VIII. PENGENDALIAN PENCEMARAN PERAIRAN
A. Pengendalian Pencemaran Makin meningkatnya kegiatan pembangunan menyebabkan akan makin meningkat dampaknya terhadap lingkungan hidup yang antara lain berupa makin banyaknya kasus pencemaran lingkungan, khususnya perairan. Keadaan tersebut mendorong makin diperlukannya upaya pengendalian pencemaran perairan sehingga risiko terhadap lingkungan perairan dapat ditekan seminimal mungkin. Upaya pengendalian pencemaran perairan antara lain dapat dilakukan: 1. Pengurangan beban pencemaran: a.
Pengurangan penggunaan air Dengan melakukan pengurangan dan penghematan penggunaan air akan dapat mengurangi volume limbah cair yang dikeluarkan sehingga beban pencemaran yang harus ditanggung lingkungan perairan dapat terkurangi.
b.
Pengurangan penggunaan zat-zat kimia Penggunaan zat-zat kimia yang diperkirakan dapat berdampak negatif terhadap lingkungan perairan sedapat mungkin dikurangi, terutama zatzat kimia yang termasuk golongan bahan berbahaya dan beracun (B3).
c.
Penggantian jenis zat -zat kimia Zat-zat kimia yang diperkirakan dapat berdampak negatif terhadap perairan diupayakan diganti dengan zat kimia lain yang lebih ramah lingkungan.
d.
Pemanfaatan kembali zat-zat sisa Zat-zat sisa yang akan dibuang sebagai limbah cair jika masih memungkinkan
e.
Kebersihan sumber pencemar.
2. Pengelolaan buangan secara fisik, kimiawi, biologik atau kombinasinya
Universitas Gadjah Mada
Pada umumnya pengelolaan limbah dilakukan dengan urutan tahap-tahap sebagai berikut: a.
Minimasi terbentuknya limbah Tahap ini merupakan prioritas pada pengelolaan segala jenis limbah. Dengan melakukan minimasi terbentuknya Iimbah akan diperoleh dua keuntungan sekaligus, yaitu sedikitnya Iimbah yang terbentuk (baik kuantitas maupun kualitas) sehingga mengurangi beban pada upaya pengolahannya dan meningkatnya produk utama yang diinginkan (karena sebagian besar bahan diubah menjadi produk dan hanya sebagian kecil yang berubah menjadi limbah).
b.
Penqgunaan kembali dan daur ulang Tahap ini merupakan tahap pengelolaan limbah berikutnya. Penggunaan kembali (reuse) dan daur ulang (recycle) dilakukan jika tahap minimasi terbentuknya limbah sudah semaksimal mungkin diupayakan tetapi masih ada limbah yang terbentuk. Limbah dapat digunakan kembali pada proses semula (baik secara langsung maupun tidak langsung) atau dapat digunakan untuk keperluan lain sesuai dengan karakteristik limbahnya.
c.
Pengolahan Iimbah Pengolahan limbah merupakan tahap yang harus dilakukan jika limbah yang terbentuk masih belum memenuhi syarat untuk dibuang ke lingkungan.
d.
Pembuangan limbah Pembuangan merupakan tahap terakhir pada pengelolaan limbah. Tahap ini dilakukan dengan tetap mempertimbangkan karakteristik buangan dan tempat pembuangannya.
3. Sistem penyaluran buangan yang mempertimbangkan karakteristik buangan dan tempat pembuangannya.
Universitas Gadjah Mada
B. Pengolahan Limbah Pengolahan limbah bertujuan untuk mempercepat proses alami pada kondisi yang terkendali untuk mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan pencemar yang terkandung dalam limbah. Sesuai dengan prinsip kerjanya, pengolahan limbah dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu pengolahan secara fisik, kimia dan biologi. Berdasarkan atas tingkatannya pengolahan limbah dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pengolahan primer, sekunder dan tersier. 1.
Pengolahan primer (primary treatment) Pengolahan primer bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan yang tampak umumnya berupa bahan-bahan fisik. Tahap ini jugs diperlukan sebagai tahap persiapan menuju tahap pengolahan berikuitnya. Unit pengolah limbah yang banyak digunakan pada tahap ini yaitu penyaring (screening), grit removal, ekualisasi, bak pengendap dan pemisah minyak/lemak.
2.
