10
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Minyak di Perairan Pencemaran perairan adalah suatu perubahan fisika, kimia dan biologi yang tidak dikehendaki pada ekosistem perairan yang akan menimbulkan kerugian pada sumber kehidupan, kondisi kehidupan dan proses industri (Odum 1993). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Menurut UNCLOS (2007) pencemaran laut adalah perubahan dalam lingkungan laut termasuk muara sungai (estuaries) yang menimbulkan akibat buruk sehingga dapat merugikan sumber daya laut hayati (marine living resources), membahayakan kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan penggunaan laut secara wajar, menurunkan kualitas air laut, mutu kegunaan dan manfaatnya. Pengendalian pencemaran laut merupakan salah satu wujud pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam yang dikandungnya (Clark 2003). Bahan-bahan pencemar yang dibuang ke laut diklasifikasikan atas senyawa konservatif (senyawa yang sukar terurai) dan senyawa non konservatif (senyawa yang mudah terurai di perairan). Polutan yang masuk ke perairan laut seringkali mengandung senyawa konservatif dan non-konservatif, salah satu diantaranya adalah polutan minyak. Minyak merupakan polutan yang memiliki potensi besar mencemari air laut. Pencemaran minyak merupakan penyebab utama pencemaran laut yang dapat membahayakan ekosistem laut karena laut dan biota perairan sangat rentan terhadap minyak (Mukhtasor 2007). Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak adalah terjadinya kerusakan pada membran sel biota laut oleh molekul-molekul hidrokarbon minyak yang mengakibatkan keluarnya cairan sel dan meresapnya bahan tersebut ke dalam sel. Berbagai jenis udang dan ikan akan berbau minyak, sehingga menyebabkan turun mutunya. Secara langsung minyak dapat menyebabkan
11
kematian ikan karena kekurangan oksigen, keracunan karbon monoksida, dan keracunan langsung oleh bahan toksik. Dampak jangka panjang dari pencemaran minyak dialami oleh biota laut yang masih muda. Minyak dapat teradsobsi dan termakan oleh biota laut, sebagian akan terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisma satu ke organisma lain melalui rantai makanan (Sumadhiharga 1995). Secara fisik, pencemaran minyak akan terlihat jelas pada lingkungan laut seperti pantai menjadi kotor akibat permukaan air laut tertutup oleh lapisan minyak atau karena gumpalan ter dipermukaan air laut. Secara kimia, minyak bumi mengandung senyawa aromatik hidrokarbon yang bersifat toksik dan dapat mematikan organisme laut. Secara biologi, adanya pencemaran minyak dapat mengganggu kehidupan organisme termasuk ikan, oleh karena itu perlu suatu usaha yang intensif untuk meminimalkan pencemaran minyak di laut. Pengaruh spesifik dampak dari pencemaran minyak terhadap lingkungan perairan laut dan pantai tergantung pada jumlah minyak yang mencemari, lokasi kejadian, dan waktu kejadian (Syakti 2004). Menurut Supriharyono (2000), tingkat kerusakan akibat pencemaran minyak bergantung pada jumlah dan konsentrasi minyak di perairan, jenis dan sifat kimia minyak yang mencemari serta kepekaan ekosistem terhadap dampak pencemaran minyak tersebut. Pencemaran minyak di laut dapat menyebabkan dampak yang lebih luas karena terbawa arus dan gelombang laut. Pencemaran minyak secara langsung dapat mengganggu lingkungan laut di lokasi pantai. Secara tidak langsung, pencemaran minyak dapat membinasakan kekayaan laut dan mengganggu produktifitas di dasar laut. Ikan yang hidup di kitarnya akan tercemar, mati dan banyak pula yang bermigrasi ke daerah lain. Minyak yang tergenang di atas permukaan laut akan menghalangi sinar matahari masuk sampai ke lapisan air dimana ikan hidup (Chahaya 2003). Pengukuran kualitas perairan dari pencemaran minyak merupakan evaluasi untuk menilai ekosistem mangrove dan potensi perikanan di suatu perairan. Indikator yang digunakan untuk mengevaluasi tingkat pencemaran minyak di perairan Selat Rupat pada penelitian ini adalah kandungan oksigen terlarut dan nilai BOD5.
12
1 Oksigen terlarut (DO) Oksigen terlarut merupakan gas oksigen yang terlarut dalam air dan berperan penting bagi metabolisme tubuh organisme untuk tumbuh dan berkembang biak. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer, arus atau aliran air melalui air hujan serta aktivitas fotosintesis oleh fitoplankton (Manahan 1983). Difusi oksigen dari atmosfer ke air bisa terjadi secara langsung pada kondisi air stagnant (diam) atau terjadi karena pergolakan massa air akibat adanya gelombang atau angin. Difusi oksigen dari atmosfer ke perairan pada hakekatnya berlangsung relatif lambat, meskipun terjadi pergolakan massa air atau gelombang. Penyebab utama berkurangnya kadar oksigen terlarut dalam air disebabkan karena adanya zat pencemar yang dapat mengkonsumsi oksigen. Zat pencemar tersebut terutama terdiri dari bahan-bahan organik termasuk minyak (Connel & Miller 1995). Menurut Lee et al. (1978), kandungan oksigen terlarut pada suatu perairan dapat digunakan sebagai indikator pencemaran perairan (Tabel 1 ). Tabel 1 Kriteria kualitas air berdasarkan kandungan DO No 1 2 3 4
Kadar oksigen terlarut (mg/l) ≥ 6,5 4,5 – 6,4 2,0 – 4,4 < 2,0
Kriteria kualitas air Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Sumber: Lee et al. (1978)
2 Kebutuhan oksigen biokimia (biochemical oxygen demand, BOD5) BOD5 merupakan salah satu indikator pencemaran organik pada suatu perairan. Perairan dengan nilai BOD5 tinggi mengindikasikan bahwa air tersebut tercemar oleh bahan organik. Bahan organik akan distabilkan secara biologik dengan melibatkan mikroba melalui sistem oksidasi aerobik dan anaerobik. Oksidasi aerobik dapat menyebabkan penurunan kandungan oksigen terlarut di perairan sampai pada tingkat terendah, sehingga kondisi perairan menjadi anaerob yang dapat mengakibatkan kematian organisme akuatik. Menurut Lee et al. (1978), tingkat pencemaran suatu perairan dapat dinilai dari BOD5 (Tabel 2).
13
Tabel 2 Kriteria kualitas air berdasarkan nilai BOD5 No 1 2 3 4
Nilai BOD5 (mg/l) ≤ 2,9 3,0 – 5,0 5,1 - 14,9 ≥ 15
Kriteria Kualitas Air Tidak tercemar Tercemar ringan Tercemar sedang Tercemar berat
Sumber: Lee et al. (1978)
Berdasarkan jenis muatannya, secara umum kapal sebagai media transportasi laut pada penelitian ini dapat dikategorikan atas kapal penumpang (kapal ferry), kapal barang (kapal kargo) dan kapal tanker (oil tanker). Menurut Mukhtasor (2007), kegiatan pengoperasian kapal pada umumnya dapat menghasilkan polutan minyak dari sumber: a) Air bilga kamar mesin adalah akumulasi air laut dalam kapal dari kebocoran normal permesinan, pengembunan pada dinding plat kapal, pembilasan air tawar, kebocoran normal dari sistem stern-tube bertipe pelumasan air laut. b) Air ballast adalah air laut yang dimasukkan ke dalam kapal tanker atau tanki bahan bakar yang berguna untuk menjaga stabilitas kapal. Sebuah tanker didesain layak berlayar pada saat tanki terisi. Setelah bongkar minyak di pelabuhan akibatnya tanker menjadi kosong, untuk kestabilan kapal tanker kembali berlayar, maka tanki diisi air laut 25 – 30 % dari total kapasitas tanker. Air ballast dalam tanki ini harus dibuang kembali ke laut sebelum tanki diisi kembali dengan minyak. Pada saat bongkar, tanki minyak masih tersisa minyak (pada dasar dan sisi tanki) dengan kisaran 0,1 – 1,5 % dari volume total tanki. Air ballast yang masih mengandung minyak ini umumnya dibuang ke laut. Oleh sebab itu air ballast merupakan salah satu penyebab terjadinya pencemaran minyak di perairan. c) Minyak pelumas adalah minyak pelumasan (oli) yang berasal dari bantalanbantalan poros propeller dan sistem hidrolik, minyak pelumas untuk bantalan kemudi dibawah air. 2.2 Karakteristik Minyak di Perairan Minyak adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan produk petroleum yang komposisi utamanya terdiri dari hidrokarbon. Minyak bumi merupakan campuran yang sangat kompleks dari hidrokarbon-hidrokarbon
14
penyusunnya. Minyak terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan organik (sel-sel dan jaringan hewan dan tumbuhan) yang tertimbun selama jutaan tahun yang lalu di dalam tanah baik di daerah daratan maupun di daerah lepas pantai (Mukhtasor 2007). Minyak mentah (crude oil) yang baru keluar dari sumur eksplorasi mengandung bermacam-macam zat kimia yang berbeda baik dalam bentuk gas, cair maupun padatan. Lebih dari separoh (50-98%) dari zat-zat tersebut adalah merupakan hidrokarbon. Senyawa utama yang terkandung di dalam minyak bumi adalah alifatik, alisiklik dan aromatik (Supriharyono 2000). Komponen hidrokarbon aromatik jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan komponen hidrokarbon lainnya yaitu berkisar 2–4 %. Komponen hidrokarbon aromatik yang paling sederhana adalah benzen. Secara umum senyawa aromatik bersifat mudah menguap (folatil) dan lebih beracun dari senyawa lainnya (Darmono 2001). Penyebaran minyak yang masuk ke perairan tergantung pada jumlah, karakteristik dan tipe minyak, kondisi cuaca, gelombang, arus dan jika minyak tertinggal di laut atau terbawa ke darat. Polutan yang berasal dari minyak bumi (petroleum hydrocarbon) telah memperoleh perhatian yang sangat besar secara internasional, politik dan keilmuan apabila mencemari perairan. Hal ini disebabkan karena pengaruh minyak terhadap ekosistem perairan mampu menurunkan kualitas air laut (Mukhtasor 2007). 2.2.1 Karakteristik Fisika Minyak Karakteristik fisik minyak yang mempengaruhi prilaku minyak di laut yang penting adalah densitas, viskositas, titik ubah (pour point) dan kelarutan air. a. Densitas. Densitas diekspresikan sebagai specific gravity dan American Petroleum Institute (API) gravity. Specific gravity adalah rasio berat massa minyak dan berat massa air pada temperature tertentu. API gravity dinyatakan dalam angka 10° pada air murni 10°C. Minyak mentah mempunyai specific gravity pada kisaran 0,79-1,00. Densitas minyak memegang peranan penting untuk memprediksi prilaku minyak di perairan (BP Migas 2002).
