24
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Usahatani Tebu
2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan. Variabel yang sangat penting dalam proses budi daya tanaman tebu adalah keadaan lahan, agroklimat, waktu tanam, teknik budi daya, proporsi tebu pertama dan tebu keras serta panen (tebang dan angkut). Tanaman tebu merupakan tanaman yang sangat peka terhadap perubahan unsur-unsur iklim. Oleh karena itu, waktu tanam dan panen harus diperhatikan agar tebu dapat membentuk gula secara optimal. Tanaman tebu banyak membutuhkan air selama masa pertumbuhan vegetatifnya dan membutuhkan sedikit air pada masa pertumbuhan generatifnya (Mubyarto dan Damayanti,
25
1991). Terdapat dua cara penanaman tebu, yaitu di lahan sawah dengan sistem reynoso (cara pengolahan tanah sawah untuk tanaman tebu) dan di lahan tegalan dengan sistem tebu lahan kering. Tebu
lahan sawah memiliki beberapa kategori, tergantung dari pola
penanaman. Tebu tanam atau tebu Tebu Rakyat Sawah I (TRIS I) adalah pola penanaman tebu dengan menggunakan bibit. Sedangkan tebu keras atau TRIS II dan selanjutnya adalah penanaman tebu dari kepras atau tunas yang berasal dari sisa panen. Perbedaan kategori tersebut berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tebu. Teknologi budi daya yang tepat serta penggunaan varietas unggul yang paling sesuai dengan kondisi lahannya dapat menghasilkan tebu dengan bobot dan rendemen yang tinggi. Selain itu perlu diperhatikan juga kegiatan pasca panen dengan cara menghindari kerusakan tebu pada saat penebangan maupun pengangkutan, serta menjaga kebersihan tebu saat akan dikirim ke pabrik gula sehingga tebu yang akan digiling di pabrik gula mempunyai kriteria bersih, segar dan manis. Sistem usahatani tebu dilaksanakan dengan sistem Hak Guna Usaha (HGU) dan Sistem Tebu Rakyat (TR). Dalam sistem HGU, pelaksanaan penanaman tebu, tebang angkut kemudian proses pengolahan menjadi gula merupakan tanggung jawab pabrik gula. Pada sistem TR yang dilaksanakan dengan pola kemitraan, petani bertanggung jawab terhadap kebun tebu sampai kegiatan tebang angkut dan proses pengolahannya diserahkan ke pabrik gula. Sistem tebu rakyat dengan pola kemitraan dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Indonesia. Berdasarkan Inpres
26
tersebut, petani yang berada di wilayah-wilayah tertentu diwajibkan untuk memenuhi kebutuhan pasokan bahan baku gula. Namun pada tahun 1997 pola ini mengalami perubahan berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1997 tentang Program Pengembangan Tebu Rakyat antara pabrik gula dan petani dengan fasilitas kredit. Perubahan yang mendasar dari Inpres tersebut adalah adanya kebebasan petani tebu untuk memilih komoditas tanaman yang dikehendakinya. Hal ini menyebabkan berkurangnya areal tebu sawah akibat adanya persaingan dengan tanaman alternatif yang dianggap lebih menguntungkan. Adanya
persaingan
dengan
tanaman
alternatif,
terutama
padi
menyebabkan pergeseran lahan dari lahan sawah beririgasi menjadi lahan tegalan yang kurang ideal bagi tanaman tebu. Hal ini menyebabkan kurangnya pasokan bahan baku ke pabrik gula dan pabrik beroperasi di bawah kapasitas gilingnya sehingga mengurangi efisiensi dan mengganggu kinerja pabrik. Untuk mengatasi hal tersebut salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan meningkatkan produktivitas tebu. Agar tanaman tebu dapat bersaing dengan tanaman alternatif, maka produktivitas tanaman tebu harus mencapai 80 ton per hektar dengan tingkat rendemen 8 ton per hektar (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004).
