9
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perairan Umum Daratan Air merupakan sumberdaya yang mutlak diperlukan bagi kehidupan manusia. Kebutuhan manusia terhadap air cenderung meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan semakin beragamnya jenis pemanfaatan terhadap sumberdaya air. Menurut Odum (1998), habitat air tawar menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi apabila dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Kepentingan bagi manusia jauh lebih berarti dibandingkan dengan luas daerahnya, karena (1) habitat air tawar merupakan sumber air yang paling praktis dan murah untuk kepentingan domestik dan industri, (2) komponen air tawar adalah daerah kritis pada daur hidrologi, dan (3) ekosistem air tawar menawarkan sistem pembuangan yang memadai dan murah. Selanjutnya Gunderson et al. (2006), meyatakan bahwa ekosistem akuatik merupakan sistem paling produktif yang menyediakan layanan dalam bentuk kualitas air serta kehidupan akuatik lainnya. Menurut Suwignyo et al. (2003), semua badan air yang ada di daratan diistilahkan sebagai inland water atau perairan umum daratan. Dalam kajian ilmu lingkungan, badan-badan air tersebut dapat dibedakan antara perairan dengan ekosistem tertutup dan perairan dengan ekosistem terbuka. Perairan dengan ekosistem tertutup tidak terpengaruh oleh lingkungan di sekitarnya, misalnya kolam buatan dan kolam budidaya. Perairan dengan ekosistem terbuka terpengaruh oleh keadaan lingkungan di sekitarnya, misalnya sungai, rawa, waduk, dan danau. Kajian tentang ekosistem danau telah mengalami perkembangan dalam berbagai disiplin ilmu. Danau dipandang sebagai sistem berbatasan yang ditentukan oleh permukaan perairan darat, sehingga dari sisi limnologi danau harus dipahami dalam konteks lansekap penampungan. Perubahan yang disebabkan oleh kegiatan pertanian, pemanfaatan lahan, kehutanan, konsumsi bahan bakar fosil, dan permintaan jasa ekosistem terkait dengan danau telah memberikan manfaat sosial ekonomi yang lebih besar (Carpenter dan Cottingham 1997). Menurut Kumurur (2002), danau adalah salah satu bentuk ekosistem yang
10 menempati daerah yang relatif kecil pada permukaan bumi dibandingkan dengan habitat laut dan daratan. Berdasarkan tingkat produktivitasnya, danau dapat dikelompokkan menjadi oligotrophic dan eutrophic. Danau oligotrophic memiliki kualitas air yang bersih dan bernilai tinggi bagi masyarakat. Danau eutrophic memiliki kualitas air rendah dan bernilai rendah bagi masyarakat (Odum 1998). Selanjutnya menurut Janssen dan Carpenter (1999), penyuburan yang disebabkan oleh kelebihan masukan nutrien menjadi permasalahan yang berkembang luas pada ekosistem danau. Penyuburan menjadi permasalahan yang dapat terjadi pada ekosistem perairan seiring dengan perkembangan pertanian, industri dan urbanisasi. Permasalahan menjadi semakin serius apabila terjadi pada ekosistem lentik (tergenang), seperti danau. Hal ini disebabkan waktu tinggal bahan pencemar dan masa pemulihan di danau lebih lama jika dibandingkan pada ekosistem lotik (mengalir). Laju penyuburan yang meningkat pesat pada ekosistem perairan tergenang dapat mengakibatkan pendangkalan danau (Soeprobowati dan Hadisusanto 2009). Danau Rawa Pening merupakan tempat berkembangnya keanekaragaman hayati akuatik, terutama spesies asli setempat. Keanekaragaman hayati danau sangat rentan terhadap gangguan terutama dari spesies asing yang bukan asli setempat. Hilangnya spesies endemik yang disebabkan oleh berkembangbiaknya spesies asing dapat mengakibatkan berubahnya ekosistem perairan danau manjadi ekosistem daratan. Pertumbuhan Eceng Gondok yang tidak terkendali telah mengakibatkan dampak negatif terhadap ekosistem dan berbagai fungsi dan manfaat Danau Rawa Pening.
2.2 Sistem Sosial-Ekologi Danau Menurut Anderies et al. (2004), sistem sosial-ekologi didefinisikan sebagai unit ekosistem yang dihubungkan dan dipengaruhi oleh satu atau lebih sistem sosial. Dalam hal ini, sistem sosial-ekologi berhubungan dengan unit ekosistem seperti wilayah pesisir, ekosistem mangrove, ekosistem danau, terumbu karang, dan pantai yang mencakup sistem perikanan sebagai unit yang berasosiasi
11 dengan proses sosial. Selanjutnya Berkes dan Folke (1998); Carpenter dan Folke (2006) mendefinisikan sistem sosial-ekologi sebagai sistem alam dan sistem manusia yang terintegrasi dengan hubungan yang bersifat timbal balik. Dalam kajian sistem perairan danau, kondisi perubahan pada komponen ekologi seperti berkembangnya ganggang di danau dan beberapa perubahan komunitas tumbuhan lahan basah merupakan indikasi perubahan kondisi ekologi yang dianggap sebagai krisis ekologi. Hal ini terkait dengan bagaimana komponen sosial dari sistem sosial-ekologi dapat menjawab perubahan kondisi masa lalu atau akan merespon perubahan di masa depan (Gunderson et al. 2006). Konsep yang
mengintegrasikan
antara
komunitas
manusia
dan
danau
dengan
mempertimbangkan proses kontrol terhadap degradasi danau. Beberapa proses yang terkait dengan masyarakat dan danau adalah vegetasi air, tata guna lahan, kegiatan sosial, dan perekonomian daerah. Dalam hal ini terdapat pola interaksi yang dapat memberikan kontribusi untuk pemahaman tentang interaksi antara masyarakat dan danau (Carpenter dan Cottingham 1997). Mengacu pendapat Adrianto dan Azis (2006), paradigma sistem sosialekologi danau membicarakan unit ekosistem danau yang berasosiasi dengan struktur dan proses sosial, dimana aspek sistem alam (ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan pada karakteristik dan dinamika danau yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem komunitas manusia dengan sistem alam sehingga kedua sistem tersebut bergerak dinamik dalam kesamaan besaran. Diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan danau yang dikenal dengan paradigma sistem sosial-ekologi. Sistem sosial-ekologi merupakan konsep yang sangat penting dalam kerangka ko-manajemen perikanan, karena pelaku perikanan memiliki keterkaitan dengan dinamika ekosistem perairan dan sumberdaya perikanan. Dengan kata lain, kedua dinamika sistem tersebut memerlukan pengintegrasian melalui kerangka ko-manajemen perikanan. Dengan pendekatan sistem sosial-ekologi diharapkan mampu meningkatkan resilience atau ketahanan dan menanggulangi kerentanan melalui beberapa tindakan, baik dalam skala lokal maupun nasional (Adrianto dan Azis 2006). Menurut Hartoto et al. 2009, beberapa contoh tindakan
12 skala lokal maupun regional dalam konteks peningkatan resiliensi sistem sosialekologi seperti disajikan pada Tabel 1, yaitu (1) pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan, (2) proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial, (3) keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi, serta (4) modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi. Tabel 1 Tindakan skala lokal dalam peningkatan resiliensi sistem sosial-ekologi terkait kerentanan sumberdaya perikanan No Kerentanan Tindakan Skala Lokal 1 Sensitivitas terhadap 1) Pemeliharaan ekosistem melalui pemanfaatan bencana dan kerusakan sumberdaya alam secara berkelanjutan sumberdaya alam 2) Pemeliharaan memori atas pola pemanfaatan sumberdaya, proses pembelajaran untuk merespon dampak lingkungan dan hubungan sosial 2 Kapasitas adaptif 1) Keanekaragaman dalam konteks sistem ekologi 2) Keanekaragaman dalam konteks teori sosialekonomi 3) Modal sosial dan kelembagaan masyarakat yang memiliki legitimasi Sumber: Modifikasi Adger et.al. (2005) diacu dalam Hartoto et al. (2009)
2.3 Kerentanan (Vulnerability) Konsep kerentanan didefinisikan sebagai atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang bersifat exogenous. Dalam hal ini, tingkat gangguan eksternal diperkirakan dengan menggunakan variabelvariabel ekologi dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan. Tujuan dari suatu indeks kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal pada suatu sistem. Berbagai potensi kerusakan yang dianggap berbahaya adalah resikoresiko secara antropogenik dan alamiah. Resiko-resiko adalah suatu kejadian dan proses-proses yang dapat mempengaruhi integritas biologi atau kesehatan ekosistem. Manusia dan lingkungan alami sudah memiliki kapasitas untuk menyerap gangguan yang kapasitasnya kecil. Semakin besar tingkat kerentanan, pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004). Menurut Luers (2005), karakteristik kerentanan, yaitu sensitivitas, exposure, dan kapasitas adaptasi bukanlah merupakan hal yang baru. Konsep
13 tersebut telah muncul dari resiko dan bahaya terkait keamanan pangan dan telah terintegrasi ke dalam wacana penelitian masyarakat terkait perubahan lingkungan global. Beberapa kerangka konseptual telah diusulkan dengan menggabungkan konsep-konsep untuk menjelaskan proses secara umum yang mengacu pada kerentanan masyarakat dan tempat. Tujuan utama dari penilaian kerentanan adalah mengidentifikasi masyarakat atau tempat yang paling rentan terhadap bahaya
dan
mengidentifikasi
tindakan
untuk
mengurangi
kerentanan.