15
b. Viskositas Viskositas adalah sifat yang menunjukkan ketahanan dalam perubahan bentuk dan pergerakan. Viskositas rendah berarti mudah mengalir. Faktor viskositas adalah komposisi minyak dan temperature. Viskositas ini penting untuk memprediksi penyebaran minyak di air. c. Titik ubah Titik ubah adalah tingkatan suhu yang mengubah minyak menjadi memadat atau berhenti mengalir. Titik ubah minyak mentah berkisar –57°C hingga 32°C. Tititk ubah ini juga penting untuk prediksi prilaku minyak di perairan. d. Kelarutan Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30 mg/L dan tergantung kepada komposisi kimia dan suhu. Besaran kelarutan itu dicapai oleh minyak aromatis dengan berat molekul kecil seperti benzena, toluena, ethylbenzena, dan xylena (BTEX). Sifat kelarutan ini penting untuk prediksi prilaku minyak di air, proses bioremediasi, dan ekotoksisitas minyak (NAS 1985). 2.2.2 Komposisi Minyak Minyak adalah suatu campuran yang sangat kompleks yang terutama terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon,yaitu senyawa-senyawa organik yang setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja. Komposisi kimia minyak mentah berbeda dengan minyak hasil olahan. 1. Minyak mentah Minyak bumi ditemukan bersama-sama dengan gas alam. Minyak bumi yang telah dipisahkan dari gas alam disebut juga minyak mentah (crude oil). Minyak mentah dapat dibedakan atas: a) Minyak mentah ringan (light crude oil), mengandung kadar logam dan belerang rendah, berwarna terang dan bersifat encer (viskositas rendah). b) Minyak mentah berat (heavy crude oil), mengandung kadar logam dan belerang tinggi, memiliki viskositas tinggi sehingga harus dipanaskan agar meleleh. Minyak mentah merupakan campuran yang kompleks dengan komponen utama alkana dan sebagian kecil alkena, alkuna, siklo-alkana, aromatik, dan senyawa anorganik. Minyak mentah mengandung sekitar 50–98 % senyawa
16
hidrokarbon dan sisanya merupakan senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oxigen, dan beberapa logam berat seperti V, Ni dan Cu). Air dan garam hampir selalu terdapat dalam minyak bumi dalam keadaan terdispersi. Bahan-bahan bukan hidrokarbon ini biasanya dianggap sebagai kotoran karena pada umumnya akan memberikan gangguan dalam proses pengolahan minyak dalam kilang dan mempengaruhi kualitas minyak yang dihasilkan. Berdasarkan
kelarutannya
dalam
pelarut
organik,
minyak
dapat
diklasifikasikan atas hidrokarbon jenuh, Hidrokarbon aromatis, dan resin (Ryabinin 1998). a. Hidrokarbon jenuh (saturated hydrocarbons) Hidrokarbon jenuh adalah kelompok minyak yang dicirikan dengan adanya rantai atom karbon (bercabang atau tidak bercabang atau membentuk siklik) berikatan dengan atom hidrogen, dan merupakan rantai atom jenuh. Hidrokarbon jenuh meliputi senyawa alkana dengan struktur CnH2n+2 (aliphatis) dan CnH2n (alicyclis), dimana n > 40. Hidrokarbon jenuh merupakan kandungan terbanyak dalam minyak mentah, termasuk dalam kelompok ini adalah golongan alkana (paraffin), yang mewakili 10-40 % komposisi minyak mentah (BP Migas 2002). b. Hidrokarbon aromatis Hidrokarbon aromatis meliputi monocyclis aromatis benzene, toluene, etil toluene dan xilena (BTEX) dan polisik aromatis hidrokarbons (PAHs) yang meliputi naphthalene, anthracene, dan phenanthrene (BP MIGAS 2002). Senyawa aromatik ini merupakan komponen minyak mentah yang paling beracun, dan bisa memberi dampak kronik (menahun, berjangka lama) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Hampir kebanyakan aromatik bermassa rendah (low-weight aromatics), dapat larut dalam air sehingga meningkatkan bioavaibilitas yang dapat menyebabkan terpaparnya organisma didalam matrik tanah ataupun pada badan air. Jumlah relatif hidrokarbon aromatis didalam mnyak mentah bervariasi dari 10-30 % (Syakti 2004). c. Resin dan aspal. Komponen penyusun minyak tersebut juga terdiri atas aspal (asphalt) dan resin dengan komposisi 5-20 % yang merupakan komponen berat dengan struktur
17
kimia yang kompleks berupa senyawa siklik aromatik dengan lebih dari lima cincin aromatik dan napthenoaromatik dengan gugus-gugus fungsional sehingga senyawa-senyawa tersebut memiliki polaritas yang tinggi. Resin merupakan senyawa polar yang mengandung senyawa nitrogen, sulfur, oksigen (pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. Aspal adalah senyawa dengan berat molekul besar dan pada umumnya mengandung logam berat nikel, vanadium, dan besi. Aspal sukar larut dalam air dan mempunyai sifat fisik padat (BP Migas 2002). 2. Minyak hasil olahan (minyak) Minyak hasil olahan seperti gasolin, kerosen dan minyak jett adalah produk olahan minyak mentah melalui proses catalitic cracking dan fractional distilation. Distilation adalah pemisahan fraksi-fraksi minyak bumi berdasarkan perbedaan titik didihnya. Mula-mula minyak mentah dipanaskan dalam aliran pipa dalam furnace (tanur) sampai dengan suhu ±370°C. Hasil olahan berupa minyak mempunyai sifat fisik kimia yang berbeda dengan minyak mentah. Senyawa baru dapat muncul dalam minyak olahan yang dihasilkan dari proses pengolahan minyak mentah. Minyak hasil olahan mempunyai kandungan senyawa hidrokarbon tak jenuh seperti olefins (alkena dan cycloalkena) dari proses catalytic cracking. Kandungan olefins dapat mencapai 30% dalam gasoline dan sekitar 1% dalam jet fuel (NAS 1985). Secara umum toksisitas minyak mentah meningkat dengan memanjangnya rantai hidrokarbon. Selanjutnya hidrokarbon aromatik lebih toksik apabila dibandingkan dengan sikloalkana dan alkana. Selain hidrokarbon, minyak bumi juga mengandung senyawa lain seperti nitrogen dengan kisaran 0,0-0,9%, belerang 0,0-1%, dan oksigen 0,0-2% (Neff 1976). Semua minyak mentah dan produk minyak kilang lainnya beracun terhadap organisme laut. Efek lethal semakin menurun dengan meningkatnya lama waktu. Pada tahap jentik dan larva efek lethalnya terhadap minyak terjadi pada konsentrasi 0,1-1,0 mg/l dan organisme dewasa terjadi pada kisaran 1,0-10 mg/l (Bishop & Paul 1983). Fraksi minyak bumi yang tidak larut dapat menyebabkan kerusakan karena dapat menempel pada organisme dan menyebabkan organisme tersebut mati
18
lemas. Selain itu, minyak juga dapat menyebabkan terkontaminasinya organisme perairan yang biasanya dikonsumsi. Hidrokarbon aromatik pada titik didih rendah seperti benzena, toluena, xilena, nafthalena dan phenantrena merupakan fraksi yang paling toksik dan penyebab utama kematian organisme (BP Migas 2002). Senyawa hidrokarbon yang terdapat dalam minyak bumi seperti benzena, toluena, etil benzena dan isomer xilena (BTEX) mempunyai sifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini sulit mengalami perobakan di alam sehingga akan mengalami proses akumulasi pada rantai makanan (biomagnifikasi) pada ikan maupun biota laut lainnya (Mukhtasor 2007). 2.2.3 Prilaku Minyak di Perairan Pada saat terjadi pencemaran minyak di perairan, minyak akan mengalami serangkaian perubahan atas sifat fisik dan kimiawi. Sebagian perubahan tersebut mengarah pada hilangnya beberapa fraksi minyak dari permukaan laut, sementara perubahan lainnya berlangung dengan masih terdapatnya bagian material minyak di permukaan laut. Meskipun sebahagian minyak tersebut terurai oleh lingkungan laut, namun waktu yang dibutuhkan untuk proses penguraian itu tergantung pada karakteristik fisika dan kimiawi minyak dan proses penguraiannya secara alamiah. Beberapa faktor utama yang mempengaruhi perubahan sifat minyak adalah: a. Karaterisik fisika minyak (densitas, viskositas, dan kelarutannya). b. Komposisi dan karakteristik kimia minyak. c. Kondisi sinar matahari (fotooksidasi), kondisi oseanografi dan suhu udara. d. Karakteristik air laut (pH, arus, suhu, keberadaan bakteri, nutrien, dan oksigen terlaut). Pada saat minyak masuk ke lingkungan laut sebagai pencemar, minyak segera mengalami perubahan fisik dan kimia melalui proses penyebaran (spreading),
