17
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pencemaran Minyak di Laut dan Komponen-Komponennya Laut merupakan suatu ekosistem yang kaya dengan sumber daya alam termasuk keanekaragaman sumber daya hayati yang dapat dimanfaatkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan manusia (Sudrajad, 2006). Kehidupan manusia di bumi ini sangat bergantung pada lautan, oleh karena itu manusia harus menjaga kebersihan dan kelangsungan kehidupan organisme yang hidup di dalamnya. Di lain pihak, lautan merupakan tempat pembuangan benda-benda asing dan pengendapan barang sisa yang diproduksi oleh manusia. Lautan juga menerima bahan-bahan yang terbawa oleh air dari daerah pertanian dan limbah rumah tangga, sampah dan bahan buangan dari kapal, tumpahan minyak dari kapal tanker dan pengeboran minyak lepas pantai (Darmono, 2001). Namun sumber utama pencemaran laut adalah berasal dari tumpahan minyak baik dari proses di kapal, pengeboran lepas pantai maupun akibat kecelakaan kapal (Sudrajad, 2006). Pencemaran yang bersumber dari kapal merupakan objek yang intens dalam taraf internasional. Pencemaran bentuk ini lebih berbahaya jika dibandingkan dengan pencemaran laut yang bersumber dari darat (Juajir, 1996). Karena akibatnya akan sangat cepat dirasakan oleh masyarakat sekitar pantai dan sangat signifikan merusak makhluk hidup yang ada di laut (Sudrajad, 2006). Hidrokarbon minyak bumi adalah pencemar utama di lautan. Minyak dan gas bumi terdiri atas berbagai campuran unsur karbon dan hidrogen, yang biasanya disebut hidrokarbon (Kadir, 1995). Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa
kompleks
hidrokarbon
yang
mempunyai
ribuan
variasi
senyawa
(Mangkoedihardjo, 2005). Minyak bumi mentah mengandung campuran rumit
Universitas Sumatera Utara
185 hidrokarbon serta sejumlah kecil senyawa yang mengandung nitrogen, sulfur, dan oksigen. Minyak bumi mentah dapat diubah dengan proses fisik dan kimia menjadi berbagai produk sulingan termasuk bensin, minyak tanah, minyak pemanas, minyak diesel, minyak pelumas, lilin, dan aspal (Connel & Miller, 1995). Minyak mentah dan minyak olahan adalah senyawa kompleks hidrokarbon yang mempunyai ribuan variasi senyawa. Minyak mentah mengandung senyawa hidrokarbon sekitar 50–98 % dan selebihnya senyawa non-hidrokarbon (sulfur, nitrogen, oksigen, dan beberapa logam berat). Selanjutnya minyak diklasifikasikan berdasarkan kelarutan dalam pelarut organik, yaitu: 1.
Hidrokarbon jenuh. Termasuk dalam kelas ini adalah alkana. Hidrokarbon jenuh ini merupakan kandungan terbanyak dalam minyak mentah.
2. Hidrokarbon aromatik. Termasuk dalam kelas ini adalah monosiklik aromatik (BTEX) dan polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH: naphtalene, anthracene, dan phenanthrene). 3. Resin. Termasuk di sini adalah senyawa polar berkandungan nitrogen, sulfur, oksigen (pyridines dan thiophenes), sehingga disebut pula sebagai senyawa NSO. 4. Asphalt. Termasuk di sini adalah senyawa dengan berat molekul besar dan logam berat nikel, vanadium, dan besi. Tentu saja variasi komposisi minyak mentah adalah berbeda di berbagai tempat, itulah sebabnya teknologi remediasi bersifat sitespesifik (Mangkoedihardjo, 2005).