Pengolahan sekunder (secondary treatment) Pengolahan sekunder pada umumnya bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan organik terlarut. Unit pengolah limbah yang digunakan pada tahap ini pada umumnya yaitu yang berdasarkan atas proses biologik, misalnya: kolam lumpur aktif (activated sludge), trickling filter dan kolam oksidasi (oxidation pond).
3.
Pengolahan tersier (tertiery treatment) Pengolahan tersier bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan spesifik pada limbah tertentu. Unit pengolah yang digunakan pada tahap ini dapat bekerja secara fisik, kimiawi atau biologik, misalnya: penukar ion (ion exchange), desinfeksi (klorinasi), reverse osmosis dan nitrifikasi. Pengolahan limbah tidak selalu melibatkan ketiga tahap proses tersebut. Hal ini
tergantung pada karakteristik limbah, target akhir kualitas buangan (sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan), tempat pembuangan air (tanah, sungai dan lain-lain) dan pemanfaatan kembali.
Universitas Gadjah Mada
B.1. Pengolah limbah secara fisik Dalam pengolahan limbah secara fisik antara lain terdapat unit-unit: penyaring (screening), comminution, ekualisasi, pencampuran (mixing), flokulasi, sedimentasi, flotasi, filtrasi dan penyaring halus (microscreening). Penyaring (screening) Penyaring (screening) dapat berupa paraller bars, wire mesh atau perforated plates. Lubang-lubang pada slat penyaring dapat berbentuk bulat atau persegi dengan berbagai variasi ukuran. Screening dapat dioperasikan secara manual atau mekanik. Ekualisasi Ekualisasi digunakan guns menghindari terjadinya masalah-masalah operasi pada proses selanjutnya (downstream) karena adanya variasi atau fluktuasi aliran. Cara ini umumnya dilakukan dengan menampung limbah pada suatu bak ekualisasi sebelum dimasukkan ke dalam unit pengolah limbah selanjutnya. Sedimentasi Sedimentasi adalah proses pemisahan partikel-partikel yang lebih berat daripada air dengan menggunakan prinsip gravitasi. Sedimentasi merupakan satu unit yang banyak digunakan pada pengolahan limbah cair. Salah satu tujuan utama proses ini yaitu mendapatkan konsentrasi padatan yang mudah dikelola.
Tabel 8.1. Unit Pengolah Limbah secara Fisik dan Fungsinya Unit
Fungsi
Penyaring
memisahkan padatan/kotoran berukuran besar
(screening)
memecah padatan berukuran besar menjadi
Comminution
ukuran yang lebih seragam
Ekualisasi
ekualisasi aliran, beban BOD dan padatan tersuspensi
Pencampur
mencampur bahan kimia atau gas dengan limbah,
an (mixing)
mempertahankan padatan selalu dalam bentuk
Flokulasi
suspensi Membentuk gumpalan padatan dengan menambahkan bahan sehingga padatan mudah dipisahkan dengan cara sedimentasi
Universitas Gadjah Mada
Tabel 8.1. Unit Pengolah Limbah secara Fisik dan Fungsinya (lanjutan) Fungsi
Unit
memisahkan padatan yang dapat
Sedimentasi
terendapkan dan memekatkan lumpur (sludge)
Flotasi (pengapungan)
memisahkan padatan yang berukuran sangat kecil dan memekatkan lumpur biologik
Penyaring halus memisahkan padatan/kotoran yang berukuran
(microscreening)
kecil, misalnya: alga Flotasi (pengapungan) Flotasi digunakan untuk memisahkan partikel padatan dari fase cairan. Pemisahan dilakukan dengan cars mengalirkan udara atau gas ke dalam cairan. Gelembung-gelembung udara akan berikatan dengan partikel-partikel yang akan dipisahkan, sehingga naik ke atas permukaan cairan. Selanjutnya, partikel yang terkumpul di permukaan dapat dengan mudah dipisahkan. Prinsip ini dapat digunakan untuk partikel yang mempunyai densitas lebih tinggi atau lebih rendah daripada densitas air.
2. Pengolah limbah secara biologik Pengolah limbah secara biologik bertujuan untuk menggumpalkan dan menghilangkan padatan yang tidak dapat terendapkan serta untuk menstabilkan bahan-bahan
organik.
Hal ini dapat
berlangsung
dengan
bantuan
aktivitas
mikroorganisme. Ditinjau dari keperluan oksigennya, proses biologik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: proses aerob (perlu oksigen bebas) dan proses anaerob (tidak perlu
oksigen
bebas).