2.1.2 Pengolahan Proses pengolahan tebu adalah memeras nira dari batang tebu dan memprosesnya menjadi gula kristal dengan tingkat kehilangan gula (pol) sekecil mungkin. Tingkat kehilangan tersebut dapat terjadi pada ampas, blotong dan tetes. Rata-rata mutu tebu yang berada di pabrik gula di Jawa memiliki mutu yang rendah dengan nilai pol berkisar antara 8.3 – 11.2, nilai nira perasan pertama 9.9 -
27
12.4 dan kadar kotoran tebu antara 6 - 20 persen. Rendahnya mutu tebu diperparah dengan kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua. Sekitar 68 persen dari jumlah pabrik gula yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun dan kurang mendapat perawatan yang memadai. Hal ini menyebabkan efisiensi yang rendah dan meningkatkan biaya produksi per unit (Direktorat Jenderal Bina Produksi Perkebunan, 2004). Meskipun demikian, pabrik gula di Jawa masih berpotensi untuk ditingkatkan produktivitasnya melalui optimalisasi kapasitas giling serta penggalangan dengan petani. Pada tahun 2002 hasil giling pabrik gula yang berada di Jawa mengalami kenaikan produksi sebesar 14 persen (Sawit et a.l, 2004). Adanya program akselerasi Industri Gula Nasional telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu sehingga terjadi perluasan areal tanaman tebu.
2.1.3 Kebijakan Ekonomi Gula Perubahan yang paling mendasar yang melandasi ekonomi gula adalah dibebaskannya tataniaga gula dari monopoli Bulog ke mekanisme pasar pada tahun 1998. Selain sistem tataniaga, sistem produksi juga mengalami perubahan dengan dicabutnya Inpres No 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi dan memberikan
kebebasan
kepada
petani
untuk
memilih
tanaman
yang
diusahakannya sesuai dengan UU Nomor 1 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman (Papahan, 2004). Perubahan tersebut memberikan keuntungan bagi industri gula nasional, terutama petani tebu. Namun dengan adanya Letter of Intent yang menyatakan pembebasan bea masuk 0 persen bagi komoditi pertanian menyebabkan
28
membanjirnya impor gula. Keadaan tersebut diperparah dengan masuknya impor gula ilegal dan adanya impor gula yang langsung dijual kepada konsumen sehingga harga gula domestik mengalami penurunan yang drastis dari Rp 3 000 per kg menjadi Rp 2 000 per kg. Penurunan harga yang drastis ini telah menghilangkan insentif bagi petani tebu, sehingga petani tebu enggan untuk menanam tebu. Kemudian muncul SK Menperindag Nomor 230/MPP/Kep/1999, yang menetapkan tarif impor sebesar 20 persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar untuk mengefektifkan penerapan tarif, bea masuk impor gula diubah menjadi tarif spesifik sebesar Rp 550,- per kg untuk raw sugar dan Rp 700 untuk white sugar (Sawit, et al, 2004). Tahun 2002 kebijakan tersebut dikombinasikan dengan kuota impor berdasarkan SK Menperindag Nomor 643/MPP/Kep/2002 tentang tataniaga Impor Gula. Kebijakan tersebut menyatakan bahwa impor gula putih hanya dapat dilakukan oleh Importir Terdaftar Gula (IT). IT ini merupakan perusahaan yang memperoleh bahan baku minimal 75 persen berasal dari petani tebu dan impor gula hanya dilakukan pada saat harga di tingkat petani mencapai Rp 3 100 per kg. Kebijakan ini telah memberikan insentif bagi petani tebu untuk kembali menanam tebu. Seiring dengan perkembangan pergulaan nasional, tahun 2004 Presiden menerbitkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2004 tentang penetapan gula sebagai barang dalam pengawasan dan Keputusan Republik Indonesia Nomor 58 tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Kemudian muncul Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
29
527/MPP/Kep/9/2004 tentang ketentuan impor gula. Keputusan ini bertujuan untuk
mewujudkan
ketahanan
pangan
dan
peningkatan
pertumbuhan
perekonomian masyarakat Indonesia serta menciptakan swasembada gula dan meningkatkan daya saing serta pendapatan petani tebu dan industri gula.