2.2 Dampak Tumpahan Minyak di Laut Saat minyak terekspos ke lingkungan laut, sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis minyak akan segera berubah (Mangkoedihardjo, 2005). Kelarutan minyak dalam air adalah rendah sekitar 30 mg/L, tergantung kepada komposisi kimia dan temperatur (NAS,
Universitas Sumatera Utara
196 1985). Oleh karena itu, minyak tidak dapat larut di dalam air, melainkan akan mengapung di atas permukaan air. Bahan buangan cairan berminyak yang dibuang ke air lingkungan akan mengapung menutupi permukaan air. Lapisan minyak di permukaan air akan menganggu kehidupan organisme di dalam air. Hal ini disebabkan oleh: a. Lapisan minyak pada permukaan air akan menghalangi difusi oksigen dari udara ke dalam air sehingga jumlah oksigen yang terlarut di dalam air menjadi berkurang. Kandungan oksigen yang menurun akan mengganggu kehidupan hewan air. b. Adanya lapisan minyak pada permukaan air juga akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam air sehingga fotosintesis oleh tanaman air tidak dapat berlangsung. Akibatnya, oksigen yang seharusnya dihasilkan pada proses fotosintesis tersebut tidak terjadi. Kandungan oksigen dalam air jadi semakin menurun (Wardhana, 2004). Akibat jangka pendek dari pencemaran minyak antara lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel biota laut, mengakibatkan keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Secara langsung minyak akan menyebabkan kematian pada ikan disebabkan kekurangan oksigen, keracunan karbondioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Akibat jangka panjang dari pencemaran minyak adalah terutama bagi biota laut yang masih muda. Minyak di dalam laut dapat termakan oleh biota-biota laut. Sebagian senyawa minyak dapat dikeluarkan bersama-sama makanan, sedang sebagian lagi dapat terakumulasi dalam senyawa lemak dan protein. Sifat akumulasi ini dapat dipindahkan dari organisme satu ke organisme lain melalui rantai makanan. Demikian seterusnya bila ikan tersebut dimakan ikan yang lebih besar, hewan-hewan laut lainnya, dan bahkan manusia (Sumadhiharga, 1995).
2.3 Senyawa Hidrokarbon Aromatik Senyawa hidrokarbon aromatik adalah senyawa yang memiliki cincin benzen yang mempunyai enam atom karbon dengan satu atom hidrogen pada setiap karbon. Keadaan ini menyebabkan satu elektron tersisa untuk membentuk ikatan ganda.
Universitas Sumatera Utara
7 20 Senyawa ini sering disebut juga sebagai senyawa hidrokarbon aromatik karena senyawa ini memiliki aroma yang khas dan harum. Senyawa ini termasuk senyawa yang tidak jenuh. Ikatan ganda pada cincin benzen tidak hanya berada pada satu posisi saja, namun selalu berpindah-pindah. Peristiwa ini sering dikenal dengan istilah resonansi. Keadaan inilah yang menyebabkan senyawa aromatik sukar didegradasi dan lebih tahan terhadap beberapa reaksi kimia (Wilbraham & Matta, 1992). Senyawa aromatik mengandung berbagai senyawa aromatik lainnya seperti PAH (Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) yakni senyawa aromatik yang mengandung lebih dari dua cincin benzen. PAH bersifat toksik. Kadar PAH yang relatif tinggi, ditemukan oleh beberapa peneliti dalam sedimen yang lokasinya berdekatan dengan perkotaan (Marsaoli, 2004). Menurut Connel & Miller (1981), PAH dapat berasal dari air buangan, seperti buangan rumah tangga dan industri, sampah, dan aliran buangan kota serta dari pembakaran bahan bakar fosil. Menurut Clark & Macleod (1977), hidrokarbon alifatik dan aromatik terdapat diseluruh estuary, daerah pantai, dan lingkungan samudera dengan kadar tertinggi di daerah estuary dan habitat intertidal. PAH yang larut pada konsentrasi 0,1-0,5 ppm dapat menyebabkan keracunan pada makhluk hidup (Connel & Miller, 1981). Sedangkan PAH dalam kadar rendah dapat menurunkan laju pertumbuhan, perkembangan makhluk yang hidup di perairan seperti ikan, hewan berkulit keras dan moluska. Selain itu hidrokarbon minyak bumi yang terserap ke dalam tubuh biota menimbulkan rasa yang menyengat dan memerlukan waktu tertentu untuk dapat hilang (Neff, 1979 dalam Marsaoli, 2004). Salah satu contoh senyawa PAH yang paling sederhana adalah naftalen yang hanya memiliki dua cincin benzen dan paling mudah larut dibanding dengan senyawa PAH yang lain (Goyal & Zylstra, 1997). Naftalen merupakan salah satu senyawa hidrokarbon aromatik polisiklik (HAP) yang banyak dijumpai dalam minyak bumi, batu bara dan hasil alam lainnya. Meskipun bukan senyawa xenobiotik, naftalen dapat menjadi persoalan yang serius karena penggunannya yang luas dan penanganan yang tidak hati-hati. Naftalen diketahui bersifat mutagenik. Naftalen diklasifikasikan sebagai bahan beracun dan berbahaya menurut PPRI No. 18/1999 jo. PPM No. 85/1999. Kontaminasi lingkungan oleh naftalen berasal dari kegiatan-kegiatan yang
Universitas Sumatera Utara
218 berhubungan dengan industri perminyakan, produk-produk pestisida dan warna (Sri, 2001).