Kompleksitas sistem sosial-ekologi sering menyulitkan dalam mengidentifikasi kerentanan. Hal ini menjadi tantangan terutama untuk penilaian di tingkat lokal dan nasional yang berfokus pada evaluasi kerentanan masyarakat atau tempat yang disebabkan oleh satu atau banyak tekanan, tanpa secara eksplisit menyatakan karakteristik masyarakat dan tempat yang dianggap rentan. Isu kerentanan pada umumnya terkait dengan topik pembangunan berkelanjutan. Konsep kerentanan menjadi bagian dari batasan keberlanjutan, seperti konsep standar keamanan minimum, standar mutu, daya dukung lingkungan, kapasitas lingkungan, maximum sustainable yield, beban kritis, dan ruang pemanfaatan lingkungan hidup. Batasan keberlanjutan sedikitnya memiliki empat atribut, yaitu (1) dinyatakan dalam satu atau lebih parameter yang terukur, (2) parameter tersebut terhubung ke sasaran keberlanjutan, (3) parameter memiliki suatu skala geografis yang sesuai, dan (4) parameter memiliki dimensi waktu yang relevan. Parameter-parameter tersebut idealnya harus merencanakan faktor-faktor kuantitatif, tetapi dalam kenyataannya sering disajikan informasi kualitatif yang tidak jelas dan tidak lengkap (Adrianto dan Matsuda 2002).
2.4 Resiliensi (Resilience) Konsep resiliensi dalam sistem ekologi diperkenalkan oleh Holling pada tahun 1973 dalam Annual Review of Ecology and Systematics mengenai hubungan antara resiliensi dan stabilitas. Tujuannya untuk menjelaskan model perubahan dalam struktur dan fungsi sistem ekologi. Gagasan resiliensi berkembang sebagai sebuah konsep untuk memahami dan mengelola sistem manusia dan alam. Beberapa ahli ekologi mempertimbangkan resiliensi sebagai ukuran seberapa cepat sistem dapat kembali pada kondisi keseimbangan setelah adanya gangguan.
14 Resiliensi sebagai ukuran seberapa jauh sistem dapat terganggu tanpa pergeseran ke rejim yang berbeda (Walker et al. 2006). Menurut Adrianto dan Matsuda (2004), terdapat dua konsep yang agak berbeda terkait dengan resiliensi. Konsep yang pertama mengacu pada beberapa sifat sistem yang mendekati keseimbangan tetap. Konsep yang kedua dipromosikan oleh Holling (1973), yaitu menggambarkan sebagian gangguan yang dapat diserap sebelum sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Mengacu konsep yang kedua, resiliensi memusatkan pada perkiraan tingkat gangguan atau external shocks yang merepresentasikan indeks kerentanan. Resiliensi bertujuan menghindarkan sistem sosial-ekologi berpindah ke formasi yang tidak dikehendaki. Hal ini bergantung pada sistem yang dapat menanggulangi external shocks walaupun berhadapan dengan ketidakpastian. Pada gilirannya membutuhkan pemahaman dimana resiliensi berada di dalam sistem, dan kapan serta bagaimana dapat bertahan atau hilang. Proses peningkatan resiliensi untuk perubahan yang tidak terduga, berbeda dengan proses untuk memperbaiki kinerja sistem selama masa pertumbuhan dan keseimbangan. Keduanya diperlukan tetapi lebih ditekankan pada ekosistem yang sudah dimanfaatkan manusia. Pengambilan keputusan melalui proses analisis kebijakan yang memaksimalkan kegunaan atau memperkecil kerugian (Walker et al. 2002). Konsep resiliensi berusaha untuk memahami sumber dan peran perubahan, khususnya jenis perubahan transformasi dalam sistem kapasitas beradaptasi (Redman dan Kinzig 2003). Kapasitas beradaptasi merupakan kemampuan sistem sosial-ekologi untuk menghadapi situasi baru tanpa kehilangan pilihan dimasa depan. Dalam hal ini, resiliensi merupakan kunci untuk meningkatkan kapasitas berdaptasi. Kapasitas beradaptasi dalam sistem ekologi terkait dengan keanekaragaman genetik, keanekaragaman biologi, kemajemukan lansekap. Dalam sistem sosial, keberadaan institusi dan jaringan pembelajaran yang memiliki
pengetahuan,
pengalaman
dalam
pemecahan
masalah,
serta
keseimbangan kekuatan diantara kelompok kepentingan memiliki peran penting dalam kapasitas beradaptasi. Resiliensi ekologi sistem perairan dan lahan basah sebagai jumlah gangguan dimana sistem dapat menyerap tanpa perubahan struktur dan komposisi.
15 Resiliensi ekologi terkait dengan perubahan variabel secara perlahan seperti tanah atau kandungan nutrien, struktur habitat, laut, dan faktor iklim. Resiliensi telah diuji dengan gangguan dalam bentuk kekeringan atau siklus banjir dan sedimentasi. Resiliensi erosi merupakan hasil dari intervensi manusia yang menstabilkan proses ekosistem, seperti mitigasi dari banjir dan kekeringan atau kebakaran (Gunderson et al. 2006). Menurut Folke et al. (2002), terdapat empat faktor penting yang saling berhubungan untuk mengatasi dinamika sumberdaya alam selama perubahan dan re-organisasi,
yaitu
(1)
belajar
dengan
perubahan
dan
ketidakpastian,
(2) memelihara keragaman, (3) mengkombinasikan berbagai macam pengetahuan, dan (4) menciptakan peluang untuk pengorganisasian diri.