2.2
Penelitian yang Terkait Studi yang dilakukan oleh Nelson dan Panggabean (1991), menyatakan
bahwa kebijakan industri gula di Indonesia merupakan suatu jaringan kebijakan yang saling bertentangan dan kompleks baik antara kegiatan di bidang produksi, price support, pupuk maupun subsidi kredit. Melalui pendekatan Policy Analysis Matrix (PAM) hasil analisisnya menunjukkan bahwa pada musim tanam 1986/1987, baik pada lahan kering maupun irigasi pengusahaan komoditas tebu tidak memberikan keuntungan sosial karena tingginya opportunity cost dari penggunaan lahan. Malah ditemukan bahwa keuntungan sosial ada lahan beririgasi negatif karena biaya opportunity cost dari tanah. Khusus untuk lahan kering keuntungan sosialnya negatif tapi keuntungan privatnya positif. Sedangkan di tingkat pengolahan total biaya privat menggiling tebu (termasuk biaya untuk tebu) adalah sebesar Rp 383 miliar, sedangkan total pendapatan hanya Rp 372 miliar, jadi ada privat loss sebesar Rp 11 miliar. Biaya sosial untuk mengolah gula lebih besar daripada biaya privat. Sumber perbedaannya adalah pada subsidi modal pada penggilingan sebesar Rp 69 miliar. Kesimpulan yang didapat dari penelitian ini adalah terdapat biaya sosial yang hilang sebesar Rp 465 miliar. Petani, konsumen dan pemerintah menyubsidi produksi gula. Bagi petani, transfer yang diterima dari subsidi modal, input dan harga yang lebih tinggi dari harga
30
dunia akan digantikan dengan kerugian hilangnya kemungkinan mendapatkan hasil dengan alternatif yang menguntungkan. Konsumen membayar Rp 263 miliar lebih banyak jika harga gula domestik tidak sama dengan harga dunia. Pemerintah akan kehilangan sebesar Rp 88 miliar dalam bentuk subsidi modal ke penggilingan dan petani TRI serta Rp 34 miliar subsidi untuk input bahan kimia. Rawan dan Hutabarat (1991) melakukan penelitian yang berjudul Analisis Efisiensi Penggunaan Masukan dan Ekonomi Skala Usaha pada Usahatani Tebu di Jawa Timur. Berdasarkan analisis fungsi keuntungan maka hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. Pada usahatani tebu, perubahan upah tenaga kerja memiliki pengaruh lebih besar terhadap keuntungan usahatani dibandingkan dengan perubahan harga bibit,pupuk dan obat. 2. Bila dibandingkan menurut kategori tanaman tebu, pengaruh upah tenaga kerja terhadap keuntungan usahatani lebih besar pada tanaman tebu baru lahan sawah daripada tanaman tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering. Pola yang sama terjadi untuk pengaruh harga pupuk dan obat. Hal ini menunjukkan bahwa keuntungan usahatani tebu tanaman baru pada lahan sawah lebih peka terhadap perubahan harga masukan usahatani dibanding tebu keprasan. Penggunaan masukan pada usahatani tebu keprasan lahan sawah maupun lahan kering sudah efisien. Namun pada tanaman tebu baru lahan sawah hanya penggunaan bibit yang telah efisien. Hal ini berimplikasi untuk memaksimumkan keuntungan usahatani tebu baru lahan sawah penggunaan tenaga kerja, pupuk, dan obat hendaknya ditingkatkan.