Keperluan
oksigen
tersebut
tergantung
pada
jenis
mikroorganisme yang berperanan. Proses yang terjadi pada pengolahan limbah organik adalah sebagai berikut:
mikroorganisme
bahan organik + 02 --------------------------► biomassa (») + CO2 + H2O mikroorganisme
bahan organik
---------------------------► biomassa («) + CH4 + H2S
Universitas Gadjah Mada
Beberapa kelebihan proses anaerob dibandingkan dengan proses aerob antara lain: a.
kemampuan menguraikan BOD tinggi
b.
produksi biomassa relatif kecil
c.
keperluan nutrien sedikit
d.
tidak perlu energi untuk aerasi
e.
menghasilkan gas metana (CH4) sebagai hasil samping. Walaupun demikian, proses anaerob mempunyai keterbatasan terutama pada
sifatnya yang peka terhadap shock loading sehingga memerlukan sistem kendali (kontrol) yang baik. Oleh karena itu, proses anaerob tidak direkomendasikan untuk pengolahan limbah "sederhana". Berdasarkan atas cars hidup mikroorganismenya, unit pengolah limbah secara biologik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: submerged (suspension) culture dan attached (biofilm) culture. Pada kelompok pertama mikroorganisme tumbuh tercampur dengan
limbah
sehingga
limbah
yang
keluar
(effluent)
akan
mengandung
mikrooraganisme. Termasuk dalam kelompok pertama antara lain: kolam lumpur aktif (activated sludge) dan kolam oksidasi (oxidation pond). Pada kelompok kedua mikroorganisme tumbuh pada permukaan bahan pengisi dan membentuk lapisan tipis (biofilm). Termasuk dalam kelompok kedua antara lain: trickling filter, rotary biological contactordan fluidized bed bioreactor.
Kolam lumpur aktif (activated sludge) Unit pengolah limbah kolam lumpur aktif terdiri atas kolam yang berisi lumpur aktif, yaitu biomassa yang akan berperanan dalam mendegradasi limbah. Dalam kolam lumpur aktif proses penguraian limbah berlangsung secara terusmenerus dengan kondisi aerob. Udara yang digelembungkan ke dalam kolam selain untuk memasok keperluan oksigen, jugs berfungsi sebagai pengaduk sehingga kondisi di dalam kolam menjadi homogen. Organisme yang terdapat dalam lumpur aktif terdiri atas bakteri, jamur dan protozoa yang secara bersama-sama menyusun ekosistem lumpur aktif.
Universitas Gadjah Mada
Bakteri Jenis-jenis bakteri yang terdapat dalam lumpur aktif pada umumnya terdiri atas genera Achromobacter, Alcaligenes, Bacillus, Flavobacterium, Micrococcus dan Pseudomonas. yang semuanya merupakan bakteri bersifat gram negatif dan aerobik. Jamur Jamur jarang terdapat dalam lumpur aktif, tetapi jika pertumbuhan bakteri terhambat (misalnya karena suasana yang terlalu asam), maka biasanya akan meningkatkan pertumbuhan jamur; sebagai contoh jika pH Iimbah asam (< 3,0), maka jamur Geotrichium candidum akan tumbuh melimpah. Protozoa Cukup banyak jenis-jenis protozoa yang terdapat dalam lumpur aktif, umumnya merupakan anggota Kelas Phytomastigophora, Zoomastigophora, Rhizopoda, Actinopoda dan Ciliata. Dalam lumpur aktif protozoa selain berperanan sebagai pemangsa bakteri, jugs sebagai pembersih Iimbah.
Biomassa yang terbentuk akan keluar bersama-sama dengan air yang "bersih", yang selanjutnya akan dipisahkan dengan cara pengendapan. Sebagian biomassa dikembalikan ke kolam guna mempertahankan keaktifannya dan sisanya dibuang sebagai Iimbah padat. Unit kolam lumpur aktif dapat digunakan untuk mengolah limbah yang mempunyai BOD + 300 mg/I dengan efisiensi pengolahan 80-90%.