2.5 Konflik dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Konflik dapat didefinisikan sebagai hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki tujuan yang bertentangan. Konflik secara konseptual dapat dibedakan dengan violence (kekerasan), yaitu tindakan, katakata, sikap, struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan fisik, psikis, lingkungan, serta menutup kemungkinan orang untuk mengembangkan potensinya (Jamil 2007). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), konflik dalam pemanfaatan sumberdaya alam memiliki banyak dimensi dan tidak terbatas pada kekuasaan, teknologi, politik, jenis kelamin, usia dan etnis. Konflik dapat terjadi pada berbagai tingkatan, mulai dari tingkat rumah tangga, masyarakat, wilayah, atau dalam skala global. Konflik dapat disebabkan adanya perbedaan kekuatan diantara individu atau kelompok, serta tindakan-tindakan yang dapat mengancam mata pencaharian. Pemanfaatan sumberdaya alam rentan terhadap timbulnya konflik yang disebabkan oleh: 1. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam suatu wilayah dimana terjadi interaksi antar individu atau kelompok dapat berdampak keluar dari teritorialnya. 2. Pemanfaatan sumberdaya alam dalam aspek sosial dan dalam hubungan tidak setara, terbentuk dari berbagai aktor sosial, seperti lembaga pemerintah, swasta, pengusaha, dan lembaga non pemerintah. Dalam hal ini, aktor sosial
16 yang memiliki akses terhadap kekuasaan dapat mengontrol dan mempengaruhi keputusan-keputusan terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam. 3. Sumberdaya alam tunduk pada peningkatan kelangkaan akibat perubahan lingkungan yang cepat, seperti peningkatan permintaan dan distribusi yang tidak merata. Langkah penting dalam pemahaman konflik adalah menggali faktor-faktor yang menyebabkan konflik. Hal ini dapat membantu dalam pendekatan pengelolaan konflik. Menurut Mangkuprawira (2008), model pendekatan pengelolaan konflik bergantung pada jenis lingkup, bobot, dan faktor-faktor penyebab konflik. Beberapa pendekatan yang diterapkan antara lain: pendekatan negosiasi, dinamika kelompok, pendekatan formal dan informal, pendekatan gender, pendekatan kompromi, dan pendekatan mediasi. Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), para pihak yang terlibat dalam suatu konflik memiliki pandangan yang bertentangan mengenai solusi yang tepat untuk suatu permasalahan. Masing-masing kelompok mengakui bahwa pandangan dari kelompoknya lebih rasional dan memiliki legitimasi. Pengelolaan konflik bertujuan untuk tidak menghindari konflik, tetapi mengembangkan keterampilan yang dapat membantu dalam mengekspresikan perbedaan dan memecahkan permasalahan dengan cara kolaboratif. Faktor utama yang perlu dianalisis dalam menentukan cakupan suatu konflik adalah: 1. Karakterisasi konflik dan stakeholders: jenis konflik yang dihadapi, jumlah stakeholders yang terlibat, dan hubungan antara pihak yang berkonflik. Selanjutnya dianalisis sifat dan asal-usul konflik, serta keseimbangan kekuasaan di antara pihak yang berkonflik. 2. Tahap dalam periode perencanaan: konflik pada tahap awal mungkin berbeda dengan konflik pada tahap pelaksanaan. Stakeholders baru mungkin akan muncul sebagai hasil perencanaan. 3. Tahap dalam proses konflik: suatu penentuan apakah konflik berada pada titik dimana intervensi dapat diterima. 4. Hukum dan kelembagaan: penyelesaian konflik dapat melalui lembaga formal dan informal, serta berdasarkan asas-asas hukum formal yang berlaku.
17 Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), mengidentifikasi tanggapan terhadap konflik
berdasarkan
tingkat
kepentingan
dalam
mencapai
tujuan
atau
mempertahankan hubungan pribadi adalah: 1. Akomodasi: ketika salah satu pihak ingin mempertahankan hubungan pribadi dengan pihak lain, maka dapat dilakukan dengan mengakomodasi tujuan pihak lain. 2. Penarikan: salah satu pihak dapat memilih untuk menghindari konfrontasi atau menarik diri dari konflik karena tidak tertarik dalam memelihara hubungan pribadi atau terkait pencapaian tujuan. 3. Kekuatan: salah satu pihak lebih memegang kekuasaan atas pihak lain dan tidak peduli dapat merusak hubungan dalam mencapai tujuan. 4. Kompromi: salah satu pihak memberikan sesuatu agar tidak ada salah satu pihak yang dikalahkan 5. Konsensus: menghindari adanya pihak yang dikorbankan dan mencari hasil yang memenangkan semua pihak. Konflik yang terjadi dalam pemanfaatan sumberdaya Danau Rawa Pening adalah jenis konflik horisontal, yaitu terjadi pada pihak-pihak yang memiliki hirarki yang sama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau. Pendekatan pemecahan konflik dengan mengidentifikasi penyebab terjadinya konflik dan mengembangkan tujuan bersama dari pihak yang berkonflik terkait dengan pemanfaatan sumberdaya danau.
2.6 Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) Resolusi International Union for Concervation of Nature and Natural Resources nomor 1.42 Tahun 1996 menyatakan bahwa gagasan dasar pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen) adalah kemitraan antara lembaga pemerintah, komunitas lokal dan pemanfaat sumberdaya, lembaga non-pemerintah dan kelompok kepentingan lainnya dalam bernegosiasi dan menentukan kerangka kerja yang tepat tentang kewenangan dan tanggung jawab untuk mengelola daerah spesifik atau sumberdaya (IUCN 1997). Melalui konsultasi dan negosiasi, para mitra membangun suatu persetujuan formal atas peran, hak dan tanggung jawab masing-masing pihak dalam pengelolaan sumberdaya. Pengelolaan berbasis
18 ko-manajemen juga disebut dengan partisipatori, pengelolaan multi stakeholders, atau pengelolaan kolaboratif (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006). Menurut Borrini-Feyerabend et al. (2000), pengelolaan kolaboratif atau ko-manajemen didefinisikan sebagai sebuah situasi, dalam hal ini dua atau lebih aktor sosial bernegosiasi, memperjelas dan memberikan garansi di antara mereka serta membagi secara adil mengenai fungsi pengelolaan, hak dan tanggung jawab dari suatu daerah teritori atau sumberdaya alam tertentu yang diberi mandat untuk dikelola. Berdasarkan definisi tersebut, dalam kerangka ko-manajemen terdapat kata kunci sebagai berikut. 1. Menggunakan pendekatan pluralistik dengan memadukan peranan para pihak dalam mengelola sumberdaya alam. 2. Merupakan proses perubahan politik dan budaya untuk mencapai keadilan sosial dan demokrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. 3. Memerlukan beberapa kondisi dasar untuk dikembangkan, seperti: akses terhadap informasi dan pilihan yang relevan, kebebasan berorganisasi, kebebasan mengekspresikan kebutuhan, lingkungan sosial yang tidak diskriminatif, saling percaya dalam menghargai kesepakatan yang dipilih. Pengelolaan kolaboratif berbeda dengan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara. Otoritas utama dalam pengelolaan kolaboratif adalah pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan pemerintah lokal. Otoritas dalam pengelolaan berbasis masyarakat adalah struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal, sedangkan otoritas dalam pengelolaan berbasis negara adalah pemerintah. Orientasi aspek legal pengelolaan kolaboratif adalah adanya hak properti komunal atau properti swasta.
Selanjutnya
tujuan
pengelolaan kolaboratif adalah menciptakan
perdamaian dan demokratisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam dengan melibatkan sumberdaya manusia dari berbagai tingkatan. Secara ringkas, karakteristik perbedaan antara pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat, pengelolaan kolaboratif (ko-manajemen), dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis negara disajikan pada Tabel 2.