penguapan
(evaporation),
dispersi
(dispersion)
emulsifikasi
(emulsification), pelarutan (dissolution), oksidasi (oxidation) dan sedimentasi (sedimentation) dan penguraian secara biologis (biodegredation). Semua proses ini merupakan proses pelapukan (weathering) yang menguraikan
komponen
minyak di perairan (IPIECA 2001). Proses penyebaran minyak akan menyebabkan lapisan menjadi lebih tipis serta tingkat penguapan meningkat. Hilangnya sebahagian material yang volatil
19
menyebabkan minyak lebih padat, berat dan tenggelam (GAO 2007). Prilaku minyak di perairan tersebut diuraikan sebagai berikut. a. Penyebaran (spreading) Pada saat masuk ke perairan laut, minyak akan tersebar ke seluruh permukaan laut dalam satu lapisan. Kecepatan penyebarannya tergantung pada tingkat viskositas minyak. Minyak yang viskositasnya rendah dan berbentuk cair akan menyebar lebih cepat dari minyak yang viskositasnya tinggi. Lapisan minyak ini akan menyebar dengan cepat dan menutupi wilayah permukaan laut. Penyebaran minyak tersebut pada umumnya tidak merata. Setelah beberapa jam, lapisan tersebut akan pecah dan karena pengaruh angin, aksi gelombang dan turbulensi air laut, akan membentuk buih tipis. Tingkat penyebaran minyak juga ditentukan oleh kondisi fisik perairan seperti temperatur, arus laut, pengaruh pasang dan kecepatan angin (Reed et al. 1999). Gelombang dan turbulensi di permukaan laut dapat mengakibatkan seluruhnya atau sebagian dari lapisan minyak pecah menjadi beberapa bagian dan tetesan yang ukurannya bervariasi. Ini akan tercampur ke dalam lapisan atas pada kolom air. Beberapa dari tetesan yang lebih kecil akan tertinggal dan tersuspensi pada air laut sementara tetesan yang lebih besar akan cenderung naik ke permukaan, dimana tetesan-tetesan ini kemungkinan tidak bergabung dengan tetesan lain dan membentuk lapisan atau tersebar membentuk lapisan tipis (NOOA 2002). Penyebaran ini merupakan proses terpenting selama awal ekspose minyak dalam air. Proses ini akan memperluas sebaran minyak sehingga meningkatkan perpindahan massa melalui proses evaporasi, pelarutan dan biodegradasi. b. Penguapan (evaporation) Proses penguapan adalah mekanisme utama hilangnya sebahagian fraksi minyak dari permukaan laut. Laju dan jangkauan proses penguapan banyak tergantung pada proporsi fraksi bertitik-didih rendah dari lapisan minyak yang tumpah. Proses penguapan juga bergantung pada proses penyebaran awal yang telah berlangsung, sebab makin luas dan tipis ketebalan tutupan daerah penyebaran minyak, makin cepat fraksi minyak ringan untuk menguap. Faktor lingkungan yang mempengaruhi penguapan minyak adalah angin, gelombang
20
air dan suhu. Proses penguapan menyebabkan minyak yang mengalami peningkatan densitas dan viskositas (Mangkoedihardjo 2005). Minyak ringan seperti bensin dapat menguap hingga 90 % dari total volumenya selama dua hari, sedangkan minyak mentah ringan dapat menguap hingga 40%. Sebaliknya minyak mentah berat (residu) melepaskan tidak lebih dari 10% dari volume awalnya beberapa hari setelah terjadi pencemaran minyak. Penguapan senyawa alkana (< C15) dan aromatik berlangsung 1 – 10 hari (Xueqing et al. 2001). c. Dispersi (dispertion) Dispersi adalah mekanisme fraksinasi dari lapisan minyak menyebar dalam bentuk gumpalan (droplet) dan pergerakannya di dalam badan air dapat secara vertikal dan horizontal. Dispersi vertikal berkaitan dengan pergerakan droplet yang memiliki dimensi kurang dari 100 μm. Fenomena ini lebih dianggap sebagai pergerakan polutan dari satu tempat ketempat lain dan bukan sebagai mekanisme degradasi. Formasi gumpalan minyak ukuran kecil secara signifikan mampu meningkatkan kontak antara air laut dan minyak dan penguraian minyak oleh mikroorganisme akan semakin besar. Gumpalan minyak akan menyebar melalui lapisan atas air laut dan akan terapung kembali ke permukaan laut tergantung pada densitas dan ukuran gumpalan minyak tersebut (Syakti 2004). d. Emulsifikasi (emulsification) Emulsifikasi adalah proses perubahan status butiran minyak dalam air menjadi butiran air dalam minyak. Gerakan gelombang menyebabkan lapisan permukaan minyak bergerak ke bagian atas permukaan air sehingga menyebabkan formasi minyak yang tidak larut dalam air akan teremulsi dengan cepat. Emulsi mampu mengubah karakteristik minyak secara signifikan. Emulsi yang stabil mengandung 65-80 % air. Emulsi perangkap air dapat meningkatkan volume minyak menjadi 3-5 kali lebih besar (Mukhtasor 2007). e. Pelarutan (dissolution) Proses pelarutan berperan penting bagi proses biodegradasi minyak di perairan. Kecepatan pelarutan dipengaruhi oleh komposisi kimiawi hidrokarbon minyak bumi, luasan penyebaran, dan kondisi hidrooseanografi perairan (arus, angin dan gelombang) dan viskositasnya. Senyawa aromatik dengan berat
21
molekul kecil seperti benzena dan toluena lebih mudah larut dalam air dibanding senyawa minyak yang berberat molekul besar (NAS 1985). Kelarutan berbagai jenis hidrokarbon minyak di dalam air dapat dilihat pada Tabel 3. -1
Tabel 3. Kelarutan hidrokarbon didalam air (mg. L ) pada 25 °C n-alkana Kelarutan (ppm) nC5 40 nC6 10 nC7 3 nC8 1 nC12 0.01 nC30 0.002 Sumber: (Syakti 2004).
Senyawa Aromatik Benzena Toluena Ethylbenzena p-Xylena Naphtalena Phénanthrène
Kelarutan (ppm) 1700 530 170 150 30 1
Berdasarkan Tabel 3, senyawa aromatis memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa alkana. Benzena memiliki kelarutan yang lebih tinggi, kemudian diikuti oleh toluene, ethylbenzena, xylena dan naphtalena. Pada umumnya makin berat molekul dari senyawa hidrokarbon minyak semakin kecil kelarutannya dalam air. f. Oksidasi Proses oksidasi mampu mengubah minyak menjadi senyawa-senyawa baru berdasarkan kemampuan oksidasinya. Pada proses ini, hidrokarbon dapat teroksidasi menjadi alkohol, keton dan asam-asam organik. Hasil oksidasi merupakan senyawa yang lebih mampu larut dibandingkan dengan senyawa hidrokarbon sebelumnya. Oksidasi minyak mentah dapat terjadi melalui dua proses yaitu foto-oksidasi dan mikrobial-oksidasi. Saat minyak di perairan terkena sinar matahari melalui bantuan oksigen maka terjadilah fotooksidasi dan diikuti dengan oksidasi mikrobial secara aerob. Hal yang mempengaruhi fotooksidasi adalah spektrum dan intensitas cahaya matahari, serta karakteristik permukaan air. Radiasi matahari yang sampai ke lapisan minyak dapat meningkatkan proses oksidasi (photo-oxidation), namun laju penguraian ini tidak lebih dari 0.1% per hari meskipun dibawah intensitas sinar matahari yang tinggi. Disamping itu, aksi gelombang yang dapat mengakibatkan pecahnya minyak menjadi komponen-komponen kecil dapat mempercepat proses oksidasi, karena luas bidang kontak antara minyak dan oksigen semakin besar.
22
Proses oksidasi akan sukar berlangsung pada komponen minyak yang tebal dan berviskositas tinggi.