Kolam oksidasi (oxidation pond) Di daerah tropik yang cahaya matahari dapat dikatakan selalu tersedia sepanjang tahun sangat memungkinkan penggunaan kolam oksidasi sebagai instalasi pengolah Iimbah secara biologik. Kolam oksidasi merupakan kolam terbuka dengan kedalaman sekitar 1-2 m. Limbah yang masuk diperlakukan selama 3-6 minggu. Bakteri yang terdapat di dalam kolam oksidasi akan menguraikan bahan-bahan organik dan menghasilkan CO2, amonia (NH3), nitrat (NO3) dan fosfat (PO4). Selanjutnya, senyawa-senyawa kimia tersebut akan
Universitas Gadjah Mada
digunakan oleh alga untuk melakukan fotosintesis dan metabolisme lainnya, sedangkan oksigen yang dilepaskan dari proses fotosintesis akan digunakan oleh jazad-jazad aerobik . Keanekaragaman jenis alga yang terdapat dalam kolam oksidasi tidak dipengaruhi oleh faktor iklim dan letak geografik, tetapi tampaknya lebih dipengaruhi oleh kondisi fisikokimiawi limbah. Jenis-jenis alga yang dominan terdapat dalam kolam oksidasi
antara
lain
terdiri
atas
anggota
Genera
Chlorella,
Scenedesmus,
Chlamydomonas dan Euglena, selain itu juga terdapat jenis-jenis anggota Genera Pedistrum dan Ulothrix serta anggota Divisi Cyanophyta, Chrysophyta, Chlorophyta, Euglenophyta dan Cryptophyta. Chlorella ada yang mampu hidup dalam keadaan gelap dengan syarat terdapat glukosa atau bentuk gula yang lain, asam organik dan berbagai protein tertentu. Chlorella vulgaris dapat hidup dalam lingkungan yang mempunyai salinitas tinggi dan pH sekitar 9,0. C. vulgaris bersifat saprofit dan heterotrof. Ada jenis Chlorella yang dapat mengeluarkan enzim heksokinase yang berperanan dalam fosforilase glukosa dan fruktosa. Jenis Chlorella tersebut juga dapat mengeluarkan antibiotik yang disebut chlorellin yang dapat menghambat dan membunuh bakteri (Benson-Evans dan Williams, 1975). Genus Scenedesmus merupakan alga yang umum terdapat dalam kolam oksidasi. Genus tersebut dapat melakukan respirasi anaerob jika limbah banyak mengandung karbohidrat seperti glukosa. Glukosa akan difermentasi menjadi asam laktat dan hidrogen (H2). Scenedesmus dapat hidup di lingkungan asam sehingga disebut sebagai "organisme asetat", tetapi jika limbah banyak mengandung laktosa, pertumbuhannya justru terhambat. Scenedesmus menggunakan nitrat dan amonium sebagai sumber nitrogen. Dengan adanya glukosa dan sukrosa Scenedesmus dapat menambat nitrogen dalam keadaan gelap. Selain itu, genus tersebut juga mampu mengeluarkan enzim ekstraseluler yang mirip dengan proteinase, terutama jika molekul-molekul organik yang besar tidak dapat diserap. Scenedesmus juga dapat mengeluarkan scenedesmin yang dapat menghambat pertumbuhan jenis alga lain seperti Pediastrum dan Cosmarium, sehingga dapat menyebabkan terjadinya ledakan populasi Scenedesmus (Benson-Evans dan Williams, 1975).
Universitas Gadjah Mada
Jenis alga lain yang banyak terdapat dalam kolam oksidasi yaitu anggota Genus Chlamydomonas. Anggota genus tersebut akan melimpah jumlahnya jika dalam air limbah mengandung senyawa nitrogen dan senyawa organik. Chlamydomonas reinhardi juga merupakan "organisme asetat". Jenis tersebut mampu menggunakan asam asetat dan butirat sebagi substratnya, selain itu juga mampu mengekskresikan karbohidrat dalam bentuk galaktosa dan arabinosa (Benson-Evans dan Williams, 1975). Dalam kolam oksidasi juga sering terdapat Euglena. Alga tersebut mampu melakukan metabolisme dalam keadaan anaerob. Euglena ada yang hidup soliter tetapi ada juga yang membentuk koloni berwarna merah darah atau merah bats karena mempunyai pigmen haematokrom karotenoid. Jika terjadi ledakan populasi Euglena, hampir dapat dipastikan bahwa dalam limbah mengandung banyak vitamin B12. Euglena mampu memanfaatkan garam asetat dan asam butirat, serta mempunyai toleransi tinggi terhadap PH rendah. Selain itu, jenisjenis anggota Genus Euglena mampu hidup pada lingkungan asam (pH 1,8-3,9) (Benson-Evans dan Williams, 1975).