19 Tabel 2 Karakteristik perbedaan antara pengelolaan berbasis masyarakat, ko-manajemen, dan pengelolaan berbasis negara No
Karakteristik
1
Penerapan spasial
Lokasi spesifik (kecil)
2
Pihak otoritas utama
Struktur pengambilan keputusan lokal dan penduduk lokal
3
Pihak bertanggung jawab
4
Tingkat partisipasi
Komunal, badan pengambilan keputusan lokal Tinggi pada tataran lokal
5
Durasi kegiatan
Proses awal cepat, proses pengambilan keputusan lambat
6
Keluwesan pengelolaan
Daya penyesuaian tinggi, sensitif dan cepat tanggap terhadap perubahan kondisi lingkungan lokal
7
Investasi finansial dan SDM
Menggunakan SDM lokal, pengeluaran finansial moderat sampai rendah, anggaran fleksibel
8
Kelangsungan usaha
9
Orientasi prosedural
Jangka pendek, jika tanpa dukungan eksternal yang berkelanjutan Fokus pada dampak jangka pendek, didisain untuk lokasi lokal spesifik, sanksi moral
10
Orientasi aspek legal
11
Orientasi resolusi konflik
12
Tujuan akhir
13
Sumber informasi pengelolaan
Berbasis masyarakat
Kontrol sumberdaya secara de facto, hak properti komunal atau properti swasta Salah satu pihak ada yang dikalahkan, akomodatif, kompetisi, kekuatan publik, sanksi hukum lokal Revitalisasi atau mempertahankan statusquo penguasaan sumberdaya lokal, demokratisasi politik pengelolaan sumberdaya alam tingkat lokal Pengetahuan lokal
Sumber: Natural Resources Management (2002)
Ko-manajemen
Berbasis negara
Jaringan multi-lokasi (moderat sampai luas) Terbagi, pemerintah pusat dengan otoritas pemerintah dan pemerintah lokal Multi-pihak pada tataran lokal dan nasional
Nasional (luas)
Tinggi pada berbagai tingkatan
Rendah, potensi eksklusivitas kelompok kepentingan Proses awal gradual, cepat mengambil keputusan pada awal proses Perubahan lambat dan tidak luwes, birokratis, potensi tidak terkoneksinya antara kebijakan, realitas dan praktik Dipusatkan pada SDM dan biaya pengeluaran moderat, anggaran sudah ditetapkan (kaku) Terus-menerus, jika struktur politik terpelihara Orientasi proses pada jangka panjang, didisain untuk lokasi yang luas, sanksi
Proses awal moderat, pengambilan keputusan antar kelompok kepentingan lambat Daya penyesuaian moderat, cepat tanggap terhadap perubahan alam dengan kecukupan waktu
Membangun SDM berbagai tingkatan, anggaran fleksibel, pengeluaran biaya moderat sampai tinggi Terus-menerus, jika terbangun koalisi yang setara Berorientasi dampak jangka panjang, berorientasi proses dalam jangka pendek, didisain untuk multi-lokasi Kontrol sumberdaya secara de jure, hak properti komunal, swasta atau publik Semua pihak dimenangkan, kolaboratif, negosiatif
Pemerintah pusat
Dominasi pemerintah pusat
Menciptakan perdamaian, dan demokratisasi politik bidang pengelolaan sumberdaya alam di berbagai tingkatan
Kontrol semberdaya secara de jure, hak properti publik atau negara Diselesaikan secara hukum, salah satu pihak ada yang dikalahkan, kompetisi, akomodatif, kekuatan politik Mempertahankan status-quo politik penguasaan sumberdaya alam, perubahan ekonomi nasional
Pengetahuan lokal dan barat
Dominasi pengetahuan barat
20 Pengelolaan kolaboratif menuntut adanya kesadaran dan distribusi tanggung jawab secara formal dari masing-masing pihak. Konsultasi publik dan perencanaan partisipatif ditujukan untuk menetapkan bentuk peranserta yang lebih tahan lama, terukur dan setara dengan melibatkan seluruh kelompok kepentingan (Borrini-Feyerabend et al. 2000). Menurut Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006); Adrianto (2007), community-based resources management memiliki persamaan fungsional dengan ko-manajemen. Keduanya memiliki tujuan bagi tercapainya pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan, berkeadilan sosial dalam kondisi ekosistem dan lingkungan yang sehat. Perbedaan keduanya terletak pada fokus strateginya, yaitu: 1. Community-based resources management memiliki fokus strategi pada orang dan komunitas. Ko-manajemen memiliki fokus strategi pada kedua hal tersebut ditambah dengan isu inisiasi kemitraan antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya. 2. Community-based resources management memiliki skala dan ruang lingkup dalam dan luar masyarakat (dari sudut pandang masyarakat), akan tetapi ko-manajemen memiliki skala dan ruang lingkup yang lebih luas. Dalam kerangka persamaan tujuan dan fungsi antara community-based resources management dan ko-manajemen, dikenal community-based co-management (CBCM) atau ko-manajemen berbasis masyarakat. Karakteristik ko-manajemen berbasis masyarakat adalah fokus pada masyarakat tanpa meninggalkan aspek pentingnya kemitraan dengan pemerintah. Distribusi tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya bervariasi, yaitu dari tipe instruktif hingga informatif. Terdapat lima tipe ko-manajemen menurut peran pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya, yaitu (1) instruktif, (2) konsultatif, (3) kooperatif, (4) advisori, dan (5) informatif. Dalam pengertian yang luas, wilayah pengelolaan ko-manajemen dapat diilustrasikan berada di tengah-tengah atau jalan kompromistik antara pengelolaan di bawah kontrol penuh pemerintah dan di bawah kendali penuh masyarakat pemanfaat sumberdaya. Spektrum ko-manajemen berdasarkan distribusi peran dan tanggung jawab antara pemerintah dan masyarakat disajikan pada Gambar 2 (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006; Adrianto 2007).
21 Informative
Government Based Management Advisory
User Group Management
Cooperative Consultative Instructive Government Management
User Group Based Management
Co-management (varying degrees)
Gambar 2 Variasi ko-manajemen menurut peran pemerintah dan pelaku pemanfaat sumberdaya (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006) Gambar 2 menunjukkan, bahwa karakteristik masing-masing tipe proses dalam variasi ko-manajemen adalah: 1. Instruktif: terdapat komunikasi dan tukar informasi yang minimal antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya. Tipe ini berbeda dengan rejim sentralisasi, dimana terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya. Mekanisme dialog masih dalam konteks intruksi informasi dari apa yang telah diputuskan oleh pemerintah. 2. Konsultatif: terdapat mekanisme dialog antara pemerintah dan pemanfaat sumberdaya, tetapi seluruh keputusan masih dibuat oleh pemerintah. 3. Kooperatif: pemerintah dan pemanfaat sumberdaya bekerja bersama-sama sebagai patner yang setara atau equal partner di dalam pembuatan keputusan. 4. Advisori: pemanfaat sumberdaya memberikan input kepada pemerintah atas sebuah keputusan yang seharusnya diambil, kemudian pemerintah menetapkan keputusan tersebut. 5. Informatif:
pemerintah
mendelegasikan
kepada
kelompok
pemanfaat
sumberdaya untuk membuat keputusan. Kelompok pemanfaat sumberdaya bertanggung jawab dan wajib menginformasikan kepada pemerintah atas keputusan tersebut. Inisiasi ko-manajemen dalam pengelolaan sumberdaya perikanan biasanya dimulai dari timbulnya krisis sumberdaya perikanan sebagai konsekuensi dari rejim open-access. Berkurangnya sumberdaya perikanan menjadi faktor utama bagi tragedi bersama komunitas perikanan. Prinsip ini dikenal dengan Tragedy of
22 the Commons yang diperkenalkan oleh Gerald Hardin pada tahun 1957. Seperti disajikan pada Gambar 3, status dan potensi sumberdaya perikanan menjadi kompleks setelah mulai munculnya intervensi manusia. Penyebabnya adalah adanya demands (permintaan) yang kemudian diikuti dengan eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Dalam kondisi tanpa pengelolaan, eksploitasi mengakibatkan sumberdaya perikanan menjadi kolaps. Hal ini menjadi salah satu latar belakang timbulnya kesadaran pentingnya keberlanjutan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan (Adrianto 2007). Status dan Potensi Sumberdaya Ikan
Kepentingan dan Pengetahuan Manusia Natural Capitalizing
Monitoring dan Evaluasi
Social Economic Capitalizing
Kolaborasi Pengelolaan
= ordinary (biasanya) = strengthening (penguatan)
Eksplorasi dan Eksploitasi
Institutional Capitalizing
Perbaikan Praktek Pengelolaan
Kelebihan Tangkap
Penurunan Sumberdaya Ikan Kebutuhan akan Keberlanjutan Sumberdaya Ikan
Gap/ Masalah (ketidakadilan, sistem top-down, praktek commandcontrol, dll)
Gambar 3 Aliran fungsional pentingnya ko-manajemen perikanan (Adrianto 2007) Menurut Adrianto (2007), perubahan rejim pengelolaan perikanan mulai terjadi sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, yaitu dari pengelolaan yang sentralistik menjadi pengelolaan desentralistik dengan mengadopsi pengetahuan lokal masyarakat dalam pengelolaan perikanan (pasal 2 dan pasal 6). Pasal 2 Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan. Pasal 6 (1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan
23 (2) Pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peranserta masyarakat Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 secara temporal menjadi dasar hukum yang kuat bagi pentingnya ko-manajemen perikanan di Indonesia. Secara diagramatik perubahan rejim pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia disajikan pada Gambar 4. Community-Based Regime - Sasi - Panglima laot - Awig-awig - dll.