Proses oksidasi cenderung berjalan lambat sehingga
minyak dapat membentuk formasi yang persistant (sukar terurai) karena formasi komponen minyak dengan berat molekul tinggi dapat menghasilkan lapisan pelindung pada permukaan gumpalan minyak. Komponen ini cenderung mengalami proses sedimentasi karena berat jenisnya lebih tinggi dari air laut (Mukhtasor 2007). g. Sedimentasi (sedimentation) Sedimentasi merupakan proses perubahan minyak menjadi sedimen tersuspensi yang akhirnya akan tinggal di kolom air dan terakumulasi pada dasar perairan. Sinking merupakan mekanisme dimana minyak yang berat jenisnya lebih besar dari air akan pindah ke lapisan bawah secara alami karena gaya gravitasi. Sedimentasi memerlukan mekanisme proses untuk merubah minyak menjadi sedimen. Proses sedimentasi minyak lebih cenderung berlangsung melalui rantai makanan dan terdeposit pada dasar laut bersama kotoran buangan organisme laut. Salah satu mekanisme yang terjadi adalah penyebaran butiran minyak ke kolom perairan oleh zooplankton dan tenggelam ke dasar perairan (Lee et al. 2005). f. Penguraian secara biologi (biodegredation) Biodegradasi adalah proses penguraian minyak oleh mikro-organisme pada permukaan kontak minyak dengan air yang berlangsung pada beberapa komponen minyak. Proses biodegradasi merupakan proses perpindahan massa dari media lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba) sehingga minyak hilang dari perairan. Menurut Syakti (2009), kemampuan mikroorganisme mendegradasi minyak berbeda-beda dengan kecenderungan urutannya adalah senyawa n-alkana (hidrokarbon jenuh), aromatik (benzena, naftalena, dan fenantrena), hidrokarbon jenuh bercabang (isoprenoid), dan porhyrin. Hasil proses biodegradasi umumnya adalah karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibandingkan minyak pada besaran konsentrasi yang sama. Mikroba yang mampu menguraikan minyak tersedia di dalam air yang terdiri atas berbagai jenis bakteri, ragi dan fungi. Bakteri
terpenting
adalah
Achromobacter,
Acinetobacter,
Alcaligenes,
23
Arthrobacter, Bacillus, Brevibacterium, Cornybacterium, Flavobacterium, Nocardia, Pseudomonas, Vibrio. Jenis ragi dan fungi yang mampu menguraikan minyak adalah Aspergillus, Candida, Cladosporium, Penicillium, Rhodotorula, Sporobolomyces, Trichoderma. Menurut Shin (2001), efektivitas bioremediasi ditentukan oleh kondisi faktor suhu, jumlah oksigen, nutrien pH dan salinitas. Pada suhu rendah viskositas minyak meningkat dan volatilitas senyawa toksik menurun sehingga akan menghambat proses bioremediasi. Hidrokarbon rantai pendek alkana lebih mudah larut pada suhu rendah, sebaliknya pada suhu tinggi, senyawa aromatis lebih mudah larut. Secara umum laju biodegradasi umumnya meningkat dengan peningkatan suhu sampai batas tertentu. Laju biodegradasi minyak tertinggi di laut dapat dicapai pada suhu 15 - 20°C (Mangkoedihardjo 2005). Ketersediaan oksigen memegang peranan penting dalam proses biodegradasi hidrokarbon jenuh dan aromatik (BTEX). PAHs dan alkanes dapat terdegradasi pada kondisi anaerob (Xueqing et al. 2001). Pada saat terjadi pencemaran minyak di laut, suplai karbon ke dalam air laut meningkat. Pada saat itu di perairan terjadi ketidak seimbangan komposisi nutrient dimana unsur C meningkat tajam sehingga C/N/P menjadi membesar melebihi komposisi normal bagi kebutuhan mikroba. Untuk mengefektifkan aktifitas mikroba diperlukan penambahan unsur nitrogen (N) dan fospor (P) agar proporsi C/N/P seimbang. Secara teoritis perbandingan unsur C/N/P di perairan adalah 150 mg nitrogen dan 30 mg phosphor diperlukan mikroba untuk konversi 1 g hidrokarbon menjadi sel baru (Mangkoedihardjo 2005). Pada umumnya bakteri heterotrof dan fungi menyukai pH netral dan fungi masih toleran terhadap pH rendah. Oleh sebab itu biodegradasi minyak akan lebih cepat berlangsung dengan peningkatan pH dan kecepatan optimum pada pH alkalin (Mangkoedihardjo 2005). Perubahan salinitas dapat mempengaruhi biodegradasi melalui perubahan populasi mikroba dan laju metabolisme hidrokarbon akan menurun 3.3-28.4%. Pada saat terjadi pencemaran minyak, polutan ini akan pecah dan menyebar ke lingkungan laut selama beberapa waktu. Penghamburan ini adalah hasil dari sejumlah proses kimia dan fisik yang menyebabkan berubahnya
24
komposisi minyak. Proses tersebut dinamakan pelapukan (weathering). Cara dimana lapisan minyak pecah dan menyebar yang sangat tergantung pada ketahanan (persisten) minyak tersebut. Produk ringan seperti kerosin cenderung terevaporasi, tersebar dengan cepat dan akan hilang secara alami. Sifat fisika minyak seperti densitas, viskositas, dan titik alir minyak akan mempengaruhi sifat penyebarannya (IPIECA 2001). Proses penyebaran minyak dipengaruhi oleh jumlah dan tipe minyak, kondisi cuaca, arus dan gelombang. Berdasarkan sifatnya beberapa komponen dari minyak bumi tergolong polutan konservatif (sukar terurai) sehingga dapat bertahan lama di perairan sebelum menguap atau teradsorbsi oleh organisme perairan. Hal ini di pengaruhi oleh faktor oseanografi perairan seperti arus, dan gelombang laut. Sirkulasi
arus
dapat mempercepat penguapan, penyebaran
percampuran, penyerapan dan pengendapan minyak (Clark 2003). Banyak kapal-kapal tanker, cargo dan ferry yang melintasi perairan Selat Rupat yang menyebabkan perairan ini
sangat rentan terhadap pencemaran
minyak. Propinsi Riau juga propinsi penghasil minyak, sehingga Pelabuhan Dumai telah digunakan sebagai terminal bongkar-muat minyak. Oleh karena itu, di kawasan Selat Rupat berpotensi terjadinya pencemaran minyak. 2.3 Dampak Pencemaran Minyak di Perairan Perairan Selat Rupat merupakan jalur transportasi yang strategis yang rentan terhadap pencemaran minyak. Posisi strategis dari satu sisi dapat memberikan manfaat secara ekonomi, di lain pihak juga mengandung resiko ekologis. Pencemaran minyak secara spesifik memiliki dampak ekologis yang cukup luas karena dapat menyebabkan kerusakan terhadap ekosistim perairan. Menurut Swan et al. (1994), pencemaran minyak berpengaruh besar pada ekosistem laut, penetrasi cahaya matahari akan menurun akibat tertutup lapisan minyak. Proses fotosintesis terhalang pada zona euphotik sehingga rantai makanan akan terputus. Lapisan minyak juga menghalangi pertukaran gas dari atmosfer dan mengurangi kelarutan oksigen untuk mendukung kehidupan laut yang aerob. Ancaman utama terhadap sumber daya hidup oleh residu persisten tumpahan minyak dan emulsi air dalam minyak (mousse) adalah salah satu penutupan fisik. Hewan dan tumbuhan sangat beresiko kontak dan terkontaminasi
25
dengan permukaan laut yang telah terkontaminasi. Mamalia, reptil laut dan burung laut yang hidup mencari makan dengan menyelam akan terkena dampak utama akibat pencemaran minyak, begitu juga halnya dengan biota laut lain termasuk ikan (Romero & Wikelski 2002). Komponen yang paling berbahaya pada minyak cenderung merupakan komponen yang hilang akibat evaporasi ketika pencemaran minyak. Pada konsentrasi tertentu senyawa aromatik dari minyak dapat mematikan organisme laut. Efek sub-letal akan mengganggu kemampuan individual organisme laut untuk bereproduksi, tumbuh dan mencari makan. Hewan yang tinggal menetap di perairan dangkal seperti kerang secara rutin akan menyaring sejumlah besar air laut untuk mengekstrak makanan. Komponen minyak segera bereaksi dengan jaringan biota tersebut sehingga menyebabkan rasanya tidak enak apabila dikonsumsi oleh manusia karena adanya rasa atau aroma minyak (Yamamoto 2003). 2.3.1
Dampaknya terhadap Ekosistem Mangrove Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun
2004, mangrove adalah sekumpulan tumbuh-tumbuhan dicotyledoneae dan atau monocotyledoneae yang terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan taksonomi sampai dengan taksa kelas tetapi mempunyai persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang dipengaruhi oleh pasang surut. Ekosistem mangrove berperan penting sebagai tempat pemijahan ikan, tempat pembesaran ikan dan tempat ikan mencari makanan (NOOA
2002). Peran
tersebut menyebabkan kawasan ekosistem mangrove dimanfaatkan secara tidak langsung oleh masyarakat sebagai ladang penangkapan ikan yang disebut juga fishing ground (Anwar & Gunawan 2007). Menurut Supriyadi dan Wouthuyzen