2.4 Biodegradasi Senyawa Hidrokarbon Aromatik Lingkungan secara alami memiliki kemampuan untuk mendegradasi senyawasenyawa pencemar melalui proses biologis dan kimiawi. Namun, seringkali beban pencemaran di lingkungan lebih besar dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan tindakan dan teknologi yang tepat untuk mengatasi pencemaran tersebut (Nugroho, 2006). Berbeda dengan proses fisik kimia sebagai perpindahan massa antar media lingkungan, proses biodegradasi adalah proses perpindahan massa dari media lingkungan ke dalam massa mikroba (menjadi bentuk terikat dalam massa mikroba) sehingga minyak hilang dari air. Hasil proses biodegradasi adalah umumnya karbondioksida dan metana yang kurang berbahaya dibanding minyak pada besaran konsentrasi yang sama (Mangkoedihardjo, 2005). Bakteri yang memiliki kemampuan mendegradasi
senyawa
hidrokarbon
untuk
keperluan
metabolisme
dan
perkembangbiakannya disebut kelompok bakteri hidrokarbonoklastik (Nugroho, 2006). Minyak bumi dan hidrokarbon polisiklik aromatik merupakan senyawa yang bersifat karsinogen dan mutagen. Proses pendegradasiannya lambat karena kelarutannya dalam air rendah. Beberapa contoh bakteri yang dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik adalah Pseudomonas, Archromoacter, Arthrobacter,
Mycobacterium,
Flavobacterium,
Coneybacterium,
Aeromonas,
Anthrobacter, Rhodoccus, Acinetobacter. Selain itu, ada beberapa jenis jamur yang dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon seperti Phanerochaete, Cunninghamella, Penicillium, Candida, Sporobolomyces, Cladosporium. Biodegradasi merupakan salah satu upaya untuk mengurangi bahan pencemar dengan bantuan organisme. Biodegradasi hidrokarbon oleh mikroorganisme (bakteri dan jamur) telah diketahui
Universitas Sumatera Utara
229 sebagai mekanisme utama dalam proses eliminasi senyawa hidrokarbon di laut (Ni’matuzahroh, 1999 dalam Fatimah, 2007). Banyak kelompok mikroba yang memanfaatkan mineral-mineral dari senyawa-senyawa hidrokarbon aromatik (fenol, naftalen, antrasen, dll),seperti dari kelompok bakteri Pseudomonas, Mycobacterium, Acinetobacter, Arthobacter dan Bacillus (Alexander, 1977). Salah satu contoh senyawa PAH yang paling sederhana adalah naftalen yang hanya memiliki dua cincin benzen (Goyal & Zylstra, 1997). Pada proses degradasi naftalen, senyawa naftalen terlebih dahulu diubah ke Cis-1,2dihidroksi-1,2-dihidroksinaftalen dan ke beberapa senyawa lainnya hingga akhirnya sampai ke katekol sebagai pusat intermediet. Untuk lebih jelasnya pengubahan naftalen menjadi katekol dapat dilihat pada Gambar 2.4.1 berikut.
Gambar 2.4.1 Jalur Perubahan Naftalen Menjadi Katekol oleh Bakteri (Denome et al.,1993; Goyal & Zylstra, 1997; Kiyohara et al., 1994)
Universitas Sumatera Utara
2310 Kemudian melalui pemecahan orto oleh enzim katekol 1,2-dioksigenase menghasilkan cis-cis-mukonat, atau pemecahan meta dengan menggunakan enzim katekol 2,3-dioksigenase, senyawa katekol diubah menjadi hidroksi mukonat semialdehid seperti terlihat pada Gambar 2.4.2 berikut.
