TKI secara paksa karena mereka tidak memiliki dokumen lengkap. Permasalahan lain yang berkaitan dalam kerangka hubungan industrial adalah masih besarnya potensi perbedaan pendapat serta perselisihan antara pemberi kerja dan penerima kerja. Perselisihan hubungan industrial yang mengakibatkan pertentangan antara pemberi kerja dengan penerima kerja, yang antara lain berupa perselisihan mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, kecenderungannya semakin meningkat. Selain masalah hubungan industrial, kualitas dan kompetensi tenaga kerja juga masih perlu mendapat perhatian agar tenaga kerja Indonesia mampu bersaing. Lembaga pelatihan kerja yang dikelola Pemerintah (Balai Latihan Kerja/BLK) yang semestinya dapat menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas juga tidak dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara optimal. Sebagian BLK yang dikelola oleh pemerintah daerah (provinsi/kabupaten/kota) sudah dialihfungsikan untuk keperluan lain yang tidak terkait dengan pelatihan kerja. Sebagian BLK lainnya kondisinya sudah tidak layak, seperti peralatan pelatihan yang tidak dapat dioperasionalkan dan tertinggal teknologinya, serta sarana pendukung lainnya yang sangat minim. Di samping itu, belum adanya Kerangka Kualifikasi Nasional Bidang Pendidikan dan Pelatihan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara sertifikasi kompetensi tenaga kerja kedua bidang tersebut.
12
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
Kondisi ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2012 diperkirakan akan masih memiliki kecenderungan yang sama dengan kondisi pada tahun 2009. Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang cukup tinggi mengakibatkan meningkatnya biaya produksi perusahaanperusahaan pemberi pekerjaan. Hal ini selain meningkatkan tekanan biaya hidup kepada masyarakat, juga mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk tetap bertahan menjalankan usahanya. Untuk mengefisienkan usahanya, perusahaan pun melakukan pembatasan pekerjaan sampai pada keputusan yang tidak banyak disukai, yaitu pemutusan hubungan kerja (PHK). Gejala PHK ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah karena hal ini dapat memperbesar angka pengangguran dan menurunkan daya beli masyarakat. Tekanan biaya hidup pekerja yang semakin tinggi juga menimbulkan tuntutan akan kenaikan upah minimum yang proses penetapannya sejauh ini masih mempunyai banyak kelemahan. Selanjutnya, upah pekerja formal yang semakin meningkat akibat kenaikan upah minimum tidak diimbangi dengan meningkatnya upah pekerja informal. Kenaikan upah pekerja formal ini dan membesarnya lapangan kerja informal telah menyebabkan jurang perbedaan upah yang semakin lebar antara pekerja formal dan informal. Selain itu, adanya kecenderungan peningkatan upah pekerja formal di industri besar tanpa mempertimbangkan produktivitas akan berakibat pada penurunan daya saing. Dengan kondisi seperti ini, tantangan yang dihadapi dalam mengatasi permasalahan ketenagakerjaan adalah: 1) Menciptakan lapangan pekerjaan formal atau modern yang seluasluasnya. Tantangan ini tidak mudah karena iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif, dan hal ini terkait dengan peraturanperaturan ketenagakerjaan yang masih perlu disempurnakan. 2) Memberikan dukungan yang diperlukan agar pekerja dapat berpindah dari pekerjaan dengan produktivitas rendah ke pekerjaan dengan produktivitas tinggi. Dukungan ini sangat diperlukan agar pekerja informal secara bertahap dapat bergeser ke lapangan kerja formal. Tantangan ini diikuti dengan pentingnya pemberdayaan UMKM yang banyak menyerap tenaga kerja informal. Masalah kekakuan kebijakan ketenagakerjaan yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi, perubahan pola hubungan industrial antara Pemerintah, pekerja dan pemberi kerja, serta pengurusan TKI masih
13
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
menjadi tantangan utama yang harus dihadapi. Tingkat pendidikan, keterampilan/keahlian, dan kompetensi tenaga kerja juga masih harus ditingkatkan untuk mempersiapkan tenaga kerja Indonesia agar dapat berkiprah dalam persaingan global. B.