(2005), Sumberdaya mangrove
memberikan produk dan jasa, baik yang dapat langsung dipasarkan maupun yang tidak, baik dari lingkungan di sekitar mangrove maupun yang terjadi di luar dan jauh dari mangrove. Manfaat langsung mangrove dapat digunakan secara langsung sebagai kayu bakar, arang, kayu bangunan dan obat-obatan. Manfaat tidak langsung mangrove berperan sebagai sumbangan serasah daun bagi
26
kelimpahan biota (kepiting bakau, moluska, ikan) yang mempunyai peran penting di dalam sistem mata rantai makanan bagi organisme perairan. Menurut Nybakken (1992), hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. Hutan mangrove meliputi pohon-pohon dan semak yang tergolong ke dalam 8 famili, dan terdiri atas 12 tumbuhan berbunga yang meliputi Avicennia, Sonneratia, Rhyzophora, Bruguiera,
Ceriops,
Xylocarpus,
Lummitzera,
Laguncularia,
Aegiceras,
Aegiatilis, Snaeda, dan Conocarpus (Bengen 2001). Mangrove merupakan habitat pesisir yang peka terhadap pencemaran minyak. Polutan minyak dapat masuk ke dalam hutan mangrove pada saat air pasang dan saat air surut minyak menempel pada akar mangrove serta permukaan sedimen. Minyak yang terjebak pada ekosistem mangrove sulit untuk dibersihkan. Ekosistem mangrove mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah pelindung garis pantai, mencegah intrusi air laut, sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis biota perairan. Fungsi ekonomi mangrove adalah sebagai penghasil kayu, bahan obat-obatan dan bahan keperluan industri. Dampak pencemaran minyak
terhadap ekosistem mangrove lebih
mengarah pada gangguan fisik. Kontaminasi minyak yang serius pada mangrove mengarah pada hilangnya sebagian daun karena minyak dapat menutup tempat masuknya udara pada akar nafas yang menyebabkan rontoknya daun. Penetrasi minyak ke dalam sedimen cenderung lebih besar jika substratnya banyak mengandung humus organik. Minyak yang masuk ke sedimen akan tetap tinggal dalam jangka waktu lama yang menyebabkan pencemaran bersifat kronik pada lingkungan sekitarnya. Lapisan minyak pada bagian paling bawah pada tumbuhan mangrove dapat merusak sistem perakaran. Minyak dapat merangkap tempat masuknya udara pada akar nafas mangrove yang menyebabkan daun-daun rontok dan pohonnya mati (Gambar 2). Minyak yang masih ada pada sedimen akan
27
memperlambat
proses
pemulihan
ekosistem
mangrove,
karena
minyak
berpengaruh toksik terhadap tunas-tunas pohon mangrove. Seiring dengan berjalannya waktu minyak akan mengalami proses degredasi ke tingkat yang memungkinkan pertumbuhan tunas pohon mangrove. Menurut NOOA (2002), lapisan minyak akan menutupi seluruh sistem perakaran mangrove yang mengakibatkan penyumbatan total pada lentisel akar nafas sehingga pertukaran gas O2 dan CO2 akan terputus. Apabila hal ini terus berlanjut dapat mengakibatkan kematian pada tumbuhan mangrove (Gambar 2).
Gambar 2 Kerusakan mangrove akibat pencemaran minyak (Dumai 2009). 2.3.2 Dampaknya terhadap Ekosistem Terumbu Karang Terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang sangat penting di perairan laut yang berfunsi sebagai sumber makanan, habitat berbagai jenis biota, menyediakan pasir untuk pantai, dan sebagai penghalang terjangan ombak dan erosi
pantai (Burke et al. 2002). Ekosistem terumbu karang memiliki
keanekaragaman hayati yang tinggi dengan berbagai jenis biota laut yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang. Terumbu karang juga merupakan kawasan yang sangat produktif yang mendukung kehidupan berbagai kelompok organisme termasuk banyak spesies ikan komersial. Terumbu karang juga memiliki fungsi penting bagi masyarakat lokal melalui kegiatan pariwisata.
28
Tingkat kerusakan terumbu karang akibat pencemaran minyak tergantung pada jumlah dan jenis minyak, jenis terumbu karang, kedalaman perairan laut, energi gelombang dan arus di sekitar terumbu karang. Minyak yang menempel pada bagian atas terumbu karang pada saat air surut dapat mengganggu proses reproduksi, mengurangi jumlah koloni telur dan larva yang dihasilkan per satuan unit karang. Pencemaran minyak dapat menyebabkan pelepasan dini larva dan menurunkan kemampuan larva untuk bertahan hidup. Selain itu, minyak dapat mengganggu suplai makanan pada karang sehingga dapat menurunkan keanekaragaman jenis karang dan ikan (Syakti 2004). Pencemaran minyak menyebabkan terhalangnya input cahaya dan terganggunya penyerapan oksigen di perairan. Cahaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan terumbu karang, karena tanpa cahaya proses fotosintesis oleh zooxanthellae simbiotik dalam jaringan karang tidak dapat terlaksana. Akibat hal tersebut, maka kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat dan membentuk terumbu akan berkurang. Penutupan permukaan air oleh minyak akan menurunkan laju fotosintesis sehingga menyebabkan terganggunya metabolisme terumbu karang yang menyebabkan kematian (Westmacott et al. 2002). Pada lokasi perairan Selat Rupat di wilyah penelitian jarang sekali dijumpai terumbu karang karena umumnya sedimen dasar di perairan ini merupakan substrat lumpur. 2.3.3 Dampak terhadap Sumberdaya Perikanan Secara umum kepekaan organisme perairan terhadap minyak meningkat dari invertebrata yang lebih rendah ke invertebrata yang lebih tinggi dan ke ikan. Ikan mempunyai kemampuan berenang dan menjauhi diri dari area yang terkontaminasi minyak. Tahap larva umumya paling sensitif terhadap minyak dibandingkan dengan lainnya. Telur-telur, larva dan anak ikan relatif sensitif terhadap minyak (khususnya minyak yang terdispersi dalam badan air), dampak pencemaran minyak dapat terlihat pada organisme plankton, benthos dan nekton. a) Plankton Organisme plankton merupakan populasi organisme berukuran mikro yang hidup melayang atau mengapung di permukaan air. Organisme ini melakukan pergerakan pasif atau pergerakan yang sangat terbatas sehingga tidak mampu
29
melawan arus. Secara ekologis fitoplankton berperan penting sebagai dasar mata rantai makanan dalam perairan karena kemampuannya dalam mensintesa bahan anorganik menjadi senyawa organik dengan bantuan energi cahaya matahari dan klorofil melalui proses fotosintesis (Nybakken 1992). Pencemaran minyak menyebabkan gangguan terhadap fitoplanton yang mengakibatkan terhalangnya proses fotosintesis karena berkurangnya cahaya akibat tertutupnya permukaan air oleh lapisan minyak. Plankton muda lebih sensitif terhadap pencemaran minyak dibandingkan dengan plankton dewasa. Oleh sebab itu pencemaran minyak di perairan dapat menyebabkan gangguan pada produkstifitas primer (IPIECA 2000). b) Benthos Bentos merupakan biota yang hidup di dasar perairan, sebagai pemakan detritus dan organisme lain. Selain ditentukan oleh kondisi lingkungan kimia dan biologis, kehidupan organisme bentos juga sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik substrat dasar karena sifat hidupnya yang relatif menetap (Romimohtarto & Juwana, 2001). Organisme bentik ini sangat baik digunakan sebagai indikator pencemaran perairan. Pencemaran minyak dapat mengganggu kehidupan hewan dasar laut seperti lobster, kerang, bintang laut yang pada akhirnya menyebabkan kematian. Jenis substrat sedimen dapat mempengaruhi lamanya dampak pencemaran minyak terhadap benthos. Dampak pencemaran minyak terlama terjadi pada sedimen halus di habitat yang terlindung (Zamora 1996). c) Nekton (ikan) Pencemaran minyak dapat mempengaruhi perikanan tangkap dan budidaya baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung pencemaran minyak terhadap ikan dapat berupa pengaruh toksik (jangka pendek), pengaruh fisik (mekanis) dan kontaminasi kronis (jangka panjang). Pengaruh akut secara langsung mencakup kematian, gangguan sistem syaraf pusat, pengaturan tekanan osmosis yang tidak berfungsi, metabolisme terganggu dan kerusakan jaringan secara histologi. Gangguan pada sistem syaraf pusat dapat menyebabkan kematian melalui perubahan tingkah laku dan keseimbangan tubuh (Health 2000). Pengaruh tidak langsung pencemaran minyak di perairan adalah rusaknya ekosistem mangrove, rumput laut dan terumbu karang yang merupakan habitat ikan.