Penyaringan dengan tetesan (trickling filter) Unit penyaringan dengan tetesan (trickling filter) pada intinya merupakan penyaring biologik. Pada unit tersebut penguraian limbah terjadi karena adanya mikroorganisme seperti bakteri, jamur, alga, protozoa, larva insekta dan cacing yang hidup menempel pada permukaan material pengisi yang ada. Limbah yang akan diproses didistribusikan ke atas permukaan material pengisi. Pada unit penyaringan dengan tetesan konvensional, material pengisi berupa batu-batu kali, tetapi pada unit yang lebih modern digunakan material sintetik. Keunggulan material sintetik yaitu lebih ringan dan luas permukaannya dapat diperbesar, dengan memodifikasi bentuknya, sehingga dapat dicapai efisiensi yang lebih tinggi.
Universitas Gadjah Mada
Mikroorganisme yang terdapat dalam penyaring biologik terdiri atas berbagai aras trofik, yaitu: Bakteri Bakteri yang terdapat dalam penyaring biologik didominasi oleh bakteribakteri aerob yang bersifat gram negatif seperti: Zooglea, Pseudomonas, Achromobacter, Alcaligenes dan Flavobacterium. Beberapa jenis bakteri fekal juga terdapat dalam penyaring biologik sperti: Coli aerogenes, Escherichia coli, Streptococci fekal dan Clostridium perfringens. Jika limbah yang diolah mengandung banyak senyawa nitrogen organik, maka genera Nitrosomonas dan Nitrobacter akan banyak dijumpai. Jika penyaring biologik tersebut bersifat anaerob, maka jenis-jenis bakteri anaerob juga dapat dijumpai walaupun cacahnya tidak terlalu banyak karena unit pengolah limbah tersebut merupakan instalasi aerob. Jamur Dalam penyaring biologik jamur terdapat pada bagian 15-30 cm dari permukaan. Jenis-jenis jamur yang sering dijumpai yaitu: Sepedogonium sp., Subbaromyces splendens, Ascoidea rubescens, Fusarium aqueductuum, Geotrichium candidum dan Trichosporon cutaneum. Jamur-jamur tersebut memerlukan suhu optimal antara 25-27°C dengan derajat keasaman (pH) yang disukai di bawah netral (asam). Jamur-jamur tersebut lebih dominan jika rasio karbon-nitrogen dalam limbah tinggi. Alga Alga yang sering terdapat dalam penyaring biologik antara lain terdiri atas genera: Chlorella, Phormidium, Oscillatoria, Stigeoclonium, Ulothrix dan Diatomae. Alga tersebut membentuk lapisan hijau pada permukaan material pengisi. Agihan alga dalam unit penyaringan biologik berada di bawah agihan jamur. Pada proses penguraian limbah peranan alga tidak terlalu besar, bahkan jika populasi alga terlalu besar, justru akan mengurangi efektivitas dan efisiensi kerja penyaring biologik.
Universitas Gadjah Mada
Protozoa Populasi protozoa dalam unit penyaring biologik tidak sebesar bakteri, tetapi tetap mempunyai keanekaragaman yang tinggi (dapat mencapai > 200 jenis). Pada umumnya protozoa yang ada merupakan anggota Klas Phytomastigophora, Zoomastigophora, Rhizopoda, Actinopoda dan Ciliata. Peranan protozoa adalah sebagai pembersih lapisan tipis (biofilm, merupakan koloni bakteri) yang menutupi sela-sela material (batuan) pengisi. Fauna pemangsa Fauna pemangsa yang banyak terdapat dalam unit penyaring biologik terdiri atas Rotifera, Nematoda, Enchytraeid dan Lumbricus, Diptera (larva dan dewasa), Coleoptera serta Collembola. Dengan terdapatnya fauna pemangsa berupa makroavertebrata tersebut, hasil pengolahan limbah menjadi baik karena fauna tersebut akan memakan biofilm, sehingga akan meningkatkan difusi oksigen ke dalam unit penyaring biologik.
Rotary biological contractor (RBC) Prinsip kerja rotary biological contractor mirip seperti trickling filter, bedanya yaitu pada RBC mikroorganisme tumbuh pada permukaan luar drum yang terus menerus berputar pada porosnya, sebagian badan drum berada di dalam aliran air limbah. Keunggulan sistem RBC dibandingkan dengan trickling filter yaitu aerasi lebih baik dan waktu kontak antara mikroorganisme dengan limbah lebih panjang sehingga memberikan efisiensi yang lebih tinggi.