Gambar 2.4.2 Mekanisme Perubahan Katekol Menjadi Senyawa yang dapat Digunakan oleh Mikroba (Semple & Cain, 1996) Proses degradasi ini akan membentuk senyawa-senyawa seperti asam suksinat, asam fumarat, asam piruvat, asam asetat dan asetaldehid yang dapat dimanfaatkan oleh mikroba untuk aktivitas metabolismenya (Alexander, 1977). Kemampuan degradasi mikroba terhadap senyawa hidrokarbon aromatik dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jenis mikroba, proses aklimatisasi, senyawa toksik, dan toleransi mikroba terhadap senyawa toksik (Semple & Cain, 1996). Banyak mikroba yang telah diuji kemampuannya dalam mendegradasi naftalen. Diantaranya Alkaligenes, Bulkholderia, Mycobacterium,
Polaromonas,
Pseudomonas,
Rastonia,
Rhodococcus,
Universitas Sumatera Utara
2411 Sphingomonas, dan Sterptomyces (Cerniglia, 1992; Kim et al., 2003; Pumphrey & Madsen, 2007).
2.5 Surfaktan dan Biosurfaktan Beberapa tahun belakangan ini ketertarikan pada agen aktif permukaan meningkat. Banyak jenis dari agen aktif permukaan yang disintesis oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan dalam proses biodegradasi dengan toksisitas yang rendah dan biaya relatif murah (Queiroga, Regina, & Serra, 2003). Surfaktan adalah molekul amphipatik yang terdiri atas gugus hidrofilik dan hidrofobik, sehingga dapat berada di antara cairan yang memiliki sifat polar dan ikatan hidrogen yang berbeda, seperti minyak dan air. Hal ini menyebabkan surfaktan mampu mereduksi tegangan permukaan dan membentuk mikroemulsi sehingga hidrokarbon dapat larut di dalam air, dan sebaliknya (Desai & Banat, 1997). Surfaktan ini dapat diaplikasikan pada berbagai jenis industri seperti produksi deterjen, emulsifier, cat, tinta, untuk formulasi herbisida dan insektisida dalam bidang argokimia, serta industri kosmetik. Dalam bidang teknik lingkungan, tujuan penggunaan surfaktan adalah untuk meningkatkan bio-availability senyawa polutan yang memiliki kadar solid yang tinggi sehingga dapat menjadikannya lebih mudah larut terhadap pelarut atau media (Nitschke et al, 2004). Biosurfaktan
merupakan
senyawa
ampfifilik
yang
dihasilkan
oleh
mikroorganisme. Biosurfaktan ini dihasilkan pada permukaan sel mikroba atau disekresikan ke luar sel. Biosurfaktan mengandung gugus hidrofobik dan hidrofilik yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan molekul ataupun tegangan antar permukaan masing-masing molekul. Biosurfaktan telah disintesis oleh banyak peneliti dengan menggunakan mikroorganisme dan sumber karbon yang berbeda. Sumber karbon yang digunakan untuk produksi biosurfaktan adalah hidrokarbon dan karbohidrat yang bisa digunakan secara terpisah atau dikombinasi satu sama lain (Gautam & Tyagi, 2006).
Universitas Sumatera Utara
25 12 Berikut ini adalah jenis-jenis mikroorganisme yang dapat menghasilkan biosurfaktan:
Tabel 2.5.1 Jenis-Jenis Biosurfaktan dan Mikroorganisme Penghasilnya No Jenis Biosurfaktan 1 Glikolipid Rhamnolipid Trehalolipid Sophorolipid Cellobiolipid
Spesies Mikroorganisme Psedudomonas aeruginosa Pseudomonas sp. Rhodococcus erythropolis Nocardia erythropolis Mycobacterium sp. Torulopsis bombicola Torulopsis apicola Torulopsis petrophilum Ustilago zeae, Ustilago maydis
2 Lipopeptida dan Lipoprotein Peptida-Lipid Serrawettin Viscosin Surfaktin Subtilisin Gramicidins Polymyxins
Bacillus licheniformis Serratia marcescens Pseudomonas fluorescens Bacillus subtilis B. subtilis B. brevis B. polymyxa
3. Asam Lemak, Lipid, Pospolipid Asam lemak Lipid Pospolipid
Candida lepus Nocardia erythropolis Thiobacillus thiooxidans
4. Biosurfaktan Polimerik Emulsan Biodispersan Mannan-lipid-protein Liposan Karbohidrat-protein-lipid Protein PA
Acinetobacter calcoaceticus A. calcoaceticus Candida tropicalis Candida lipolytica P. fluorescens P. aeruginosa