30
Komponen minyak yang bersifat folatil dapat merusak kulit, iritasi pada hidung, mata dan mulut ikan. Senyawa benzena, toluena dan hidrokarbon lainnya yang masuk ke dalam tubuh ikan dapat merusak sel-sel darah merah, ginjal, hati, sistem kekebalan dan sistem reproduksi (Connell & Miller 1995). Kualitas daging ikan yang hidup di perairan tercemar akan menurunkan nilai komersialnya karena minyak dapat meresap masuk melalui insang dan kulit sehingga tidak enak untuk dikinsumsi karena telah terkontaminasi minyak (GESAMP 1993). Pencemaran minyak pada konsentrasi rendah juga dapat mempengaruhi pertumbuhan, penetasan dini dan perubahan pada proses pertumbuhan dan genetis. Secara umum telur dan larva lebih peka terhadap pencemaran minyak dari pada anak ikan. Selanjutnya anak ikan lebih peka terhadap pencemaran minyak bila dibandingkan dengan ikan dewasa. Ikan yang hidup dengan gerakan lincah akan berenang menjauhi diri dari perairan yang tercemar minyak. Beberapa jenis ikan akan mengalami perubahan perilaku yang biasa bergerak maju berubah menjadi gerakan mundur mengikuti arus perairan yang tercemar (IPIECA 2000). 2.3.4 Dampaknya terhadap Satwa lain Pencemaran minyak di perairan dapat mengganggu kehidupan burungburung. Burung yang berkumpul dalam jumlah besar untuk bertelur di laut atau garis pantai rentan terhadap pencemaran minyak. Burung akan kesulitan untuk mencari makanannya sehingga menyebabkan kelaparan. Selain itu burung juga akan menemukan kesukaran untuk membersihkan bulunya dan akan kehilangan panas tubuh, terganggu kesehatannya dan menyebabkan kematian (Jenssen 1994). 2.3.5 Dampaknya terhadap Manusia Bagi manusia, pencemaran minyak mengakibatkan dampak ekonomi yang serius terhadap aktivitas pesisir terutama bagi mereka yang mengeksploitasi sumber daya laut. Pada banyak kasus kerusakan yang diakibatkan oleh sifat fisik minyak menciptakan gangguan dan kondisi yang membahayakan. Dampak terhadap kehidupan di laut berlipat ganda oleh efek racun dan noda yg berasal dari komposisi kimia minyak terhadap sistem biologi dan sensitivitasnya terhadap pencemaran minyak (Etkin 1999). Efek pencemaran minyak tergantung pada banyak faktor, bukan hanya faktor dari minyak itu sendiri. Kontaminasi pada wilayah pesisir adalah ciri umum
31
dari kebanyakan peristiwa pencemaran minyak yang kemudian mengacu pada kegelisahan dan gangguan publik dengan aktivitas rekreasi seperti berjemur, menyelam dan pemancingan. 2.4 Pengendalian Pencemaran Minyak di Perairan Pencemaran laut oleh minyak akan mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya dan kerusakan ekosistem, oleh sebab itu perlu dilakukan upaya pengendalian.
Menurut
Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun
1999,
pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pencemaran dan/atau perusakan laut. Menurut Etkin (1999), pada saat terjadi pencemaran minyak di perairan laut, minyak akan menyebar dan menyebabkan terjadinya lapisan minyak yang bergerak di atas permukaan air (slick). Penyebaran minyak disebabkan oleh adanya arus dan gelombang. Proses dinamika pesisir menyebabkan terjadinya fenomena transformasi gelombang yang dapat menimbulkan arus menyusur pantai dan interaksinya dengan pantai. Upaya pengendalian pencemaran minyak di laut harus dilakukan secara holistik melalui tiga aspek sebagai landasan yaitu aspek legalitas, aspek perlengkapan dan aspek koordinasi. 2.4.1 Aspek Regulasi Aspek regulasi yang digunakan mengacu kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Instrumen peraturan perundang-undangan ini merupakan intrumen yang dikeluarkan pemerintah berkaitan dengan usaha dan/ atau kegiatan yang berpotensi menimbulkan terjadi pencemaran minyak di perairan Selat Rupat. Pemerintah melalui instansi teknisnya berperan dalam pembinaan, pengawasan dan pengendalian terjadinya pencemaran minyak yang ditimbulkan oleh berbagai aktivitas industri migas dan aktivitas transportasi kapal dan pelabuhan
yang
berada di sekitar Selat Rupat. Peraturan Perundang-undangan yang berperan dalam pengendalian pencemaran minyak di perairan meliputi: a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-
32
undang Nomor 32 Tahun 2009 memuat tentang pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup (meliputi pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan), pemeliharaan (meliputi konservasi, pencadangan dan pelestarian sumberdaya alam), pengawasan dan sanksi (administrasi, pidana dan denda) yang tegas bagi pihak yang melanggar (110 halaman). b. Undang-undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran, memuat tentang transportasi air, pelabuhan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan laut (206 halaman). c. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut, yang memuat perlindungan laut, pencegahan pencemaran dan kerusakan laut, penanggulangan pencemaran dan perusakan laut, pemulihannya (9 halaman). d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim, yang memuat pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal, perlindungan laut, pencegahan pencemaran dari kegiatan di pelabuhan, tanggung jawab pemilik atau operator kapal dan pemberian sanksi administratif bagi yang melanggar. e. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 1999 tentang Angkutan di Perairan yang memuat tentang jenis-jenis angkutan air, pengusahaan angkutan di perairan, tanggungjawab dan sistem informasi (49 halaman). f. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 04 Tahun 2009 tentang Baku Mutu Air Limbah bagi Usaha dan/ atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi (13 Halaman). g. Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 04 Tahun 2005 tentang Pencegahan Pencemaran dari Kapal. Peraturan ini memuat tentang pencegahan pencemaran oleh minyak dari kapal, peralatan penanggulangan awal pencemaran minyak oleh kapal, tanggung jawab pemilik atau operator kapal,dan pencucian tangki kapal dan dumping. h. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut yang merupakan penyempurnaan dari Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988 tentang Baku Mutu Lingkungan,
33
khususnya Bab IV pasal 11. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 ini memuat tentang baku mutu air laut untuk pelabuhan (lampiran I), baku mutu air laut untuk wisata bahari (lampiran II) dan baku mutu air laut untuk biota laut - lampiran III (11 halaman). Keberadaan instrumen regulasi ini merupakan kontrol bagi stakeholders untuk mencegah terjadinya pencemaran minyak di perairan. Pada lingkup internasional tahun 1954 Badan Maritim Internasional (IMO, international maritime
organization)
menghasilkan
konvensi
internasional
mengenai
pencegahan pencemaran di laut oleh minyak (international convention for the prevention of pollution of the sea by oil ). Konvensi ini lalu diperbaharui pada tahun 1973 yang merupakan upaya awal dalam mengatasi dampak pencemaran di laut. Indonesia yang masuk dalam keanggotaan organisasi ini wajib melaksanakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh IMO. Pencegah dan penanggulangan
pencemaran minyak di laut bertujuan
untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut. Tugas ini harus diimbangi dengan dua faktor yaitu adanya fasilitas yang memungkinkan untuk bergerak dinamis, dan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai. 2.4.2 Aspek Teknologi Pada umumnya upaya penaganan pencemaran minyak dilaut dilakukan berdasarkan urutan prioritas yang dihubungkan dengan pengaruhnya terhadap manusia secara langsung. Ada tiga teknik yang direkomendasikan untuk penanggulangan pencemaran minyak di perairan, meliputi: 1. Secara mekanik Pada umumnya pengendalian pencemaran minyak di perairan laut secara mekanik dapat dilakukan dengan menggunakan peralatan boom dan skimmer. Booms digunakan untuk melokalisasi dan mengendalikan pergerakan minyak dan skimmer digunakan untuk mengambil minyak. Boom berfungsi sebagai perangkap melingkar polutan minyak diperairan agar tetap pada lokasi tertentu sehingga minyak di perairan tidak menyebar. Prinsip kerja boom adalah menahan gerakan minyak dari aliran arus sehingga minyak tetap terkumpul didalam boom untuk kemudian dapat dipindahkan dari air laut dengan sistim penyedotan (Gambar 3).
34
Gambar 3 Pengendalian pencemaran minyak di perairan menggunakan oil boom (WWF, 2007) Penyebaran minyak membentuk suatu lapisan yang tipis disebabkan karena adanya gerakan angin, gelombang, arus atau pasang-surut menyebabkan penanganan pencemaran minyak menjadi lebih sulit. Oleh sebab itu langkah utama yang perlu dilakukan adalah melokalisir pencemaran minyak pada suatu area sehingga masih mempunyai ketebalan yang besar. Upaya untuk melokalisir pencemaran minyak ini akan efektif dilakukan dengan menggunakan boom untuk menghalangi penyebaran minyak yang lebih luas. Penggunaan boom ini akan efektif pada kondisi perairan yang tenang. Apabila kecepatan arus lebih dari 0,75 knot maka lapisan minyak akan pecah menjadi butiran-butiran (droplet). Kelemahan lain dari penggunaan boom ini adalah sulitnya menjaga agar boom ini tetap tegak karena ada dorongan dari arus dan gelombang sehingga miring dan menyebabkan minyak menyebar ke luar. Oil skimmer merupakan alat mekanis yang berfungsi mengambil minyak dari permukaan air berdasarkan berat jenis, tegangan permukaan dan medium bergeraknya. Prinsip kerja oil skimmer adalah mampu menyedot minyak dari air dengan menyerap minyak dengan material yang berpori atau mengikat minyak pada suatu material, kemudian memisahkannya dari air. Di dalam skimmer minyak akan dipisahkan dari air atas perbedaan berat jenisnya. Skimmer hanya dapat mengikat minyak dalam keadaan cair yang berada dipermukaan saja dan yang berbentuk droplet akan dilewatkan. Pada umumnya minyak Indonesia
35
bersifat parafinis sehingga skimmer sulit untuk dioperasikan untuk upaya pembersihan perairan. Oil skimmer akan bekerja efektif apabila kondisi air lautnya tenang. 2. Secara kimia Dispersant merupakan bahan kimia yang mempunyai agent permukaan yang aktif yang dikenal dengan nama surfactant. Menurut IPIECA (2001), molekul surfactant mengandung dua bahagian, yaitu headgroup yang bersifat polar (hydrophilic) dan tailgroup yang bersifat non polar (oleophilic). Dispersant dapat menyebabkan minyak pecah menjadi butiran-bituran kecil (droplet) yang terdiri atas molekul hydrophilic dan oleophilic yang mampu terdispersi ke badan air (Gambar 4). Hasil dispersi ini adalah semakin besarnya droplet minyak yang masuk ke dalam badan air sehingga mempercepat terlepasnya hidrokarbon yang mudah menguap ke atmosfir. Masuknya droplet ke badan air menyebabkan minyak lebih mudah terbiodegredasi karena luas permukaannya menjadi lebih kecil. Hal ini mencegah minyak untuk tidak terbawa oleh angin hingga ke pantai sehingga dapat mengurangi daya toksisitasnya dan mencegah kematian burung dan pengaruh yang merugikan kepada manusia.