Fluidized bed bioreactor Pada unit fluidized bed bioreactor proses penguraian limbah terjadi karena biofilm yang tumbuh di permukaan padatan terfluidisasi. Padatan yang digunakan berukuran kecil (lugs permukaannya besar) sehingga diharapkan biomassa yang terbentuk sebagai lebih banyak. Disamping itu, dengan adanya fluidisasi, kontak antara limbah dengan mikroorganisme menjadi lebih
Universitas Gadjah Mada
baik sehingga efisiensi penguraian limbah dapat lebih ditingkatkan. Fluidized bed bioreactordapat dioperasikan secara aerob atau anaerob.
Upflow anaerobic sludge blanket (UASB) reactor Sistem pengolah limbah cair dengan upflow anaerobic sludge blanket baru mulai dikembangkan pada dekade 80-an. Konfigurasi alat dan sistem kerjanya hampir sama dengan fluidized bed bioreactor, tetapi pada UASB partikel yang terfluidisasi bukan material pengisi yang terlapisi biofilm melainkan berupa partikel yang terbentuk oleh gumpalan mikroorganisme.
3. Pengolah limbah secara kimia Unit pengolah limbah secara kimia bekerja berdasarkan atas reaksi kimiawi. Perbedaan utama unit pengolah limbah secara kimia dengan unit lainnya yaitu proses yang terjadi pada unit tersebut bersifat aditif (memerlukan tambahan bahan kimia) sehingga seringkali justru akan meningkatkan bahan terlarut di dalam limbah cair.
Tabel 8.2. Unit Pengolah Limbah secara Kimia dan Fungsinya
Unit
Fungsi
Pengendapan kimia
memisahkan padatan tersuspensi
Transfer gas
menambahkan atau memisahkan gas-gas
Desinfeksi
mematikan secara selektif mikroorganisme patogen, dapat dilakukan dengan berbagai cara dan jenis bahan
Deklorinasi
kimia menghilangkan sisa-sisa bahan kimia setelah proses deinfeksi dengan klor
Pengendapan kimia Pengendapan kimia dilakukan dengan cara penambahan bahan-bahan kimia ke dalam limbah cair dengan tujuan untuk mengubah sifat fisik padatan terlarut atau tersuspensi sehingga mudah untuk dipisahkan secara sedimentasi. Bahan kimia yang banyak digunakan dalam proses pengendapan kimia yaitu
Universitas Gadjah Mada
alum [Al2(SO4)3.18H20], kapur [Ca(OH)2], feri klorid (FeCI3) atau feri sulfat [Fe2(SO4)3]. Jika alum ditambahkan ke dalam limbah cair yang mengandung kalsium atau magnesium bikarbonat, maka akan terjadi reaksi berikut:
Al2(SO4)3.18H20 + 3 Ca(HCO3)2 <-> 3 CaSO4 + 2 Al(OH)3 + 6 CO2 + 18 H20 Alumunium hidroksida [Al(OH)3] merupakan bahan yang tidak larut dan berbentuk floc yang mengendap secara perlahan-lahan sambil "menyapu" padatan tersuspensi. Desinfeksi Deisinfeksi merupakan cara selektif untuk menghilangkan atau mematikan mikroorganisme patogen. Metode yang paling umum digunakan dalam desinfeksi limbah yaitu dengan penambahan klor.