Kondisi Investasi di Indonesia Investasi berarti pembelian (dan berarti juga produksi) dari kapital/modal barang-barang yang tidak dikonsumsi tetapi digunakan untuk produksi yang akan datang (barang produksi). Investasi juga adalah suatu komponen dari Pendapatan Daerah yang dinyatakan dengan Produk Domestik Regional Bruto( PDRB) dengan rumus PDRB = C + I + G + (X-M). Investasi terkait dengan fungsi pendapatan dan tingkat bunga, dilihat dengan kaitannya I = (Y,i). Suatu pertambahan pada pendapatan akan mendorong investasi yang lebih besar, dimana tingkat bunga yang lebih tinggi akan menurunkan minat untuk investasi sebagaimana hal tersebut akan lebih mahal dibandingkan dengan meminjam uang. Walaupun jika suatu perusahaan lain memilih untuk menggunakan dananya sendiri untuk investasi, tingkat bunga menunjukkan suatu biaya kesempatan dari investasi dana tersebut daripada meminjamkan untuk mendapatkan bunga. Ekonomi Wilayah akan terus mengalami perkembangan dan dinamika, Dinamika ini sangat dipengaruhi oleh kebijakan baik kabupaten maupun propinsi. Dinamika ini sangat terkait dengan iklim investasi yang baik. Iklim investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan risiko serendah mungkin, dan menghasilkan keuntungan jangka panjang yang tinggi. Setelah krisis 1998 jumlah proyek baru PMA (Penanaman Modal Asing), paling tidak berdasarkan data persetujuan dari BKPM (Badan Koordinasi dan Penanaman Modal), sempat mengalami peningkatan. Namun setelah tahun 2000, jumlahnya menurun dan cenderung akan berkurang terus. Satu hal yang menarik dari data BKPM tersebut adalah bahwa sejak krisis, jumlah proyek baru PMA rata-rata per tahunnya lebih besar daripada jumlah proyek baru PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri). Ini menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung/jangka panjang di dalam negeri, khususnya dalam periode
14
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
pasca krisis, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN. Namun demikian, dilihat dari nilai netonya (arus investasi masuk – arus keluar), gambarannya setelah krisis lebih memprihatinkan; walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif . Lebih banyaknya arus PMA keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia. Terutama perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu, dan lainnya, yakni yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia akan dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak lagi menguntungkan. Buruknya daya saing Indonesia dalam menarik PMA lebih nyata lagi jika dibandingkan dengan perkembangan PMA di negara-negara lain. Misalnya dalam kelompok ASEAN, Indonesia satu-satu negara yang mengalami arus PMA negatif sejak krisis ekonomi 1998; walaupun nilai negatifnya cenderung mengecil sejak tahun 2000. Hal ini ada kaitannya dengan iklim politik yang semakin baik dibandingkan pada periode 19981999, yang memperkecil keraguan calon-calon investor untuk menanam modal mereka di Indonesia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa iklim investasi mencerminkan sejumlah faktor yang berkaitan dengan lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan insentif bagi pemilik modal untuk melakukan usaha atau investasi secara produktif dan berkembang. Lebih konkritnya lagi, iklim usaha atau investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan resiko serendah mungkin di satu sisi, dan bisa menghasilkan keuntungan jangka panjang setinggi mungkin, di sisi lain (Stern, 2002). Sebagai contoh, beberapa studi menunjukkan bahwa di China dan India, sebagai hasil dari perbaikan-perbaikan iklim investasi pada dekade 80-an dan 90-an yang menurunkan biaya dan risiko investasi sangat drastis, maka investasi swasta sebagai bagian dari produk domestik bruto (PDB) meningkat hampir 200 persen. Ada sejumlah faktor yang sangat berpengaruh pada baik-tidaknya iklim berinvestasi di Indonesia. Faktor-faktor tersebut tidak hanya menyangkut stabilitas politik dan sosial, tetapi juga stabilitas ekonomi, kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja
15
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
(termasuk isu-isu perburuhan), regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam waktu dan biaya yang diciptakan), masalah good governance termasuk korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan neto atas biaya resiko jangka panjang dari kegiatan investasi, dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak. Masalah Freeport dan lamanya pemerintah mengambil keputusan dalam kasus Exxon di Cepu baru-baru ini juga sangat mempengaruhi iklim berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Hal yang menarik adalah menyangkut prosedur perijinan investasi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN, perijinan untuk memulai suatu usaha di Indonesia membutuhkan waktu yang lebih lama dengan 12 prosedur yang harus dilalui dengan waktu yang dibutuhkan selama 151 hari (sekitar 5 bulan) dan biaya yang diperlukan sebesar 131 persen dari per capita income (sekitar US$ 1.163). Sementara itu untuk memulai usaha di Malaysia hanya melalui 9 prosedur dengan waktu yang dibutuhkan hanya 30 hari dan biaya yang diperlukan hanya sekitar 25 persen dari per capita income (sekitar US$ 945). Adapun untuk memulai usaha di Filipina