Gambar 4 Aktivitas surfactant dan dispersi minyak menjadi droplet (IPIECA 2001)
36
Penggunaan dispersant tidak akan efektif pada air yang tenang karena membutuhkan gerakan gelombang agar dispersant tercampur dengan tumpahan minyak. Mulanya, dispersant yang dipakai merupakan zat pengemulsi dari campuran hidrokarbon diantaranya hidrokarbon aromatik, fenol, dan senyawa lain dengan konsentrasi tinggi yang bersifat racun terhadap kehidupan laut. Tetapi saat ini telah diproduksi dispersant yang tidak menggunakan senyawa hidrokarbon. Pertimbangan ekonomi dan ekologi berperan penting sebagai skenario penggunaan dispersant.
Prioritas penyemprotan dispersant pada area pantai
wisata atau dermaga dapat menjadi pertimbangan secara ekonomi. Wilayah rawa bakau secara ekonomis memerlukan perlindungan prioritas namun pertimbangan ekologi penggunaan dispersant dapat menyebabkan kerusakan ekosistem (IPIECA 2001). Dispersant dapat disemprotkan pada polutan minyak dengan menggunakan helikopter ataupun boat (Gambar 5).
Gambar 5 Pengendalian pencemaran minyak di perairan menggunakan dispersant (WWF, 2007) Berkaitan dengan perlengkapan kapal, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 dan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2006 juga menjelaskan tentang perlengkapan kapal baik dalam operasi maupun penanggulangan pencemaran minyak. Para produsen minyak dan gas sudah memiliki protap (prosedur tetap) dan fasilitas penanggulangan pencemaran minyak yang cukup memadai untuk digunakan dalam penanggulangan pencemaran minyak yang terjadi dalam lingkup
37
pelabuhan dan penanggulangan bencana pencemaran minyak yang terjadi diluar lingkungan pelabuhan (ADPEL 2008). 3. Secara biologi Bioremediasi adalah suatu cara penanggulangan pencemaran minyak dengan memanfaatkan organisme tertentu yang dapat mendegredasi polutan minyak. Bioremediasi merupakan cara penanggulangan tumpahan minyak yang paling aman bagi lingkungan (Munawar et al. 2007). Menurut Syakti (2004),
mikroorganisme dapat memanfaatkan minyak
sebagai sumber karbon untuk pembentukan biomasa dan energi bagi pertumbuhannya. Organisme tersebut terdistribusi secara luas di laut, dan cenderung berlimpah pada perairan yang tercemar minyak akibat buangan industri dan limbah cair domestik. Mikroorganisme
pengurai
minyak
yang
biasa
digunakan
adalah
sianobakteria dan alga biru. Komponen minyak bumi yang mudah didegradasi oleh bakteri merupakan komponen terbesar dalam minyak bumi yaitu alkana yang bersifat lebih mudah larut dalam air dan terdifusi ke dalam membran sel bakteri. Jumlah bakteri yang mendegradasi komponen ini relatif banyak karena substratnya yang melimpah di dalam minyak bumi (Churchill 1995). Komponen minyak bumi yang sulit terdegradasi jumlahnya lebih kecil dibanding komponen yang mudah didegradasi sehingga mikroba pendegradasi komponen ini jumlahnya lebih sedikit dan tumbuh lebih lambat karena kalah bersaing dengan pendegradasi alkana yang memiliki substrat lebih banyak. Kemampuan sel mikroorganisme untuk melanjutkan pertumbuhannya sampai minyak bumi terdegradasi secara sempurna bergantung pada suplai oksigen yang mencukupi dan nitrogen sebagai sumber nutrien. Seiring dengan berkurangnya konsentrasi minyak dan berkurangnya substrat maka populasi bakteri ini jumlahnya berkurang hingga hilang (Sin 2001). Penanggulangan
pencemaran
minyak
harus
terkoordinasi
dengan
melibatkan berbagai stakeholders yang meliputi pemerintah (Administrator Pelayaran, Pelindo, Kementrian Lingkungan Hidup dan Dinas Perikanan), pengusaha migas, operator kapal (nakoda/kapten kapal), nelayan setempat, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan unsur masyarakat harus berkoordinasi
38
dalam menanggulangi pencemaran minyak di perairan. Koordinasi ini sangat penting dilakukan agar pencemaran yang terjadi dapat diatasi, dimana segenap komponen bahu membahu saling mengisi kekurangan dan saling tukar informasi. 2.5 Pendekatan Sistem Sistem adalah suatu kesatuan usaha yang terdiri dari bagian-bagian yang berkaitan satu sama lain yang berusaha mencapai suatu tujuan dalam lingkungan kompleks (Marimin 2004). Sistem merupakan suatu kombinasi dari dua atau lebih elemen yang saling terkait dan memiliki ketergantungan antar komponen (Ford 1999). Pendekatan sistem (system approach) diartikan sebagai suatu metodologi penyelesaian masalah yang dimulai secara tentatif mendefinisikan atau merumuskan tujuan dan hasilnya adalah suatu sistem operasi yang secara efektif dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang kompleks. Pendekatan sistem selalu mencari keterpaduan antar bagian melalui pemahaman yang utuh. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), penyelesaian persoalan dengan pendekatan sistem harus memenuhi tiga karakteristik yaitu kompleks, dinamis dan probabilistik Menurut Hardjomidjojo (2006), untuk menyelesaikan persoalan dengan pendekatan sistem dapat dilakukan dengan tiga filosofi sistem yang dikenal dengan SHE (sibernetik, holistik dan efektifitas). Sibernetik (goal oriented), artinya dalam penyelesaian permasalahan tidak berorientasi pada permasalahan (problem oriented) tetapi lebih berorientasi pada tujuan.
Holistik yaitu cara
pandang yang utuh terhadap totalitas sistem, atau menyelesaikan permasalahan secara utuh, menyeluruh dan terpadu. Efektif artinya bahwa system yang dikembangkan tersebut harus dapat dioperasikan. Suatu pendekatan sistem akan berjalan dengan baik jika terpenuhi kondisikondisi berikut: 1) tujuan sistem didefinisikan dengan baik dan dapat dikenali jika tidak dapat dikuantifikasikan, 2) prosedur pembuatan keputusan dalam sistem riil adalah tersentralisasi atau cukup jelas batasannya, dan 3) dalam perencanaan jangka panjang memungkinkan untuk dilakukan (Manetsch and Park 1979). Menurut Pramudya (1989), analisis sistem merupakan studi mengenai sistem atau organisasi dengan menggunakan azas-azas metode ilmiah, sehingga
39
dapat dibentuk konsepsi dan model yang dapat digunakan sebagai dasar pengelolaan untuk mengadakan perubahan-perubahan struktur dan metode serta menentukan kebijakan, stategi, dan taktik. Winardi (1989) menyatakan bahwa sistem harus dipandang secara holistic (keseluruhan), sehingga terjadi sebuah keseimbangan untuk pencapaian tujuan. Suatu sistem mempunyai input (masukan) yang akan berproses untuk menghasilkan output (keluaran). Pada suatu sistem terdapat umpan balik yang berfungsi sebagai pengatur komponen-komponen sistem yang saling berinteraksi untuk mencapai tujuan. Sistem yang lebih besar dapat terdiri atas beberapa subsistem (sistem kecil) yang akan membentuk suatu hirarki. Perubahan pada satu komponen dari suatu sistem akan mempengaruhi komponen lain dan biasanya akan menghasilkan umpan balik pada periode yang sama atau pada periode berikutnya. Perubahan tersebut dapat disebabkan oleh faktor internal (dari dalam sistem) maupun faktor eksternal (dari luar sistem). 2.5.1
Modeling (pemodelan) Pramudya (1989) mendefinisikan model adalah suatu abstraksi dari
keadaan sesungguhnya atau merupakan pernyataan sistem nyata untuk memudahkan pengkajian suatu sistem. Pada pelaksanaan pendekatan sistem, pengembangan model merupakan hal yang sangat penting yang akan menentukan keberhasilan dalam mempelajari sistem secara keseluruhan. Disamping itu, pengembangan model diperlukan guna menemukan peubah-peubah penting dan tepat serta hubungan antar peubah dalam sistem yang dikaji. Model tersebut memperlihatkan hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Dalam membangun suatu model harus dimulai dari konsep yang paling sederhana dengan cara mendefinisikan permasalahan secara hati-hati serta menggunakan analisis sensitivitas untuk membantu menentukan rincian model. Selanjutnya untuk penyempurnaan dilakukan dengan menambahkan variabel secara gradual sehingga diperoleh model yang logis dan dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Model yang dibangun haruslah merupakan gambaran yang sahih dari sistem yang nyata, realistik dan informatif. Model yang tidak sahih akan
40
memberikan hasil simulasi yang sangat menyimpang dari kenyataan yang sebenarnya, sehingga akan memberikan informasi yang tidak tepat. Model akan dianggap baik apabila model dapat menggambarkan semua hal yang penting dari dunia nyata dalam sistem tersebut. Menurut Pramudya (1989), ada empat keuntungan penggunaan model dalam
penelitian
dengan
menggunakan
pendekatan
sistem
yaitu:
(1)
memungkinkan melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang luas, (2) dapat melakukan eksperimentasi terhadap sistem tanpa mengganggu atau memberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, (3) mampu menentukan tujuan aktivitas pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang diteliti, dan (4) dapat dipakai untuk menduga (meramal) perilaku dan keadaan sistem pada masa yang akan datang. Menurut Eriyatno dan Sofyar (2007), model dikelompokkan menjadi 3 jenis yaitu: (1) model ikonik (model fisik) yaitu model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil, (2) model analog (model diagramatik) yaitu model yang sifatnya lebih sederhana dan sering dipakai pada situasi khusus, seperti pada proses pengendalian mutu industri, dan (3) model simbolik (model matematik) yaitu model yang menggunakan simbol-simbol matematika. Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah menentukan struktur model yang akan memberikan bentuk dan sekaligus memberi ciri yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari masukan, proses, keluaran, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. 2.5.2 Sistem Dinamik Sistem dinamis merupakan sistem yang memiliki variabel yang dapat berubah sepanjang waktu sebagai akibat dari perubahan input dan interaksi antar elemen-elemen sistem. Nilai output sangat tergantung pada nilai sebelumnya dari variabel input (Djojomartono 2000).