Universitas Gadjah Mada
DAFTAR PUSTAKA
Ariens, E.J., Mutschler, E., dan A.M. Simons, 1986. Toksikologi Umum: Pengantar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 279 hal. Barnes, R.S.K. and K.H. Mann, 1982. Fundamentals of Aquatic Ecosystems. Blackwell Scientific Publications, Oxford. Benson-Evans, K. and Williams, P.F., 1975. Algae and Bryophytes, dalam Ecological Aspect of Used-Water Treatment, C.R. Curd and H.A. Hawkes (ed.). Academic Press, London. Boudou, A. and F. Ribeyre, eds., 1989. Aquatic Ecotoxicology: Fundamental Concepts and Methodologies. Vol. II. CRC Press, Boca Raton, Florida, 314 pp. Butler, G.C., ed., 1978. Principles of Ecotoxicology. Scope 12. John Wiley & Sons, Chichester, 349 pp. Conell, D.W. dan G.J. Miller, 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 520 hal. Davis, M.L. and D.A. Cornwell, 1991. Introduction to Environmental Engineering. McGraw-Hill, New York. Dix, H.M., 1981. Environmental Pollution: Atmosphere, Land, Water and Noise. John Wiley & Sons, Chichester. Eden, G.E., 1975. Waste Water and Their Treatment. In Chemistry and Pollution. F.R. Benn and C.A. McAuliffe, 1975. The Macmillan Press, London. Ellenberg, H., 1991. Biological Monitoring, Signals from the Environment. Vieweg, Braunschweig. Balai Teknik Kesehatan Lingkungan Yogyakarta, 1997. Himpunan Peraturan tentang Pengendalian Dampak Lingkungan. Hadisusanto, S., 1998. Petunjuk Praktikum Pencemaran Lingkungan. Fakultas Biologi Univer-sitas Gadjah Mada. Hubert, J.J., 1980. Bioassay. Kendall/Hunt, Dubuque, Iowa, 164 pp. Jackson, M.T., 1950. Water: Life Blood of the Land. In The Environmental Challenge. W.H. Johnson and W.C. Steere (eds.). Holt, Rinehart and Winston, New York. Johnson, W.W. and M.T. Finley, 1980. Handbook of Acute Toxicity of Chemicals to Fish and Aquatic Invertebrates. United States Department of the Interior Fish and Wildlife Service/Resource Publication 137, Washington DC, 98 pp. Laws, E.A., 1981. Aquatic Pollution. John Wiley & Sons, New York. Lucky, Z. and Hoffman, G. L., 1977. Methods for the Diagnosis of Fish Diseases. Franklin, Cairo.
Universitas Gadjah Mada
Lund, H.F., 1971. Industrial Water Pollution Control Terms. In Industrial Pollution Control Handbook. H.F. Lund (ed.). McGraw-Hill, New York. Matsumura, F., 1985. Toxicology of Insecticides. 2nd ed., Plenum Press, New York, 598 pp. Ndriagu, 10. and J.S.S. Lakshminarayana, eds., 1989. Aquatic Toxicology and Water Quality Management. Vol. 22, John Wiley & Sons, New York, 292 pp. Nickless, G., 1975. Detergents. In Chemistry and Pollution. F.R. Benn and C.A. McAuliffe (eds.). The MacMillan Press, London. Nugraheni, D.I., Djumanto, dan N. Probosunu, 2001. Kajian Perubahan Kualitas Air Sungai Winongo Yogyakarta Akibat Kegiatan Usaha Budidaya Ikan dalam Karamba Berdasarkan Indeks Saprobik. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Tidak Dipublikasikan. Probosunu, N., 1988. Penentuan Toksisitas Nikel Klorida (NiCl2) serta Pengaruh Patologiknya terhadap Branchia, Hepar dan Ren Ikan Tombro (Cyprinus carpio L.). Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Tidak Dipublikasikan. Probosunu, N., 1999. Pengantar Pengendalian Pencemaran Perairan. Fakultas Pertanian UGM. Diktat Kuliah. Ramade, F., 1987. Ecotoxicology. John Wiley & Sons, Chichester, 262 pp. Rand, G.M. and S.M. Petrocelli, 1985. Fundamentals of Aquatic Toxicology. Hemisphere, Washington, 331 pp. Reddy, K.R. and W.H. Smith, (eds.), 1987. Aquatic Plants for Water Treatment and Resource Recovery. Magnolia, Orlando, Florida. Syamsiah, S., 1997. Dasar-Dasar Penanganan Limbah Cair: Bahan Ajar Kursus Dasar-Dasar Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan - Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Southwick, C.H., 1976. Ecology and the Quality of Our Environment. D. Von Nostrand Company, New York. Sudarmadji, 1995. Pencemaran dan Proteksi Lingkungan. Bahan Ajar Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Sudarmadji, 1997. Baku Mutu Lingkungan. Bahan Ajar Kursus Dasar-Dasar Pengendalian Pencemaran Lingkungan. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan - Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Gadjah Mada. Sugiharto, 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Yamin, M., 1986. Penanggulangan Limbah Pabrik Mori "Samitex" Sewon Bantul Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Menggunakan Akuarium Oksidasi dan Aerasi. Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada. Tidak Dipublikasikan.
Universitas Gadjah Mada