BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian mengenai penanganan pencemaran limbah laboratorium sebenarnya sudah banyak dilakukan, namun pada prosesnya banyak yang menggunakan proses konvensional baik secara fisik maupun kimiawi, sehingga diperlukan cara-cara baru yang lebih efektif dan efisien dengan pendekatan yang ramah lingkungan. 2.1 Metode Elektrokoagulasi Proses ini dapat mengambil lebih dari 99% kation beberapa logam berat dan dapat juga membunuh mikroorganisme dalam air. Proses ini juga dapat mengendapkan koloid - koloid yang bermuatan dan menghilangkan ion - ion lain, koloid-koloid, dan emulsi-emulsi dalam jumlah yang signifikan (Renk, 1989; Fraco, 1974). Kelebihan proses pengolahan limbah dengan elektrokoagulasi antara lain (Purwaningsih, 2008): flok yang dihasilkan elektrokoagulasi ini sama dengan flok yang dihasilkan koagulasi biasa, lebih cepat mereduksi kandungan koloid/partikel yang paling kecil, hal ini disebabkan pengaplikasian listrik kedalam air akan mempercepat pergerakan partikel-partikel didalam air dengan demikian akan memudahkan proses elektrokoagulasi, gelembung gas yang dihasilkan pada proses elektrokoagulasi ini dapat membawa polutan ke atas air sehingga dapat dengan mudah dihilangkan, mampu memberikan efisiensi proses yang cukup tinggi untuk berbagai kondisi, dikarenakan tidak dipengaruhi temperatur, tidak
7
8
memerlukan pengaturan pH, serta tidak perlu menggunakan bahan kimia tambahan. Berbagai penelitian telah menunjukkan elektrokoagulasi sebagai teknik yang efisien untuk pembuangan polutan pada air permukaan di dataran rendah (Jiang dkk., 2002), pembuangan air limbah perkotaan (Vik dkk., 1984), limbah restoran (Chen dkk., 2000), limbah logam krom (Barrera-D´ıaz dkk., 2003a), dan limbah industri (Barrera-D´ıaz dkk., 2003b, 2009). Hasil penelitian secara konsisten telah menunjukkan bahwa elektrokoagulasi adalah salah satu teknik paling menjanjikan untuk pengolahan air limbah, mendapatkan efisiensi pembuangan antara 70 hingga 95% dalam hal COD dan peningkatan kebutuhan oksigen biokimia (BOD) dan lebih sedikit menghasilkan endapan/kotoran dibandingkan prosedur-prosedur alternatif (Barrera-D´ıaz dkk., 2003a). 2.2 Metode EAPR Metode fitoremediasi mengandalkan peran tanaman untuk menyerap, mendegradasi, mentransformasi, dan memobilisasi bahan pencemar baik logam berat maupun senyawa organik (Prasad, 2004). Penelitian terdahulu telah membuktikan bahwa tanaman air seperti eceng gondong (Eichornia crassipes) dan kayu apu (Pistia stratiotes) dapat digunakan untuk proses Remediasi logam-logam berat yang terdapat diperairan seperti Pb, Cd, Zn dan Cu (Putra dkk., 2005; Putra dkk., 2006a,b). Namun teknologi fitoremediasi dengan memanfaatkan tanaman air juga memiliki beberapa kelemahan, seperti: biomassa yang lambat dan akar tanaman yang pendek (Hodko dkk., 2000). Teknologi gabungan proses elektrokimia dengn
9
fitoremediasi yang disebut dengan electro-assisted phytoremediation (EAPR) (Putra dkk., 2013, Cang dkk., 2012) dapat digunakan sebagai alternatif lain untuk mengatasi kekurangan yang terdapat pada proses fitoremediasi. Teknologi EAPR juga telah lama diuji coba dalam skala laboratorium pada proses fitoremediasi cemaran logam berat di media tanah dengan hasil yang memuaskan (Hodko dkk., 2000; O’Connor dkk., 2003; Zhou dkk., 2007; Aboughalma dkk., 2008; Cang dkk, 2012; Bi dkk., 2010). Akan tetapi, aplikasi EAPR pada media hidroponik masih sangat jarang dilakukan kecuali yang pernah dilakukan oleh Bi dkk., (2010) untuk mengevaluasi kemampuan tanaman Lactuta sativa pada proses Remediasi logam Cd. Aplikasi proses EAPR pada media air pertama kali dilakukan oleh Bi dkk., (2010) dengan menggunakan tanaman selada (Lactuta sativa) yang tumbuh dalam media limbah yang mengandung Cd. Hasil penelitian menunjukkan, akumulasi signifikan logam Cd (> 90%) pada bagian akar dan batang tanaman. Bi dkk., (2010) menggunakan arus listrik pada proses metode EAPR, arus ini berfungsi untuk meningkatkan transportasi zat-zat hara dan air yang dibutuhkan bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Loveless (1987), tanaman yang diberikan arus listrik akan meningkatkan penyerapan unsur hara oleh tanaman itu sendiri. Hal ini terjadi karena listrik akan merangsang membesarnya vakuola tanaman, dengan demikian sitoplasma terdorong ke pinggiran sel sehingga proplasma tanaman dekat dengan permukaan sel, hal ini menyebabkan pertukaran atau penyerapan bahan antara sel dengan sekelilingnya menjadi lebih efisien. Tanaman rumput (Kentucky bluegrass) yang ditumbuhkan pada media hidroponik yang