5. Biosurfaktan Partikulat Vesikal dan fimbri Keseluruhan sel
A. calcoaceticus Jenis-jenis dari bakteri (Desai & Banat, 1997).
Tidak seperti surfaktan berbahan dasar minyak yang diklasifikasikan berdasarkan grup polar natural-nya, biosurfaktan dikategorikan berdasarkan struktur
Universitas Sumatera Utara
2613 kimia dan bakteri penghasilnya. Pada umumnya, struktur kimiawi biosurfaktan terdiri atas gugus hidrofilik yang mengandung asam amino atau anion dan kation peptida, mono-, di-, atau polisakarida; dan gugus hidrofobik yang mengandung asam lemak jenuh dan tak jenuh (Gautam & Tyagi, 2006). Biosurfaktan dapat digolongkan ke dalam beberapa kelompok, seperti: glikolipid, lipopeptida, lipopolisakarida, fosfolipid, dan asam lemak. Yang paling banyak dipelajari adalah kelompok glikolipid, yang dikenal sebagai rhamnolipid (Desai & Banat, 1997). Berdasarkan ukuran molekularnya, biosurfaktan dapat dibagi menjadi biosurfaktan dengan berat molekul rendah dan berat molekul tinggi. Glikolipid seperti rhamnosa dan sophorolipid, dan lipopeptida seperti surfactin dan polymyxin merupakan biosurfaktan dengan berat molekul rendah, yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan tegangan antar permukaan. Sedangkan biosurfaktan dengan berat molekul tinggi seperti lipoprotein, lipopolisakarida, dan amphipatik polisakarida sangat efektif untuk menstabilkan emulsi minyak dalam air (Desai & Banat, 1997).
2.5.1 Keuntungan Biosurfaktan Ada banyak keuntungan-keuntungan dari biosurfaktan dibandingkan dengan surfaktan sintetis,antara lain: 1. Biodegradabilitas. Biosurfaktan merupakan agen aktif permukaan yang disintesis oleh berbagai jenis mikroorganisme yang dapat dimanfaatkan dalam proses biodegradasi dengan toksisitas rendah dibandingkan dengan penggunaan surfaktan sintetis. 2. Ketoksikan rendah, mudah tercerna dan biokompatibilitas, sehingga dapat digunakan di dalam kosmetika, farmasi dan bahan tambahan makanan fungsional. 3. Ketersediaan bahan baku. Biosurfaktan dapat diproduksi dari bahan baku murah yang tersedia di alam dalam jumlah besar. Sumber karbon bisa dari senyawa hidrokarbon, lipid dan/atau karbohidrat, yang bisa digunakan secara terpisah atau dikombinasi satu sama lain. 4. Bernilai ekonomi. Berdasarkan aplikasinya, biosurfaktan dapat mengolah limbah industri dan menghasilkan bioproduk berhubungan dengan teknologi.
Universitas Sumatera Utara
14 27 5. Digunakan dalam kontrol lingkungan. Biosurfaktan dapat secara efisien digunakan di dalam menangani industri emulsi-emulsi, kendali dari ceceran minyak, biodegradasi dan detoksifikasi efluen industri dan di dalam bioremediasi lahan tercemar. 6. Spesifik. Molekul-molekul biosurfaktan merupakan molekul organik kompleks dengan golongan fungsional yang spesifik (Gautam & Tyagi, 2006).