Ancient
Co-management Regime
Government-centered Regime
- UU No. 31/ 2004 j.o. UU No. 45/ 2009 - UU No. 32/ 2004
- UU No. 9/ 1985 - Peraturan Pemerintah Orde Baru
Present status
Post independence
Gambar 4 Perubahan rejim pengelolaan perikanan Indonesia (Adrianto 2007) Danau Rawa Pening mengalami krisis perikanan akibat tingginya eksplorasi dan eksploitasi sumberdaya perikanan. Hal ini menjadi penyebab timbulnya permasalahan yang kompleks dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Banyaknya pihak yang terlibat dalam pengelolaan mengakibatkan banyak peran dan kepentingan terhadap potensi sumberdaya. Pengelolaan berbasis ko-manajemen merupakan salah satu proses perbaikan sistem pengelolaan sumberdaya perikanan yang dapat mempertemukan atau mengintegrasikan kepentingan dari seluruh stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan. Hasil penelitian Salmi et al. (2000) di Danau Finnish Finlandia, menunjukkan bahwa perencanaan dan pengelolaan danau yang terintegrasi dapat menyediakan forum dialog antar berbagai individu dan kelompok kepentingan. Dalam hal ini, keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dapat dilaksanakan pada skala lokal dan regional dengan beberapa penyesuaian yang lebih rasional. Dalam kerangka pengelolaan kolaboratif, definisi stakeholders adalah semua pihak yang mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kebijakan, keputusan dan aksi dari sistem tersebut. Dalam hal ini, unit stakeholders dapat berupa individu, kelompok sosial atau komunitas berbagai tingkatan dalam masyarakat (Grimble dan Chan 1995).
24 Secara umum terdapat empat stakeholders kunci dalam kerangka pengelolaan
kolaboratif,
yaitu
(1)
pelaku
pemanfaatan
sumberdaya,
(2) pemerintah, (3) stakeholders lain, dan (4) agen perubahan (Pomeroy dan Rivera-Guieb 2006). Peran penting dari keempat stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Peran stakeholders kunci dalam pengelolaan kolaboratif No
Stakeholders Kunci
Peran
1. Pelaku Pemanfaatan a) Mengidentifikasi isu terkait masyarakat. Sumberdaya b) Memobilisasi aktivitas dalam ko-manajemen.. c) Berpartisipasi dalam penelitian, pengumpulan dan analisis data. d) Perencanaan dan implementasi kegiatan. e) Monitaring dan evaluasi. f) Advokasi kepentingan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. 2. Pemerintah a) Menyediakan perangkat legislasi untuk menjamin dan melegitimasi hak masyarakat berpartisipasi dalam kerangka ko-manajemen. b) Menentukan bentuk dan proses desentralisasi pengelolaan. c) Menyediakan perangkat legitimasi bagi sistem pengelolaan yang sudah ada di masyarakat. d) Menyediakan bantuan teknis, finansial dan penyuluhan dalam inisiasi ko-manajemen. e) Resolusi konflik antar stakeholders. f) Mengkoordinasi forum lokal bagi kemitraan stakeholders dalam kerangka ko-manajemen. g) Menentukan alokasi fungsi pengelolaan. 3. Stakeholders Lain a) Mengidentifikasi isu-isu dalam masyarakat, khususnya di luar masyarakat perikanan. b) Berpartisipasi dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen. c) Menyediakan insentif bagi tindakan nyata. d) Pengelolaan konflik. e) Memfasilitasi kepentingan masyarakat. 4. Agen Perubahan a) Memfasilitasi stakeholders dalam proses perencanaan dan implementasi. b) Pengorganisasian masyarakat dalam inisiasi maupun implementasi ko-manajemen. c) Jasa konsultasi dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen. d) Menyediakan informasi data dalam perencanaan dan implementasi ko-manajemen. Sumber: Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006); Adrianto (2007)
25 2.7 Pengetahuan Lokal sebagai Prasarat Ko-manajemen (Pengelolaan Kolaboratif) Pengetahuan lokal atau kearifan tradisional adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman, serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis. Kearifan tradisional tidak hanya menyangkut pengetahuan atau pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan hubungan antar manusia, melainkan menyangkut pengetahuan, pemahaman, dan adat kebiasaan tentang manusia, alam dan hubungan antara semua penghuni komunitas ekologi. Seluruh kearifan tradisional tersebut dihayati, dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang sekaligus membentuk pola perilaku manusia seharihari (Keraf 2002). Menurut Berkes et al. (2000), pengetahuan lokal adalah pengetahuan dan kepercayaan secara turun-menurun antar generasi tentang kehidupan masyarakat, baik terkait antar individu dalam masyarakat maupun hubungan antara masyarakat dan lingkungan. Selanjutnya Pomeroy dan Rivera-Guieb (2006), mendefinisikan indigenous knowledge (pengetahuan lokal) sebagai suatu pengetahuan yang dibangun oleh sekelompok orang yang terpelihara antar generasi dalam pemanfaatan
sumberdaya
alam.
Pengetahuan
tersebut
berkembang
dan
disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat setempat. Proses kreativitas dilakukan dengan menggabungkan pengaruh luar dan inovasi dari dalam untuk menyesuaikan dengan kondisi baru. Pengetahuan lokal dapat memberikan masukan dalam pengelolaan sumberdaya alam, pengembangan ekonomi alternatif, konservasi, dan lingkungan. Pengetahuan lokal dalam pengelolaan sumberdaya alam di Indonesia sesungguhnya dimulai dengan inisiatif yang muncul dari masyarakat lokal dengan menggunakan pemahaman yang dimiliki. Pengetahuan lokal tersebut kemudian dilembagakan dengan menggunakan sistem hukum adat atau customary laws (Adrianto et al. 2009). Beberapa praktek pengelolaan sumberdaya alam berbasis pengetahuan lokal yang berkembang di masyarakat dan dilembagakan dalam hukum adat Indonesia adalah: 1. Sasi di Desa Haruku (Maluku), yaitu larangan pemanenan sumberdaya alam tertentu seperti tumbuhan dan binatang dalam rangka melindungi populasinya.