10
mengandung logam Pb menunjukkan akumulasi logam tersebut (>98%) pada bagian akar dan daun tanpa menghambat pertumbuhan tanaman bila dilihat pada kandungan klorofil dan biomassa tanaman (Putra dkk., 2013). Penelitian mengenai fitoremediasi juga dilakukan oleh Kubiak dkk., (2012) pada media air, penelitian ini memperlihatkan hasil yang signifikan dari penyerapan logam As (>90%) pada tanaman Lemna minor ketika media air yang tercemar logam diberi arus listrik sebesar 2.1 V dibandingkan dengan proses fitoremediasi biasa. Metode EAPR pada penelitian sebelumnya menunjukkan hasil yang sangat baik diantaranya hasil penelitian yang dilakukan oleh Novarita (2014) menunjukan bahwa penyerapan logam Cu adalah sebesar 58% menggunakan EAPR, sedangkan dengan menggunakan fitoremediasi biasa hanya mampu menyerap logam Cu sebesar 39%. Hal ini menunjukan bahwa penyerapan logam Cu menggunakan metode EAPR lebih efektif dibandingkan dengan fitoremediasi biasa. 2.3 Metode Elektrokoagulasi dan EAPR Proses elektrokoagulasi menggunakan elektroda besi atau alumunium sebagai anoda dan logam Ca/Ti sebagai katoda. Ketika arus listrik dialirkan, maka (Al3+) dihasilkan secara elektrokimia di dekat anoda akan menciptakan koagulan Al(OH)3. Sebagian kontaminan dapat dihilangkan dengan metode elektrokoagulasi, yang dilanjutkan menggunakan fitoremediasi sebagai teknik penyempurnaan.
Pengolahan
elektrokoagulasi
menunjukkan
pengurangan
konsentrasi COD dari air limbah sebesar 75%, dan setelah fitoremediasi diperoleh total pengurangan 91% konsentrasi COD. Pengolahan terpadu
11
elekrokoagulasi-fitoremediasi dapat mengurangi (COD) sebesar 91%, intensitas warna sebesar 97%, serta kekeruhan sebesar 98% (Cano-Rodríguez dkk., 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Cano-Rodríguez dkk., (2010) dengan limbah industri yang berasal dari Mexico dengan menggunakan gabungan metode elektrokoagulasi dan EAPR menunjukkan hasil yang signifikan. Kesamaan yang diterapkan pada penelitian kali ini adalah penggunaan elektroda Alumunium sebagai anoda. Dengan demikian, pada penelitian kali ini kesamaan yang digunakan adalah penggunaan elektroda Al, sedangkan variasi lain yang digunakan pada penelitian ini yaitu: bentuk reaktor elektrokoagulasi, volume reaktor dan tanaman air. Volume rekator sebelumnya hanya mampu menampung limbah sebanyak 4 L yang ditingkatkan menjadi 10 L. 2.4 Biomarker Penanda biologis atau biomarker di dalam ikan dapat berfungsi sebagai alat yang berguna untuk mengevaluasi beban pencemaran di lingkungan perairan dan menerima sinyal peringatan dini yang berhubungan dengan ancaman lingkungan yang baru. Penanda biologis didefinisikan sebagai pengukuran spesifik yang merefleksikan adanya interaksi biologis dengan agen lingkungan misalnya Cd, Pb maupun Hg. Penanda biologis biasa digunakan untuk analisis resiko di bidang kesehatan lingkungan. Penggunaan biomarker untuk monitoring lingkungan merupakan sebuah metode yang memanfaatkan analisis kimia seperti halnya bioindikator. Biomarker adalah respon-respon yang diukur pada tingkat individu, yang berkisar dari pengukuran enzim dan metabolisme xenobiotic pada
12
indek organ dan kondisi keseluruhan. Monitoring lingkungan perairan dengan biomarker dapat dilakukan dengan berbagai kelompok organisme, tetapi yang paling umum adalah remis dan ikan (Viarenggo dkk., 2007, Plaa, 2007). Ikan mas yang merupakan ikan air tawar yang memiliki nilai gizi tinggi karena mempunyai kandungan protein dan lemak. Lemak ikan mas banyak disukai masyarakat untuk dikonsumsi karena harga yang relatif murah dan dapat diolah menjadi bermacam-macam jenis dan cara penyajian. Ratningsih (2008), mengemukakan bahwa Ikan mas (Cyprinus carpio L.), dapat menunjukkan reaksi terhadap perubahan fisik air maupun terhadap adanya senyawa pencemar yang terlarut dalam batas konsentrasi tertentu. Selain itu ikan tersebut berperan penting dalam rantai makanan dan peka terhadap berbagai jenis zat pencemar pada perairan tawar. Organisme yang digunakan sebagai pemonitor logam berat, harus dapat mengakumulasi logam berat dalam jumlah yang tinggi, memiliki kemampuan hidup yang panjang sehingga memungkinkan untuk dibandingkan perbedaan antar umur, dan mudah dipelihara pada kondisi laboratorium. Diantara banyak spesies ikan, ikan mas (Cyprinus carpio L) adalah salah satu tes ikan yang paling sering digunakan untuk survei lapangan karena distribusi dan kemampuan untuk mentolerir lingkungan tercemar luas (Hara dkk., 2007).