dan Thailand hanya membutuhkan waktu masing-masing selama 50 hari dan 33 hari dengan biaya masing-masing sebesar 20 persen (sekitar US$ 216) dan 7 persen (sekitar US$ 160) dari per capita income. Prosedur yang panjang dan berbelit tidak hanya mengakibatkan ekonomi biaya tinggi tetapi juga menghilangkan peluang usaha yang seharusnya dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan perusahaan maupun untuk kepentingan nasional seperti dalam bentuk penciptaan lapangan kerja. Di dalam suatu laporan Bank Dunia mengenai iklim investasi (World Bank, 2009), diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. Walaupun sedikit berbeda dalam peringkat kendala investasi antar negara, hasil survei Bank Dunia tersebut didukung oleh hasil survei tahunan mengenai daya saing negara yang dilakukan oleh The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. Berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah
16
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan. C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Iklim Investasi Ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada iklim investasi, yakni stabilitas politik dan sosial, kondisi infrastruktur dasar, sektor pembiayaan, pasar tenaga kerja, regulasi, perpajakan, birokrasi, korupsi, konsistensi dan kepastian kebijakan. Bank Dunia Melaporkan tentang iklim investasi (World Bank, 2009), diantara faktor-faktor tersebut, stabilitas ekonomi makro, tingkat korupsi, birokrasi, dan kepastian kebijakan ekonomi merupakan empat faktor terpenting. The World Economic Forum (WEF) yang hasilnya ditunjukkan di dalam laporan tahunannya, The Global Competitiveness Report. berdasarkan persentase dari responden, ternyata tiga faktor penghambat bisnis yang mendapatkan peringkat paling atas adalah berturut-turut birokrasi yang tidak efisien, infrastruktur yang buruk, dan regulasi perpajakan. Faktor-Faktor yang berpengaruh pada investasi dari yang terkecil paling atas sampai terbesar paling bawah, meliputi: 1. Inflasi 2. Etika dan Kinerja Tenaga Kerja yang Buruk 3. Pemerintahan yang tidak stabil 4. Kriminalitas 5. Regulasi valas 6. Akses ke keuangan 7. Tarif pajak 8. Regulasi tenaga kerja restriktif 9. Kebijakan tidak stabil 10. Kualitas SDM buruk 11. Korupsi 12. Regulasi perpajakan 13. Infrastruktur buruk 14. Birokrasi yang tidak efisien D.
Peningkatan Iklim Investasi di Daerah Dinamika perkembangan ekonomi daerah yang selama ini banyak digerakan oleh konsumsi domestik, perlu juga didorong oleh Investasi dan Ekspor. Untuk itu, diperlukan iklim investasi yang kondusif
17
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
(Kuncoro, 2004). Menurut Tambunan (2006), iklim investasi yang kondusif adalah iklim yang mendorong seseorang melakukan investasi dengan biaya dan risiko serendah mungkin, dan menghasilkan keuntungan jangka panjang yang tinggi. Ada sejumlah faktor yang berpengaruh pada iklim investasi, yakni stabilitas politik dan sosial, kondisi infrastruktur dasar, sektor pembiayaan, pasar tenaga kerja, regulasi, perpajakan, birokrasi, korupsi, konsistensi dan kepastian kebijakan. Potensi investasi di daerah adalah objek yang ditawarkan untuk melakukan kerjasama dalam investasi bagi daerah. Objek investasi dan ekonomi ini menjadi isi materi promosi investasi. Masing-masing daerah harus memililiki objek investasi. Masing-masing Propinsi baik kabupaten maupun kota dapat mengembangkan objek investasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yaitu meliputi: (1) Kawasan industri (2) Kawasan pengembangan ekonomi terpadu, (3) Pengembangan sektor unggulan (4) Sektor yang terkait dengan Masterplan Percepatan dan Perluasan Ekonomi Indonesia (MP3EI) Untuk menjamin pengembangan iklim usaha dan investasi, maka upaya yang dilakukan adalah melakukam minimalisir berbagai hambatan yang terjadi. Meskipun demikian, rendahnya kinerja investasi masih menghadapi beberapa permasalahan dan tantangan pokok, yaitu sebagai berikut: 1) Prosedur perijinan yang terkait dengan investasi yang panjang, dimana prosedur perijinan untuk memulai usaha di Indonesia termasuk sangat lama di Asia yang mencakup 12 prosedur dengan waktu sekitar 151 hari, sedangkan prosedur perijinan investasi di RRC, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam berturut-turut hanya membutuhkan sekitar 40 hari, 20 hari, 30 hari, 50 hari, 8 hari, 33 hari, dan 56 hari; 2) Rendahnya kepastian hukum yang tercermin dari masih banyaknya tumpang-tindih kebijakan antara pusat dan daerah dan antar sektor serta belum diundangkannya RUU Penanaman Modal guna lebih menjamin kepastian hukum di bidang investasi;
18
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
3)
4) 5)
Belum menariknya insentif bagi kegiatan investasi, dimana jika dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia termasuk tertinggal di dalam menyusun insentif investasi; Rendahnya kualitas infrastruktur yang sebagian besar dalam keadaan rusak akibat krisis; Iklim ketenagakerjaan yang kurang kondusif bagi berkembangnya investasi; walaupun telah ditetapkan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan berkaitan dengan Investasi, antara lain: KETENAGAKERJAAN Pasal 10 (1) Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. (2) Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
6)
Kurangnya jaminan investasi/usaha.