26 Sasi merupakan inisiatif kolektif dan diformulasikan oleh masyarakat setempat, termasuk pemantauan yang dilakukan oleh lembaga adat (Wiratno et al. 2001). 2. Nagari di Sumatera Barat, yaitu seperangkat hukum adat untuk mengelola hubungan sosial, perilaku, pembagian sumberdaya secara komunal dan adil, menciptakan keseimbangan antara alam dan manusia, serta mengatur sistem pemerintahan lokal secara otonom. 3. Lubuk Larangan di Mandailing Natal, yaitu kesepakatan bersama dalam menetapkan suatu wilayah terlarang (dalam hal ini sungai) untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. 4. Awig-awig di Bali dan Nusa Tenggara Timur, yaitu seperangkat norma yang mengatur perilaku masyarakat terkait hubungannya dengan Tuhan, sesama masyarakat, dan lingkungan disertai dengan sanksi adat yang ditegakkan oleh institusi pemerintahan desa adat setempat. Praktek-praktek hukum adat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan semakin tereduksi oleh rejim pengelolaan yang lebih didominasi oleh pemerintah atau command and control regime, khususnya di era Tahun 1966-1998. Hal ini tidak saja terjadi pada pengelolaan sumberdaya perikanan, tetapi menjadi salah satu pola pengelolaan negara yang cenderung sentralistik. Semua ditentukan oleh negara, hingga istilah desa menjadi istilah wajib bagi entitas paling kecil suatu wilayah. Reduksi peran komunitas lokal membuat pengelolaan sumberdaya perikanan menjadi tidak efisien. Konflik antar nelayan dan degradasi sumberdaya perikanan merupakan salah satu turunan dari problem sentralisasi pengelolaan perikanan. Ketidakseimbangan antara peran negara dan masyarakat dalam pengelolaan perikanan melatarbelakangi pentingnya kolaborasi antar pihak dalam pengelolaan perikanan (Adrianto 2007). Masyarakat sekitar kawasan Danau Rawa Pening memiliki keterikatan yang kuat dengan lingkungannya yang dipraktekkan dalam pemanfaatan sumberdaya danau dan diakui secara turun-temurun. Pengetahuan lokal yang diakui masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah adanya nilai ngepen dan wening dalam pemanfaatan sumberdaya danau. Nilai ngepen dan wening terpelihara antar generasi dan dipercaya dapat menjaga kelestarian ekosistem
27 danau. Menurut Sutarwi (2008), nilai ngepen memiliki makna pengelolaan danau harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan tidak setengah hati. Nilai wening berarti pemanfaatan sumberdaya danau harus jujur dan tidak serakah. Sifat tidak serakah dalam pemanfaatan sumberdaya danau tercermin dari perilaku nelayan, yaitu adanya kebiasaan nelayan dalam menangkap ikan, apabila sudah mendapatkan hasil yang cukup, maka kegiatan harus dihentikan. Nelayan percaya bahwa pengabaian terhadap ketentuan tersebut akan mengakibatkan musibah. Nelayan jua percaya, bahwa apabila tidak mendapatkan hasil sesuai yang diharapkan, maka pada suatu hari akan mendapatkan gantinya. Sebagian masyarakat mengakui adanya hari pantangan atau larangan menangkap ikan atau memanfaatkan sumberdaya lain, yaitu pada hari Selasa Kliwon (dalam penanggalan Jawa). Seiring dengan meningkatnya kebutuhan hidup masyarakat, maka hari pantangan untuk menangkap ikan tersebut sudah tidak dipatuhi oleh sebagian nelayan. Tradisi yang masih dilaksanakan oleh masyarakat sekitar Danau Rawa Pening adalah Sedekah Rowo yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Muharram. Secara lahiriah, Sedekah Rowo memiliki makna adanya silaturahmi antar anggota kelompok tani dan nelayan di Danau Rawa Pening. Sedangkan makna batiniahnya adalah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas rejeki yang didapat dari Danau Rawa Pening. Menurut Nasution et al. (2007), dimensi pengetahuan lokal merupakan pengkajian sistem masyarakat nelayan setempat. Ruang lingkup kajian dibatasi pada pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan setempat secara arif. Dalam hal ini digali informasi tentang perilaku masyarakat yang ramah lingkungan beserta tata nilai yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat, diperlukan
kajian
terhadap
faktor-faktor
pemanfaatan
dan
pengelolaan
sumberdaya perikanan, konservasi sumberdaya perikanan, serta law enforcement atau penegakan peraturan. Masyarakat menganggap bahwa Danau Rawa Pening merupakan sumberdaya milik bersama. Mekanisme pemanfaatan sumberdaya perikanan masih bercirikan pada pola open acces, yaitu siapa saja boleh memanfaatkan sumberdaya Rawa Pening. Dampak negatif dari pengelolaan open acces adalah
28 tidak adanya pihak yang peduli untuk memperbaiki kondisi sumberdaya perikanan yang telah rusak akibat eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan konservasi untuk memperbaiki potensi sumberdaya perikanan di Danau Rawa Pening, seperti penebaran benih ikan, pembersihan Eceng Gondok, dan pengerukan sedimentasi merupakan tanggungjawab pemerintah. Masyarakat nelayan merasakan bahwa kondisi sumberdaya perikanan saat ini semakin kritis dan berkurang produksinya. Hal ini disebabkan oleh kondisi ekosistem danau yang semakin rusak akibat ekspansi tanaman penggangu. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara formal diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Rawa Pening, serta Keputusan Bupati Semarang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 25 Tahun 2001. Pengaturan pemanfaatan sumberdaya mencakup wilayah perikanan, pengelolaan sumberdaya perikanan, zonasi perairan, perijinan, larangan, serta pelaksanaan dan pengawasan. Sanksi terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan sumberdaya alam, bersumber dari peraturan perundangan yang berlaku, dan belum ada bentuk sanksi yang berasal dari masyarakat lokal. Dalam hal ini, penegakan peraturan dilakukan oleh pemerintah bersama Satuan Tugas Rawa Pening dengan bersumber pada peraturan daerah. Sanksi diberlakukan terhadap penggunaan alat tangkap yang kontruksi dan pengoperasiannya dapat merusak lingkungan, seperti penggunaan branjang kelambu, racun dan bahan peledak
2.8 Konsep Pemberdayaan Masyarakat Konsep pemberdayaan masyarakat mengacu pada kata empowerment, yaitu upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki masyarakat. Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat menekankan pentingnya masyarakat yang mandiri sebagai suatu sistem yang mengorganisir dirinya sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia merupakan landasan wawasan dalam pengelolaan sumberdaya lokal sehingga terbentuk mekanisme perencanaan yang menekankan pada teknik pembelajaran sosial dan strategi program bersama masyarakat (Nasution et al. 2007).
29 Menurut Wrihatnolo dan Dwidjowijoto (2007), pemberdayaan dapat diartikan sebagai pemberian kekuasaan karena power bukan sekedar daya, sehingga kata daya tidak saja bermakna mampu tetapi juga mempunyai kuasa. Selama ini keterlibatan masyarakat hanya dilihat dalam konteks yang sempit. Dalam hal ini, peranserta masyarakat terbatas pada implementasi program. Daya masyarakat tidak dikembangkan dari dalam dirinya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil dari pihak luar, sehingga partisipasi mencapai bentuk yang pasif. Selanjutnya, pemberdayaan merupakan sebuah proses yang memiliki tahapan sebagai berikut. 1. Penyadaran, yaitu memberikan pengetahuan bersifat penyadaran, percaya, dan penyembuhan. 2. Pengkapasitasan, yaitu memampukan sebelum diberi daya atau kuasa. 3. Pendayaan, yaitu pemberian daya, kekuasaan, otoritas, atau peluang sesuai dengan kualitas kecakapan yang telah dimiliki. Pemberdayaan bertujuan meningkatkan keberdayaan dari mereka yang dirugikan. Dua konsep penting dalam pernyataan tersebut adalah keberdayaan dan yang dirugikan, keduanya perlu dipertimbangkan dalam setiap pembahasan pemberdayaan sebagai bagian dari suatu perspektif sosial. Pemberdayaan melalui kebijakan dan perencanaan dapat dicapai dengan mengembangkan atau mengubah struktur atau lembaga untuk mewujudkan akses yang lebih adil terhadap sumberdaya atau kesempatan untuk berpartisiapasi dalam kehidupan masyarakat. Memberikan sumberdaya yang cukup kepada masyarakat merupakan salah satu strategi penting dalam pemberdayaan masyarakat (Ife dan Tesoriero 2008). Menurut Adi (2008), proses pemberdayaan yang berkesinambungan merupakan siklus yang tidak berhenti pada suatu titik tertentu, akan tetapi merupakan upaya berkesinambungan untuk meningkatkan daya yang ada. Tahap dalam siklus pemberdayaan yang berkesinambungan adalah 1) menghadirkan kembali
pengalaman
yang
memberdayakan
dan
tidak
memberdayakan,
2) mendiskusikan alasan terjadinya pemberdayaan dan penidakberdayaan, 3) mengidentifikasikan suatu permasalahan, 4) mengidentifikasikan basis daya yang bermakna untuk melakukan perubahan, serta 5) mengembangkan rencanarencana aksi dan implementasinya.