41
Eriyatno dan Sofyar (2007), untuk menyelesaikan permasalahan dengan pendekatan sistem dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain: 1. Analisis kebutuhan, merupakan permulaan dalam pengkajian suatu sistem. Pada tahap ini dicari kebutuhan-kebutuhan dari masing-masing aktor dalam kaitannya dengan tujuan sistem. Analisis kebutuhan bertujuan untuk mendefinisikan kebutuhan dari setiap pelaku yang terlibat dalam suatu kegiatan pengendalian pencemaran minyak di Selat Rupat. Analisis kebutuhan ini dilakukan melalui survei, pendapat ahli, diskusi dan observasi lapangan. 2. Formulasi masalah merupakan rincian dari kebutuhan aktor yang saling bertentangan yang memerlukan solusi pemecahannya. Pertentangan itu timbul karena adanya konflik kepentingan dari para stakeholder dan keterbatasan sumberdaya yang tersedia untuk memenuhi kebutuhan yang menimbulkan masalah dalam sistem. 3. Identifikasi sistem merupakan suatu rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan
masalah yang harus dipecahkan
dalam rangka memenuhi kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem bertujuan untuk mencari pemecahan terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Identifikasi sistem dapat digambar dalam bentuk diagram lingkar sebab akibat (causal loop) dan diagram input-output (black box). 4. Pemodelan sistem merupakan implikasi dari system yang dihadapi. Model ini merupakan gambaran abstrak dari dunia nyata yang dapat dianggap dunia nyata terhadap suatu aspek. 5. Simulasi model adalah peniruan prilaku suatu gejala dalam memahami suatu proses dengan membuat peramalan prilaku atau gejala di masa yang akan datang. 6. Validasi Model merupakan penilaian objektifitas dari pekerjaan ilmiah yang bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif dilakukan uji validasi (Muhammadi et al. 2001).Validasi model dapat dilakukan melalui dua uji, yaitu:
42
a. Uji validasi struktur yaitu suatu uji yang memfokuskan keyakinan pada kebenaran logika. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah. b. Uji validasi kinerja yaitu uji yang lebih menekan pada pemeriksaan kebenaran yang taat pada data empiris. Validitas kinerja berguna untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan kinerja sistem nyata sesuai dengan data empirik Model yang baik adalah model yang memenuhi kedua syarat tersebut, yaitu syarat logis-empiris (logico-emperical). Pada sistem dinamis, diagram sebab akibat digunakan sebagai dasar untuk membuat diagram alir yang akan disimulasikan dengan menggunakan Program Stella 9.0.2. Program ini dapat memberikan gambaran tentang perilaku sistem, sehingga dengan simulasi dapat ditentukan alternatif terbaik dari sistem yang dibangun. Selanjutnya dilakukan analisis untuk mendapatkan kesimpulan dan kebijakan apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi atau mengubah perilaku sistem yang terjadi. Langkah pertama dalam menyusun model sistem dinamis adalah menentukan struktur model yang mempengaruhi perilaku sistem. Perilaku sistem tersebut dibentuk oleh kombinasi perilaku causal-loop (sebab-akibat) yang menyusun struktur model. Semua perilaku model dapat disederhanakan menjadi struktur dasar yaitu mekanisme dari input, proses, output, dan umpan balik. Mekanisme tersebut akan berkerja menurut perubahan waktu atau bersifat dinamis yang dapat diamati perilakunya dalam bentuk unjuk kerja (level) dari suatu model sistem dinamis. Melalui simulasi akan didapatkan perilaku dari suatu gejala atau proses yang terjadi dalam sistem yang dikaji, sehingga dapat dilakukan analisis dan peramalan perilaku dari gejala atau proses tersebut di masa depan. Ada 4 tahapan dalam melakukan simulasi model, yaitu: a. Penyusunan konsep, pada tahap ini dilakukan identifikasi unsur-unsur yang berperan dalam menimbulkan gejala atau proses. Dari unsur-unsur dan keterkaitannya dapat disusun gagasan atau konsep mengenai gejala (proses) yang akan disimulasikan.
43
b. Pembuatan konsep pada tahap pertama selanjutnya dirumuskan sebagai model yang berbentuk uraian, gambar atau rumus. c. Simulasi model; pada model kuantitatif, simulasi dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model, sedangkan pada model kualitatif, simulasi dilakukan dengan menelusuri dan melakukan analisis hubungan sebab akibat antar variabel dengan memasukkan data atau informasi yang dikumpulkan untuk memahami perilaku gejala atau proses model. d. Validasi hasil simulasi; validasi bertujuan untuk mengetahui kesesuaian antara hasil simulasi dengan gejala atau proses yang ditirukan. Model dapat dinyatakan baik jika kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang terjadi di dunia nyata relatif kecil. Model yang baik adalah model yang dapat merepresentasikan keadaan yang sebenarnya. Untuk menguji kebenaran suatu model dengan kondisi oyektif dilakukan uji validasi (Muhammadi et al. 2001). Ada dua jenis validasi dalam model, yakni validasi struktur dan validasi kinerja. Validasi struktur dilakukan untuk memperoleh keyakinan konstruksi model valid secara ilmiah, sedangkan validitas kinerja untuk memperoleh keyakinan sejauhmana model sesuai dengan kinerja sistem nyata atau sesuai dengan data empirik. Validasi struktur meliputi dua pengujian, yaitu validasi konstruksi dan validitas kestabilan. Validasi konstruksi melihat apakah konstruksi model yang dikembangkan sesuai dengan teori. Uji validasi konstruksi ini sifatnya abstrak, tetapi konstruksi model yang benar secara ilmiah berdasarkan teori yang ada akan terlihat dari konsistensi model yang dibangun (Muhammadi et al., 2001). Menurut Barlas (1996), validasi kestabilan merupakan fungsi dari waktu. Model yang stabil akan memberikan output yang memiliki pola yang hampir sama antara model agregat dengan model yang lebih kecil (disagregasi). Validitas kinerja atau output model bertujuan untuk memperoleh keyakinan sejauhmana kinerja model sesuai (compatible) dengan kinerja sistem nyata, sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Untuk mengetahui kekuatan (robustness) model dalam dimensi waktu dilakukan uji sensitivitas yang berguna untuk mengetahui respon model terhadap stimulus. Tujuan utamanya adalah untuk mengetahui alternatif tindakan baik
44
untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel dan hubungan antar variabel dalam model. Hasil uji sensitivitas dalam bentuk perubahan perilaku atau kinerja model, digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Menurut Muhammadi et al. (2001), uji sensitivitas model dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu (1) intervensi fungsional, dengan memberikan fungsifungsi khusus terhadap model dengan menggunakan fasilitas: step, random, pulse, ramp dan forecast, trend, if, sinus dan setengah sinus dan (2) intervensi struktural, dengan mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur model dengan cara mengubah struktur modelnya. Sensitivitas model mengungkapkan hasil-hasil intervensi terhadap unsur dan struktur sistem. Disamping itu, analisis sensitivitas model juga berfungsi dalam
menemukan
alternatif
tindakan
atau
kebijakan,
baik
untuk
mengakselerasikan kemungkinan pencapaian hasil positif maupun untuk mengantisipasi kemungkinan dampak negatif.