keamanan
untuk
melakukan
kegiatan
Sementara itu, peranan perdagangan dalam negeri menjadi penting dalam mendorong kelancaran arus barang dan jasa melalui peningkatan efisiensi sistem distribusi nasional guna mendukung kelancaran barang ekspor. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan perdagangan dalam negeri adalah: 1) Masih tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha secara langsung menurunkan daya saing produk ekspor;
19
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
2) Masih rendahnya penggunaan produk dalam negeri, baik oleh industri maupun konsumen; 3) Belum optimalnya pemanfaatan mekanisme bursa berjangka komoditi sebagai sarana hedging price discovery dan investasi; 4) Belum optimalnya pelaksanaan dan penerapan perlindungan konsumen; 5) Maraknya ekses pelaksanaan otonomi daerah yang banyak menghambat kelancaran distribusi barang dan jasa; 6) Keterbatasan dan rendahnya kualitas infrastruktur seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara, listrik dan jaringan komunikasi merupakan faktor utama penyebab tingginya biaya ekspor; dan 7) Masih belum terintegrasinya sistem jaringan koleksi dan distribusi nasional yang kurang mendukung peningkatan daya saing ekspor. Penciptaan iklim persaingan usaha sehat dan peningkatan perlindungan konsumen sangat penting untuk mendorong peningkatan daya saing produk ekspor yang berbasis efisiensi dan kompetitif. Namun demikian, permasalahan dan tantangan yang masih dihadapi dalam mewujudkan persaingan usaha yang sehat adalah: 1) Masih lemahnya tingkat kesadaran para pelaku usaha dalam memahami nilai-nilai persaingan usaha yang sehat; 2) Proses peradilan dalam penegakkan persaingan usaha masih belum berjalan secara optimal; dan 3) Masih adanya kelemahan substansi dalam materi hukum undangundang persaingan usaha (UU No. 5 Tahun 1999), termasuk masih kurangnya harmonisasi dengan perangkat hukum lainnya. Sementara itu, permasalahan dan tantangan yang dihadapi dalam perlindungan konsumen adalah percepatan upaya penataan peraturan perundangan untuk meningkatkan efektifitas implementasi penegakan perlindungan konsumen. E.
Peranan Pemerintah Daerah Dalam Peningkatan Investasi Pembangunan Ekonomi Daerah adalah suatu proses menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk daerah dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan kelembagaan. Pemerintah daerah memiliki empat peran strategi pembangunan ekonomi daerah, yakni
20
yang suatu sistem dalam
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
1)
Peran sebagai entrepreneur, pemda bertanggung jawab menjalankan bisnis (BUMD), 2) Peran koordinator, penetapan dalam kebijakan dan strategi pembangunan, yang melibatkan masyarakat. 3) Peran fasilitator, pemerintah daerah mempercepat pembangunan melalui perbaikan lingkungan (perilaku) dan 4) Peran stimulator, memberikan rangsangan pengembangan usaha dan Investasi Berdasarkan fungsi dan peranan di atas dalam pembangunan ekonomi daerah maka pemerintah daerah memiliki beberapa strategi dalam pengembangan ekonominya. Beberapa strategi dapat dilakukan melalui: 1) Pengembangan fisik/lokalitas, kawasan industri, kawasan investasi lainnya. 2) Strategi pengembangan dunia usaha melalui upaya-upaya Kebijakan yang merangsang usaha, melalui langkah langkah sebagai berikut: a. Perbaikan kualitas lingkungan, b. Pengembangan pusat informasi dan promosi, c. Pusat pengembangan usaha kecil d. Pusat penelitian produk daerah. Berdasarkan strategi di atas, maka perlu dikembangakan informasi dan promosi yang terkait dengan pengembangan usaha yang meliputi peluang-peluang investasi dan pengembangan perkonomian wilayah. Mekanisme pengaruh lingkungan dan investasi dapat terlihat pada gambar di bawah ini.