30 2.9 Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Konsep modal sosial pertama kali dikenalkan oleh Lyda Judson Hanifan pada awal abad ke-20 dalam bukunya The Rural School Community Centre. Modal sosial memiliki makna penting dalam hidup bermasyarakat, berupa kemauan baik, rasa bersahabat, saling simpati, kerjasama yang erat antar individu yang membentuk suatu kelompok sosial. Modal sosial muncul atas dasar pemikiran bahwa anggota masyarakat tidak mungkin dapat mengatasi berbagai masalah secara individual. Selanjutnya, Peirre Bourdieu dalam tulisan The Forms of Capital, menyatakan bahwa pemahaman struktur dan cara berfungsinya dunia sosial perlu membahas modal dalam segala bentuk. Dalam hal ini tidak hanya dalam arti ekonomi tetapi juga dalam arti sosial dan budaya. Konsep modal sosial adalah sebagai keseluruhan sumberdaya, baik yang aktual maupun potensial yang terkait dengan kepemilikan jaringan hubungan kelembagaan (Mundzir 2004). Modal sosial didefinisikan sebagai norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang berada di dalamnya dan mengatur pola perilaku warganya, termasuk unsur kepercayaan dan jaringan antarwarga masyarakat atau kelompok masyarakat. Norma dan aturan yang ada juga mengatur perilaku individu, baik dalam perilaku ke dalam atau internal kelompok, maupun hubungan dengan kelompok masyarakat yang lain (Adi 2008). Menurut Mawardi (2007), modal sosial memiliki cakupan dimensi yang cukup luas dan kompleks sehingga dapat dibedakan dengan modal manusia. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan antar kelompok dengan perhatian pada jaringan sosial, norma, nilai, dan kepercayaan antar sesama yang lahir dari anggota kelompok dan menjadi norma kelompok. Pada modal manusia lebih merujuk ke dimensi individu yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Bagian dari membangun modal sosial adalah memperkuat masyarakat madani. Masyarakat madani adalah istilah yang digunakan untuk struktur-struktur formal atau semi formal yang dibentuk masyarakat secara sukarela dengan inisiatif mereka sendiri, bukan sebagai konsekuensi dari program atau arahan tertentu dari pemerintah. Masyarakat madani mencakup sektor non-pemerintah, dimana badan-badan non-pemerintah telah dibentuk untuk menolong memenuhi
31 kebutuhan-kebutuhan individu, keluarga, dan masyarakat (Ife dan Tesoriero 2008). Menurut Nasution et al. (2007), masalah penting dalam menggunakan dan mengembangkan modal sosial dalam masyarakat adalah (1) bagaimana memilih dengan tepat warga masyarakat yang dilibatkan sejak awal dalam upaya pengembangan modal sosial, (2) apa insentif yang dapat diberikan kepada masyarakat, serta (3) bagaimana menelusuri hasil-hasil yang telah dicapai dan faktor-faktor penting lainnya. Selanjutnya dinyatakan, seberapa besar nilai modal sosial yang dimiliki seseorang terhadap orang lain ditentukan oleh seberapa jauh adanya unsur-unsur yang berupa rasa kagum, perhatian, dan kepedulian seseorang terhadap orang lain.
2.10 Kerangka Pemikiran Penelitian 2.10.1 Kerangka Pemikiran Konseptual Dalam penelitian ini, tingkat kebergantungan masyarakat atau perceived value of dependency terhadap sumberdaya danau dapat dilihat dari distribusi jenis mata pencaharian, distribusi tingkat pendapatan masyarakat, dan tingkat partisipasi masyarakat. Selanjutnya, konsep kerentanan merupakan atribut yang potensial dari suatu sistem untuk dirusakkan oleh dampak-dampak yang bersifat exogenous. Tingkat gangguan eksternal diperkirakan dengan menggunakan variabel-variabel ekologi dan ekonomi dalam menyusun indeks kerentanan. Tujuan dari suatu indeks kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan eksternal, baik secara antropogenik maupun alamiah pada suatu sistem. Semakin besar tingkat kerentanan, pada gilirannya akan menjadi penghalang yang lebih besar pada pembangunan berkelanjutan (Adrianto dan Matsuda 2002, 2004). Resiliensi dalam penelitian ini mengacu pada konsep Holling (1973), yang menggambarkan sebagian gangguan yang dapat diserap sebelum sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Resiliensi memusatkan pada perkiraan tingkat gangguan atau external shocks yang merepresentasikan indeks kerentanan. Menurut Olsson et al. (2004), proses pengorganisasian dalam pengembangan ko-manajemen yang difasilitasi peraturan dan insentif dari tingkat yang lebih tinggi mempunyai potensi untuk membuat sistem sosial-ekologi yang lebih kuat
32 untuk berubah. Resiliensi sistem sosial-ekologi berperan bagi kapasitas sosial untuk mempelajari dinamika ekosistem dengan melindungi sistem dari kegagalan pengelolaan yang didasarkan pada kurangnya pengetahuan. Kerangka pemikiran konseptual sebagaimana disajikan pada Gambar 5, menjelaskan bahwa tingkat kerentanan masyarakat, resiliensi masyarakat, dan kebijakan pemerintah lokal memiliki pengaruh dalam keberlanjutan sumberdaya danau. Penelitian dan analisis tersebut akan merumuskan kebijakan pengelolaan untuk memperbaiki sistem pengelolaan danau. Model pengelolaan kolaboratif, dimana terdapat posisi yang setara antara pemerintah dan masyarakat pemanfaat sumberdaya dalam pembuatan keputusan diharapkan dapat merumuskan kebijakan strategis untuk memperbaiki sistem pengelolaan danau. Rumusan kebijakan strategis yang dihasilkan diharapkan dapat memberikan masukan dalam pengelolaan danau yang berkelanjutan.
2.10.2 Kerangka Pemikiran Operasional Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data terkait dengan tujuan penelitian dilakukan dengan metode observasi, survai, dan diskusi dengan pakar. Data tingkat kebergantungan masyarakat akan menjelaskan keterkaitan antara masyarakat dengan sumberdaya danau. Data berikutnya adalah tingkat gangguan eksternal untuk menganalisis tingkat kerentanan masyarakat terhadap sumberdaya danau. Tujuan analisis kerentanan adalah untuk menaksir tingkat gangguan atau external shocks pada sistem danau dengan memperhitungkan aspek ekologi dan sosial ekonomi. Data selanjutnya adalah kajian tingkat gangguan eksternal dan kebijakan skala lokal untuk mengembangkan skenario pengelolaan di masa yang akan datang. Dalam hal ini, analisis resiliensi masyarakat dilakukan dengan mengidentifikasi variabel dan proses yang menentukan dinamika stakeholders yang dianggap penting. Seluruh data yang terkumpul dianalisis untuk merancang model pengelolaan kolaboratif perairan umum daratan di Danau Rawa Pening. Kerangka pemikiran operasional dalam penelitian ini secara skematis disajikan pada Gambar 6.
33 Sistem Ekologi Akuatik Dependence
Sistem Danau
Sistem Sosial
Community
Vulnerability
Conflict
Resilince
Co-management
Empowerment Local Government
Rules/Regulation/ Policy Strategic Response
Sustainable Lake Resource Management
Keterangan: = Pengaruh = Sintesis
Gambar 5 Kerangka pemikiran konseptual
34 Ekonomi
Ekologi Kebergantungan Masyarakat Analisis Kerentanan
Danau Rawa Pening Masyarakat Pemanfaat Sumberdaya
Sosial
Kerentanan Masyarakat
Analisis Stakeholders
Model Pengelolaan Kolaboratif
Resiliensi Masyarakat Analisis ISM
Analisis Resiliensi
Pemerintah Lokal
Kebijakan/ Peraturan
Keterangan: = Pengaruh = Kegiatan
Gambar 6 Kerangka pemikiran operasional
35 2.11 Hipotesis Guna lebih mengarahkan dalam melakukan penelitian ini, maka diajukan beberapa hipotesis sebagai berikut: 1. Terdapat pengaruh negatif antara tingkat pendapatan masyarakat dengan tingkat kebergantungan masyarakat terhadap sumberdaya danau. 2. Terdapat pengaruh positif antara tingkat kebergantungan masyarakat dengan tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya danau. 3. Terdapat pengaruh positif antara angka pertumbuhan penduduk dengan nilai indeks pertumbuhan populasi penduduk suatu wilayah.