2.5.2 Peranan Biosurfaktan 1. Biosurfaktan Sebagai Bahan Kosmetika Biosurfaktan merupakan lipid-lipid alami yang diproduksi oleh mikroba dengan karakteristik berbeda yang mencerminkan strukturnya masing-masing. Fungsi utamanya adalah untuk emulsifikasi, pembubaran, moisturizing. Dalam beberapa hal, biosurfaktan mempunyai karakteristik-karakteristik yang unik tidak dimiliki surfaktan-surfaktan sintetik, seperti pembentukan hablur cair, aktivitas antitumor, dll. Dari hasil penelitian dan evaluasi struktur biosurfaktan (model molekular glukosa, alkohol, asam lemak, dll.) menunjukkan persamaannya dengan ceramide molekul, yang merupakan lipid antarsel. Sehingga membuat terobosan yang mempercepat proses moisturizing oleh biosurfaktan. Mengenai mekanisme-mekanisme untuk pemeliharaan kulit, diharapkan: 1) struktur menyerupai ceramide (biosurfaktan) akan dengan mudah menembus rongga antarsel di dalam lapisan korneum, dan 2) menjadi efektif di dalam pencegahan penuaan dan pemeliharaan kulit Biosurfaktan dapat dibentuk menjadi kapsul ukuran nanometer (liposom), yang mudah untuk disisipkan dengan komponen-komponen kosmetik lain, berperan untuk stabilisasi komponen-komponen ini (efek perlindungan kapsul), dan meningkatkan penyerapan air atau gas untuk kulit (Desai & Banat, 1997). 2.Biosurfaktan Sebagai Pendegradasi Metal Lima dari 20 unsur penyebab penyakit dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah metal, yaitu: arsenik, lead, air raksa, cadmium, dan unsur logam pelapis kran. Beberapa surfaktan membantu pelepasan release zat pencemar metal dan organik
Universitas Sumatera Utara
28 15 dengan mengurangi tegangan permukaan dan memudahkan pembentukan emulsi antar cairan dari polaritas yang berbeda. Riset menunjukkan bahwa metal seperti cadmium dan lead mempunyai gaya gabung lebih kuat untuk rhamnolipid dibanding dengan penyusun tanah yang tercemar. Biosurfaktan jenis ramnolipid menunjukkan bahwa ia mampu memindahkan Cd,Pb, dan Zn dari tanah (Gautam & Tyagi, 2006). 3. Meningkatkan Perolehan Minyak Bumi Merupakan teknologi untuk meningkatkan perolehan minyak bumi dengan cara menginjeksikan mikroba ke dalam reservoar minyak bumi. Teknologi ini memanfaatkan bioproduk yang dihasilkan mikroba seperti gas, bioacid dan biosurfaktan, yang dapat mengubah karakter minyak bumi sehingga lebih mudah diproduksi. Dengan cara menurunkan tegangan antarmuka cairan, mengubah kebasahan (wettability), dan menurunkan viskositas (Armansyah et al., 2008). 4. Biosurfaktan dalam industri makanan Biosurfaktan juga memiliki beberapa keuntungan pada industri makanan sebagai zat additive pada makanan (Gautam & Tyagi, 2006). 5. Degradasi Hidrokarbon Biosurfaktan merupakan komponen mikroorganisme yang terdiri atas molekul hidrofobik dan hidrofilik, yang mampu mengikat molekul hidrokarbon tidak larut air dan mampu menurunkan tegangan permukaan (Fatimah, 2007).
2.6 Peranan Biosurfaktan dalam Biodegradasi Senyawa Hidrokarbon Aromatik Kebutuhan akan surfaktan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya prosesproses yang membutuhkan senyawa aktif permukaan. Surfaktan banyak dibutuhkan antara lain dalam proses bioremediasi, industri petrokimia, dan dalam meningkatkan perolehan minyak bumi Enhanced Oil Recovery (EOR) (Zajic et al & Akit, 1983). Ketersediaan biosurfaktan menjadi sangat penting setelah diketahuinya beberapa kerugian penggunaan surfaktan sintetis. Di samping harganya mahal, surfaktan sintetis sebagian besar tidak mudah didegradasi dan beberapa bersifat toksik sehingga ada
Universitas Sumatera Utara
29 16 kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan akibat penggunaan senyawa ini (Nugroho, 2006). Selain itu Van Dyke (1993) dalam Agustiani (1998) mengemukakan bahwa biosurfaktan lebih bervariasi jenisnya dan lebih efektif untuk keperluankeperluan yang spesifik dibandingkan dengan surfaktan sintetis. Biosurfaktan dapat dipergunakan untuk mempercepat remediasi lingkungan yang tercemar oleh tumpahan minyak bumi, yaitu dengan meningkatkan daya kelarutan minyak bumi. Selanjutnya minyak bumi didegradasi oleh sel-sel mikroorganisme, melalui pembentukan butiran-butiran minyak bumi yang terdispersi dalam air (Dunvnjak et al, 1983).
Universitas Sumatera Utara