21
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
Gambar 1 Sinergitas Lingkungan Luas dan Langsung Bagi Peningkatan Investasi di Daerah
Pengembangan informasi ini perlu dikelola secara khusus baik kelembagaan maupun content atau materi informasi yang terkait dengan penyebaran informasi yang bersifat promotif bagi dunia investor dan konsumen pada umumnya. Oleh sebab itu, diperlukan upaya standar promosi daerah serta kelembagaanya sehingga informasi yang disampaikan memiliki kesahihan kejelasan serta memiliki kepastian bagi investor. Begitu juga kelembagaan dalam memberikan pelayanan dapat memberikan kepuasan kepada cutomer. Untuk perlu disusun pedoman pengembangan promosi investasi dan promosi ekonomi untuk mendukung kinerja pemerintah daerah dalam upaya pengembangan daerahnya, terutama dalam pembangunan perekonomiannya.
22
Andi Sopandi dan Nandang Nazmulmunir – Pengembangan Iklim Investasi Daerah
Daftar Pusataka Boender, Kees. 1990. In Search of Bonds in Rural Small-Scale Industry. Makalah Symposium on Small Industries.YIIS-EUR, Cipanas 7-12 Juli 1990. Brown, JAC. 1954. The Social Psychology of Industry. Great Britian: C. Nicholas & Company Ltd. Craib, Ian. 1992. Teori-Teori Sosial Modern; Dari Parsons Sampai Habermas. Jakarta: Rajawali Pers. Ediyono, Setijati H. 1999. Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Ife, Jim. 1995. Community Development; Creating Community Alternatives-Vision, Analysis and Practic”. Australia: Longman. Indonesia, Departemen Perindustrian. 1995. Lima Puluh Tahun Pembangunan Industri Mengisi Kemerdekaan Republik Indonesia (1945-1995). Jakarta. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan Untuk Rakyat; Memadukan Pertumbuhan dan pemerataan. Jakarta: Pustaka Cidesindo. Korten, David C. 1993. Menuju Abad ke-21: Tindakan Sukarela dan Agenda Global Forum Pembangunan Berpusat-Rakyat. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Pustaka Sunar Harapan. ___________. 1992. Management Community; Asian Experience and Perspektves. Kumarian Press. Miles, Mathew B. dan A. Michael Huberman. 1992. Analisa Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. Parker, S.R. 1985. Sosiologi Industr”. Jakarta: Bina Aksara. Poot, H., Kuyvenhoven dan Jaap Jansen. 2000. Industrilisation and Trade in Indonesia. Yogyakarta: UGM Press. Rangkuti, Freddy. 1999. Analisis SWOT; Teknik Membedah Kasus. Jakarta: Gramedia Scheineder, EV. 1986. Sosiologi Industri. (Terjemahan Ginting). Jakarta: Aksara Persada. Sheldon E.B and W.E. Moore. 1968. Indicator of Social Change Concepts and Measurements. New York: Russel Sage Foundation.
23
Jurnal Kybernan, Vol. 3, No. 1, Maret 2012
Sjahrir dan Brown. 1992. Indonesian Financial and Trade Policy Deregulation: Reform and Response, dalam Adrew J. MacIntyre and Kanishaka Jayasuriya (eds). The Dynamic of Economic Policy Reform in South-East Asia and South-West Pasific. Singapore: Oxford University Press. Suhandojo. 2002. “Pengembangan Wilayah Pedesaan dan Kawasan Tertentu: Sebuah Kajian Eksploratif”. Jakarta: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Suryani, Nani. 2002. Pencemaran Lingkungan karena Limbah Industri. Bandung: UNILA. Todaro, Michael P. 2005. “Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga”. Jakarta: Erlangga. Yustika, Ahmad Erani. 2000. “Industrialisasi Pinggiran”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Yuwono S, Arief M, Simanjuntak PJ dan Sagir S. 1985. Produktifitas dan Tenaga Kerja Indonesia. Jakarta: Lembaga Sarana Informasi Usaha dan Produktifitas.
24