2.12 Penelitian Terdahulu Penelitian tentang Danau Rawa Pening sudah banyak dilakukan oleh berbagai instansi atau perguruan tinggi. Hasil penelitian Sutarwi (2008) melaporkan bahwa 1) proses formulasi kebijakan pengelolaan sumberdaya air Danau Rawa Pening mencerminkan model formulasi kebijakan publik yang beragam, 2) peran kelembagaan informal, yaitu aktualisasi nilai ngepen (sungguhsungguh) dan wening (jujur dan tidak serakah) dalam pengelolaan danau mulai menghilang, 3) peran Kelompok Nelayan Sedyo Rukun mulai melemah karena terjadinya konflik internal, 4) peran Forum Rembug Rawa Pening tidak efektif, serta 5) tidak semua tahapan dalam proses kebijakan dikaitkan dengan kelembagaan informal dalam masyarakat. Selanjutnya penelitian terkait dengan pengelolaan kolaboratif adalah Konsep Co-management Taman Nasional Karimunjawa (Purwanti 2008), menunjukkan, bahwa 1) pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkontrol akan mengancam keanekaragaman hayati, 2) peraturan yang terkonsentrasi pada kewenangan pemerintah sulit diterapkan lintas sektor, 3) faktor kunci co-management
adalah
pemahaman
masalah,
koordinasi,
kepemimpinan,
mekanisme komunikasi dan negosiasi, partisipasi, dan komitmen para pihak, serta 4) pengelolaan co-management dengan membuat kesepakatan antara Balai Taman Nasional Karimunjawa dan pemerintah daerah. Secara ringkas beberapa hasil penelitian terkait dengan pengelolaan danau dan pengelolaan kolaboratif disajikan pada Tabel 4.
36 Tabel 4 Rekapitulasi penelitian sejenis yang pernah dilakukan, Tahun 2010 No
Judul Disertasi
Peneliti
1 Strategi Burhan (2006) Pengelolaan Situ secara Berkelanjutan: Studi Kasus Pengelolaan Situ di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. (PSL-IPB)
2 Disain Kelembagaan Umar (2007) Pengelolaan Danau Singkarak yang Berkelanjutan Berbasis Nagari. (PSL-IPB)
3 Model Pengendalian Pencemaran Perairan di Danau Maninjau Sumatera Barat (PSL-IPB)
Marganof (2007)
4 Konsep Comanagement Taman Nasional Karimunjawa (PSL-IPB)
Purwanti (2008)
Tujuan Merumuskan strategi yang tepat untuk mengelola situ secara berkelanjutan.
Metodologi 1) Analisis SWOT 2) SFAS atau Strategic Factors Analysis Summary
Hasil Penelitian
Kriteria pengelolaan situ berkelanjutan: 1) Kualitas air sesuai baku mutu golongan C. 2) Mempunyai kekuatan hukum. 3) Berfungsi secara ekologi, sosial, dan ekonomi. 4) SDM yang berpengetahuan. 5) Masyarakat mendapat manfaat sosial dan ekonomi. 1) Memetakan 1) Analisis 1) Alternatif bentuk keberlanjutan Stakeholder kelembagaan adalah berdasarkan 2) AWOT co-management. kepentingan (AHP dan 2) Kelembagaan stakeholder. SWOT) pengelolaan danau 2) Merumuskan 3) FGD dimodifikasi dari kelembagaan kelembagaan Nagari pengelolaan dengan melibatkan Danau Singkarak seluruh berbasis Nagari. stakeholders. Membangun model Powersim 1) Sub-model pengendalian versi 2,5c pengendalian pencemaran, yaitu: pencemaran sub-model limbah perairan Danau penduduk, subManinjau. model limbah hotel, sub-model limbah peternakan, submodel limbah pertanian, dan submodel limbah KJA. 2) Faktor berpengaruh di masa depan: jumlah KJA, pertumbuhan penduduk, partisipasi masyarakat, pemanfaatan lahan, dan dukungan pemerintah daerah. 1) Menganalisis 1) Analisis 1) Pemanfaatan potensi dan kualitatif sumberdaya yang pemanfaatan 2) AHP tidak terkontrol akan sumberdaya TNKJ 3) Analisis mengancam 2) Menganalisis prospektif keanekaragaman kebijakan dan hayati. kelembagaan 2) Peraturan yang pengelolaan terkonsentrasi pada TNKJ. kewenangan
37
Lanjutan Tabel 4 No
Judul Disertasi
Peneliti
Tujuan 3) Mengidentifikasi faktor kunci comanagement TNKJ. 4) Menyusun konsep co-management untuk kegiatan perikanan dan pariwisata.
5 Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Air Danau dan Peran Kelembagaan Informal: Menggugat Peran Negara atas Hilangnya Nilai Ngepen dan Wening dalam Pengelolaan Danau Rawa Pening di Jawa Tengah. (Studi PembangunanUKSW)
Sutarwi (2008)
6 Rekayasa Model Pengelolaan Danau Terpadu Berwawasan Lingkungan Studi
Walukow (2009)
Metodologi
Hasil Penelitian
pemerintah sulit diterapkan lintas sektor. 3) Faktor kunci comanagement adalah pemahaman masalah, koordinasi, kepemimpinan, mekanisme komunikasi dan negosiasi, partisipasi, dan komitmen para pihak. Koordinasi merupakan driven factor dari comanagement. 4) Co-management dengan membuat kesepakatan antara Balai TNKJ dan Pemda. 1) Mengkaji Analisis 1) Kebijakan kebijakan kualitatif pengelolaan pengelolaan dengan sumberdaya air sumberdaya air metode studi Rawa Pening Danau Rawa kasus mencerminkan Pening. model kebijakan 2) Mengkaji peran publik yang kelembagaan beragam. informal dalam 2) Peran kelembagaan pengelolaan informal: aktualisasi sumberdaya air nilai ngepen dan Rawa Pening. wening dalam 3) Mengkaji pengelolaan danau keterkaitan mulai menghilang, kebijakan dan peran Paguyuban kelembagaan Nelayan Sedyo informal dalam Rukun mulai pengelolaan melemah karena sumberdaya air terjadi konflik Danau Rawa internal, peran Pening. Forum Rembug Rawa Pening tidak efektif. 3) Tidak semua tahapan dalam proses kebijakan dikaitkan dengan kelembagaan informal. 1) Menganalisis 1) Powersim. 1) Parameter Cu, kapasitas 2) ISM. PO4, Zn, dan Fe asimilasi berada di atas nilai parameter kualitas kapasitas asimilasi. air.
38
Lanjutan Tabel 4 No
Judul Disertasi Kasus di Danau Sentarum. (PSL-IPB)
7 Konsep Pengembangan Co-management untuk Melestarikan Taman Nasional Lore Lindu (PSL-IPB)
Peneliti
Tujuan 2) Mengembangkan model kelembagaan pengelolaan danau. 3) Rekayasa model sistem dinamik pengelolaan danau lestari.
Metodologi
Hasil Penelitian
2) Elemen kunci adalah penegakan hukum, koordinasi, memperkuat hubungan antar stakeholders, tingkat kebutuhan dan pembangunan organisasi berbasis masyarakat. 3) Pendekatan model dinamik membantu mengetahui perkembangan sumber pencemar, beban pencemar, kualitas air dan daya dukung danau (kapasitas asimilasi). Kassa (2009) 1) Menganalisis 1) Analisis 1) Konflik terjadi kepentingan kepentingan karena perbedaan stakeholder dalam 2) Analisis kepentingan antara kaitannya dengan partisipatif masyarakat lokal konflik di TNLL. 3) Analisis co- dengan pihak 2) Menganalisis management TNLL. partisipasi 4) Analisis 2) Perbedaan masyarakat. prospektif partisipasi 3) Menganalisis masyarakat antara penerapan prinsip desa KKM dan co-management desa non-KKM dalam pengelolaan karena belum TNLL. adanya pengakuan 4) Menganalisis terhadap faktor kunci kepentingan desa penentu non-KKM. keberhasilan co3) Penerapan comanagement. management di 5) Merumuskan desa KKM pada konsep kategori tinggi, co-management untuk desa nondalam pengelolaan KKM pada TNLL. kategori rendah. 4) Diperlukan produk hukum yang mengikat serta pengawalan penerapannya dengan melibatkan TNLL, akademisi, dan masyarakat.