31
Kajian yang dilakukan Ernawati (1997) melalui model persamaan simultan menggunakan data seri tahun 1965-1995 dengan metode penggunaan parameter menggunakan metode 2 SLS menunjukkan hasil bahwa dalam 30 tahun terakhir produksi gula meningkat dengan laju 5.18 persen per tahun, terutama disebabkan oleh peningkatan luas areal tanam bukan karena produktivitas tanaman tebu. Produksi tebu secara nyata dipengaruhi oleh luas areal tanam tebu tahun lalu dan rasio luas areal tanam di lahan kering/luas areal tanam total. Sementara itu dari tujuh variabel, peningkatan produktivitas tebu secara nyata hanya dipengaruhi oleh produktivitas tahun lalu dan musim. Stok gula nasional dipengaruhi oleh produksi gula, stok tahun sebelumnya dan kebijakan pemasaran. Sedangkan impor dipengaruhi oleh nilai tukar dan jumlah populasi. Sedangkan sisi permintaan terdiri dari dua persamaan struktural yaitu permintaan gula rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendapatan per kapita dengan nilai elastisitas sebesar 0.54 dan permintaan gula industri secara nyata dipengaruhi oleh tingkat pendapatan per kapita. Studi PAM tentang gula lainnya dilakukan oleh Malian (1998) berjudul Dampak Deregulasi Gula terhadap Penerimaan Petani Tebu bertujuan untuk mengetahui efisiensi ekonomi dan insentif yang diperoleh dari intervensi pemerintah, serta dampaknya terhadap aktivitas usahatani, pengolahan dan pemasaran. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa komoditas gula memiliki keunggulan komparatif di pasar internasional. Hal ini terlihat dari tingkat keuntungan pada harga sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh dari harga pasar. Berdasarkan harga pasar, keuntungan yang diperoleh petani setelah deregulasi adalah sebesar Rp 5 410 100 pada lahan
32
sawah, Rp 5 258 800 pada lahan kering dengan pola kredit dan Rp 4 940 600 untuk lahan kering pola swadana. Berdasarkan harga sosial keuntungan usahatani yang diterima meningkat menjadi Rp 8 217 100 pada lahan sawah, Rp 8 068 200 pada lahan kering pola kredit, dan Rp 7 737 700 untuk lahan kering pola swadana. Kesimpulan dari penelitian ini adalah setelah adanya deregulasi, pengembangan usahatani tebu secara ekonomi dapat dikatakan efisien dalam penggunaan sumberdaya domestik. Hal ini tercermin dalam indeks DRCR untuk mengetahui efisiensi ekonomi relatif dari sistem komoditas gula yang berkisar antara 0.1133 sampai 1.1291, dengan demikian pengembangan komoditas tebu untuk memasok kebutuhan bahan baku pabrik gula dapat terus dilanjutkan. Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif usahatani tebu yang dilakukan oleh Salem et al. (2004). Hasil analisisnya menyimpulkan bahwa usahatani tebu di Kabupaten Kediri, Kabupaten Ngawi, dan Kabupaten Klaten tidak mempunyai keunggulan komparatif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien DRC > 1. Namun, usahatani di Kabupaten tersebut masih memiliki keunggulan kompetitif yang ditunjukkan oleh nilai koefisien PCR < 1. Keunggulan kompetitif yang diperoleh lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang cenderung protektif. Hadi dan Nuryanti (2005) meneliti tentang dampak kebijakan proteksi terhadap ekonomi gula Indonesia. Dari penelitiannya disimpulkan bahwa kebijakan proteksi berupa tarif maupun non tarif menyebabkan kenaikan harga gula domestik. Kenaikan tersebut tercermin pada selisih antara harga paritas impor gula di tingkat grosir dengan harga aktual di tingkat grosir. Harga paritas impor gula di tingkat grosir pada tahun 2004 adalah Rp 2 201 per kg dan harga
33
aktual di tingkat grosir adalah Rp 3 707 per kg. Selisih antara tingkat harga tersebut adalah Rp 1 505 per kg yang merupakan selisih harga akibat diterapkannya proteksi berupa tarif dan non tarif. Studi yang dilakukan oleh Susila dan Sinaga (2005) tentang analisis kebijakan industri gula Indonesia, didapati bahwa berbagai kebijakan yang ditetapkan pemerintah seperti kebijakan harga provenue gula, tarif impor, tariff rate quota, dan subsidi input merupakan instrumen kebijakan yang efektif untuk mengembangkan industri gula nasional dan mengurangi impor. Namun tingkat efektivitas dari masing-masing kebijakan berbeda. Kebijakan harga provenue gula memiliki efektivitas yang lebih tinggi dibandingkan kebijakan tariff rate quota dan kebijakan tarif.